Di Susun :
1. Nabila Tri Elfaniar
2. Yuwanda Ayu Fadila
3. Kayla Salsabila
4. Khairin Syafa
5. Tania Cahaya Kirana
6. Dimas Syahputra
Penulis
Riwayat Hidup Beberapa Pahlawan Yang Ada Di Museum
Untuk itu, dirinya ikut dengan pamannya, Harjodipuro. Putera pamannya yang
bernama Sahit masuk ELS, namun berbeda halnya dengan Soetomo.
Meskipun Soetomo tidak diterima, pamannya tidak putus asa sehingga pada
keesokan harinya ia dibawa lagi ke sekolah itu. Namun tidak dengan nama
Subroto, mlainkan diganti nama menjadi Soetomo.
Dengan nama itu, ia diterima di ELS. Di sana, ia terkenal sebagai siswa yang
pandai sehingga disegani oleh teman-teman Indonesia maupun Belanda. Ia juga
merupakan siswa kesayangan guru-guru Belandanya.
Menginjak usia remaja atau setelah tamat dari ELS, ia melanjutkan studi ke
sekolah dokter di Batavia, 'School tot Opleiding van Inlandsche Artsen' (STOVIA).
Saat menjadi siswa STOVIA, dirinya bertemu dengan dr Wahidin Sudirohusodo,
seorang pensiunan dokter.
dr Wahidin Sudirohusodo saat itu datang ke Batavia dan menemui para pelajar
STOVIA untuk memberikan ceramah, untuk menggugah para pemuda dalam
memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan. Cara yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah
dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa) bagi anak-anak yang tidak
mampu.
Setelah nama Budi Utomo disepakati oleh semua peserta rapat yang terdiri dari
Soetomo, Gumbreg, Soeradji, Gunawan Mangunkusumo, Mohammad Saleh, M
Sulaiman, Suwarno dan Angka, maka disusunlah pemilihan pengurus Budi Utomo
dengan Soetomo sebagai ketuanya.
Tarian ini mengutamakan gerakan yang lincah. Gerak kaki yang banyak melompat-
lompat, gerak tangan yang cepat serta lirikan mata. Disebut tari “Serampang 12”,
karena terdiri dari 12 ragam, yaitu (I) tari permulaan pertemuan pertama dua orang
muda-mudi, (II) tarian berjalan, menceritakan ketika cinta meresap, (III) tari pusing
yang menggambarkan tentang pemuda yang sedang kasmaran, (IV) tari gila karena
perasaan mabuk kepayang,(V) tari berjalan bersipat, menceritakan isyarat tanda
cinta, (VI) tari goncet-goncet yang merupakan simbol pihak si gadis membalas
isyarat yang disampaikan si pemuda, (VII) tari sebelah kaki kiri/kanan yang
menunjukkan bahwa dalam hati sepasang pemuda mulai tumbuh kesepahaman atas
isyarat-isyarat yang mereka kirimkan, (VIII) tari langkah tiga melonjak maju
mundur yang merupakan simbol dari proses meyakinkan diri terhadap calon
pasangannya, (IX) tari melonjak sebagai simbol menunggu restu kedua orang tua,
(X) tari datang mendatangi atau pinang meminang, (XI) tari rupa-rupa jalan yang
menggambarkan proses mengantar pengantin ke pelaminan, dan (XII) tari sapu
tangan yang dilakukan dengan menyatukan sapu tangan sebagai simbol telah
menyatunya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan.
Menurut satu-satunya murid Sauti yang masih hidup, Sauti merupakan penari
tradisi sejak muda dan dia berinteraksi dengan seniman-seniman pada masa itu
sehingga mampu menari dengan sangat baik. Ketika sudah remaja, Sauti dan OK
Adram sama-sama gelisah melihat tarian yang ada waktu itu. Tari-tarian itu hanya
merupakan tarian lepas, hanya stimulasi untuk kegembiraan atau upacara. Selain
itu, Presiden Soekarno getol sekali ingin menggantikan tarian-tarian dansa yang
kebarat-baratan pada waktu itu. Dengan surat resmi pada tahun 1955, Soekarno
meminta daerah-daerah mengirimkan tarian-tarian untuk dipopulerkan.
“Sauti yang waktu itu bekerja di Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara menawarkan
“Serampang 12”. Ketika itu terjadi konflik antara dia dan pasangannya, OK Adram,
yang meminta agar tarian itu tidak diajarkan sembarangan, dikhawatirkan akan
mengalami degradasi kualitas. Sauti justru berpendapat agar disebarkan terlebih
dahulu tarian itu, nanti setelah menyebar lalu dikembalikan kualitasnya seperti
awalnya,” kata Jose Rizal Firdaus.
Apalagi waktu itu, salah satu jurinya adalah Sultan Deli yang berprinsip bahwa
nuansa melayu tari “Serampang 12” harus kental. “Sehingga terjadilah konflik yang
mengakibatkan berhentinya Festival Tari Serampang 12 pada tahun 1963. Barulah
kami murid-muridnya belakangan ingin kembali menggalakkan tari “Serampang
12”, maka ketika Pesta Budaya Melayu kita undang seluruh provinsi dan negara-
negara tetangga untuk menarikan “Serampang 12” kembali,” tambah Jose Rizal.
Jose Rizal memiliki kenangan yang mendalam terhadap sosok gurunya, Sauti.
Kepribadiannya yang istimewa membuat Sauti memiliki kharisma tersendiri.
Banyak murid dan pengagumnya menjadikan Sauti sebagai idola. Dimanapun ia
mengajar, pasti banyak orang terkesan dengan Sauti. Umumnya orang yang belajar
tidak puas kalau tidak dituntun Sauti secara langsung.
“Sauti merupakan pembaharu tari Melayu yang dihormati orang bila berkunjung ke
berbagai tempat,” imbuhnya.
Oleh karena ia tokoh yang dipuja, ia jadi perhatian banyak orang. Sampai cara
berpakaiannya sering ditiru untuk memberi kesan bahwa mereka pengagum Sauti.
Hal yang kemudian dicontoh secara massal oleh murid-muridnya adalah pengunaan
peci yang dikenakan secara miring ketika menari. Padahal penggunaan peci seperti
itu tidak lazim sebelum dikenakan para penari “Serampang 12”.
7. Djamin Gintings
Kehidupan awal
Jamin Ginting dilahirkan di Desa Suka,
Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.
Setelah menamatkan pendidikan sekolah
menengah, ia bergabung dengan satuan
militer yang diorganisir oleh opsir-
opsir Jepang. Pemerintah Jepang
membangun kesatuan tentara yang terdiri
dari anak-anak muda di Taneh Karo guna
menambah pasukan Jepang untuk
mempertahankan kekuasaan mereka di
Benua Asia. Jamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan
bentukan Jepang itu.
Karier militer
Memimpin pasukan setelah kekalahan Jepang
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang
kandas setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang
menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang.
Sebagai seorang komandan, Jamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi
pasukannya. Ia bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Ia
menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia
memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap
kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu
tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai
daerah Sumatra.
Pionir pejuang
Di kemudian hari, anggota pasukan Jamin Ginting ini muncul sebagai pionir-pionir
pejuang Sumatra bagian Utara. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting,
Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lainnya
adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Jamin
Ginting menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, ia berselisih paham dengan
Kolonel Maludin Simbolon, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kodam II/Bukit
Barisan. Jamin Ginting tidak sepaham dengan tindakan Kolonel Maludin Simbolon
untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata.
Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi
yang melanda Indonesia. Di satu pihak, Maludin Simbolon
merasa Sumatra dianaktirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Di lain
pihak, Jamin Ginting sebagai seorang tentara tetap setia untuk membela negara
Indonesia.
Akhir karier
Di penghujung masa baktinya, Jamin Ginting diutus sebagai seorang Duta
Besar Indonesia untuk Kanada. Di Kanada pulalah, Jamin Ginting menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 23 Oktober 1974. Jenazahnya dibawa pulang ke
Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.
Beliau lahir di Istana Kraton Kota Galuh Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara pada 27 Juli 1933 . Kehidupan masa kecil sampai masuk
ke dunia pendidikan formal, semuanya dihabiskan di Medan. Berturut-turut beliau
menempuh pendidikan formal di Hestel Lagere School di Medan (tamat 1950), RK
Middlebare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan (tamat 1953), SMA di
Medan (tamat 1955), kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di
Medan (Sarjana Muda 1962), dan Pendidikan Kemiliteran LPKW (1963).
Setelah menempuh pendidikan di Medan, pengetahuan Tengku Luckman Sinar
semakin lengkap ketika hijrah ke Jakarta untuk menempuh kuliah di Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Jayabaya (Sarjana
Hukum 1969). Tidak berhenti sampai di situ saja, beliau juga menjalankan Kursus
Manajemen Perkebunan di Bandung (1964). Pada 1976, beliau melakukan
penelitian ke Belanda berkat kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Belanda (1976-1980) .
Banyak ide dan gagasan beliau yang menjadi contoh untuk kemajuan bagi Melayu.
Semasa hidupnya, Lukman Sinar dikenal sebagai sejarawan Sumatera Utara yang
banyak menulis tentang peninggalan-peninggalan Kerajaan Haru serta sejarah
kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur setelah Haru. Beliau juga banyak menulis
mengenai kebudayaan/kesenian Melayu, khususnya Melayu Serdang, di sela-sela
kegiatannya sebagai dosen Kesenian Melayu di Fakultas Sastra USU, Medan.
Lukman Sinar berjasa bagi Karo oleh pengungkapannya tentang Perang Sunggal
dalam sebuah tulisan bersambung (dua edisi) di majalah PRISMA tahun 1970-an.
Dalam tulisannya ini, Lukman Sinar mengungkapkan alasan utama terjadinya
perang terpanjang dalam sejarah perjuangan Indonesia ini (25 tahun), yaitu rasa
ketidakadilan terhadap sewa tanah di wilayah orang-orang Karo di Deli Hulu.
Perusahaan-perusahaan perkebunan asing hanya membayar sewa tanah kepada
Sultan Deli padahal, menurut Datuk Sunggal, bagian Deli Hulu adalah tanah ulayat
orang Karo.
Disebutkan dalam Malay Annals atau Sulalatus Salatin, baju kurung diperkirakan
pertama kali muncul pada tahun 1400-an. Pada era tersebut, orang-orang Melayu
tampak mengenakan semacam tunik. Tunik sendiri merupakan bagian dari budaya
Timur Tengah.
Dijelaskan pula dalam buku "Pakaian Daerah Wanita Indonesia" oleh Judi Achjadi,
baju kurung mulanya diperkenalkan oleh para pedagang muslim dan India barat.
Namun, model baju kurung zaman ini berbeda seperti yang ada sekarang.
Dulu, baju adat Kesultanan Deli ini cenderung ketat dan pendek. Adapun model
baju kurung modern baru ada pada tahun 1800, semasa pemerintahan Sultan Abu
Bakar. Ini merupakan pendapat Dato' Haji Muhammad Said Haji Sulaiman dalam
buku "Pakaian Patut Melayu".
Berdasarkan buku Pakaian Patut Melayu, perbedaan baju kurung pria dan wanita
adalah sebagai berikut:
Baju kurung pria terdiri atas celana (seluar) dan kain samping, sedangkan baju
kurung wanita terdiri dari kain sarung berikatan ombak mengalun.
Baju kurung pria jatuh hanya sampai bagian bokong, sedangkan baju kurung
wanita jatuh sampai bawah lutut.
Baju kurung pria memiliki alas leher melebar, sedangkan alas leher baju kurung
wanita sempit.
Baju kurung pria dilengkapi dua buah saku, sedangkan baju kurung wanita tidak
memiliki saku.
Selain itu, di Negara Jiran Malaysia, baju kurung yang dikenakan laki-laki memiliki
sebutan khusus, yakni "baju Melayu".