Anda di halaman 1dari 2

BIOGRAFI

SOEPRIJADI

Soeprijadi (13 April 1923 – 14 Februari 1945) adalah seorang tokoh militer Indonesia
sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Pada bulan Februari 1945, selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia, ia menjadi penggerak dan pemimpin
pemberontakan milisi PETA (pemberontakan bersenjata terbesar Indonesia melawan
Jepang) di kota Blitar, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia
diangkat menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia yang pertama dan Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang pertama, tetapi gagal dilantik karena ia
hilang waktu pemberontakan yang dikepalainya dipadamkan oleh pasukan
Jepang.Nasib Soeprijadi selanjutnya tetap menjadi subyek dari berbagai dugaan dan
hipotesis dan dianggap sebagai salah satu misteri paling signifikan dalam sejarah
Indonesia modern. Menurut pendapat yang paling umum, dia meninggal di tangan
Jepang: baik terbunuh saat melawan di lereng gunung Kelud di utara Blitar atau mati
akibat penyiksaan saat berada di penangkaran. Pada saat yang sama, ada sejumlah
catatan saksi mata yang diduga bertemu dengannya setelah penindasan
pemberontakan Blitar dicatat.

Berulang kali, orang-orang muncul menyaru sebagai Soeprijadi yang masih hidup.
Kasus paling bergema semacam ini terjadi pada tahun 2008. Terlepas dari kenyataan
bahwa orang yang mengklaim identitas Soeprijadi tak diakui oleh kerabat dan rekan
pahlawan nasional, ada sejumlah sejarawan Indonesia serta perwakilan media dan
publik Indonesia, yang cenderung mengakui keabsahan klaimnya.Supriyadi lahir pada
tanggal 13 April 1923 di pemukiman Trenggalek tepatnya di pantai selatan Jawa
Timur. Dia adalah anak sulung dalam keluarga bangsawan: baik ayahnya Darmadi dan
ibunya Rahayu memiliki gelar bangsawan Jawa yaitu raden. Pada saat kelahiran putra
sulungnya, Raden Darmadi menduduki jabatan di pemerintahan Kabupaten Blitar,
yang saat itu termasuk wilayah Trenggalek. Ketika Soeprijadi genap berusia dua
tahun, ibunya meninggal dan setahun kemudian pada tahun 1926, Darmadi menikah
lagi dengan seorang wanita bernama Susilih, yang menjadi ibu dari 11 adik laki-laki
Soeprijadi.[1][2][3] Satu-satunya saudara kandung Soeprijadi adalah Wiyono yang
lahir dari Rahayu setahun sebelum kematiannya.[4]

Setelah kematian ibunya, kakeknya, ayah Rahayu, memainkan peran penting dalam
pengasuhannya.[5] Lambat laun di antara Soeprijadi dan ibu tirinya terjalin hubungan
yang cukup baik dan saling percaya. Waktu sudah dewasa dan hidup terpisah dari
keluarganya, ia melakukan surat menyurat dengan Susilih. Dalam suratnya pada ibu
tirinya, ia berbagi banyak ide dan impian dengannya.[1][2] Keluarganya sangat
religius dan Soeprijadi tumbuh ajaran orang yang sangat saleh sampai akhir
hayatnya. Ia rajin memenuhi semua ajaran Islam tentang salat dan puasa.[6]

Soeprijadi mengenyam pendidikan yang sangat baik untuk orang Indonesia pada
tahun-tahun itu: ia berturut-turut lulus dari sekolah dasar Belanda untuk pribumi
(bahasa Belanda: Europeesche Lagere School) dan sekolah menengah tingkat
pertama (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setelah itu yang ia
masuki sekolah menengah kedua yang terletak di Magelang (bahasa Belanda:
Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren), yang melatih pegawai
junior untuk administrasi kolonial.[2][3] Pendidikannya yang terakhir terputus pada
Februari 1942 dikarenakan invasi Jepang ke Indonesia, tetapi pada tahun berikutnya,
Soeprijadi dapat menyelesaikan pendidikan menengahnya, setelah dilatih di kursus
yang diselenggarakan oleh administrasi pendudukan di Tangerang.[6][7]

Anda mungkin juga menyukai