DAN POSTKOLONIAL
Perubahan sosial dalam masyarakat tidak boleh dilihat dari satu sisi saja, sebab
perubahan ini dapat mengakibatkan pergeseran pada banyak sektor dalam masyarakat
sosial. Hal ini berarti, perubahan sosial akan selalu terjadi pada setiap bagian dari
masyarakat itu sendiri. Gejala perubahan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari
terjadinya perubahan sistem nilai maupun norma yang berlaku saat itu dan yang tidak
berlaku lagi dalam masyarakat. Tentu saja, perubahan sosial ini terjadi bukan semata
mata karena individu dalam masyarakat tersebut yang mau berubah, akan tetapi karena
adanya perkembangan dari berbagai sektor khususnya teknologi. Perubahan sosial terjadi
karena semua faktor yang ada dalam masyarakat baik dari dalam ataupun luar. Adapun
faktor faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dari dalam seperti keadaan
ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, agama dan lainnya lalu faktor dari luar seperti
bencana.
masa primitif sampai ke peradaban Perancis abad 19 yang sangat maju. Hukum ini,
mungkin merupakan gagasan yang terkenal dari seluruh pemikiran Comte, walaupun
merupakan hukum yang paling contradiction in ternminis dalam pemikiran Comte
sendiri, karena Comte selalu menekankan pengujian empiris secara teliti dalam
membentuk hukum Sosiologi, sementara hukum tiga tahapannya terlalu luas dan tidak
dapat diuji sepenuhnya oleh pengujian empirik. Hukum itu menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini
ditentukan menurut cara berfikir yang dominan : teologis, metafisik dan positif. Gagasan
tentang evolusi perkembangan melalui tiga tahap ini bukan hanya milik Comte saja.
Awal-awal rumusan Comte mengenai hukum tiga tahap dikembangkan selama dia
bekerjasama dengan Saint Simon dan model dasar itu pasti merupakan hasil kerjasama
ini. Jacques Turgot Juga sudah mengemukakan suatu pandangan yang serupa mengenai
perkembangan sejarah dari bentuk-bentuk pemikiran primitif sampai bentuk-bentuk
pemikiran ilmiah modern di abad 18. Secara luas Comte mensistematisasi dan
mengembangkan model itu serta mengaitkannya dengan memberi tekanan pada paham
positif. Secara singkat karakteristik tiga tahap tersebut adalah sebagai berikut :
c. Tahap positif. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empirik
sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara
sifatnya, tidak mutlak : semangat positifisme memperlihatkan keterbukaan terus-
menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali
dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus
dipimpin oleh data empirik. Analisis rasional mengenai data empiric akhirnya
akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-
hukum lebih dilihat sebagai uniformitas empiric daripada kemutlakan metafisik.
Comte membagi masalah sosiologi menjadi dua, yaitu ranah sosial yang statis
(social static) dan ranah sosial yang dinamis (social dynamic). Ranah Sosial statis
mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan yang selalu
membutuhkan sebuah tatanan dan kesepakatanbersama. Ranah dinamis menunjukkan
watak ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat,
meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami
perkembangan sepanjang massa.
(https://www.academia.edu/32662923/AUGUSTE_COMTE.docx ).
2. Teori Konflik (Conflict Theory). Teori perubahan sosial ini dipengaruhi oleh
pandangan beberapa ahli seperti Karl Marx, Frederict Engle dan Ralf Dahrendorft.
Dalam teori perubahan sosial ini tentu saja memandang konflik sebagai sumber
terjadinya perubahan dalam masyarakat. Teori ini melihat masyarakat dua kelompok atau
kelas yang saling berkonflik yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat. Kedua kelompok
sosial dalam masyarakat ini dapat dianggap sebagai majikan dan pembantunya.
Penderitaan merupakan sumber utama konflik yang ada dalam masyarakat menurut teori
4
ini. Dengan kepemilikan harta dan hak hidup yang lebih banyak oleh kaum borjuis dan
minimnya bagi kaum proletariat akan memicu konflik sosial dalam masyarakat sehingga
terjadi revolusi sosial yang berakibat pada terjadinya perubahan sosial. Berdasarkan teori
perubahan sosial ini, dijelaskan bahwa pada akhir revolusi, akan tercipta masyarakat yang
hidup tanpa pembagian kelas dan sama rata. Ditambahkan juga bahwa perubahan sosial
terjadi pada dasarnya disebabkan oleh adanya konflik dan konflik akan selalu ada di
sembarang waktu dan tempat. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori
konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural
fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat
pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat
manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.
Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi dan kekuasaan dalam
masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.
Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan
antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya
perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar
terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada
suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Didalam
konflik selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.
Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan
(koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan
power.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik).
abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam
karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”,
maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang
memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-konsep ini tidak bertanggungjawab pada
fenomena konkret, tetapi kepada elemen-elemen di dalamnya yang secara analitis dapat
dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan
perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya
dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya.
Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan
kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak
pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi.
Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang
mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris. Sistem tindakan
diperkenalkan parson dengan skema AGIL nya yang terkenal. Parson meyakini bahwa
terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment,
Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memenuhi empat kriteria
ini.
Dalam karya berikutnya, The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai
orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapat beberapa macam
motivasi, antara lain kognitif, chatectic dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang
bertanggungjawab terhadap sistem sosial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan
moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan oleh
karenanya melibatkan motivasi dan orientasi nilai serta memiliki tujuan umum sebagai
konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Fungsionalisme_struktural).
(http://digilib.uinsby.ac.id/2581/5/Bab%202.pdf ).
terhadap tantangan yang ada dalam peradabannya maka masyarakat tersebut akan
mengalami kemajuan. Akan tetapi, bila tidak mampu, maka akan terjadi kemunduran
bahkan kehancuran.
Arnold Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran,
pertumbuhan, keruntuhan dan kematian. Toynbee lebih menekankan pada masyarakat
atau peradaban sebagai unit studinya. Peradaban muncul berdasarkan perjuangan mati-
matian. Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan
karena menempuh jalan yang terbuka. Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of
History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan
yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Kesimpulan Toynbee ialah
bahwa gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul
tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan
(civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut
Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut :
Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan
jawaban antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam alam yang baik manusia
berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di
daerah yang terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang
terlalu panas tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka
apabila tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan. Pertumbuhan dan
perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik
8
kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak
(mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta,
suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan kehilangan daya
mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah,
mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila kebudayaan sudah
memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam 3
masa, yaitu :
Setiap tahap dari siklus dipandang sebagai the child of the former and the parent
of the next. Arnold Toynbee, skema siklus 3 tahap perkembangan (yin–yang–yin baru):
c. Tahap tercapainya keseimbangan baru atau yin baru (yin in term of the
new societal condition).
B. TEORI MODERN-POSMODERN.
9
Teori-teori modern yang terkenal ialah, antara lain, teori-teori modernisasi para
penganut pendekatan fugsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori
ketergantungan. Andrd Gunder Frank yang merupakan pendekatan konflik dan teori
mengenai sistem dunia dari Wallerstein. Diantara teori-teori klasik dan teori-teori modern
kita dapat menjumpai benang merah. Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai
perkembangan masyarakat secara linear yang dikemukakan oleh tokoh klasik seperi
Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun cenderung melihat bahwa
perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara evolusioner dan linear serta
bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan dari tradisi ke modernitas. Para penganut
teori konflik, di pihak lain melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga
justru menuju ke keterbelakangan dan pada ketergantungan pada negara-negara industri
maju di Barat.
2. Ben Agger (1952 s.d. sekarang). Dalam teori modern–posmodern, Ben Agger
membagi tahapan modernisasi menjadi 7 tahap, yaitu : Globalisasi; Informasi dan hiburan
secara bebas dan terbuka; “The death of the Subject” atau kematian subyek dimana segala
hal dibungkus atau dikemas oleh persoalan-persoalan simulasi (hiper rasionalitas);
Dekonstruksi Bahasa; Simulasi; Polivokalitas; dan Munculnya gerakan social baru. Pada
10
masa ini (sekarang) banyak informasi yang tanpa makna sehingga membutuhkan adanya
literasi dan bagaimana memahami informasi secara jelas untuk menghindari diombang-
ambingkan oleh informasi-informasi tersebut.
C. TEORI POSKOLONIAL.
Kajian poskolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah
tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan postmodern
yang mewarisi pemikiran Nietszhe, seperti: Heidegger, Derrida, Michel Foucault,
Bataille dan lain sebagainya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori
kritis dan postmodern yaitu bahwa teori social berguna untuk meningkatkan kesadaran
dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan social budaya secara
rasional dan lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian poskolonial. Oleh karena
itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern berjasa besar dalam
menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek klasifikasi ilmiah,
pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan
dan ideology.
11
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Manuel Castel bahwa sedang terjadi
perubahan luar biasa dalam dunia ilmiah, pada bidang social, politik, ekonomi dan
budaya menjelang akhir abad ke-20 ini. Perubahan dari masyarakat yang cenderung
terposisikan pada “dua kutub”, identitas tunggal dan komunal menjadi masyarakat yang
saling berintegrasi dan bergesekan antar masyarakat yang bersifat local dan global secara
bersamaan. (Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2006).
konstruksi social-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka.
Karena itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif
sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori
Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran
tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap
Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai
teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Edward Said merasakan
bagaimana penderitaan rakyat Palestina yang terjajah dan kesetiaannya pada Palestina,
sehingga ketajaman analisisnya berhasil “menyingkap” teori pascakolonial yang semula
terfokus pada masalah kolonialisme, kemudian melebar memasuki dunia ilmiah melalui
kajian-kajian teks-teks para orientalis.
terdapat pada universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan
Timur; Ketiga, melihat orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli
pada Timur. Lebih lanjut Said mengemukakan arti orientalis dalam tiga wilayah yang
tumpang tindih, yaitu Pertama, orientalisme menciptakan sejarah pahit yang panjang
tentang hubungan antara Eropa dan Asia-Afrika. Kedua, menciptakan bidang-bidang
ilmu yang sejak awal abad ke-19 sebagai specialis dalam bahasa dan budaya oriental.
Ketiga, kolonialisme menciptakan stereotip-stereotip dan ideology tentang “the Orient”
yang diidentikkan dengan “the Other” atau yang lain dari “the Occident” (the Self). Oleh
karena itu, Edward Said mengemukakan perlunya pemahaman tentang permasalahan
filosofis yang sangat kompleks dalam menafsirkan budaya lain.