PEMIKIRAN DASAR SOSIOLOGI AUGUST COMTE (1798-1857) Bambang Wahyu Comte adalah sosiologi dan filsuf Prancis yang lahir dan besar dalam suasana ephoria Revolusi Prancis. Revolusi Prancis melahirkan perubahan-perubahan mendasar dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Muncul optimisme yang besar terhadap pemerintah demokratis dan ide kebebasan manusia. Optimisme ini sangat masuk akal karena sebelumnya masyarakat Prancis diperintah oleh sistem monarki absolut di mana semua institusi sosial turut menyengsarakan rakyat melalui sistem pajak yang sangat berat. Selain itu, masyarakat Prancis yang selama beratus tahun hidup di bawah sistem totalitarianisme sangat mengidam-idamkan kebebasan manusia tanpa tunduk di bawah otoritas apapun. Situasi sosial seperti ini mempengaruhi pemikiran August Comte dalam sejumlah karya- karyanya. Pokok-pokok pemikiran Comte: 1. Masyarakat Menurut Comte, masyarakat merupakan “organisasi biologis” layaknya anatomi tubuh yang menyangkut sejumlah organ material. Masyarakat bermula dari kumpulan sejumlah individu yang ingin berkumpul. Jadi masyarakat dibentuk oleh individu-individu. Kumpulan individu paling mendasar adalah keluarga karena dalam keluarga semua individu diikat oleh sistem kekerabatan atau pertalian darah. Keluarga yang paling sederhana adalah keluarga batih (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kumpulan atau himpunan dari keluarga membentuk suku bangsa (tribe atau klan). Dan kumpulan dari suku bangsa akan membentuk bangsa (nation). Selain diikat oleh sistem material (seperti individu), masyarakat juga diikat oleh unsur spiritual (seperti agama) tapi dalam perkembangannya, unsur material lebih dominan dibandingkan unsur non-material. Bahkan dalam perkembangan lanjutan, masyarakat akan semakin meninggalkan dimensi non-materialnya itu. 2. Metode Positif Krisis kemanusiaan: dekadensi moral, kemiskinan, aspirasi masyarakat kelas bawah yang melanda masyarakat Prancis sebagai akibat langsung Revolusi Prancis sangat terasa pada realitas sosial di Prancis. Sejumlah pemikir sosial berusaha mencari solusi terhadap krisis kemanusiaan itu. Bagi Comte, salah satu cara menyelesaikan permasalahan sosial itu adalah dengan memformulasi masyarakat melalui fakta-fakta sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini merupakan metode ilmu alam (naturwissenschaften), yaitu mengamati fakta-fakta empiris yang ada di masyarakat itu sendiri. Cara Comte ini disebut sebagai metode positif, yaitu melalui pengamatan, perbandingan (komparasi), eksperimentasi, dan penekanan pada sejarah (historis), yaitu pengungkapan hukum-hukum yang berlaku pada ide atau gagasan. Dalam metode positif, Comte ingin mengarahkan metode ini pada (a) sejumlah fakta, bukan pada misteri yang tidak dapat diketahui, (b) menekankan aspek kegunaannya sebagai metode memecahkan masalah, bukan hanya keingintahuan atau kenikmatan intelektual, (c) menuju pada kepastian ilmu, bukan spekulasi, dan (d) mencari hukum yang berlaku universal. Metode positif ini yang diterapkan Comte untuk menganalisa realitas sosial dengan dinamika perkembangan masyarakat. 3. Hukum Tiga tahap Cara berpikir individu manusia menentukan perkembangan kehidupan kolektif. Jadi perkembangan masyarakat bermula dari akumulasi (kumpulan) pola pikir. Jika manusia berpikir dalam kategori yang sederhana maka masyarakat yang muncul pun masyarakat sederhana. Sebaliknya jika pola pikir masyarakat maju, akan menyebabkan kelahiran masyarakat yang maju. Bagi Comte, perkembangan pola pikir manusia mengalami tiga tahap perkembangan, yaituteologis~metafisis~positif. Pada tahap teologis, manusia memiliki pola pikir determinatif (ditentukan) oleh kekuatan alam. Mereka mencari penjelasan tentang kehidupan pada benda-benda yang memiliki kekuatan supranatural atau pada mahluk gaib. Comte menyebutkan pola pikir teologis ada pada masyarakat tempo dulu yang masih memandang agama sebagai (kekuatan adikodrati) sebagai solusi kehidupan. Tapi Comte melihat kondisi ini pada masyarakat abad pertengahan. Pada tahap metafisis, kondisinya hampir sama dengan tahap teologis. Cuma jawabannya dicari pada abstraksi atau konsep abstrak, seperti jiwa (psikhe) atau kekuatan adikodrati. Jadi masyarakat menjalani kehidupan berdasarkan penghayatannya pada eksistensi konseptual tadi. Tahap terakhir disebut tahap positif yaitu penjelasan misteri kehidupan dicari solusinya pada kemampuan manusia atau ilmu pengetahuan. Semua penjelasan harus dapat dijelaskan melalui satu hukum universal. Satu hal yang menarik, Comte menyebutkan perkembangan masyarakat bersifat linier: dari tahap teologis ke tahap metafisis menuju tahap positif. Jadi dalam perkenmbangan satu masyarakat tidak mungkin terjadi tiga tahap sekaligus. 4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Semasa Comte hidup, perkembangan ilmu pengetahuan mengarah pada dua kategori besar, yaitu ilmu pengetahuan alam/natural science (naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan sosial/human science (geisteswissenschaften). Tapi perkembangan ilmu pengetahuan sosial sangat lamban karena belum ada metode sahih yang mampu menjelaskan perkembangan kehidupan manusia. Comte berusaha melakukan revolusi metode ilmu pengetahuan itu dengan menginjeksi/menerapkan metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Karena jasanya itu, Comte dikenal sebagai “Bapak Sosiologi”. Comte menerapkan metode ilmu pengetahuan alam dalam menganalisa perkembangan masyarakat. Caranya, masyarakat harus dipahami dalam konteks yang umum (generalisir), sederhana, dan mandiri (terlepas dari ilmu yang lain) layaknya matematika. Di samping itu, berbagai metode ilmu alam seperti pengamatan (observasi), eksperimen, dan perbandingan (komparasi) harus diterapkan ketika menganalisa masyarakat atau gejala sosial. Jadi, bagi Comte, keberadaan data empiris sangat penting untuk mengukur perkembangan suatu masyarakat. Dalam klasifikasinya tentang ilmu pengetahuan, Comte mengkategorikan sosiologi sebagai “ilmu teoritis” bersamaan dengan matematika, astronomi, fisika, kimia, dan biologi. Sementara turunan atau cabang dari ilmu teoritis disebut ilmu terapan (applied science) seperti ilmu pendidikan, psikologi, kriminologi, mekanika, dan lain sebagainya. 5. Masyarakat Positif Metode positif yang dicetuskan Comte, kemudian menjadi aliran baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan abad 20, yaitu positivisme. Positivisme atau metide positif melihat perkembangan masyarakat melalu gejala sosial empiris (yang dapat dipersepsi secara indrawi). Gejala ini kemudian ditarik menjadi hukum umum yang berlaku universal untuk semua obyek penelitian. Jadi asumsi-asumsi yang non-empiris tidak menjadi perhatian dari sosiologi. Kita dapat memahami metode positif atau positivisme itu melalui ciri-ciri berikut ini: a. Logika empiris Logika empiris menyebutkan bahwa obyek ilmu pengetahuan harus dapat dipersepsi secara indrawi (dilihat dengan mata, didengar dengan telinga, diraba oleh kulit, dll). Jadi suatu yang kasat mata (gaib) tidak menjadi obyek ilmu pengetahuan. b. Realitas obyektif Realitas obyektif bermakna ada realitas yang tidak tergantung pada persepsi manusia. Dengan kata lain, ada realitas yang berdiri sendiri terlepas dari penglihatan dan pengetahuan manusia. c. Determinisme Determinisme berarti ada hukum universal yang mengatur perkembangan obyek ilmu pengetahuan, yaitu hukum sebab-akibat (kausalitas). Jadi keberadaan suatu benda selalu didahului oleh sebab. d. Reduksionisme Reduksionisme menyebutkan untuk memudahkan proses analisa terhadap benda maka benda itu harus dipecah menjadi satuan-satuan kecil. Pengetahuan atas satuan kecil itu telah memberi pemahaman utuh tentang benda itu. Misalnya, Air dipecah menjadi satuan H2O; manusia dibagi menjadi unsur jasmani dan ruhani. e. Bebas nilai Bebas nilai bermakna tidak ada tanggung jawab moral bagi seseorang yang menemukan suatu teori yang berguna bagi manusia. Sederhananya, seorang pandai besi yang membuat pisau tidak bertanggungjawab terhadap pisau buatannya: apakah digunakan untuk mengiris bawang atau untuk membunuh. Demikian penjelasan tentang pemikiran pokok August Comte. Tulisan ini untuk mempermudah pemahaman mahasiswa dalam memahami pemikirannya.