Anda di halaman 1dari 3

Abad Pasifik dan Pemikiran Geopolitik Bung Karno1

Tepatnya di tahun 1930an, Bung Karno menuliskan sebuah risalah yang mengejutkan
tentang gravitasi politik dunia. Ia menuliskannya di sebuah surat kabar yang diterbitkan di
Bandung dengan sebuah nama samaran; Bima. Ia berkata, “Bahwa Asia-Pasifik akan jadi
pusat-nya dunia, perang Lautan Teduh adalah babak pembuka Kemerdekaan Asia Raya.
Kelak Eropa hanya jadi benua tua yang sakit-sakitan sementara Asia Pasifik akan tumbuh
bak gadis molek yang menghantui setiap pikiran lelaki“, sautnya.

Memang sudah sejak lama, citra keindahan Indonesia secara geografis juga budaya
telah dilukiskan oleh tangan Raden Saleh yang kemudian disebut Mooi Indie, Hindia Molek.
Sebuah citra yang menggambarkan negeri Hindia yang indah alamnya dan kaya akan budaya.
Citra yang kemudian digugat oleh para seniman kiri dan nasionalis, sebagai sebuah citra
kolonial yang memposisikan Indonesia sebagai obyek pandang (tourist gaze), obyek koloni
yang harus ditaklukan dan ditundukan dibawah pandangan sang subyek yakni Barat, pemilik
kuasa kolonial.

Namun benarkah soal Asia Pasifik dan Indonesia hanya soal ke-eksotik-an alam dan
keanekaragaman budaya saja? Mengapa ia dulu menjadi pentas pertarungan Perang Dunia II
seperti apa yang dikatakan Bung Karno? Dan bagaimanakah riwayatnya kini?

Sedari dulu, para pelaut Eropa gencar melakukan pelayaran di area sirkum Pasifik.
Beberapa negara Eropa saling berebut daerah koloni, yang kemudian saling berjatuhan hingga
salah satu pihak menjadi pemilik paling banyak dari koloni yang ada. Di Asia Pasifik pula,
kekuatan Britania Raya membentang dari Asia Timur menuju India hingga menyusuri negeri-
negeri persemakmuran di wilayah Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, Myanmar,
Brunei hingga Australia sampai New Zaeland. Pasca PD II, Amerika Serikat kemudian
menggantikan peranan Inggris di Asia Pasifik yang diawali bukan dengan senjata atau mesiu
namun program bantuan ekonomi New Deal Roosevelt. Mengadakan hubungan bilateral dan
pakta kerjasama untuk menjaga loyalitas negara-negara persemakmuran pada garis politik
luar negeri Amerika.

Maka wajar jika di tahun 1940an, Sutan Syahrir berkata bahwa sejatinya Indonesia
sedang dikepung oleh kekuatan imperialisme Anglo-saxon. Letak Indonesia berada di dalam
lingkungan pengaruh kapitalisme-imperialisme Anglo-saxon (Inggris-Amerika).

1
Tulisan ini pernah terbit di portal http://www.gmniyogyakarta.com pada tanggal 27 Desember
2015. Akses link http://www.gmniyogyakarta.com/perhelatan-di-sekitar-asia-pasifik/
Bagi mereka, posisi Indonesia sangat strategis karena berada pada posisi silang dunia
yakni berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Tempat dimana jalur lalu
lintas dunia baik laut maupun udara bermukim. Jika Toni Cartalucci berkata, “Matikan Timur
Tengah, maka anda akan mematikan China dan Rusia”. Alfred Mahan, pakar kelautan
Amerika Serikat justru berkata, “Barangsiapa merajai Lautan Hindia maka ia bakal
memegang kunci percaturan politik dunia internasional”. Ahli strategi Belanda Nicholas
Spykman juga melihat daerah pesisir lautan India dan Pasifik sebagai kunci untuk dominasi di
Eurasia. Karena mau tak mau, jalur pelayaran laut di Asia Pasifik menyangkut kelangsungan
hidup berbagai negara.

Jalur laut tersebut membentang dari Teluk Persia ke arah barat menuju Eropa Barat,
dan ke arah Timur menuju Asia Timur dan Amerika Serikat. Lokasi regionalnya merupakan
jalur persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan militer di Asia
Timur laut, sub benua India dan sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik
Tenggara. Dan jalur ini menjadikan Selat Malaka sebagai rute tercepat. Maka tidaklah
mengherankan jika Robert D. Kaplan menyebut Selat Malaka sebagai the heart of Maritime
Asia, sebuah pintu paling vital dalam perdagangan dunia. Dimana ia telah mempertemukan
titik simpul Samudera Hindia dan Pasifik Barat.

Posisi Indonesia (Selat Malaka) menjadi semakin kritis, seiring dengan kenyataan
bahwa negara-negara Asia Pasifik adalah negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, bahkan tertinggi di dunia saat ini, mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa Barat yang
terserang krisis berkepanjangan. Hampir 70% total perdagangan dunia saat ini berlangsung
diantara negara-negara di Asia-Pasifik, wilayah yang diperkirakan memiliki ekonomi paling
progresif di dunia (CNN, 2010). Di penghujung 2010, jalur laut Asia Pasifik menjadi jalur
laut tersibuk di dunia. Dan kesibukan di jalur ini diperkirakan akan meningkat mencapai 3
kali lipat di tahun 2024 dan 7 kali lipat pada tahun 2083 (Rahakundini Bakrie dalam Harian
Sindo, 2010).

Dari Samudera Hindia yang luas, puluhan kapal-kapal supertanker raksasa dari sumur-
sumur minyak di Teluk Persia akan melalui pos-pos pengintaian dan instalasi jaringan di Selat
Malaka menuju Pusan, Yokohama, dan kini semakin banyak ke Shanghai. Yang total
pengiriman minyaknya tiga kali lebih besar dari Terusan Suez dan lima belas kali lebih besar
dari Terusan Panama (Data EIA, 2008).
Untuk pertama kalinya sejak permulaan abad ke 16, konsentrasi perekonomian global
tak lagi ditemukan di Eropa, bukan juga Amerika, melainkan di Asia. Robert. D Kaplan
menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of the Atlantic era”. Sebuah kenyataan bahwa pusat
kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik
ke Poros Asia-Pasifik. Dan fokus konstelasi geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia
Pasifik.

Dan kenyataan ini semakin meneguhkan analisis Bung Karno 85 tahun silam bahwa
Asia Pasifik akan tumbuh bak gadis molek yang menghantui setiap pikiran lelaki. Gravitasi
ekonomi dunia hari ini dan masa depan berada di Asia Pasifik. Dan kini Eropa masih saja
mengidap krisis yang tak kunjung pulih, seperti apa kata Bung Karno, kelak Eropa hanya jadi
benua tua yang sakit-sakitan. Bahkan mungkin hari ini ia sedang mengalami Sakratul Maut.

Arjuna Putra Aldino, Ketua DPP GMNI Bidang Kaderisasi dan Ideologi 2017-2019

Anda mungkin juga menyukai