Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu
memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan
pemisah antara anggota masyarakat. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang
yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas
mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa
kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi
penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal,
perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti
timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
(Muqaddimah: 175) :
1. Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
2. Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap
ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik
dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat
melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara.
Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan
peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain
Semua teori sosial pada umumnya, baik implisit maupun eksplisit, memiliki suatu bayangan
atau citra tertentu dalam memandang sifat manusia. atau dengan kata lain memiliki semacam
“model manusia”. Misalnya, Thomas Hobbes yang meyakini bahwa manusia memiliki sifat
bawaan agresif, sehingga diperlukan kekuasaan yang kuat untuk mengaturnya. Selain
Thomas Hobbes, ada beberapa tokoh sosial yang mengemukakan pandangannya mengenai
bayangan atau citra manusia, diantaranya adalah Auguste Comte (1798 – 1857).
Auguste Comte yang sering juga kita kenal sebagai Bapak Sosiologi, memandang manusia
sebagai organisme yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan teori evolusi. Sebenarnya
Comte lebih memandang manusia atau individu sebagai suatu bagian yang tidak dapat
sebagai kesatuan, yang dalam bentuk dan arahnya tidak tergantung pada inisiatif bebas
anggotanya, melainkan pada proses spontan-otomatis perkembangan akal budi manusia. Cara
manusia dalam berpikir dan menafsirkan dunia akan selalu berkembang sesuai dengan tahap
1. Tahap Teologis, pada tahap teologis ini adalah awal mula perkembangan pemikiran
manusia. Pada tahap ini, yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua fenomena atau
kejadian di dunia adalah gagasan, ide atau doktrin-doktrin keagamaan. Pola pemikiran
manusia pada tahap ini pada umumnya adalah menganggap bahwa semua benda yang ada di
dunia ini memiliki jiwa atau roh yang berasal dari kekuatan yang berada diluar jangkauan
2. Tahap Metafisik, pada tahap ini, sebenarnya hanya merupakan suatu modifikasi dari
tahapan yang pertama (tahap teologis). Suatu fenomena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu
yang secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan yang ada diluar jangkauan manusia seperti
kekuatan roh nenek moyang atau dewa-dewa. Manusia mulai mencari pengertian dan
penjelasan dari semua fenomena yang terjadi di alam dengan membuat abstraksi dan konsep
metafisik (spekulatif).
3. Tahap Positif, tahap ini yang menjadi dasar pemikiran aliran positivistik. Pada tahap positif
ini, pemikiran manusia mencoba untuk menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap
semua fenomena yang terjadi di dunia ini berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat diamati,
diuji dan dibuktikan secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan
mulai berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal.
Terkait dengan perubahan sosial, Auguste Comte memandang bahwa suatu masyarakat akan
berubah dalam artian tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih sempurna. Dalam teori
evolusi sosialnya Comte menyatakan bahwa semua masyarakat menuju pada tujuan yang
seragam dan menempuh jalan yang seragam pula untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan
kata lain, suatu masyarakat harus dan akan selalu menjalani berbagai tahap evolusi sosialnya
yang mana pada tiap-tiap tahap evolusi tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu
(teologis, metafisik, dan positif). Teori ini menunjukkan urutan perkembangan masyarakat
pada urutan yang tak terelakkan. Menurut Comte, setiap kemunculan tahap baru akan dimulai
dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang lebih bersifat
progresif.
Kesimpulannya, teori evolusi sosial memandang suatu perubahan sosial adalah sebagai
berikut:
1. Keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, logika yang melandasi banyak
2. Obyek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan masyarakat manusia. Obyek ini
suatu sistem sosial merupakan kumpulan dari unsur-unsur atau sub-sistem yang terintegrasi
yang memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan dan kelangsungan hidup sistem tersebut.
4. Perhatian dipusatkan pada perubahan sistem sosial sebagai kesatuan organik. Kajian
perubahan yang dilakukan pada sub-sistem organik dipahami sebagai kontribusinya terhadap
5. Perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu hal yang alamiah dan merupakan ciri yang
6. Perubahan dipandang mengarah dan bergerak dari bentuk yang primitif (sederhana) ke
8. Lintasan evolusi secara umum terbagi menjadi tahapan-tahapan yang berurutan dan tidak
Kredit poin yang dapat diberikan pada Auguste Comte adalah bahwa Comte tidak
hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat tetapi juga mampu menjelaskan
sesuatu yang normal, wajar, bahwa perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua
masyarakat, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama.