Anda di halaman 1dari 36

ESSAY

Pemberdayaan Masyarakat Suku Terasing Di Sisi Ekonomi


Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat Baduy
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas UAS
Mata Kuliah Etnologi

Disusun Oleh:
Retno Dwi Lestari (NIM 1707400)

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Heraclitus seorang filusif Yunani mengatakan nothing endures but change,
tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan, disadari
atau tidak disadari akan terjadi, baik diinginkan ataupun tidak diinginkan. Seperti
halnya perubahan fisik manusia yang merupakan proses alami perubahan yang
tidak dapat dihindari oleh manusia. Demikian pula halnya dengan keadaan
masyarakat, pendidikan, sosial, politik, dan budaya yang seiring waktu akan
mengalami perubahan, perbedaannya terletak pada skala perubahan tersebut, cepat
dan drastis atau sebaliknya.
Walaupun perubahan merupakan hal yang pasti, namun ada hal-hal
mendasar yang sulit berubah, terutama bila sumbernya bersifat Illahiah. Hal ini
pula lah yang mungkin ingin diungkapkan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy memegang teguh prinsip pikukuh karuhun, yaitu
sebuah tata cara kehidupan dengan konsep tanpa perubahan. Masyarakat Baduy
memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup antara alam
dan manusia. Salah satu prinsipnya adalah “lojor teu meunang dipotong, pondok
teu meunang disambung”, yang artinya segala sesuatu dalam kehidupan tidak
boleh dikurangi maupun ditambah dan harus tetap utuh (Agustina, Z., Suharmiati.,
Ipa.M., 2016, p. 239).
Ketaatan terhadap peraturan adat pikukuh karuhun membuat sistem
hidupnya sederhana, minim perselisihan internal, dan memiliki sistem
kekerabatan yang kuat. Namun, bukan berarti sama sekali tidak ada perubahan
yang terjadi di Masyarakat Baduy. Pengaruh dari luar, terutama dari masyarakat
sekitar dan para pendatang yang berkunjung ke daerah Baduy, merupakan salah
satu penyebab terjadinya berbagai perubahan. Pembangunan jalan, jembatan,
pasar, dan penginapan mempermudah akses kunjungan wisatawan ke daerah
Baduy, tidak terkecuali Kawasan Baduy Dalam di Desa Cikeusik. Seiring dengan

1
hal tersebut, jumlah sampah anorganik dari berbagai produk kemasan dapat
ditemui dengan mudah di daerah ini.
Kelonggaran aturan adat lebih banyak diarahkan untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi, seperti konsumsi dan menjual makanan kemasan,
memperbolehkan berladang di luar wilayah Baduy, menanam jenis-jenis pohon,
seperti sengon, mahoni, dan kayu afrika (Senoaji, 2011, p. 18). Kelonggaran ini
pula yang memberikan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan
Baduy Luar.
Terjadinya perubahan Masyarakat Baduy dan dampak lingkungan yang
ditimbulkan diperparah dengan minimnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Data yang dirilis oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia, menyatakan bahwa Desa Kanekes, wilayah
yang ditempati orang Baduy, termasuk dalam katergori desa sangat tertinggal.
Tabel 1. Indeks Desa Cikeusik Tahun 2016

Provinsi Kabupaten/Kota Kecamatan Desa Indeks Desa Kategori


Membangun
KABUPATEN SANGAT
BANTEN LEUWIDAMAR KANEKES 0.47
LEBAK TERTINGGAL
Sumber: http://datin.kemendesa.go.id/pusdatin/simpora1/report_tertinggal_ipdsmry.php diunduh
tanggal 12 November 2017 jam 12:14

Desa Sangat Tertinggal atau yang disebut Desa Pratama berdasarkan


PermendesaPDTTrans Nomor 2 Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun
adalah Desa yang mengalami kerentanan karena masalah bencana alam,
goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan mengelola
potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan
dalam berbagai bentuknya. Desa Sangat Tertinggal atau Desa Pratama adalah
Desa yang memiliki Indeks Desa Membangun kurang dan lebih kecil (≤) dari
0,4907 (https://www.jogloabang.com/pustaka/permendesapdttrans-nomor-2-
tahun-2016-tentang-indeks-desa-membangun diunduh tanggal 12 November 2017
jam 14.35).

2
Indikator yang digunakan sebagai alat daerah tertinggal dilihat dari
(http://setkab.go.id/122-daerah-ini-ditetapkan-pemerintah-sebagai-daerah-
tertinggal-2015-2019/, diunduh tanggal 12 November 2017 jam 12:08):
a. perekonomian masyarakat;
b. sumber daya manusia;
c. sarana dan prasarana;
d. kemampuan keuangan daerah;
e. aksesibiltas; dan
f. karakteristik daerah
Di sisi lain, Masyarakat Baduy memiliki potensi yang sangat besar.
Pertama, disisi masyarakat yang memiliki nilai filosofis yang kuat, setia, dan royal
pada pimpinan. Kelompok masyarakat ini memiliki tujuan yang sama, sehingga
bila ada pendekatan pemberdayaan yang tepat, akan dilaksanakan dari hulu ke
hilir yang pada akhirnya tingkat pencapaian yang diharapkan akan maksimal.
Kedua, tanah ulayat seluas 5.136,8 hektar yang menjadi daerah masyarakat Baduy
dapat dikelola dengan optimal melalui penanaman berbagai macam tumbuhan.
Saat ini baru terbatas pada huma, petai, iris, dll. Ketiga, unsur budaya yang kental
dapat menjadi daya tarik bagi para peneliti dan pengunjung untk datang dan turut
meningkatkan perekonomian masyarakat baduy. Bukan hanya tata cara hidupnya
yang menarik, tetapi juga kekayaan berupa tenun Baduy yang dapat
dioptimalisasikan pemasarannya.
Melihat kondisi demikian, maka diperlukan pendekatan pemberdayaan
masyarakat yang tepat agar bisa dilaksanakan dan berhasil. Pendekatan yang
paling mudah dilakukan adalah dengan pemberdayaan ekonomi untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat yang masuk kategori sangat tertinggal, tanpa
meninggalkan kearifan lokal masyarakat Baduy. Berangkat dari pemikiran
tersebut, maka essay ini mengambil judul, ” Pemberdayaan Masyarakat Suku
Terasing Di Sisi Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat
Baduy”.
Tulisan ini berdasarkan observasi yang dilakukan pada tanggal 12 sampai
13 Oktober 2017 di Baduy Dalam Cikeusik Desa Kanekes Kecamatan

3
Leuwidamar dan Ciboleger Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar, Kab.
Lebak, Banten. Metode pengambilan data adalah observasi, wawancara terbuka,
dan studi pustaka yang kemudian dianalisis menggunakan analisis SWOT.
Analisis ini dapat dikembangkan menjadi strategi pemberdayaan bidang ekonomi
yang berbasis kekuatan kearifan lokal di Masyarakat Baduy.

1.2 Rumusan Masalah


Berangkat dari adanya pikukuh karuhun Baduy, perubahan ekonomi
masyarakat, dampak perubahan ekonomi, dan kondisi masyarakat yang masuk
kategori sangat tertinggal, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kehidupan ekonomi Masyarakat Baduy?
2. Apa saja perubahan ekonomi yang terjadi di Masyarakat Baduy?
3. Bagaimana strategi pemberdayaan bidang ekonomi yang berbasis
kekuatan kearifan lokal di Masyarakat Baduy?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian Masyarakat Baduy Dalam Cikeusik adalah:
1. Memberikan gambaran mengenai kehidupan ekonomi dan perubahan
yang terjadi Masyarakat Baduy.
2. Memberikan gambaran mengenai hal-hal dan penyebab perubahan
ekonomi yang terjadi di Masyarakat Baduy.
3. Melakukan analisis SWOT di sisi ekonomi untuk merumuskan strategi
pemberdayaan berbasis kekuatan lokal di Masyarakat Baduy, meliputi:
a. Optimalisasi alam untuk kebutuhan sehari-hari
b. Peningkatan nilai jual barang dan jasa masyarakat
c. Peningkatan kesadaran pengelolaan lahan dan keseimbangan
lingkungan

4
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Sistem Sosial dan Hukum Adat
Sistem sosial di bentuk karena adanya hubungan antar individu. Hal ini
karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia melakukan
interaksi dengan manusia lainnya yang mengakibatkan terciptanya kelompok yang
saling bergaul dan berinteraksi dalam waktu yang relatif cukup lama. Mereka
saling menyadari bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dan menciptakan
kehidupan bersama berdasarkan hukum yang disepakati (Wiranata, 2005, p. 128).
Secara sederhana, pola manusia dan munculnya perilaku hukum
digambarkan sebagai berikut (Wiranata, 2005, p. 128):
Manusia
 Ragam pikiran
 Ragam kehendak
 Ragam Perilaku

Manusia Pimpinan Manusia


Makhluk Pribadi Masyarakat Makhluk Sosial

Mekanisme Berpola
 Kebolehan
 Adat
 Larangan
 Hukum

Perilaku Ideal Perilaku Menyimpang


Layak, patut, baik, benar Tidak layak, Membunuh,
dll

Sanksi Faktor
 Hukum tertulis Ekonomi, politik, sosial,
 Hukum tidak tertulis budaya, dll

Perilaku Hukum
 Penerimaan Hukum
 Penolakan Hukum

5
Dalam gambar tersebut, terdapat dua kemungkinan perilaku masyarakat
terhadap hukum atau adat yang berlaku, yaitu sebagai perilaku ideal sebagai
perilaku menyimpang. Hukum adat sendiri adalah aturan perilaku yang berlaku
bagi orang-orang pribumi yang di satu pihak mempunyai sanksi dan dipihak lain
tidak dikodifikasi (Wiranata, 2005, p. 11). Pada masyarakat Baduy, kelompok
yang menolak hukum, dipersilahkan untuk keluar area taneuh titipan, sehingga
mereka membentuk sebuah komunitas baru dengan nama Baduy Luar. Sedangkan
masyarakat yang menerima hukum, maka akan tetap di kawasan taneuh titipan
yang dikenal dengan Baduy Dalam, terdiri dari Desa Cikeusik, Cikartawarna, dan
Cibeo.
Sistem sosial masyarakat Baduy Dalam merupakan sistem sosial tertutup.
Sistem ini sering disebut sebagai sistem yang kaku atau ekstrim. Akibatnya,
kemampuan pribadi tidak diperhitungkan dalam menentukan tinggi rendah
kedudukan seseorang di masyarakat. Sistem pelapisan sosial tertutup memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (Waluya, 2007, p. 22):
1. Kedudukan ditentukan atas keturunan
2. Kedudukan yang diperoleh atas dasar keturunan tidak dapat diubah dan
berlaku seumur hidup, kecuali karena suatu pelanggaran sehingga
seorang pewaris kedudukan dikeluarkan dari kelompoknya
3. Hubungan antarsesama ditentukan atas dasar kesamaan kedudukan
dengan mengikuti pola perilaku dan tata krama adat yang berlaku
4. Harga diri yang dimiliki individu merupakan pandangan hidupnya

2.2 Sistem Ekonomi Tradisional


Sistem ekonomi adalah sistem untuk mengatasi masalah kelangkaan yang
digunakan untuk membuat pilihan tenatng alokasi sumber daya yang terbatas
untuk digunakan seefisien mungkin. Sistem ekonomi tradisonal adalah peran
bersama dalam perekonomian yang dilandasi oleh kesamaan garis nenek moyang
(Kurniawan P., Budhi, M., 2015, p. 2-3). Kegiatan produksi dalam sistem ini
dilakukan secara gotong royong dan bersifat kekeluargaan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar.

6
Adapun ciri-ciri sistem ekonomi tradisional adalah (Kardiman, Endang,
Ahmad, 2006):
1. Kegiatan produksi umumnya mengolah tanah dan mengumpulkan
benda yang tersedia oleh alam
2. Alat produksi masih sederhana
3. Sangat tergantung pada alam
4. Hasil produksi untuk kebutuhan mininal dan bersifat homogen
5. Hasil industri berupa hasil kerajinan tangan
6. Belum mengenal tukar menukar secra kredit
Dalam sistem ini, hubungan kekeluargaan sangat kuat sehingga
mengutamakan kepentingan bersama. Tetapi, penguasaan teknologi sangat minim
sehingga hasil produksi minimal dengan kualitas yang relatif rendah.

2.3 Perubahan Sistem Sosial dan Ekonomi


Perubahan masyarakat dalam arti luas, dapat mengakibatkan efek positif
dan negatif. Perubahan di satu sisi akan mengakibatkan perubahan di sisi lainnya
yang memungkinkan terjadinya gangguan keseimbangan kehidupan masyarakat.
Kemungkinan yang muncul atas perubahan ini adalah (Susanto, 1983, p. 157-
158):
1. manusia menemukan sistem nilai dan falsafah hidup yang baru
2. manusia tenggelam dalam persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat
mengambil sikap terhadap keadaan baru
Adanya perubahan itu sendiri diakibatkan karena inovasi, invensi,
adaptasi, dan adopsi atas sistem ekonomi baru. Selain itu, keadaan geografi
masyarakat, keadaan biofisik kelompok, kebudayaan, dan sifat anomi manusia
yang merupakan faktor saling tarik menarik sehingga muncul perubahan
(Susanto, 1983, p. 165-166).
Namun, ada pula yang menolak perubahan yang terjadi. Penyebabnya
yang pertama adalah kurangnya hubungan dengan masyarakat lain atau dapat
dikatakan terisolasi atau mengasingkan diri. Penyebab lainnya adalah
ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan, sikap untuk mempertahankan nilai-nilai

7
leluhur, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat dalam
masyarakat tersebut, adanya ketakutan bila perubahan akan mengantarkan pada
goncangan kebudayaan, dan adat istiadat yang mengikat (Tim Mitra Guru, 2006).

2.4 Desa Sangat Tertinggal


Berdasarkan PermendesaPDTTrans Nomor 2 Tahun 2016 tentang Indeks
Desa Membangun, Desa Sangat Tertinggal atau yang disebut Desa Pratama
berdasarkan adalah desa yang mengalami kerentanan karena masalah bencana
alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan
mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami
kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Desa Sangat Tertinggal atau Desa Pratama
adalah Desa yang memiliki Indeks Desa Membangun kurang dan lebih kecil (≤)
dari 0,4907 (https://www.jogloabang.com/pustaka/permendesapdttrans-nomor-2-
tahun-2016-tentang-indeks-desa-membangun diunduh tanggal 12 November 2017
jam 14.35).
Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi
sesuai dengan mandat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengemukakan bahwa
pembangunan desa mengedepankan prinsip keberagaman, azaz rekognisi dan
subsidiaritas serta menguatkannya jenis-jenis kewenangan Desa. Pasal 4 Undang-
undang Desa menguraikan bahwa tujuan pengaturan Desa adalah (Indeks Desa
Membangun, 2015):
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;

8
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Arahan ini bertujuan untuk memperluas ekonomi pedesaan dan
mengembangkan sektor pertanian didukung dengan ketersediaan sarana dan
prasarana perekonomian desa dan akses kredit keuangan dan sumber permodalan,
riset dan tekhnologi, serta penyediaan informasi. Cita-cita pemerintah berdasarkan
Nawacita adalah pengembangan Indeks Desa Membangun mampu menjangkau
semua sisi kehidupan desa, mulai dari dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi yang
memberikan jalan pada pembangunan Desa berkelanjutan yang lekat denan nilai,
budaya, dan karakteristik desa (IDM, hal. 3).

Gambar 1. Tiga Dimensi Pembangunan Desa

9
Adapun indikator pembangunan desa adalah sebagai berikut (IDM, hal.
29):
No Variabel Indikator
1 Keragaman produksi Terdapar lebih dari satu jenis kegiatan
masyarakat desa ekonomi penduduk
2 Tersedia pusat pelayanan 1. akses penduduk ke pusat perdagangan
perdagangan dan akses (pertokoan, pasar permanen, dan semi
distribusi / logistik permanen)
2. terdapat sektor perdagangan di
permukiman (warung dan minimarket)
3. terdapat kantor pos dan jasa logistik
3. Akses ke lembaga 1. tersedianya lembaga perbankan umum
keuangan dan perkreditan 2. tersediana BPR
3. akses penduduk ke kredit
4. Lembaga ekonomi 1. Tersedianya lembaga ekonomi rakyat
(koperasi)
2. Terdapat usaha kedai makanan, restoran,
hotel, dan penginapan
5. Keterbukaan wilayah 1. Terdapat moda transportasi umum
2. Jalan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor
roda empat atau lebih (sepanjang tahun,
kecuali saat-saat tertentu)
3. Kualitas jalan desa (jalan terluas di desa
dengan aspal, kerikil, dan tanah)

2.5 Kearifan Lokal Dan Pembangunan Ekonomi


Tujuan pembangunan adalah memanfaatkan kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan, memperbaiki keadaan materi dan mental manusia, agar dengan
perbaikan ini, martabat manusia dapat ditingkatkan (Susanto, 1983, p. 160).
Pembangunan menitikberatkan pada peningkatan manusia, bukan hanya
menyesuaikan terhadap perubahan, tetapi menghindari munculnya kekacauan
kehidupan karena adanya perubahan tersebut. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, karena perubahan satu akan merubah aspek lain yang mempengaruhi
kehidupan (mutual interdependent).
Hebert Fraenkel dalam tulisannya some conceptual aspects of technical
change menyebutkan bahwa perubahan yang dialami manusia harus dijadikan an
adventure in the art of goverment and mutual adaptation in free societies (dalam
Susanto, 1983, p. 161). Perubahan akan lebih cepat terjadi di bidang ekonomi,

10
dibandingkan dengan kesenian, bahasa, pengetahuan, organisasi kemasyarakatan,
dan religi (Koentjaraningrat, 2004). Menurut Susanto (1983, p. 171), hal tersebut
disebabkan karena perubahan ekonomi tidak memerlukan perubahan mental
terlebih dahulu. Koenjataningrat (2004), menyusun unsur budaya menjadi:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknomogi dan peralatan
Dalam sistem tersebut, semakin besar angka dari unsur kebudayaan, maka
akan semakin mudah berubah. Sejalan dengan hal tersebut, Indeks Desa
Membangun dari pemerintah yang mengkolaborasikan antara ekonomi, sosial, dan
ekologi yang didalamnya ada unsur mempertahankan nilai budaya, maka
kebijakan pembangunan ekonomi melalui pendekatan kearifan lokal bukanlah
sesuatu hal yang mustahil dilakukan di masyarakat tradisional, seperti Masyarakat
Baduy.

2.6 Analisis SWOT


Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threats)
merupakan prosedur sistematis untuk mengidentifikasikan faktor-faktor kunci
keberhasilan, meliputi kekuatan menghadapi kelemahan internal dan peluang
berhadapan dengan ancaman eksternal. Analisis ini digunakan sebagai salah satu
penyusunan strategi untuk memaksimalkan kesempatan dan peluang yang
dimiliki. Selain itu, melalui analisis ini, dapat diketahui langkah-langkah untuk
menetralisir kekurangan yang ada di masyarakat Baduy dan menghindari
kelemahan yang dimiliki (Griffin, 2004, hal. 249). Tujuannya agar ada
peningkatan masyarakat baduy di sisi ekonomi, alih-alih fokus pada keterbatasan
pikukuh yang mereka miliki.

11
Kekuatan terkait dengan keahlian dan sumber daya yang dimiliki
masyarakat Baduy yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Sedangkan
kelemahan merujuk pada kekurangan masyarakat baduy dalam keahlian
pengelolaan sumber daya untuk peningkatan ekonomi. Di sisi satunya, peluang
merupakan pemanfaatan dan pemaksimalan potensi Masyarakat Baduy yang dapat
dijadikan pendongkrak ekonominya, sedangkan ancaman merupakan sikap atau
tindakan yang kemungkinan muncul karena adanya strategi pembangunan,
terutama dari sisi internal.

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Geografis


Masyarakat Baduy Dalam Cikeusik menempati Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kab. Lebak, Banten. Area ini merupakan daerah bukan pesisir yang
termasuk ke dalam lereng/punggung bukit.. Mereka tinggal dalam kawasan tepi
hutan dengan luas 5.100,38 Ha. Luas tanah tersebut digunakan untuk ladang,
kebun, dan kolam sebanyak 5.008,88 Ha; perumahan sebanyak 88,5 Ha; dan
kuburan, jalan, lapangan olahraga, dll sebanyak 3 Ha (Katalog BPS Kecamatan
Leuwidamar Tahun 2014, hal. 3-10).
Gambar 2. Peta Kecamatan Leuwi Damar

Sumber: http://lebakkab.go.id/pemerintahan/kecamatan/profil-kecamatan diunduh tanggal


13 November 2017 jam 04.48
Jumlah produksi padi ladang per tahun adalah 565,60. Jumlah penduduk
adalah 11.279 jiwa dengan lulusan pendidikan paling tinggi adalah Sekolah Dasar
sebanyak 123 jiwa. Masyarakat Baduy Dalam Cikeusik sendiri, berdasarkan hasil
wawancara menghuni daerah Cikeusik dengan jumlah penduduk sekitar 300
orang. Di daerah ini, pendidikan formal dilarang, sehingga mata pencaharian
utama adalah petani.

13
3.2 Sistem Sosial Masyarakat Baduy
Cikeusik merupakan daerah awal yang diyakini awal mula manusia.
Daerah ini merupakan pusat dunia (pancer bumi), tempat segala sesuatu berasal.
Tanah dianggap keramat yang harus dijaga kemurniannya. Salah satu bentuknya
adalah larangan bersawah karena kegiatan mencangkul berarti membolak-balik
bumi dengan cangkul.
Pandangan bahwa dirinya berada di pusat bumi memposisikan masyarakat
Baduy Dalam di Cikeusik menjadi Urang Tangtu yang paling ketat menjaga
amanat leluhur dengan sikap yang teu wasa (tidak berdaya) melanggar adat.
Sedangkan dua daerah Baduy Dalam lainnya, yaitu Cikertawarna dan Cibeo
disebut sebagai Urang Tangtu Tilu dan Urang Girang. Ketiga daerah ini, terutama
Cikeusik menjadi kawasan adat yang dijadikan patokan kehidupan bagi
masyarakat Baduy Luar atau panamping, yaitu masyarakat yang tinggal di
wilayah suci.
Kehidupan masyarakat Baduy berpedoman pada (Djoewisno, 1987 dalam
Senoaji, p. 18):
1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak akan membunuh nyawa orang
lain)
2. Modal mibanda pangaboga nu lian (tidak akan mengambil barang
orang lain)
3. Moal linyok moal bohong (tidak akan ingkar dan bohong)
4. Moal muricaan kana inuman nu matak mabok (tidak akan meminum
alkohol)
5. Moal midua ati ka nu sejan (tidak akan menduakan hati pada orang
lain)
6. Moal barang dahar dina waktu ka kungkung peting (tidak akan makan
pada malam hari)
7. Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak akan
menggunakan wangi-wangian)
8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam
tidur)

14
9. Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih, atawa kembang (tidak
akan menyenangkan hati dengan tarian, musik, atau nyanyian)
10. Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata)
Pedoman tersebut dipegang erat dan dilaksanakan dengan taat dibawah
anjuran dan pengawasan Pu’un. Pu’un sebagai pimpinan tertinggi adat baduy
adalah keturunan batara, dianggap sebagai penguasa yang harus ditaati segala
perintah dan perkatannya (Senoaji, p. 18). Batara merupakan Kuasa yang tidak
bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati dan mengetahui segala
sesuatu yang bergerak di dunia. Pu’un dianggap memiliki kekuatan bersumber
dari Batara yang diperoleh melalui pendidikan sejak kecil dan wangsit. Dalam
teori teologis Auguste Comte, tahapan berpikir seperti ini adalah tahap metafisik,
yaitu kondisi masyarakat yang terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi dan tidak ada
usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam (Sucipto, p. 25).
Di perkampungan Baduy Dalam Cikeusik tidak dibenarkan untuk
membangun menggunakan bahan-bahan yang diproduksi dari industri mesin.
Bahkan, dalam pembuatan rumah, tidak ada paku, potongan kayu oleh gergaji,
dan engsel pintu. Semuanya dibuat secara alami dengan pasak-pasak dan tali
temali menggunakan rotan.

3.3 Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat Baduy


Mata pencaharian Masyarakat Baduy sebagian besar menjadi petani
(43,22%) dan buruh tani (54,88%), sedangkan sisanya menjadi pedagang (1,9%)
atau menenun. Mengolah lahan merupakan kewajiban, demikian pula dengan
menenun. Hanya saja, tenun lebih ditekankan pada keahlian yang harus dimiliki
oleh setiap wanita Baduy, seperti falsafah Baduy yang berbunyi (Maftukha, 2017,
hal 54)
“ Manuk hirup ku jangjangna (burung hidup dengan sayapnya),
Lauk hidup ku asangna (ikan hidup dengan insangnya),
Jelema hirup ku akalna (manusia hidup dengan akalnya),
Otak, taktak, jeung ceplak (otak, bahu, dan bahasa),
Mun teu bisa unyam-unyem, kudu bisa unyam-anyam (kalau tidak bisa
berbahasa dengan baik, harus bisa menenun)”

15
Gambar 3. Pembuatan Kantong Koja Gambar 4. Alat tenun

Lahan untuk pertanian diberikan kepada masing-masing keluarga dengan


hak ulayat, yaitu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupan yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Senoaji,
2004, p. 145).
Dalam pengolahan lahan, kewajiban utama adalah menanam padi. Namun
karena kegiatan bersawah dilarang, maka padi dibuat dengan jenis huma atau padi
kering. Masyarakat Baduy memiliki peraturan sekaligus tahapan yang harus
dilaksanakan dalam menanam padi dan tanaman lainnya, yaitu:
1. Nyacar atau nebang, merupakan pertama untuk membuka ladang
dengan menebang pohon di lahan tersebut kemudian membiarkan
hingga kering
2. Ngaduruk atau membakar, merupakan kegiatan membakar pepohonan
kering dari hasil nyacar dengan tujuan untuk menghasilkan humus
agar tanah menjadi subur
3. Ngaseuk atau melubangi tanah untuk menanam bibit dengan
menggunakan kayu runcing
4. Ngored atau menyiangi rumput dengan tujuan padi tumbuh dengan
baik

16
5. Dibuat atau memetik pagi yang dilaksanakan pada musim panen, yaitu
6 bulan setelah penananam
Khusus padi atau huma, dilarang untuk dijual. Hal ini sebagai bentuk
ketahanan pangan masyarakat Baduy. Huma tersebut disimpan di leuit untuk
digunakan konsumsi sehari-hari sekaligus menjaga persediaan bila terjadi
paceklik. Terlihat dari prinsip ini bahwa masyarakat Baduy hidup secara mandiri
karena mereka telah memikirkan bertahan dalam keadaan tidak terprediksi di
masa mendatang.

Gambar 5. Huma Gambar 6. Leuit


Seiring dengan pertumbuhan penduduk, saat observasi yang kami lakukan,
persediaan leuit tidak selamanya mencukupi kehidupan sehari-hari. Kepemilikan
lahan yang diwajibkan bagi setiap kepala keluarga mengakibatkan masing-masing
keluarga memiliki lahan yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Terlebih
lagi kegiatan ngahuma dilakukan hanya satu tahun sekali di bulan kalima,
katujuh, kapit kayu, atau kasalapan. Tani yang dilakukan pun tergolong
tradisional, tidak menggunakan pestisida, pupuk, bibit unggul hasil penelitian, dan
lainnya yang tergolong sebagai usaha peningkatan produksi.
Bibit tani didapat dari Baduy Dalam, yaitu Cikesuik. Bibit ini dijadikan
satu-satunya sumber tanam bagi seluruh masyarakat, baik Baduy Dalam maupun
Baduy Luar. Pelaksanaan tani dilakukan gotong royong, tua muda. Saat kami
melakukan observasi di Desa Cikeusik, hanya ada 3 orang warga dan 2 orang
anak kecil yang berada di desa. Mereka bertugas untuk menjaga kampung selama
warga lainnya sedang berladang. Setelah meladang, para pimpinan adat, yaitu

17
pu’un akan memberikan jampi-jampi dan berbagai dedaunan di sekitar ladang
untuk menghalau hama dan gangguan lain yang menyebabkan gagal panen.
Melihat cara berladang yang tradisional tersebut, tidak heran bila
seringkali masyarakat Baduy harus membeli beras di pasar terdekat atau melalui
pedagang keliling yang mampir ke daerah mereka karena terbatasnya hasil panen.

Gambar 7. Anak-Anak Baduy yang


mengangkut belanjaan dari pasar terdekat

Melalui kegiatan tersebut, masyarakat Baduy mengenal baik mengenai


perdagangan. Mereka secara aktif membeli barang-barang yang tidak dihasilkan
sendiri atau produksinya kurang dan menjual barang-barang yang produksinya
berlebih. Biasanya hasil bumi yang dijual ke pasar terdekat adalah pisang, labu
siam, ketimun, kacang, hiris, durian, dan pete.
Banyaknya pengunjung yang hampir setiap hari, terlebih Sabtu dan
Minggu, dijadikan pula peluang peningkatan ekonomi, terutama di Baduy Luar.
Warung-warung sederhana di gelar di masing-masing teras rumah menjajakan
aneka minuman kemasan, makanan ringan, madu hutan, dan tenun.

18
Gambar 8. Warung sederhana Gambar 9. Proses transaksi jual beli
masyarakat baduy

Gambar 10. Penjualan hasil tenun


Kegiatan ekonomi, terutama dari sisi perdagangan terlihat semakin terbuka
dan berkembang terhadap pengaruh luar. Masyarakat mencari barang-barang yang
kiranya dibutuhkan oleh pengunjung, seperti minuman kemasan dan makanan
ringan dan menonjolkan barang-barang asli hasil olahannya sendiri, seperti tenun
dan madu hutan sebagai daya tarik untuk pembeli.
Modern market pun sudah di bangun di kawasan Ciboleger dan sudah
dijadikan tempat transaksi jual beli secara aktif oleh masyarakat Baduy. Minuman
kemasan dan mie instan merupakan barang yang kerap kali kami temukan saat
masyarakat baduy melalukan transaksi pembelian.

19
Gambar 11. Mini market modern di kawasan Baduy Luar

3.4 Peraturan Pikukuh Bidang Ekonomi Masyarakat Baduy dan


Perubahannya
Seperti yang dijelaskan di Bab II, sisi ekonomi dan mata pencaharian
merupakan sisi yang lebih mudah berubah dibanding sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
dan kesenian. Terlebih bila ada kekurangan dalam pemenuhan ekonomi di
masyarakat baduy, seperti terbatasnya hasil produksi dan peningkatan jumlah
konsumsi diakibatkan peningkatan jumlah penduduk.
Pikukuh menyebutkan bahwa,“Sare tamba hanteu tunduh, madang tamba
teu lapar, make tamba teu talanjang (tidur sekadar pelepas kantuk, makan cukup
pelepas lapar, berpakaian sebatas tidak telanjang)”. Sistem ini menekan keinginan
manusia untuk memperoleh pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi (sekunder dan
tersier). Potensi tanah hanya digunakan untuk menanam tanaman yang mereka
perlukan. Sungai hanya digunakan sebagai area konsumsi minum, mandi,
mencuci, dan buang hajat. Hutan dan madu hanya mengambil yang tersedia.
Demikian pula tenun, terlepas yang dihasilkan berbagai warna dengan corak yang
berbeda, namun mereka menggunakan baju berwarna hitam dan putih.

20
Sistem ini menjauhkan masyarakat Baduy dari eksploitasi alam dan
mendorong untuk tetap sederhana dan sekucupnya. Aktifitas ekonomi masyarakat
Baduy sudah sempurna karena telah meliputi produksi, konsumsi, dan distribusi.
Produksi, seperti madu hutan, tenun baduy, aneka hasil bumi pisang, labu siam,
ketimun, kacang, hiris, durian, dan pete. Konsumsi, seperti membeli beras bila
huma terbatas, ikan asin, dan minuman kemasan serta makanan ringan. Terakhir
distribusi, seperti pergi ke pasar dan membuka warung sederhana untuk menjual
barang. Di bidang jasa, mereka pun menyediakan penghubung antara pelancong
dengan ketua adat agar dapat masuk ke wilayah Baduy Dalam. Selain itu, ada
porter yang dengan sigap dapat mengangkut barang-barang bawaaan pelancong
sebagai salah satu fasilitas kemudahan bagi pelancong. Hal tersebut dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat pun bisa mencari dan
memanfaatkan peluang yang ada dengan banyaknya para pengunjung ke kawasan
tersebut.
Perubahan memang terjadi, terutama di bidang konsumsi dan distribusi.
Pikukuh berupaya agar perubahan ini bukan dalam konteks meningkatkan taraf
kehidupan atau memperkaya, melainkan dalam artian memenuhi kebutuhan hidup
dasar yang mulai sulit terpenuhi seluruhnya karena keterbatasan lahan dan
peningkatan penduduk. Namun agaknya, nilai pikukuh pun lama-lama tergerus
dengan adanya pengaruh luar.
Djoewisno (1987 dalam Senoaji, p. 18), disebutkan bahwa salah satu
prinsip masyarakat baduy adalah “moal make emas atawa salaka” (tidak
memakai emas atau permata). Berdasarkan hasil observasi, para wanita baik
masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar, menggunakan perhiasan emas di
leher, tangan, dan jarinya. Bahkan dalam kebakaran yang terjadi pada 24 Mei
2017 di rumah adat Baduy Luar, kerugian salah satu warganya adalah terbakarnya
emas yang disimpan di rumah kurang lebih 30 gram (hasil wawancaran dengan
Kang Iwan, penggiat pendidikan).
Perubahan layaknya kue besar yang menarik bagi masyarakat Baduy. Di
kalangan generasi muda masyarakat Baduy, ada dorongan kuat mengikuti
kehidupan luar, seperti sekolah, memiliki kendaraan dan elektronik, bahkan saat

21
ini sudah ada anggota DPR dari masyarakat Baduy. Namun, ada pula yang masih
menjaga pikukuh karuhun, terutama generasi tua yang memandang bahwa
pendidikan khususnya, dan perubahan pada umumnya dapat memberikan efek
negatif bagi kehidupan. Ketika anak-anak baduy menjadi pintar, tidak ada lagi
yang ingin menjaga kebudayaan dan adat Baduy, bahkan mungkin menjadi bagian
dari elit negara ini yang membodohi orang dengan kepintaran yang mereka miliki.
Ini pula yang terjadi dalam keluarga Pak Sarpin. Salah satu tokoh yang
kami temui untuk mendapatkan informasi. Ibunya, Nasina, mengaku telah berusia
99 tahun, merupakan generasi tua yang masih memegang teguh pikukuh.
Sedangkan Pak Sarpin, sebagai Putra bungsunya dan isterinya Misnah, mewakili
generasi Baduy terpelajar. Arsid, cucu Nasina yang menjadi pengusaha kain tenun
Baduy, mewakili generasi Baduy yang memiliki visi bisnis dan kemampuan
membangun jejaring untuk mendukung bisnisnya. Didukung dengan online
marketing, dengan nama “misnah kain tenun baduy”, tenun misnah merambah ke
pasar global.

22
Gambar 12. Laman Misnah Kain Tenun Baduy
Dua dekade lalu, aparat adat sering melakukan inspeksi untuk
mengeluarkan barang-barang berbau modern dari rumah Baduy, baik luar maupun
dalam. Walaupun inspeksi masih dilakukan, namun rentang waktunya semakin
jarang. Sebelum kunjungan kami di Bulan Oktober, beberapa bulan sebelumnya
dilakukan inspeksi besar-besaran. Barang-barang yang dianggap modern dan tidak
sesuai, dikumpulkan dan dibakar. Pada masa-masa tersebut pun, pengunjung
dibatasi karena para penghubung memandang kondisinya genting.
Namun, kondisi ini lebih baik bila dibandingkan thun 1984 sampai 1992.
Pada masa tersebut, kantor desa pun tidak memiliki alat-alat modern, seperti
mesin ketik. Aturan adat hanya memperbolehkan tulis tangan. Mengenai
keuangan kantor desa, segala subsidi ditolak dan mengandalkan iuran warga
dalam bentuk padi sebanyak lima ikat.
Adanya kelonggaran pikukuh, membuat masyarakat Baduy, terutama yang
di Luar memiliki semangat untuk sekolah, melek tekhnologi, menggunakan
kendaraan, dan sebagainya. Sekelompok anak di Ciboleger secara sembunyi-
sembunyi menimba ilmu di PKBM Kencana Ungu. Mereka biasanya keluar
dengan alasan akan berjualan hasil tani atau tenun. Terlihat bahwa generasi muda
ingin berlomba mengejar ketertinggalan, sedangkan generasi tua mulai terseok-
seok mempertahankan adat istiadat yang semakin terjepit dengan berbagai
kebutuhan, terutama ekonomi.

23
Perubahan pun didorong oleh pemerintah, dalam hal ini DPD Banten
Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia, melalui kegiatan Baduy Travel Mart.
Kegiatan ini merupakan event tematik di bidang pariwisata sebagai ajang promosi
dan silahturahmi para pelaku industri pariwisata yang mempertemukan antara
seller dengan buyer, baik domestik maupun mancanegara.
Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 10 sampai 12 November 2017
ini diawali dengan city tour kota Rangkas Bitung sebagai “The Legend City” dan
fieldtrip ke wilayah Adat Kaolotan Baduy. Diikuti oleh 80 orang peserta yang
terdiri dari pihak agen travel, hotel, restoran, dan pelaku industri pariwisata
lainnya. Selain pengenalan area Baduy yang menjadi tujuan wisata, kegiatan ini
bertujuan untuk melakukan transaksi pariwisata yang akan diproyeksikan di
daerah tersebut (https://excitingbanten.com/ diunduh tanggal 28 November 2017
jam 02.43).

3.5 Desa Leuwidamar, kawasan Masyarakat Baduy sebagai Desa Sangat


Tertinggal
Dalam pandangan nasional, salah satu pemukiman masyarakat Baduy
termasuk dalam desa sangat tertinggal. Dalam Permendesa, desa tertinggal
dianggap tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi,
dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.
Secara umum dalam hitungan kabupaten, angka kemiskinan Kabupaten
Lebak adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2, dan Garis
Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2016
Jumlah Persentase Garis Kemiskinan
No Kode Kabupaten/Kota Penduduk Penduduk P1 P2 (Rp/Kap/ Bulan)
Miskin (000) Miskin

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


3602Lebak 111,21 8,71 1,14 0,21 246.389
19
Sumber:
http://datin.kemendesa.go.id/pusdatin/simpora1/dashboard_kemiskinandsb.php
diunduh 28 November 2017 jam 00.27
Dilihat dari indikator pembangunan desa, review di wilayah Baduy adalah
sebagai berikut:

24
Tabel 3. Cek Indikator Indeks Desa Membangun
No Variabel Indikator Cek
1 Keragaman Terdapat lebih dari satu jenis kegiatan X
produksi ekonomi penduduk
masyarakat desa
2 Tersedia pusat 1. akses penduduk ke pusat perdagangan V
pelayanan (pertokoan, pasar permanen, dan semi
perdagangan dan permanen)
akses distribusi / 2. terdapat sektor perdagangan di V
logistik permukiman (warung dan minimarket)
3. terdapat kantor pos dan jasa logistik X
3. Akses ke lembaga 1. tersedianya lembaga perbankan umum X
keuangan dan 2. tersediana BPR X
perkreditan 3. akses penduduk ke kredit X
4. Lembaga ekonomi 1. Tersedianya lembaga ekonomi rakyat X
(koperasi)
2. Terdapat usaha kedai makanan, restoran, X
hotel, dan penginapan
5. Keterbukaan 1. Terdapat moda transportasi umum V
wilayah 2. Jalan dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor roda empat atau lebih
(sepanjang tahun, kecuali saat-saat
tertentu) V
3. Kualitas jalan desa (jalan terluas di desa
dengan aspal, kerikil, dan tanah) V

Bila dilihat dari sudut pandang pembangunan pemerintah, tentu perlu


dilakukan intervensi agar daerah ini berkembang. Namun, dalam pandangan
masyarakat Baduy, terutama generasi tua, mereka tidak memerlukan
pembangunan karena tujuan hidupnya bukan itu. Mereka berpandangan untuk
menyelaraskan kehidupan alam dengan manusia melalui pengolahan lahan yang
secukupnya, tanpa eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah pun minim. Pandangan
berkembang dan maju versi nasional dengan versi masyarakat Baduy sangatlah
berbeda. Diperlukan jembatan untuk menghubungkan kedua kutub pandangan ini
agar masing-masing memperoleh manfaat yang lebih besar tanpa meninggalkan
dampak sosial yang selama ini dijaga oleh pikukuh.

25
BAB IV
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SUKU TERASING
DI SISI EKONOMI BERBASIS KEARIFAN LOKAL PADA
MASYARAKAT BADUY

4.1 Strenght (Keunggulan)


Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka merupakan keturunan pertama
dari Nabi Adam yang tinggal di pusat bumi (taneuh titipan), sehingga
bertanggung jawab terhadap keseimbangan alam di wilayah Baduy sebagai kunci
keseimbangan alam seluruh dunia. Jika taneuh titipan ini hancur dan rusak, maka
seluruh kehidupan di dunia akan rusak pula. Oleh sebab itu, dibuat peraturan
pikukuh yang sudah ada dari awal masyarakat Baduy berdiri sebagai landasan
utama yang mengelola seluruh sistem kehidupan. Pikukuh ini diyakini sebagai
peraturan mutlak yang dapat menjaga keseimbangan hidup masyarakat.
Mereka mempraktikan berbagai pengendalian lingkungan, termasuk
pantangan atau tabu (teu wasa) untuk bertani sawah, membingkar-bongkar tanah,
menggunakan pupuk kimia buatan, dan pestisida buatan. Sebaliknya, berladang
(nghuma), dianggap sebagai kewajiban dalam agama mereka, yaitu Sunda
Wiwitan. Maka tidak heran bila kegiatan berladang telah menyatu dengan sistem
kepercayaan mereka. Dengan kata lain, usaha berladang bagi masyarakat Baduy
bukan semata-mata mencari keuntungan ekonomi, tapi merupakan sistem
terintegrasi dengan etika, moral, dan kepercayaan, sehingga digolongkan dalam
sistem perladangan terpadu.
Adapun keunggulan atau kekuatan yang bisa dioptimalisasikan adalah:
1. Kekuatan pemimpin adat
Sistem sosial yang kompak dan gotong royong memungkinkan
masyarakat untuk maju bersama dan memiliki peran yang sama dalam
pembangunan. Kegiatan ekonomi dilakukan secara mandiri, bahkan
tanpa subsidi yang meningkatkan kebergantungan terhadap
pemerintah.
2. Tanah Ulayat

26
Memiliki tanah yang luas dan relatif subur serta hampir seluruh
anggota mengerti cara bercocok tanam, dan terbiasa dengan kehidupan
pertanian, merupakan kekuatan masyarakat Baduy untuk
meningkatkan perekonomiannya.
3. Budaya
Budaya yang kental dengan salah satu hasil kebudayaan berupa tenun
menjadi hal menarik dan sangat kuat ada di masyarakat Baduy. Tenun
Baduy memiliki berbagai warna dan motif, berbanding terbalik dengan
pakaian yang digunakannya, yaitu hitam dan putih yang menandakan
kesederhanaan. Potensi tenun dan tata hidup seperti ini merupakan
daya pikat yang unik disisi penjualan tenun dan pariwisata.
4. Perdagangan
Sistem dagang secara tuani telah dikenal dan digunakan secara aktif
sebagai salah satu upaya peningkatan ekonomi. Beberapa rumah-
rumah warga, baik di Baduy Dalam maupun Baduy Luar membuka
kios sederhana di masing-masing teras rumah. Ini membuktikan
adanya keinginan dan daya pikir masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya, tanpa harus meninggalkan aturan adat.

4.2 Weaknes (Kelemahan)


Perubahan yang terjadi di masyarakat Baduy tidak seiring dengan
pemahaman masyarakat mengenai perubahan tersebut. Satu sisi, kehidupan masih
tradisional, tetapi gempuran dari luar sedemikian rupa, sehingga proses adaptif
malah yang sifatnya dapat merusak lingkungan. Misalnya dengan konsumsi
makanan instan yang kemasannya dapat mencemari lingkungan selain dari
dampak kesehatan jangka panjang bagi konsumennya.
Pendidikan yang dilarang oleh pikukuh menempatkan nasib masyarakat
Baduy jalan di tempat. Menolak perubahan sama halnya dengan menolak
kehidupan karena tidak ada hal yang tidak berubah di dunia ini. Karena hal itulah,
masyarakat Baduy menjadi penonton perubahan zaman dan dijadikan objek dari
pembangunan.

27
Dalam perkuliahan Etnologi pada tanggal 31 Oktober 2017, digambarkan
sebuah skema mengenai sistem ekonomi yang masih tradisional, tetapi sistem
ekonomi kapitalis telah masuk ke lingkungan tersebut. Hal ini mengakibatkan
dampak negatif muncul karena ada ketimpangan antara pengetahuan tradisional
yang dimiliki dengan pengaruh kapitalis yang menguasai masyarakat tersebut.

Individu

Kapitalis Sistem Sosial

Ideologi Negara

Tradisional Tradisional

Jika direfleksikan ke masyarakat Baduy, sistem ekonominya masih sangat


tradisional. Tetapi barang yang diperjualanbelikan tidak semua tradisional.
Banyak makanan kemasan yang pengolahan sampahnya sepeti di kota, yaitu
belum teroganir sehingga mencemari lingkungan. Belum lagi, selain
diperjualbelikan, makan tersebut pun dikonsumsi oleh anak-anak baduy. Tetantu
bukan hal yang baru jika di kota yang masyarakatnya telah mengetahui dampak
negatif dari minuman bersoda dan makanan kemasan. Namun, berdasarkan
wawancara yang dilakukan, masyarakat Baduy tidak mengetahui dampak negatif
tersebut.

4.3 Opportunity (Peluang)


1. Luas wilayah dan keanekaragaman tanaman
Di sisi pengolahan lahan, tanah ulayat yang sedemikian luas, yaitu
5.136,8 hektar belum dimaksimalkan untuk menanam berbagai macam
umbi-umbian, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Di desa Cikeusik,
mereka sama sekali tidak menanam umbi-umbian sebagai salah satu

28
alternatif pengganti beras jika panen huma tidak mencukupi. Sayur-
sayuran hanya berupa petai, sedangkan mentimun, kacang panjang,
paria, terung, kangkung, dan bayam yang cocok dengan struktur tanah
dan iklim Banten, belum ditanam sama sekali. Belum pahamnya cara
pengolahan tanaman sayuran menjadi kendala utama tidak
beragamannya hasil pertanian di masyarakat Baduy.
Pelarangan pikukuh terhadap penggunaan bahan kimia untuk
menangguli hama menjadikan produk tananam baduy organik yang
tentunya harga jualnya tinggi dibandingkan dengan tanaman non
organik.
2. Kekayaan tenun
Berbagai macam hasil tenun dapat dikemas dengan lebih menarik
sehingga dapat meningkatkan harga jual. Kerjasama dengan
pemerintah daerah dapat memposisikan tenun baduy menjadi kekayaan
budaya yang nilainya tidak terhingga. Perkenalan tenun baduy ke
lingkungan yang lebih luas harus dilakukan, seperti penggunaan tenun
oleh para fashion designer, keikutsertaan dalam pameran nasional dan
internasional, dan upaya lain yang dapat meningkatkan nilai jual serta
pengaruh tenun baduy.
3. Penjualan cendramata
Banyaknya pendatang atau wisatawan dapat meningkatkan ekonomi
penduduknya. Dibandingkan dengan membuka warung di masing-
masing teras rumah, akan lebih baik bila ada kios khusus untuk
menjual barang-barang yang dijadikan tanda mata bagi para
wisatawan. Barangnya seperti madu hutan asli, tenun baduy, perhiasan
anyaman, tas koja, dan sebagainya. Pengemasan dan penataan produk
harus bekerjasama dengan pihak luar, bisa dibantu dengan Pemda agar
lebih menarik dan rapi. Dengan demikian, wisatawan bisa melihat
bentuk rumah utuh masyarakat baduy tanpa mengabaikan kepentingan
bisnis dalam bentuk penjualan tanda mata.

29
Pengelolaan kios bisa dilakukan dengan membentuk koperasi yang
terbukti sebagai organisasi keuangan masyarakat dari dan untuk
anggotanya. Koperasi menjadi akses kredit dan pengelolaan keuangan
serta tempat distribusi yang baik bagi masyarakat baduy.
4. Penginapan dan Tour Guide
Menginap di area Baduy dan melihat kegiatan mereka sehari-hari tenu
menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Perlu dipikirkan
jenis rumah yang cocok untuk penginapan wisatawan tanpa menggagu
kehidupan masyarakat Baduy. Demikian pula bila tour guidenya
merupakan orang Baduy sendiri yang memiliki informasi nyata
mengenai kehidupan masyarakatnya.
5. Kedai makanan sederhana
Ketika berkunjung ke kawasan baduy, tidak ditemui penjualan
makanan berat, hanya ada makanan ringan. Oleh sebab itu, pengunjung
biasanya membawa perbekalan sendiri. Namun, pemberdayaan bisa
lebih dioptimalkan bila masyarakat membuka kedai makanan di teras-
teras rumahnya. Keuntungan yang pertama adalah jumlah sampah yang
dihasilkan akan lebih sedikit dan lebih organik dibandingkan dengan
bila pengunjung membawa makanan sendiri. Kedua, adanya interaksi
antara pengunjung yang membeli makanan dengan para warga atau
penyedia makanan. Interaksi akrab ini menjadi nilai tambah dan nilai
jual yang tinggi. Ketiga, makanan yang disediakan mengandalkan
bahan yang dihasilkan oleh pertanian Baduy. Dengan demikian, ada
nilai keaslian, siklus ekonomi yang beragam, dan pemberdayaan yang
lebih luas. Disini pun akan tercipta berbagai macam jenis mata
pencaharian dan keterlibatan masing-masingnya. Dari mulai petani
yang menyediakan hasil bumi, pedagang sebagai penyalur dari petani
kepada pembeli, lalu kedai makanan sebagai pembeli dan kemudian
menjual lagi dalam bentuk masakan kepada pengunjung. Selain itu,
ada petugas kebersihan, keamanan, dan lainnya yang ikut berkontribusi
menjaga lingkungan yang kondusif.

30
6. Koperasi
Dengan banyaknya kegiatan dan mata pencaharian di masyarakat,
maka koperasi menjadi badan usaha yang cocok untuk menghimpun
dana, barang, dan jasa masyarakat Baduy; menyalurkannya; sekaligus
menjaga stabilitas perekonomian. Koperasi akan berusaha untuk
mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi masyarakat,
mempertinggi kualitas kehidupan masyarakat, memperkokoh
perekonomian, dan mengembangkan kreativitas dan jiwa
berorganisasi.

4.4 Threats (Ancaman)


Ancaman yang datang dari masyarakat sendiri adalah berupa penolakan
kerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi atau
kesempatan yang ada. Bila gempuran perubahan semakin mendesak dan
masyarakat Baduy tetap tidak mau berubah, akan muncul kemungkinan mereka
akan berpindah tempat dan mengisolasi diri seperti halnya yang pendahulunya
lakukan ketika Islam mulai masuk. Karena keinginan kuat mempertahankan
Sunda Wiwitan sebagai agama leluhur, dalam sejarah masyarakat Baduy
disebutkan bahwa 40 orang lari ke pedalaman hutan dan berkembanglah
masyarakat Baduy yang kita kenal saat ini. Oleh sebab itu, komunikasi yang baik
dan sesuai dengan adat pikukuhnya harus dilakukan jika ingin langkah Baduy
seiring dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dari 6 poin opportunity yang saya paparkan, kemungkinan yang paling
berat adalah poin terakhir, yaitu koperasi. Diperlukan managerial dan pencatatan
yang baik dan bertanggung jawab. Disisi lain, pikukuh karuhun melarang untuk
belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan pendidikan nasional
memandangan bahwa CALISTUNG adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki
oleh setiap warga negara.

31
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan
Perubahan merupakan sesuatu yang pasti, baik itu terjadi secara perlahan
tanpa disadari ataupun secara cepat dan mendesak. Perubahan di bidang ekonomi
terkait dengan hasil produksi yang menurun berhadapan dengan populasi
penduduk yang naik, sehingga konsumsi meningkat.
Diperlukan upaya peningkatan nilai produksi, bukan secara kuantitas tetapi
secara kualitas. Dalam makalah ini disebutkan upayanya melalui diferensiasi jenis
tanaman, pengemasan hasil produksi dengan lebih menarik, dan memberi label
organik ke kemasan dapat meningkatkan nilai jual produk. Di sisi kekayaan
budaya berupa tenun, kerjasama dengan pemerintah daerah dapat menjadi solusi
untuk melindungi budaya, meningkatkan nilai jual, sekaligus memperkenalkan
tenun baduy di lingkup yang lebih luas. Di sisi distribusi produk, dibentuk
koperasi sebagai pengelola keuangan masyarakat dan perluasan distribusi barang
yang dihasilkan. Terakhir di bidang jasa, penyediaan penginapan dan tour guide
akan meningkatkan penghasilan masyarakat tanpa menggangggu tata kelola hidup
pikukuh baduy.
Disebabkan perubahan merupakan hal yang pasti, diperlukan bekal untuk
menghadapi perubahan tersebut sesuai dengan tata nilai kehidupan yang berlaku
bagi dirinya atau sering disebut dengan pembangunan berbasis kearifan lokal.

5.2 Rekomendasi
Komunikasi dengan pu’un dan jaro menjadi hal penting untuk
menggerakkan masyarakat Baduy. Komunikasi yang dapat menyadarkan bahwa
perubahan pola pikir harus dilakukan untuk melindungi masyarakat Baduy
sendiri. Selain itu, ditawarkan sejumlah solusi yang sifatnya sejalan antara
pikukuh baduy dengan pembangunan, terutama di bidang ekonomi.
Tantangan tersulit adalah koperasi. Menurut saya, pembuatan koperasi dan
hubungannya dengan kompetensi CALISTUNG bukan sebuah hal mustahil,

32
namun bukan berarti harus menjadi sebuah tekanan terhadap masyarakat. Cara
kerja pengelolaan ekonomi masyarakat bisa meniru seperti koperasi, tapi bisa
dikelola diluar lingkungan baduy dan bukan oleh orang Baduy, terutama Baduy
dalam. Penjelasan Dr. Jajat dalam kuliah andragogi, menginpirasi saya berkaitan
dengan pembuatan satelit tempat belajar. Koperasi di masyarakat Baduy akan
lebih baik bukan dalam bentuk bangunan formal, tetapi bisa di rumah warga
sebagai tempat musyarawah. Sedangkan tempat pencatatan dana, barang, dan jasa,
dilakukan di luar kawasan baduy yang diwakili oleh Jaro Tujuh sebagai pihak
yang menggandeng dinas kabupaten atau bekerja di pemerintahan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Z., Suharmiati., Ipa.M. (2016). Pennggunaan Kecombrang (Etlingera


Elatior) sebagai Alternatif Pengganti Sabun dalam Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat Suku Baduy.
Gunggung Senoaji. Perilaku masyarakat baduy dalam mengelola hutan, lahan, dan
lingkungan. Humaniora, NO. 1 Februari 2011 halaman 14-25 Volume 23.
Griffin, Ricky. Manajemen. 2004. Jakarta: Erlangga.
Hamidi, H., et al. Indeks Desa Membangun. 2015. Jakarta: Kementrian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Kardiman, Mulyadi, E., Kusriadi, A. Ekonomi: Dunia Keseharian Kita.
2006.Bandung: Yudistira
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. 2004. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Kurniawan, Paulus., Budhi, Made Kembar Sri. Pengantar Ekonomi Mikro dan
Makro. 2015. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Primack, Richard. A Primer of conservation Biology edisi terjemahan. 2007.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Susanto, Phil Astrid. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. 1983. Bandung:
Bina Cipta.
Tim Mitra Guru. Ilmu Pengetahuan Sosial: Sosiologi. 2007. Jakarta: Erlangga.
Waluya, Bagja. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. 2007.
Bandung: PT. Setia Purna Inves
Wiranata, Gede A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa.
2005. Bandung: Citra Aditya Bakti.
122 Daerah Tertinggal. http://setkab.go.id/122-daerah-ini-ditetapkan-pemerintah-
sebagai-daerah-tertinggal-2015-2019/, diunduh tanggal 12 November 2017
jam 12:08).
Report Desa Tertinggal.
http://datin.kemendesa.go.id/pusdatin/simpora1/report_tertinggal_ipdsmry.
php diunduh tanggal 12 November 2017 jam 12:14.

34
Indeks Desa Membangun.
(https://www.jogloabang.com/pustaka/permendesapdttrans-nomor-2-
tahun-2016-tentang-indeks-desa-membangun diunduh tanggal 12
November 2017 jam 14.35.
Profil Kecamatan Lebak. Sumber:
http://lebakkab.go.id/pemerintahan/kecamatan/profil-kecamatan diunduh
tanggal 13 November 2017 jam 04.48.
Data Kemiskinan.
http://datin.kemendesa.go.id/pusdatin/simpora1/dashboard_kemiskinandsb
.php diunduh 28 November 2017 jam 00.27
Baduy Travel Mart. https://excitingbanten.com/ diunduh tanggal 28 November
2017 jam 02.43.

35

Anda mungkin juga menyukai