Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN PANCASILA

”BIOGRAFI TOKOH NASIONAL”

Dosen Pengampu: Ibu Dini Handayani, S.Pd., M.H.

DISUSUN OLEH :

Nama : Yohana Caroline


NIM : 181011500038
Kelas : 01PPKM001 / V. 431

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG

PAMULANG
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah
memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan makalah biografi ini.

Makalah biografi ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pendidikan
Pancasila yang diampu oleh Ibu Dini Handayani, S.Pd., M.H, sekaligus menjadi syarat untuk
mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).

Keberhasilan penulisan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan,
bantuan, arahan, dan sumber dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Dini Handayani, S.Pd., M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila dan terima kasih juga untuk kawan-
kawan yang senantiasa menemani dan mendukung proses pembuatan makalah biografi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan makalah
biografi ini. Penulis juga berharap semoga makalah biografi ini dapat bermanfaat untuk
perkembangan ilmu dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila di masa yang akan datang.

Pamulang, 26 November 2018

Yohana Caroline

ii
DAFTAR ISI

• Biografi “W. R. Soepratman” ………………………………………. 1

• Biografi “Ismail Marzuki” ………………………………..……….... 4

• Biografi “Sudhartono” ………..…………………………………….. 7

• Biografi “Sultan Hamid” ……….……….……………....…………. 10

Cover ………………………………………………………………. i

Kata Pengantar ………………………………….…………………... ii

Daftar Isi ……………………………....……………………………. iii

Sumber/Daftar Pustaka ………………………..……………………. iv

iii
BIOGRAFI “W. R. SOEPRATMAN”

Nama : Wage Rudolf Soepratman


Lahir : Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903
Wafat : Surabaya, 17 Agustus 1938
Kebangsaan : Indonesia
Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Orang Tua : Djoemeno Senen Sastrosoehardjo (Ayah), Siti Senen (Ibu)
Saudara Kandung : Roekijem Soepratijah, Roekinah Soepratirah, Rebo, Gijem
Soepratinah, Aminah, Ngadini Soepratini, Slamet, Sarah.

A. Asal Usul Nama “Wage Rudolf Soepratman”


Wage Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan
Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara
KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger – Tentara Kerajaan Belanda), sedangkan
ibunya berasal dari desa Trembelang, wilayah desa Somongari, Purworejo, Jawa Tengah.
“Wage Soepratman” adalah nama aslinya, sedang “Rudolf” adalah nama yang
diberikan oleh kakak iparnya. la dilahirkan pada hari Jumat Wage, tanggal 05 Maret 1903.
Itulah sebabnya ia diberi nama ”Wage Supratman.” Ia dilahirkan di desa kelahiran ibunya,
Trembelang, Somongari, Purworejo.
Wage Soepratman menghabiskan masa kanak-kanaknya di tempat tugas ayahnya,
yakni di Jatinegara, Jakarta. Di sana ia sempat bersekolah di Taman Kanak-kanak (Frobel
School). Pada tahun 1910, ayahnya pensiun dan pindah ke Cimahi, Jawa Barat. Di tempat
baru itu, Wage Soepratman bersekolah di SD Budi Oetomo dan diterima di kelas dua. Ia
1
termasuk anak yang cerdas. Di Cimahi, ibunya sakit-sakitan dan pada tahun 1912
meninggal dunia. Waktu itu Soepratman baru berumur sembilan tahun.
Setelah ibunya meninggal, Wage Soepratman diasuh oleh kakak perempuan
sulungnya, Roekijem, yang telah menjadi isteri seorang Belanda (serdadu KNIL) bernama
W. M. Van Eldik, yang tinggal di Jakarta. Pada tahun 1914, W. M. Van Eldik dipindahkan
ke Makasar (Ujung Pandang). Di Makassar, Wage Soepratman dimasukkan ke
Europeesche Lagere School (ELS – SD berbahasa Belanda), yaitu sebuah sekolah yang
hanya diperuntukan bagi anak-anak Belanda dan pegawai tinggi pemerintah Hindia
Belanda. Ia dapat diterima karena diaku sebagai anak keluarga W. M. Van Eldik. Pada
waktu itulah namanya diberi tambahan nama Belanda ”Rudolf.” Namun pada akhirnya
diketahui bahwa Wage Soepratman bukanlah anak W. M. Van Eldik. Oleh karena itu ia
dikeluarkan dari ELS, lalu disekolahkan di Sekolah Melayu.

B. Kehidupan Pribadi W. R. Soepratman

W. R. Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam, lalu ia melanjutkan


pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur 20 tahun, ia
menjadi guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian ia mendapatkan ijazah Klein
Ambtenaar.
Dalam beberapa waktu yang lama, W. R. Soepratman bekerja di sebuah perusahaan
dagang. Kemudian, Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem
Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di
Jakarta.
Pada waktu itu, W. R. Soepratman mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan
banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Dalam bukunya yang berjudul ”Perawan
Desa”, ia menuangkan rasa tidak senang dengan penjajahan, namun kemudian buku itu
disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
W. R. Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (Ibukota Kabupaten Wajo –
merupakan salah satu kota kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Tidak lama
kemudian, ia meminta berhenti lalu pulang ke Makassar.
Kakak sulungnya, yaitu Roekijem, sangat senang terhadap sandiwara dan musik.
Roekijem juga gemar bermain biola. Kegemaran yang dimiliki sang kakak membuat
Soepratman juga gemar bermain musik dan membaca buku musik. W. R. Soepratman
tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.

2
C. Menciptakan Lagu “Indonesia Raya”
Saat tinggal di Makassar, W. R. Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik
dari kakak iparnya. W. R. Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu.
Saat tinggal di Jakarta, ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis
karangan tersebut menantang para ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu
kebangsaan. W. R. Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada
tahun 1924, terciptalah lagu “Indonesia Raya” di mana saat itu ia baru berumur 21 tahun
dan berada di Bandung.
Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta (28 Oktober 1928), W. R.
Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan umum dan
semua orang yang hadir terpukau mendengarkannya. Lagu “Indonesia Raya” kemudian
dengan cepat menjadi terkenal. Apabila ada partai yang mengadakan kongres, maka lagu
tersebut selalu dinyanyikan. Lagu ”Indonesia Raya” merupakan perwujudan rasa
persatuan dan keinginan untuk merdeka.

D. Wafatnya W. R. Soepratman
Karena menciptakan lagu ”Indonesia Raya”, W. R. Soepratman menjadi buronan
polisi Hindia Belanda, sehingga ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang
berjudul “Matahari Terbit”, pada awal Agustus 1938, W. R. Soepratman ditangkap saat
sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para pandu di NIROM (Nederlandsch-Indische
Radio Omroep Maatschappij), Jln Embong Malang, Surabaya. Lalu ia ditahan di penjara
Kalisosok, Surabaya. W. R. Soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena
sakit.
Setelah merdeka, lagu ”Indonesia Raya” ciptaan W. R. Soepratman ditetapkan
sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Namun sayangnya, sang pencipta tidak dapat
merasakan kemerdekaan tersebut.

3
BIOGRAFI ”ISMAIL MARZUKI”

Nama : Ismail Marzuki


Lahir : Jakarta, 11 Mei 1914
Wafat : Jakarta, 25 Mei 1958
Orang Tua : Marzuki (ayah), Solechah (ibu)
Istri : Eulis Zuraidah
Anak : Rachmi Aziah
Gelar : Pahlawan Nasional

A. Kehidupan Masa Kecil


Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914. Ismail Marzuki lebih
dikenal dengan panggilan “Ma’ing.” Ia merupakan anak dari keluarga keturunan Betawi. Ismail
Marzuki dikenal memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun
mengagumkan. Dalam biografi Ismail Marzuki, ia terkenal sebagai pemuda yang
berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis.
Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir
dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO.
Ayahnya dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang
bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh jika kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-
lagu.

4
Orang tua Ismail Marzuki, yakni Marzuki dan Solechah termasuk golongan masyarakat
Betawi intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil “Ma’ing”, sejak kecil
sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik.

B. Pendidikan Ismail Marzuki


Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon
yang populer disebut “Mesin ngomong” oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Ismail Marzuki
disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng.
Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa kuatir
jika nantinya ia bersifat kebelanda-belandaan. Oleh sebab itu Ismail Marzuki dipindahkan ke
Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Ketika beranjak dewasa, ia dibelikan ayahnya alat
musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas, Ismail Marzuki diberi hadiah harmonika, mandolin,
dan gitar. Setelah lulus Madrasah, ia masuk ke Sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs – Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia) dan
membentuk grup musik sendiri. Di sana ia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan
lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ismail Marzuki bekerja di Socony Service Station sebagai kasir
dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun,
pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya. Kemudian ia pindah pekerjaan
dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan
Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda), Jakarta.

C. Terjun Ke Dunia Musik


Penghasilannya ditentukan pada jumlah piringan hitam yang ia jual. Rupanya, pekerjaan
ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karir berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ismail Marzuki banyak berkenalan dengan
artis pentas, film, musik dan penyanyi seperti Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua
Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ismail Marzuki memasuki perkumpulan orkes musik ”Lief
Jawa” sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.

D. Menciptakan Lagu Perjuangan


Saat itu Ismail Marzuki mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan.
Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti, “Kalau Melati Mekar
5
Setangkai”, “Kembang Rampai dari Bali”, dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah
pada bentuk seriosa.
Dalam biografi Ismail Marzuki diketahui bahwa pada periode 1943-1944, Ismail Marzuki
menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain “Rayuan Pulau
Kelapa”, “Bisikan Tanah Air”, “Gagah Perwira”, dan “Indonesia Tanah Pusaka.”
Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu
melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ismail Marzuki sempat
diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Perjuangan Ismail Marzuki
selanjutnya pada 1945 menciptakan lagu “Selamat Jalan Pahlawan Muda.”
Setelah Perang Dunia II, lagu ciptaan Ismail marzuki terus mengalir, antara lain “Jauh di
Mata di Hati Jangan” (1947) dan “Halo-halo Bandung” (1948). Ketika itu Ismail Marzuki dan
istrinya pindah ke Bandung karena rumah mereka di Jakarta terkena hantaman peluru mortir.

E. Ismail Marzuki Wafat


Hingga Ismail Marzuki, komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25
Mei 1958, peran Ismail Marzuki terhadap sejarah musik Indonesia sangat vital, khususnya
lagu-lagu perjuangan yang ia ciptakan.
Jasa Ismail Marzuki tersebut membuat pemerintah menganugerahkan gelar ”Pahlawan
Nasional Indonesia” pada tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Ismail
Marzuki bahkan diabadikan ke dalam tempat pusat kesenian dan kebudayaan yang bernama
Taman Ismail Marzuki.

6
BIOGRAFI ”SUDHARNOTO”

Nama : Prohar Sudharnoto


Lahir : Kendal, 24 Oktober 1925
Wafat : 11 Januari 2000
Orang Tua : Mangkunegara VII (Ayah)

A. Riwayat Hidup Ringkas


Sudharnoto belajar di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran (hanya sampai tingkat 2).
Ia memiliki ayah yang adalah seorang dokter pribadi, Mangkunegara VII di Sala. Ia gemar
bermain gitar, suling, dan biola, sedangkan ibunya mahir bermain akordeon (alat musik
sejenis organ – dimainkan dengan cara digantungkan di badan). Ia belajar pada sejumlah
seniman, seperti Jos Cleber, Daljono, Soetedjo, dan R.A.J. Soedjasmin. Bersama orkes
”Hawaiian Indonesia Muda” pimpinan Maladi, ia ikut mengisi siaran RRI (Radio Republik
Indonesia) Sala.
Sejak tahun 1952 ia bekerja di RRI Jakarta, bahkan hingga menjabat sebagai kepala Seksi
Musik dan pengisi acara tetap ”Hammond Organ Sudharnoto.” Selain menciptakan lagu Mars
Pancasila (Sekarang dikenal dengan Garuda Pancasila), Sudharnoto juga sebagai salah satu
pendiri ”Ansamber Gembira” yang selanjutnya diubah menjadi kelompok penyanyi Istana
Negara. Masa gemilang Sudharnoto memang berada pada puncaknya ketika masa duo terhebat,
Soekarno – Hatta. Ketika itu Sudharnoto menjadi salah satu komponis besar. LEKRA

7
(Lembaga Kesenian Rakyat) juga masih dianggap normal saja. Sayangnya, setelah masa
kepresidenan Soekarno habis dan digantikan dengan Presiden Soeharto, komunis dianggap
telah memasuki LEKRA. Hal itu membuat LEKRA dituduh menjadi antek PKI. Hal tersebutlah
yang membuat Sudharnoto dan banyak pencipta lagu dan seniman lainnya dimasukkan ke
dalam penjara sebagai tahanan politik di Lapas Salemba.
Walaupun akhirnya orang-orang sangat membenci PKI dan LEKRA, akan tetapi banyak
karya LEKRA yang tetap dipertahankan dan dijadikan sebagai seni budaya kebangsaan.
Contohnya saja lagu kebangsaan Indonesia karangan Sudharnoto, Garuda Pancasila.
Setelah ditahan, Sudharnoto tetap menjadi seniman dan aktif dalam dunia perfilman
sebagai ilustrator. Walaupun ketika bebas dari tahanan, demi sesuap nasi, Sudharnoto banting
stir menjadi penyalur es di pabrik es, Petojo. Setelah itu ia juga menjadi supir taksi dan menjadi
pianis di restoran LCC dan Shangrilla.

B. Ilustrasi Musiknya untuk Beberapa Film


• Juara Sepatu Roda
• Notaris Sulami
• Baja Membara
• Sayem
• Di Ambang Fajar
• Koboi Cilik
• Anak Emas
• Cintaku Tergadai
• Kabut Sutra Ungu (Memenangkan piala citra tahun 1980)

C. Musik Rekaman yang Diselesaikan


• Musik Nostalgia Mengenang Ismail Marzuki
• Hidup Indonesia.

D. Lagu Ciptaan
• Bunga Sakura
• Mars Teruna Bangsa
• Keroncong Kewajiban Pemuda
• Panta Selatan

8
• Gadis Gunung
• Harum Bunga di Waktu Malam
• Asmara Dewi
• Senja Buta
• Melati Pagi
• Asia-Afrika Bersatu
• Maju Sukarelawan
• Garuda Pancasila (diubah tahun 1956)

9
BIOGRAFI ”SULTAN HAMID”

Nama : Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie


Masa kekuasaan : 1945 – 1978
Lahir : Pontianak, Kesultanan Pontianak, Hindia Belanda, 12 Juli 1913
Wafat : Jakarta, Indonesia, 30 Maret 1978
Pendahulu : Sultan Syarif Thaha
Pengganti : Sultan Syarif Abubakar
Wangsa : Wangsa Al-Qadrie
Ayah : Sultan Syarif Muhammad
Pasangan : Didie Van Delden
Anak : Syarifah Zahra Al-Qadrie & Syarif Yusuf Al-Qadrie
Agama : Islam

A. Riwayat Singkat
Sultan Hamid II dinobatkan menjadi Sultan Ke-VII Kesultanan Pontianak pada 29
Oktober 1945. Dari pernikahan dengan Didie Van Delden, seorang
perempuan Belanda kelahiran Surabaya, Sultan Hamid II memiliki dua orang anak. Seorang
anak wanita bernama Syarifah Zahra Al-Qadrie dan seorang anak laki-laki bernama Syarif
Yusuf Al-Qadrie.

10
Sultan Hamid II lahir di Pontianak, 12 Juli 1913, bertepatan dengan 7 Sya’ban 1331 H.
Ayahnya bernama Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie, Sultan Ke-VI, dan Ibunya bernama
Syecha Jamilah Syarwani. Sultan Hamid II mulai belajar dari Sekolah Rendah Pertama
di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.
Setelah tamat sekolah, pada tahun 1932 ia melanjutkan pendidikannya pada tingkat Perguruan
Tinggi di Technische Hooge School (THS), yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung
(ITB). Karena lebih tertarik pada dunia militer, Sultan Hamid II kemudian masuk ke Akademi
Militer di Belanda. Pada tahun 1933, Sultan Hamid II berhasil lulus dari Koninklijke Militaire
Academie (KMA) di Breda, Belanda, yang di tempuh sejak 1933 sampai 1938.
Pada 1938, Sultan Hamid II dilantik sebagai Perwira pada Koninklijke Nederlandsche
Indische Leger (KNIL – Kesatuan Tentara Hindia Belanda), dengan pangkat Letnan Dua.
Dalam karir Militer, Sultan Hamid II ditugaskan di Malang, Bandung, Balikpapan, dan
beberapa tempat lainnya. Ia sempat pula berperang melawan tentara Jepang di Balikpapan pada
1941. Kemudian pada 1942 hingga 1945, Sultan Hamid II sebagai Perwira KNIL ditangkap
dan menjadi tawanan Jepang. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia kedua, Sultan Hamid
II yang merupakan seorang Perwira KNIL mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal
dalam Angkatan Darat Belanda di usia 33 tahun pada tahun 1946. Sebagai informasi, itu adalah
pangkat tertinggi dalam karir militer seorang putera bangsa Indonesia yang lulusan akademi
militer pada waktu itu.
Dalam kancah politik nasional, Sultan Hamid II adalah tokoh kontroversial dengan
gagasan Negara Federalis (Negara Serikat). Prinsip itulah yang kemudian membuatnya
berbenturan dengan kaum Unitaris (Para penganut paham negara kesatuan yang menginginkan
adanya dominasi atau sentralisasi kekuasaan). Sedangkan di sisi lain, muncul paradoks sistem
negara seperti pada Sila ke-3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan
“Kesatuan Indonesia” (Unitarisme). Sultan Hamid II dalam masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia menganggap bahwa negara federal lebih realistis dalam mewujudkan makna
keadilan dan kesejahteran sebagaimana Pembukaan UUD 1945. Sultan Hamid II melihat
bahwa sistem federasi lebih dapat menjawab berbagai macam persoalan internal negara yang
baru berdiri itu.
Gagasan Sultan Hamid II salah dipahami, bahkan ia dianggap sebagai ‘pengkhianat’
dengan sikap dan pemikiran yang lebih moderat terhadap bangsa asing. Dan dinamika sikap
dan pemikiran Sultan Hamid II yang begitu kontroversial itu masih terasa sampai hari ini.
Terlepas dari itu semua, peran Sultan Hamid II dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak
mungkin dihapus dari sejarah. Ia adalah seorang founding fathers dari Kalimantan Barat yang
11
berperan penting dalam menentukan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Pemersatu
Bangsa Indonesia bersama Tan Malaka, Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ida Anak Agung Gde
Agung, Moh. Yamin, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya
pada masa transisi kemerdekaan. Mereka berperan penting dalam menentukan arah langkah
Indonesia.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa transisi berdirinya Indonesia banyak
menuai konflik pemikiran dalam menggagas bentuk negara. Perbedaan pemikiran tersebut
kemudian berlanjut dengan tajam dan dibawa ke arena politik praktis, yang tentu saja memiliki
konsekuensi politis. Dan akhirnya kelompok yang menang ke tampuk kekuasaan dengan
mudah mengeluarkan kebijakan politik maupun kebijakan hukum terhadap lawan politik yang
tidak sepaham. Dan Sultan Hamid II, seorang founding fathers asal Pontianak, Kalimantan
Barat harus menerima konsekuensi logis itu. Ia terbuang dari bangunan sejarah Indonesia.
Dulu, namanya terdengar seantero dunia, hari ini sangat sedikit yang mengenalnya.

12
DAFTAR PUSTAKA / SUMBER

• https://pahlawancenter.com/wage-rudolf-soepratman/
• https://www.biografiku.com/biografi-ismail-marzuki-sang-maestro/
• http://portal-geografi.kabel.web.id/id3/1077-962/Sudharnoto_226074_portal-
geografi-kabelngetesumum.html
• http://moeclazh.blogspot.com/2013/11/sepanjang-orangindonesia-siapa-tak.html
• https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Hamid_II_dari_Pontianak

iv

Anda mungkin juga menyukai