Anda di halaman 1dari 13

ETNISITAS, MULTIKULTURALISME DAN PERUBAHAN SOSIAL

VI. TEORI PERUBAHAN SOSIAL KLASIK, POSTMODERN

DAN POSTKOLONIAL

A. TEORI PERUBAHAN SOSIAL KLASIK.

Perubahan sosial dalam masyarakat tidak boleh dilihat dari satu sisi saja, sebab
perubahan ini dapat mengakibatkan pergeseran pada banyak sektor dalam masyarakat
sosial. Hal ini berarti, perubahan sosial akan selalu terjadi pada setiap bagian dari
masyarakat itu sendiri. Gejala perubahan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari
terjadinya perubahan sistem nilai maupun norma yang berlaku saat itu dan yang tidak
berlaku lagi dalam masyarakat. Tentu saja, perubahan sosial ini terjadi bukan semata
mata karena individu dalam masyarakat tersebut yang mau berubah, akan tetapi karena
adanya perkembangan dari berbagai sektor khususnya teknologi. Perubahan sosial terjadi
karena semua faktor yang ada dalam masyarakat baik dari dalam ataupun luar. Adapun
faktor faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dari dalam seperti keadaan
ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, agama dan lainnya lalu faktor dari luar seperti
bencana.

1. Teori Evolusi. Pemikiran Auguste Comte, selaku orang yang memulai


kajian sosiologi dan kemudian disebut sebagai bapak sosiologi ini, dipengaruhi oleh
revolusi Perancis. Revolusi Perancis menjadikan masyarakat terbelah menjadi dua.
Pertama masyarakat yang optimis, positif yang memandang masa depan lebih baik
dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan demokrasi. Kedua masyarakat pesimis dan
negatif memandang masa depan dan perubahan yang dinilai menimbulkan anarkisme,
konflik sosial dan sikap individualistic.

Pemikiran Comte yang terkenal salah satunya adalah penjabaran sejarah


perkembangan sosial atau peradaban manusia. Teori Comte tersebut membagi fase
perkembangan peradaban menjadi tiga tahap (The law of three stage). Hukum tiga tahap
merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari
2

masa primitif sampai ke peradaban Perancis abad 19 yang sangat maju. Hukum ini,
mungkin merupakan gagasan yang terkenal dari seluruh pemikiran Comte, walaupun
merupakan hukum yang paling contradiction in ternminis dalam pemikiran Comte
sendiri, karena Comte selalu menekankan pengujian empiris secara teliti dalam
membentuk hukum Sosiologi, sementara hukum tiga tahapannya terlalu luas dan tidak
dapat diuji sepenuhnya oleh pengujian empirik. Hukum itu menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini
ditentukan menurut cara berfikir yang dominan : teologis, metafisik dan positif. Gagasan
tentang evolusi perkembangan melalui tiga tahap ini bukan hanya milik Comte saja.
Awal-awal rumusan Comte mengenai hukum tiga tahap dikembangkan selama dia
bekerjasama dengan Saint Simon dan model dasar itu pasti merupakan hasil kerjasama
ini. Jacques Turgot Juga sudah mengemukakan suatu pandangan yang serupa mengenai
perkembangan sejarah dari bentuk-bentuk pemikiran primitif sampai bentuk-bentuk
pemikiran ilmiah modern di abad 18. Secara luas Comte mensistematisasi dan
mengembangkan model itu serta mengaitkannya dengan memberi tekanan pada paham
positif. Secara singkat karakteristik tiga tahap tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tahap Teologis. Tahap Teologis merupakan periode paling lama dalam


sejarah manusia dan untuk analisis yang lebih terinci, Comte membaginya ke
dalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran
yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua
benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini
diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun
berbeda-beda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam
yang disebut sebagai politeisme. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan
akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu Tuhan. Katolikisme
di tengah abad, menurut Comte memperlihatkan puncak tahap monoteisme.

b. Tahap Metafisik. 5 Tahap Metafisik terutama merupakan tahap transisi


antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh suatu kepercayaan atau
hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Protestanisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari
3

semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu


manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of
independence. “kita menganggap kebenaran ini jelas berasal dari dirinya sendiri”.
Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang
jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam
pemikiran metafisik.

c. Tahap positif. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik
sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara
sifatnya, tidak mutlak : semangat positifisme memperlihatkan keterbukaan terus-
menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali
dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus
dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empiric akhirnya
akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-
hukum lebih dilihat sebagai uniformitas empiric daripada kemutlakan metafisik.

Comte membagi masalah sosiologi menjadi dua, yaitu ranah sosial yang statis
(social static) dan ranah sosial yang dinamis (social dynamic). Ranah Sosial statis
mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan yang selalu
membutuhkan sebuah tatanan dan kesepakatanbersama. Ranah dinamis menunjukkan
watak ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat,
meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami
perkembangan sepanjang massa.

(https://www.academia.edu/32662923/AUGUSTE_COMTE.docx ).

2. Teori Konflik (Conflict Theory). Teori perubahan sosial ini dipengaruhi oleh
pandangan beberapa ahli seperti Karl Marx, Frederict Engle dan Ralf Dahrendorft.
Dalam teori perubahan sosial ini tentu saja memandang konflik sebagai sumber
terjadinya perubahan dalam masyarakat. Teori ini melihat masyarakat dua kelompok atau
kelas yang saling berkonflik yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat. Kedua kelompok
sosial dalam masyarakat ini dapat dianggap sebagai majikan dan pembantunya.
Penderitaan merupakan sumber utama konflik yang ada dalam masyarakat menurut teori
4

ini. Dengan kepemilikan harta dan hak hidup yang lebih banyak oleh kaum borjuis dan
minimnya bagi kaum proletariat akan memicu konflik sosial dalam masyarakat sehingga
terjadi revolusi sosial yang berakibat pada terjadinya perubahan sosial. Berdasarkan teori
perubahan sosial ini, dijelaskan bahwa pada akhir revolusi, akan tercipta masyarakat yang
hidup tanpa pembagian kelas dan sama rata. Ditambahkan juga bahwa perubahan sosial
terjadi pada dasarnya disebabkan oleh adanya konflik dan konflik akan selalu ada di
sembarang waktu dan tempat. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori
konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural
fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat
pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat
manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.
Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi dan kekuasaan dalam
masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.
Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan
antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya
perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar
terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada
suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Didalam
konflik selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.
Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan
(koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan
power.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik).

3. Teori Fungsional. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya,


Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia
gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah
5

abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam
karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”,
maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang
memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-konsep ini tidak bertanggungjawab pada
fenomena konkret, tetapi kepada elemen-elemen di dalamnya yang secara analitis dapat
dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan
perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya
dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya.
Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan
kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak
pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi.
Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang
mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris. Sistem tindakan
diperkenalkan parson dengan skema AGIL nya yang terkenal. Parson meyakini bahwa
terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment,
Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memenuhi empat kriteria
ini.

a. Adaptasi (adaptation) : sebuah sistem harus menanggulangi situasi


eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

b. Pencapain tujuan (goal attainment) : sebuah sistem harus


mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

c. Integrasi (integration): sebuah sistem harus mengatur antar hubungan


bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar
hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,I,L).

d. Latency (pemeliharaan pola) : sebuah sistem harus memperlengkapi,


memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola
kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
6

Dalam karya berikutnya, The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai
orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapat beberapa macam
motivasi, antara lain kognitif, chatectic dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang
bertanggungjawab terhadap sistem sosial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan
moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan oleh
karenanya melibatkan motivasi dan orientasi nilai serta memiliki tujuan umum sebagai
konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Fungsionalisme_struktural).

Dalam prespektif fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan


kelompok yang bekerja sama secara terorganisir yang bekerja dalam suatu cara yang agak
teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu
kecenderungan kearah keseimbangan. Sebagai para juru bicara yang terkemuka, setiap
kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, karena hal itu
fungsional. Perubahan sosial menggangu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun
tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. Bila suatu perubahan sosial tertentu
mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional, bila
perubahan sosial tersebut menggangu keseimbangan hal tersebut merupakan gangguan
fungsional. Bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh maka hal tersebut tidak
fungsional.

(http://digilib.uinsby.ac.id/2581/5/Bab%202.pdf ).

4. Teori Siklus (Cyclical Theory). Teori perubahan sosial ini menjelaskan


tentang perubahan sosial yang bagaikan roda yang sedang berputar, artinya perputaran
zaman merupakan sesuatu yang tidak dapat dielak oleh manusia siapapun dan tidak dapat
dikendalikan oleh siapapun. Bangkit dan mundurnya suatu peradapan merupakan bagian
dari sifat alam yang tidak dapat dikembalikan. Teori ini diperkuat Ibnu Khaldun dalam
bukunya yang terkenal sejagat “Muqadimah” dan dijadikan sumber oleh Arnold
Tonybee dalam mempelopori teori perubahan sosial ini. Teori ini berhubungan dengan
tantangan dan tanggapan. Apabila suatu masyarakat mampu memberikan tanggapan
7

terhadap tantangan yang ada dalam peradabannya maka masyarakat tersebut akan
mengalami kemajuan. Akan tetapi, bila tidak mampu, maka akan terjadi kemunduran
bahkan kehancuran.

Arnold Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran,
pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Toynbee lebih menekankan pada masyarakat
atau peradaban sebagai unit studinya. Peradaban muncul berdasarkan perjuangan mati-
matian. Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan
karena menempuh jalan yang terbuka. Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of
History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan
yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Kesimpulan Toynbee ialah
bahwa gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul
tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan
(civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut
Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut :

a. Genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan.

b. Growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan.

c. Decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan:

1) Breakdown of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan.

2) Disintegration civilization, yaitu kehancuran kebudayaan.

3) Dissolution of civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan.

Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan
jawaban antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam alam yang baik manusia
berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di
daerah yang terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang
terlalu panas tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka
apabila tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan. Pertumbuhan dan
perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik
8

kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak
(mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta,
suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan kehilangan daya
mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah,
mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila kebudayaan sudah
memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam 3
masa, yaitu :

a. Kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya


mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia
mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan
mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
b. Kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan
itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-
olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa
lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau
kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil.

c. Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah


membatu itu hancur lebur dan lenyap.

Setiap tahap dari siklus dipandang sebagai the child of the former and the parent
of the next. Arnold Toynbee, skema siklus 3 tahap perkembangan (yin–yang–yin baru):

a. Tahap keseimbangan sosial (a state of social equilibrium or integration


of custom) disebut yin.

b. Tahap perubahan keseimbangan atau transisi dari yin ke yang


(disequilibrium initiated by a dynamic act).

c. Tahap tercapainya keseimbangan baru atau yin baru (yin in term of the
new societal condition).

B. TEORI MODERN-POSMODERN.
9

Teori-teori modern yang terkenal ialah, antara lain, teori-teori modernisasi para
penganut pendekatan fugsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori
ketergantungan. Andrd Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik dan teori
mengenai sistem dunia dari Wallerstein. Diantara teori-teori klasik dan teori-teori modern
kita dapat menjumpai benang merah. Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai
perkembangan masyarakat secara linear yang dikemukakan oleh tokoh klasik seperi
Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun cenderung melihat bahwa
perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara evolusioner dan linear serta
bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan dari tradisi ke modernitas. Para penganut
teori konflik, di pihak lain melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga
justru menuju ke keterbelakangan dan pada ketergantungan pada negara-negara industri
maju di Barat.

1. Teori modernisasi, menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan


menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan
menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (Light, Keller and
Calhoun, 1989). Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum
berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat
mencapai tahap "tinggal landas" (take-off ke arah perkembangan ekonomi). Menurut
Etzioni-Halevy dan Etzioni transisi dari keadaan tradisional ke modernitas melibatkan
revolusi demografi yang ditandai menurunnya angka kematian dan angka kelahiran;
menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sisem stratifikasi; peralihan dari
struktur feodal atau kesukuan ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama;
beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem pendidikan formal;
munculnya kebudayaan massa; dan munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi
(Etzioni-Halevy dan Etzioni, 1973:177).

2. Ben Agger (1952 s.d. sekarang). Dalam teori modern–posmodern, Ben Agger
membagi tahapan modernisasi menjadi 7 tahap, yaitu : Globalisasi; Informasi dan hiburan
secara bebas dan terbuka; “The death of the Subject” atau kematian subyek dimana segala
hal dibungkus atau dikemas oleh persoalan-persoalan simulasi (hiper rasionalitas);
Dekonstruksi Bahasa; Simulasi; Polivokalitas; dan Munculnya gerakan social baru. Pada
10

masa ini (sekarang) banyak informasi yang tanpa makna sehingga membutuhkan adanya
literasi dan bagaimana memahami informasi secara jelas untuk menghindari diombang-
ambingkan oleh informasi-informasi tersebut.

3. Kingley Davis. Dalam teorinya mengatakan “perubahan sosial merupakan


bagian dari perubahan kebudayaan, yang mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat”. Perubahan social merupakan proses perubahan
kehidupan manusia, yang menimbulkan konskwensi di lingkungan masyarakat dengan
adanya pergeseran pada nilai social, perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakan,
kekuatan dan kewenangan yang harus disikapi dengan cerdas. Pemahaman, edukasi dan
literasi sangat diperlukan dalam menyikapi adanya perubahan social.

C. TEORI POSKOLONIAL.

Kesadaran imperialisme menimbulkan upaya untuk memulihkan cara berpikir


(kajian poskolonial). Imperialisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang sangat erat.
Kolonialisme adalah perwujudan dari imperialisme yang selalu dikaitkan dengan ruang
(teritori) untuk menguasai dan menguras serta menanamkan pengaruh pada semua bidang
kehidupan dari negara yang bersangkutan. Kolonialisme saat ini yang diperebutkan
bergeser dan berkembang pada ruang hidup (spacial life), bagaimana itu dapat dikuasai
tanpa duduk di suatu tempat akan tetapi dapat menciptakan suatu ketergantungan.

Kajian poskolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah
tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan postmodern
yang mewarisi pemikiran Nietszhe, seperti: Heidegger, Derrida, Michel Foucault,
Bataille dan lain sebagainya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori
kritis dan postmodern yaitu bahwa teori social berguna untuk meningkatkan kesadaran
dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan social budaya secara
rasional dan lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian poskolonial. Oleh karena
itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern berjasa besar dalam
menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek klasifikasi ilmiah,
pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan
dan ideology.
11

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Manuel Castel bahwa sedang terjadi
perubahan luar biasa dalam dunia ilmiah, pada bidang social, politik, ekonomi dan
budaya menjelang akhir abad ke-20 ini. Perubahan dari masyarakat yang cenderung
terposisikan pada “dua kutub”, identitas tunggal dan komunal menjadi masyarakat yang
saling berintegrasi dan bergesekan antar masyarakat yang bersifat local dan global secara
bersamaan. (Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2006).

Untuk itu kajian poskolonial “cenderung” menggunakan argumentasi yang


bersifat terposisikan pada dua kutub atau posisi biner tersebut. Oposisi biner yaitu system
yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Kategori A masuk akal
hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar kalau ia tidak salah. Seperti yang
dikemukakan oleh Akhyar bahwa dalam pemikiran oposisi biner ini kita dihadapkan pada
salah satu pilihan “ini” atau “itu” (either/or) sebagai salah satu yang dinyatakan benar.
Misalnya : Timur versus Barat, Diri (self) versus Orang lain (the other), Subyektivitas
versus Obyektivitas, Masa kini versus Masa lalu, Pengamat (subyek) versus Yang
Diamati (obyek) dan seterusnya. Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan
Barat, penjajah, self, pengamat, subyek dan menceritakan dianggap memiliki posisi
ungggul dibandingkan dengan Timur, terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan dan
seterusnya. Seperti yang diungkapkan oleh Leela Gandhi bahwa hubungan antara
penjajah-terjajah (atau bekas jajahan) adalah hubungan yang hegemonic, penjajahan
sebagai kelompok superior dibandingkan pihak terjajah yang inferior. Dan dari hubungan
antara penjajah-terjajah yang bersifat hegemonic, kemudian munculah apa yang disebut
dominasi dan subordinasi. Dari pola hubungan seperti ini kemudian munculah gambaran-
gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak terjajah sebagai kelompok
masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis dan tidak rasional. (Leela Gandhi,
Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, terj, Yogyakarta: Qalam,
2001).

Edward W.Said adalah tokoh yang “menolak” mendekonstruksi pandangan


oposisi biner di atas. Menurut Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum
oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai
12

konstruksi social-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka.
Karena itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif
sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori
Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran
tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap
Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai
teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Edward Said merasakan
bagaimana penderitaan rakyat Palestina yang terjajah dan kesetiaannya pada Palestina,
sehingga ketajaman analisisnya berhasil “menyingkap” teori pascakolonial yang semula
terfokus pada masalah kolonialisme, kemudian melebar memasuki dunia ilmiah melalui
kajian-kajian teks-teks para orientalis.

Menurut Edward Said, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi,


menata kembali dan menguasai Timur. Lebih lanjut Edward Said mengungkapkan bahwa
ide diskursus dari Michel Foucault dalam The Archaelogy of Knowledge dan Discipline
and Punish sangat berguna untuk mengidentifikasi orientalisme. Tanpa memeriksa
orientalisme sebagai diskursus, kita tidak mungkin dapat memahami disiplin yang sangat
sistematis, bahwa budaya Barat mampu mengatur dan bahkan menciptakan dunia Timur
secara politis, sosiologis, militeristik, ideologis, saintifik dan imanijatif selama pasca
Abad pencerahan. Karena kuatnya pembatasan-pembatasan atas pikiran dan tindakan
yang digariskan kaum oriental, maka dunia Timur masa lalu dan juga sekarang terbentuk
sebagai objek pemikiran dan tindakan yang tidak bebas. Timur (Orient) adalah
imaginative geography yang diciptakan sepihak oleh Barat. Untuk itu harus angkat bicara
dan mewakili dirinya sendiri. Karenanya Edward Said lebih suka menyebut orang Timur
sebagai the silent others. Melalui kritik terhadap ilmu pengetahuan dengan menggunakan
perspektif “the other”, maka kajian poskolonial juga mengkonstruksi bentuk-bentuk
pengetahuan baru yang lebih baik dengan menghormati dan menghargai pihak lain (the
other). Istilah orientalisme menurut Edward Said dapat didefinisikan dengan tiga cara
yang berbeda. Pertama, memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berpikir
yang berdasarkan epistimologi dan ontology yang secara tegas membedakan antara
Timur dengan Barat; Kedua, orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis
untuk menggambarkan serangkaian lembaga, disiplin dan kegiatan yang umumnya
13

terdapat pada universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan
Timur; Ketiga, melihat orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli
pada Timur. Lebih lanjut Said mengemukakan arti orientalis dalam tiga wilayah yang
tumpang tindih, yaitu Pertama, orientalisme menciptakan sejarah pahit yang panjang
tentang hubungan antara Eropa dan Asia-Afrika. Kedua, menciptakan bidang-bidang
ilmu yang sejak awal abad ke-19 sebagai specialis dalam bahasa dan budaya oriental.
Ketiga, kolonialisme menciptakan stereotip-stereotip dan ideology tentang “the Orient”
yang diidentikkan dengan “the Other” atau yang lain dari “the Occident” (the Self). Oleh
karena itu, Edward Said mengemukakan perlunya pemahaman tentang permasalahan
filosofis yang sangat kompleks dalam menafsirkan budaya lain.

Istilah “poskolonial” merupakan turunan dari kata “colonial”. Istilah “colonia”


dalam bahasa Romawi berarti “ tanah pertanian” atau “permukiman”. Istilah ini mengacu
pada orang-orang Romawi yang tinggal di negeri-negeri lain, akan tetapi masih sebagai
warga negara Romawi. Oxford English Dictionary memaparkan pengertian colonial
sebagai berikut: “Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru …, sekumpulan orang
yang bermukim dalam sebuah lokasi baru dengan membentuk sebuah komunitas yang
tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu,
terdiri dari pemukiman asli dan para keturunan mereka dan pengganti-pengantinya,
selama hubungan dengan negara asal tetap dipertahankan”. Lebih lanjut Ania Loomba
menyatakan bahwa hubungan antara pendatang baru dengan penduduk asli dalam
perkembangan selanjutnya menimbulkan beberapa masalah hubungan yang kompleks
dan traumatic dalam sejarah manusia. Permasalahan colonial seperti ini dikemukakan
sebagai proses “pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan. Peristiwa
kolonialisme ini diabadikan oleh berbagai tulisan, catatan pribadi, dokumen perdagangan,
arsip pemerintah masa lalu, sastra dan tulisan ilmiah. Praktik colonial yang terdapat pada
berbagai dokumen itu, kemudian menjadi sumber bagi para ilmuwan yang berminat pada
studi colonial dan poskolonial. (Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj).
Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003).

Anda mungkin juga menyukai