Anda di halaman 1dari 22

Biografi Jenderal Ahmad Yani

 Nama : Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani


 Lahir : Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922
 Wafat : Jakarta, 1 Oktober 1965
 Orang Tua : Sarjo bin Suharyo (ayah), Murtini (ibu)
 Istri : Yayu Rulia Sutowiryo
 Anak : Indriah Ami Yani, Elina Lilik Yani, Widna Ami Yani, Remi Tha Yani,
Untung Murfeni Yani, Irawan Sura Eddy Yani, Amelia Achmad Yani
 Gelar : Pahlawan Revolusi

Jenderal Ahmad Yani, beliau dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal
19 Juni 1922. Ia wafat di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965. Ahmad Yani
merupakan anak dari pasangan Sarjo bin Suharyo dan Murtini.

Masa Pendidikan
Pendidikan formal Ahmad Yani diawalinya di HIS sebuah sekolah setingkat Sekolah
Dasar zaman belanda di Bogor. Ia selesaikan pendidikannya pada tahun 1935.
Ahmad Yani Kemudian melanjutkan sekolahnya ke MULO sebuah sekolah setingkat
Sekolah Menegah Pertama zaman Belanda di Bogor. Setelah tamat dari sana pada
tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS sekolah setingkat sekolah Menengah Umum
di Jakarta.

Masuk Ke Militer
Di AMS, Ahmad Yani menjalaninya hanya sampai kelas dua. Ini sehubungan dengan adanya milisi yang
diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada
Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor.
Dari sana Ahmad Yani mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942
yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan
selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Ahmad Yani berhasil menyita
senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Ahmad Yani diangkat
menjadi Komandan TKR Purwokerto.
Ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit
berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi,
ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan
Kedu.

Menumpas Pemberontakan DI/TII


Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, Ahmad Yani diserahi tugas untuk melawan tentara
pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang kala itu dipimpin oleh Kartosuwiryo
yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah.
Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun
berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Sekolah Komando di Amerika dan Inggris
Pada tahun 1955, Ahmad Yani disekolahkan ke Amerika di Command and General Staff College di Fort
Leaven Worth, Kansas, selama sembilan bulan.

Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di
Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Ahmad Yani yang masih
berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus.

Menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat


Ia memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962,
Jenderal Ahmad Yani diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Ahmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak keinginan PKI
untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai.

Diculik oleh G30S/PKI


Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI
Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI) yang kala itu
dipimpin oleh Letkol Untung.

Gugur Sebagai Pahlawan Revolusi


Ahmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya
kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur bersama dengan jasad 6 perwira lainnya.
Jenazahnya kemudian dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Ahmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan
satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
Biografi Singkat
Nama : Kartini
Nama Lain : Raden Ayu Kartini
Lahir : Jepara , 21 April 1879
Wafat : Rembang, 17 September 1904
Agama : Islam
Pasangan : K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Orangtua : R.M. Sosroningrat (Ayah), M.A. Ngasirah (Ibu)
Gelar : Pahlawan Emansipasi Wanita

Biografi Lengkap R.A. Kartini


Kelahiran R.A.Kartini

R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara, karena kegigihannya itulah hari lahirnya
kemudian diperingati sebagai hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.
Kartini lahir ditengah-tengah keluarga yang berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.
Karena itulah ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) didepan namanya. Gelar Raden Ajeng digunakan
Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan diganti menjadi Raden Ayu
menurut tradisi Jawa.

Kehidupan R.A.Kartini dan Pemikirannya tentang emansipasi Wanita

Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan kiri. Dari saudara sekandungnya, Kartini
merupakan putri tertua. Kakeknya adalah Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat menjadi Bupati
diusia 25 Tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang
memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak kartini yaitu Sosrokartono seorang yang pintar
dalam bidang bahasa.

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Disana Ia
belajar bahasa Belanda. Namun pada umur 15 tahun ia harus tinggal dirumah karena sudah bisa dipingit.

Karena kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, maka dirumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat untuk teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satu teman yang mendukunya
adalah Rosa Abendanon.Dari sanalah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir yang dimiliki oleh
perempuan Eropa dari surat kabar, majalah, serta buku yang ia baca.

Hingga kemudian ia mulai berpikir dan berusaha untuk memajukan perempuan pribumi karena dalam
pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah
kala itu.

R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah dari kebudayaan Eropa yang menjadi
langganannya denga barbahasa Belanda. Di usianya yang masih 20 Tahun ia bahkan sudah banyak
membaca buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt
serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga
membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Ketertarikannya dalam membaca membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. R.A.Kartini memberi perhatian khusu pada masalah emansipasi wanita
dengan melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. Selain itu ia juga menaruh
perhatiannya pada masalah sosial yang terjadi. Menurutnya seorang wanita perlu mmeperoleh
persamaan, kebebasan , otonomi serta kesetaraan hukum.

Kelahiran Putra dan Wafatnya R.A.Kartini

R.A. Kartini melahirkan seorang Putra yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Namun 4 hari setelah melahirkan, tepatnya pada tanggal 17 September 1904 Kartini
meninggal pada usia 25 Tahun, dan jasadnya dimakamkan di Desa Bulu, kecamatan Bulu, Rembang.
Penghargaan untuk R.A.Kartini

Dengan terbitnya surat-surat Kartini yang hanya seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian
masyarakat Belanda. Pemikiran-prmikian Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda
terhadap perempuan Pribumi di Jawa. Selain itu atas pemikiran-pemikirannya pula yang menjadi
inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, seperti W.R Soepratman yang menciptakan
lagu berjudul Ibu Kita Kartini. Lagu tersbut kini sangat populer dikalangan siswa di Indonesia, lagu ini
menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka.

Hingga pada tanggal 2 Mei 1964 presiden Soekarno mengeluarkan instruksi berupa keputusan Presiden
Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional, Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai
Hari Kartini sampai sekarang ini.

Terdapat banyak perdebatan dan kontrovesi mengenai keaslian surat-surat yang ditulis oleh R.A.Kartini,
karena hingga kini sebagian besar naskah asli surat kartini tidak dapat ditemukan, dan jejak keturuan
J.H.Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh pemerintahan Belanda. Hingga banyak kalangan yang
meragukan kebenaran dari surat-surat Kartini.

Selain itu penetapan tanggal kelahiran R.A Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan.
Terdapat pihak yang tidak begitu menyetujuinya, mereka mengusulkan agar tidak hanya ada hari kartini,
namun harus ada juga hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka mengusulkan hal tersebut agar tidak ada pilih kasih, karena masih ada pahlawan wanita
lain yang ikut gigih memperjuangkan kemerdekaan untuk negara seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien,
Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.

Buku-Buku R.A.Kartini
1. Habis Gelap Terbitlah Terang
2. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
4. Panggil Aku Kartini Saja (Karya Pramoedya Ananta Toer)
5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
6. Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-
1903.

Keturunan R.A.Kartini
Sebelum wafatnya R.A.Kartini memiliki seorang putra yang bernama R.M Soesalit Djojoadhiningrat hasil
pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Putra Kartini sempat menjabat sebagai Mayor Jenderal pada masa kependudukan Jepang, kemudian ia
memiliki putra yang bernama RM. Boedi Setiyo Soesalit (cucu R.A Kartini) yang kemudian menikah
dengan seorang wanita bernama Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit.

Dari pernikahannya, RM. Boedi Setiyo Soesalit memiliki lima anak bernama RA. Kartini Setiawati
Soesalit, kemudian RM. Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman
Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit.
Biografi Singkat Pattimura
Nama lengkap : Thomas Matulessy
Julukan : Pattimura
Lahir : Hualoy, Seram selatan, Maluku 8 Juni 1783
Wafat : Ambon, Maluku 16 Desember 1817
Orang tua : Frans Matulesi (Ayah) Fransina Silahoi (Ibu)

Biografi Lengkap Pattimura


Berdasarkan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M.Sapija menuliskan
“Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya
yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini
adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk
di Seram Selatan”.

Namun berbeda dengan pendapat dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam
bukunya yang berjudul Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy (dalam bahasa Maluku “Mat Lussy”), lahir di
lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah).
Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja
ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah).

Gelar Kapitan

Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal dari
pemberian Belanda. Padahal tidak.

Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa Indonesia). Dilihat
dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap
suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya menimbulkan tafsiran yang sulit
dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam
yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki seseorang.
Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia. Bila kekuatan
tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.

Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan berproses
turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan
“kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Perjuangan Pattimura

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer sebagai
mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan dari kolonialisme
Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh Belanda, karena sebelum Inggris
darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan Ambon selama kurang lebih 2 Abad.

Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk. Datangnya
Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan penduduk, pajak atas tanah,
dan mengabaikan Traktat london.

Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di bawah
pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda oleh Patih,
ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada pada diri Pattimura.

Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak
kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku
memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya dibawah
pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten Duurstede,
pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di pulau Ambon dan
Seram Selatan.

Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh
Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap.
Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah Siri Sori Pattimura
kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.

Hukuman Dan Kematian Pattimura

Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan, Belanda
ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda,
namun Pattimura menolaknya.

Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di
depan Benteng Victoria di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura
dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
Biodata

 Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien


 Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh
 Tahun Lahir : 1848
 Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda
 Agama : Islam

Kehidupan
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan
keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai
keturunan dari Datuk Makhudum Sati.

Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan
Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau.
Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari
yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku
Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim Lamnga
suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada
tanggal 29 Juni 1878.

Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien. Tidak lama setelah
kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Umar pada tahun 1880.

Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak,
tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju
untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut
Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama
melawan Belanda.

Perang Aceh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar
melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat.
Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke
Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya
mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan
dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar
merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.

Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih
terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara
pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang
Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan
mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan
amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar
(pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-
besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi
perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada
kekacauan sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel,
dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku
Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh
orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang
menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada
orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan
kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa
mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh
untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan
rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar
gugur tertembak peluru.

Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan melawan Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini
terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang
di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua.

Masa Tua dan Kematian


Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit disana, sementara itu
Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh
ayah dan ibunya.

Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya
dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu
Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu
Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI
No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan
di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh
Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang
ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri
makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan
Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir, Surabaya 6 Juni 1901, yang wafat Jakarta 21 Juni 1970, yang dimakamkan dikota Blitar,
Jawa Timur, Kebangsaan Indonesia. Orangtua Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu
Nyoman Rai (Ibu), Memiliki seorang anak yaitu:

 Putra; Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra,


dan Totok Suryawan.
 Putri; Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri,
Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno.

Pasangan/Istri yaitu:

 Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratma Sari Dewi
Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar.

Pendidikan yaitu:

 Sekolah Dasar Bumi Putera.


 HBS (Hoogere Burger School)
 Technische Hoogeschool, sekarang ITB

Perhargaan yaitu:

 Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)


 Bintang Kehormatan Filipina (1965)
 Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
 The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel – 2005)

Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional.

Kehidupan Sang Proklamator


Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901, Ir. Soekarno merupakan Presiden
RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun
1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli
1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan
Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat
membangkitkan semangat rakyat.
Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau, pada Desember 1929 Soekarno dan
tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri dibubarkan dan berganti menjadi
Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan, tetapi pada Agustus 1933.
Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, lalu
dipindahkan ke Bengkulu.

Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda, Jepang meminta Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak
berjuang untuk kepentingan rakyat, akibatnya, Jepang membubarkan Putera. Ketika posisinya
dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan BPUPKI. Pada
sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara
yang disebut Pancasila.

Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian Jepang
memanggil Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam, untuk
menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah
kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita
kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya tercapai kesepakatan
sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi.
Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.

Kemerdekaan ini ialah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, buka pemberian Jepang, satu
hari kemudian beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah selama 22
tahun, Soekarno meninggal saat pada usia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Biografi Singkat Sultan Hasanuddin
Nama : Sultan Hasanuddin
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Ibu : I Sabbe To’mo Lakuntu
Ayah : Sultan Malikussaid
Pasangan: I Bate Daeng Tommi (m. 1654), I Mami Daeng Sangnging
(m. 1645), I Daeng Talele
Anak: Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali

Keluarga Dan Masa Kecil Sultan Hasanuddin


Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang merupakan
raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri bangsawan Laikang.
Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 januari 1631 dan wafat
pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir Sultan Hasanuddin adalah I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin
memiliki saudara perempuan bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia juga
memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol dibanding dengan
saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak hanya di lingkungan
istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid Bontoala
membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur, dan rendah hati.

Wafatnya Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) Dan Pengangkatan Ayahnya


Sebagai Raja Gowa
Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang merupakan raja Gowa
ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah kakeknya meninggal
sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja yang dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering diajak untuk
menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar Hassanudin belajar tentang
ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang.
Setelah pandai pada bidang tersebut, Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk mewakili
sang ayah mengunjungi kerajaan nusantara terutama daerah dalam gabungan
pengawalan kerajaan Gowa.
Saat hendak memasuki usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya untuk menjabat urusan pertahanan
Gowa dan membantu ayahnya mengatur pertahanan untuk melawan Belanda.

Diangkat sebagai Raja Gowa-16


November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari sang ayah sebelum
wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas
pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng Pattingaloang.
Melawan VOC
Sultan Hasanuddin memerintah kerajaan saat Belanda hendak menguasai rempah-rempah dan
memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia, Belanda melarang orang Makassar
berdagang dengan musuh belanda seperti Portugis atau yang lainnya. Keinginan Belanda yang
ingin melakukan monopoli perdagangan melalui VOC ditolak keras oleh Raja Gowa yaitu Sultan
Hasanuddin. Sultan Hasanuddin masih berpendirian sama seperti kakek dan ayahnya bahwa
tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama-sama.
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan Gowa
merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC berusaha mengahncurkan
Kerajaan Gowa.

Perang Melawan Belanda Dan Sultan Hasanuddin Turun Tahta


Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun usaha mereka
untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur Indonesia untuk melawan
Belanda.
Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian perdamaian
dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut merugikan Kerajaan Gowa.
Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa semakin lemah
dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin bersedia
menandatangani Perjanjian Bungaya.
Rakyat dan Kerajaan Gowa yang merasa sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut,
pada 12 April1668 akhirnya perang kembali pecah.
Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda yang dibantu
dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng Sombaopu yang
merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan
oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng Tallo
dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah tidak
akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda.
Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin turun tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang bergelar Sultan Amir Hamzah.

Sultan Hasanuddin Wafat


Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau dimakamkan
di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung
Tamalate.

Penghargaan Sultan Hassanudin


Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973 atas jasa-
jasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
Cut Nyak Meutia

Lahir: Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870

Meninggal: Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober


1910

Agama: Islam

Suami:

pertama: Teuku Chik Di Tunong; kedua, Pang


Nanggroe.

Ayah: Teuku Ben Daud Pirak

ibu: Cut Jah

Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870, beliau adalah salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh selain Cut nyak dhien.

Cut Meutia mulai melawan Belanda pada saat menjadi istri dari Teuku Chik Muhammad atau
yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik
Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum
meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau
menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Sesuai wasiat suaminya maka Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe dan
bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu
pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan
diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas
pada tanggal 26 September 1910.
Perjuangan melawan penjajahpun Cut Meutia lakukan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia
menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan
belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok
dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Meutia gugur.

Kehidupan Awal
Latar Belakang Keluarga
Cut Meutia adalah putri dari ayah yang bernamaTeuku Ben Daud Pirak dan ibu Cut Jah. Cut
meutia adalah putri satu-satunya dari empat saudara laki-laki yang lainnya yaitu:Teuku Cut
Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad
Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalalang di desa Pirak yang berada dalam daerah
keuleebalangan Keureutoe.
Cut meutia lahir di daerah Uleebalang Pirak, daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini
mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-
perkara dalam tingkat yang rendah. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan
Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai
seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena
selain sebagai Uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai akhir hayatnya
tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria itu terbina
dalam diri Cut Meutia.
Masa Muda
Selain memiliki nama yang indah (Meutia) tapi Cut Meutia juga berparas cantik, serta bentuk
tubuh yang indah menyertainya. Seperti yang diungkapkan seorang penulis Belanda: Cut Meutia
bukan saja amat cantik, tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan mengga1rahkan. Dengan
mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan
silueue (celana) sutera bewarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya
serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis
perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu
benar-benar seorang bidadari. (H.C Zentgraaff, 1983: 151)
Setelah dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik
Bintara. Namun Syamsarif mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin
berdampingan dengan Kompeni. Namun pernikahan mereka tidak bertahan lama, dan bercerai,
Cut meutia kemudian menikah dengan adik Teuku Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik
Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah itu ia dan
suaminya berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda
Cut Meutia Memimpin Pasukan

Kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Cut Meutia setelah Pang Nanggroe syahid, dan basis
pertahanan dipindahkan ke daerah Gayo dan Alas bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot
Mata. Pada tanggal 22 Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan
berada di daerah Lhokreuhat. Esoknya pengejaran dilakukan kembali ke daerah Krueng Putoe menuju
Bukit Paya sehingga membuat pasukan Cut Meutia semakin terjepit dan selalu berpindah antar gunung
dan hutan belantaraa yang sangat banyak.

Dalam pertempuran tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan Cut Meutia menghadapi serangan
Belanda. Di sinilah Cut Meutia syahid bersama pasukan muslim yang lain seperti Teuku Chik Paya
Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Menjelang gugurnya, Cut Meutia mewasiatkan
kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak lagi menghadapi serangan belanda, taktik selanjutnya adalah
mundur sejauh mungkin dan menyusun serangan kembali, karena posisi mereka sudah sangat terjepit
kali ini. Cut Meutia juga menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga.
Cut Meutia wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910, dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan
Nasional pada 2 Mei 1964 berdasarkan Keppres No. 106 Tahun 1964.
Profil Singkat Drs. Mohammad Hatta

Nama : Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta)


Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Ayah: Muhammad Djamil
Ibu : Siti Saleha
Istri : Rahmi Rachim
Anak :
Meutia Farida
Gemala
Halida Nuriah

Riwayat Pendidikan :
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 – Desember 1949)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia
Serikat (Desember 1949 – Agustus 1950)

Pendidikan Dan Masa Muda Moh. Hatta


Sejak kecil, Hatta dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama, kakek beliau dari pihak
ayahnya yang bernama Abdurahman Batuhampar merupakan ulama pendiri surau batu hampar yaitu
salah satu surau yang bertahan pasca perang paderi. Namun pada saat Hatta berumur 7 bulan Ayah beliau
yaitu Muhammad Djamil meninggal dunia, dan setelah sepeninggalan ayahnya sang ibu menikah dengan
seorang pedagang dari palembang yang sering berhubungan dagang dengan kakek beliau dari pihak ibu
yaitu Ilyas Bagindo Marah bernama Agus Haji Ning. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai 4 orang anak
perempuan.
Moh.Hatta mengenyam pendidikan formal untuk pertama kali di sekolah swasta, namun setelah 6 bulan
beliau pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan kakaknya Rafiah, Namun tidak begitu lama
pelajarannya berhenti di pertengahan semester 3 lalu beliau pindah ke ELS(Europeesche Lagere School)
(Sekarang SMA N 1 Padang) hingga tahun 1913. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan beliau di
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sejak menempuh pendidikan di MULO beliau mulai tertarik
dengan perkumpulan pemuda dan beliau masuk dalam Jong Sumatranen Bond dan menjadi bendahara.
Pada tahun 1921 hingga 1932, Mohammad Hatta melanjutkan studinya di Handels Hogeschool, Belanda
(Kemudian bernama Economische Hogeschool dan kini bernama Universitas Erasmus Rotterdam).
Selama studi beliau masuk dalam organisasi sosial yang kemudian menjadi organisasi politik akibat
pengaruh dari Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo bernama Indische
Vereniging. Pada tahun 1922, Indische Vereniging berubah nama menjadi Indonesische Vereniging, Lalu
berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1923 Bung Hatta menjadi bendahara dan
mengasuh sebuah majalah bernama Hindia Putera (Kemudian bernama Indonesia Merdeka). Pada tahun
1923 pula Hatta lulus dalam ujian Handles economie (Ekonomi Perdagangan) dan pada tahun 1924,
beliau non aktif di Perhimpunan Indonesia karena beliau berniat untuk mengikuti ujian doctoral ekonomi
diakhir tahun 1925. Namun pada waktu itu ada jurusan baru yaitu hukum negara dan hukum
administratif, kemudian beliau memasuki jurusan tersebut karena terdorong oleh minat besarnya pada
bidang politik.
Pada 17 Januari 1926, Hatta menjadi pemimpin Perhimpunan Indonesia, akibatnya beliau terlambat
menyelesaikan studinya. Dan pada tahun 1926 epatnya pada bulan desember Hatta didatangi oleh PKI
yaitu Semaun yang menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum pada PI Dan terjadilah
suatu perjanjian yang dinamai dengan Konvensi Semaun-Hatta. Hal tersebut menjadi alasan bagi
pemerintah Belanda untuk melakukan penangkapan pada Hatta. Pada waktu itu Hatta belum menyetujui
paham komunis, Stalin membatalkan keinginan Semaun yang berakibat hubungan Hatta dengan
Komunisme mulai memburuk, Sikap yang dilakukan oleh Hatta ditentang oleh anggota PI yang telah
dikuasai komunis.
Hatta mengikuti sidang “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan Untuk kemerdekaan
Nasional” pada tahun 1927 di Frankfurt. Dalam sidang ini Hatta tidak dapat percaya dengan komunis.
Pada tahun 1927 tepatnya tanggal 25 september Hatta bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Madjid
Djojohadiningrat dan juga Nazir Datuk Pamuntjak di tangkap oleh pemerintah belanda atas tuduhan
mengikuti partai terlarang yang dikaitkan dengan Semaun dan juga menghasut supaya menentang
kerajaan belanda. Mereka semua dipenjara di Rotterdam selama tiga tahun. Pada 22 Maret 1928, sidang
kedua kasus Hatta digelar. Dalam sidang, ia melakukan penolakan terhadap semua tuduhan yang diarahan
padanya dalam pidatonya yang berjudul “Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka” dan pidato Hatta
tersebut diterbitkan menjadi brosur sampai Indonesia. Hatta beserta ketiga rekannya yang lain akhirnya
dibebaskan oleh mahkamah pengadilan di Den Haag dari segala tuduhan.

Kembali Ke Indonesia
Sebulan setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda, Hatta kembali ke Indonesia. Di Indonesia,
Hatta disibukkan dengan menulis artikel politik dan ekonomi di Daulah Ra’jat dan berbagai kegiatan
politik lainnya. artikel tulisan Hatta diantaranya “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi
Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933), semua itu Ia tulis sebagai
reaksi kerasnya terhadap sikap Soekarno yang ditahan oleh Belanda dan berakhir dengan pengasingan
Soekarno ke Ende, Flores.
Setelah mengasingkan Soekarno, Pemerintah Belanda beralih ke Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Para pemimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahriri, Burhanuddin,
Bondan, Murwoto, dan Maskun ditangkap dan kemudian ditahan di penjara Glodok dan Cipinang selama
hampir setahun. Setelah itu mereka diasingkan ke Boven Digoel (Papua).

Masa Pengasingan
Hatta dan rekan-rekannya dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia tiba di pengasingan yaitu di Tanah
Merah, Boven Digoel(Papua) pada Januari 1935. Kapten Van Langen yang saatitu merupakan kepala
pemerintahan di Boven Digoel menawarkan 2 pilihan pada mereka yaitu bekerja pada Belanda dengan
upah per hari hanya 40 sen dengan harapan bisa kembali ke daerah asal atau tetap menjadi buangan yang
menerima makanan in natura engan tidak ada harapan kembali ke daerah asal. Pilihan tersebut Hatta
jawab dengan mengatakan bahwa jika ia mau bekerja dengan belanda saat masih di jakarta tentu ia
menjadi orang besar dengan gaji tinggi, tak perlu ke Tanah Merah menjadi kuli dengan gaji hanya 40 sen
saja.
Selama masa pengasingannya di Digoel, untuk memenuhi kebutuhan hidunya, Hatta menjadi penulis
artikel untuk surat kabar Pemandangan. Pada Desember 1935, pengganti Van Langen yaitu Kapten
Wiarda mengatakan bahwa tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir akan dipindah ke Banda Neira, Januari
1936 mereka berangkat kesana. Disana mereka bebas bergaul dengan penduduk dan disana pula mereka
bertemu dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Kembali Dari Pengasingan Dan Masa Kekuasaan Jepang


Pada 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang Menyerang Pearl Harbor, setelah itu Jepang mulai
menguasai beberapa wilayah termasuk Indonesia. Karena keadaan yang menjadi genting dan ditakutkan
para buangan bekerja sama dengan Jepang, kemudian Belanda memindahkan semua buangan ke
Australia. Namun Hatta dan Sjahrir yang berada di Banda Neira dipindahkan ke Sukabumi pada 3
Februari 1942. Pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah pada Jepang. Lalu pada 22 Maret 1942 , Hatta dan
Sjahrir dibawa kembali ke Jakarta dan bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta bertanya pada pihak
Jepang tentang kedatangannya ke Indonesia dan pihak Jepang mengatakan tidak akan menjajah
Indonesia. Hatta ditawari kerja sama dengan jabatan penting, namun Ia menolak dan memilih menjadi
penasehat lalu ia diberi kantor dan rumah.
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Pada 22 Juni BPUPKI membentuk panitia kecil yang dikenala dengan panitia sembilan yang
beranggotakan Ir. Soekarno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis,
Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Pada 9 Agustus 1945, bersama dengan Ir.Soekarno dan KRT Radjiman Wedyodiningrat, Bung hatta pergi
ke Dalat, Vietnam untuk dilantik oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi sebagai ketua dan
wakil ketua PPKI.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadi penculikan Bung Karno dan Bung Hatta oleh golongan pemuda
dan mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan penculikan ini dikenal
dengan Peristiwa Rengasdengklok. Penculikan ini di lakukan agar proklamsi segera dilaksanakan
secepatnya.

Menjadi Wakil Presiden RI ke-1 Dan Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden
Pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pukul 10.00 WIB, Proklamsi
Kemerdekaan dibacakan. Berselang sehari yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta resmi
menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Bung Karno.
Setelah menjadi wakil presiden, Bung Hatta masih aktif dalam memberikan ceramah ke berbagai
lembaga pendidikan tinggi. Pada tanggal 12 Juli 1947, Hatta mengadakan Kongres Koperasi yang
pertama (ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia) dan Bung Hatta ditetapkan menjadi Bapak
Koperasi Indonesia.
Pada 21 Juli 1947, terjadi Agresi Militer Belanda I. Pada saat hendak menyetujui Perjanjian Renville
yang berakibat jatuhnya kabiet Amir, kemudian terbentuk Kabinet Hatta pada 29 Januari 1948 dengan
Hatta yang saat itu menjadi Perdana Menteri menjadi Menteri ertahana pula.
Pada tahun 1955, Bung Hatta menyatakan bahwa parlemen dan konstituante telah terbentuk dan Ia akan
mengundurkan diri karena menurutnya dengan pemerintahan parlementer kepala negara hanya simbol
maka wakil presiden sudah tidak diperlukan. Pada 20 Juli 1956, Bung Hatta menulis surat untuk Ketua
DPR namun ditolah secara halus, kemudian ia menulis kembali surat yang sama pada tanggal 23
November 1956 yang berisi bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember
1956. Setelah 11 tahun menjabat menjadi wakil presiden, DPR mengabulkan permintaan Hatta
mengundurkan diri pada sidang DPR 30 November 1956.

Setelah Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden Dan Wafatnya Mohammad Hatta
Setelah mengundurkn diri, untu menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar. Pada tahun
1963, saat Presiden Soekarno berada pada puncak kejayaannya, Bung Hatta jatuhsakit dan perlu
perawatan ke Swedia yang alatnya lebih lengkap.
Pada 15 Agustus 1972, Pada upacara kenegaraan di Istana Negara , Presiden Soeharto menyatakan bahwa
Bung Hatta dianugrahi Bintang Republik Indonesia Kelas I .
Setelah dirawat selama 11 hari di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Pada 14 Maret 1980 pada
pukul 18.56 Bung Hatta meninggal dunia. Keesokan harinya, Beliau disemayamkan di rumahnya di jalan
Diponegoro 57, Jakarta dan kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta dengan upacara
kenegaraan yang dipimpin oleh wakil presiden Adam Malik. Pada Tahun 1986, saat pemerintahan
Soeharto, Bung Hatta ditetapkan sebagai pahlawan Proklamator dan pada tahun 2012 tepatnya pada
tanggal 7 November Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Biografi Singkat Pangeran Antasari

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan
Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di
Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas,
Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Silsilah
Semasa muda nama dia adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti
Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir.
Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun
1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan
dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran
Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang
menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah
melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal
semasa masih bayi.

Pewaris Kerajaan Banjar


Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin
Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang
berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun
Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda
Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan
pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin
perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada
tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan
Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan
yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan
rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perlawanan terhadap Belanda


Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi
Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya
yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan,
Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda,
berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan
persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya
Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendirinnya.
Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin
tertanggal 20 Juli 1861.
“...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan
kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan
membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak
seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah
Kolonial Hindia Belanda:
1. Antasari dengan anak-anaknya
2. Demang Lehman
3. Amin Oellah
4. Soero Patty dengan anak-anaknya
5. Kiai Djaya Lalana
6. Goseti Kassan dengan anak-anaknya

Meninggal dunia
Monumen Perang Banjar yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang tentaranya yang
tewas.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah
pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11
Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun.
Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya
pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang
bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan Banjar dan
persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran
Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut.
Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti,
Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama
Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi
Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah
melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari
dalam uang kertas nominal Rp 2.000
Biografi Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 11 November 1785.


Nama lahirnya adalah Mustahar, namun kemudian nama lengkapnya berganti menjadi Bendara
Raden Mas Antawirya.
Diponegoro lahir dari pasangan Sultan Hamengkubuwana III dan R.A. Mangkarawati. Ayah
Pangeran Diponegoro adalah raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan Ibu Pangeran
Diponegoro merupakan istri selir raja yang berasal dari Pacitan.
Sebagai putra sulung, Diponegoro disiapkan untuk menggantikan posisi raja. Namun
Diponegoro menolak karena ibunya bukanlah permaisuri melainkan hanya selir. Beliau lebih
tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat.

Saat kecil, Diponegoro tidak tinggal di keraton, melainkan lebih memilih tinggal di Tegalrejo
yang merupakan tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo.

Sejarah Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro paling dikenal berkat perjuangannya dalam Perang Diponegoro yang
terjadi di Jawa antara tahun 1825 sampai 1830. Perang ini melibatkan pihak Pangeran
Diponegoro melawan pihak Belanda.

Penyebab perang Diponegoro pecah karena pemasangan patok-patok di tanah milik


Diponegoro di desa Tegalrejo. Diponegoro merasa kesal dengan perlakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat, ditambah kelakuan yang memang menyusahkan rakyat.

Diponegoro kemudian menentang Belanda secara terbuka. Hal ini didukung oleh simpati rakyat
yang juga muak dengan sikap Belanda. Pamannya, GPH Mangkubumi kemudian memberi saran
agar Diponegoro membuat markas di Gua Selarong.

Perlawanan Diponegoro pun meluas hingga mendapat dukungan dari tokoh agama, Kyai Maja
atas landasan semangat keagamaan. Selain itu Pangeran Diponegoro juga mendapat dukungan
dari Sunan Pangkubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.

Sementara pihak Belanda terus mengupayakan penangkapan Pangeran Diponegoro, bahkan


sampai melakukan sayembara dengan hadiah 50 ribu gulden untuk siapa saja yang berhasil
menangkap Diponegoro.

Perang Diponegoro menjadi perang terbuka dengan pengerahan pasukan dan senjata seperti
artileri dan kavaleri. Pertempuran terjadi di kota-kota dan desa-desa di seluruh Jawa.
Perebutan wilayah kekuasaan terjadi secara sengit dan berkelanjutan.

Pembangunan jalur logistik dari kedua kubu juga menjadi penting ditambah strategi tiap-tiap
kubu. Belum lagi produksi mesiu dan peluru sebagai senjata serta peran dari pihak medis, kurir
dan logistik lainnya juga sangat penting dalam peperangan. Strategi gerilya juga dilakukan oleh
tentara dari Pangeran Diponegoro.

Pihak Pangeran Diponegoro sering melancarkan serangan saat musim hujan agar pihak Belanda
kuwalahan. Namun hal ini diantisipasi oleh Belanda yang selalu mengusulkan gencatan senjata
saat musim hujan. Belum lagi taktik mata-mata dan provokator yang sering dijalankan oleh
Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda sempat mengerahkan lebih dari 20 ribu pasukan, jumlah
yang sangat besar. Pada tahun 1829, Kyai Maja yang menjadi pemimpin spiritual ditangkap,
menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima Sentot Alibasya yang juga ditangkap.

Akhirnya pada tanggal 27 Maret 1830, Pangeran Diponegoro disudutkan oleh pasukan Belanda
yang dipimpin Jenderal De Kock. Diponegoro kemudian bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggotanya dilepaskan.

Pangeran Diponegoro lalu ditangkap dan diasingkan ke Manado. Kemudian sempat


dipindahkan ke Makassar hingga akhirnya beliau wafat di Benteng Rotterdam pada tanggal 8
Januari 1855.

Perang Diponegoro menjadi salah satu perang terbesar dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia dengan cakupan wilayah besar dan jumlah pasukan yang juga besar.
Korban yang ditimbulkan pun sangat besar, diperkirakan lebih dari 200 ribu dari kedua pihak
serta penduduk.

Keluarga Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir dari pasangan Sultan Hamengkubuwana III dan R.A. Mangkarawati.
Selama hidup, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 orang istri di antaranya
yaitu :

 B.R.A. Retna Madubrangta (puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan)


 R.A. Supadmi (kemudian dikenal dengan nama R.A. Retnakusuma, putri Raden
Tumenggung Natawijaya III)
 R.A. Retnadewati (puteri kyai di Yogyakarta)
 R.Ay. Citrawati (puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika)
 R.A. Maduretno (puteri Raden Rangga Prawiradirjo III dan Ratu Maduretna)
 R.Ay. Ratnaningsih (putri Raden Tumenggung Sumaprawira)
 R.A. Retnakumala (putri Kyai Guru Kasongan)
 R.Ay. Ratnaningrum (putri Pangeran Penengah yang dikenal sebagai Dipawiyana II)
 Syarifah Fathimah Wajo (putri Datuk Husain)

Dari 9 istri, setidaknya Pangeran Diponegoro memiliki 22 anak, terdiri dari 12 anak laki-laki dan
10 anak perempuan.
Pangeran Diponegoro Wafat

Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di usia yang ke 69 tahun. Beliau wafat
saat diasingkan di Benteng Rotterdam di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pangeran
Diponegoro kemudian dimakamkan di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo,
sekitar 4 kilometer dari pusat kota Makassar.

Pangeran Diponegoro kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan keputusan


presieen di tahun 1973 (Keppres No. 87/TK/1973). Namanya banyak digunakan sebagai nama
jalan, gedung, tempat, universitas dan lain-lain, termasuk juga Universitas Diponegoro (UNDIP)
yang terletak di kota Semarang, Jawa Tengah.

Penghargaan juga diberikan oleh UNESCO yang menetapkan Babad Diponegoro sebagai
warisan ingatan dunia. Babad Diponegoro adalah naskah klasik yang dibuat oleh Pangeran
Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara yang menceritakan kisah hidupnya.

Biodata Pangeran Diponegoro

Nama lahir : Bendera Raden Mas Antawirya


Tempat lahir : Ngayogyakarta Hadiningrat
Tangga lahir : 11 November 1785
Tempat meninggal : Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal meninggal : 8 Januari 1855 (usia 69 tahun)
Makam : Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar
Status : Pahlawan nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai