Anda di halaman 1dari 11

PELAJARAN DARI SAM RATULANGI DAN RESTORASI JIWA-JIWA

KEPAHLAWANAN MAHASISWA

Disusun Oleh :

Dhea yulianingsih, ilmu pemerintahan, FISIP

Rachmah Setya Utami, Sastra Inggris, FIB

Nurfadilah , agroteknologi , Faperta

Sri soraya nadilla, manajemen komunikasi,fikom

Rr. Yaumil Tri Oktaviyanti : Fakultas Kedokteran Gigi, Pendidikan Dokter Gigi

Hashfi, Kedokteran Umum, FK

Auliya Ramanda Fikri, Keperawatan, Fakultas Keperawatan

PENDAHULUAN

”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah
perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang
besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para
pahlawan pejuang bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk
kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia? Dengan pertanyaan-
pertanyaan ini kitapun menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa
yang menghargai sejarah perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara
kita banyak yang tidak memahami sejarah perjuangan bangsa. Indikator yang terlihat
salah satunya banyak anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak
berminat denganpelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran
yang tidak menarik dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang menjadi pelajaran
yang tidak penting, apalagi tidak di UN-kan. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang
sebagai mata pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa
demikian? Slaha satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung
hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-
tengah dinamika kehidupan masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal
ihwal termasuk mata ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi,
tidak begitu diminati.
Pembelajaran sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to
teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap
dan menanamkan nilai serta mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu
kepada peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai
materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik
sehingga mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan
yang semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang. Kehidupan bangsa
Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun
1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata
menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan
pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme dan
ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri
bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita.
Semangat kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong
royong di kalangan masyarakat kita mulai menurun. Kita seperti telah kehilangan
karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pada
kondisi yang seperti ini nampaknya pada moment peringatah “Hari Pahlawan” kali ini
menjadi menarik untuk mencoba kembali menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah
dengan nilai-nilai kepahlawanan.

ISI

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi

Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (juga biasa ditulis Ratu Langie atau
Ratulangie) muda pergi jauh-jauh ke negeri Belanda dengan niat menunut ilmu.
Tujuannya sederhana saja: bisa diterima dan mendapat gelar dari jurusan matematika di
Vrije Universiteit Amsterdam.Bekal pendidikan yang Ratulangi punya dari Hindia
Belanda cukup mumpuni: sebuah ijazah Lager Onderwijs (setingkat SMA) dan
Middlebare Acte (setingkat diploma). Namun, sesampainya di sana, tujuan Ratulangi
hampir tidak terwujud. Vrije Universiteit Amsterdam menolak memberikan gelar
kepada Ratulangi. Alasannya, Ratulangi tidak mengantongi ijazah Hogere Burgerschool
(HBS) atau Algemene Middlebare School (AMS).
Ditolak Amsterdam tidak membuat Ratulangi patah arang. J.H. Abendanon,
seorang sosialis Belanda yang juga kawan pena R.A. Kartini, membantu Ratulangi
pindah ke Zurich University. Di Zurich, Ratulangi lulus sebagai doktor filsafat alam
bidang matematika dan menjadi orang Indonesia, jika boleh disebut demikian, pertama
bergelar doktor matematika.

Dari Landstreek van Manado ke Minahasa

Ratulangi lahir dari keluarga bangsawan Tondano, sebuah daerah di ujung utara
pulau Sulawesi yang sejak abad ke-18 masuk dalam wilayah Minahasa. Sebelum
dikenal dengan nama Minahasa, wilayah itu disebut landstreek van Manado. Pada 1679,
para tokoh di Sulawesi bagian utara mengadakan perjanjian dengan raja setempat dan
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menyingkirkan Spanyol. Setelah
Spanyol tersingkir, guna mencegah dualisme kepemimpinan, traktat tapal batas pada
1756 membagi wilayah kekuasaan para raja hanya di Bolaang dan Mangondow,
sementara VOC mendapat Minahasa.
Minahasa sendiri, secara harfiah, berarti "persatuan, menjadi satu". Semasa
VOC, wilayah ini berisi 27 unit-unit politik terpisah yang disebut walak. Disebut
terpisah karena VOC tidak pernah sanggup mengangkat seorang pemimpin yang
berkuasa penuh di Minahasa karena peperangan antar-walak.
Ini baru berubah sejak VOC, kompeni yang disebut nilai perusahaannya setara
20 perusahaan modern semisal Facebook, Amazon, dan Apple itu, mengalihkan
kekuasaannya atas Nusantara ke pemerintah Belanda.
Pada 1809, Belanda memberantas pemberontakan sejumlah walak di Tondano.
Kemudian, ia membuka perkebunan kopi luas-luas di Minahasa sejak 1822. Hal tersebut
membuat administrasi kolonial semakin menancap di Minahasa: para walakkini dilatih,
ditugaskan, dan dibayar sebagai pegawai kolonial Belanda. Apabila Ratulangi bukan
keturunan bangsawan, mungkin dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di Eropa atau
boleh jadi dia berakhir sebagai pekerja di kebun-kebun kopi yang dibuka Belanda itu.
Peran Sam Ratulangi Aktif Sebagai Aktifis Kemerdekaan Indonesia

Di tahun 1922, Bersama dengan Ir Crane, Douwes Dekker dan Suwardi


Suryaningrat, Sam Ratulangi mengadakan rapat besar di Bandung. Dalam rapat itulah
istilah ‘Indonesia’ mulai diperkenalkan oleh Sam Ratulangi sebagai alat untuk
membangkitkan semangat dalam meraih kemerdekaan. Dalam rapat itu juga ditegaskan
perlunya zelf gouvernement atau pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia.

Selama hidupnya, Sam Ratulangi banyak mendirikan organisasi sosial


membantu sesamanya. Beliau menetap di Manado sekitar tahun 1924. Ia menghapuskan
sistem kerja paksa pada rakyat Minahasa dan membuka transmigrasi ke Minahasa
Selatan saat menjabat sebagai sekretaris Dewan Minahasa (Minahasa Raad) pada tahun
1924 hingga 1927.

Di tahun 1927, Sam ratulangi bergabung di Volksraad atau lebih dikenal sebagai
dewan rakyat atau lembaga perwakilan rakyat Indonesia. Ia merupakan perwakilan dari
Minahasa. Di lembaga ini, Sam ratulangi memperjuangankan dan membela hak-hak dari
rakyat Indonesia ketika itu yang tertindas dan perjuanganya dalam mencapai sebuah
kemerdekaan.

Hal yang menarik

Ketika krisis ekonomi yang dikenal dengan istilah ‘Malaise’ terjadi pada tahun
1930-an ia semakin banyak mendirikan organisasi sosial kemanusiaan. Beliau juga
memimpin banyak organisasi sosial buruh dari tahun 1938 – 1942.

Sam Ratulangi melalui Badan Penolong Korban Perang Sulawesi kemudian


membantu para keluarga tentara Belanda yang terlantar. Badan tersebut kemudian
berubah menjadi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) yang kemudian gigih
dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Walaupun sikapnya yang dingin terhadap Jepang ketika itu, namun di tahun
1944 beliau menerima tawaran penasehat angkatan laut jepang yang kala itu menguasai
wilayah bagian timur Indonesia dan berkedudukan di Makassar. Disamping itu, Sam
Ratulangi diam-diam berusaha mempersatukan semangat dari rakyat untuk segera
mencapai kemerdekaan. Pemerintahan militer Jepang ketika itu bahkan tidak
mengetahui tujuan dari organisasi ‘Sumber Darah Rakyat’ yang dibentuk oleh Sam
Ratulangi.

Pembelajaran Dan Nilai-Nilai Dari Pahlawan Tersebut Berkaitan Dengan Pemuda


Saat Ini

Pemuda memegang peran penting pada saat ini, khususnya dalam kemajuan
negeri ini. Banyak pembelajaran dan nilai-nilai yang dapat diambil dari pahlawan-
pahlawan Indonesia yang telah berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia. Salah satu
nilai yang paling disorot adalah Semangat gigih untuk berjuang tanpa kenal lelah. Nilai
semangat pada pemuda saat ini adalah dengan terus gigih dalam mengembangkan
kemampuan diri secara positif dan bernilai manfaat bagi orang lain. Tentu hal ini
dimulai dari hal yang sederhana, yaitu diri sendiri yang nanti akan berdampak untuk
orang lain. Contoh nyata dan sederhana seperti dengan semangat menjaga lingkungan
sekitar dengan tidak membuang sampah sembarangan, hal ini memang sederhana
namun sangat berpengaruh terhadap kemaslahatan bersama. Tidak hanya itu, gigih
dalam belajar dan menuntut ilmu merupakan konkret sebagai siswa/mahasiswa untuk
memajukan negeri ini, apalagi saat sekarang sudah didukung dengan berbagi macam
fasilitas dan sarana untuk mendukung pembelajaran. Sebagai siswa/mahasiswa yang
gigih dalam belajar tentu merupakan cerminan dari semangat gigih para pahlawan
dalam memajukan negara. Namun, teknologi juga bisa memberikan dampak negatif
pada pemuda saat ini. Tidak sedikit pemuda yang malas diakibatkan oleh teknologi,
oleh karena itu sebagai pemuda yang bijak dan ingin memajukan bangsa hendaklah juga
bijak dan pandai dalam menggunakan teknologi dengan semestinya.

Pahlawan Nasional Sam Ratulangi menyisakan banyak pembelajaran yang dapat


kita ambil. Perjuangan yang dipersembahkan oleh Sam Ratulangi merepresentasikan
sebuah perjuangan baru dalam mencintai tanah air dan mengabdi pada bangsa dan
negara. Hal-hal seperti menuntut ilmu yang tiada henti dan berakhir kembali untuk
mengabdi kepada negara adalah sebuah cara pengabdian masa kini yang dapat kita
lakukan untuk mengabdi pada bangsa Indonesia.

Tidak hanya itu, Sam Ratulangi juga mengajarkan spirit untuk belajar dan terus
belajar bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi disumbangkan ilmunya untuk bangsa dan
negara. Ia bersekolah hingga mendapatkan ijazah untuk dapat menjadi guru matematika
dan sains. Ia juga adalah seorang jurnalis sekaligus politikus. Ditambah lagi, Sam
Ratulangi juga seorang gubernur Sulawesi pertama di Indonesia. Keteladanan tentang
pembelajaran yang tiada henti ini patut dicontoh oleh seluruh masyarakat Indonesia
khususnya pemuda yang masih mempunyai waktu panjang untuk membangun negara
ini.

Kecintaannya dengan tanah air juga diperlihatkan dengan membela rakyat


minahasa agar terbebas dari kerja paksa ditambah lagi dia juga melakukan negosiasi
perdamaian dengan para suku-suku yang ada di Sulawesi dan polisi militer belanda
yang berujung pada Pengasingn di Serui oleh para polisi militer Belanda. Keberanian
Sam Ratulangi untuk membela kepentingan rakyat Indonesia rasanya harus ditiru oleh
seluruh pimpinan dan calon pemimpin bangsa ini.

Apa arti pahlawan menurut anda?

Pahlawan merupakan seorang pejuang yang dengan segala keberanian, ketulusan


dan pengorbanannya rela dalam membela kebenaran terutama pada negara dan rela
melindungi rakyat di dalamnya agar dapat hidup sejahtera. Pahlawan tidak saja
seseorang yang berjuang dalam membela bangsa dan negara, tetapi seseorang yang
sangat berjasa dalam hidupnya seperti seorang guru pun atas jasanya berkorban dalam
menyampaikan ilmunya kepada para siswa secara tulus merupakan wujud dari apa yang
dilakukan oleh seorang pahlawan. Tanggal 10 November merupakan hari pahlawan,
yang tidak lain dilatarbelakangi oleh sejarah perjuangan keras para pejuang yang
membela negara kesatuan republik Indonesia demi mencapai suatu kebebasan,
kemakmuran dan ketentraman bersama. Penetapan hari pahlawan pada tanggal 10
November merupakan bentuk dari rasa terima kasih dan penghargaan teruntuk para
pahlawan yang telah memerdekakan rakyat Indonesia dari belenggu penjajah selama
bertahun – tahun. Tidak sedikit pahlawan pada masa penjajah yang berjuang untuk
memerdekakan negara Indonesia, baik pejuang laki – laki maupun pejuang perempuan
seperti R.A. Kartini dan Cut Nyak Dhien, dikarenakan kegigihan para pahlawan
Indonesia dalam melindungi bangsa Indonesia, ditetapkanlah tanggal 10 November
sebagai hari pahlawan, oleh karena itu generasi muda sudah semestinya mengkhayati
pengabdian dan pengorbanan para pahlawan Indonesia yang telah berjuang untuk nusa
dan bangsa.
Arti Pahlawan di Masa Mendatang

Masalahnya, kita tak dapat melulu menengok pada masa lalu karena bisa
membuat masa kini menjadi remeh dan tindakan-tindakan hari ini tampak sebagai
remah. Jika pahlawan dan kepahlawanan masih dibutuhkan, kita butuh ribuan lagi para
pahlawan dan jutaan tindakan kepahlawanan yang mungkin tak bertindak seperti para
superhero, melainkan berbuat sesuatu yang biasa, sehari-hari, sesuatu yang sederhana
dan bersahaja.

Sanento Yuliman, orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor seni rupa,
menjelaskan hal itu dengan satu kalimat dalam esainya yang menarik, "Di Bawah
Naungan Para Pahlawan". Tulis Sanento: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa
menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa.”

Imajinasi ini membuka diri pada pentingnya sikap, tindakan atau pekerjaan biasa
yang mungkin tidak terlampau gagah dan heroik, sesuatu yang tak bersifat epik yang
berdaya auratik. Kita butuh itu justru karena persoalan yang dihadapi Indonesia amatlah
banyak, bertumpuk, beragam bidang dan aspek. Kita tak bisa lagi hanya berharap pada
Presiden, Kapolri, atau seorang Ketua KPK – pendeknya “orang-orang penting” atau
nama-nama besar; sebab sejarah Indonesia tampaknya tidak lagi ditentukan orang-orang
besar seperti yang dipercaya Thomas Carlyle.

Ini akan menggantikan narasi pahlawan dan kepahlawan yang beraura epikal
yang membuat pribadi-pribadi masa kini yang punya sumbangan kecil dan sederhana
tak cukup diakui dan diberi tempat, karena ruang dan rasa hayat terima kasih itu sudah
penuh diisi gambar para pahlawan yang tak terjamah dan telanjur wingit, keramat.

Itulah mengapa kami memutuskan menurunkan edisi khusus "Hari Pahlawan". Kami
cukup sering menulis tentang sejarah. Karena pada dasarnya sejarah adalah kisah
tentang tindakan-tindakan di masa lalu, maka dengan sendirinya kami menulis tentang
manusia-manusia yang bertindak di masa lalu juga. Secara berkala, minimal satu dalam
sepekan, nama-nama dari masa lalu dihadirkan kembali dalam naskah-naskah yang
kami terbitkan.
Tentu saja nama-nama besar mendapat porsi istimewa, tapi cukup sering juga
kami menghadirkan nama-nama "minor" dalam sejarah negeri ini. Dari Madna dan
Mima Saina yang merawat seorang bayi Yahudi dari kejaran NAZI, John Lie, hingga
Margonda dan Lembong yang lebih terkenal karena mendapat kehormatan dijadikan
nama jalan.

Menyambut Hari Pahlawan tahun ini, kami memutuskan untuk menurunkan


edisi khusus yang membicarakan tema kepahlawanan. Ada 10 nama yang kami bahas
secara khusus, dari Tirtoadhisoerjo yang dari sanalah kami mendapatkan inspirasi,
hingga Wikana, H. Mutahar, Rohana Kudus, Laksamana Maeda, Goerge McTurner
Kahin, Kyai Subkhi, Amir Hamzah, Maladi hingga Imam Sjafe'i yang tindakan
kepahlawanannya pada masa revolusi tak membuatnya "kapok" untuk menjauh dari
akar hidupnya sebagai orang yang tumbuh di lingkungan dunia hitam.

Masa lalu dan masa kini coba ditautkan sebagai sesuatu yang saling beririsan,
tumpang tindih, atau mungkin bertumbukan. Kami percaya, "seberkas cahaya" yang
dipendarkan tindakan orang-orang dari masa lalu tak akan berarti tanpa tindakan-
tindakan lanjutan pada hari ini. Agar tidak sekadar mengelap-lap peti di gudang yang
telah berdebu, melainkan juga merawat — dengan cara membicarakannya — sesuatu
yang berarti dari masa kini.

Apakah nama-nama yang kami tulis merupakan nama-nama yang kami


rekomendasikan untuk menjadi Pahlawan Nasional yang baru? Sama sekali tidak.
Selain karena kami sudah sering menuliskan kisah dan perbuatan nama-nama dari masa
lalu, sehingga edisi khusus Hari Pahlawan ini hanyalah melanjutkan sesuatu yang telah
menjadi rutin. Kami juga akan terus melakukannya di hari-hari yang lain (dalam edisi
khusus maupun tulisan reguler). Tidak hanya nama-nama besar, tapi juga nama-nama
minor, orang-orang kecil, yang melakukan tindakan sederhana yang ternyata berarti.

Kami juga berpandangan bahwa kepahlawanan perlu dibicarakan dengan cara


yang lebih dingin dan bukan sebagai sesuatu yang wingit, suci, keramat. Melekatkan
kata "nasional" di belakang kata "pahlawan" akan membuat seseorang (dan tindakannya
di masa lalu) dilekati status "resmi". Sering kali hal itu justru membuat sebuah nama
menjadi sulit untuk didiskusikan ulang karena sudah dikunci keluhuran dan
kemuliaannya. Dengan inilah kami mencoba mensyukuri kehadiran orang-orang besar
yang bertindak hebat pada saat yang tepat dan dibutuhkan dalam sejarah, sekaligus
hendak berterima kasih pada tindakan-tindakan sepele generasi sekarang, di zaman kini,
yang ternyata penting dan berharga.

Pelajaran dari Sam Ratulangi yang Patut Diteladani dan Ditumbuh-kembangkan

Efek dari memanusiakan manusia itu dapat terlihat dalam banyak wujud dan
penerapan. Salah satu wujud nilai pembelajaran tersebut adalah kebersamaan. Nah, di
Minahasa sendiri kebersamaan atau juga ‘saling tolong menolong menanggung
beban’ yang cukup menonjol terlihat jelas pada aktivitas mapalus. Kegiatan yang mirip
dengan gotong royong ini masih terus dilakukan warga pedesaan di berbagai daerah di
Minahasa. Beberapa kelompok tani di banyak desa sering kali membangun rumah atau
menggarap kebun secara bersama-sama dalam suatu sistem kerja yang disepakati
bersama.

Walaupun diterpa teriknya panas mentari, mereka bekerja dengan semangat


tinggi dan tanpa pamrih. Pemilik rumah atau kebun cukup menyediakan air putih dan
makan siang untuk mereka. Warga terlihat bahu-membahu mencari kayu, serta bahan
bangunan lainnya seperti batu dan pasir untuk membuat rumah panggung contohnya.

Hal yang sama juga terlihat ketika mereka bekerja menggarap lahan. Dengan
antusiasnya secara bersama-sama mereka bahu-membahu (shoulder to shoulder)
membersihkan lahan dari ilalang atau tanaman-tanaman pengganggu lainnya. Lahan
yang sudah bersih kemudian dicangkuli sehingga siap untuk ditanami bibit pohon
kelapa, jagung, kol, tomat, dan lain sebagainya.

Rumus wajib yang sudah membudaya dalam mapalus itu sendiri adalah bahwa
setiap anggota kelompok (mapalus) tani terikat untuk saling membantu. Warga yang
telah memiliki rumah atau tergarap kebunnya pada kesempatan lain wajib membantu
sesama anggota lainnya yang sekiranya baru akan mulai membangun atau menggarap
lahan. Nilai-nilai yang terkandung dalam kerja mapalus tersebut sudah diajarkan oleh
tokoh pahlawan nasional Sam Ratulangi. Mapalus jaman modernpun rasa-rasanya
masih tetap relevan dengan falsafah hidup tumou tou tersebut.

Memang sejak awal, ketika Sam Ratulangi baru akan merantau ke Jakarta di
sekitar tahun 1907, falsafah yang berarti ”memanusiakan manusia” itulah sudah
berulangkali disampaikan ayahnya, Jozias Ratulangi. Ayah Sam Ratulangi berpesan
agar supaya dirinya harus selalu mengamalkan ilmu yang diperoleh kepada orang lain.
Agar supaya memanusiakan manusia itu terwujud lewat sikap, tindak tanduk, prilaku
dan perbuatan, tidak hanya terucap manis lewat perkataan semata.

Keinginannya untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sangatlah kuat.


Karena keinginannya yang besar tersebut, serta rasa cinta tanah airnya yang besar
mendorong beliau pulang kampung dan bekerja membesarkan kampung halaman. Tapi
kenyataan di lapangan membuat Sam Ratulangi terkejut dan sedih. Ia mendapatkan
kenyataan pahit bahwa sikap persaudaraan dan tolong menolong di kalangan warga
Minahasa mulai mengendur akibat terkontaminasi dengan berbagai kepentingan
kolonial dan beberapa gerakan nasional. Ia akhirnya menyempurnakan falsafah Tumou
tou menjadi Sitou timou tumou tou. Artinya, manusia hidup untuk memuliakan
(memanusiakan) manusia yang lain.

Nilai yang ditanamkan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh gubernur


Sulawesi pertama itu ternyata cukup efektif mendorong perkembangan pendidikan di
Sulut. Pada periode tahun 1960- 1970 Tomohon sempat menjadi pusat pendidikan
dengan munculnya sekolah guru, seminari, dan perguruan tinggi, termasuk Universitas
Kristen Indonesia Tomohon pada tahun 1964. Dr. Sam Ratulangi memang seorang
pahlawan nasional. Sumbangsih pemikiran dan hasil karyanya begitu dirasakan
masyarakat banyak. Tidak hanya bagi Minahasa, kampung halamannya, tapi juga bagi
Indonesia. Semoga nilai-nilai yang ditinggalkan beliau dapat terus diaplikasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
KESIMPULAN

Perlu kita sadari betapa pentingnya reinventing nilai kepahlawanan yang bisa
membawa kejayaan bangsa dalam arti yang sesungguhnya. Pada era sekarang ini, untuk
menuju kejayaan bangsa, kita butuhkan usaha keras dan cerdas oleh segenap bangsa.
Hal ini harus pula diwarnai dengan karya-karya yang inovatif untuk bisa menerobos
persaingan global.

Dalam perjalanan ke depan negeri ini, kita membutuhkan pahlawan inovasi guna
memenangkan persaingan global dan mengatasi gonjang-ganjing, yakni The Great
Disruption yang tengah melanda dunia.Negeri ini membutuhkan sebanyak- banyaknya
pahlawan inovasi untuk menuju kejayaan bangsa. Inovasi tersebut mencakup segala
macam disiplin ilmu dan keanekaragaman budaya, baik inovasi tingkat dunia maupun
tingkat lokal yang memiliki arti strategis dalam kehidupan berbangsa. Pahlawan inovasi
tersebut bukan dilahirkan dari ketiak penguasa atau sangkar birokrasi.

Pahlawan inovasi diakui eksistensinya karena adanya pengakuan yang jujur dari
masyarakat luas. Berbicara tentang inovasi kita menjadi pihatin lantaran negeri ini
ternyata memiliki indeks inovasi yang masih rendah. Masalah kebudayaan menjadi hal
yang strategis bagi perjalanan bangsa ke depan. Ini terutama usaha untuk menumbuhkan
budaya inovasi sebagai kunci persaingan bangsa ke depan. Strategi kebudayaan yang
dibutuhkan tersebut harus fokus terhadap budaya inovasi.

Anda mungkin juga menyukai