DISUSUN OLEH :
Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang
disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan
dan kemajuan masyarakat. Karena social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan
menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic.
1. Social Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat, karena social
dinamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif
tentang sejarah itu sendiri.
1) Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena
yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat
tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme (semuanya) dan dinamisme
yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Kemudian animisme yang mempercayai
dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme (memilih), sedikit
lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan
kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap
sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah
dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu
yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu
Tuhan. Dalam tahap teologis kami dapat mencontohkannya sebagai berikut bergemuruhnya
Guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang.
Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800. Pada tahap ini manusia mengalami
pergeseran cara berpikir. Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak
selain tuhan yakni alam. Segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat
diubah. Contoh, pejabat negara adalah orang yang berpendidikan dan telah mengenal ilmu
pengetahuan namun ia masih saja bergantung dan mempercayai kekuatan dukun.
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah
berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahap ini menjadikan
ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta
dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak
(Tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik
dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Contoh, tanaman padi subur bukan
karena akibat kehendak dewi Sri melainkan akibat dari perawatan dan pemupukan yang baik.
b. The law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri kepada tingkat
perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya.
Sehingga sering kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat
pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat theologies didalam melihat
gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir yang teologis
dengan militerisme. Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab
semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu
menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama lain. Pada tahap yang
bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada
organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat
legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah,
bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia
dengan perkembangan dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan
rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial
sentimen berkembang semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad
pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis.
Tetapi dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin
universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu
memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan
menguniversilkan perasaan sosial (social simpati).
2. Social static
Sosiologi Menurut Karl Marx (1818 – 1883) – Karl Marx lebih dikenal sebagai tokoh sejarah ekonomi
daripada seorang perintis sosiologi dan ahli filsafat. Karl Marx mengembangkan teori mengenai
sosialisme yang kemudian dikenal dengan nama ”Marxisme”. Meskipun demikian, Marx merupakan
seorang tokoh teori sosiologi yang terkenal juga.
Sumbangan Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas. Marx berpandangan bahwa
sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas.
Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam ekonomi kapitalisme menumbuhkan dua kelas
yang berbeda, yaitu kaum proletar dan kaum borjuis.
a. Kaum proletar adalah kelas yang terdiri atas orang-orang yang tidak mempunyai alat produksi dan
modal sehingga dieksploitasi untuk kepentingan kaum kapitalis.
b. Kaum borjuis (kaum kapitalis) adalah kelas yang terdiri atas orangorang yang menguasai alat-alat
produksi dan modal. Menurut Marx, pada suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan
bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis.
Mereka akan memperoleh kemenangan yang akan mengakibatkan terhapusnya pertentangan kelas
sehingga masyarakat proletar akan mendirikan masyarakat tanpa kelas.
Sumber https://www.jatikom.com/2016/12/sosiologi-menurut-karl-marx-1818-
1883.html#ixzz5Nd3U1bYC
Berdasarkan pemahaman teori sosiologi menurut max weber, menyanyi di kamar mandi untuk
menghibur diri sendiri misalnya, tidak dapat kita anggap sebagai tindakan sosial. Tetapi
menyanyi di kamar mandi dengan maksud menarik perhatian orang lain memang merupakan
suatu tindakan sosial. Bunuh diri yang terjadi karena tidak dapat lagi menahan penderitaan
penyakit menahun atau karena gangguan jiwa bukan tindakan sosial; tetapi bunuh diri untuk
menghukum suami yang selingkuh atau karena rasa malu setelah melakukan kesalahan
merupakan tindakan sosial.
Max Weber juga menjelaskan bahwa untuk memahami makna subyektif suatu tindakan sosial
maka harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati
pengalamanya. Ini dituangkan dengan pernyataannya: put one’s self imaginatively in the place
of the actor and thus sympathetically to participate in his experiences. Weber, 1964:90).
Teori Konflik
Sebagaimana seperti yang dijelaskan mengenai sejarah sosiologi, maka sosiologi muncul setelah
terjadi ancaman terhadap dunia yang dianggap nyata; sosiologi muncul setelah terjadi
perubahan mendasar dan berjangka panjang di Eropa seperti industrialisasi, urbanisasi,
rasionalisasi.
Sosiologi mempunyai banyak teori dan paradigma sehingga sosiologi dinamakan suatu ilmu
paradigma majemuk. Hal ini merupakan jawaban mengapa dan bagaimana masyarakat
dimungkinkan, dan dikenal dengan nama the problem of order. Teori-teori yang
mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula bersumber pada pemikiran para tokoh
sosiologi klasik dari Eropa seperti Simmel dan Weber. Weber memperkenalkan
interaksionalisme simbolis dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang berusaha
memahami tindakan sosial.
Sebagai salah satu tokoh awal dalam sosiologi, karya Weber sering dikaitkan dengan teori
sosiologi yang berbeda. Uraian Weber mengenai tindakan sosial sebagai pokok perhatian
sosiologi dijadikan dasar bagi pengembangan teori interaksionisme simbolis (Turner, 1978).
Weber pun dianggap sebagai tokoh yang memberi sumbangan terhadap fungsionalisme awal
(Turner,1978). Namun Weber dianggap pula sebagai penganut teori konflik (Collins, 1968)
Institusi Politik
Ever since the term sociology was first applied to the systematic study of social relationship, the
analysis of political processes and institutions has been one of its most important concerns. No
sociologist can conceive of a study of society that does not include the political system as a
major part of the analisis (Lipset, 1963:ix).
Tampak dari kutipan di atas, sosiologi dipahami sebagai suatu disiplin yang mempelajari
hubungan sosial, sosiologi tidak dapat mengabaikan proses dan institusi politik. Oleh sebab itu
dalam sosiologi dijumpai satu spesialisasi yang mengkhususkan diri pada proses-proses dan
institusi-institusi politik, yaitu sosiologi politik.
Weber berkontribusi dalam sosiologi politik, yaitu kajianya terhadap kekuasaan dan dominasi.
Menurut weber kekuasaan ialah “the possibility of imposing one’s will upon the behavior of
others” (Bendix, 1960: 294). Kemungkinan untuk memaksakan kehendak terhadap perilaku
orang lain tersebut dapat dilaksanakan dalam berbagai bidang kehidupan.
Weber membedakan antara kekuasaan dan dominasi. Menurut weber kekuasaan perlu
dibedakan dengan dominasi (herrscharft). Pada dominasi pihak yang berkuasa mempunyai
wewenang sah untuk berkuasa berdasarkan aturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai
wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy), yaitu
pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap dominasi tersebut, agar penguasa dapat
melaksanakan kekuasaanya secara sah. Dalam hubungan ini Weber membedakan tiga jenis
dominasi: dominasi kharismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal-rasional. Dengan
sendirinya ketiga tipe ini bagi Weber merupakan tipe ideal, sehingga dalam kenyataan empiris
tentu akan terjadi penggabungan antara beberapa tipe.