Anda di halaman 1dari 10

ALBERTUS SOEGIJAPRANATA Mgr.

Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyaprana ta; lahir 25 November 1896 meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih diken al dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian men jadi uskup agung. Ia merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karen a pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indo nesia". Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia-Belanda, oleh seorang abdi dalem dan ist rinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kec il, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Y esuit di Muntilan. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan di baptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 191 5 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua t ahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 191 9. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua t ahun di Grave; ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembal i ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di bela kang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia-Belanda u ntuk menjadi pastor. Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessch e di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha unt uk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlun ya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata di konsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang b aru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasi kan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang mendu duki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu bany ak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendamp ingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri. Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari d an menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk mengh adapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama r evolusi nasional Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Ti dak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali k e Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme da n berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberap a faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, sa at Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapra nata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Ia meninggal pada ta hun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik m aupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, d an pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi j udul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universita s di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.

Daftar isi 1 2 3 4 5 Kehidupan awal Kolese Xaverius Jalan menuju kepastoran Menjadi pastor Vikar apostolik 5.1 Pendudukan Jepang 5.2 Revolusi Nasional 5.3 Pasca-revolusi Uskup Agung Semarang dan kematian Warisan Keterangan Rujukan

6 7 8 9

Kehidupan awal Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang abdi dalem di Susuhunan Surakarta, dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga M uslim abangan, dan kakek Soegija, Soepa, seorang kyai.[2][3][4] Namanya Soegija diambil dari kata sugih dalam bahasa Jawa, yang berarti "kaya".[5] Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, Yogyakarta. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk Sultan Hamengkubuwono VII, sementara istrinya merupakan pedagang ikan;[2] keluarga Soegija miskin, dan seri ng kurang makan.[6] Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain sep ak bola, dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.[7] Saat masih kecil, Soeg ija berpuasa bersama ayahnya, sesuai hukum Islam.[5] Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kra ton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu s ekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat Pakualaman. Pada tahun ketiga ia mulai me nempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.[8] Di luar s ekolah ia belajar gamelan dan menembang bersama orang tuanya.[2] Sekitar tahun 1 909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekola h Yesuit di Muntilan, 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka mere stui.[9] Kolese Xaverius Pada tahun 1909 Soegija mulai belajar di Kolese Xaverius di Muntilan, sebuah sek olah asrama untuk calon guru.[10][11] Ada 54 siswa lain dalam angkatannya. Anakanak itu menjalani jadwal yang ketat. Mereka mengikuti pelajaran di pagi hari da n mengisi siang hari dengan kegiatan lain, seperti berkebun, berdebat, dan berma in catur. Anak-anak Katolik juga diwajibkan untuk rajin berdoa.[12] Biarpun kole se itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya; oleh karena itu, sering terjadi perkelahian. Saat Soegija m engeluh kepada gurunya, Pr. L. van Rijckevorsel, bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevors el memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekan Soegija.[10] Albertus Magnus, seorang santo dari abad ke-13; nama baptis Soegija didasarkan n ama Albertus Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik; menu rut dia, ini agar ia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurun ya, Pr. Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum ia b isa bergabung; biarpun orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan meng

ikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal Tritunggal, dan meminta ke terangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya Thomas Aquinas, semen tara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya Agustinus dari Hippo; Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.[13] Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar dibaptis; ia mengutip cerita Kristus dan Para Dokter untuk menunjukkan men gapa ia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; ia mengambil nama baptis Alb ertus,[13] berdasarkan nama Albertus Magnus.[14] Saat liburan Natal, Soegija men ceritakan hal ini kepada keluarganya. Biarpun ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,[lower-alpha 1] keluarga besar Soegija tidak mau beruru san dengannya lagi.[15] Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pr. G. Budi Subanar, seorang dosen ilmu teologi di Universitas Sanata Dharma, dalam periode ini sala h satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari Sepuluh Perintah Allah dengan peng ertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melai nkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian nasionalis kepada para siswa. [16] Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris Kapusin yang sec ara fisik jauh berbeda dari para guru Jesuit membuat Soegija mempertimbangkan untu k menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.[17] Pada ta hun 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di s ana selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di seminari Xaverius; ada dua an ak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada tahun 1919, se telah mempelajari bahasa Perancis, Latin, Yunani, dan sastra.[18] Jalan menuju kepastoran Soegija menyelesaikan periode novisiat di Marindaal, di Grave, Belanda. Pada tahun 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke Uden, Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari Tanjung Priok di Batavia. Di Uden Soegi ja menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia-Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga har us beradaptasi dengan budaya Belanda.[19] Pada tanggal 27 September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya b aru mulai pada tahun berikutnya.[20] Selama menjalani novisiatnya di Marindaal di Grave, Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi . Ia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan patut.[20] Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Marindaa l sebagai yuniorat. Mulai pada tahun 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchman n di Oudenbosch.[21] Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 A gustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Kato lik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Ka tolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjem ahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di Amsterdam pada tahun 1924, untuk majalah berbahasa Jawa Swaratama; ada pula tulisan yang dimuat dalam St. C laverbond, Berichten uit Java.[22] Soegija lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia-Belanda.[21] Soegija tiba di Muntilan pada bulan September 1926[23] dan menjadi guru agama, b ahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Tidak banyak diketahui tentang masa Soegija menjadi guru di Muntilan.[24] Menurut catatan dari sekolah, gaya mengaja r Soegija berdasar kepada gaya van Lith, yaitu dengan menjelaskan konsep agama b erdasarkan istilah yang ada dalam tradisi Jawa.[25] Soegija juga mengawasi kegia tan gamelan[26] dan berkebun.[27] Selama di Xaverius, Soegija menjadi redaktur S waratama, yang cenderung dibaca alumni Xaverius. Sebagai redaktur ia menulis res ensi mengenai berbagai topik, termasuk serangan terhadap paham komunisme dan pem bahasan kemiskinan.[28]

Setelah dua tahun di Xaverius, pada bulan Agustus 1928 Soegija kembali ke Beland a dan belajar teologi di Maastricht. Ia juga bepergian saat belajar. Pada tangga l 3 Desember 1929 ia dan empat Yesuit keturunan Asia lain mengikuti Yesuit Jende ral Wlodzimierz Ledchowski dalam sebuah pertemuan dengan Paus Pius XI di Vatikan; paus itu menyatakan bahwa para Yesuit Asia itu akan menjadi "tulang punggung" un tuk agama Katolik dalam negeri mereka sendiri.[29] Soegija dijadikan seorang dia ken pada bulan Mei 1931;[27] ia lalu ditahbiskan oleh Uskup Roermond Laurentius Schrijnen pada tanggal 15 Agustus 1931, saat masih menjadi siswa teologi.[loweralpha 2][30] Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata pranata, yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya.[31] ia menyelesaikan pelajaran teolo ginya pada tahun 1932, dan pada tahun 1933 menjalani masa tersiat di Drongen, Be lgia.[32] Tahun itu ia menulis sebuah autobiografi, berjudul La Conversione di u n Giavanese (Konversi Seorang Jawa); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Ita lia, Belanda, dan Spanyol.[33] Menjadi pastor Pada tanggal 8 Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Be landa menuju Hindia-Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Y ogyakarta, dekat Kraton.[34] ia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, sal ah satu gurunya dari Xaverius.[35] Dari romo yang lebih tua itu, Soegijapranata belajar bagaimana menangani keperluan paroki, sementara van Driessche kemungkina n besar menugaskan Soegijapranata untuk berkhotbah kepada warga kota pribumi yan g Katolik.[lower-alpha 3][36] Gereja paroki di Ganjuran, tempat Soegijapranata bertugas sekaligus dengan Binta ran Setelah Gereja Santo Yoseph di Bintaran, sekitar satu kilometer dari Kidul Loji, buka pada bulan April 1934, Soegijapranata dipindahtugaskan ke sana sebagai pas tor utama;[37][4] gereja itu terutama dimaksud kalangan pribumi.[7] Bintaran pad a saat itu merupakan satu dari empat paroki di kota Yogyakarta pada saat itu, be rsama dengan Kidul Loji, Kotabaru, dan Pugeran; setiap gereja paroki melayani da erah yang luas, dan pastor dari gereja paroki juga ikut serta berkhotbah di gere ja yang jauh dari kota. Setelah van Driessche meninggal pada bulan Juni 1934, tu gas Soegijapranata ditambah lagi dengan desa Ganjuran, Bantul, sekitar 20 kilome ter selatan kota Yogyakarta. Daerah itu merupakan tempat tinggal untuk lebih dar i seribu orang Katolik pribumi.[38][39] Soegijapranata juga menjadi penasihat un tuk berbagai kelompok, serta mendirikan sebuah koperasi untuk masyarakat Katolik .[40] Pada saat itu Gereja Katolik di Indonesia kesulitan dengan mempertahankan orang Katolik baru: orang Jawa yang sudah pindah agama saat sekolah terkadang-kadang m enjadi Muslim lagi setelah mengalami pengasingan dari teman-teman atau keluarga mereka. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1935, Soegijapranata menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan tidak adanya rasa identitas Katolik, atau sensus Catholi cus, serta sedikitnya pernikahan antara orang Katolik. Soegijapranata menolak pe rnikahan antara orang Katolik dan yang bukan Katolik,[41] dan mulai menjadi pena sihat untuk pasangan Katolik muda sebelum mereka menikah; ia percaya bahwa perni kahan antara orang Katolik akan mengeratkan hubungan antara keluarga Katolik di Yogyakarta.[42] Soegijapranata terus menulis untuk Swaratama dan menjabat sebaga i redaktur.[40] Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk S erikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia-Belanda.[43] Vikar apostolik Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia-Belanda membuat Mgr. Petrus Willeken s, yang menjabat sebagai Vikar Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu vikari at apostolik didirikan di Jawa Tengah, dengan pusatnya di Semarang,[44] sebab Ja wa Tengah memiliki budaya yang berbeda dan jarak yang jauh dari Batavia..[45] Vi kariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25 Juni 1940; bagian ti mur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.[46] Pada tanggal 1 Agustus 1940 Willeke

ns menerima telegram dari Kardinal Giovanni Battista Montini, yang menyatakan ba hwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Ini d ikirimkan ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menyetujui tugas itu,[44] biarpu n terkejut dan gelisah.[47] Asistennya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegija pranata menangis setelah membaca telegram itu sebuah tanggapan yang tidak biasa un tuk dia dan, saat makan semangkuk soto, bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melih at seorang uskup menikmati makanan itu.[48] Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30 September 1940 dan dikonsekrasi Willekens pada tanggal 6 Oktober di Gereja Rosario Suci di Randusari, yang menj adi tempat jabatannya.[47][49] Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari Mal ang dan Lampung;[47] dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.[lower-alpha 4][50] Tindakan pertama Soegijapranata sebagai uskup ialah mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens yang menceritakan sejarah s ehingga Soegijapranata bisa ditentukan sebagai uskup, termasuk surat Maximum Ill ud yang dibuat Paus Benediktus XV[lower-alpha 5] serta usaha Paus Pius XI dan Pa us Pius XII untuk menahbiskan lebih banyak pastor dan uskup dari suku asli di se luruh dunia.[51][52] Soegijapranata lalu mulai menentukan hirarki Gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru.[53] Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 1 1 orang pribumi), 137 bruder (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 biaraw ati (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).[54] Vikariat ini meliputi Semarang, Yog yakarta, Surakarta, Kudus, Magelang, Salatiga, Pati, dan Ambarawa. Keadaan geogr afisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah Dataran Kedu yang subur hingga daera h Pegunungan Sewu yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.[55] Ada le bih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, denga n jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meni ngkat dengan cepat,[56] sehingga ada lebih dari 30.000 pada tahun 1942.[57] Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pend idikan.[58] Pendudukan Jepang Pastoran di Gedangan, yang dilindungi Soegijapranata dari pasukan Jepang pada ta hun 1942 Setelah Jepang memasuki Nusantara pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 Maret 1942 Guberner-Jenderal Tjarda van Starke nborgh Stachouwer dan pemimpin KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah. Ini memb awa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas h idup orang non-Jepang.[59] Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "d i mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada police, tidak ada peg awai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar ... Untun g masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak per gi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana rust en order, tertib dan damai."[60] Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar o rang Belanda), baik orang awam maupun klerus.[lower-alpha 6] Pemerintah juga men entukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Be landa dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.[60] Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. I a pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.[61] Saa t penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebag ai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja t ersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan t empat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,[62] serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tida k disita.[63] Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan mili

k Gereja disita;[64] begitu pula dana Gereja.[65] Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya tahanan perang, termasuk para klerus,[lower-alpha 7][66] tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.[67] ia menggunakan kedudukannya itu u ntuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Ia berhasil membu juk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan t idak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Ia dan warga Katolik lain juga meng umpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hub ungannya dengan para tahanan; ia memberikan informasi dan berita kepada mereka.[ 68] Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia tela h ditangkap Jepang.[69] ia pergi jalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.[70] ia juga dapat mengirimkan pastor ke prefektur apostolik lain di Bandung, Surabaya, dan Malang untuk menghadapi kurangnya jumla h klerus di sana.[71] Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghas ilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pad a tahun 1942, sebagai rektor.[72] ia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk m emimpin acara pernikahan.[73] Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapra nata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.[74] Revolusi Nasional Setelah serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan I ndonesia pada bulan Agustus 1945,[75] orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata me merintahkan agar sebuah bendera Indonesia dikibarkan di depan Pastoran Gedangan. [76] ia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; or ang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang haru s dirawat di rumah sakit. Beberapa orang ditahan lagi oleh pihak Indonesia, teta pi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Se mentara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena perselisihan a ntar-agama.[77][78] Pemerintah juga mengambil alih beberapa bangunan milik Gerej a, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.[79] Pasukan Sekutu yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.[80] Di Semarang , hal ini memicu suatu pertempuran antara pihak Jepang dan Republik, yang mulai pada tanggal 15 Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.[77] Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semar ang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soeg ijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, vikar apostolik itu menyatak an bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar; pihak Sekutu menga ku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soe gijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dala m pembuatan gencatan senjata.[81] Gereja Santo Yoseph di Bintaran, yang menjadi tempat jabatan Sogijapranata dalam tahun-tahun terakhir Revolusi Nasional Indonesia Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya piha k Sekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; dan juga diberlakukannya j am malam dan pemadaman listrik. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil beru saha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu mengatasinya. Sebagai us aha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang war ga lokal ke ibu kota di Jakarta untuk membicarakannya dengan pemerintah pusat. W arga itu bertemu dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang mengirim Wongsonegor o ke Semarang untuk membantu dalam pembentukan pemerintahan sipil.[82] Namun, pe merintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa

pemimpinnya ditangkap oleh Nederlandsch Indi Civil Administratie (NICA) dan ditaha n; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan para revolusioner Indone sia, tidak ditahan.[83] Pada bulan Januari 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta yang sudah dikuas ai Belanda ke Yogyakarta.[84] Hal ini diikuti sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, tempat i a berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18 Janu ari 1947 ia akhirnya pindah ke Yogyakarta, sehingga ia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.[85][86] ia berkedudukan di Gereja Santo Yoseph di Bint aran[87] dan menasihati orang-orang Katolik agar berjuang demi negara Indonesia; ia menyatakan bahwa mereka "baru boleh pulang kalau mati."[88] Soegijapranata dan Georges de Jonghe d'Ardoye dengan Presiden Soekarno, 1947 Setelah tidak berhasilnya Perjanjian Linggajati, yang dimaksudkan untuk menghent ikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta serangan besar Belanda terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di Ra dio Republik Indonesia, menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama d engan pejuang Indonesia.[89] Soegijapranata juga banyak menulis kepada Tahta Suc i, yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan d an Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan ber temu dengan Presiden Soekarno;[86] Soegijapranata di kemudian hari berteman deng an presiden.[90] Setelah Agresi Militer Belanda II, ketika Belanda menduduki ibukota di Yogyakart a pada tanggal 19 Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan Hari N atal tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.[87] Selama Belanda menguas ai Yogyakarta Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah Commonweal, mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwa kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat interna sional mengutuk Belanda.[88] Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belan da terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga mening katkan kekuasaan orang-orang Komunis.[91] Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Soegijapranata mulai berusaha agar orang Ka tolik mendapat peran dalam pemerintahan. Bersama I.J. Kasimo, ia menyiapkan Kong res Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desem ber. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai Pa rtai Katolik Indonesia. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Parta i Katolik setelah berakhirnya perang revolusi.[92] Pasca-revolusi Katedral Rosario Suci di Randusari, Semarang, yang menjadi tempat Soegijapranata berjabat untuk sebagian besar waktunya sebagai uskup Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, ya ng diawali dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Soegijapranata kembali ke Semarang.[93] Periode pasca-revolusi ditandai dengan meningkat tajamnya jumlah o rang yang masuk di seminari; pastor pribumi yang ke-100 ditahbiskan pada tahun 1 956.[94] Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan beberapa peraturan yang membatasi Gereja. Pada tahun 1953 Kementerian Agama memutuskan bahwa misionaris asing tidak akan diizinkan masuk Indonesia, sementara kebijakan lain melarang or ang asing yang sudah di Indonesia dari mengajar. Untuk menghadapi hal ini, Soegi japranata membujuk klerus-klerus untuk menjadi warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak terhalang kebijakan baru itu.[95] Selain mengawasi para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak dar i keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Ia m enekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;[94] ia juga menerangkan bahwa siswa harus belaja r di mana-mana, bukan hanya di sekolah.[96] Gereja juga terus mengembangkan sara

na pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.[97] Soegijapranata juga mu lai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesi a. Ia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam misa; ini diizin kan mulai tahun 1956. Ia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat misa, dan menyetujui penggunaan wayang untuk mengajar cerita Al Kitab ke anak-anak.[98] Dengan Perang Dingin yang semakin meningkat, terjadi perslisihan besar antara Ge reja di Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawa rkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, ia bekerja sama de ngan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk oran g Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap a gar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Bu ruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19 Juni 1954;[99] organsisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat Panc asila.[4] Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.[99] Pada tanggal 2 November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, Marxisme, dan materialisme; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.[100] Ada pula gangguan di dalam hierarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Beland a masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan Papua bagian barat - daera h itu secara historis dikuasai Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapr anata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam se buah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara du a negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.[101] Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa di rinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan sistem Demokrasi Terpimpin. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang d ipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung d engan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, ia t etap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.[lower-alpha 8] Ini, s erta dukungan Soegijapranata untuk Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan k embalinya ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membuat U skup Jakarta Adrianus Djajasepoetra menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penj ilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan Nasakom, yang mendasark an pemerintahan Indonesia pada komunisme.[102] Uskup Agung Semarang dan kematian Makam Soegijapranata di Giri Tunggal Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlu nya hierarki Katolik Roma di Indonesia yang berdaulat. Pembahasan ini, yang diad akan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk pener jemahan lagu rohani ke dalam bahasa daerah. Pada tahun 1959 Kardinal Grgoire-Pierr e Agagianian mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katoli k Indonesia yang berdaulat; surat permohonan ini dibalas Paus Yohanes XXIII, dal am surat bertanggal 20 Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau Jawa, satu di Sumatera, satu di Flores, s atu di Sulawesi dan Maluku, dan satu di Kalimantan. Semarang menjadi pusat provi nsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi uskup agung.[103] Ia diangkat pada tang gal 3 Januari 1961.[58] Saat ini terjadi, Soegijapranata berada di Eropa untuk Konsili Vatikan II, mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;[103] di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.[104] Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili dan menunju

kkan keprihatinan akan keadaan kepastoran[103] dan memohon agar sistem Gereja di modernisasi.[105] Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kur ang baik.[106] Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata d ilarang melaksanakan tugasnya. Justinus Darmojuwono, seorang mantan tahanan Jepa ng dan vikaris jenderal Semarang sejak tanggal 1 Agustus 1962, menjalani tugas u skup. Pada tanggal 30 Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Ia lalu pergi ke Nijmegen d an dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl, Belanda; ia mengalami serangan jantung tidak lama sebelum meninggal.[106][103] Karena Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegi japranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink.[107] Soegijapranata dinyatakan seorang Pahlawan Nasional Indo nesia pada tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat je nasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.[108] Pesawat yang membawa Soegijap ranata tiba di Bandar Udara Kemayoran di Jakarta pada tanggal 28 Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebu mikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.[109] Darmojuwono dipilih pada bulan Desember 1963 sebagai uskup agung Semarang yang baru; ia dikonsekrasi pada tangg al 6 April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.[110] Warisan Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa yang beragama Katolik;[90] mereka mem uji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.[46] Penulis Anha r Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "teruji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dija dikan pahlawan nasional."[lower-alpha 9][108] Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", meng ingat bahwa ia baru ditahbiskan sembilan tahun sebelumnya, dan tetap diangkat me skipun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.[111] Henricia Moeryantini, seor ang suster dalam Orde Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata G ereja Katolik berperan di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu ped uli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar sa at revolusi.[112] Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.[1 13][114] Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Se marang,[115] Malang,[116] dan Medan.[117] Makam Soegijapranata di Giri Tunggal s ering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering me ngadakan misa di tempat itu.[118][119] Pada bulan Juni 2012 sutradara Garin Nugroho mengeluarkan film biopik tentang So egijapranata, yang diberi judul Soegija. Dibintangi Nirwan Dewanto sebagai Soegi japranata, film ini mengikuti kegiatan Soegijapranata pada dasawarsa 40-an, yang dilatarbelakangi dengan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia. Fil m ini, yang menelan dana Rp 12 miliar,[108][113] ditonton lebih dari 100.000 ora ng pada hari pertama tayang.[120] Peluncuran film ini diikuti oleh novelisasi ke hidupan Soegijapranata, yang dilakukan secara fiksi, oleh pengarang Katolik Ayu Utami.[121][122] Beberapa tulisan biografis yang bukan fiksi, yang ditulis baik oleh orang beragama Katolik maupun tidak, juga diterbitkan dalam kurung waktu it u.[122] Dalam budaya populer Indonesia, Soegijapranata dikenang karena pernyataan "100% Katolik, 100% Indonesia".[1][4] Moto ini, yang sudah digunakan dalam iklan berba gai tulisan biografi serta film Soegija,[1] berasal dari pidato Soegijapranata s aat Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954,[123] sebagaim

ana berikut: Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menja di seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik s ebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepul uh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi G ereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati.

Anda mungkin juga menyukai