Anda di halaman 1dari 14

Izaak Huru Doko - Pahlawan Pendidikan Nusa Tenggara Timur

Izaak Huru Doko dilahirkan pada tgl. 20 Nopember


1913 di Sabu, Kupang, Nusa Tenggara Timur, sebuah
pulau kecil di lautan Hindia; dalam usia masih sangat
muda sudah menjadi anak yatim. Setamat sekolah dasar
didesanya ia harus meninggalkan pulau Sabu untuk
menuntut ilmu ke pulau Timor. Ia begitu giat belajar
sehingga berhasil mendapatkan bea siswa untuk
melanjutkan sekolah ke MULO di Ambon dan akhirnya
berhasil pula mendapatkan bea siswa ke HIK
bovenbouw di Bandung.
Dikota Bandung tempat ia menuntut ilmu, bersama pemuda Herman Johannes yang menjadi
mahasiswa Technische Hogeschool memimpin para pemuda/mahasiswa daerah seasalnya dalam
De Timorsche Jongeren. Disekolah ini pula ia berkenalan dengan pemuda Abdul Haris Nasution
yang menjadi adik kelasnya. Hubungan mana tetap berlanjut di waktu kemudian dimana masing-
masing melaksanakan tugas sebagai abdi negara RI.
Pada tahun 1937 Cak Doko (nama panggilan Izaak Huru Doko) menamatkan sekolahnya
dan ditempatkan sebagai guru muda pada Openbare Schakel School di kota Kupang, ibukota
keresidenan Timor. Dengan motto: “memerangi kemiskinan dan ketertinggalan melalui
pendidikan” ia banyak berhasil membimbing kader perpendidikan didaerahnya. Ia pun aktif
dalam politik dengan membentuk sekaligus menjadi ketua partai politik “Perserikatan
Kebangsaan Timor” yang berazaskan Nasionalis/Kebangsaan dengan tujuan mencapai Indonesia
merdeka.
Ketika Jepang mendarat di Pulau Timor pada tahun 1942, sekolah-sekolah ditutup dan beliau
diangkat sebagai Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) dikantor Menshebu. Selama
pendudukan Jepang, ia tetap mempelopori perjuangan Indonesia merdeka dalam surat kabar
“Timor Syuho yang diasuhnya. Dan sebagai pejabat dan jurnalis yang dapat dengan bebas
berhubungan dengan Kempetai (polisi militer Jepang), beliau mengerakkan pemuda Timor untuk
melapor dan mencegah kebrutalan tentera Jepang khususnya dalam menggagahi wanita Timor.
Bahkan ia pernah berkelahi dengan seorang tentera Jepang yang mengganggu seorang wanita.
Ia bersama H.A.Koroh (Raja Amarasi) pada th. 1944 diangkat menjadi anggota Syo Sunda
Shu Ki Yin (Dewan Perwakilan Rakyat Sunda Kecil) yang berkedudukan di Singaraja Bali.
Pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyerahkan bendera Merah Putih kepada kedua tokoh
ini, yang kemudian dikibarkan dalam suatu upacara dilapangan Oepura.
Pada waktu Jepang bertekuk lutut dan tentera Australia/sekutu mendarat di pulau Timor, Cak
Doko bersama Tom Pello mengorganisir tenaga-tenaga Nasionalis untuk menghadapi
Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) bersama kaki tangannya yang membonceng pendaratan
tentera Sekutu.
Tanggal 22 Agustus 1945, dalam sebuah rapat raksasa beliau berpidato didepan Penguasa
Jepang dan rakyat Amarasi tentang perjuangan rakyat Timor untuk memperoleh kemerdekaan,
dan pada tanggal 24 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Kota Kupang
kepada Dr. Gabeler, Tom Pello dan I.H.Doko.
Beliau kemudian mendirikan dan mengetuai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Timor
sebagai penjelmaan Perserikatan Kebangsaan Timor (PKT). Beliau turut aktif dalam
penyelesaian masalah pemulangan para Heiho dan Romusha yang umumnya didatangkan bala
tentera Jepang dari pulau Jawa.
Pada Konperensi Malino 1946 beliau menjadi Penasehat utusan daerah Timor dengan mandat
untuk memperjuangkan “zelfbeschikkingsrecht” bagi bangsa Indonesia, tetap mempertahankan
negara kesatuan RI dan menghapuskan korte verlaring dari daerah-daerah swapraja. Karena
kegigihan dan keteguhan dalam memperjuangkan aspirasi untuk merdeka dalam negara kesatuan
RI, van Mook (Gubernur Jenderal) menamakannya: “ayam jantan dari Timor” (buku: Malino
bouwt een Huis).
Pada bulan Nopember 1947 menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT).
Dalam kedudukan ini ia bertentangan pendapat dengan Tom Pello yang menolak bekerja sama
dengan Belanda dalam bentuk apapun. Dengan prinsip bahwa suatu perubahan dapat dibuat bila
kita berada dalam lingkungan itu maka jabatan tersebut diterimanya.
Kemudian ia dipilih oleh parlemen menjadi Menteri Muda Penerangan NIT. Bersama dengan
kelompok nasionalis dilingkungan NIT beliau ikut membentuk dan menjadi Pengurus Gabungan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar yang diketuai Arnold Mononutu
Beliau kemudian diangkat sebagai Menteri Penerangan NIT dengan dukungan fraksi-fraksi
Progressif yang berjuang melalui BFO agar merdeka hanya bersama RI, membantu perjuangan
RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemeintah RI ke Yogyakarta. Karena
perjuangan ini NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI.
Pada tanggal 14 Maret 1950 dalam Kabinet Anak Agung Gde Agung beliau diangkat sebagai
Menteri Pengajaran NIT dalam lingkungan RIS. Dan sering bertindak mewakili Perdana Menteri
berhubung Perdana Menteri sering meninggalkan Makasar untuk konsultsi dengan Pemerintah
RI-Yogyakarta.
Dalam rangka pembubaran Negara Indonesia Timur, beliau bertugas sebagai wakil Sekretaris
Jenderal Kementrian Pengajaran NIT dalam kabinet Likwidasi dibawah Ir. Putuhena (bekas
Menteri PUT-RI di Yogya). Beliau sempat ditahan saat APRI dibawah pimpinan Kol.
Kawilarang mendarat dan menduduki kota Makassar, tetapi kemudian dibebaskan tanpa syarat.
Beberapa jabatan penting di-ibu kota negara RI, Jakarta, ia tolak dan ingin lebih
membaktikan diri pada bidang pendidikan didaerah. Demikian pula desakan beberapa partai
politik seperti Parkindo, PNI dll yang mencalonkannya sebagai Gubernur pertama NTT, beliau
tolak dengan alasan yang sama yaitu ingin mengabdi dibidang pendidikan. Jabatan Kepala
Inspeksi Pengajaran Sunda Kecil berkedudukan di Singaraja (Bali) beliau pegang sejak 1950 s/d
1958 dan sehubungan dengan pemekaran daerah dan terbentuknya propinsi NTT ditahun 1958,
beliau diangkat menjadi Kepala Perwakilan Departemen P dan K Provinsi NTT berkedudukan di
Kupang. Jabatan ini dipangkunya sampai saat pensiun ditahun 1971, dengan pangkat Pegawai
Utama, golongan IV/D. Untuk jasanya dalam bidang pendidikan ini Pemerintah Indonesia
melalui Departemen Sosial menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan
Pendidikan.
Pada tahun 1957 beliau menjadi anggota perutusan Propinsi Sunda Kecil ke Musyawarah
Nasional I dan II dalam usaha mempersatukan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, dan dalam
tahun 1961 menjadi Anggota Front Nasional Nusa Tenggara Timur dan Anggota team
Indoktrinasi NTT. Pada Gerakan 30 September tahun 1965 oleh PKI, beliau termasuk dalam
daftar orang yang harus dilenyapkan.
Sampai dengan masa pensiunnya beliau tetap aktif dalam berbagai jabatan dibidang
Pendidikan, Gerejani dan Sosial a.l. dengan mengetuai Yayasan Pendidikan Kristen NTT
(Yupenkris), Dewan penyantun APDN, mendirikan Akademi Teologia Kupang, mendirikan
Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang; Dekan Koordinator IKIP Malang Cabang Kupang,
Anggota Presidium dan Dewan Penyantun Universitas Nusa Cendana-Kupang, Penasehat Sinode
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Ketua Palang Merah Indonesia NTT. Dalam jabatan
sebagai Ketua PMI ini dia pernah harus mundar mandir dari Kupang ke Surabaya untuk
mengantar para pengungsi dari Timor Portugis sehubungan pergolakan ditahun 1974. Untuk
pengabdian kemanusiaannya ini Palang Merah International yang berkedudukan di Swiss
memberikan Piagam Penghargaan.
Atas jasa-jasa beliau, Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 085/TK/Tahun
2006 tanggal 3 Nopember 2006 menganugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dan Gelar
Pahlawan Nasional dalam suatu upacara di Istana Negara pada tanggal 9 Nopember 2006.

Sumber : www.kabarinews.com
Bapak Pendidkan Nasional - Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh nasional pendidikan. Ia
terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei
1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun
oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan, ia
merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan
cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka
beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum
bangsawan.

Ki Hajar Dewantara merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi,


dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.


Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan
Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia,
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah
tahun emisi 1998.

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959).

Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan
kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran sakit,
sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.

Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan
Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.

Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai
organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda
Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada
waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara
mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada
tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha
mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial
Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak
pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.

Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara
semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1957, Ki
Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas Gajah Mada.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April
1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kini, nama
Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan
(Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.

Sumber : http://malahayati.ac.id
Jenderal TNI Anumerta - Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad
Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922 –
meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada
umur 43 tahun) adalah komandan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30
September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada
tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang
bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik
Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya
ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General
Belanda.Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan
dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib
militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang,
Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942.
Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah. Pada tahun 1943,
ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani
pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk
dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima
pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.
Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April 1958 (umur 35) selama "Operasi
Agustus 17 Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan
berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan, Yani
membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada kemenangan
melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil mempertahankan
Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota, mendapat julukan
"Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama periode ini adalah
serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan perhatian
Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang
diarahkan pada Yogyakarta. Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani
dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk
melawan Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah
teokrasi di Indonesia. Untuk menghadapi kelompok pemberontak ini, beliau membentuk sebuah
kelompok pasukan khusus yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani
dividen dibayar dan selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita
satu kekalahan demi satu. Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk
belajar di Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth, Texas. Kembali pada tahun
1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota
staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat
sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf
Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian. Pada bulan Agustus tahun 1958, ia
memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi,
dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2
staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November
1963 (otomatis menjadi anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.
Plak menandai tempat ketika Yani jatuh setelah ditembak oleh anggota Gerakan 30
September - mantan rumahnya sekarang menjadi museum. Perhatikan lubang peluru di pintu.
Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal 60-
an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah
partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat
angkatan bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk memaksakannya Nasakom
(Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya, Yani dan Nasution menunda-
nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965 mempersiapkan rencana
untuk mempersenjatai rakyat. Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba
untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang
mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat.
Biasanya Yani memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan
bahwa seminggu sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini
berasal dari komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama
dalam Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul
untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara
istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat. Dia
kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat seseorang
duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak berpikir apa-apa
pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda. Juga, dari sekitar jam 9
pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah pada interval, yang ketika
menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan bertanya apa waktu itu. Panggilan
terus sampai sekitar 01.00 dan Mrs Yani mengatakan dia memiliki firasat sesuatu yang salah
malam itu. Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima
seorang kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan
divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk
melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa
Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan
harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya. Ketika para penculik datang ke
rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden, ia meminta
waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika penculik menolak, dia menjadi marah,
menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya.
Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan, membunuhnya secara spontan. Tubuhnya
dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan bersama-sama dengan orang-orang dari
jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di sebuah sumur bekas. Tubuh Yani, dan orang-
orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman
kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata.
Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan
Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari
Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 umum (Indonesia:Jenderal Anumerta).
Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani
membantu membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti
itu pada Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah
itu waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dinamai Yani. Selain itu namanya
diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Achmad Yani di Semarang.
Bapak Pembangunan Nasional - Presiden RI Kedua
Pada tanggal 8 Juni 1921, H.M. Soeharto, lahir di
Kemusuk, desa Argomulyo, kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta. Soeharto kecil lebih banyak diasuh oleh kakak
perempuan ayahnya. Ayahnya sendiri, Kertosudiro sudah
bercerai dengan ibunya Soeharto, Sukirah sebelum
Soeharto berumur 40 hari.

Saat sudah memasuki usia sekolah dasar, Soeharto mulai


bersekolah di SD di Desa Puluhan, Godean. Kemudian
pindah di SD Pedes Yogyakarta dan lanjut lagi pindah ke
Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Saat di Wonogiri
Soeharto tinggal di rumah bibinya, istri dari seorang mantri
tani bernama Prawirowiharjo.

Disinilah Soeharto digembleng dengan aneka kedisiplinan. Baik dari disiplin hidup maupun
disiplin belajar di sekolah. Di keluarga bibinya ini jugalah Soeharto mendapat pendidikan agama
yang kuat. Dari pamannya Prawirowiharjo ia juga belajar tentang bertani yang baik.

Soeharto melanjutkan pendidikan nya ke SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia sengaja


memilih sekolah ini karena siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki
(sepatu). Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMP, Soeharto ingin melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi karena kemiskinan yang mendera, akhirnya ia
mengurungkan niatnya. Ia pun dengan susah payah mencari-cari lowongan pekerjaan.

Nasib baik dan menjadi titik awal karir Soeharto di militer, ketika 1 Juni 1940 ia diterima
sebagai siswa sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Ia mengikuti selama pendidikan
selama 6 bulan dan menjadi lulusan terbaik. Ia lulus dengan pangkat kopral.

Pada tahun 1942, Soeharto mulai menapaki kariernya di dunia militer. Bergabung dengan tentara
KNIL dengan pangkat Sersan. Sedangkan di PETA ia menjadi komandan resimen dengan
pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.

Pada tanggal 26 Desember 1947, Letkol Soeharto mempersunting Siti Hartinah . Perkawianan
mereka dilangsungkan di Solo. Mereka dikaruniai enam orang anak : Siti Hardiyanti Hastuti,
Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti
Hutami Endang Adiningsih.

Pada 1 Maret 1949, TNI ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka masih kuat. Setelah
meminta persetujuan Sri Sultan Hamangkubuwono IX, Brigade X pimpinan Letkol Soeharto
melakukan Serangan Umum ke Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota RI.

Dia mendapatkan pangkat kolonel pada Januari 1957 saat ia menjabat Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1960, pangkatnya menjadi brigadir jenderal.
Sedangkan pangkat mayor jenderal didapatkan pada 1 Januari 1962.
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib
oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret
dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta
mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS,
Maret 1967, menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI
Kedua, Maret 1968. Beliau berkuasa selama 32 tahun.

Tanggal 21 Mei 1998 mungkin peristiwa yang paling bersejarah bagi mahasiswa pada saat itu
tapi menjadi peristiwa yang menyedihkan untuk H.M. Soeharto. Berkuasa sebagai Presiden RI
kedua (menggantikan Ir.Soekarno) selama 32 tahun (1966 – 1998), akhirnya harus lengser. Pukul
09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan BJ. Habibie disumpah menjadi
Presiden RI ketiga.

Soeharto yang dianugerahi sebagai Bapak Pembangunan Nasional oleh MPR meninggal
meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 . Ia dimakamkan di Kompleks Astana Giribangun,
Karanganyar, Jateng, dengan upacara kemiliteran yang dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sastrawan dari NTT - Herson Gubertus Gerson Poyk
Gerson Poyk mempunyai nama lengkap Herson Gubertus
Gerson Poyk dan nama panggilan Be'a. Ia adalah seorang
pengarang yang dilahirkan di Namodale Baa, Pulau Rote,
Timor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 16 Juni 1931.
Gerson Poyk adalah seorang pemeluk agama Kristen
Protestan yang taat. Sejak masa kecil yang dilaluinya di
Flores, Gerson bercita-cita menjadi seorang pendeta atau
pastor.
Gerson adalah anak seorang pegawai negeri. Sebagai putra
seorang pegawai negeri, ia selalu mengikuti orang tuanya
yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain.
Oleh karena itu, pendidikannya terputus-putus. Di kota
Bejawe, Rote, Gerson pertama kali mengenal bangku
sekolah. Di tempat itu ia hanya sekolah sampai kelas satu
sekolah rakyat. Sewaktu orang tuanya ditugaskan ke
Manggarai, Flores Barat, ia melanjutkan pendidikannya ke
sekolah Belanda.
Setelah itu, ia melanjutkan ke Standard School. Sewaktu ayahnya pindah ke Alor, Gerson
melanjutkan ke OVO (Opleiding voor Volksonderwijzer). Setelah selesai dari OVO, ia
melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah (SGB). Ia seorang murid yang cerdas dan selalu mendapat
peringkat pertama. Oleh karena itu, ia mendapat beasiswa dari pemerintah. Gerson melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Guru Atas (SGA).

Setelah tamat dari SGA tahun 1956, Gerson mulai mengajar di SMP negeri di daerah Ternate,
Maluku. Hanya tiga tahun Gerson mengajar di Ternate. Ia pindah ke Nusa Tenggara Barat dan
mengajar di SMPN dan SGA. Di tempat ini Gerson bertemu dengan seorang gadis yang berasal
dari Rote yang bernama Agustine Antoineta Saba. Gadis itu kemudian dinikahinya pada tahun
1960. Dari perkawinan itu, Gerson dikaruniai lima orang anak.

Kariernya sebagai guru ternyata tidak dilanjutkan dan pada tahun 1962—1970 ia beralih profesi
sebagai wartawan pada harian Sinar Harapan. Sepulang dari IOWA, Amerika Serikat, Gerson
memilih menjadi wartawan free lance. Ia menyebarkan tulisannya ke berbagai media. Di bidang
jurnalistik ini Gerson mencatat prestasi yang sangat baik. Ia berhasil mendapat penghargaan
jurnalistik Adinegoro selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 1985 dan 1986. Setelah
berkiprah di bidang jurnalistik, Gerson menekuni profesinya sebagai pengarang.

Sebagai seorang pengarang, Beliau telah banyak berperan dalam memperkaya khazanah
kesusastraan Indonesia. Hasil karyanya cukup banyak dan beragam, yaitu puisi, cerpen, novel,
dan kritik esai. Tahun 1960-an dan 1970-an, ia dikenal sebagai figur pengarang yang penting.
Hal itu disebabkan oleh munculnya karya-karya Gerson yang memiliki ciri khas pada dekade ini,
yaitu berisi petualangan yang berdasarkan pengamatannya ketika mengembara. Cerpen-
cerpennya banyak diikutsertakan dalam antologi, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Cerpennya yang berjudul "Mutiara di Tengah Sawah" yang semula dimuat dalam majalah Sastra
kemudian dimasukkan ke dalam antologi sastra Indonesia yang diterbitkan di Jerman. Cerpen ini
juga dimasukkan oleh H.B. Jassin dalam bunga rampai Angkatan 66 yang diterbitkan oleh
Gunung Agung.

Menurut Gerson, ia mengarang cerita selalu berdasarkan dari apa yang pernah dialaminya.
Pengalaman-pengalamannya itu kemudian dipadukannya dengan sesuatu yang terjadi atau
diperolehnya dari lingkungan.
Tahun 1970 Gerson mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika
Serikat. Setibanya di tanah air, Gerson semakin produktif dalam menulis. Jerih payahnya dalam
menulis ternyata membuahkan hasil. Ia berhasil mendapat penghargaan sastra ASEAN dari Ratu
Sirikit, Thailand tahun 1989.

Karyanya yang pertama adalah sebuah sajak yang berjudul "Anak Karang". Sajak itu
dikirimkannya ke Mimbar Indonesia dan dimuat oleh H.B. Jassin kemudian disusul dengan
roman pendek yang berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Romannya ini melukiskan tentang
perjuangan orang-orang dan gereja Kristen dalam usaha meningkatkan taraf hidup rakyat di
daerah terpencil. Cerpennya "Oleng-Kemoleng" (Horison, Juli 1968) mendapat pujian dari
redaksi Horison untuk cerpen-cerpen yang dimuat di majalah itu tahun 1968). Cerpennya itu
bersama dengan cerpen-cerpennya yang lain kemudian dikumpulkannya menjadi sebuah
kumpulan cerpen yang berjudul Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk
diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende-Flores tahun 1974.

Novel Gerson yang berjudul Sang Guru yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 1973 paling
tepat digolongkan ke dalam kelompok novel-novel daerah (Teeuw, 1989:185). Novel ini berlatar
di daerah Ternate dan berkisah tentang kehidupan terutama para guru di pulau itu.

Karya-karya Gerson yang lain adalah Tiga Resital Kecil, Mutiara, Hari-Hari Pertama (novel,
1968), Matias Akankari (kumpulan cerpen, 1971), Nostalgia Nusatenggara (kumpulan cerpen,
1976), Jerat (kumpulan cerpen, 1978), Cumbuan Sabana (novel, 1979), Seutas Benang Cinta
(novel, 1982), Giring-Giring (novel, 1982), Di Bawah Matahari Bali (kumpulan cerpen, 1982),
Requiem untuk Seorang Perempuan (novel, 1983), Anak Karang (kumpulan cerpen, 1985), Doa
Perkabungan (novel, 1987), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (novel, 1988), dan Poti Wolo
(novel, 1988).
Tokoh Emansipasi Wanita - Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota
Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan
yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari
Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah
ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit
sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil
sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi
tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk
menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-
buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang
kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani
Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk
surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang
dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul
keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus
mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan
tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca
dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama
ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di
negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh
orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah
Rembang. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang,
atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Ketenarannya tidak
membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak
membedakan antara yang miskin dan kaya.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25
tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.. Berkat kegigihannya
Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan
kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di
Eropa. Buku itu diberi judul "DOOR DUISTERNIS TOT LICHT" yang artinya "Habis Gelap
Terbitlah Terang".

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau
berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20,
wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum
diijinkan untuk memperoleh pendidikan yangtinggi seperti pria bahkan belum diijinkan
menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan
sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan
saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita
Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan
kurang baik itu. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan.
Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing.
Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia
lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih
hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara
dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya
seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja
melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia
telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas
pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir
nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama
pahlawan wanita kita seperti Cut Nya' Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi
Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka
berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh,
Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada
zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat
senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka
semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan
teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita
dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan
dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu.
Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu
diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah
menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era
globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Anda mungkin juga menyukai