Anda di halaman 1dari 5

PERAN K. G. P. A. A.

MANGKUNEGARA VII DALAM


PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN JAWA

Andri Setyo Nugroho/ 121711433047


Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya

Pendahuluan
Praja Mangkunegaran terbentuk setelah Perjanjian Salatiga yang
ditandatangani pada 17 Maret 1757, akibat terjadinya perlawanan yang dilakukan
oleh Raden Mas Said terhadap Sunan Pakubuwana II. Berdasarkan perjanjian
tersebut, Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan
daerah Mataram di sebelah timur, yang kurang lebih luasnya hampir setengah dari
kekuasaan Kasunanan Surakarta pada waktu itu. Diantara pecahan dinasti-dinasti
Mataram yang lain, kedudukan Mangkunegaran tidak setara dengan Surakarta dan
Yogyakarta sehingga penguasanya tidak berhak atas gelar Sunan maupun Sultan,
melainkan Pangeran Adipati Arya.
Sejak awal pendiriannya, Praja Mangkunegaran menunjukkan
perkembangan yang luar biasa hampir dalam segala hal. Berbeda dengan
kadipaten pada masa-masa sebelumnya, Praja Mangkunegaran diperbolehkan
memiliki tentara sendiri yang bebas dari campur tangan Kasunanan. Pada akhir
abad XVIII, orang-orang Eropa mengagumi ketangkasan prajurit Mangkunegaran
sebab kemampuan mereka sebanding dengan pasukan khusus Napoleon. Mereka
ini disebut sebagai Legiun Mangkunegaran yang didirikan oleh Mangkunegara II
pada masa pemerintahannya.1
Pada awal sampai pertengahan abad XX, peran Praja Mangkunegaran
lebih banyak terfokuskan dalam hal pengembangan kebidayaan. Kanjeng
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII adalah seorang pencinta kebudayaan
Jawa, sekaligus sebagai penguasa Mangkunegaran yang berhasil membawa
modernisme Eropa selama masa pemerintahannya. Orang-orang Eropa

1
Ann Kumar, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir
Abad Ke-18 (Depok: Komunitas Bambu, 2008).
mengenangnya sebagai sosok yang moderat dan berjiwa demokratis, berbeda
dengan para pendahulunya.
Sayangnya, peran dua kekuatan besar di Jawa (Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta) seolah-olah telah mengalihkan perhatian terhadap Praja
Mangkunegaran, terutama dalam hal perkembangan kebudayaan Jawa. Padahal
menjelang detik-detik kemerdekaan bangsa Indonesia, justru peran perjuangan
Praja Mangkunegaran dibawah Mangkunegara VII lebih banyak terfokus pada
bidang kebudayaan. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk
menggambarkaan peran Mangkunegara VII dalam hal perkembangan kebudayaan
Jawa.

Pembahasan
Bernama kecil Bendara Raden Mas (BRM) Soeryo Soeparto,
Mangkunegara VII adalah putra Mangkunegara V dengan selirnya, R. R.
Poernamaningrum yang dilahirkan pada tanggal 12 November 1885.2 Dari seluruh
keturunan permaisuri dan selir, ia adalah urutan ketujuh putra-putri
Mangkunegara V. Semasa kecilnya, BRM. Soeryo Soeparto diasuh oleh
pamannya yaitu R. M. Soenito (adik Mangkunegara V yang nantinya
menggantikan sebagai Mangkunegara VI). Dibawah asuhan sang paman, Soeparto
tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati. Setelah kematian ayahnya, ia
termotivasi untuk semangat belajar sehingga pendidikan di Europe Lagere School
berhasil dijalani pada usia 15 tahun.3
Setelah lulus dari sekolah tersebut, Soeparto hendak melanjutkan studinya,
namun tidak diperbolehkan oleh sang paman sebab berkaitan dengan statusnya
sebagai seorang pangeran. Soeparto memilih keluar dari istana dan mencari
pengalaman. Ia memulai dengan magang, kemudian karena ketekunannya dapat
menjadi seorang mantri di Kabupaten Demak. Soeparto juga pernah menjadi
pembantu Residen Surakarta, sebagai penerjemah dari Bahasa Jawa ke Bahasa
Belanda. Ketekunan Soeparto berbuah kesempatan untuknya berkuliah di
2
Bernadial Hilmiyah M. D., Mengenang BRM Soerya Soeparto (Surakarta: Rekso
Pustoko, 1985), hlm. 5.
3
Theresia Suharti, "Tari di Mangkunegaran: Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dimensi
Kultural 1910-1988)" Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1990), hlm.35.
Belanda, dengan mengambil jurusan Sastra Timur. Pada tahun 1915, Soeparto
kembali dari Belanda setelah dua tahun mengenyam pendidikan. Sekembalinya
dari Belanda, Soeparto tidak lagi bekerja menjadi penerjemah, melainkan
berkedudukan sebagai ajudan kontelir urusan agraria dibawah naungan Residen
Sollewijn Gelpke (1914-1918).4 Kecintaan Soeparto terhadap kebudayaan Jawa
ditunjukkan dengan mendirikan Lingkar Studi Filosofi Budaya (Cultuur
Wijsgeerige Studiekring). Kehidupannya di luar istana membuat dirinya peka
terhadap masalah sosial yang dialami rakyat, bahkan ia mendukung pergerakan
Boedi Oetomo dengan menulis propaganda yang dimuat pada Darma Kandha.
Pada akhirnya, Soeparto menjadi ketua pengurus Boedi Oetomo di Surakarta.5
Selama memegang kepemimpinan Boedi Oetomo, Soeparto selalu mementingkan
kemajuan kebudayaan Bumiputra. Ia meyakini bahwa kemajuan kebudayaan suatu
bangsa akan menguatkan ekonominya.6 Jabatan sebagai pemimpin Boedi Oetomo
berakhir ketika ia diangkat sebagai kepala Keluarga Mangkunegaran.
Soeparto menjadi kepala Keluarga Mangkunegaran pada tanggal 30 Maret
1916. Dalam aturan Keraton Mangkunegaran, sebelum berusia 40 tahun, seorang
raja tidak berhak menyandang nama Mangkunegara sehingga gelar yang didapat
Soeparto adalah Pangeran Adipati Ario Prabu Prangwedono. 7 Pada awal kenaikan
tahtanya, Prangwedono dihadapkan dengan politik konservatif yang telah terjadi
sejak masa-masa sebelumnya. Keterbukaan pikiran dan pengetahuannya tentang
budaya barat membawa keberhasilan baginya, dengan menghadirkan modernitas
di Jawa, namun tidak menghilangkan tradisi adiluhug Jawa Kuno.
Pada pertengahan 1916 didirikan Departemen Perhimpunan Penelitian
Masalah Sosial di Solo dan Semarang (Vereeniging voor Studie van Koloniaal-
Maatschappelijke Vraagstukken). Prangwedono menjadi salah satu anggota aktif
yang turut serta memajukan lembaga tersebut. Pada bulan Maret 1918, sebuah

4
G. D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta
1912-1942 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 92.
5
Bernardial Hilmiyah, (1985), op cit., hlm. 20.
6
Het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII (Surakarta: Comite voor het
Triwindoe-Gedenkboek, 1939), hlm. 132.
7
"Bij het Regeeringsjubileum van Zijne Hoogheid Mangkoenegoro VII (n) Moderne
ideen en Begrippen. Beschermer der Oude Javaansche Cultuur en Kunst" Soerabaiasch
Handelsblad, Vrijdag, 16 Juni 1939.
kongres pengembangan budaya Jawa diselenggarakan di Solo dan Prangwedono
menjadi salah satu tokoh terkemuka yang memberi kontribusi signifikan bagi
kesuksesan acara tersebut. Pada tanggal 4 Agustus 1919, secara resmi didirikan
Java Instituut. Sebagai penghargaan atas peran Prangwedono dalam
pengembangan kebudayaan Jawa, ia diangkat sebagai Dewan Kehormatan dari
lembaga tersebut.8
Dalam bidang politik, satu tahun setelah pelantikannya Prangwedono
segera menyambung hubungan dengan para bupati yang sebelumnya tidak pernah
dilakukan oleh pendahulunya. Perhatian terhadap kebudayaan tidak hanya di
Jawa, namun juga Bali. Bahkan putrinya, Gusti Nurul pernah dikirik ke Bali untuk
mengikuti sebuah festival di Karangasem. Pada tahun 1918, ia turut berpartisipasi
dalam dewan Volksraad. Pada tanggal 6 September 1920, Prangwedono menikah
dengan putri Hamengkubuwono VII yang bernama Gusti Raden Ajeng Moer
Soedarijah yang kemudian bergelar Gusti Kanjeng Ratu Timur. Pernikahan ini
merupakan upaya politik untuk menyatukan kembali wilayah Mataram yang
terpisah. Pernikahan keduanya dilaksanakan sesuai dengan adat Jawa, diiringi
perayaan besar yang telah digelar sejak tanggal 4 September. Dari pernikahannya
dengan Ratu Timur, Prangwedono dikaruniai seorang putri bernama Gusti
Bendoro Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril. Putrinya yang lain menikah dengan Dr.
Husein Djajadiningrat, sedangkan Bendoro Raden Ajeng Partinah menikah pada
Mei 1938.
Pada tanggal 27 sampai 29 Desember 1929, Kepatihan Mangkunegaran
menjadi tuan rumah diselenggarakannya Kongres Java Instituut. Pada penutupan
acara tersebut, Mangkunegara memainkan ikut bermain peran Wayang Wong di
Istana Mangkunegaran.

Kesimpulan
Mangkunegara VII adalah sosok yang memiliki gagasan untuk membawa
kemajuan berpikir ala Barat dan menggabungkannya dengan paham kekuasaan
Jawa. Perannya dalam pengembangan kebudayaan Jawa diawali dengan pendirian

8
Ibid.
Lingkar Studi Filosofi Budaya (Cultuur Wijsgeerige Studiekring). Pendidikan
masa kecil dibangku sekolah Eropa, melatarbelakangi strategi politiknya selama
berkuasa. Untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya dalam hal
pengembangan kebudayaan Jawa, pemerintah kolonial memberinya kedudukan
sebagai Dewan Kehormatan Java Instituut yang bergerak dalam hal kebudayaan
di Jawa, Madura, dan Bali. Perjuangannya dalam hal kebudayaan bahkan juga
melibatkan istri dan putrinya, misalnya dengan mendelegasikan mereka untuk
mengikuti festival yang diselenggarakan di Bali.

Daftar Pustaka
Het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII. (1939). Surakarta: Comite voor
het Triwindoe-Gedenkboek.
(1939, Juni 16). Bij het Regeeringsjubileum van Zijne Hoogheid Mangkoenegoro
VII (n) Moderne ideen en Begrippen. Beschermer der Oude Javaansche
Cultuur en Kunst. Soerabaia: Soerabaiasch Handelsblad.
Hilmiyah, B. (1985). Mengenang BRM Soerya Soeparto . Surakarta: Rekso
Pustoko.
Kumar, A. (2008). Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik
Jawa Akhir Abad Ke-18. Depok: Komunitas Bambu.
Larson, G. D. (1990). Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik
di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suharti, T. (1990). Tari di Mangkunegaran: Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya
Dimensi Kultural 1910-1988) . Thesis Unversitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai