NPM : 180310200022
INDONESIA”
Soegija lahir pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta dan merupakan anak kelima
dari sembilan bersaudara. Ia adalah anak dari Karijosoedarmo, seorang abdi dalem Keraton
Surakarta yang pada akhirnya pindah ke Yogyakarta. Beliau terkenal sebagai pahlawan
nasional karena perannya sebagai pemimpin masyarakat Semarang. Tak hanya itu, beliau juga
Jejak Pendidikan
Pada awalnya, beliau menempuh pendidikan formal di dua tempat, yaitu di Sekolah
Rakyat Ngabean yang dilaksanakan siang hari dan Sekolah Rakyat Wirogunan yang
dilaksanakan pagi hari. Namun, pendidikannya itu hanya berlangsung hingga kelas tiga. Ia pun
Muntilan, sebuah sekolah keguruan yang dirintis oleh Romo van Lith yang saat itu tengah
menyebarkan agama Katolik di Jawa Tengah dan mencari murid-murid untuk sekolah yang
baru ia rintis. Tingginya mutu pembelajaran di sekolah van Lith membuat Soegija tertarik.
Awalnya ia tidak memiliki minat sama sekali untuk beralih kepercayaan menjadi Katolik.
Kemudian, ia mengikuti berbagai pelajaran magang bagi agama Katolik. Dengan dorongan
rasa keingintahuan dan suasana lingkungan sekitar yang memiliki budaya Katolik,
guru. Akan tetapi, profesi guru tersebut hanya dilakukan selama setahun. Ia pun melanjutkan
pendidikannya ke sekolah imamat pada 1916. Akan tetapi pada 1919 ia dikirim ke Negeri
Belanda untuk bersiap menjadi imam pribumi. Di Belanda ia mempelajari Bahasa Latin,
Yunani, dan bahasa-bahasa lain di gymnasium milik Ordo Salib Suci di kota Uden, Belanda
Utara. Pada 27 September 1920, ia menjalani masa novisiat selama dua tahun di Novisiat
Serikat Yesus, Mariendaal, Grave. Ia kembali Indonesia pada September 1926 dan menjadi
guru selama dua tahun di sekolahnya dahulu. Pada akhir Agustus 1928, Soegija kembali ke
Pada tahun 1931, ia menerima tahbisan imam dan mengganti namanya menjadi A.
Soegijapranata. Nama Soegija memiliki arti dan harapan orang tuanya, yang berharap semoga
kelak menjadi orang kaya. Kaya dengan pendidikan dan keterampilannya. Dalam permandian,
dipilih nama baptis Albertus Magnus, yang merupakan seorang tokoh pemikir abad ke-12.
Kemudian, ditambahkan juga nama Pranata yang dalam Jawa Kuno merujuk pada arti
Ia kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1933, dan mengemban tugas di Gereja Katolik
Kidul Logi, Yogyakarta bersama dengan Romo van Driesche. Tahun berikutnya, Romo
Soegiyopranoto memimpin gereja Bintaran khusus pribumi hingga akhirnya ia dipilih oleh
Paus Pius XII untuk memimpin wilayah gerejani baru Vikariat Apostolik Semarang. Ia menjadi
pimpinan Gereja Katolik di Indonesia pertama yang berasal dari pribumi. Pelantikan Mgr.
1940. Wilayah gerejawi Vikariat Apostolik Semarang mencakup Semarang, Jepara, Rembang,
beberapa bagian Karesidenan Kedu meliputi Magelang dan Temanggung, serta wilayah
rohani umatnya ditengah-tengah kondisi pergolakan saat itu. Hampir dalam seluruh catatan
hariannya, ia mengawali hari dengan pelayanan sakramental seperti sakramen baptis, tobat,
memberikan pelayanan dan pengarahan. Pada masa revolusi, ibukota RI dipindahkan dari
Februari 1947.
kesulitan karena tindakan kekerasan dan kejam yang dilakukan Jepang. Di Semarang dan
Purwokerto, para pekerja karya missinya banyak ditangkap. Kegiatan missi di daerah tersebut
masih tetap dilakukan dengan menggunakan berbagai siasat yang menghindari bentrokan
langsung dengan pihak Jepang sejauh mungkin. Akan tetapi, ia juga merupakan pemimpin
yang disegani oleh pemerintah Jepang. Ia sering diundang ke berbagai upacara penting yang
diadakan Jepang. Namun, ia tidak pernah menghadirinya. Untuk mencegah kemarahan dari
Jepang, ia selalu mengirimkan karangan bunga sebagai tanda hadirnya. Ia juga menentang
Jepang yang saat itu ingin mengambil alih gereja-gereja untuk dijadikan kantor pusat.
Misalnya, saat ia menyelamatkan gereja Katedral Randusari, ia mengatakan jika Jepang ingin
Saat berita proklamasi kemerdeaan Indonesia mulai menyebar hingga tiba pada
Yogyakarta dan Semarang, reaksi dari rakyat dan para pemimpinnya sangat mendukung berita
tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang segera
mengirimkan ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Sekarno dan Hatta
1945. Keesokannya, Sri Sultan pun memberikan sambutannya yang dimuat pada harian Sinar
Matahari.
Indonesia. Pasukan Inggris yang mewakili sekutu tiba di Semarang pada 20 Oktober yang
menjadi pusat dari pemerintahan Vikariat Semarang pimpinan Mgr. Sugiyopranoto. Saat itu
juga, di Semarang telah terjadi Pertempuran Lima Hari yang melibatkan pemuda pejuang
Indonesia dan pasukan Jepang yang masih ada di Semarang. Oleh karena itu, Mgr.
pasukan Inggris agar segera berusaha menghentikan pertempuran . Namun, desakan tersebut
cukup sulit dilaksanakan karena mereka belum mengenal pimpinan pasukan Jepang di
Semarang. Melihat respon itu, akhirnya Mgr. Sugiyopranoto memanggil komandan pasukan
Jepang ke pastoran Gedangan. Namun, tetap tidak membuahkan hasil. Tak menyerah, ia
kembali mendesak kedua kelompok pimpinan pasukan Inggris dan Jepang dan mendorongnya
melakukan perundingan, hingga sampailah pada usaha untuk mengehentikan tembakan yang
peranan Mgr. Sugiyopranoto. Ia mengirim utusan ke Jakarta untuk menjumpai pemerintah RI,
termasuk Perdana Menteri Sutan Syahrir dan melaporlan situasi yang dialami masyarakat
untuk memberikan bantuannya kepada rakyat Semarang dan segera akan mengatur aparat
pemerintahan yang telah ambruk. Janji Perdana Menteri Syahrir sesuai dengan permintaan
berpindah. Terkecuali Perdana Menteri Sutan Syahrir yang tidak ikut pindah karena lebih
mudah berdiplomasi dengan Belanda di Jakarta. Sementara itu, banyak penduudk Semarang
yang terpaksa meninggalkan kediamannya untuk menghindari situasi yang kurang aman di
sana. Menghadapi situasi yang tidak menentu ini, Mgr. Sugiyopranata tidak ikut pindah. Ia
berusaha bertahan dan berusaha untuk menentramkan sekitarnya. Dalam keadaan seperti itu
pula, ia mengorganisasikan para pemuda yang masih ada di Semarang untuk menjaga daerah
Akan tetapi, keinginannya untuk tetap berada di Semarang tidak bertahan lama. Pada
1946 ketika ibukota RI berpindah ke Yogyakarta, ia pun ikut berpindah ke sana. Hal ini
mungkin saja disebabkan karena dengan berpindah ke pusat pemerintahan, maka ia akan
semakin mudah untuk menjalin komunikasi dengan para pemimpin negara. Kepindahannya
juga telah menyatakan pada Belanda bahwa ia berpihak pada RI, tidak pada posisi netral seperti
Bintaran berusaha membantu sebisanya. Misalnya, saat menjelang hari raya umat Kristen, yaitu
Natal, beliau menghimbau supaya perayaan natal diadakan sesederhana mungkin. Hal ini
disebabkan karena situasi serba sulit yang sedang dialami masyarakat. Pertolongan saat situasi
yang serba suilt tersebut biasanya menumbuhkan perasaan persahabatan yang dalam.
Tindakannya yang lain adalah misanya saat setelah Yogyakarta dikuasai Belanda dan
adanya blokade terhadap RI, beliau berhasil berhubungan dengan luar negeri, di antaranya
dengan Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini dimuat dalam karangannya dalam majalah
dilakukan Belanda. Ia juga mengatakan blokade tersebut berupa blckade pikiran. Dengan
pendudukan dan blokade yang dilakukan Belanda, maka di daerah republik sulit ditemukan
pakaian, makanan, bahkan sumbangan ideologis. Buku-buku, majalah, dan media informasi
lainnya tidak didapatkan di sana. Oleh karena itu, ia berseru pada redaksi dan pembaca
Setelah Revolusi
kembali ke Semarang. Namun, ia tak hanya berperan sebagai tokoh yang mengurusi agama,
tetapi juga meliputi urusan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Pada tahun 1950-an,
kebangkitan komunisme melalui PKI kembali mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Ia paham
kondisi masa yang mendukung PKI, yaitu karena kemiskinan. Oleh karena itu, dari umat-umat
katolik pun berusaha mendirikan organisasi-organisasi buruh tani, nelayan, dan lainnya. Secara
kebetulan pada saat itu, wilayah Vikariat Semarang terdapat orang-orang awam Katolik yang
segala usaha-usahanya. Dengan demikian, pada 19 Juni 1954 berdiri organisasi buruh yaitu,
dari organisasi-organisasi para pemuda. Ia juga berharap bahwa para pemuda dapat membentuk
watak dan pendidikan yang dilandasi oleh semangat agama dan kebangsaan. Ia mendukung
Dalam hal politik, ia memprakarsai Kongres Ummat Katolik Seluruh Indonesi (KUSKI
ke-1) yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 7 – 12 Desember 1949. Kongres ini juga
mendapat perhatian dari yang non-Katolik juga dari pemerintah. Hal ini terlihat pada hadirnya
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/ Perdana Menteri Moh. Hatta. Salah satu hasil dari
kongres ini adalah dibentuknya sebuah partai Katolilk untuk masyarakat Indonesia. Kemudian
pada 1950, Partai Katolik Indonesia mengdakan kongresnya yang pertama di Semarang.
kemanusiaan. Dalam pengobatannya ke Belanda, ia tidak mau merepotkan banyak orang. Saat
di Belanda, ia juga banyak mengunjungi orang-orang yang menurutnya berjasa pada Indonesia,
berkunjung pada kerabat-kerabatnya, dan lainnya. Akan tetapi, di Belanda pula ia meninggal
dunia pada 22 Juli 1963. Sebelum diterbangkan ke Indonesia, upacara penghormatan dilakukan
dahulu di Belanda. Misaa dipimpin oleh Kardinal Alfrink. Ia dimakamkan di Taman Makam
Mgr. Albertus Soegiyopranoto yang merupakan seorang Katolik, memiliki sikap patriot
dan nasionalis yang sangat tinggi. Beliau juga memiliki sikap toleransi yang kuat yang
ditunjukkan misalnya saat perayaan natal setelah Agresi Militer Belanda II. Sikap yang ia
tunjukkan ini terbentuk antara lain sejak ia masih menempuh pendidikan. Adanya kesempatan
yang terbuka lebar baginya untuk berpendidikan di Belanda membuat wawasan tentang
yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Meskipun pada umumnya definisi dari kata
“Pahlawan” identik dengan perjuangan melalui jalur militer, yang berperang hingga
menumpahkan darah, tetapi peran Mgr. Albertus Soegiyopranoto juga tidak kalah penting.
Beliau berusaha membantu RI dibelakang layar. Salah satu jasanya terhadap RI adalah
hubungan diplomasi dengan Negara Vatikan yang menjadi salah satu dari negara-negara Eropa
Setelah Indonesia merdeka, sikap seorang pemimpin dan kemanusiaannya masih tetap
ia jalani. Beliau ikut berkontribusi untuk memajukan bangsa Indonesia, misalnya dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang memang sebelumnya telah ia lakukan. Sebagai
seorang pemimpin agama, perannya yang cukup penting di dunia perpolitikan banyak dikritik.
Akan tetapi hal tersebut tidak memundurkan niatnya, karena ia berpendapat bahwa sebagai
Jasa-jasanya bahkan banyak diabadikan baik dalam tulisan berupa artikel dan buku,
juga diabadikan dalam film berjudul Soegija yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Catatan-
catatan semasa hidupnya pun ditulis kembali menjadi sebuah buku yang dapat dibaca dan
“Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan
bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan keluarga besar.
Satu keluarga besar, di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau
kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga kebencian dan
Gonggong, Anhar. 1982. Mgr. Albertus Sugiyopranoto. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Subanar, Budi G. 2012. Soegija: Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Yogyakarta:
Penerbit Galangpress
Subanar, Budi G. 2012. Kilasan Kisah Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Soegijapranata, S.J dalam Film Soegija. The Messenger, Volume V, Nomor 2, Edisi Juli
2013.
Matanasi, Petrik. 2018. Romo Soegija: Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia
dalam https://tirto.id/romo-soegija-seratus-persen-katolik-seratus-persen-indonesia-