Anda di halaman 1dari 3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menungkap dan menjelaskan mengenai kehidupan masyarakat Majene
pada pra-kolonial serta pengaruh pelabuhan terhadap pembentukan hingga penataan kota Majene pada
zaman kolonial sebagai jalur perdagangan utama di daerah Mandar dan sebagai sarana transportasi
yang paling efisien pada waktu itu di kota Majene. Metode yang digunakan adalah meliputi beberapa
langkah sistematis yaitu Kunjungan Pustaka yang bertumpu pada studi pustaka melalui beberapa buku,
jurnal, studi arsip dan wawancara. Hasil penelitian ini mengindikasikan asas Belanda memilih pelabuhan
Majene dikarenakan posisinya yang strategis dan kondisi geografis yang akomodatif serta
mengungkapkan tujuan Belanda dalam penataan kota yang berada disekitaran pelabuhan.

Kata Kunci: Majene, Kolonial, Pelabuhan.

PENDAHULUAN

Aktivitas masyarakat Mandar sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Teridentifikasi ada
empat belas kerajaan-kerajaan Mandar yang hidup berdampingan serta menjalin hubungan kerja sama.
Awal berdirinya kerajaan Mandar belum dapat diketahui hingga saat ini tetapi jika berlandaskan dengan
keterangan lisan dan naskah lokal lontara, sejarah asal muasal kerajaan-kerajaan selatan Sulawesi tidak
dapat terlepas dengan Tomanurung. Dikatakan Tomanurung apabila seorang yang tidak diketahui nama
dan asal-muasalnya muncul dari atas dan dikatakan Totompok apabila ia muncul dari bawah. Munculnya
Tomanurung itu biasanya diawali konflik antara satu negeri yang disebut wanua (Bugis), banua atau
lembang (Mandar), dan borik (Makassar) dengan negeri lainnya yang susah didamaikan (PaEni, 1986:
35). Dalam sumber-sumber lontarak diceritakan bahwa hanya Tomanurung yang dapat atau mampu
mendamaikan konflik-konflik tersebut. Tomanurung di Gowa dan Bone misalnya, menjadi tokoh
pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat yang sebelumnya dikisahkan dalam
keadaan kacau balau dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisasi dalam bentuk kerajaan
(Lontarak Akkarungeng Bone; Patunru,1983:2). kedatangan Tomanurung di Mandar, dikisahkan sebagai
tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah. Dalam Lontarak Balanipa
Mandar dan Lontarak Pattodioloang di Mandar memberikan keterangan bahwa manusia pertama yang
disebut Tomanurung datang ke Mandar dan mendarat di Ulu Saddang (hulu Sungai Saddang). Lebih
lanjut dikisahkan dalam kedua lontarak itu, bahwa Tomanurung di Ulu Saddang kawin dengan
Tokombong di Bura (muncul dari busa air) yang melahirkan anak bernama Tobanua Pong. Lalu Tobanua
Pong kawin dengan Tobisse di Tallang yang melahirkan beberapa orang anak, antara lain: Landobelua,1
Lasokeppang, Lando Guttu, Usuk Sabambang, dan Pakdorang.2 Perkawinan antara Pakdorang dengan
Rattebiang melahirkan empat orang anak; Tusudidi, Sibannangan (tinggal di Mamasa), Pongkapadang
(tinggal di Makbuliling), dan seorang yang tidak diketahui namanya tinggal di Massupu. Pongkapadang
kawin dengan Sanrobone di Buttu Bulu yang melahirkan anak bernama Bellotere (Lontarak
Pattodioloang: 7; Lontarak Balanipa: 5). Persebaran permukiman ke berbagai tempat di Mandar
tersebut, lambat laun berkembang menjadi persekutuan masyarakat yang disebut banua atau lembang
di bawah seorang pimpinan yang dikenal Tomakaka. Maksudnya, orang yang dituakan dan memiliki
kelebihan dan kearifan yang dapat dijadikan sebagai teladan dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Darmawan bahwa Tomakaka dapat diartikan sebagai orang yang punya kesanggupan dalam segala hal
atau sanggup mengayomi masyarakat. Selain di Mandar istilah Tomakaka juga dikenal di Tanah Toraja
dan Luwu. Tomakaka tidak hanya diartikan sebagai orang yang dianggap kakak, tetapi lebih dari itu.
Sebab, kata itu mengandung makna yang lebih dalam dan mempunyai arti simbolik apabila kata kaka itu
mendapat awalan ma sehingga menjadi kata makaka di belakang kata to. Jadi Tomakaka bermakna
orang yang dituakan dan mempunyai banyak kemampuan sehingga diangkat menjadi pemimpin.
Tomakaka juga berarti Tomakkelita, artinya orang yang memiliki lita atau negeri (Rahman, 1988:155).

Kerajaan-kerajaan di Mandar dalam menata kehidupan bersama di wilayah tersebut, bukan hanya
berusaha menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan lain, tetapi juga mengeluarkan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan perdagangan maritim. Kerajaan Balanipa misalnya, merespon dengan
pemindahan pusat pemerintahan yang sebelumnya ditempatkan di Napo ke daerah pesisir pantai yang
terletak di muara Sungai Mandar, yang disebut dengan Tangga-Tangga. Dalam rangka menyongsong
kepindahan pusat pemerintahan itu, dibentuklah petugas-petugas kerajaan yang dalam lontarak disebut
dengan sakka manarang (lengkap segala kepandaian), yaitu berjumlah “seribu orang” (tau sallessorang)
dengan berbagai keterampilan khusus. Misalnya: pembuat perahu, pemintal tali, pembuat layar perahu,
tukang kayu, pandai emas, pandai besi, pandai kuningan, pembuat alat batu, pembuat alat kesenian,
pengukir, pasukan berani mati, pasukan penyumpit, pasukan senapan, pasukan pengawal, pengasuh,
juru masak, pengambil air, dan pengambil kayu. 1

Ekspedisi militer Belanda 1905-1907 berdampak pada status wilayah Mandar dalam sistem administrasi
Pemerintah Hindia Belanda. Status wilayah Mandar dalam struktur Pemerintah Hindia Belanda berubah
pada 1907. StatusnMandar sebagai onderafdeling dari wilayah Afdeling Pare-Pare menjadi Afdeling
Mandar yang berdiri sendiri sejak 1909 (Vorstman 1924:22). Ekspedisi militer itu tercatat jelas dalam
laporan ekspedisi militer Belanda di Gowa, Ajatappareng, Massenrempulu, dan Mandar (Dienst van
Oorlog in Nederlandsch Indie [D.v.O in N.I.] 1916:245-380). Dalam kependudukan Belanda di Mandar
bukan merupakan hal yang mudah hal itu dikarenakan Mandar belum pernah diduduki hingga pada
tahun 1848 wilayah Mandar belum pernah dijajah oleh bangsa luar itulah menjadi alasan mengapa
Belanda cukup kewelahan dalam menaklukkan wilayah Mandar. Meskipun sulit ditaklukkan Belanda
tetap berusaha keras untuk menguasai wilayah Mandar dikarenakan beberapa faktor, yaitu kondisi yang
strategis dan geografis Mandar yang berada di jalur perdagangan serta sebagai penghubung bagian
utara hingga barat Sulawesi. Penaklukan Mandar terhadap Belanda disebut Ekspedisi Militer Belanda di
Mandar 1905-1942, ekspedisi itu bertujuan untuk menjadikan Mandar yang sebelumnya adalah “negara
sekutu” menjadi “negara bawahan”.2 Setelah berhasil menduduki Mandar Belanda menguasai
pelabuhan dan menjadikan pelabuhan sebagai pusat penghasilan utama mereka. Peran penting
pelabuhan dapat dibuktikan dengan bangunan-bangunan yang diduga sebagai kantor administrasi
Belanda yang berada di sekitar pelabuhan seperti kantor Residen dan Syahbandar, selain administrasi
Belanda juga memperkuat pertahanan mereka dengan membangun Barak Prajurit yang berada di
sekitaran pelabuhan. Pelabuhan Majene sangat berperan penting dalam perkembangan kota kolonial
Majene pada saat itu penghasil utama dalam bidang perekonomian adalah Kopra hal ini dapat diperkuat
dengan adanya bekas gudang Kopra yang cukup besar berada di sekitaran pelabuhan yang sekarang
menjadi terminal. Dari sekian penataan tersebut tulisan ini juga membahas tentang morfologi Majene
yang di tata oleh bangsa Kolonial pada saat itu.

PENELITIAN TERKAIT

Mengumpulkan data yang disebut dengan Kunjungan Pustaka. Mencari sumber-sumber primer dan
sekunder yang berupa arsip, buku, jurnal, disertasi, foto hingga peta. Selain mencari data berupa tulisan
dan gambar metode yang digunakan juga berupa wawancara. Melakukan wawancara dengan
narasumber dengan profesi yang beragam yaitu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat,
Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Penggiat Sejarah. Selain melakukan wawancara.
Selanjutnya Kunjungan Situs, penelitian lapangan untuk melihat langsung kondisi pasca periode yang
diteliti dan membandingkan dengan periode kolonial yang telah ditetapkan.

METODE

Tulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yakni heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Tujuan penggunaan metode penelitian sejarah untuk meminimalisasi, meskipun tidak dapat dihindari,
subjektivitas penulisan. Hal itu terjadi karena dalam pemecahan fakta sejarawan memilih sebuah tema
berdasarkan kesenangan dan minatnya sendiri. Bukan hanya itu, tetapi periode dan rumusan masalah
serta analisis terhadap sebuah peristiwa itu juga berdasarkan minat dari sejawaran itu sendiri
(Southgate 2001:68).

Langkah pertama yaitu pengumpulan sumber (Heuristik) proses ini bertujuan untuk mengumpulkan
sumber-sumber yang terkait baik itu primer maupun sekunder. Sumber-sumber yang digunakan pada
penulisan ini diperoleh melalui internet seperti Leiden, Delpher, Perpustakaan Online UI dan lain-lain.
Tahap berikutnya adalah Kritik Sumber, proses ini merupakan proses seleksi sumber dengan
membandingkan sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tahap ketiga adalah Interpretasi, tahap ini
bertujuan untuk mengolah data-data yang telah dikumpulkan menjadi sebuah fakta. Tahap terakhir
adalah Historiografi, pada tahap ini penulis mengolah fakta-fakta yang telah dikumpulkan hingga
membuat sebuah tulisan yang berdasarkan kaidah penulisan sejarah dan dengan menggunakan aturan-
aturan penulisan karya ilmiah.

TUJUAN

Mengetahui peran pelabuhan dalam perkembangan kota Kolonial dan Penataan kota pada zaman
Kolonial

Anda mungkin juga menyukai