Anda di halaman 1dari 9

Nama : Siti Sarah Nurafifah

NPM : 180310200022

Mata Kuliah : Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1942-1950)

MGR. ALBERTUS SOEGIJAPRANATA, S.J : “100% KATOLIK, 100%

INDONESIA”

Mgr. Albertus Soegijapranata

Sumber: Website Wikipedia

Soegija lahir pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta dan merupakan anak kelima

dari sembilan bersaudara. Ia adalah anak dari Karijosoedarmo, seorang abdi dalem Keraton

Surakarta yang pada akhirnya pindah ke Yogyakarta. Beliau terkenal sebagai pahlawan

nasional karena perannya sebagai pemimpin masyarakat Semarang. Tak hanya itu, beliau juga

membantu Republik Indonesia dalam memeroleh pengakuan kedaulatan dengan

memanfaatkan koneksinya sesama pemuka agama.

Jejak Pendidikan

Pada awalnya, beliau menempuh pendidikan formal di dua tempat, yaitu di Sekolah

Rakyat Ngabean yang dilaksanakan siang hari dan Sekolah Rakyat Wirogunan yang
dilaksanakan pagi hari. Namun, pendidikannya itu hanya berlangsung hingga kelas tiga. Ia pun

melanjutkan pendidikannya di Lempuyangan, di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang

memperkenalkan Bahasa Belanda. Setelah itu, ia melanjutkan kembali pendidikannya di

Muntilan, sebuah sekolah keguruan yang dirintis oleh Romo van Lith yang saat itu tengah

menyebarkan agama Katolik di Jawa Tengah dan mencari murid-murid untuk sekolah yang

baru ia rintis. Tingginya mutu pembelajaran di sekolah van Lith membuat Soegija tertarik.

Awalnya ia tidak memiliki minat sama sekali untuk beralih kepercayaan menjadi Katolik.

Kemudian, ia mengikuti berbagai pelajaran magang bagi agama Katolik. Dengan dorongan

rasa keingintahuan dan suasana lingkungan sekitar yang memiliki budaya Katolik,

mendorongnya untuk dibaptis.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Muntilan, ia pun menjalankan tugasnya menjadi

guru. Akan tetapi, profesi guru tersebut hanya dilakukan selama setahun. Ia pun melanjutkan

pendidikannya ke sekolah imamat pada 1916. Akan tetapi pada 1919 ia dikirim ke Negeri

Belanda untuk bersiap menjadi imam pribumi. Di Belanda ia mempelajari Bahasa Latin,

Yunani, dan bahasa-bahasa lain di gymnasium milik Ordo Salib Suci di kota Uden, Belanda

Utara. Pada 27 September 1920, ia menjalani masa novisiat selama dua tahun di Novisiat

Serikat Yesus, Mariendaal, Grave. Ia kembali Indonesia pada September 1926 dan menjadi

guru selama dua tahun di sekolahnya dahulu. Pada akhir Agustus 1928, Soegija kembali ke

Belanda untuk tugas studi Teologi di Maastrich hingga 1931.

Pada tahun 1931, ia menerima tahbisan imam dan mengganti namanya menjadi A.

Soegijapranata. Nama Soegija memiliki arti dan harapan orang tuanya, yang berharap semoga

kelak menjadi orang kaya. Kaya dengan pendidikan dan keterampilannya. Dalam permandian,

dipilih nama baptis Albertus Magnus, yang merupakan seorang tokoh pemikir abad ke-12.

Kemudian, ditambahkan juga nama Pranata yang dalam Jawa Kuno merujuk pada arti

menyembah, mengabdi, tananan, aturan.


Pulang ke Indonesia

Ia kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1933, dan mengemban tugas di Gereja Katolik

Kidul Logi, Yogyakarta bersama dengan Romo van Driesche. Tahun berikutnya, Romo

Soegiyopranoto memimpin gereja Bintaran khusus pribumi hingga akhirnya ia dipilih oleh

Paus Pius XII untuk memimpin wilayah gerejani baru Vikariat Apostolik Semarang. Ia menjadi

pimpinan Gereja Katolik di Indonesia pertama yang berasal dari pribumi. Pelantikan Mgr.

Albertus Soegijapranata, SJ sebagai Vikaris Apostolik Semarang dilakukan pada 6 November

1940. Wilayah gerejawi Vikariat Apostolik Semarang mencakup Semarang, Jepara, Rembang,

beberapa bagian Karesidenan Kedu meliputi Magelang dan Temanggung, serta wilayah

Surakarta dan Yogyakarta.

Pada masa kepemimpinannya, Mgr. Soegijapranata berusaha memelihara dan membina

rohani umatnya ditengah-tengah kondisi pergolakan saat itu. Hampir dalam seluruh catatan

hariannya, ia mengawali hari dengan pelayanan sakramental seperti sakramen baptis, tobat,

perkawinan, dan lainnya. Ia juga sering berkunjung ke wilayah-wilayah gerejawi untuk

memberikan pelayanan dan pengarahan. Pada masa revolusi, ibukota RI dipindahkan dari

Jakarta ke Yogyakarta. Mgr. Soegiyapranoto pun mendukung hal tersebut dengan

memindahkan pusat pelayanan umat Katoliknya dari Semarang ke Yogyakarta pada 13

Februari 1947.

Pada mada pendudukan Jepang, hampir seluruh kegiatan-kegiatan missi mengalami

kesulitan karena tindakan kekerasan dan kejam yang dilakukan Jepang. Di Semarang dan

Purwokerto, para pekerja karya missinya banyak ditangkap. Kegiatan missi di daerah tersebut

masih tetap dilakukan dengan menggunakan berbagai siasat yang menghindari bentrokan

langsung dengan pihak Jepang sejauh mungkin. Akan tetapi, ia juga merupakan pemimpin

yang disegani oleh pemerintah Jepang. Ia sering diundang ke berbagai upacara penting yang

diadakan Jepang. Namun, ia tidak pernah menghadirinya. Untuk mencegah kemarahan dari
Jepang, ia selalu mengirimkan karangan bunga sebagai tanda hadirnya. Ia juga menentang

Jepang yang saat itu ingin mengambil alih gereja-gereja untuk dijadikan kantor pusat.

Misalnya, saat ia menyelamatkan gereja Katedral Randusari, ia mengatakan jika Jepang ingin

mengambil bangunan tersebut, maka Jepang harus memenggal kepalanya dahulu.

Saat berita proklamasi kemerdeaan Indonesia mulai menyebar hingga tiba pada

Yogyakarta dan Semarang, reaksi dari rakyat dan para pemimpinnya sangat mendukung berita

tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang segera

mengirimkan ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Sekarno dan Hatta

yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Ucapan tersebut dikirimkan pada 19 Agustus

1945. Keesokannya, Sri Sultan pun memberikan sambutannya yang dimuat pada harian Sinar

Matahari.

Akan tetapi, kembalinya Belanda dengan pasukan sekutu kembali merugikan

Indonesia. Pasukan Inggris yang mewakili sekutu tiba di Semarang pada 20 Oktober yang

menjadi pusat dari pemerintahan Vikariat Semarang pimpinan Mgr. Sugiyopranoto. Saat itu

juga, di Semarang telah terjadi Pertempuran Lima Hari yang melibatkan pemuda pejuang

Indonesia dan pasukan Jepang yang masih ada di Semarang. Oleh karena itu, Mgr.

Sugiyopranata, sebagai pemimpin wilayah tersebut, berbicata pada komandan-komandan

pasukan Inggris agar segera berusaha menghentikan pertempuran . Namun, desakan tersebut

cukup sulit dilaksanakan karena mereka belum mengenal pimpinan pasukan Jepang di

Semarang. Melihat respon itu, akhirnya Mgr. Sugiyopranoto memanggil komandan pasukan

Jepang ke pastoran Gedangan. Namun, tetap tidak membuahkan hasil. Tak menyerah, ia

kembali mendesak kedua kelompok pimpinan pasukan Inggris dan Jepang dan mendorongnya

melakukan perundingan, hingga sampailah pada usaha untuk mengehentikan tembakan yang

terealisasi pada pukul lima sore.


Masalah kekurangan pangan yang menimpa rakyat Semarang juga tak lepas dari

peranan Mgr. Sugiyopranoto. Ia mengirim utusan ke Jakarta untuk menjumpai pemerintah RI,

termasuk Perdana Menteri Sutan Syahrir dan melaporlan situasi yang dialami masyarakat

Semarang. Usahanya tersebut membuahkan hasil. Sutan Syahrir menyatakan kesediaannya

untuk memberikan bantuannya kepada rakyat Semarang dan segera akan mengatur aparat

pemerintahan yang telah ambruk. Janji Perdana Menteri Syahrir sesuai dengan permintaan

utusan Sugiyopranoto, Pak Dwijosewoyo, terdiri dari:

1. Pemerintah Pusat segera mengirimkan Mr. Wongsonegoro ke Jawa Tengah;

2. Mengirimkan beras guna menanggulangi kesulitan bahan makanan yang sedang

dihadapi oleh rakyat Semarang.

Dari Jakarta menuju Yogyakarta

Perpindahan ibukota RI ke Yogyakarta membuat para pejabat pemerintahan ikut pula

berpindah. Terkecuali Perdana Menteri Sutan Syahrir yang tidak ikut pindah karena lebih

mudah berdiplomasi dengan Belanda di Jakarta. Sementara itu, banyak penduudk Semarang

yang terpaksa meninggalkan kediamannya untuk menghindari situasi yang kurang aman di

sana. Menghadapi situasi yang tidak menentu ini, Mgr. Sugiyopranata tidak ikut pindah. Ia

berusaha bertahan dan berusaha untuk menentramkan sekitarnya. Dalam keadaan seperti itu

pula, ia mengorganisasikan para pemuda yang masih ada di Semarang untuk menjaga daerah

kediaman mereka dengan mendirikan pos-pos penjagaan.

Akan tetapi, keinginannya untuk tetap berada di Semarang tidak bertahan lama. Pada

1946 ketika ibukota RI berpindah ke Yogyakarta, ia pun ikut berpindah ke sana. Hal ini

mungkin saja disebabkan karena dengan berpindah ke pusat pemerintahan, maka ia akan

semakin mudah untuk menjalin komunikasi dengan para pemimpin negara. Kepindahannya

juga telah menyatakan pada Belanda bahwa ia berpihak pada RI, tidak pada posisi netral seperti

yang diharapkan oleh Belanda.


Pada saat terjadi Agresi Militer II, Mgr. Sugiyopranata yang tinggal di Pastoran

Bintaran berusaha membantu sebisanya. Misalnya, saat menjelang hari raya umat Kristen, yaitu

Natal, beliau menghimbau supaya perayaan natal diadakan sesederhana mungkin. Hal ini

disebabkan karena situasi serba sulit yang sedang dialami masyarakat. Pertolongan saat situasi

yang serba suilt tersebut biasanya menumbuhkan perasaan persahabatan yang dalam.

Tindakannya yang lain adalah misanya saat setelah Yogyakarta dikuasai Belanda dan

adanya blokade terhadap RI, beliau berhasil berhubungan dengan luar negeri, di antaranya

dengan Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini dimuat dalam karangannya dalam majalah

Amerika Serikat Commonwealth. Di dalamnya, ia menggambarkan situasi pendudukan yang

dilakukan Belanda. Ia juga mengatakan blokade tersebut berupa blckade pikiran. Dengan

pendudukan dan blokade yang dilakukan Belanda, maka di daerah republik sulit ditemukan

pakaian, makanan, bahkan sumbangan ideologis. Buku-buku, majalah, dan media informasi

lainnya tidak didapatkan di sana. Oleh karena itu, ia berseru pada redaksi dan pembaca

Commonwealth untuk memberi jalan supaya mengirim bahan bacaan ke RI.

Setelah Revolusi

Setelah Indonesia benar-benar merdeka, Mgr. Sugiyopranoto memutuskan untuk

kembali ke Semarang. Namun, ia tak hanya berperan sebagai tokoh yang mengurusi agama,

tetapi juga meliputi urusan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Pada tahun 1950-an,

kebangkitan komunisme melalui PKI kembali mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Ia paham

kondisi masa yang mendukung PKI, yaitu karena kemiskinan. Oleh karena itu, dari umat-umat

katolik pun berusaha mendirikan organisasi-organisasi buruh tani, nelayan, dan lainnya. Secara

kebetulan pada saat itu, wilayah Vikariat Semarang terdapat orang-orang awam Katolik yang

berhadapan dengan permasalahan sosial-ekonomi. Ia pun mendorong mereka untuk membantu

segala usaha-usahanya. Dengan demikian, pada 19 Juni 1954 berdiri organisasi buruh yaitu,

organisasi Buruh Pancasila.


Bidang pendidikan juga tidak luput dari perhatiannya. Ia mendorong berbagai kegiatan

dari organisasi-organisasi para pemuda. Ia juga berharap bahwa para pemuda dapat membentuk

watak dan pendidikan yang dilandasi oleh semangat agama dan kebangsaan. Ia mendukung

perkembangan sekolah-sekolah yang berada di sekitar wilayah Vikariat Semarang.

Dalam hal politik, ia memprakarsai Kongres Ummat Katolik Seluruh Indonesi (KUSKI

ke-1) yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 7 – 12 Desember 1949. Kongres ini juga

mendapat perhatian dari yang non-Katolik juga dari pemerintah. Hal ini terlihat pada hadirnya

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/ Perdana Menteri Moh. Hatta. Salah satu hasil dari

kongres ini adalah dibentuknya sebuah partai Katolilk untuk masyarakat Indonesia. Kemudian

pada 1950, Partai Katolik Indonesia mengdakan kongresnya yang pertama di Semarang.

Hingga akhir hayatnya, Mgr. Sugiyopranoto tetapi melakukan berbagai tindakan

kemanusiaan. Dalam pengobatannya ke Belanda, ia tidak mau merepotkan banyak orang. Saat

di Belanda, ia juga banyak mengunjungi orang-orang yang menurutnya berjasa pada Indonesia,

berkunjung pada kerabat-kerabatnya, dan lainnya. Akan tetapi, di Belanda pula ia meninggal

dunia pada 22 Juli 1963. Sebelum diterbangkan ke Indonesia, upacara penghormatan dilakukan

dahulu di Belanda. Misaa dipimpin oleh Kardinal Alfrink. Ia dimakamkan di Taman Makam

Pahlawan Nasional Giri Tunggal Semarang.

Mgr. Albertus Soegiyopranoto yang merupakan seorang Katolik, memiliki sikap patriot

dan nasionalis yang sangat tinggi. Beliau juga memiliki sikap toleransi yang kuat yang

ditunjukkan misalnya saat perayaan natal setelah Agresi Militer Belanda II. Sikap yang ia

tunjukkan ini terbentuk antara lain sejak ia masih menempuh pendidikan. Adanya kesempatan

yang terbuka lebar baginya untuk berpendidikan di Belanda membuat wawasan tentang

negerinya semakin terbuka lebar. Kesadarannya akan kondisi masyarakat Indonesia,

khususnya Semarang yang terlihat memprihatinkan mendorongnya untuk berbuat sesuatu.


Sebagai seorang pemimpin, ia juga memanfaatkan koneksi-koneksinya pada dunia luar

yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Meskipun pada umumnya definisi dari kata

“Pahlawan” identik dengan perjuangan melalui jalur militer, yang berperang hingga

menumpahkan darah, tetapi peran Mgr. Albertus Soegiyopranoto juga tidak kalah penting.

Beliau berusaha membantu RI dibelakang layar. Salah satu jasanya terhadap RI adalah

hubungan diplomasi dengan Negara Vatikan yang menjadi salah satu dari negara-negara Eropa

yang mengakui kedaulatan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, sikap seorang pemimpin dan kemanusiaannya masih tetap

ia jalani. Beliau ikut berkontribusi untuk memajukan bangsa Indonesia, misalnya dalam bidang

politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang memang sebelumnya telah ia lakukan. Sebagai

seorang pemimpin agama, perannya yang cukup penting di dunia perpolitikan banyak dikritik.

Akan tetapi hal tersebut tidak memundurkan niatnya, karena ia berpendapat bahwa sebagai

warga negara sudah seharusnya ikut berkontribusi pada negara.

Jasa-jasanya bahkan banyak diabadikan baik dalam tulisan berupa artikel dan buku,

juga diabadikan dalam film berjudul Soegija yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Catatan-

catatan semasa hidupnya pun ditulis kembali menjadi sebuah buku yang dapat dibaca dan

menggambarkan berbagai situasi yang ia hadapi semasa hidupnya.

“Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan

bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan keluarga besar.

Satu keluarga besar, di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau

kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga kebencian dan

permusuhan” -Mgr. A. Soegijapranata (1896-1963).


DAFTAR SUMBER:

Gonggong, Anhar. 1982. Mgr. Albertus Sugiyopranoto. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi

Sejarah Nasional Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional.

Subanar, Budi G. 2012. Soegija: Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Yogyakarta:

Penerbit Galangpress

Subanar, Budi G. 2012. Kilasan Kisah Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Jakarta: KPG (Kepustakaan

Populer Gramedia) bekerjasama dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Kristianingrum, Maria Desi. 2013. Konstruksi Sosok Perjuangan Mgr. Albertus

Soegijapranata, S.J dalam Film Soegija. The Messenger, Volume V, Nomor 2, Edisi Juli

2013.

Matanasi, Petrik. 2018. Romo Soegija: Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia

dalam https://tirto.id/romo-soegija-seratus-persen-katolik-seratus-persen-indonesia-

cPCa diakses pada 05 Desember 2021 pukul 10.53 WIB.

Anda mungkin juga menyukai