Anda di halaman 1dari 3

Mgr.

Albertus Soegijapranata

Latar Belakang Kehidupan Soegija

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (dieja


Sugiyopranoto) dilahirkan di Soerakarta, Jawa
Tengah pada 25 November 1896. Ia meninggal pada
22 Juli 1963 di Steyl, Venlo, Belanda pada umur 66
tahun. Ia adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang
kemudian menjadi Uskup Agung Semarang serta
menjadi Uskup pribumi yang pertama di Indonesia.
Perannya dalam hal kemanusiaan di masa penjajahan
Belanda dan Jepang sangatlah besar. Beliau
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal
di Semarang sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir


di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi
dalem keraton Kasunanan Surakarta. Belajar di
Kolese Xaverius yang didirikan oleh
Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith, SJ. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di
Muntilan oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari
pendidikan yang didapat di sinilah kemudian ia terpanggil untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim
ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/ Ordo Sanctae Crucis (OSC)
di Uden, propinsi Noord-Brabant (Brabant Utara), di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani.
Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok - Muntok - Belawan - Sabang - Singapore -
Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam. Ia kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal,
Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris
Apostolik Batavia.

Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926
Belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di
Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di
Maastricht. Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr.
Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastricht. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi
Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki
Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke
Paroki Bintaran sampai tahun 1940.

Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram
dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert
Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete
without bulls" dan ditanda tangani oleh Mgr. Montini, yang kelak menjadi Paus Paulus VI. Setelah
menerima penyampaian telegram dari Roma melalui Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia,
lalu Soegijapranata pun menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction". Pada 6
November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris
Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE
Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris
Apostolik Palembang). Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa
pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat
berjalan terus.

Nilai Kehidupan Film Soegija

Film Soegija lebih menonjolkan aspek kemanusiaan yang universal dibanding aspek agama.
Film ini menceritakan tentang peranan dari Uskup pribumi pertama di Indonesia (Hindia-Belanda)
pada masa penjajahan. Beliau bernama Monsinyur Albertus Soegijapranata SJ, diceritakan sejak
ia ditahbiskan hingga berakhirnya perang kemerdekaan Indonesia (1940 – 1949). Film ini
menyajikan satu dasawarsa penuh perjuangan yang ditandai dengan akhir penjajahan Belanda,
masuk dan dimulainya masa pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan RI, dan kembalinya
Belanda yang bermaksud mengambil kembali Indonesia sehingga memulai perang kemerdekaan
Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut dituangkan Soegija dalam renungan-renungan catatan
hariannya bahkan terkadang beliau menulis tulisan-tulisan tersebut sambil berlinang air mata. Dia
mencoba berperan di semua tingkat dalam meringankan beban penderitaan rakyat di tengah
kekacauan perang, baik politik lokal, nasional dan internasional. Atas peran sertanya,
Presiden Soekarno memberikan penghargaan kepada beliau dengan gelar Pahlawan Nasional.

Dalam perjuangannya, Soegija berusaha untuk mengurangi penderitaan rakyat Indonesia


dengan segala yang dimilikinya saat itu. Beliau menerapkan Silent Diplomacy dengan menggunakan
kekuatan diplomasi Internasional, khususnya hubungan diplomatik dengan Vatikan. Hal ini terlihat
pada adegan di mana Soegija memanfaatkan hubungan diplomatik Jepang dan Vatikan supaya
Suzuki tidak memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Ia berkata dengan penuh keberanian,
"Penggal dulu kepala saya, baru kamu bisa pakai tempat ini."

Setelah Suzuki meninggalkan gereja, Koster Toegimin kemudian muncul dari belakang.
"Apa yang harus kita perbuat," tanya pelayan yang setiap hari membantu Soegija menjalankan
tugasnya sebagai uskup. Soegija tertegun sejenak mendengarkan pertanyaan Toegimin. "Ada
saatnya kita tidak bisa berbuat apa-apa," jawabnya singkat.
Sejak saat itu, Romo Soegija mengawali kiprahnya dalam memperjuangankan kemerdekaan
Indonesia dari tangan penjajah ketika merasa tidak berdaya melawan ketidakadilan. Ia hanya
meluapkan kegelisahannya dengan menulis di buku harian. Air matanya berlinang.
Ketidakberdayaan itulah menjadi titik tolak Soegija untuk bertindak. Di tengah kekacauan, ia
memandu religiusitas dari masyarakat dalam perspektif semangat nasionalisme yang lebih
mengutamakan kemanusiaan. Ia berupaya melakukan perundingan damai yang melibatkan sekutu,
Belanda, dan Jepang, dengan menginisiasi gencatan senjata di tengah perang 5 hari di Semarang.
Ia juga melakukan hubungan surat-menyurat dan pertemuan bersama pemimpin dan pejuang
Indonesia seperti Syahrir, Soekarno, Sultan Hamengku Buwono IX, dan pejuang lainnya untuk
merencanakan pergerakan menuju Indonesia merdeka. Soegija mendukung pengorganisasian
kepemudaan dan terus melakukan pelayanan sosial dengan mengunjungi warga di rumah sakit dan
pengungsian.
Sutradara Garin Nugroho membuat film "Soegija" dengan pendekatan sejarah popular
yang beragam dimensi. Ia menggabungkan kisah nyata Soegijapranata dengan interpretasi kisah
lain di tengah perjuangan kemerdekaan Indonesia berdasarkan sejumlah sumber demi
memberikan gambaran kehidupan masyarakat pada masa itu.
Garin sengaja memberikan porsi cukup banyak kepada tokoh lainnya, seperti Mariyem,
remaja yang bercita-cita menjadi perawat dan kehilangan kakaknya. Dalam perjalanan hidupnya ia
diceritakan terlibat asmara dengan seorang fotografer asal Belanda.
Kemudian Ling Ling, anak kecil yang merindukan kepulangan ibunya setelah dibawa paksa
oleh tentara Jepang.
Banteng, seorang gerilyawan remaja buta hurup. Tingkahnya yang konyol memberi nuansa
humor dalam film tersebut. Lantip, gerilyawan yang belakangan melanjutkan perjuangannya
menjadi politisi.
Suzuki, tentara Jepang itu, berperang demi kehormatan negaranya. Di sisi lain, ia
ternyata mencintai anak-anak. Makanya, ia tidak tega ketika Ling Ling berusaha mempertahankan
mesin pemutar piringan hitam yang berusaha dirampas oleh temannya sesama tentara.
Kisah dari kehidupan Koster Toegimin yang hidup sendiri menjadi teman ngobrol Soegija.
Dialog di antara keduanya sangat menarik. Misalnya, saat Toegimin mengeluh kepada Soegija
bahwa dirinya tidak sempurna karena belum mempunyai istri. Secara keseluruhan kisah-kisah
mereka memperkaya film tersebut sehingga layak untuk disimak.
Banyak nilai-nilai kehidupan dan moral yang bisa kita petik dari film Soegija ini. Kita,
sebagai anak muda diajak untuk memiliki semangat seperti yang dimiliki oleh Romo Soegija. Ia
berjuang demi kehidupan bersama, lebih mementingkan orang lain yang membutuhkan uluran
tangan daripada diri sendiri. Remaja biasanya masih diselimuti dengan keegoisan dan mau menang
sendiri, itulah yang harus kita ubah. Kita juga patut mengagumi keberanian Romo Soegija yang
terang-terangan menolak penjajah dan berani berkorban demi rakyat Indonesia, seperti yang
ditunjukkan pada salah satu adegan di dalam film Soegija. Soegija bukan hanya tampil sebagai
Uskup, tetapi sebagai seorang pemimpin. Ia tidak diam saja dalam situasi kekacauan yang melanda
bangsa Indonesia. Ia bertindak sebagai patriot yang mengedepankan kemanusiaan. Ia
menunjukkan dirinya sebagai pemimpin bangsa, bukan pemimpin agama. “100% Katolik, 100%
Indonesia” adalah semangat dari Romo Soegija yang tetap menghormati dan menjalankan
kepercayaan yang dianutnya sambil memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Ia mau
berkorban demi suatu hal yang menurutnya benar. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh kita
semua sebagai anak muda yang adalah penentu masa depan untuk menciptakan dunia yang lebih
baik tentunya dengan tuntunan Allah Bapa Yang Maha Kuasa. God Bless. 

Anda mungkin juga menyukai