Anda di halaman 1dari 4

Raden Mas Surjopranoto

Raden Mas Soerjapranata (Ejaan Soewandi: Suryapranata, atau sering ditulis Soerjopranoto) (lahir
di Pakualaman, 11 Januari 1871 meninggal di Tjimahi, 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang
ke-3 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 November 1959.

Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar
Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah putra sulung
dari Kangjeng Pangeran Harya (KPH) Surjaningrat, yang mana sang ayah sendiri adalah putra
tertua dari Pakualam III. Ini berarti Surjopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putra
mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang
mengakibatkan kebutaan.

Soerjopranoto dilahirkan di lingkungan Kadipaten Pakualaman, tanggal 11 Januari 1871, sebagai


putra tertua dari KPH Soerjaningrat, putra sulung Sri Pakualam III (yang tidak dapat menjadi
Pakualam IV karena sakit penglihatan).

Istrinya bernama Djauharin Insjiah, putri almarhum Kyai Haji Abdussakur, Penghulu (Landraad)
agama Islam, dari Karanganyar, Banyumas, telah wafat terlebih dahulu tahun 1951 pada usia 67
tahun.

Selain disekolahkan, Soerjopranoto mendapat didikan di rumah tentang budi pekerti, dan sesuai
dengan adat pusaka kebangsawanan, ia diwajibkan mengerti dan memahami sen itari, karawitan,
kesusastraan (membuat puisi Jawa yang dilagukan atau tembang). Menjelang dewasa, mulailah
Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan, perekonomian, kemasyarakatan, sejarah,
keTuhanan dan lain sebagainya. Perpustakaannya meliputi kurang lebih 3500 buku tentang
berbagai ilmu pengetahuan. Dia kemudian berhasil mendapat ijasah Klein Ambtenaar.

Karena dipandang terlalu "lastig" (membuat onar) di dalam masyarakat Yogyakarta atas usaha
asisten residen, ia "dibuang" ke Tuban, Gresik sebagai pegawai di Controleurs-Kantoor. Di sini ia
membela teman pegawainya hingga menempeleng atasannya (seorang Belanda). Ia minta berhenti
dan segera pulang kembali ke Yogyakarta. Untuk menghindari tindakan hukum pemerintah Hindia
Belanda atas dirinya, pamannya, Pangeran Sasraningrat, yang berpangkat gusti wakil,
mengangkatnya menjadi wedana sentana dengan titel panji di Praja Pakualaman.
Karena masih dianggap sebagai "pengganggu", asisten residen "membuang" ia ke Bogor dengan
alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Europesche Afdeling) dengan surat tugas langsung
ditandatangani Gubernur Jenderal sebagai "izin istimewa". Disini ia tinggal di rumah orang
Belanda bernama van Hinllopen Laberton yang menganut ajaran teosofi yang membenci
penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa. Soerjopranoto merasa menemukan sahabat, guru,
kawan, dan orangtua sekaligus. Pada tahun 1907 ia berhasil mendapat ijasah Landbouwkundige
dan Landbouw-leraar.

Disamping itu ia memahirkan diri dalam bela diri yaitu kuntau dan toya dari seorang Tionghoa
asal Kanton.

Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan surat pada adiknya dengan
ajakan atas nama pemuda masyarakat dan pelajar-pelajar Bogor kepada student Stovia untuk
mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh dianggap sebagai voorloper (pendahulu)
dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.

Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda
dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo,
Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau berkedudukan di Kejajar Garung
kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah
pertanian.

Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang asisten
wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena keanggotaannya itu, maka
ia sebagai pembela keadilan dengan protes keras menyobek-nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan
melemparkannya bersama bundelan kunci di hadapan residen Belanda atasannya sambil kontan
minta berhenti.

Selanjutnya ia bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah Belanda untuk selama-
lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya pada perjuangan pergerakan politik
menentang penjajahan.

Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya "disamakan"
dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah Rendah Eropa atau
Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Soerjopranoto mengambil Klein
Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih setingkat dengan Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan SMP.

Lulus dari kursus tersebut, Soerjopranoto diterima menjadi pegawai kantor pemerintahan kolonial
di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena menempeleng seorang pejabat
kolonial berkulit putih.

Sekembalinya dari Toeban, Soerjopranoto langsung diangkat sebagai wedana sentana di Praja
Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala bagian
administrasi istana.

Pada tahun 1900, Soerjopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi Kaskaya. Sebagian
besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip
sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901, Soerjopranoto mendirikan sebuah klub
pertemuan dengan nama Societeit Soetrohardjo. Klub ini kurang lebih merupakan sebuah
perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub ini, orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti
surat kabar dan majalah.

Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin berkurang. Mereka
sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-kampung. Akibatnya, konflik
terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh pejabat kolonial sebagai gangguan
ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya dengan Soerjopranoto sebagai pendirinya.
Oleh karena itulah pejabat kolonial "menyekolahkan" Soerjopranoto ke MLS (Middelbare
Landbouw School = Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor.

Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Pakualaman, umumnya


tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh kerabat Pakualaman itu,
terutama Sri Pakualam II telah mengalir darah rakyat jelata yang segar yang berasal dari seorang
petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang bernama Ranadigdaya.

Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam perjuangan melawan
Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada Pangeran Mangkubumi, adik
Sunan Pakubuwana II. Sebab itu kepadanya dijanjikan kedudukan yang baik, apabila
pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat Kerajaan
Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwana I,
Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ranadigdaya pada kedudukannya sebagai prajurit.

Karena sakit hati, maka Ranadigdaya meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian mendirikan
perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian beranak tiga orang,
yaitu : Prawiranata, Prawiradirdja, dan seorang anak perempuan, Sedhah Mirah (Sirih Mirah).

Di kemudian hari, sang putera mahkota, yang nantinya menjadi Sultan Hamengkubuwana II, yang
belum tahu menahu asal usul Sedhah Mirah, telah jatuh cinta kepada gadis desa itu. Maka tanpa
sengaja setelah mereka menikah, Ranadigdaya terangkat dengan sendirinya kepada kedudukan
yang mulia, sebagai besan Sultan Hamengkubuwana I.

Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik tahta menjadi
Sultan Hamengkubuwana II, dan Sedhah Mirah diangkat menjadi permaisuri, bergelar Gusti
Kangjeng Ratu Kencana Wulan. Dari permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan
empat orang anak, puteri semua, dan tiga dari keempat putri tersebut diperistri oleh bangsawan-
bangsawan yang memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah. Yang pertama adalah GKR
Ayu, menjadi permaisuri Sri Pakualam II dan menjadi asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional
Soerjopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang kedua, GKR Anom, diperistri oleh KPH
Purwanegara, bupati Madiun, lalu yang ketiga, GKR Timur, diperistri oleh KPH Natakusuma,
putra Sri Pakualam I. Yang terakhir adalah GKR Sasi, diperistri oleh Patih Yogyakarta, Kangjeng
Raden Adipati Danureja III.

Anda mungkin juga menyukai