Anda di halaman 1dari 43

MANIFESTO TIKUS MERAH

Para jenderal bersekutu. Orang-orang kiri kongkalikong dengan cukong. Intelektual kiri sibuk masturbasi di subuh hari. Tepat ketika embun luruh dari daun kasturi, Tikus Merah keluar dari got-got gelap dan kotor. Ada wabah Tikus Merah di Indonesia.

Indonesia terletak di persimpangan jalur perdagangan besar, antara Teluk Benggala dengan Laut Cina atau umum sering menyebut antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Persimpangan ini, pada awal peradaban manusia dan sampai saat ini, merupakan daerah yang penting bagi lalu lintas perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manusia. Luas wilayah Indonesia mencapai 1.900.000 kilometer persegi, atau lima puluh tujuh kali luas Belanda, empat kali luas Perancis dan hampir dua kali luas Pakistan. Dalam garis lintangnya, jarak antara Aceh di ujung timur dengan Papua di ujung barat sama dengan jarak antara Pantai Pasifik dengan Pantai Atlantik di Amerika. Posisi seperti itu membuat Indonesia berada di tempat yang strategis dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Tapi kenyataannya Indonesia tak bisa lepas dari keterpurukan. Pepatahpepatah kuno memuji Indonesia sebagai Suvarnadwipa: Tanah Emas. Tapi kini sebagian besar penduduknya hidup dalam kemelaratan. Mengapa tikus bisa mati di lumbung padi? Inilah yang akan kami jawab.

I Kapitalisme Indonesia Dari Kapitalisme Militeristik sampai Badai Krisis Kapitalisme di Indonesia paska tumbangnya Soekarno sangat berlainan dengan kapitalisme di Eropa ketika Revolusi Perancis dan Inggris melanda benua itu. Perbedaan tersebut terutama terletak pada penguasaan aset-aset modal pada awal transisi dari Soekarno ke Soeharto. Dalam masa peralihan tersebut, tentara memegang peranan yang dominan dalam penguasaan modal: sebagai penjaga modal dan sekaligus sebagai pialang modal. Borjuasi pribumi yang mendapat ceceran modal dari program Benteng tahun 1957, akhirnya tergilas oleh naiknya tentara ke singgasana kekuasaan. Borjuasi pribumiyang sebagian besar priyayi-priyayi yang masuk dalam PNI dan Masyumiterlucuti hak-haknya. Mungkin borjuasi Tionghoa yang tersisa. Tapi tentaralah yang paling dominan sebagai penguasa aset-aset produksi. Tersebutlah sejak manusia mengenal kapal, Indonesia sudah banyak dikunjungi orangorang dari berbagai negeri. Mereka berdagang dan bertukar ilmu pengetahuan.Tapi ketika bangsabangsa dari Utara mulai berdatangan pada Abad Pertengahan, tujuan itu bergeser. Orang-orang yang telah diberkahi oleh Paus sejak perjanjian Tordesillas, membelah samudera dengan slogan: Gold [emas], Gospel [agama Katolik] dan Glory [kejayaan]. Itulah masa ketika kapital mulai menjarah bumi-bumi di Selatan. Semenjak itu, selama ratusan tahun kekayaan Indonesia diboyong ke Utara. Semestinya Revolusi Agustus 1945 memungkas semua itu. Tapi tak semua putik akan tumbuh menjadi bunga. Belanda memang berhasil didepak, tapi Amerika Serikat datang sebagai gantinya. Modal mereka masuk, dan sekali lagi, seperti era Belanda, kekayaan Indonesia terus dibawa ke Utara. Tentu mereka bisa masuk karena ada yang membukakan pintu. Siapa saja pembuka pintu itu?

1.Jalur Masuknya Modal Asing 1.1. Jalur Intelektual Universitas merupakan salah satu pembuka pintu agar Amerika Serikat [AS] bisa mempertahankan kepentingannya di Indonesiaterutama kepentingan modal. Setelah mereka terlibat dalam menyelesaikan kemelut antara Indonesia dan Belanda paska kemerdekaan, peranan AS meningkat. Ada dua intelektual Indonesia yang dijadikan kaki tangan AS di Indonesia: Sumitro Djoyohadikusumo dan Sudjatmoko. Oleh AS mereka dianggap sebagai orang -orang nasionalis yang sopan dibanding Soekarno yang meledak -ledak dan lebih condong ke kiri. Selepas perjanjian Konferensi Meja Budar [KMB], Sumitro yang beberapa waktu lamanya berada di AS, kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan dalam dua periode kabinet selanjutnya menjadi Menteri Keuangan. Dalam kurun waktu menjadi menteri pada tahun 1950-an inilah, sikap Sumitro sebagai orang AS dan Belanda ditunjukkan dengan memberikan peluang yang besar pada modal dari Utara untuk masuk ke Indonesia. Tentu saja Sumitro memerlukan pembantu-pembantu yang setia agar tugasnya bisa berjalan mulus. Lewat Yayasan The Ford Foundation [yang berdiri di Indonesia pada tahun 1953], Sumitro yang juga seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mementori kader kader muda untuk bisa menjadi penerus dan pelayan yang baik bagi T uan-tuan pemodal dari negeri Paman Sam. Mereka yang berpihak pada kapitalis Amerika disekolahkan ke AS terutama Universitas Berkeley dan Cornellseperti M. Sadli, Widjojo Nitisastro, Selosumardjan, dll. Mereka inilah yang kemudian menjadi arsitek -arsitek ekonomi yang pro kapitalis setelah Soeharto menjadi presiden. Ketika pembantaian terhadap orang-orang komunis dimulai, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia mengadakan seminar ekonomi. Orang-orang kepercayaan Amerika seperti Widjojo Nitisastro, M. Sadli dan Ali Wardana tampil sebagai pembicara. Hasil seminar tersebut kemudian dijadikan landasan pembangunan ekonomi Orba. Artinya, bahkan sebelum Soekarno benar-benar terguling, mereka sudah siap dengan cetak biru ekonomi pro kapitalis. Sampai kini intelektual-intelektual pro neoliberalisme terus digembleng di universitasuniversitas di Indonesia. Yang menonjol kemudian dikirim ke AS agar semakin tebal keimanannya, bahwa hanya kapitalismelah yang dapat memberikan jaminan bagi kemakmuran ekonomi dunia. Setelah pulang mereka akan menjual negaranya pada sang Tuan di Utara. Dengan segepok teoriteori, mereka menyodorkan argumentasi-argumentasi ilmiah, bahwa pasar bebaslah yang mesti dianut. Agar tak terkesan seperti Malin Kundang, mereka menganjurkan agar orang-orang miskin diberi sedikit kue-kue agar tak memberontak. Tapi mereka tak sendiri. Ada sahabat baik yang digembleng di Lembah Tidar. Sahabat itu bernama tentara. 1.2. Jalur Tentara Berbeda dengan Amerika, Siam, dan Jepang yang bisa memelihara angkatan bersenjata yang mandiri, Hindia Belanda hampir tidak dilengkapi dengan angkatan bersenjata pribumi. Mataram memang pernah mempunyai angkatan bersenjata yang besar, tetapi setelah Perang Diponegoro, Gubernur Jendral Belanda di Batavia hanya memperbolehkan kerajaan-kerajaan yang ada memiliki angkatan bersenjata untuk parade semata. Sedangkan tentara kolonial sendiri (KNIL) sebagian besar diambil dari luar Jawa (Ambon). Jadi, inti tentara Indonesia yang sesungguhnya tidak pernah mendapat didikan Barat. Sebagian lagi adalah didikan Jepang melalui PETA. Pasukan Republik yang mula-mula sekali melucuti tentara Jepang dan melawan Inggris (Sekutu), banyak diantaranya adalah gerombolan-gerombolan partisan -lebih banyak sebagai gerakan bawah tanah daripada sebagai tentara reguler- yang lebih dekat dengan golongan kiri. Situasi seperti ini membuat negara-negara kapitalis seperti AS menjadi khawatir. Apalagi dalam gelanggang Internasional menunjukkan bahwa posisi gerakan kiri sedang menguat sehingga bisa menyeret Indonesia yang baru merdeka ke dalam revolusi sosialis seperti yang terjadi di Tiongkok. Maka, AS yang peranannya semakin besar setelah KMB, mendekati kelompok-kelompok reaksioner seperti Hatta, PSI dan Masyumi untuk menghambat kemunculan tentara yang progresif. Sebagai imbalan, mereka memberikan bantuan-bantuan ekonomi dan mendesak Belanda untuk

segera mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kelompok-kelompok reaksioner yang juga dalam posisi terancam menyambut tawaran pihak AS. Red draft Proposal dan Rasionalisasi Restrukturisasi (RERA) Hatta adalah bungkus untuk melakukan pembasmian terhadap gerakan kiri di Indonesia. Tentara dibersihkan dari unsur-unsur revolusionernyaseperti PESINDO dan hanya disisakan mereka-mereka yang mendapat didikan KNIL atau PETA. Sejak saat itu pengaruh AS masuk ke tentara Indonesia sebagai salah satu jalur untuk memudahkan masuknya modal. Sejak kegagalan CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA ini merupakan usaha AS untuk menciptakan ketidakstabilan di Indonesia paska Pemilu 1955, dimana PKI menempati posisi 4 besar Amerika banyak mengubah strategi taktik untuk mempertahankan dominasinya di Indonesia. Mereka mulai mendekati perwira-perwira tentara yang anti terhadap gerakan kiri. Amerika memberikan bantuan sebesar $20 juta kepada tentara Indonesia, dan kemudian mulai memasukkan orang-orangnya ke SESKOAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). SESKOAD didirikan pada tahun 1958 oleh perwira-perwira intelektual Indonesia yang pro kapitalis dan AS, namun anti komunisme. Orang-orang seperti Sumitro, Widjoyo, dan Sadli adalah pengajarpengajar di SESKOAD. Dan, Soeharto merupakan salah satu produk dari sekolah komando itu. Melewati dua pintu di atas, modal AS bisa mulus masuk ke Indonesia. Lalu, darimana tentara mendapatkan ceceran modal sehingga mereka dapat membangun basis ekonomi untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965? 1.3. Borjuasi Bersenjata Keterlibatan tentara dalam bisnis sudah ada sejak Indonesia merdeka. Tentara Indonesia sejak awal diberi keleluasaan untuk mencari dana sendiri guna melancarkan operasi-operasi mereka. Berbagai laskar-laskar rakyat mencari dana secara mandiri guna membiayai perang gerilya melawan Belanda. Namun, penggalian dana secara sistematis baru dilakukan sejak RERA. Usaha-usaha tentara untuk mulai melakukan bisnis dengan alasan anggaran yang diberikan pemerintah kecilpaska RERA sering menimbulkan ketegangan. Setiap komandan-komandan wilayah mempunyai wewenang untuk mengembangkan bisnis sendiri, yang sering kali tanpa sepengetahuan orang-orang Jakarta. Peristiwa PRRI/PERMESTA dapat djadikan contoh tentang ketegangan yang terjadi antara penguasa teritorial di tingkat daerah dengan yang berada di pusat. Dalam peristiwa tersebut, Komando TT I/ Bukit Barisan di Sumatera dan Komando TT VII/Wirabuana di Sulawesi, untuk mendanai kerja-kerja operasionalnya melakukan penyelundupan karet di Sumatera dan kopra di Sulawesi. Ini tentu saja merugikan pemerintahan pusat maupun pimpinan tentara yang ada di Jakarta. Guna menertibkannya, mereka dibersihkandi samping alasan politik bahwa PRRI/PERMESTA didukung oleh CIA. Pola-pola penyelundupan ini merupakan hal yang wajar dalam bisnis tentara. Kostrad juga mengumpulkan dana lewat cara seperti itu. Soeharto juga melakukan hal sama ketika masih menjadi Pangdam Diponegoro. Setelah tahun 1957, keterlibatan bisnis tentara secara institusional semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh serikat-serikat buruh, sebagian besar diambil alih oleh tentara. Jenderal A.H Nasution mengambil prakarsa agar perusahaanperusahaan tersebut ditempatkan di bawah tentara supaya terjamin keamanannya. Sejak saat itulah tentara menguasai bisnis dalam skala besar. Kondisi tersebut semakin kuat ketika Soeharto naik menjadi presiden. Soeharto menetapkan kerjasama antara tentara, borjuasi Tionghoa dan pemodal asing untuk membangun perekonomian Indonesia. Semakin tertancaplah peran tentara Indonesia sebagai pemilik modal, pialang modal dan sekaligus sebagai penjaga modal. Guna mengukuhkan peranannya di atas, perwira-perwira tentara ditempatkan diberbagai BUMN-BUMN dan membentuk unit-unit usaha baru. Kerjasama dengan borjuasi Tionghoa juga ditingkatkan. Kerjasama antara Liem Sioe Liong sahabat bisnis Soeharto semasa menjadi Pangdam Diponegoro dalam membangun Bank Windu Kencana, merupakan contoh bentuk kerjasama antara tentara dan pengusaha. Bank tersebut menjadi basis pencarian dana dan perluasan usaha sektor lain. Angkatan Darat [AD] merupakan kesatuan tentara yang mempunyai bisnis paling banyak. Melalui empat yayasan yang mereka miliki Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod), Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK KOMBE) Angkatan

Darat mengembangkan bisnis-binisnya. Mereka bergerak dalam berbagai usaha, mulai dari transportasi, konstruksi, perikanan, HPH, dll.
Nama Perusahaan/Proyek Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP): PT. Aerokarko Indonesia PT. Asuransi Cigna Indonesia PT. Cilegon Fabricators PT. Kayan River Indah Timber Plywood PT. Kultujaya Tri Utama PT.Lukita Wahana Sari PT. Meranti Sakti Indah Plywood PT. Meranti Sakti Indonesia PT. Panca Usaha Palopo Plywood PT. Pondok Indah Padang Golf PT. Privated Development Finance.Co PT. Sinkanoi Indonesia Lestari PT. Sumber Mas Indonesa PT. Sumber Mas Timber PT. Truba Anugerah Elektronik PT. Truba Gatra Perkasa PT. Truba Jurong Engineering PT. Truba Jurong Engineering Pie Ltd. PT. Truba Sadaya Industri PT. Sakai Sakti PT. Kayan River Timber Product PT. Sempati Air PT. Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI) PT. Bank Artha Graha PT. Danayasa Arthama Universitas Ahmad Yani Bandung Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod): Duta Kartika Kencana Tour &Travels Kartika Plaza Hotel Kartika Aneka Usaha Kartika Buana Niaga Duta Kartika Cargo Service Orchid Palace Hotel Eks-impor Keterangan Nama Perusahaan/Proyek Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod): Kartika Cipta Sarana Mina Kartika Samudera Rimba Kartika Jaya Mitra Kartika Sejati Kartika Inti Perkasa Kartika Summa Mahkota Transindo Indah Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK KOMBE) Milik Kopassus: Operasi Prawita HPH Kerjasama dengan Kadin untuk melatih & mengembangkan para anggota Kopassus menjadi wiraswastawan Konstruksi PT. Kobame Propetindo Pemilik Graha Cijantung Transportasi bisnis perkayuan di Kalimantan Distribusi metanol dari Pertamina Pengelolaaan pasar swalayan di berbagi negara Keterangan

Pemasok

Konstruksi Perikanan Timber Shirimp Hoding comp. Holding comp. Holding comp.

KMB Tribuana I (dalam rencana) Poperti Dalam Rencana

Dalam rencana

Tabel 1: Perusahan Milik Angkatan Darat Walaupun tidak sebanyak Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga mengembangkan bisnisnya. Guna membungkus bisnis-bisnis tersebut, sama seperti Angkatan Darat, yaitu disamarkan dalam bentuk yayasan atau koperasi. Angkatan Laut lebih fokus pada bisnis perkapalan, penyulingan minyak dan produksi bahan kimia. Sedangkan Angkatan Udara berfokus pada pers, telekomunikasi dan perdagangan umum.
Nama Perusahaan/Proyek Yayasan Bhumyanca (Yasbhum) Bank Bahari Admiral Lines Yala Trading Bhumyanca Film Bintara Beach Internasiona REsort Pulau Bayan Marina Club Karimun Kecil Sekolah-sekolah Hang Tuah Induk Koperasi AL (Inkopal) &Primer Koperasi AL(Primkopal): (Selain berbagai bisnis di atas, TNI AL juga mengembangkan berbagai bisnis, yang berada di bawah naungan Inkopal dan Primkopal) Keterangan Perkapalan Suku cadang Nama Perusahaan/Proyek Yayasan Adi Upaya: Bank Angkasa Aerokarto Indo Dirgantara Air Service Angkasa Puri Cardig PT. Mediarona Dirgantara PT. Kresna Puri Dirgantara Keterangan

Penyulingan minyak mentah

PERS Telekomunikasi &perdagngan umum

Usaha di Bawah Inkopal, yang cukup terkemuka adalah usaha bisnis

PT. Kontruksi Dirgantara Induk Koperasi AU (Inkopau) &Primer Koperasi AU (Primkopau): (selain berbagai bisnis di atas, TNI AU juga mengembangkan berbagai bisnis yang berada di bawah naungan Inkopau dan Primkopau)

bahan kimia yang berlokasi di Surabaya

Tabel 2 : Perusahan Milik AL dan AU Selain ketiga angkatan di atas, Kepolisian juga memiliki bisnis. Paling tidak mereka mempunyai tiga yayasan: Yayasan Bisnis Bhakti dan Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) serta Primer Koperasi Polisi (Primkoppol). Melalui tiga tangannya ini, Polisi mengembangkan usaha, dari bisnis perdagangan, HPH, perhotelan, serta garmen. Bahkan setelah pisah ranjang dari TNI, Polri menjalankan bisnis senjata secara mandiri.
Nama Perusahaan/Proyek Yayasan Bisnis Bhakti: PT. Tansa Trisna Keterangan Perdagangan umum, kayu, kimia, dan udang HPH dan Garmen Pergangan umum, HPHm, perhotelan, dan garmen Angkutan Bahan peledak Perdagangan Umum dan HPH Asuransi Adjuster Klaim asuransi

PT. Bhara Induk PT. Braja Tama

PT. Braja Tara PT. Bhara Union PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara PT. Sabta Pirsa Mandiri Gedung Bimantara Bank Yudha Bhakti Asuransi Bhakti Bhayangkara Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) Dan primer Koperasi Polisi (Primkoppol) (selain berbagai bisnis di atas, Polri juga mengembangkan berbagai bisnis lain.

Tabel 3 : Milik Kepolisian Selain secara kelembagaan, banyak perwira-perwira tentara yang membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Mereka antara lain: Letjen. TNI (Purn) Ibn Sutowo, pemilik Nugra Santana Group (NSG) yang membawahi tidak kurang 30 anak perusahaan; Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said, yang sukses dengan bisnis otomotif Krama Yudha; Brigjen TNI Andi Soe, pemilik kelompok usaha Merannu yang membawahi sekitar 16 anak perusahaan; Mayjen TNI (Purn) Suhardiman yang pernah menangani berbagai perusahaan. Letjen TNI (Purn) Tahir, pengelola kelompok usaha Hanurata dengan 10 anak perusahaan; Jendral TNI (Purn) Benny Moerdani yang mempunyai usaha Batara Indra dengan sekitar 33 anak perusahaan. Ibnu Sutowo yang sempat menjadi Direktur Utama Pertamina mengembangkan kerajaan bisnis pribadinya. Di bawah naungan Nugraha Santana Group (NGS), ia mengembangkan usaha dalam berbagai bidang, mulai dari pembuatan dan perlawatan kapal, perhotelan, persewaan gedung, real estate, sampai bisnis perdagangan minyak.
Nama Perusahaan PT Adiguna Shipbuilding and Engineering PT Alas Helau PT Artana Pasifik PT Bali Handara Country Clup PT Cipta Paramuda Sejati PT Delta Sentana PT FMC Santana Petroleum Equipment PT Hedra Ghraha PT Indobuild Co. PT Inggom Shipyard PT Intan Sengkunyit PT Kertas Kraft Aceh PT Nisdemi Bidang Usaha Pembangunan dan perawatan kapal, pengadaan fiber glass kapal Logging dan Investasi bangunan Hasil dan Asuransi Kelautan Pengelolaan lapangan Golf, restoran, dan manajemen cottage Persewan gedung dan konsultasi manajemen Holding dan Trading Perdagangan minyak bumi Kontraktor Real estate dan hotel Pembangunan dan reparasi kapal Pembangunan dan reparasi kapal Pabrik kertas Pengadaan mesin disel, generator, perakitan alat-alat kelautan

PT Nugra Sarana PT Bank Pasifik PT Pelumin PT Sarana Buana Hendra PT. Tirtajaya Shipyard PT Tunas Tour and Travel PT Adiguna Mesin Tani

Bursa saham,pemasaran, manajemen properta, investasi Perbangkan Tranportasi kargo, tandling crafts, kapal tunda Perhotelan (antara lian Hotel Hilton) Pembanguna dan reparasi kapal Biro perjalanan agrikultural

Tabel 4 : Imperium Ibnu Sutowo Benny Moerdani tidak mau ketinggalan dengan rekan-rekannya sesama tentara. Ketika memimpin pasukan Indonesia untuk invansi ke Timor-Timur, ia memanfaatkannya untuk membangun bisnis pribadi. Namun, dalam perkembangnya bisnis-bisnis yang dimiliki Benny banyak mengalami kebangkrutan dan kemudian digantikan oleh keluarga Cendana.
Nama Perusahaan PT Adhi Baladika Agung PT Branata Mulia PT Motollain Corporation PT Nee Diak PT Renpah kencana PT Wawasan Globalindo Sentosa PT Widya Dana Persada Bidang Usaha Kontraktor umum Industri pita rekaman Distribusi peralatan komunikasi Industri perkapalan Eksportir kopi dan minyak cendana Bursa saham Bursa saham

Tabel 5 : Usaha-usaha Benny Dalam bisnisnya, tentara juga banyak yang bekerjasama dengan modal asing. Kerjasama Krama Yudha Group milik Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said dengan pemodal asing bisa dijadikan contoh. Krama Yudha memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain: PT Braja Mukti Cakara, PT Colt Engine Manufacturing, PT Karya Yasantara Cakti, PT Krama Yudha, PT Krama Yudha Motor, PT Krama Yudha Ratu Motor, PT Krama Yudha Tiga Berlian, PT Staco Tiga Berlian, PT Wira Dedana. Anak-anak perusahaan ini di dalamnya banyak melibatkan pemodal-pemodal asing untuk memperbesar kerajaan usahanya.
Nama perusahaan PMA (dalam US $)) 140,9 5,7 146,0 PMDN (dalam RP) 3.025,0 6.300,0 9.164,5 18.489,5 Modal Dasar Modal Ditempatkan 700,0 4.987,5 375,9 500 500 500 748,0 10.000,0 3.000,0 21.311,4 Modal Disetor 700,0 4.987,5 375,9 500 500 500 748,0 10.000,0 3.000,0 16.311,4

PT Braja Mukti Cakara PT Colt Engine Manufacturing PT Karya Yasantara Cakti PT Krama Yudha PT Krama Yudha Motor PT Krama Yudha Ratu Motor PT Krama Yudha Tiga Berlian PT Staco Tiga Berlian PT Wira Dedana Total

1.000,0 23.275,0 375,9 500 1.500,0 500 748,0 10.000,0 15.000,0 52.898,9

Tabel 6 : Kerjasama Mantan Perwira Tentara dan Pemodal Asing 1.3. Masuknya Modal Asing Sebagai balas jasa atas dukungan AS, tentara Indonesia yang berkuasa sejak tragedi berdarah tahun 1965, memberikan kemudahan bagi negara tersebut untuk menanamkan modal. Apalagi borjuasi nasional tidak mempunyai daya apa-apa untuk menguasai modal yang seharusnya menjadi haknya. Sementara itu, borjuasi Tionghoa yang karena ketangguhanya, juga mendapatkan modal dari tentara, walaupun tidak sebanyak yang didapatkan pemodal asing. Dominasi modal kapitalis internasional dapat kita lihat dari data di bawah ini:
Bidang Usaha Industri Makanan Industri Tektil PMDN (dalam juta Rp) 165.247 185.988 PMA (dalam juta Rp) 57.125 504.750

Industri Kayu Industri Kertas Industri Kimia Industri Mineral Bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam Industri Lainya

74.851 58.881 167.501 202.450 66.210 131.242 4.856

27.937 14.312 187.937 253.375 157.437 268.063 11.313

Tabel 7 : Perbandingan Investasi Modal Borjuasi Pribumi Dan Borjuasi Asing Pada Tahun (1967-1979) Dari data di atas dapat dilihat dominasi modal asing tidak bisa dikalahkan oleh borjuasi nasional. Sedangkan borjuasi Tionghoa sebagian besar hanya menguasai non industri berat tidak pernah menguasi sektor-sektor ekstraktif seperti pertambangan dan minyak. Data-data di bawah ini dapat menunjukkan dominasi modal asing di Indonesia (dalam Juta $).

Periode AS Kan Chn India Lln 1995 2,770.5 10.5 17.4 5.7 3.1 1996 642.1 35.8 20.3 21.8 1,664.3 1997 1,017.7 6.2 23.5 5.9 31.6 1998 568.3 8.1 7.6 14.9 10.8 1999 136.7 3.2 57.9 12.5 3,011.7

Lln

Hkn

Jpg

Korsel

Mly

Php

Sing

Taiw

Thd

14.1 76.6 88.9 123.2 4.3

1,763.3 1,105.6 251.0 549.0 76.9

3,792.0 7,655.3 5,421.3 1,330.7 644.3

674.7

877.0

31.2 3.1 0.0 62.5 4.9

1,468.5 3,131.0 2,298.6 1,267.4 731.1

567.4

34.5

1,231.4 1,393.3 1,409.9 2,289.3 202.4 1,060.2 263.0 186.1

534.6 1,610.6 3,419.4 165.4 1,489.3 19.1 2.8 8.4

Tabel 8: Negara-negara Kapitalis Yang Menanamkan Modal di Indonesia Sejak awal, ketika Soeharto menjadi penguasa, harta kekayaan negeri ini memang dipersembahkan bagi modal asing. Sebagai hamba yang setia, Soeharto dan kroni-kroninya dilindungi oleh Tuan-tuan mereka. Tak mengherankan kalau ia bisa bertahan selama 30 tahun lebih menancapkan kekuasaanya di Indonesia. Dengan masa kekuasaan yang selama itu, tentu saja ia telah mempersembahkan upeti yang besar bagi para kapitalis internasional. Semenjak masa Tanam Paksa, pada masa rezim Soeharto inilah Indonesia bisa menjadi sapi perahan yang membuat bangsa-bangsa Utara bersuka cita. Karena sumber daya alam ada di pelosok-pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua, modal asing pun menggurita di sana. Kekayaan alam didudah dari perut bumi dan hutan-hutan mulai ditebangi. Suku-suku anak dalam yang sudah beratus-ratus tahun tinggal, mulai didesak untuk pergi karena tempat mereka akan diubah menjadi kawasan pertambangan atau HPH. Mereka yang selalu dipinggirkan dari proses pembangunan semakin tak karuan nasibnya: menjadi paria di negerinya sendiri. Semua itu masih harus ditambah kerusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bekasbekas pertambangan dibiarkan begitu saja dan hutan semakin gundul. Tanah longsor dan banjir bandang merusak apa saja, termasuk manusianya. Begitulah nasib negeri setengah jajahan seperti Indonesia. 1.3. Borjuasi Nasional/Pribumi Perlu disebut dua borjuasi pribumi yang tumbuh sebelum dan sesudah Soekarno runtuh, yaitu Soedarpo Sastrosatomo dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dua borjuasi pribumi ini dapat bertahan setelah Orde Baru berkuasa. Soedarpo banyak bergerak dibidang perbankan. Ia banyak

membangun usahanya dengan borjuasi Tionghoa seperti Julius Tjahija, dan juga dengan perusahaan asing. Company Interests Soedarpo Corp. Ista Shiping Perusahaan induk dan perdagangan Agency PT Panurjawan Pelayaran antarpulau PT Samudera Indonesia Pelayaran internasional PT Bhaita Kapal penarik dan bergas PT Pahoka Pengangkutan kayu balok PT Indonesia National Bulk Angkutan barang-barang lepas Carriers PT Bank Amerta Bank PT Bank Niaga Bank devisa PT PDFC Institusi keuangan Tabel 9 : Perusahaan Soedarpo Sementara Sultan HB IX dalam mengembangkan bisnisnya banyak bekerjasama dengan investor asing, seperti dari Hongkong dan Belanda. Dalam pendirian Bank Dagang Nasional Indonesia, ia bekerjasama dengan Sjamsul Nursalim. Bidang usaha yang dikembangkan Sultan HB IX meliputi tekstil, hotel, kontraktor dan perusahaan kaset.
Company PT.Molino Pramungka PT.Asia Indo Tobacco PT. Urecon PT. Urecon Utama PT. BASF PT. Tylor Woodrow PT. Universal Realty PT. Chandra Jaya PT. Nusantour Duta PT. Duta Merlin PT. Wavin Duta Jaya PT. Eastern Polymer PT. Jogjatex PT. BDNI Sector Perusahaan induk Tembakau dan rokok Properti Properti Pita rekaman Kontraktor Properti Perikanan Pengelolaan kekayaan Hotel Pipa PVC Tekstil Tektsil Shareholders Sultan Hamengkubuwono dan Pramuka PT Molino Pramungka san Singapura T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya &Kasworo PT Urecom, Teddy Chandrajaya PT Urecom Utama dan Inggris PT Urecom Utama dan Singapura PT Urecom Utama, Sultan HB IX, Sri Budojo PT Nusatour Duta, PT Duta Indo Jaya dan Hongkong PT Nusatour Duta, PT Pembanguan Jaya dan Belanda PT Nusatour Duta dan Hongkong Kasworo dan investor lain PT Nusatour Duta &PT PT Nusatour Duta Jaya &Sjamsul Nursalim

Tabel 10: Harta Keturunan Sultan Agung yang Telah Berubah Menjadi Borjuasi Pribumi Lama menjadi kacung pemerintah Belanda, borjuasi pribumi terlambat tumbuh. Selama masa kolonial mereka memilih menjadi pegawai kolonial dengan gaji bulanan daripada menjadi pengusaha seperti orang-orang Tionghoa. Bagi mereka, menjadi pedagang merupakan pekerjaan kotor yang akan melunturkan kepriyayian. Tak mengherankan ketika mendapat berkah dari program Benteng, mereka lebih suka menjual lisensi yang dimiliki pada borjuasi asing atau borjuasi Tionghoa. Borjuasi pribumi yang muncul pada masa Orba tidak lain hanya sebatas kroni Soeharto. Mereka sebagaimana bayi yang semenjak lahir sudah cacat, menetek terus menerus pada Sang Jenderal. Tak pernah mandiri. Selalu hidup dari belas kasihan. Sampai sekarang pun mereka tidak tumbuh sebagaimana mestinya. 1.4. Borjuasi Tionghoa Jumlah borjuasi Hoakiau tumbuh lebih banyak dibanding borjuasi pribumi. Mereka rata-rata

bergerak pada bidang manufacturing, perbankan, properti dan kontruksi. Beberapa mendirikan industri semen dan menguasai perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia. Di antara kelompok raksasa adalah Astra Group dan kelompok Liem Sioe Liong. Kedua kelompok ini menggurita sampai saat ini. Ketangguhan borjuasi Tionghoa tak perlu diragukan lagi. Sejak zaman Belanda mereka telah bisa bersaing dengan pengusaha-pengusaha dari Eropa dan Timur Jauh. Tak jarang mereka menjadi korban rasisme, ditindas dan ditumpas, namun bisa bertahan. Orang-orang yang awalnya miskin di Negeri Naga sana, pergi ke Indonesia untuk memperbaiki nasib. Lewat kerja keras mereka tumbuh menjadi borjuasi yang tak gepeng oleh berbagai gencetan. Ketangguhan itulah yang membuat borjuasi pribumi iri. Tak jarang dalam setiap kesempatan politik, borjuasi Tionghoa menjadi sasaran untuk menumpahkan kemarahan. Dengan propaganda bahwa mereka orang asing yang mengeruk kekayaan Indonesia, borjuasi Tionghoa sering menjadi sasaran amuk massa. Dan akibatnya bukan hanya mereka yang menanggung. Etnis Tionghoa yang hidupnya biasa-biasa saja ikut menjadi korban. Peristiwa Mei 1998 merupakan contoh paling akhir bagaimana etnis Tionghoa menjadi korban rasisme. Tapi mereka tetap bertahan. Sepuluh besar orang terkaya di Indonesia masih diduduki oleh borjuasi Tionghoa. Rezim boleh berganti, tapi mereka bisa menyesuaikan diri. Sepertinya itulah keunggulan mereka. 1.5. Proses Industrialisasi Kampungan Repelita merupakan konsep pembangunan yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Seperti halnya raja Mataram, Soeharto memfokuskan pada pembangunan sektor pertanian dibanding sektor-sektor lain, terutama sektor industri. Juga seperti masa penjajahan Belanda, sektor-sektor ekonomi yang lain dibangun untuk mendukung sektor pertanian Belanda melakukan industrialisasi hanya untuk mendukung perkembangan produksi gula. Dalam program Repelita, misalnya, pada Pelita I, ditegaskan bahwa pembangunan industri ditekankan pada: i. Industri-industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor pertanian, terutama yang menghasilkan peralatan pertanian, dan memproses produk-produk pertanian; ii. Industri-industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara memproduksi barang-barang pengganti impor; iii. Industri yang relatif lebih banyak mengunakan tenaga kerja daripada tenaga mesin; iv. Industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan regional. Memang berbeda dengan Rusia dan India yang proses industrialisasinya menitikberatkan pada industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri ringan (industri kosumsi), sedangkan industri pertanian mengikuti industri-industri ini. Di Indonesia yang berlaku adalah sebaliknya. Sayangnya, industri pertanian yang digembar-gemborkan hanya bertumpu pada teknologi kampungantenaga manusia dan hewan. Para petani tidak pernah bersentuhan dengan peralatan-peralatan modern. Tak mengherankan ketika negara lain mengalami kemajuan dalam industri pertaniannya karena didukung peralatan yang modern, petani Indonesia tak bisa berbuat banyak. Traktor memang mulai digunakan, tapi para petani harus berhadapan dengan galengangalengan/pembatas sawah yang mereka buat sendiri. Peralatan yang modern itupun akhirnya tidak berfungsi dengan maksimal, para petani kembali lagi pada sapi dan luku. Inilah yang membuat kita terseok-seok menghadapi serbuan produk pertanian luar yang lebih murah dan lebih bagus mutunya. Selama Orde Baru, sebelum industri tekstil dibangun secara marak pada dekade tahun 80an, yang ada hanyalah sisa-sisa puing reruntuhan industri warisan Belanda: pabrik gula. Bangunan-bangunan tua inilah yang dibanggakan padahal sejak zaman Belanda sudah mengalami keruntuhan. Sialnya lagi, pabrik-pabrik gula yang sudah afkiran ini bak museum yang tidak pernah disentuh, dianggap barang keramat, begitu juga dengan alat-alatnya, dibiarkan tanpa diberi unsur modern sedikitpun. Akibatnya, inustri gula Indonesia tak berdaya menghadapi gempuran gula impor.

Masih berbau dengan tanah, Orde Baru kemudian banyak membuka lahan-lahan perkebunan di luar Jawaterutama Sumatera dan Sulawesi. Perkebunan kelapa sawit, karet, vanili, hutan tanaman industri, dll. Industri-industri ini masih dikerjakan dengan teknologi yang sederhana. Dan lagi-lagi tidak didukung oleh industri-industri yang maju. Yang ada di sekitar ladang-ladang perkebunan itu hanya gudang-gudang, tidak ada industri pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi yang modern. Akibatnya, hanya mampu menjual dalam wujud barang mentah dengan harga yang murah. Konsep industri kampungan berdampak pada proses industrialisasi yang tersendat -sendat. Pembangunan sarana-sarana pendukung juga berjalan lambat. Barang-barang untuk industri dasar (baja, besi) hanya dijual dalam bentuk mentah ke luar negeri, bukan untuk membangun infrastruktur di dalam negeri. Industri untuk menghasilkan mesin-mesin juga tidak ada. Rezim Soeharto lebih suka mengimpor mesin-mesin. Persoalan selanjutnya adalah industrialisasi yang ada masih berpusat di Jawa sedangkan di luar Jawa hanya di beberapa tempat. Jawa sebagai fokus industrialisasi mendapatkan segalanya: sarana pendidikan, tempat-tempat hiburan, transportasi, kesehatan sampai air bersih. Timbulah kesenjangan dalam tingkat kesadaran masyarakat di segala bidangilmu pengetahuan, pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya. Masyarakat di Jawa sudah maju, sementara di luar Jawa masih tertatih-tatih mengeja aksara. Industri kampungan berakibat pula pada perkembangan proletariat. Tak mengherankan kalau jumlah petani masih banyak. Di negara-negara yang maju jumlah kaum pekerja akan lebih banyak daripada jumlah petani; industrialisasi pertanian membuat jumlah petani akan menyusut; kalaupun mereka bekerja di sektor pertanian, mereka bukan lagi petani seperti di Indonesia saat ini yang mempunyai sepetak dua petak tanah, tapi sudah berubah menjadi barisan proletariat sebagaimana buruh pabrik di kota. Sementara itu, buruh-buruh pabrik di kota seringkali bisa menjadi petani penggarap kembali. Rata-rata mereka masih mempunyai tanah warisan di desa, yang ketika terkena PHK akan kembali ke kampung untuk menggarap tanah. Ketika kesempatan di kota mulai terbuka lagi, mereka akan kembali menjadi buruh pabrik. Sementara itu, lambatnya industrialisasi juga berakibat tenaga-tenaga produktif di pedesaan tidak mampu diserap semuanya oleh pabrik-pabrik di kota. Dampaknya, sebagian tenaga kerja pergi ke luar negeri untuk menyambung hidup. Walaupun setiap tahun ada tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati, disiksa, diperkosa, tapi karena menipisnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, anak-anak bangsa itu lebih memilih mengadu peruntungan di Malaysia, Hongkong atau negara-negara di Timur Tengah. Proses industrialisasi kampungan inilah yang membuat Indonesia semakin terbelakang, tak mampu bersaing dengan negara-negara lain. Orde Baru memberikan warisan yang tetap dipertahankan sampai saat ini. Seperti seekor hamster dalam kurungan, tampak sudah bekerja keras berlari, tapi ternyata tak kemana-mana: jalan di tempat. Lantas krisis itu datang tak bisa dicegah. 1.6. Krisis Kapitalisme di Indonesia Sejak pertengahan tahun 1997, kapitalisme yang selama ini dianggap sebagai sistem ekonomi yang paling baik, terkena badai krisis yang maha dahsyat. Kawasan Asia yang diramalkan akan menjadi surga baru bagi industrialisasi, berubah menjadi neraka yang mengerikan. Mulai dari Korea Selatan yang disebut-sebut sebagai salah satu Macan Asia mengalami kebangkrutan ekonomi, kemudian merembet ke Thailand, Filipina, Malaysia, dan akhirnya ke Indonesia. Seluruh ramalan yang ada menjadi buyar. Seperti halnya virus yang maha ganas, ternyata krisis tidak hanya terjadi di kawasan Asia, tapi telah menyebar ke Amerika Latin maupun Afrika. Bahkan negara-negara kampium kapitalis, Amerika Serikat dan Eropa, juga terhantam badai ini. Di Indonesia dampak krisis ekonomi begitu hebat. Seluruh sektor ekonomi mengalami keruntuhanbaik sektor pertanian, manufacturing, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan jasa. Akibatnya, pertumbuhan sektor ekonomi yang rata-rata 7% menjadi nol bahkan sempat dibawah nol/minus. Posisi mata uang rupiah mengalami kemerosotan yang cukup tajam, dari Rp.

2.300,- per satu dollar Amerika [ pada Juli 1997 sesaat sebelum krisis], menjadi Rp. 15.000,- per satu dollar Amerika pada 15 Juni 1998. Beberapa hari kemudian malah menjadi Rp.17.000,- per satu dollar Amerika. Secara riil, perkapita perkapita penduduk Indonesia merosot tajam sampai sekitar US $400 pada tahun 1998. Marilah kita babar dampaknya: Dari catatan pemerintah, pada 6 Juni 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sekitar 15,4 juta orang, atau sekitar 17,1% dari 90 juta angkatan kerja yang ada. Membengkaknya jumlah pengangguran baik secara kuantitas maupun kualitas ini berasal dari pengangguran akibat PHK, pengangguran terselubung karena jumlah jam kerja dan penghasilan yang rendah, serta pengangguran baru yang tidak dapat diserap karena hilangnya kesempatan kerja akibat pertumbuhan ekonomi yang minus. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, selama krisis mereka mengaku menerima sekitar 300-an laporan tentang terjadinya PHK terhadap 7.500 pekerja hingga Agustus 1998. Secara nasional angka pengangguran mencapai 13 juta pekerja dari 90 juta angkatan tenaga kerja. Ini belum dihitung pengangguran terselubung yang melonjak hingga 33 juta tenaga kerja atau sekitar 37% dari total tenaga kerja yang ada. Krisis kapitalisme di Indonesia membuat tingkat inflasi pada tahun 1998 tinggi, hingga melebihi nilai 50%. Dampaknya sekitar 37% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 1999. Jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan ini 3 (tiga) kali lebih banyak dari jumlah yang diperkirakan pada tahun 1996, yaitu sekitar 11% dari total penduduk Indonesia. Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah orang miskin pada Juni 1998 sama dengan jumlah penduduk miskin tahun 1976, yaitu sekitar 40,1% dari total penduduk Indonesia saat itu. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin sekitar 54,2 juta orang dan pada Juni 1998 sekitar 79,4 juta orang. Pada tahun 1996, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 13,3% (22,5 juta Orang) dari keseluruhan penduduk Indonesia. Di akhir tahun 1998 saja, dengan menghitung tingkat ketergantungan ( dependency ratio) sebesar 5, akan ada sekitar 100 juta penduduk yang tidak lagi bisa makan dengan teratur, karena 25 juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya. Angka kemiskinan di pedesaan disebut-sebut meningkat hingga 59% dari 205 juta penduduk Indonesia. Apalagi dengan semakin tercekatnya kehidupan petani karena melonjaknya harga pupuk dan bibit tanaman. Jumlah keluarga miskin di ibukota Indonesia ini melonjak hingga 151.383 KK atau 300% bila dibandingkan jumlah keluarga miskin tahun 1997, yakni 50.461 KK. Yang paling parah terkena dampak dari krisis adalah kaum perempuan. Jumlah kematian ibu yang melahirkan semakin tinggi. Data dari UNICEF menunjukkan tentang hal ini. Pada tahun 1990 angka kematian ibu melahirkan sebanyak 450 orang dari 100.000 ibu yang melahirkan. Jumlah ini menurun pada tahun 1995 menjadi 390/100.000, dan meningkat lagi pada tahun 1998 menjadi 500/100.000. Krisis ekonomi telah menyebabkan pemenuhan gizi menurun dam lemahnya masyarakat untuk memeriksakan ibu yang hamil ke tempat-tempat medis. Dampak krisis kapitalisme memang tak bisa ditampik. Kapitalisme telah terbukti membuat rakyat semakin sengsara. Gembar-gembor bahwa meraka adalah juru selamat ternyata hanya menciptakan lubang untuk mengubur dirinya sendiri. Krisis tersebut sebetulnya bukti nyata: kapitalisme merupakan biang keladi terpuruknya Indonesia. Seperti kepundan gunung berapi, setiap saat kapitalisme siap meledak dan runtuh. Masihkah kita mau mempertahankannya? 1.6. Kesimpulan Dari uraian di muka maka dapat disimpulkan tentang kapitalisme di Indonesia sebagai berikut: 1. Kapitalisme di Indonesia tidak bisa melahirkan kelas borjuasi nasional yang tangguh baik terhadap penguasaan alat-alat politik maupun ekonomi. Mereka hanya mendapatkan ceceran modal dari borjuasi bersenjata. Akibatnya, corak produksi kapitalisme di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang wajar. Ia tumbuh cacat, bahkan sejak kelahirannya. 2. Tentara Indonesia telah menjadi borjuasi bersenjata yang menguasai aset-aset ekonomi. Tentara bukan sebatas pemegang senjata, tapi juga menjadi pengusaha.

3. Kapitalisme Indonesia tidak dibangun dengan basis industrialisasi modern, tetapi lebih mengadalkan tenaga manusia/teknologi tradisional. Ini diperparah dengan konsep industrialisasi yang hanya dipusatkan di pulau Jawa. Akibatnya terjadi kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa serta antara desa dan kota. 4. Dominasi modal asing di Indonesia sejak zaman rezim Soeharto sampai saat ini sangat besar. Apalagi ketika neoliberalisme sedang gencar-gencarnya masuk ke Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional, borjuasi bersenjata, borjuasi Tionghoa, tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme internasional. 5. Sebagaimana sistem kapitalisme secara umum, kapitalisme di Indonesia juga rapuh. Krisis yang terjadi pada tahun 1997 merupakan bukti kalau pondasi kapitalisme tak pernah menjangkar kuat. II Problem Politik

1. Tentara Yang Represif: Dwi Fungsi ABRI Menemukan Kemenangannya Tahun 1965 merupakan awal sebuah tragedi kemanusiaan. Korbannya melebihi Perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Walaupun tidak ada peperangan, nyawa manusia bisa melayang dengan mudah. Tiga juta rakyat dibantai. Ribuan lainnya disiksa, dimasukkan dalam penjara, dan dibuang tanpa proses pengadilan. Ketika itu, anjing pun takut untuk menggonggong. Setiap mendengar tapak kaki tentara, daun tak jadi meluruh dari tangkainya. Udara tidak lagi mewartakan kesejukan, tapi dendang lagu kematian. Firaun pernah melakukan pembunuhan, Amangkurat secara brutal membantai rakyat Mataram, dan Hitler menghabisi keturunan Yahudi, tetapi semua itu tidak bisa melebihi kekejaman tentara Indonesia. Sejak saat itu sepatu lars tentara menginjak kedaulatan rakyat. Demokrasi moncong bayonet. Sungguh beda dengan yang terjadi di negeri yang beradab. Di negeri yang maju, demokrasi berarti menduduki kepala tentara: sipil berkuasa penuh terhadap tentara. Perlu mendapat catatan adalah tempat pembuangan Pulau Buru. Tempat ini akan mengingatkan pada kamp Nazi. Orang-orang yang dianggap ada sangkut pautnya dengan Partai Komunis Indonesia [PKI] ditempatkan dalam kamp itu. Mereka dibawa ke kamp tersebut tanpa proses peradilan. Pulau Buru adalah savana yang tanahnya tidak subur karena pada masa Belanda perkebunan dibakar untuk mempertahankan politik monopoli. Di Pulau Buru, hampir selama 14 tahun para tahanan politik diperlakukan seperti hewan dan dilucuti hak-haknya sebagai manusia. Kerja paksa di bawah siksaan hampir terjadi setiap hari. Hasil jerih payah mereka dikorupsi oleh tentara yang ada di sana. Hanya tentaralah yang bisa melakukan kebiadaban seperti itu. Dan ini semua terjadi pada zaman modern, bukan pada masa perbudakan Selepas Peristiwa 1965, pembantaian yang dilakukan oleh tentara untuk membendung perlawanan-perlawanan rakyat di daerah tak pernah surut. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang dikeluarkan tahun 1998 mencatat kekerasan demi kekerasan yang dilakukan tentara. Salah satu laporan menyebutkan: Secara historis, pembunuhan sewenang -wenang yang berkaitan dengan politik paling sering terjadi di daerah-daerah di mana gerakan separatis aktif, seperti Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pasukan keamanan terus mengambil tindakan keras terhadap gerakan separatis di ketiga wilayah itu. Selain pembunuhan yang terjadi di tiga daerah yang secara resmi disebut "kawasan bermasalah" ini, pihak keamanan membunuh demonstran mahasiswa tak bersenjata, dan ada juga berbagai laporan pembunuhan sewenang-wenang oleh pasukan keamanan dalam kasus-kasus yang melibatkan tuduhan kegiatan kejahatan biasa. Setelah kalem sejenak, tentara tampil babar lagi pada tahun 1973. Bumi Lorosae sasaran

mereka. Lars tentara menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan rakyat bekas jajahan Portugal itu. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya , itulah yang terjadi terhadap rakyat Timor Leste. Sejak dilangsungkan invansi militer, tanah Lorosae berubah menjadi merah darah. Kematian, penculikan, dan penyiksaan menjadi sahabat rakyat. Hampir 24 tahun lebih rakyat harus berkawan dengan maut. Dalam kurun waktu ini, 200 ribu lebih rakyat Timor Leste musnah, sebagian besar tidak tahu di mana kuburannya. Laporan Amerika Serikatwalaupun keakuratannya perlu kita ragukandapat menunjukkan kebengisan tentara Indonesia: Sumber-sumber yang dapat dipercaya memastikan adanya 37 pembunuhan sewenang-wenang di Timor Timur selama delapan bulan pertama tahun itu [Catatan: laporan ini buat tahun 1998]. Dalam sebuah kasus yang tengah diselidiki oleh Komnas HAM, aparat militer membunuh empat orang sipil Timor Timur pada Januari di dearah Bobonaro. Pasukan khusus membunuh seorang gembala di dekat Venilale pada Februari. Pada bulan April seorang wanita Timor Timur dan dua orang anaknya tewas ketika pihak militer menyerang rumahnya di Baucau. Dalam suatu serangan lain atas sebuah rumah di Baucau bulan Mei, dua orang lelaki Timor Timur tewas. Juga di bulan Mei, aparat militer kabarnya membunuh Costodoi da Silva Nunes ketika ia lari dari mereka di dekat Liquica. Pada Juni, Herman das Doares Soares ditembak di punggungnya oleh pasukan militer didekat Manatuto ketika ia mengumpulkan kayu dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Tapi memang sejarah selalu berlaku adil. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia dijadikan bara oleh rakyat untuk berlawan. Perlawanan mereka tak pernah kisut. Maju dan maju sampai akhirnya bermuara pada kemenanganya. Referendum yang dinantikan rakyat akhirnya datang juga. Tujuh puluh delapan koma lima persen rakyat menghendaki kemerdekaan. Negeri itu kini telah merdeka. Sekarang mereka bisa tersenyum dan membentuk masa depannya sendiri. Dari timur penindasan itu bergerak ke barat. Berselang dua tahun kemudian, giliran Tanah Rencong, Aceh, yang memerah. Daerah yang pernah jaya pada masa Sultan Iskandar Muda itu, berubah menjadi ajang pembantaian. Serambi Mekah itu bukan lagi menjadi tempat yang damai. Daerah itu memang kaya raya. Terletak di Selat Malaka yang selalu ramai sejak dahulu kala. Begitu juga dengan hasil alamnya. Aceh merupakan salah satu penghasil gas alam terbesar di Asia. Hutan negeri ini juga ijo royo-royo, seperti halnya hamparan permadani. Namun derita yang ada. Kekayaan alam yang melimpah tidak pernah dinikmati penduduknya. Semuanya di bawa ke Jakarta dan tidak kecil pula yang dibawa bangsa asing. Kalau kemudian mereka menuntut hak mereka, apakah salah? Dari sinilah kisah itu berawal: ketika rakyat menuntut haknya. Sejak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir, terlahir pula penindasan tentara di sana. Rakyat yang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba dituduh sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan [GPK]. Mereka diburu-buru seperti anjing yang kudisan. Diperlakukan bak binatang yang sudah tidak ada harganya lagi. Mundurkah rakyat Aceh? Sejarah belum mencatat rakyat Aceh pernah menyerah terhadap penindasan. Lihat sendiri buktinya! Aceh adalah daerah yang terakhir kali bisa dikuasai penjajah Belanda. Mereka tetap teguh dalam berprinsip. Penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemenjaraan tidak pernah membuat mereka mundur selangkah pun. Sampai saat ini, bara api itu masih berkobar. Pembantaian yang dilakukan tentara Indonesia terhadap rakyat Aceh sungguh luar biasa. Komnas HAM mencatat bahwa pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yeng terjadi di Aceh selama 1989-91 dan 1997-98 mencapai 368 kasus. Pada Oktober 1998 sebuah tim pencari fakta melaporkan 1.010 peristiwa penyiksaan di Aceh Utara antara tahun 1989 dan 1998. Sebagai gambaran, Laporan Amerika Serikat memberikan kesaksian sebagai berikut: Di Aceh ada laporan yang dapat dipercaya tentang kuburan massal dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan di masa lalu dan sampai 1998. Komnas HAM dan sebuah delegasi DPR melakukan penyelidikan atas kuburan massal, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan orang, perkosaan, dan

penganiayaan yang terjadi di Aceh sepanjang 1989-91 dan 1997-98. Komnas HAM mengunjungi Aceh dan membuat laporan awal yang memperkirakan adanya ratusan kejadian pembunuhan, penghilangan orang, dan penganiayaan. Menyusul laporan Komisi itu, pemerintah daerah mengizinkan sejumlah tim pencari fakta yang terdiri dari kalangan masyarakat, staf LSM, wartawan, pensiunan ABRI, dan pihak lain untuk melakukan penyelidikan lebih lengkap atas pelanggaran hak asasi di tiga kabupaten yang menderita paling parah di provinsi itu. Bulan Desember, Gubernur Aceh mengumumkan temuan tim-tim itu: Di tiga kabupaten antara 1989 dan pertengahan 1998, 1.021 orang Aceh dibunuh, 864 hilang sampai saat itu, 357 cacat, 1.376 wanita menjadi janda, 4.521 anak-anak menjadi yatim (paling tidak kehilangan satu orang tua), dan 681 rumah dibakar. Ada juga tuduhan yang dapat dipercaya bahwa ratusan wanita Aceh diperkosa selama sembilan tahun operasi militer. Laporan tentang penghilangan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya berlanjut sampai Mei. Antara 24 dan 34 orang Aceh kabarnya diculik dari Desember 1997 sampai Mei dan tetap tidak ada kejelasan. Pangab ABRI mengunjungi Aceh pada Agustus dan meminta maaf atas "ekses" yang dilakukan oleh militer di provinsi itu; ia berjanji akan menarik semua satuan tempur yang biasanya tidak ditempatkan di sana, janji yang kemudian ditepati. Namun tingkat kehadiran tentara naik tajam lagi pada Desember sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan dan bentrokan antara sipil dan militer. Ketegangan antara militer dan penduduk setempat di provinsi itu tetap tinggi, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Lhokseumawe pada akhir Agustus dan awal September. Selama kerusuhan di Lhokseumawe, seorang penduduk meninggal dan delapan lainnya luka-luka oleh tembakan dalam bentrokan dengan pihak keamanan. Sampai akhir tahun, gangguan dan kekerasan sipil sporadis terjadi di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, dan dua orang lagi diculik dan mungkin dibunuh. Kembali lagi ke timur. Rakyat Papua juga mengalami nasib serupa. Sampai sekarang tentara Indonesia ditempatkan di sana untuk menjaga modal kapitalis internasional: PT. Freeport, tambang emas milik AS. Operasi militer semakin ditingkatkan ketika tuntutan rakyat Papua untuk memerdekaan diri semakin kuat. Satuan-satuan elit tentaraKopasusdidatangkan ke pulau yang kaya akan barang tambang tersebut. Penculikan, pembunuhan dan penangkapan secara sewenang-wenang sering terjadi. Gambarannya sebagai berikut: Di Irian Jaya, sebuah kelompok gereja mengeluarkan laporan pada Mei 1996 yang menuduh pihak militer bertanggung jawab atas pembunuhan sewenang-wenang terhadap 11 orang di dataran tinggi sisi selatan Irian Jaya tengah dalam suatu operasi militer yang bertujuan menangkap kaum separatis yang menyandera dan kemudian membunuh dua orang anggota kelompok peneliti pada Januari 1996. Komnas HAM kemudian memastikan pembunuhan itu dan terus menyelidiki 43 kematian lain yang menurut komisi gereja disebabkan oleh pihak militer. Dewan Gereja terus menyelidiki laporan kematian karena tembakan atas seseorang tidak dikenal setelah pihak keamanan membubarkan secara paksa sebuah demonstrasi besar yang mendukung kemerdekaan Irian Jaya di Biak pada 6 Juli 1998.

Tak berhenti disitu. Menjelang kejatuhan Soeharto, tentara semakin brutal. Demonstrasi yang terjadi di mana-mana dihadapi dengan cara-cara kekerasan. Tentara melakukan pengejaranpengejaran terhadap massa aksi sampai dalam kampus dan sekaligus melakukan pengrusakan fasilitas kampus. Marilah kita lihat gambarannya: Pihak keamanan memukuli empat peserta aksi sewaktu membubarkan sebuah demonstrasi besar di Yogyakarta pada 9 Mei 1998. Salah seorang korban meninggal

karena pemukulan itu. Pasukan keamanan menembak dan membunuh empat mahasiswa tak bersenjata yang ikut dalam demonstrasi besar dan damai di Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei 1998. Pasukan keamanan dan mahasiswa terlibat dalam konfrontasi singkat di sana, yang akhrinya diselesaikan melalui perundingan. Namun, ketika mahasiswa mulai mundur ke kampus, empat mahasiswa ditembak dan tewas. Kemarahan atas pembunuhan itu membantu menyulut kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998. Pada 13 November 1998, aparat keamanan menembaki dan memukuli demonstrasi mahasiswa dan non-mahasiswa di Universitas Atmajaya. Setidaknya sembilan demonstran meninggal, dan seorang anggota keamanan tewas ketika dipukuli oleh demonstran. Empat demonstran pro-pemerintah juga tewas dalam sebuah insiden terpisah pada 13 November 1998, ketika mereka dipukuli oleh rakyat sipil. Komnas HAM membentuk sebuah tim pada akhir November 1998 untuk menyelidiki insiden 13 November. ABRI sebelumnya pada 22 November 1998 mengumumkan bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum terhadap aparat yang terlibat dalam pemukulan wartawan pada 12 November dan dalam penembakan mahasiswa pada 13 November ketika sembilan demonstran (kebanyakan mahasiswa) tewas. Namun kekerasan itu tidak dapat membendung laju gerakan demokratik. Maka, tentara Indonesia kemudian membentuk tim khusus untuk melakukan cara-cara yang lebih tidak beradab untuk menghentikan rakyat yang berlawan. Beberapa aktivis diculik dan kemudian disiksa. Bahkan sampai saat ini ada yang belum ketahuan nasibnya dengan pasti. Inilah gambarannya: Pius Lustrilanang bersaksi secara terbuka di depan Komnas HAM pada 27 April bahwa para penculiknya menggunakan kabel listrik yang diikatkan di kakinya untuk menyetrumnya sewaktu mereka mengajukan pertanyaan mengenai kegiatan sejumlah tokoh oposisi. Mereka juga membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ia tidak dapat bernapas dan menendang serta memukulinya. Siksaan dan interogasi itu berlanjut selama tiga hari pertama penahanannya tapi sesudah itu tidak lagi. Desmon Mahesa menyatakan secara terbuka pada 12 Mei bahwa pada hari pertama penahanannya ia disiksa sambil ditanyai mengenai kegiatan politiknya. Para penculiknya menutup matanya dan memborgol tanganya pada sebuah kursi. Mereka menggunakan sengatan listrik pada kaki dan kepalanya, serta memukul dan menendangnya. Mereka memaksanya membenamkan kepalanya ke dalam air sampai dia tidak bisa bernapas. Rahardjo Waluyo Djati pada 4 Juni secara terbuka menuturkan betapa ia juga dipukuli dan disetrum selama penahanannya. Para penculiknya juga memaksanya berbaring di atas balok es. Faisol Reza bersaksi pada 26 Juni bahwa selama penahanannya ia mengalami berbagai perlakuan buruk dan siksaan, termasuk pemukulan, sengatan listrik di beberapa bagian tubuhnya, disundut rokok, dan dilarang tidur. Ia ditanyai terutama mengenai perannya dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tidak hanya terhadap aksi-aksi mahasiswa saja tentara Indonesia melakukan tindakan brutal, tapi juga terhadap gerakan buruh yang mulai marak paska turunnya Soeharto. Aksi-aksi damai yang dilakukan oleh kaum buruh ini dihadapi dengan kekerasan oleh tentara. Kita dapat melihat contoh di bawah ini untuk melihat kebrutalan tentara Indonesia terhadap aksi buruh: Pada 25 Agustus, sejumlah 750 pekerja pabrik tekstil dari Jawa Tengah, kebanyakan wanita, mencoba berbaris ke sebuah organisasi lokal hak asasi di Jakarta di mana para pekerja itu melakukan mimbar bebas yang ditujukan kepada kantor perwakilan ILO. Ketika aparat keamanan berusaha mendorong mereka ke jalan, dan terjadi saling mendorong, aparat keamanan lalu memukuli para

demonstran itu dengan tongkat rotan dan menendangi mereka sampai mereka mundur. Sebanyak 19 demonstran menderita luka-luka. Sewaktu Soeharto berkuasa, represi juga dilakukan terhadap media massa. SIUP diterapkan untuk mengebiri kebebasan pers. Dengan kontrol yang ketat tersebut, rezim Soeharto berharap bisa mengedalikan opini yang berkembang di rakyat. Kasus pembredelan Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994, dan bahkan jauh hari sebelumnya koran besar seperti Kompas pernah merasakan sensor terhadap pers yang dilakukan rezim Soeharto. Mendekati akhir kekuasaannya, Soeharto masih berusaha mengekang kebebasan pers. Fakta di bawah ini sebagai contohnya: Pada lima bulan pertama 1998, kritik masyarakat terhadap pemerintah meningkat, dan pers memuatnya dengan lebih terbuka. Namun, pemerintah masih berusaha mengendalikan media; pada bulan Maret pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan mengadukan majalah Detektif dan Romantika ke pengadilan karena halamanan mukanya memuat gambar Presiden Soeharto waktu itu sebagai raja dalam kartu bridge. Redaktur majalah itu sebelumnya dipaksa meminta maaf kepada pemerintah. Pada bulan Mei Presiden Soeharto secara terbuka mengecam media cetak dan elektronik karena mengobarkan "perang urat syaraf" tentang Indonesia melalui pandangan mereka tentang ekonomi Indonesia. Beberapa wartawan yang meliput demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei kabarnya mendapat intimidasi dari aparat. Dua wartawan asing yang tengah merekam bentrokan pada 6 Mei antara mahasiswa dan aparat keamanan di Jakarta dilaporkan dilempari batu dan ditembaki oleh polisi tapi selamat tanpa cidera. Seorang wartawan asing yang tengah merekam pasukan keamanan yang menembaki demonstran di Medan ditangkap dan diancam dengan pistol. Dalam sejarah Indonesia tak pernah tentara membela rakyat. Walaupun mereka selalu berkhotbah berasal dari rakyat, tapi kenyataan tak bisa ditipu: pembunuh terorganisir paling biadab. Tentara merupakan mesin penggilas kehidupan politik bangsa Indonesia sejak kelahirannya sampai sekarang. Sebagai pembungkam nomor satu, tentara Indonesia tak segan-segan melakukan aksi brutal yang mungkin saja tidak bisa dinalar akal waras. Tolong sebutkan wilayah mana di negeri ini yang belum mengalami kebengisan tentara Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu, masihkah akan bersekutu dengan tentara? 2. Borjuis Demokrat Yang Tidak Mempunyai Watak Demokratik Sejak awal borjuis demokrat Indonesia tidak dapat diandalkan. Zaman Soekarno mereka walaupun tak menguasai aset-aset ekonomi masih mampu menguasai panggung politik. Tapi pada era Soeharto mereka tidak memegang keduanya. Baik kekuasaan politik dan ekonomi sudah diambil alih oleh borjuis bersenjata: tentara. Borjuis demokrat tak mampu berbuat banyak di depan ksatria-ksatria bersenjata. Mereka lebih banyak menjadi kacung -kacung tentara dan menjadi birokratmenteri, dirjentetapi jarang yang mampu menjadi kepala daerah gubernur dan bupati pada era Orba dikuasai tentara maupun pensiunan tentara kalau beruntung mereka bisa menduduki jabatan sebagai direktur-direktur BUMNtetapi secara keseluruhan tentaralah yang berkuasa. Terhadap kekejaman yang dilakukan tentara seperti yang telah diuraikan di atas, apa yang mampu dilakukan borjuis demokrat? Tidak ada yang mereka lakukan, bahkan sekadar protes dalam hatipun sepertinya mereka tak berani. Dengan kata lain, mereka tak mampu membela hak mereka sendiri, apalagi membela hak rakyat. Demokrasi Multi Partai Zaman Habibie: Konsolidasi Sisa-sisa Orba untuk Tetap Berkuasa

Gerakan massa rakyat pada Mei 1998 memang berhasil menggulingkan simbol kediktatoran, tapi belum berhasil merontokan sistem kediktatoran itu sendiri. Dua penyangganya Golkar dan tentaramasih berdiri kokoh. Akibatnya, transisi kekuasaan masih dipegang oleh sisasisa Orde Baru: Habibie. Tentara memang berhasil dipojokkan oleh gerakan demokratik, tetapi tidak terlucuti hak-haknya, dan Dwi Fungsi ABRI belum juga tergoyahkan. Melalui Habibie, borjuasi kroni Soeharto masih berusaha untuk menyelamatkan kekuasaan agar penguasaan mereka terhadap aset-aset ekonomi tetap terjaga. Usaha-usaha itu ditempuh dengan kendaraan Golkar dan tentara. Manuver-manuver politik dilakukan Habibie baik dengan memberikan referendum kepada rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri, maupun melalui janji akan melaksanakan Pemilu multi partai bertujuan untuk meyakinkan massa rakyat bahwa dia adalah seorang demokrat didikan Barat. Janji-janji itu memang dipenuhi. Rakyat Timor Leste akhirnya merdeka, dan Pemilu yang diikuti 48 kontestan dilaksanakan. Namun, ternyata bukan dukungan dari rakyat diperoleh Habibie, tapi kehancuran bagi dirinya sendiri, tersingkir dari panggung politik. Ia lupa ada ilusi baru: Megawati. Gagallah usaha Habibie untuk memimpin konsolidasi Orde Baru. Namun, tersingkirnya Habibie tidak berarti Golkar dan tentara tersingkirkan. Golkar walaupun tidak menempati posisi pertama, tetapi tetap mampu membayangi PDIP dan mengungguli partai-partai yang baru lahir. Mereka hanya banyak kehilangan suara di Jawayang menjadi basis PDIP dan PKB tetapi tidak di luar Jawa. Mereka inilah yang kemudian memimpin konsolidasi sisa-sisa Orde Baru untuk berkuasa kembali. Selain tetap bertahan di Partai Golkar, borjuasi kroni Orde Baru banyak juga yang lompat pagar ke partai-partai politik lainterutama PDIP. Kepindahan mereka bukan karena kesadaran untuk membangun demokrasi, tapi semata-mata untuk menyelamatkan modal. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka bahkan berhasil memecah belah partai-partai baru untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang sebelumnya anti Orde Baru. Lemahnya Gerakan Demokratik dalam Masa Multi Partai Ketika proses kejatuhan Soeharto, jumlah gerakan demokratik memang luar biasa banyaknya. Beratus-ratus komite aksi, baik komite aksi mahasiswa maupun rakyat berdiri, hampir menyebar diseluruh pelosok Indonesia. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komite-komite ini tidak bisa dikonsolidasikan menjadi Front Popular seperti di Chili atau Dewan Rakyat seperti di Soviet. Semakin hari, komite-komite yang telah terbangun itu terus susut, dan yang masih tetap bertahan semakin terpolarisasi. Di antara gerakan mahasiswa yang selama proses penggulingan Soeharto menjadi katalisatorwalaupun sebelumnya didahului oleh KMKsetelah Soeharto terjungkal, terbelah menjadi dua: gerakan yang mengkritisi vs anti terhadap Orba. Sementara, ditingkat massa rakyat, jargon Refomasi memang menggema di mana -mana. Bagi rakyat, reformasi berarti mengganti kepala desa yang korup atau merebut tanah mereka yang dahulunya diserobot Orba. Aksi massa telah menjadi metode yang digunakan rakyat untuk mereformasi bahkan di beberapa tempat, sempat digelar pengadilan rakyat. Tetapi hal inipun tidak bisa didorong menjadi kesadaran revolusioner karena bagi massa rakyat reformasi = melengserkan, bukan mengubah sistem. Konsolidasi yang gagal dari gerakan demokratik tersebut telah memuluskan jalan sisa-sisa Orba dan borjuis demokrat yang gradualis untuk melenggang menuju singgasana kekuasaan. 3. Gus Dur: Gradualisme Borjuasi Indonesia Setelah Pemilu 1999, datanglah Sidang Istimewa [SI] MPR. Rakyat menghendaki segera terlepas dari lilitan krisis, dan mungkin dari sisa-sisa Orba. Sementara pihak internasional mendambakan pemerintahan yang "damai, tempat yang aman untuk akumulasi modal mereka di Indonesia yang sempat goyah akibat krisis ekonomi maupun gerakan massa rakyat menurunkan Soeharto. Pemerintahan (atau mungkin tepatnya rezim baru) akan menghadapi situasi-situasi yang indah: jumlah pengangguran yang mencapai angka 74 juta; perbankan yang sakit sehing ga harus direstrukturisasi; masalah kapitalis kroni dan pengadilan Soeharto yang belum tuntas.

Demokrat borjuis yang ada dan lahir di Indonesia berbeda dengan sesama kelas mereka yang lahir di Eropa abad 17. Mereka ini tidak pernah terlibat dalam setiap monentum perubahan, hanya menikmati hasil dari jerih payah perjuangan orang lain. Jangan samakan mereka dengan para borjuasi yang ada di Prancis dan Inggris. Saudara mereka di Eropa ini penuh peluh untuk sampai pada tangga kekuasaan. Lihatlah bagaimana ganasnya Revolusi Prancis yang bisa-bisa mengantar leher Raja ke Gouletin, begitu juga kejamnya Revolusi Industri di Inggris atau perang saudara Amerika Serikat. Borjuasi Indonesia sama sekali tidak pernah mengalaminya. Maka jangan heran kalau selama ini mereka manja, cengeng dan serba tanggung. Ini tidak lepas dari masa kelam Indonesia, dari dua penjajahan yang ada. Kapitalisme di Indonesia dibawa oleh Belanda, bukan dari hasil jerih payah kelas borjuasi Indonesia. Kapitalisme cangkokan ini serba tidak tuntas. Lihat bagaimana borjuasi demokrat mendapatkan jatahnya. Tidak dengan suatu perjuangan, tapi dengan mengemis. Begitu juga setelah Indonesia merdeka, mental pengemis tetap mereka pertahankan. Kondisi itu lebih parah ketika rezim militer Soeharto yang berkuasa. Tidak segan-segan mereka meminta kepada militer untuk mendapatkan ijin usaha. Jangan heran ketika masa mereka sudah datang, ketika revolusi mereka sudah tiba, mereka tidak pernah tegas terhadap tentara karena punya hutang jasa yang begitu besar. Lihat saja. Ketika ratusan ribu mahasiswa dan rakyat turun ke jalan 12-14 Nopember 1998 dengan tuntutan Cabut Dwi Fungsi ABRI, apa yang mereka lakukan: sembunyi di Ciganjur. Nyawa 7 mahasiswa yang gugur di Semanggi ditukar dengan bunga duka: Dwi Fungsi ABR I akan dicabut 6 tahun lagi. Kebebalan mereka pun belum berakhir. Ketika kursi parlemen mereka direbut oleh tentara dengan 38 kursi gratis, mereka hanya terdiam, membisu, bagaikan patung Liberty di tengah kota New York. Sikap derma mereka terhadap tentara memang tiada taranya, belum ada duanya di dunia ini. Belum lagi sikapnya terhadap persoalan Timor Leste. Suatu tragedi kemanusian hanya ditukar dengan kursi presiden. Sikap mereka sungguh memalukan. Lihat saja Megawati dalam pidatonya 29 Juli 1999: tidak rela kalau Timor Leste lepas dari wilayah Indonesia. Namun, ucapan Mega berubah ketika rakyat Timor Leste berkata lain: 78,5% menghendaki merdeka. Dengan entang Mega berkata: kita harus menghormati keinginan rakyat Timor Leste, tapi dengan tidak lupa menyerang Habibie yang telah memberikan pilihan referendum. Begitu juga dengan Gus Dur, dengan gaya seorang nasionalis sejati, mengorbankan perang dengan Australia yang dianggap telah mencampuri urusan Indonesia. Sikap-sikap opurtunis mereka semakin kelihatan, dan bahayanya membawa nasionalisme gaya Hitler. Itulah wajah-wajah borjuis demokrat dengan watak-watak oportunis, penakut dan tentu saja moderat. Pemerintahan Gus Dur: Borjuasi Yang Berebut Balung Kekuasaan dan Modal Tinggalan Soeharto Naiknya Gus Durseorang borjuasi demokrat dan keturunan kyai dari Jawa Timur telah mengubah peta perpolitikan di Indonesia. Ia memang tawanan bagi kekuatan borjuasi yang lain (Poros Tengah PAN, PBB, PK dan Golkar). Gus Dur bisa naik menjadi presiden di tengah situasi dimana kekuatan anti Megawati sangat kuat sekali berkembang ketika itu. Dari sinilah aliansi Poros Tengah dan Golkar menawan Gus Dur sebagai jaminan untuk menghadapi aliansi PDI-P dan PKB. Sidang Umum MPR 1999 akhirnya memilih Gus Dur menjadi presiden. Naiknya Gus Dur menjadi presiden diiringi dengan adanya amuk massa di berbagi daerah Jakarta, Solo, Bali, dan Medanyang merasa dikhianati oleh MPR. Megawati yang sebelumnya calon utama presiden versi rakyat, dipecundangi kekuatan Poros Tengah dan Golkar. Sebagai seorang tawanan, Gus Dur tidak bisa leluasa dalam membentuk pemerintahannya. Gus Dur harus memasukkan kekuatan-kekuatan yang telah menaikkannya menjadi presiden. Akibatnya, kabinet Gus Dur menjadi rapuh, tidak ada kestabilan di dalamnya. Gus Dur harus tersibukkan untuk bongkar pasang orang-orang di kabinet. Kompromi politik dalam pemerintahan Gus Dur inilah yang sering menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Pemerintahan koalisi Gus Dur mengalami pembusukan dari dalam. Langkah-langkah Gus Dur yang hendak membersihkan basis ekonomi dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru di dalam

birokrasi dan lembaga strategis lainnya, selalu mendapat perlawanan. Pencopotan Jusuf Kalla [dari Partai Golkar] dan Laksamana Sukardi [dari PDI P], merupakan puncak konflik dalam pemerintahan Gus Dur, yang berakhir dengan diajukankannya hak interpelasi DPR untuk meminta penjelasan Gus Dur terhadap pencopotan kedua menteri tersebut. Sebelumnya, Gus Dur telah mencopot Hamzah Haz [dari PPP] dan Jenderal Wiranto [tentara] dari kabinet. Perebutan jabatanjabatan pimpinan BUMN juga tak kalah serunya: Bulog, Jusuf Kalla digantikan Rizal Ramli; BPPN. Glen Yusuf (kroni Habibie/Golkar) digeser oleh Cacuk Sudariyanto; LKBN Antara, Parni Hadi (kroni Habibie/Golkar) diserahkan kepada Mohammad Sobari (orang NU yang dekat dengan Gus Dur); yang terakhir adalah penangkapan Gubernur BI, Syahrir Sabirin (Golkar), karena keterlibatannya dalam Skandal Bank Bali. Gradualisme Gus Dur: Dari Sidang Tahunan MPR Sampai Kejatuhannya Gus Dur memang tidak mendapat didikan Eropa/Amerika, ia mendapat didikan Timur Tengah. Sayup-sayup ia belajar demokrasi Barat yang menghasilkan gradualisme, dan sayupsayup pula mendengar teori Marx sehingga ia membayangkan massa NU hasil singkritisme penyembah nenek moyang Jawa dan Islam yang dibawa para sunanadalah kelas pekerja. Di Indonesia, kegiatan demokrasi Gus Dur hanyalah Fordemkumpulan orang-orang yang frustasi menghadapi rezim Soeharto, dan kemudian membuat sekte baru, menjauhkan diri dari realitas rakyat. Jabatannya di NU lebih karena dia keturunan bangsawan NU. Inilah dia, yang bagi orang yang tersilaukan dianggap sebagai seorang demokrat yang akan mampu menuntaskan Revolusi Demokratik. Memang Gus Dur seorang pluralis sebagai warisan markantilisme Majapahit yang mau menerima kedatangan siapa saja untuk kemajuan perdagangan kota Jombang tempat dia dilahirkan berdekatan dengan bekas ibu kota Majapahit dibanding dari pelajaran demokrasi yang dia dapatkan. Manuver politik adalah senjata yang paling disukai Gus Dur untuk mempertahankan kekuasaannya dan keselamatan kroni-kroni feodal NU, dibanding untuk menegakkan demokrasi. Dia mencoba mengadili koruptor, menyeret para jenderal, tapi cipika cipiki dengan Soeharto. Selama menjadi presiden, inilah warisan Gus Dur: Golkar yang berhasil mengkonsolidasikan diri lagi [dalam Pemilu 2004, Golkar bisa menjadi jawara pertama] dan tentara yang kembali menjadi penjagal demokrasi. 4. Megawati dan Kembalinya Sisa-sisa Orde Baru Tak perlu panjang-panjang membahas Megawati. Yang Jelas dia telah melakukan aliansi jahat dengan Golkar dan tentara untuk kekuasannya. Dan yang jelas juga, dia seorang nyonya yang dengan senang hati menerima kedatangan modal asing ke Indonesia. Ia juga sangat sopan satun terhadap neoliberalisme. Aset negara diobral secara murah kepada asing. Tapi walaupun begitu, Mega dianggap bukan yang terbaik oleh Tuan-tuan modal. Karena itu, dalam Pemilu 2004, Tuan-tuan modal lebih memilih SBY. Tak mengherankan kalau SBY bisa mengalahkan Mega dalam Pilpres. Masihkah kita berharap dia akan menjadi presiden tahun 2014? 5. SBY: Bangkitnya Para Jenderal Yang patut dicatat pada masa rezim SBY adalah semakin mengerucutnya konsolidasi borjuasi. Baik borjuasi lama maupun baru sudah bisa menata dirinya. Mereka sudah saling berkompromi untuk menguasai perekonomian Indonesia. Situasi ini membuat politik elit relatif stabil. SBY tidak mengalami masa-masa pertarungan yang keras antara faksi borjuasi sebagaimana masa Habibie, Gus Dur dan Megawati. Berkah ini digunakan oleh SBY untuk melakukan pencitraan diri bahwa dirinya mampu membawa Indonesia keluar dari krisis politik. Keadaan politik yang stabil kemudian digunakan oleh para jenderal didikan Orba untuk kembali bangkit. Dua nama yang perlu disebut adalah Prabowo Subianto dan Wiranto. Lewat Partai Gerindra, Prabowo membangun propaganda nasionalisme untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Ia menempatkan diri sebagai anti tesis dari rezim SBY yang dianggap oleh berbagai

kalangan lembek. Dengan struktur politik yang semakin meluas, Prabowo semakin percaya diri untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Sementara itu, Wiranto, jenderal gaek mantan ajudan Suharto, masih berambisi untuk menjadi presiden walaupun sudah kalah dalam dua kali Pilpres. Dengan menggandeng konglomerat didikan Cendana, Hary Tanoe, Wiranto dengan Partai Hanura-nya mencoba peruntungan pada Pemilu 2014 yang akan datang. Modal yang besar dari taipan-taipan yang mendukungnya diharapkan mampu mendudukan dirinya di kursi presiden. Jagal nomor satu dalam tragedi Timor Leste paska jajak pendapat, sedang memupur dirinya agar tampak bersih dengan menggandeng aktivis-aktivis kiri. Sikap SBY memang tak pernah tegas terhadap jenderal-jenderal pelanggar HAM seperti Prabowo dan Wiranto. Sementara gerakan demokratik juga tak mampu memberikan tekanan yang kuat agar mereka diadili. Di sisi lain rakyat tak peduli dengan masalah HAM karena memang tak terjangkau oleh isu-isu yang rata-rata diusung oleh kelas menengah perkotaan. Situasi inilah yang mesti dihadapi gerakan demokratik pada Pemilu 2014: tentara yang masih dominan dalam panggung politik Indonesia.

III Rakyat yang Berlawan


A. Gerakan Mahasiswa 1. Masa Soeharto 1.1. GM Dari 1966 sampai 1997Ingin Perubahan Tanpa Mengubah Sistem Dalam pembabatan PKI dan penjatuhan Soekarno, peranan mahasiswa tak bisa disembunyikan. Mereka dengan bersukacita ikut melahirkan rezim Soeharto. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Periode tersebut merupakan masa paling hitam dalam sejarah gerakan mahasiswa. Belum pernah terjadi sebelumnya mahasiswa terlibat dalam pembinasaan manusia dalam skala yang besar. Atau bisa dikatakan, Angkatan 66 merupakan angkatan yang berdiri di atas bangkai jutaan rakyat yang dibantai. Pada posisi kemenangan itu, gerakan mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan moral (moral force). Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa selanjutnya. Ia mengibaratkan dirinya para cowboy yang turun ke tengah kota ketika ada kejahatan, begitu angkara bisa ditumpas, mereka akan kembali ke dalam kampus. Menempatkan diri setengah mesianitas: pembebas yang selalu bersih, tak mau tercemar politik. Tapi kenyataanya tak seperti itu. Setelah berhasil membuat Indonesia merah oleh genangan darah, para aktivis mahasiswa justru mencemplungkan diri dalam politik. Bisa kita sebut nama-nama seperti Sarwono Kusumaatmadja, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad, Cosmas Batubara, dll. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa bulan madu gerakan mahasiswa dengan Orba. Anak-anak berjaket kuning itu telah menjadi bagian dari kekuasaan rezim Soeharto. Tapi tak selamanya begitu. Masa indah itu mulai retak ketika Arief Budiman dan aktivis mahasiswa lain mulai memprotes kebijaksanaan Orba. Tahun 1973 mereka menggugat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Menurut kelompok Arief Budiman, pembangunan TMII tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka proyek tersebut merupakan agenda ambisius belaka. Karena protes tersebut, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan golongan putih [golput]. Kemudian ia dan kawan-kawannya pada bulan Oktober 1973 mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR untuk menyampaikan Petisi 24 Oktober. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan Orba yang dianggap tidak populis. Tapi memang hanya sebatas itu. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno. Area perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi massa yang besar. Gerakan hanya terfokus pada posisi sebagai gerakan moral; terbatas memberikan kritik yang loyal kepada kekuasaan yang ada. Setelah peristiwa itu, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali pada awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, diboikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Ibu kota lumpuh total. Mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat asyik dengan aksinya sendiri: melakukan pembakaran terhadap mobil -mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari: Malari. Nama-nama seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dll, muncul sebagai pembangkang kelas satu. Mereka diburu dan kemudian dipenjarakan. Fakta yang sulit ditampik, Malari bisa membesar tidak lepas dari konflik elit waktu itu. Yakni: pertarungan faksi Jendral Soemitro dan Ali Moertopo yang berebut posisi untuk dekat dengan Soeharto. Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama,

adanya kolaborasi dengan tentara. Paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jenderal yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat aktif dalam aksiaksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan rontoknya tentara yang diajak berkolaborasi. Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat. Gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang juga turun ke jalan. Rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Radikalisme massa kemudian digunakan oleh rezim sebagai palu godam untuk memukul aksi-aksi mahasiswa. Tentu saja dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum dan menciptakan kekacauan. Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar di satu titik mengakibatkan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta dilumpuhkan, perlawanan terhenti karena daerah -daerah lain tidak melakukan pembangkangan sama sekali. Membutuhkan waktu yang lama setelah Malari. Kurang lebih 4 tahun kemudian gerakan mahasiswa bangun kembali. Baru tahun 1978 aksi -aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka tentara diperintahkan untuk menghentikannya. Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung panser. Mahasiswa membuat barikade dengan tidur-tiduran di sepanjang Jalan Ganesa. Aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan tentara. Sementara di Yogyakarta, tentara menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa dikejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian. Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rezim Orba, namun setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak, ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, gerakan setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik menolak pencalonan Soeharto walaupun belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Mereka melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau. Sebagai solusinya Soeharto harus ditampik menjadi presiden. Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang didukung oleh tentara, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, dapat mengerahkan orangorang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Soeharto menghancurkan kehidupan politik mahasiswa di kampus. Pengekangan terhadap aktivitas mahasiswa dimulai. Soeharto juga mengerahkan tentara untuk merepresi gerakan mahasiswa. Kedua, gerakan 78 memang membesar di kota -kota seperti Bandung dan Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa 74 di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan 74, gerakan tetap mudah dipatahkan. Setelah kemenangan tertunda dari gerakan mahasiswa 78, rezim Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Rezim berusaha memenjarakan mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef, dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis. Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa tertidur. Kebijaksanaan NKK/BKK kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto. Pemerintah memberlakukan depolitisasi, yaitu menyalurkan kegiatan mahasiswa pada lembaga kemahasiswaan formal seperti Senat Mahasiswa [Sema], Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM], dll. Di luar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS). Aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, mahasiswa kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran lingkaran-lingkaran diskusi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rezim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rezim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Kedua, mereka yang melarikan ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide -ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang tersebut diterapkan dengan apa adanya, seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru: ditiru begitu saja. Di tengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, yakni melalui pemberdayaan rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus -ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan LSM, karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan. Apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat secara luas. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolaholah anti negara dan berasal dari arus bawah. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah api dan kemudian digunakan untuk menjaga api tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. LSM pada kenyataanya mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar perut mereka. Periode LSM pada akhirnya lewat. Walau bagaimanapun ketatnya rezim berusaha memagari gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada . Mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis keluar dari ruang -ruang diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Mereka mengambil strategi melingkar: melakukan aksi -aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat. Mereka mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat: bahwa penindasan, pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu itu banyak kasus-kasus yang menyentuh rakyat secara langsung, seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan sampai pemPHK-an, yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas. Strategi melingkar ini memang berhasilwalupun tidak maksimalmengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam perlawanan terhadap penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa ilegal bagi rezim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986 1990, yang awalnya berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, dan Semarang. Sejak munculnya organisasi-organisasi di atas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali. Arus perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1992, sekitar 12.000 mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan universitas lain di Yogyakarta didampingi rektor UGM, Prof. Koesnadi Harjosoemantri, melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta. Mereka memprotes diberlakukannya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993, ribuan mahasiswa mayoritas mahasiswa Islammenduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR, sementara di luar gedung ribuan mahasiswa terus menjalankan

aksinya. Satu tahun kemudian, mahasiswa di berbagai daerah memprotes dibredelnya Majalah Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresi oleh tentara, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh tentara. Sekitar 7 mahasiswa gugur dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan tentara. Secara organisasi gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan. Konsolidasi di dalam dan di luar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Berdirinya organisasi ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Program-program SMID antara lain menuntut dicabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rezim Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa dikukuhkan menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembangannya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa terbukanya politik mahasiswa. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Sentimen anti kediktatoran rezim Orde Baru Soeharto mulai meluas. 2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. 3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat. 4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan). 5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu. Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya, selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirinya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI dan Dema Universitas Sanata Dharma. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah Peristiwa 27 Juli 1996. Setelah Peristiwa Sabtu Kelabu, rezim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD. Mereka dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996 sampai akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompokkelompok mahasiswa radikal dengan memakai komite aksi yang bersifat musiman untuk terus melakukan perlawanan. 1.2. Gerakan Mahasiswa 1998Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia. Nilai rupiah melemah terhadap dollar AS. Harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Banyak perusahaan yang gulung tikar. Banyak buruh yang di PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, yang tertohok dengan naiknya harga makanan yang melonjak, kertas naik, belum lagi orangtuanya yang di PHK. Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutantuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi, kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran ekonomis menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi -aksi mahasiswa yang semakin

membesar mulai meneriakkan tuntutan politik: meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran. Kurang lebih 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, dan Kudus. Aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Di berbagai wilayah terjadi bentrokan antara demonstran dengan tentara. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa yang ingin melanjutkan rally keluar kampusdengan tentara. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2-3 April, bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh tentara sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh tentara. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa. Aksi tanggal 24 April, para demonstran melempari tentara dengan molotov. Peristiwa itu membuat kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahasiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei, ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru tentara. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain. Tanggal 13-14 Mei, Jakarta lumpuh total. Pemberontakan rakyat terjadi. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan tentara yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan lengser, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat yang dipelopori mahasiswa Yogyakartamemenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur. Masa-masa itu merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksiaksi mahasiswa di beberapa tempat bahkan sudah menguasai Radio Republik Indonesia [RRI] seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, dan Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu itu juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Setelah berhasil melengserkan Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun. Hampir selama 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul di depan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atmajaya ditembaki oleh tentara, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat di samping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar Pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, di beberapa daerah seperti Yogyakarta, markas tentara seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutantuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi. Secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei 98. Namun tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI MPR dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

2. Massa Habibie: Menguatnya Kesadaran Anti Tentaraisme Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum Pemilu dilewatkan dengan manis. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika memperingati Peristiwa 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasikmalaya, dan Purwokerto melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota. Aksi ini semakin membesar ketika tentara kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan Rancangan Undang Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). RUU yang jelas antidemokrasi ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat. Terbukti aksi tanggal 23 September di Jakarta berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan tentaraisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa, disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atmajaya dan tidak dapat memimpin massa. Aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti tentaraisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan tentara pada hari Jumat, 15 Oktober. Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan Revolusi Demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa 98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostan menjadi mahal, orangtua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Tidak mengherankan kalau sebagian besar mahasiswa baik-baik, mahasiswa generasi dingdong ini ikut turun ke jalan. Kesadaran ekonomis tersebut kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Pasokan kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isu-isu politik tapi injeksi inipun tidak tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis, ketika trend gerakan menurun maka aktivitas gerakanpun juga menurun. Ini berbeda dengan gerakan 90 -an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif dan inisiatif baru. Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi perubahan, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya bisa dimanfaatkan, dilewatkan begitu saja. Pemilu yang semestinya merupakan kesempatan berbicara kepada rakyat, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja. Akibat kekakuan dalam menerapkan strategi-taktik dan ketidakcerdasan dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelamaan menyebabkan gerakan mati, aksi-aksi tidak ada lagi, dengan begitu konsolidasi menjadi lemah. Ketiga, sektarianisme gerakan. Gerakan terpecah-pecah. Walaupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini: Daerah Jakarta Jumlah 14.000 orang Tuntutan Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan

presidium

Bandung

Yogyakarta

Semarang

Surabaya

Bandar Lampung

Palembang

Manado

pemerintahan transisi Adili Soeharto 3.500 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto 1.300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto 2.000 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Percepat Pemilu Adili Soeharto c.s Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden dan wapres 1.100 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Pertagungjawaban Soeharto 300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s 700 orang SI untuk ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Percepat Pemilu Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s 500 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s Tabel 11: Tuntutan Mahasiswa

Dari data di atas jelas adanya tuntutan yang sama tolak Sidang Istimewa [SI] MPR, cabut Dwi Fungsi ABRI, dan adili Soeharto dan adanya satu momentumhari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Namun gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya, Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya. Tapi ternyata juga tidak berhasil. Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainnya. Akibatnya: Pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasidemonstrasi tidak terpimpin. Tidak heran kalau massa-rakyat melakukan penghancuran toko-toko dan properti etnis Tionghoa, jalan tol dan fasilitas umum lainnya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda tentara: apabila aksi mahasiswa bergabung dengan rakyat maka akan menimbulkan kerusuhan. Ketiga, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat itu, misalnya, FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dihancurkan paska

Peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk. Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, di samping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999 bisa dijadikan contoh: Dalam menghadapi Pemilu, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima Pemilu. Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau Pemilu yang menjamur, seperti Unfrel, Forum Rektor dan KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses Pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan Jurdil [jujur dan adil] karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rezim Orba. Maka Pemilu harus ditolak. Kelompok terakhir ini kemudian terbelah menjadi dua: membiarkan momentum Pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam proses Pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya Pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak Pemilu yang diselenggarakan rezim Habibie. Keempat, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas di atas, sebagian besar mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa 98 adalah akibat trend yang ada. Tidak heran kalau massa yang bergabung bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan menurunnya trend gerakan. Sementara itu, organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. S ementara kampus yang melahirkan mereka dan di sanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis di antara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka. Kelima, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai revolusioner yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang revolusioner. Orang-orang yang sebelumnya apolitis berubah menjadi politis. Ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, kondisi objektif yang telah mencapai puncak didih dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai revolusioner untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Kita dapat melihat kelemahan tersebut dalam peristiwa Mei 68 di Perancis. Situasi Mei 98 di Indonesia mirip dengan situasi di Perancis pada bulan yang sama di tahun 1968. Ketika itu di Perancis ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini mampu memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari revolusi ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai, tetapi di Perancis partai revolusioner itu sudah ada, tapi mereka malah bersembunyi saat situasi sedang revolusioner. Di samping kelemahan-kelemahan di atas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa 98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap tentaraisme. Gerakan mahasiswa '98 tidak mau berkompromi dengan tentara. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil posisi yang jelas: tidak melakukan kolaborasi dengan tentara. Pilihan ini berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa 66 jelas melakukan kerjasama dengan tentara, begitu juga gerakan mahasiswa 74. Gerakan mahasiswa 78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan tentara tapi mengambil sikap tidak tegas

terhadap tentaraisme. Kedua, gerakan mahasiswa 98 pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan 98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa 66. Adanya perlawanan yang meluas membuat penguasa kalang kabut. Daya dobrak semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutannya. Adanya gerakan yang membesar di semua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar 3. Massa Gus Dur: Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru yang Setengah Hati Polarisasi gerakan pada masa Abdulrahman Wahid [Gus Dur] terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa tersebut gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa walau dengan malu-malumendukung Gus Dur atau berhadapan dengannya. Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri. Pemahaman yang setengah-setengah dari program penghancuran sisa-sisa Orba ini dapat dilihat dari sikap politik yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit menerima percepatan Pemilu. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba menjadi setengah jalan. Bulan/Th.2000 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Aksi 4 9 7 6 6 1 12 6 10 24 14 -

Tabel 12 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai KeadilanKAMMIdan GolkarBEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah melakukan KKN. Mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap awalnya mereka bisa mendominasi opini yang muncul di media massa. Namun, ketika Gus Dur semakin mendekati kejatuhannyaketika massa NU bergerakmereka tidak lagi mengelar aksi-aksi massa lagi.

4. Masa Megawati Sampai SBY: Gerakan Yang Kehilangan Orientasi Tidak banyak yang bisa dicatat gerakan mahasiswa pada masa Mega sampai SBY. Kelihatan mereka kehilangan orientasi dan momentum politiknya. Yang menarik pada masa SBY adalah mulai masuk mantan-mantan aktivis 1998 ke lingkar kekuasaan. Tak terlihat jelas motif mereka. Yang jelas mereka sudah semakin nyaman dalam kekuasaan sehingga suara nyaring

mereka tak terdengar lagi. Perlu juga dicermati masuknya orang-orang kiri ke dalam partai politik. Setelah Partai Rakyat Demokratik [PRD] menggabungkan diri dengan Partai Bintang Reformasi [2009] dan Partai Gerindra [2011], sepertinya gerakan kiri ingin berjuang lewat jalan parlementer. Metode ini secara internal menimbulkan perpecahan. Ketika PRD menyatakan resmi meleburkan diri pada PBR, terbelah, kelompok minoritas kemudian mendirikan Partai Rakyat Miskin [PRM]. Taktik politik tersebut tak berhasil. Tidak ada calon PRD yang masuk menjadi anggota dewan, baik di tingkat daerah dan pusat. Setelah kegagalan itu PRD mencoba mengulang lagi taktiknya dengan bergabung dengan Partai Gerindra. Tentu saja taktik PRD ini tak populis dikalangan gerakan karena sudah diketahui secara luas bahwa Prabowo Subianto adalah orang yang telah memerintahkan penculikan terhadap aktivis-aktivis anti Soeharto [di dalamnya termasuk aktivisaktivis PRD]. Dan sebagian yang diculik itu belum kembali sampai saat ini: Herman Hendrawan, Suyat, Bimo Petrus dan Wiji Thukul. Selain itu, jualan PRD berupa Pasal 33 UUD 1945 tak digubris rakyat. Bagi rakyat yang penting perut mereka kenyang, bukan pasal. PRD makin terkucil dari gerakan yang lain. Sementara itu, jebolan PRD dari hasil perpecahan tahun 2001 mendirikan Perhimpunan Rakyat Pekerja [PRP]. Dalam perjalanannya, PRP mengalami perpecahan internal: satu kelompok tetap di PRP sementara kelompok lainnya mendirikan Komite Penyelamat Organisasi [KPO] PRP. Kedua organisasi ini mempunyai tujuan yang sama: mendirikan partai kelas pekerja. Dalam kongres terakhir, masing-masing organisasi telah menyatakan berubah bentuk menjadi partai politik. Kedua organisasi tersebut berbasiskan buruh, dan masih terisolasi dari gerakan rakyat secara luas. Kalau bisa dikelola dengan baik, keduanya bisa menjadi alternatif gerakan kiri ke depan. Kelompok lain yang muncul adalah ormas-ormas kaum miskin perkotaanpendirinya masih jebolan-jebolan PRD. Bisa disebut salah satu yang menonjol adalah Serikat Rakyat Miskin Indonesia [SRMI]. Gerakan ini telah mengalami metamorfosis yang panjang: mulai dari Gerakan Pemuda Kerakyatan [GPK] yang berdiri pada tahun 2001, kemudian berubah menjadi Serikat Rakyat Miskin Kota [SRMK] dan terakhir menjadi SRMI. Basis-basis mereka ada di perkotaan yang paling besar di Jakarta. Dengan mengangkat isu-isu persoalan rakyat miskin seperti kesehatan dan pendidikan yang murah, mereka mencoba mengkonsolidasikan kaum miskin perkotaan yang menjadi korban pemiskinan global. Organinasi ini juga mencoba menggunakan peluang Pilkada untuk memperluas basis massa. Sebagai contoh, dalam Pilkada DKI [2012], SRMI mendukung Fauzi Bowo. Secara umum SMRI mempunyai potensi yang besar untuk membela kepentingan kaum miskin kota yang akan terus bertambah akibat hantaman neoliberalisme. Persoalan yang mereka hadapi memang persoalan sehari-hari. Ada juga ormas yang memfokuskan diri pada kesehatan. Bisa disebut di sini Dewan Kesehatan Rakyat [DKR]mantan PRD juga berperan mendirikannya. Dengan memanfaatkan ketokohan Siti Fadilah [mantan Menteri Kesehatan di era kabinet SBY Jilid I] mereka melakukan kerja advokasi mendampingi rakyat miskin untuk mendapatkan Jamkesmas [Jaminan Asuransi Kesehatan Masyarakat] dan pelayanan kesehatan yang baik. Dalam perjalanannya organisasi ini pecah: satu kelompok kemudian mendirikan Relawan Kesehatan [REKAN]. Organisasi seperti ini mempunyai peluang untuk membesar mengingat masalah kesehatan telah menjadi problem pokok masyarakat. Pelayanan kesehatan yang murah dan baik telah menjadi dambaan rakyat. Syarat untuk bisa membesar tentu saja harus bisa melepaskan diri dari pada jebakan advokasisme dan mulai melakukan perluasan struktur, aksi menuntut dan propaganda yang serius. Sementara itu, jebolan PRD yang tidak beroganisasi dan ingin berorganisasi kemudian bergabung dengan Persatuan Indonesia [Perindo]; ormas yang digagas oleh taipan Hary Tanoesoedibyo. Walaupun secara terbuka menyatakan bukan bagian bagi Hanura, tetapi bisa dipastikan Perindo akan menjadi alat elektoral dari partai milik Jenderal Wiranto tersebut. Langkah orang-orang kiri yang bergabung dalam Perindo merupakan bentuk pengkhianatan paling telanjang terhadap agenda politik rakyat. Secara terang-terangan mereka telah bersekutu dengan dua musuh rakyat sekaligus: konglomerat dan jenderal Orde Baru. Itulah prestasi terbesar mereka sebagai anak mami dalam sejarah pergerakan kiri: yang kare na kemanjaan, tak mau repot-repot

dan berpeluh, akhirnya bersekutu dengan musuh rakyat. Bukan main. B. Gerakan Massa Rakyat 1. Masa Soeharto Masa 80-an. Tahun 1980 merupakan momentum bagi rezim Soeharto memasukkan modal asing sebanyak-banyaknya. Industrialisasi, terutama tekstil diperluas di Pulau Jawa. Pinggiran kota-kota besarJakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung dibuka pusat-pusat industri baru. Begitu juga di sektor pertanian, sarana-sarana penunjang pertanian seperti waduk dan saluran irigasi dibangun untuk memacu produktifitas. Tentu siapa saja akan ingat tentang Revolusi Hijau. Pada kurun ini rezim Soeharto juga lagi getol-getolnya membuka sarana-sarana rekreasiterutama lapangan golf. Proyek-proyek tersebut membutuhkan lahan yang luas. Usaha-usaha pembebasan tanah petani dimulai. Dari sinilah konflik antara penguasa dan pemilik tanah petanisering terjadi. Ganti rugi yang diberikan penguasa kepada para petani relatif kecil. Biasanya para petani diberi iming-iming akan diprioritaskan bekerja di pabrik yang sedang dibangun itu. Akan tetapi, bila cara halus tak bisa dan pembebasan tanah terjadi secara alot, rezim akan menggunakan tentara atau polisi untuk melakukan tindakan teror dan intimidasi. Jelaslah, pada tahun-tahun ini kaum tani yang banyak melakukan perlawanan: para pemilik tanah yang tidak puas dengan proses ganti rugi tanah mereka yang diambil oleh pemerintah dan pemodal dalam negeri serta asing. Kita dapat mengambil contoh perlawanan monumental yang dilakukan oleh rakyat Kedung Ombo. Karena militansi perlawanan tersebut, kasus Kedung Ombo menjadi pembicaraan di dunia internasional. Pun, perlawan petani Cimacan, Kaca Piring, dan Belangguan. Perlawanan-perlawanan petani inilah yang secara terbuka dan berani melawan kekuasaan ketika itu. Memang, kesadaran yang muncul baru mempertahankan hak-hak mereka, bukan untuk mengganti sistem yang menghisap, dan sebagaian besar masih dilakukan secara spontanitas. Tapi, hal ini telah membuka kembali kesadaran mahasiswa yang dalam kurun-kurun ini mengalami disorientasi. Mahasiswa kembali tersadarkan, keluar dari dalam kampus atau kelompok-kelompok studi, bergabung bersama rakyat. Kesadaran mahasiswa bahwa sistem yang dibangun oleh Orba adalah sistem yang menindas mulai tumbuh. Persekutuan mahasiswa-petani menjadi trend gerakan ketika itu. Dari momentum-momentum perlawanan di atas kemudian memunculkan kesadaran untuk melawan sistem. Begitu pula dikalangan kelas pekerja. Kondisi kerja yang tidak memadai dan rendahnya upah menjadi pemicu aksi-aksi yang dilakukan kaum buruh. Aksi-aksi petani dan mahasiswa, telah memberikan referensi kepada kaum buruh tentang sebuah metode perjuangan untuk menuntut hak-hak mereka. Aksi-aksi buruh kemudian menjadi aksi-aksi yang dominan memasuki tahun 1990 beriringan dengan aksi-aksi mahasiswa yang sudah mulai mengkonsolidasikan diri. Dalam periode selanjutnya, aliansi mahasiswa dengan kaum buruh juga sering terjadi. Juga perlu dicatat dalam kurun waktu ini: mulai munculnya serikat-serikat buruh baru selain yang dimiliki oleh penguasa. Musim semi itu telah tiba. Kebangkitan Kaum Miskin Perkotaan Setelah gerakan demokratik dan PDI Megawati dihajar oleh rezim Soeharto paska Peristiwa 27 Juli 1996, api perlawanan berkobar di bawah tanah. Perlawanan terhadap rezim Soeharto dapat dikatakan terhenti. Tapi yang tidak dapat dilupakan adalah munculnya kesadaran anti kediktatorankarena rakyat melihat sendiri secara nyata keculasan dari rezim ini mulai tumbuh dikalangan massa rakyat, terutama yang tinggal diperkotaan. Setiap kesewenang-wenangan yang dilakukan rezim langsung dilawan dengan tindakan yang radikal. Munculah perlawananperlawanan kaum miskin kota diberbagai tempat Situbondo, Tasikmalaya, Tanah Abang, Rengasdengklok, dll. MBR [Mega Bintang Rakyat] merupakan titik naik perlawanan mereka terhadap rezim Soeharto; ribuan orang dari massa PPP dan massa Mega aksi kampanye serempak pada tahun 1997. Perisitiwa ini merupakan salah satu patok batas kemuakan rakyat

terhadap rezim Soeharto. Masa Akhir Soeharto: Tumbuhnya Kesadaran Aksi dan Pembangunan Wadah-wadah Inilah kesempatan bagi rakyat untuk membentuk wadah-wadah perlawanan. Selama 32 tahun hanya ada satu organisasi buruh, itupun bikinan penguasa. Masa-masa ini kuncup-kuncup organisasi buruh yang independen mulai bermunculan. Walaupun rata-rata masih ekonomis, tapi ini kemajuan, bahkan partai buruh sudah ada. Ini buah ranum dari Revolusi Demokratik: mulai tumbuh embrio kesadaran kelas. Seperti halnya setiap revolusi, pasti diikuti dengan pertarungan-pertarungan yang sengit antara penguasa dan pembangkang. Begitu juga dengan klimaks Revolusi Demokratik. Hampir tiap hari antara periode Februari sampai April 1998 terdapat aksi-aksi massa. Jalan-jalan selalu ramai dengan bunga-bunga demonstrasi, seperti halnya bunga sakura yang berguguran memenuhi jalanan. Bahkan tidak jarang aksi-aksi ini harus bentrok dengan tentara. Media yang ada, koran, televisi, radio, selalu mewartakan adanya unjuk rasa yang terjadi di mana-mana, hampir tiada putusnya. Akhirnya, berita-berita itu walaupun sayup-sayup sampai ke seluruh massa rakyat di kampung-kampung yang terpencil, di tempat-tempat pelosok negeri ini. Merdu memang, seperti seruling pengembala domba di tengah padang yang luas. Tapi suara merdu itu berubah menjadi suara terompet malaikat Mikail ketika pemukulan tentara sampai ketelinga massa rakyat. Kebencian mereka semakin memuncak kepada rezim-tentara. Luar biasa memang. Setelah jatuhnya Soeharto, k emudian timbul era reformasi, kata -kata ini hampir bisa kita dengar tiap hari. Siapa yang menyengsarakan rakyat harus direformasi, begitu pekikan rakyat yang kita dengar. Demonstrasi telah menjadi sahabat rakyat untuk menurunkan pejabat desa yang korup, menuntut pembagian sembako, sampai masalah-masalah politik. Revolusi Demokratik telah memberikan pelajaran bagi rakyat, bagi kelas pekerja, tentang sebuah metode perlawanan yang paling efektif, metode perjuangan yang paling tepat dan sudah teruji kebenaraanya. Revolusi ini juga telah memberikan gladi bersih kepada massa rakyat, kepada kelas pekerja, untuk berhadapan dengan tentara, yang merupakan musuh utama setelah birokrasi dan borjuasi. Kaum buruh telah diajari oleh kaum miskin kota, bagaimana membuat molotov dan kemudian melemparkannya. Masa HabibieDari Komite Aksi Rakyat Sampai Masuk Sekapan Partai-partai Borjuis Usai sudah canda ria Pemilu 1999. Hasilnya pun sudah diketahui. Sungguh luar biasa dalam kurun waktu itu. Jutaan rakyat bisa termobilisasi dalam jumlah yang besar. Masa kampanye benar-benar merupakan pesta bagi rakyat; tua sampai muda, tukang becak sampai pengusaha, semuanya bersukaria di jalanan, membawa atribut partai masing-masing. Memang luar biasa! Krisis yang melilit, seakan-akan bisa terlupakan. Sungguh dahsyat ilusi pemilu ini, rakyat bisa terhipnotis, seakan-akan resep untuk menyembuhkan luka krisis ekonomi -politik telah didapatkan dari belantara borjuasi. Munculnya puluhan partai baru (terdapat 48 parpol yang bisa ikut pemilu, 16 kali lipat dari jumlah partai semula), setelah hampir 32 tahun hanya terdapat tiga partai, menambah kepercayaan rakyat akan mutu Pemilu kali ini. Belum lagi media-media yang ada selalu berproganda tentang pentingnya jalan parlementer ini. Lembaga keuangan kapitalis (IMF/ Bank Dunia) berani mengeluarkan jutaan dollar untuk para pemantaumereka butuh situasi Indonesia yang tenang untuk menamkan modal. Lihat saja, pemantau-pemantau Pemilu muncul, saling berebut uang riba. Apalagi kalangan kampus baik staf pengajar maupun sebagian kecil mahasiswa(Forum Rektor, Unfrel)yang selama ini dinilai oleh rakyat sebagai pihak yang jujur, ikut meramaikan pengawasan Pemilu. Sekarang, setelah Pemilu berakhir, kepercayaan rakyat semakin berlipat-lipat tentang kebenaran jalan yang mereka pilih. Menangnya PDI Perjuangan sebagai simbol perlawanan adalah jaminan bagi rakyat tentang masa depan mereka. Megawati seolah-olah menjadi ratu adil bagi mereka. Stiker-stiker yang tertempel -- baik yang ada di bus-bus kota, mobil-mobil pribadi, pedagang nasi goreng, dipintupintu rumah -- gambar Megawati dalam uang lima ratus sampai lima puluh ribu dengan berbagai pose. Seakan-akan semua orang sudah yakin bahwa dia (Megawati) pasti jadi presiden. Memang

harus diakui, setelah Soekarno belum ada tokoh yang setenar Mega saat itu. Dari tukang becak, garong, tukang catut, sampai dosen, tentara, pengusaha, birokrat, mengenalnya. Sungguh luar biasa memang, jongko Jayoboyo tentang akan datangnya ratu adil yang akan menyelamatkan negeri ini akan segera datang setelah Sidang Umum MPR. Jangan heran dengan keadaan ini, masa-masa ini adalah saat-saat Revolusi Demokratik yang belum berhasil dituntaskan. Juga jangan lupa pada proses ini kesadaran parlementaris akan muncul, karena Revolusi Demokratik memang milik kaum borjuasi. Kaum borjuasi selalu bertopeng parlemen untuk menutup wajah mereka yang sebenarnya, dan rakyatpun ditipu untuk menempuh jalan ini. Dengan stempel rakyat lewat Pemilu berarti penindasan mereka sudah terlegitamsi. Di parlemenlah kaum borjuasi mengorganisir diri untuk menyatukan kepentingan mereka. Memang sungguh hebat tipu daya mereka, sampai-sampai rakyat bisa terbutakan. Tidak terlalu mengherankan kalau borjuasi bisa sehebat itu. Segala media propaganda, dari koran sampai televisi, dari siaran radio swasta sampai pemerintah adalah milik mereka. Lihat sendiri, pada masa-masa Pemilu, semuanya berbicara tentang Pemilu bahkan iklan obat batukpun (yang kalah harus lapang dada, yang memang jangan tepuk dada, inilah pengg alan iklan tersebut) dihubung-hubungkan dengan Pemilu. Masa Gus Dur: Sisa-sisa Euforia sampai Tumbuhnya Kesadaran Semu Anti Sisa -sisa Orde Baru Sepanjang tahun 2000, aksi massa terjadi di berbagai sektor massa rakyat. Neoliberalisme yang diterapkan pemerintahan Gus Dur, telah memancing kembali perlawanan rakyat khususnya kaum buruh. Sepanjang tahun 2000 [periode Januari-April] jumlah aksi buruh sebanyak 601 kali. Pada bulan Januari tejadi 90 kali aksi, Februari dan Maret terjadi 120 kali aksi. Dan jumlah aksi semakin meningkat pada bulan April, yakni terjadi 224 aksi. Tidak hanya kaum buruh manufaktur yang melakukan aksi, tetapi juga buruh sektor jasa transportasi, khususnya buruh pelabuhan. Aksi buruh ini selain dilakukan di lokasi pabrik, juga dilakukan ke lembaga perwakilan rakyatbaik pusat atau daerahbeberapa kali bahkan mendatangi istana negara. Bulan/Th.2000 Januari Februari & Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Aksi 90 120 224 X 2 1 12 28 8 -

Tabel 13 : Neoliberal Mengerakkan Kaum Buruh Di beberapa wilayah angka perlawanan petani juga cukup tinggi, terutama di Sulawesi, Lampung, dan Sumatera Selatan. Dari sekian banyak perlawanan petani, masih berkutat pada sengketa pertanahan, jadi bukan dalam kerangka perlawanan menentang kebijakan neoliberalisme, semisal anti beras impor atau perlawanan menolak kebijakan gula nasional. Perlawanan petani mayoritas pada konflik pertanahan juga masih merupakan kebenaran. Aksi petani yang radikal terjadi tanggal 20 Juli 2000. Petani Benakat yang berjuang menuntut pengembalian lahan mereka yang dirampas oleh PT. CIFU (Cipta Futura) dan PTPN VII Sungai Lengi dari tahun 1986 dijawab oleh Pemda tingkat II Muara Enim (aparat Pemda ikut terlibat tindak

kekerasan tersebut) dan aparat tentara dengan tembakan, pukulan, siksaan, dan penjara. Korbannya, 6 orang mengalami luka tembak, seorang tukang becak terkena peluru nyasar, dan 103 orang yang terdiri dari petani dan masyarakat ditangkap. KASUS (isu tuntutan) Organisasi/Asal Petani Pencabutan PP 81 Tahun 1999 (Tentang Pengaturan dan Pembatasan Tar dan Kadar Nikotin Tembakau) Kembalikan tanah rakyat Kembalikan Tanah Rakyat Kantor DPRD Tingkat II Temanggung Kantor DPRD Tingkat I Sumut Kantor PT CIFU Areal G2 Ujan Mas Kantor DPRD Tingkat II Muara Enim DPRD Tingkat I Sumatera Selatan Workshop PT CIFU PTPN VII Unit Sule Inti Kantor Pemda Tingkat II Muara Enim Polres Muara Enim Mapolda Sumatera Selatan Kantor Pemda Lampung Selatan DPRD Cianjur 14 April 2000 + 50 APPTR (Asosiasi Petani Pekerja Tembakau Revolusioner) dan STN (Serikat Tani Nasional DETASS (Dewan Tani Siantar Simalungun) STB (Serikat Tani Benakat) LOKASI WAKTU JML

27 Juli 2000 17 April 2000 27 April 2000 1 Mei 2000

+ 100 1500

Kembalikan Tanah Rakyat

+ 300 + 300 350 + 600 + 850 + 600 + 60

STB (Serikat Tani Benakat)

Kembalikan Tanah Rakyat, Naikan upah 100% Kembalikan Tanah Rakyat Kembalikan Tanah Rakyat Kembalikan Tanah Rakyat

STB (Serikat Tani Benakat)

14 Mei 2000 14 Juni 2000 20 Juli 2000

STB (Serikat Tani Benakat) STP (Serikat Tani Penaggiran) STN Sumsel

Bebaskan Tahanan Bebaskan Tahanan

24 Juli 2000 27 Juli 2000

STN Sumsel Front Rakyat

Kembalikan Tanah Rakyat

11 Februari 2000 28 Juli 200

+ 600 Ratu san 500 700

STN Lampung

Meminta kembali lahan garapan yang dijadikan lapangan Golf Tanag;Traktor;pertanian murah Meminta tanah seluas 400 hektar yang dikuasai GAPRI Menuntut kepada pemerintah untuk melakukan reformasi politik agraria.

petani Cimacan

Istana Negara Kantor Gubenur Jateng Kantor Gubenur Sulsel

25 Sep 2000 25 Sep 2000 25 Sep 2000

STN Paguyuban Petani Banaran

100

Kemas-Pa

Meminta kembali lahan DPRD Cianjur 25 Sep 287 Petani Cimacan garapan yang dijadikan 2000 lapangan Golf Mendesak kepada DPRD Jabar 26 Sep + Tidak jelas pemerintah agar tentara 2000 1500 tdk melakukan teror dan intimidasi terhadap petani yang menuntut haknya Menutut kepada DPR DPR RI 30 Okt 2000 100 Petani PT GCG untuk memperhatikan nasib petani tambak Dipasera Lampung Meminta hak kepemilikan DPR RI 8 Nop 2000 300 Petani Cianjur tanah yang telah digarap selama bertahun-tahun Memprotes tindakan Mabes Al, DPR 13 Nop 1000 Nelayan Pantura Jateng nelayan Masalembo Jatim RI, Kantor 2000 yang menyita dan Menteri membakar kapal-kapal Kelautan dan nelayan Jateng yang Perikanan dianggap melanggar perbatasan Tabel 14 : Aksi Petani Yang Mengarah ke Kota Dari data yang ada kelihatan bahwa aksi petani telah mengarah ke kota, mendatangi instansi negara, baik itu parlemen, kantor polisi, dan kantor Pemda. Situasi ini merupakan jalan untuk menjalin aliansi dengan kelas pekerja maupun mahasiswa. Di samping isu tersebut, dari sektor non mahasiswa muncul juga perlawanan politik menuntut pengusutan 27 Juli oleh kelompok-kelompok di PDI Perjuangan dan PRD. Tanggal 24 Juli 2000, FRAROB (Front Rakyat Anti Rezim Orde Baru) merupakan gabungan dari berbagai elemen: Partai Rakyat Demokratik, PNI 1927, Eksponen 27 Juli, LUKKA, PAKORBA, KPM, GPK, STN, LMND, GMKI, JAKKER, FNPBI, KNT, STARED, FRAM, FKK 124. Sebelumnya, dalam momentum pertanggungjawaban Sutiyoso di DPRD muncul mobilisasi ribuan massa dari kelompok PDIP. Aksi tersebut dikoordinir oleh Forum Komunikasi 124 yang merupakan korban kerusuhan 27 Juli, UPC yang dikoordinir Wardah Hafidz, dan Jaringan Kerja Budaya. Juga tuntutan pengusutan kasus Tanjung Priok dan dimulainya proses penyidikan pelanggaran HAM di Tim-Tim oleh Kejagung. Apalagi pada bulan Juli proses pengadilan Soeharto akan segera memunculkan panggung politikjanji Marzuki Darusman, Jaksa Agung, pada awal Agustus, Soeharto akan mulai diadilidan tentu saja proses tuntutan pengusutan kasus 27 Juli akan menemukan momentumnya, yaitu, peringatan Peristiwa 27 Juli. Juga tidak dapat dikesampingakan aksi yang dilakukan massa rakyat diluar buruh, tani, KMK. Puncak dari aksi massa rakyat ini terjadi pada bulan Nopember, yakni sebanyak 31 kali aksi. Selain isu-isu kesejahteraan seperti perbaikan sarana air bersih, dana sosial, perumahan, dll, juga mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebagai contoh aksi yang dilakukan 10 panti asuhan di Sumatera Selatan yang mengugat Gubernur dan DPRD I yang mengalihkan dana sosial menjadi dana untuk mobilitas anggota DPRD, atau yang terjadi di Bogor yang dilakukan pemilik kios yang membongkar kios di atas tanah Jasamarga. Memasuki bulan Agustus bersamaan dengan Sidang Tahunan MPRaksi-aksi massa rakyat mengarah pada isu yang lebih politis: pertarungan Gus Dur VS Poros Tengah, Golkar, PDIP. Bulan Jumlah Aksi

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desembeer

8 6 1 9 7 25 24 31 -

Tabel 15: Aksi Massa Rakyat dari Tuntutan Kesejahteraan sampai Ganti Presiden Memasuki tahun 2001, gerakan massa rakyat didominasi oleh massa NU. Basis-basis NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang paling banyak melakukan mobilisasi, baik aksi-aksi lokal, wilayah maupun aksi-aksi nasional. Kesadaran mereka sebetulnya mendukung Gus Dur, tapi kemudian dibungkus dengan isu penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Seperti mahasiswa, pemahaman mereka tentang penghancuran sisa-sisa Orde Baru juga serba tidak utuh paling maju diwujudkan dalam bentuk membakar kantor Golkar. Memang sulit, kesadaran maju perkotaan harus bertemu dengan kesadaran pedalaman yang masih kuat pengaruh mistisme Islam yang bergabung dengan feodalisme yang dibawa penyebar mistis-mistis tersebutpara kyai. Juga perlu dicatat dalam kurun waktu ini terutama akhir kejatuhan Gus Durketerlibatan LSM-LSM. Dengan geragapan mereka menyadari bahwa sisa-sisa Orde Baru bangkit lagi beriringan dengan terkonsolidasinya kekuatan tentara. Sel-sel demokrasi yang tersisa di kesadaran mereka, membuat mereka tergerakkan walaupun sudah pasti terlambat. Lagi-lagi, pemahaman mereka tentang demokrasi juga tidak tuntas, mau Pemilu yang dipercepat tapi ogah membubarkan parlemen dan pengadilan Golkar. Dalam periode tahun 2001 ini perlu digarisbahawahi adalah munculnya perlawan kaum buruh di berbagi kota industri di Indonesia Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Medan. Pertama, momentum May Day. Hari buruh sedunia makin diterima oleh kalangan buruh, yang dijadikan momentum untuk memobilisasi massa. Fakta ini dapat dilihat dari serangkaian aksi buruh di berbagai daerah. Di Medan, kurang lebih 12.000 buruh yang dipimpin SBSI, PERBUNI dan FNPBI, memperingati aksi May Day. Di Surabaya dan Sidaorjo, sekitar 25.000 buruh berusaha menerobos kota Surabaya. Di Jakarta, 3.500 buruh juga memperingati hal serupa, sementara di Bandung, 2.000 buruh termobilisasi. Kedua, adalah momentum Kepmenakertras. Aksi ini ternyata mendapat sambutan dari kaum buruh. Peraturan tersebut jelas-jelas merugikan kaum buruh. Di Jakarta, pada tanggal 29 Mei-13 Juni, mereka melakukan aksi di depan Istana Negara, dengan jumlah massa kurang lebih 5.000. Sementara di Bandung, aksi buruh mampu bertahan selama tiga hari (12-14 Juni), aksi ini bahkan sempat membuat Bandung Lautan Api. Di Surabaya dan Sidoarjo, sekitar 25.000 buruh akan membobol kota Surabaya, namun tidak berhasil. Sementara di Mojokerto, 50.000 massa buruh termobilisasi, dan di Medan dipimpin oleh SPSI dan FSU mampu memobilisasi 25.000 buruh. Masa Mega sampai SBY: Mencari Format Baru Perlawanan. Mega naik menjadi presiden setelah menelikung Gus Dur di tengah jalan. Rakyat berharap banyak bahwa anak Soekarno ini bisa menjadi dewa penolong bagi situasi Indonesia yang terpuruk. Tapi semuanya seperti pungguk merindukan bulan. Mega ternyata tak ada bedanya dengan rezim-rezim sebelumnya. Rakyat semakin sengsara. Tak mengherankan pada tahun 2003 perlawanan rakyat kembali memuncak.

Pada tahun 2003, buruh, nelayan, mahasiswa, masyarakat adat dan petani, sopir, pedagang kaki lima, pengasong, PSK, tukang parkir, karyawan BUMN, pemuda dan intelektual, kaum profesional, miskin kota, serta belakangan para pengusaha dan industriawan, bergerak serentak aksi turun ke jalan dalam jumlah yang makin besar, yang berlangsung saban hari selama 3 minggu ini. Sebagai gambaran aksi-aksi tersebut sebagai berikut: Di Palu, Manado, Kendari, Makasar, Bali, Mataram, dan Papua, turun ke jalan. Sementara di kota-kota Jawa Timur seperti Banyuwangi, Jember, Malang, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Mojokerto, Ponorogo, paling tidak 1.000-3.000 massa melakukan demonstrasi. Jawa Tengah dan Jogja seperti di Semarang, Magelang, Temanggung, Purwokerto, Cilacap, Solo, Kudus, Pekalongan, dan Tegal, aksi massa diikuti sekitar 1.000 sampai 2.500 orang. Di Jawa Barat aksi-aksi terjadi di Bandung, Bogor, Tasikmalaya, Cirebon, Krawang, Sumedang. Di Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi, Dumai, Palembang, besaran partisipasi massa juga meluas rata-rata 500-2.000an massa. Demikian juga di Kalimantan terjadi di Samarinda, Pontianak, Palangkaraya, dan Banjarmasin dengan jumlah massa antara ratusan sampai 3.000. Sementara itu, di Jakarta, radikalisme massa sampai melibatkan dari 1.000-12.000 massa, dengan sasaran aksi setiap hari ke Istana Merdeka dan DPR-MPR. Sasaran aksi bervariasi. Selain Istana Merdeka dan gedung DPR, seperti TVRI, RRI, kantor Telkom dan PLN, pusat-pusat depo minyak, juga di kantor-kantor PDIP (terjadi di Palu dan Jakarta) juga menjadi sasaran. Seringkali foto Mega dibakar dalam setiap aksi-aksi itu. Tentu saja ini membuat Mega marah. Aksi-aksi mulai direpresi. Aktivis-aktivis yang vokal ditangkap. Di Palu 2 orang aktivis ditangkap, Samarinda 18 orang, Yogyakarta 2 orang, Surabaya 2 orang, dan Jakarta 20 orang. Di Karawang bahkan polisi dan tentara menembakkan peluru tajam untuk menghentikan aksi. Selain penangkapan, Mega dan pendukungnya menggunakan metode teror dengan membayar para preman seperti yang terjadi di Palu, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Tapi sepertinya anti klimaks. Perlawanan petani dan buruh yang meningkat sepanjang masa Gus Dur dan Megawati, terjun bebas ketika Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] menjadi presiden. Sebelumnya tak ada yang memperhitungkan sosok SBY. Megawati masih percaya diri kalau dirinya bisa terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2004. Itu tak mengherankan. Perlawanan tersebut walaupun diikuti dengan aksi-aksi radikal, tapi masih berupa spontanitas sebagai respon terhadap kebijaksanaan ekonomi Megawati. Ketika isu-isu itu telah berlalu, perlawanan juga ikut memudar. Bisa dikatakan bahwa kelemahan-kelemahan perlawanan pada periode sebelumya masih terulang: radikalisasi tanpa diikuti perluasan struktur. SBY, tentara didikan Akademi Militer Magelang, muncul dalam gelapnya perpolitikan Indonesia. Sebagai jenderal yang mempunyai pembawaan lembut dan sopan, SBY disukai oleh Amerika Serikat. Ia diharapkan bisa menjaga kepentingan AS di Indonesia. Sementara di dalam negeri, rakyat kecewa dengan Megawati yang lebih banyak berkeluh kesah daripada bekerja. Dalam Pemilu yang berlangsung dua putaran, akhirnya SBY dengan mulus menuju Istana. Secara umum sebetulnya SBY tak ada bedanya dengan presiden-presiden yang lain. Ia tetap setia menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam bidang ekonomi. Tentu tetap menyengsarakan rakyat. Tapi perlawanan belum muncul. Yang melakukan aksi [kalaupun ada] masih sebatas mahasiswa. Aksi-aksi itu pun masih dilakukan secara musiman. Terutama terjadi ketika terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak [BBM]. Baru pada periode kedua masa jabatan SBY [ia terpilih menjadi presiden lagi-lagi dengan mengalahkan Megawati; kali ini satu putaran saja], perlawanan rakyat mulai bergelora. Terutama adalah buruh. Ketika gerakan mahasiswa tenggelam, kaum buruh justru semakin radikal. Sepanjang tahun 2009 sampai 2012, aksi-aksi buruh mendominasi. SBY dengan langkahlangkah neoliberalismenya yang lebih konsisten dibandingkan rezim-rezim sebelumnya telah mengkristalkan perlawanan buruh. Dampak kebijakan itu menampar kaum buruh dengan keras. Tak mengherankan aksi-aksi buruh bisa menggelombang dalam skala yang besar. Sebagai puncak, hanya terjadi dalam rezim SBY, ribuan massa buruh menutup jalan tol. Dan, pada saat bersamaan terjadi aksi massa yang besar di Bima menolak dibukanya pertambangan di sana [dan lagi-lagi aksi ini dilakukan dengan menutup pelabuhan]. Tentu ini metode baru dalam aksi menuntut. Metode yang membuat rezim ketakutan. Tak ada pilihan lain, upah buruh dinaikkan

untuk mencegah agar radikalisasi tak berlanjut. Selain buruh, tentu saja perlawanan kaum tani perlu disebut. SBY masih mewarisi problem pertanian zaman Soeharto. Kasus-kasus pengambilan tanah petani yang dilakukan oleh Soeharto untuk membuka perkebunan di luar Jawa, belum juga bisa dituntaskan. Kasus petani Jambi dan Mesuji merupakan contoh persoalan pertanahan warisan Orba. Para petani melakukan aksi-aksi radikal untuk merebut tanah mereka. Dan lagi-lagi polisi dan tentara dikerahkan untuk menumpas. Potensi perlawanan di kalangan buruh dan tani pada periode rezim SBY ini memuncak, tapi sebagaimana perlawanan terhadap respon ekonomi lainnya, akan terhenti ketika tuntutan sudah tercapai. Walaupun masih ekonomis, yang perlu digarisbawahi adalah metode perjuangan yang digunakan. Baik kaum tani dan buruh tidak segan-segan lagi dengan aksi massa. Hanya yang menjadi persoalan, sebagaimana perlawanan sebelumnya, belum ada persatuan antara dua elemen yang berlawan itu. Masih ada dinding yang memisahkan diantara keduanya. C. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan: 1. Proses Revolusi Demokratik yang bergulir sejak tahun 1998 telah membuka kesadaran baru, yaitu: kesadaran membuat wadah perjuangan dengan aksi massa sebagai metode berlawan. 2. Kesadaran rakyat dalam proses selajutnya tersekap oleh partai-partai borjuis. Walaupun sudah berlawan dengan metode yang radikal, rakyat masih terilusi oleh kesadaran demokrasi parlementer. Pemilu masih menjadi pilihan bagi rakyat karena mereka belum melihat adanya jalan keluar lain. 3. Proses Revolusi Demokratik juga telah menumbuhkan kesadaran baru massa rakyat tentang sasaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Simbol-simbol kekuasaan borjuasi parlemen dan pemerintahan telah menjadi tujuan utama bagi rakyat untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan mereka. Dalam kasus aksi-aksi tani, mereka sudah mulai menuju ke kota untuk memperjuangkan hak-haknya. 4. Di tingkatkan kaum buruh, sudah memahami dampak dari neoliberalisme yang dibawa kapitalis internasional. Perlawanan buruh, walaupun masih ekonomis, mengalami masa pasang. Aksi-aksi mereka sudah dilakukan dengan radikal: blokir jalan tol dan bandara serta penutupan area pabrik. Kekurangannya, gerakan buruh belum mampu membangun front yang luas dengan kekuatan berlawan lainnya. Sementara aksi-aksi petani semakin sering bergerak ke kota. Potensi ini merupakan material bagi gerakan untuk memberikan perspektif yang lebih maju.

IV Yang Berlawan: Dari Gorong-gorong ke Perlawanan Terbuka Sejak Sarekat Prijaji didirikan, sebetulnya telah tumbuh kesadaran baru, kosa kata baru: organisasi. Walaupun bisa dikatakan kosa kata itu muncul lebih lambat bila dibanding penduduk Tionghoa, apalagi bangsa Eropa. Tapi memang ada takdir sejarah yang tidak bisa ditembus, walaupun sejak Pati Unus sampai Kartini, mereka telah berputar-putar, mencari kosa kata baru itu, tapi hanya menemukan ruang gelap yang tidak dapat mereka masuki. Baru awal abad ke-20, kosa kata baru itu muncul samar-samar. Membutuhkan obor Socrates untuk membuatnya lebih terang. Dan Tirto Adhi Soerjo ternyata yang membawa obor Socrates. Setelah melalui perjalanan yang panjang, mengembara ke Eropa, mengenal Revolusi Perancis, dan mengenal perlawanan rakyat Filipinasemua dilakukan lewat bacaan Tirto menemukan kunci pembuka itu. Kemudian tumbuh pikiran, bahwa penduduk pribumi seharusnya mempunyai wadah yang bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Orang-orang Tionghoa dan Arab telah memulainya. Mulai dibedah apa yang bisa menjadi materi penyusun wadah tersebut. Dari membuka-buka lembaran sejarah masa lalu, Tirto mendapatkan hubungan kawula-gusti yang melekat dalam tatanan feodal Jawa. Ada sebuah prinsip hidup yang dipegang rakyat Jawa, bahwa mereka harus patuh kepada gustinya (raja). Apa yang dikatakan raja adalah kata-kata yang harus dilaksanakan. Konsep ini diambil oleh Tirto, dengan pemikiran, apabila priyayinya mempelopori, maka rakyat akan ikut serta. Kemudian dipilih materi pokok penyusun baling-baling itu adalah kaum priyayi. Maka, mulailah ia turba di Pulau Jawa, mengajak para priyayi yang telah mendapat didikan Barat untuk mendukungnya. Sebagian besar dari priyayi-priyayi ini menolak, sebagian kecil ada yang menerima. Yang merima inilah yang kemudian menjadi materi dasar baling-baling itu, yang kemudian bernama Sarekat Prijaji [SP]. Dalam perjalanannya, baling-baling itu tidak berputar. Apa penyebabnya?: Pertama, materi penyusunnya. Kaum priyayi adalah kaum yang beku. Mereka enggan bergerak, sudah puas dengan kedudukannya. Jelas, materi-materi ini seperti ini tidak dapat menggerakan balingbaling Sarekat Prijaji. Kedua, tidak ada program yang jelas. SP didirikan tanpa adanya tujuan yang terstruktur. Artinya, organisasi tidak bisa menyusun tahapan-tahapan kerja. Akibatnya, tidak ada aktivitas-aktivitas yang membuat baling-baling itu berputar. Rakyat yang bergabung juga tidak

tahu apa yang harus dilakukan. Karena tidak pernah berputar, akhirnya baling-baling itu berantakan satu persatu, nasibnya sudah jelas: mati suri selama-lamanya. Dua persoalan itulah yang harus dipecahkan. Harus dicari materi-materi penggantinya. Memang harus dicari tulangpunggung yang kokoh sebagai penopang organisasi itu, biar ia bisa bergerak secepat kondisi objektifnya, tidak terombang-ambing terkena terpaan angin perubahan yang terus bergerak. Kembali Tirto Adhi Soerjo harus menggapai-gapai, golongan mana yang akan mampu menjadi tulangpunggung dari organisasi. Akhirnya, ditemukanlah golongan itu. Mereka itu adalah golongan merdeka, yang terdiri dari pedagang, tukang, pekerja dalam sejarah Eropa sebelum Revolusi mereka inilah golongan perantara antara tuan-tuan feodal dengan hamba sahaya, juga di antara mereka adalah pemilik gilda-gilda dan pekerjanya; karena bisa berkembang sangat pesat, menimbulkan rasa iri tuan-tuan feodal. Golongan ini tidak tergantung pada lagi gubermen. Golongan-golongan itulah yang kemudian menjadi tulangpunggung dengan Islam sebagai pengikatnya. Lahirlah SDI (Sarekat Dagang Islamiah). SDI berkembang seperti gurita, terutama di pusat-pusat modal seperti Bandung, Solo, dan Surabaya. Gerakannya semakin meluas walaupun beberapa kali Rinkes, ahli pribumi itu menggelapkan fakta-fakta yang terjadi dan mencoba terus menerus untuk mematikan bayi yang masih merah ini. SDI semakin meliuk-liuk, mencari tempat di mana ia bisa tumbuh berkembang. SDI inilah, yang kemudian menjadi pondasi berdirinya SI (Sarikat Islam) dengan pusatnya di kota Solo. Seperti angin topan, SI menerjang apa saja yang menghambat jalannya, tidak terkecuali etnis Tionghoa yang dianggap saingannya. Terjangan SI yang semakin tidak bisa dikontrol oleh pimpinannya itu, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dengan mengalihkan arah gerak SI ke arah konflik harisontoldiadu dengan ras lainsehingga terbebaslah mereka, penjajah itu, dari terjangan angin topan SI. Pucaknya terjadi di Kudus pada 1919 (yang juga tahun kematian Tirto Adhi Soerjo, bidan yang telah membantu kelahiran SI). SI akhirnya bisa dijinakkan. Mereka besar, tetapi tidak tau arah mana yang akan dituju. Akan tetapi, organisasi ini berantakan, sebelum tujuanya tercapai. Apa penyebabnya?: Pertama, tidak ada kepemimpinan. Organisasi ini bisa meluas, cabangnya menyebar ke pusat-pusat perdagangan, terutama yang ada di Jawa. Akan tetapi, tidak ada kepemimpinan pusat yang kuat. Pusat SDI tidak pernah memberikan arahan-arahan yang jelas kepada cabang-cabangnya. Cabang-cabang yang ada tumbuh menjadi cabang yang otonom, yang bergerak sendiri-sendiri. Walaupun nama mereka sama, tapi sebetulnya tidak ada hubungan yang bisa menggerakkan mereka menjadi satu kekuatan. Akibatnya, baling-baling yang berputar sendiri-sendiri itu, tidak menghasilkan apa-apa. Kedua, materi penyusunnya. Materi utama penyusun baling-baling SI adalah kaum pedagang. Ideologi yang dibawa pedagang adalah mencari untung. Sehingga baling-baling berputar ke arah sektarianisme, bahkan kemudian berkembang ke arah rasisme. Kaum pedagang memang dinamis, tapi mereka adalah individualis, yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri-sendiri. Materi-materi seperti ini jelas menyebabkan tidak ada perluasan unsur-unsur yang menyusun baling-baling, hanya berkembang menjadi organisasi profesi, tidak bisa berubah menjadi organisasi perlawanan yang kuat. Ketiga, tidak berhasilnya koran organisasi. Ada koran yang mampu terbit harian, bisa dibaca oleh banyak orang tiap hari, tetapi hanya berfungsi sebagai mulut-mulut saja (alat propaganda). Ideologi yang dibawanya memang anti kolonialisme, tapi tidak bisa dimengerti, tidak ada lingkaran diskusi-diskusi yang bisa menjelaskan apa maksud ideologi itu. Banyak yang tahu, bahwa Belanda jahat, tapi tidak tahu kenapa harus dilawan, dan kalaupun tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara melawannya. Ada koran, tapi tidak berhasil menjadi alat untuk mengorganisasikan cabang-cabang yang ada. Terjadi keterpisahan antara baling-baling dengan korannya. Baling-baling bergerak sendiri, koran menyebar sendiri. Koran memang tersebar, tapi tidak ditanggapi oleh baling-balingnya untuk diorganisasikan, baik untuk menyatukan baling-baling yang terpencar-pencar itu, maupun membangun baling-baling baru. Seribu sembilan ratus delapan belas merupakan tahun-tahun yang meresahkan, baik bagi pemerintah kolonial Belanda, maupun gerakan nasionalisme. Belanda resah, setelah patahnya

SDI yang kemudian berubah menjadi SI, bibit revolusioner mulai muncul. Bibit-bibit ini dibawa oleh orang-orang komunis dari Belanda. Bagi gerakan nasionalisme, keresahan timbul karena pemerintah kolonial mulai ketat mengawasi organisasi-organisasi yang ada, dan mulai melakukan pembuangan terhadap tokoh-tokoh gerakan yang radikal. Dua keresahan itu yang mewarnai tahun-tahun itu. Pamor SI mulai merosot, organisasi ini tidak mampu lagi menjawab kebutuhan zamannya yang semakin bergerak maju, yang semakin radikal, yang sentimen untuk melepaskan diri dari Belanda semakin kuat. Mulai retak organisasi itu, semakin lama retakannya semakin melebar, dan akhirnya terbelah pada tahun 1920. Satu belahan tetap menjadi SI yang diisi kaum agamawan moderat, satu belahan menjadi PKI. SI Putih, demikian sering disebut, semakin tengelam, pamornya semakin lingsir. PKI, pelan-pelan mulai menjadi wadah utama dari gerakan rakyat yang semakin radikal. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, mulai dari pembuangan sampai sogokan-sogokan politikpemberian hak lebih luas pada Volskardtetap saja tidak bisa membendung laju radikalisasi. Keanggotaan PKI semakin mengelembung. Serikat Rakjat ormas PKIsemakin banyak cabang-cabangnya. Pendidikan-pendidikan revolusioner ditingkatkan dan serikat-serikat buruh berhasil diorganisasikan. Pemogokan-pemogokan buruh mulai terjadi, semakin lama semakin membesar. Pemerintah kolonial semakin panik, mata-mata mereka mulai dipasang di mana-mana. Rapat-rapat terbukasejak 1923dilarang. Tokoh-tokoh revolusioner juga resah, mencari muara dari munculnya radikalisasi yang semakin membesar. Radikalisasi memang semakin subur dengan adanya krisis ekonomi yang mewabah. Sehingga, walaupun pemogokan dilarang dan pimpinan PKI ditangkap dan dibuang, radikalisasi semakin meningkat. PKI menemukan muara dari semuanya ini: Pemberontakan. Akan tetapi, pemberontakan dapat dipatahkan. Apa penyebabnya?: Pertama, kepemimpinan. Tidak ada kesatuan pandangan antara pemimpinan di dalam dan di luar negeri tentang pemberontakan. Sampai detik-detik terakhir pemberontakan, perbedaan itu tidak bisa disatukan. Keputusan sudah diketok, tapi pimpinan yang tidak puas dengan keputusan yang diambil, mempengaruhi cabang-cabang lain untuk tidak menjalankan keputusan organisasi. Sehingga, pemberontakan hanya terjadi dibeberapa daerah Jawa Banten dan Jakartadan di beberapa daerah di Sumatera. Akibatnya, pemberontakan dapat dengan mudah dipatahkan. Tidak adanya satu tindakan dalam pengambilan keputusan ini, menyebabkan organisasi menjadi lemah. Inilah periode pengkhianatan Tan Malaka. Kedua, tidak ada persiapan. Pemberontakan lebih banyak karena keinginan pimpinan pimpinan PKI. Syarat objektif untuk sebuah pemberontakan muncul karena dipaksakan. Tahapantahapan kerja untuk pemberontakan yang diputuskan 1925 dan kemudian dilaksanakan Nopember 1926belum dilakukan. Belum ada pendidikan-pendidikan ideologi kepada anggotaanggota PKI secara sistematis. Tidak ada propaganda politik yang jelas kepada rakyat untuk memberontak. Tak muncul persiapan untuk mempersenjantai diri secara serius. Semuanya hanya mengandalkan pada pembacaan sesat pada kondisi objektif. Ketiga, front. Pemberontakan yang dilakukan PKI merupankan sebuah revolusi demokratik. Sebagai salah satu syarat revolusi demokratik, yaitu harus adanya front yang meluas, yang akan menopang kaum buruh. Front ini untuk melipatgandakan energi perlawanan dan menyatukan potensi-potensi perlawanan yang berserakan. Hal ini belum berhasil dibangun oleh PKI. Mereka harus bergerak sendirian. Kegagalan itu tak membuat patah arang. Muso, yang baru datang dari Moskow, dengan Jalan Barunya, merumuskan perombakan -perombakan bagi gerakan kiri yang berserak di Indonesia paska pemberontakan 1926. Selepas Revolusi 1945, Muso mengkonsolidasikan gerakan kiri. Bagi Muso ada dua jalan yang mesti dilakukan: kekuatan kiri yang berserakan harus disatukan dan pembangunan front demokratik. PKI yang tercerai berai berhasil disatukan. FDR (Front Demokratik Rakyat) berhasil dibentuk. Kesatuan tentara dari laskar rakyat itu yang semakin terdesak setelah divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah, dan setelah pimpinan mereka Sutarto tertembak secara misterius, bertemulah dengan FDR di Madiun. Sebagai kompensasi modal mengucur ke Indonesia, Soekarno-Hatta harus membersihkan golongan kiri yang mulai membesar itu, dan

mencapai puncaknya di Madiun. Sebelum melihat kegagalan PKI dalam Peristiwa Madiun, marilah kita lihat tawaran kerja yang disampaikan Muso: Berdasarkan itu, maka rapat Polit-Biro PKI telah memutuskan, bahwa seterusnya harus hanya ada satu Partai Revolusioner yang berdasarkan Marxisme-Leninisme dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan mengajukan usul, supaya diantara tiga Partai Revolusioner yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan), sehingga mendjadi satu Partai Revolusioner kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia, disingkat PKI. Hanya Partai Revolusioner sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol sebagai pelopor dalam gerakan Kemerdekaan sekarang ini. Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan selekas-lekasnya bendaknya sbb.: 1. Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik; 2. Membentuk Komite Fusi yang berkewajiban: a. Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Revolusioner Sosialis yang dapat diusulkan dengan segera menjadi anggota PKI. b. Menciptakan masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus, pekerjaan yang tertentu,dsb; 3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan Kongres Fusi daripada ketiga Partai Revolusioner, dimana ketiga Partai Revolusioner dilebur menjadi satu dengan memakai nama Partai Komunis Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara demokratis. (Jalan Baru, Muso). Dengan tahapan kerja seperti itu, mengapa gagal?: Pertama, tahapan kerja. Apa yang dilakukan PKI paska kemerdekaan baru pada tahapan perbaikan internal organisasi. Begitu juga kemampuan ideologi kader juga harus dibenahi, setelah banyaknya virus-virus non-Marxisme Leninisme. Dalam lapangan front, juga masih harus dibangun dari awal lagi. Dalam situasi seperti ini, PKI, harus menghadapi pilihan, harus melawan. Sehingga, belum ada basis material yang memungkinkan untuk keberhasilan sebuah perlawanan terhadap serangan dari musuh baik dukungan massa, front, organisasi. Kemudian wajar, kalau perlawanan itu dapat dipatahkan. Kedua, kondisi objektif. Sejak revolusi 1945 sebetulnya rakyat sudah terbiasa dengan perjuangan bersenjata. Pemberontakan terhadap Jepang dan Belanda yang terjadi di mana-mana dilakukan dengan kekuatan bersenjata. Tapi ini tidak segera diorganisasikan oleh PKI. Dampaknya energi pemberontakan rakyat semakin surut, terlebih setelah borjuasinya melakukan kompromikompromi dengan Belanda. Ketika PKI mencoba mengobarkan pemberontakan bersenjata, radikalisasi-radikalisasi yang terjadi hanya muncul di sekitar Solo-Madiun. Inipun lebih disebabkan oleh pertentangan di dalam militer itu sendiri terutama setelah Divisi Siliwangi ditarik dari Jawa Barat. Akibatnya, perlawanan PKI hanya terlokalisir di daerah tersebut. Keberhasilan merebut Madiun tidak akan bermakna apa-apa, karena akan mudah dikepung dari segala arah. Seribu sembilan ratus lima puluh. Tahapan-tahapan kerja dalam Jalan Baru Muso, baru di jalankan. Anasir-anasir tidak baik dibersihkan dari PKI. Alimin, Tan Ling Gie, disingkirkan dari PKI karena dianggap tidak lagi memegang prinsip Marxisme Leninisme. Fusi di antara kekuatankekuatan komunis yang berserakan dimulai. Kerja-kerja pembasisan dilakukan secara serius. Dalam pembangunan basis massa, Aidit memprioritaskan daerah pedesaan sebagai kantongkantong massa. Bagi PKI, desa merupakan geopolitik yang harus dimerahkan. Menurut PKI, desa juga digunakan sebagai basis pertahanan dan untuk melakukan perang gerilya menghadapi serangan musuh. Dalam lapangan organisasi, PKI membentuk struktur oragnisasi dari tingkat nasional sampai ranting. Pengambil keputusan tertinggi PKI adalah Kongres Nasional. Sedangkan

pekerjaan sehari-hari serahkan ke Komite Sentral. PKI juga membangun ormas-ormas yaitu: BTI, SAKTI, SARBUPRI, PERBEPSI, PR, SOBSI, CGMI, IPPI, GERWANI, LEKRA. Strategi-taktik yang diambil adalah parlementer. Dengan jalan ini seluruh energi PKI di arahkan ke sana. Cabang-cabang PKI bisa berdiri di berbagi tempat, propaganda bisa menyebar. Singkatnya, jalan ini memberikan banyak kemudahan kepada PKI untuk melakukan perluasan. Tak mengherankan dalam Pemilu 1955, PKI masuk 4 besar. Keberhasilan tersebut secara langsung bisa menempatkan orang-orang PKI dalam parlemen, dan bahkan dalam perkembangannya, banyak yang menduduki jabatan di birokrasi dan kementerian. Sungguh keberhasilan yang luar biasa. Radikalisasi dilakukan oleh PKI: aksi-aksi pengambilan lahan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, aksi-aksi konfrontrasi dengan Malaysia, dan mobilisasi massa untuk merebut Irian Barat. Front juga berhasil mereka bangun. Bahkan mereka mempunyai koran partai yang mampu terbit harian. Tapi mengapa mereka gagal? Apa penyebabnya? Hanya satu: mereka belum berhasil membangun Angkatan Kelima. Sebetulnya tugas gerakan Tikus Merah sekarang hanya melanjutkan tugas-tugas sebelumnya. Yakni melengkapi kekurangan sesuai dengan kondisi objektif yang bergerak saat ini. Dari pengalaman Tikus Merah generasi awal, perjuangan akan berhasil bila ditopang oleh Empat Kaki Nandi: massa, dana, front dan senjata. Syarat-syarat inilah yang perlu dikerjakan oleh Tikus Merah generasi sekarang. Oleh sebab itu, kami, Tikus Merah, perlu muncul dari gorong-gorong yang kotor dan bau agar Empat Kaki Nandi itu bisa kami wujudkan. Kami tak menampik jalan parlementer dengan membangun partai yang kerakyatan. Kami tak menolak aksi massa. Bagi kami, kombinasi keduanya yang pas untuk mewujudkan Empat Kaki Nandi. V Penutup Demikianlah Manifesto Tikus Merah. Manifesto ini ditulis agar tidak ada Tikus Merah yang tersesat. Salah masuk gorong-gorong atau keliru mengenali lawan. Kesalahan bisa menyebabkan Tikus Merah bertemu dengan Kucing Garong, atau mesti berpapasan dengan Tikus pengkhianat seperti Tikus Botak, atau menjadikan lawan sebagai sekutu dan kawan sebagai seteru. Tikus Merah Seluruh Indonesia, Bersatulah!

Sarang Tikus Merah: Kamis Wage, 28 Maret 2013 Ttd a.n. Kolektif Tikus Merah

Anda mungkin juga menyukai