Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Manusia merupakan mahkluk individu dan sosial. Sebagai mahkluk sosial,


manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi, manusia
memerlukan bahasa untuk menyampaikan pikirannya. Menurut Kridalaksana
(2001), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting
dalam sebuah komunikasi.

Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat (atau


makhluk sosial). Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan
dikembangkan dengan bahasa, Lindgren (1972) menyebut bahasa itu sebagai
‘perekat masyarakat’. Broom dan Selznik (1973) menyebutnya sebagai ‘faktor
penentu dalam penciptaan masyarakat manusia’. Nababan (1984:38) menyatakan
bahwa bahasa sebagai pengembang budaya dalam kaitan fungsi bahasa itu sendiri.
Bahasa Indonesia itu pada umunya berasal dari bahasa melayu, pada zaman
sebelumnya lebih tepatnya pada dizaman kerajaan sriwijaya bahasa melayu itu
banyak digunakan ialah sebagai bahasa penghubung antar suku pada plosok
nusantara. Selain itu juga bahasa melayu tersebut di gunakan ialah sebagai bahasa
perdagangan antar pedagang dalam suatu nusantara ataupun juga dari luar
nusantara. Bahasa melayu itu kemudian menyebar pada pelosok nusantara
bersamaan dengan penyebaran agama islam, dan juga makin kokoh keberadaan nya
dikarenakan bahasa melayu tersebut mudah untuk diterima oleh masyarakat
nusantara disebabkan karena bahasa melayu itu digunakan ialah untuk sebagai
penghubung antar suku, antar pulau, antar pedagang, dan juga antar kerajaan. Pada
zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku  pelajaran agama Budha. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan
antar suku di Nusantara. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar
nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelas dari
peninggalan-peninggalan kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil-hasil sastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah Fansuri, hikayat
raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin. Bahasa melayu
menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama islam
diwilayah nusantara bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara
sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antara pedagang, antar
bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tutur. Keputusan
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan antara lain, menyatakan bahwa
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan
berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan
sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara,
melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Indonesia dahulu dikenal
dengan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung antar etnis yang
mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-
suku, bahasa melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan internasional di
kawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa
Indonesia dengan para pedagang asing.

Bukan baru sekarang bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu digunakan
sebagai bahasa penghubung di beberapa negara Asia Tenggara. Sudah sejak dulu
kala, bahasa Indonesia atau bahasa Melayu itu dikenal oleh penduduk daerah yang
bahasa sehari-harinya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Hal tersebut
dibuktikan oleh adanya beberapa prasasti yang ditemukan di daerah-daerah yang
bahasa sehari-hari penduduknya bukan bahasa Indonesia atau Melayu. Tentu saja
ada juga ditemukan di daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya sudah
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu. Sejarah perkembangan bahasa ini
dapat dibuktikan dengan adanya prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684
M), Kota Kapur (686 M), Karah Barahi (686 M). Ketika bangsa Eropa pertama kali
datang ke Indonesia, bahasa Melayu sudah mempunyai kedudukan yang luar biasa
di tengah-tengah bahasabahasa daerah di Nusantara ini. Pigafetta yang mengikuti
perjalanan Magelhaen mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore pada
tahun 1521 menuliskan kata-kata Melayu. Itu merupakan bukti yang jelas bahwa
bahasa Melayu yang berasal dari bagian barat Indonesia pada zaman itu pun sudah
menyebar sampai ke bagian Indonesia yang berada jauh di sebelah timur. Demikian
juga menurut Jan Huygen van Lischoten, pelaut Belanda yang 60 tahun kemudian
berlayar ke Indonesia, mengatakan bahwa bahasa Melayu bukan saja sangat harum
namanya tetapi juga dianggap bahasa yang terhormat di antara bahasa-bahasa
negeri timur. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan orang yang tidak dapat atau
tidak tahu bahasa Indonesia, seperti orang yang tidak tahu dan tidak dapat
berbahasa Prancis di Negeri Belanda pada zaman itu. Berarti hal tersebut
menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sudah demikian terkenal dan terhormat
pada masa itu. Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia resmi menjadi
bahasa persatuan atau bahasa nasional. Nama bahasa Indonesia tersebut sifatnya
adalah politis, karena setujuan dengan nama negara yang diidam-idamkan yaitu
Bangsa Indonesia. Sifat politik ditimbulkan karena keinginan agar bangsa Indonesia
mempunyai semangat juang bersama-sama dalam memperoleh kemerdekaan agar
lebih merasa terikat dalam satu ikatan: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Apa sebab justru bahasa melayu yang dijadikan bahasa nasional? Mengapa
bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang jumlah pemakaiannya meliputi hampir
seluruh penduduk Indonesia. Juga bahasa yang kesusastraannya sudah maju
dibandingkan dengan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya? Prof. Dr.
Slametmulyana mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, sebagai
berikut :

 Sejarah telah membantu penyebaran bahasa melayu. Bahasa Melayu


merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan atau bahasa
perdagangan. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke
seluruh pantai Nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. Bahasa Melayu
menjadi bahasa penghubung antara individu.
 Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana, mudah dipelajari. Tak
dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Bali, atau
perbedaan pemakaian bahasa kasar dan halus seperti dalam bahasa Sunda atau
bahasa Jawa.
 Faktor psikologis, yaitu suku bangsa Jawa dan Sunda telah dengan sukarela
menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sematamata didasarkan
pada keinsafan akan manfaatnya ada keikhlasan mengabaikan semangat dan
rasa kesukuan karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan.
 Kesanggupan bahasa itu sendiri juga menjadi salah satu faktor penentu. Jika
bahasa itu tidak mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas, tentulah bahasa itu tidak akan dapat
berkembang menjadi bahasa yang sempurna. Pada kenyataannya dapat
dibuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat dipakai untuk
merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan secara jelas.

Prof. Soedjito menjelaskan secara sederhana alasan mengapa bahasa


Melayu yang dijadikan landasan lahirnya bahasa Indonesia sebagai berikut :

 Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan)


selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita
(Nusantara). Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun
bahasa daerah lainnya.
 Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan melampaui
batas-batas wilayah bahasa lain meskipun penutur aslinya tidak sebanyak
penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.
 Bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya
sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
 Bahasa melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa
sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, Madura yang
mengenal tingkat-tingkat bahasa.
 Bahasa melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur
yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa
persatuan tidak menimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih
kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah.

Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan
mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-
cita nasional. Tiga bulan menjelang Sumpah Pemuda, tepatnya 15 Agustus 1926,
Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku
bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa
Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia
terwujud. Pada zaman Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei
1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua di samping
bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang
Dewan rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo
pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hal hasil keputusan penting yaitu bahasa
Indonesia menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan
perwakilan dan perundang-undangan. Demikianlah ”lahir”nya bahasa Indonesia
bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan
panjang disertai keinsafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Api
perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka yang sebelum itu
harus berjuang melawan penjajah.

Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia dan Jepang tidak dapat
menggunakan bahasa lain selain bahasanya sendiri. Bahasa Belanda jatuh dari
kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang untuk digunakan. Jepang
mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud menggunakan
bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk digunakan oleh orang
Indonesia. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu
dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang
praktis yaitu memakai Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat bahwa selama zaman pendudukan Jepang
1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat
pendidikan. Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan
mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat
berjalan dengan lancar. bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar
terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek
dan mendesak mereka harus beralih dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Selain
itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa
Indonesia, secara cepat dapat memahami bahasa Indonesia. Waktu Jepang menyerah,
tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan makin kuat
kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan
kita tentang arti bahasa nasional.
Bahasa nasional identik dengan bahasa nasional yang didasari oleh
nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi
meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia
berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya. Salah satu kedudukan
bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional. Kedudukan sebagai bahasa
nasional tersebut dimiliki oleh bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. kedudukan ini dimungkinkan oleh kenyataan
bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa Indonesia, telah dipakai sebagai
lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita.
Dan ternyata di dalam masyarakat kita tidak terjadi persaingan bahasa, yaitu
persaingan di antara bahasa daerah yang satu dan bahasa daerah yang lain untuk
mencapai kedudukan sebagai bahasa nasional. Di dalam kedudukannya sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan
nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa
yang berlatar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda, dan (4) alat
perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai lambang kebanggaan nasional,
bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa
kebanggaan kita. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri
dan nilai-nilai budaya yang dijadikannya pegangan hidup. Atas dasar itulah, bahasa
Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga dalam
memakai bahasa Indonesia wajib kita bina terus.

Rasa bangga merupakan wujud sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap
positif itu terungkap jika lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dari pada
bahasa atau katakata asing. Sebagai alat pemersatu, bahasa Indonesia mampu
menunjukkan fungsinya yaitu mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku, agama, budaya, dan bahasa ibunya. hal itu tampak jelas sejak
diikrarkannya Sumpah Pemuda. Pada zaman Jepang yang penuh kekerasan dan
penindasan, bahasa Indonesia digembleng menjadi alat pemersatu yang ampuh bagi
bangsa Indonesia. Dengan bahasa nasional itu kita letakkan kepentingan nasional di
atas kepentingan daerah atau golongan. Sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia
mampu memperhubungkan bangsa Indonesia yang berlatar belakang sosial budaya
dana bahasa ibu yang berbeda-beda. Berkat bahasa Indonesia, suku-suku bangsa
yang berbeda-beda bahasa ibu itu dapat berkomunikasi secara akrab dan lancar
sehingga kesalahpahaman antarindividu antarkelompok tidak pernah terjadi. Karena
bahasa Indonesia pula kita dapat menjelajah ke seluruh pelosok tanah air tanpa
hambatan. Sehubungan dengan hal tersebut, bahasa Indonesia memungkinkan
berbagai suku bangsa mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu
dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan pada nilai-nilai
sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan bahasa
nasional, kita dapat meletakkan kepentingan nasional kita jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan kita. Selain kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara, sesuai dengan ketentuan yang
tertera di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36. Di dalam kedudukan
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) bahasa resmi negara;
(2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan; (3) alat perhubungan dalam
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
nasional serta kepentingan pemerintah; dan (4) alat pengembangan kebudayaan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi. Salah satu fungsi bahasa Indonesia di dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara adalah pemakaiannya sebagai bahasa resmi
kenegaraan.

Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam


segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun dalam
bentuk tulisan. Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-surat yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti Dewan
Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditulis di dalam bahasa
Indonesia. Pidato-pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan di
dalam bahasa Indonesia. Hanya di dalam keadaan tertentu, demi kepentingan
komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato resmi ditulis dan diucapkan di dalam
bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Demikian pula halnya dengan pemakaian
bahasa Indonesia oleh warga masyarakat kita di dalam hubungan dengan upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi timbal balik
antarpemerintah dan masyarakat berlangsung dengan mempergunakan bahasa
Indonesia. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari
taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia kecuali di
daerah-daerah bahasa seperti daerah bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali,
dan Makasar. Di daerah-daerah bahasa ini bahasa daerah yang bersangkutan dipakai
sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar. Sebagai alat
perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi
timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah
dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan dalam masyarakat yang latar
belakang sosial budaya dan bahasa yang sama. Dewasa ini orang sudah banyak
menggunakan bahasa Indonesia apapun masalah yang dibicarakan, apakah itu
masalah yang bersifat nasional maupun kedaerahan. Sebagai alat pengembang
kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahasa Indonesia adalah
satu-satunya bahasa yang digunakan untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional yang memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri. Di samping itu,
bahasa Indonesia juga dipekai untuk memperluas ilmu pengetahuan dan teknologi
modern baik melalui penulisan buku-buku teks, penerjemahan, penyajian pelajaran
di lembaga-lembaga pendidikan umum maupun melalui sarana-sarana lain di luar
lembaga pendidikan.

Dalam makalah ini akan dibahas kebudayaan sebagai identitas daerah dalam
hal ini bahasa jawa sebagai identitas masyarakat jawa.

II. RUMUSAN MASALAH


a. Apakah masih banyak orang yang memakai bahasa Jawa di dalam kehidupan
sehari-hari ?
b. Apakah bahasa Jawa yang digunakan dapat menggambarkan dari mana asal
daerah orang tersebut ?
BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian Bahasa Jawa


Mulyana (2008: 234) menjelaskan bahwa “bahasa Jawa merupakan salah
satu bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari antara seseorang dengan orang lain oleh masyarakat Jawa”. Senada
dengan Kartini (2006: 121) “Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di
Indonesia, yang apabila dilihat dari jumlah pemakainya terbesar dibanding bahasa
daerah yang lain”. Bahasa Jawa merupakan bagian integral dari kebudayaan
Indonesia, adanya pembinaan dan pengembangan masih tetap dalam bingkai
Keindonesiaan. Bahasa Jawa berkembang sebagai identitas diri dengan cara
mempertahankan nilai-nilai luhur yang termuat didalamnya. Sejalan dengan itu
bahasa Jawa tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa bukan
sekedar artefak budaya Jawa, tetapi juga merupakan bahasa kebudayaan Jawa.
Berdasarkan kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Bahasa Jawa
merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang dapat dijadikan sebagai sarana
untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan dalam rangka pelestarian
budaya Jawa. Budaya Jawa tidak hanya terkait dengan percakapan sehari-hari,
tetapi juga kelayakan kompetensi yang perlu diajarkan kepada masyarakat luas.
Arafik (2011: 30) memaparkan “kompetensi pembelajaran dasar bahasa Jawa
mencakup lima aspek, yaitu: mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan
apresiasi sastra”. peserta didik dididik agar memiliki kemampuan lima aspek
tersebut dengan rambu-rambu sebagai berikut:
 fungsi utama bahasa Jawa sebagai alat komunikasi peserta didik dituntut untuk
terampil menggunakan bahasa Jawa
 fungsi utama sastra adalah untuk menghaluskan budi, meningkatkan rasa
kemanusiaan dan kepedulian sosial, menumbuhkan apresiasi budaya,
menyalurkan gagasan, imaginasi dan ekspresi secara kreatif, baik secara lisan
maupun tulis
 tema digunakan untuk pemersatu kegiatan berbahasa lisan dan tulis
 penilaian mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap berbahasa
 sumber dan media pembelajaran yang telah disesuaikan berdasar aspek-aspek
yang telah ditentukan.

Dari kutipan di atas banyak sekali manfaat yang diperoleh dari pembelajaran
Bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tingkat tutur dalam menggunakan percakapan.
Tingkat tutur kata dalam Bahasa Jawa menunjukkan adab sopan santun berbahasa
Jawa dalam masyarakat. Sehubungan dengan adanya tingkat tutur dalam bahasa
Jawa, banyak ahli bahasa yang membuat perincian atau tingkat tutur tersebut.
Bahasa Jawa diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan oleh pemakai
bahasa Jawa, bertujuan untuk memelihara rasa saling menghormati atau
menghargai orang lain, bertindak serta bertingkah laku, tercermin dalam pemilihan
kata, serta membentuk kalimat serta lagu dalam berbicara.

II. Pengertian Kebudayaan

Brown (1963:46) menyatakan “Budaya merupakan apa yang mengikat


manusia satu dengan lainnya. Budaya adalah semua cara perilaku yang berterima
dan terpola dari manusia.” Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan
dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat (dikutip 5 Suriasumantri, 1983:261) secara lebih terinci membagi
kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan.

Kebudayaan dalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya


adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif
digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami
lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan dan pedoman untuk
bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi.
Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak kebudayaan didaerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan adab,
budaya dan persatuan, dengan tdak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Sebagai komitmen
nasional, dan secara konstitusional menjadi dasar dan arah pengembangn
kebudayaan dan sekaligus juga bagi pengembangan identitas nasional.

III. Pengertian Identitas

Pengertian Identitas secara etimologis berarti menelusuri makna dari segi


asal katanya. Referensi yang paling mudah untuk dijadikan sebagai sumber rujukan
adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskna
bahwa kata identitas berarti “ ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang” atau “jati
diri”. Berdasarkan arti kata identitas dalam kamus tersebut dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kata identitas menunjuk pada ciri atau penanda yang dimiliki
oleh seseorang pribadi dan dapat pula kelompok.

Identitas adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari
pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan
dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial
berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan
dalam suatu kelompok tertentu, suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-
tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.

Dalam kajian yang dilakukan Erikson (1989), identitas dibedakan menjadi


dua macam, yaitu identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang
berpangkal pada pengalaman langsung bahwa selama perjalanan waktu yang telah
lewat, kendati mengalami berbagai perubahan, seseorang iru akan tetap tinggal
sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi akan dapat disebut identitas ego jika
identitas tersebut disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subjek yang otonom
yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri serta
masyarakatnya. Menurutnya proses pembentukan identitas terjadi secara perlahan-
lahan dan pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri individu. Proses
pembentukan identitas itu sebenarnya sudah dimulai pada periode pertama, yakni
periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.

IV. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan unsur dari kebudayaan. Bahasa dalam pengertian


sempit adalah sarana komunikasi antar individu yang diucapkan. Dalam pengertian
luas bahasa ialah sarana komunikasi antar individu yang pada umumnya mencakup
tulisan, isyarat, dan kode-kode lainnya. bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol
vokal yang arbitrer sebagai sarana interaksi dan kerjasama antarmanusia. Kata-
kata dalam sebuah bahasa merupakan simbol-simbol yang menggantikan sesuatu
misalnya kata pohon. Mengapa disebut pohon? Hal itu dimungkinkan dengan
adanya konvensi arbiter oleh pemakai bahasa itu sendiri. Mereka menambahkan
bahasa manusia dicirikan oleh struktur hirarkinya. Itu berarti bahwa pesan dapat
dilihat dalam unit-unit analisis yang lebih kecil.

2.4 Bahasa Jawa sebagai Identitas daerah

Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa merupakan unsur dari kebudayaan


dan bahasa jawa digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat jawa yang
menjadi salah satu identitas ciri atau penanda dari masyarakat jawa. Bahasa Jawa
adalah salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara khusus di lingkungan
etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan untuk
berinteraksi antar individu dan memungkinkan terjadinya komunikasi dan
perpindahan informasi sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman (Ahira,
2010). Menurut Hermadi (2010), bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan
sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan bahasa asli masyarakat Jawa di
Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah
di sekitarnya. Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan
sehari-hari masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan
budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa memiliki fungsi
sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan alat
perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Khalim dalam Tubiyono,
2008). Bahasa Jawa  memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal
ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan
bahasa (daerah) Jawa akan dihormati dan dipelihara oleh negara, termasuk
pemerintah pusat atau pun daerah (Alwi, 2000).

Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki aksara sendiri, yaitu aksara


jawa, dialek yang berbeda dari tiap daerah, serta Unggah-ungguh basa (etika
berbahasa Jawa) yang berbeda. Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga tingkatan bahasa
yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus) (Anonim, 2010). Dalam
tingkatan bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan lawan yang yang
diajak berbicara. Sehari-hari, ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman
sebaya atau yang lebih muda, madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang
cukup resmi, dan krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati
atau yang lebih tua. Oleh sebab itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik
untuk digunakan dan mencerminkan karakteristik adat budaya Indonesia sebagai
bangsa timur.

Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan


sehari-hari sebagai alat komunikasi. Dari segi kuantitas pemakai bahasa Jawa, lebih
dari 150 juta jiwa tinggal di berbagai tempat di Pulau Jawa dan beberapa berada di
luar pulau Jawa. Bahkan, menurut Listyana ( 2010) orang Indonesia yang tinggal di
luar negeri, sering memakai bahasa Jawa dan menggunakannya sebagai lambang
jati diri bangsa. Secara geografis, bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang digunakan
oleh masyarakat yang berasal dari wilayah Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa
Timur. Luasnya wilayah dan kendala geografis menyebabkan bahasa Jawa memiliki
dialek-dialek yang berbeda (Kridalaksana, 2001). Meskipun memiliki dialek yang
berbeda-beda di setiap wilayah, bahasa Jawa memiliki bahasa Jawa baku yang
digunakan dan diajarkan dalam setiap kegiatan pendidikan sebagai materi muatan
lokal, khususnya pada masyarakat bahasa Jawa. Kridalaksana (2001) menarik
kesimpulan sebagai berikut. Bahasa Jawa baku merupakan bahasa Jawa yang
digunakan di wilayah Yogyakarta dan Surakarta, bahasa Jawa yang digunakan di
kedua wilayah ini dianggap sebagai bahasa Jawa baku oleh masyarakat bahasa Jawa
pada umumnya. Ciri utama yang menandai bahasa Jawa baku adalah hadirnya
seluruh ragam tutur ngoko, madya, krama dalam percakapan sehari-hari baik dalam
situasi formal maupun informal.

Bahasa Jawa memiliki nilai sastra yang tinggi, serta struktur dan tata
bahasa yang rumit. Untuk menerapkannya sangatlah tidak mudah apalagi bagi
orang awam yang belum mengetahui bahasa Jawa sama sekali. Hal ini disebabkan
penggunaannya bukanlah menurut waktu jenis lampau, sekarang, maupun waktu
yang akan datang seperti layaknya bahasa Inggris yang memiliki tenses sehingga
cukup mudah untuk dipelajari, melainkan menurut status orang yang berbicara dan
dengan siapa ia berbicara. Menurut Bastomi (1995) bahasa Jawa memiliki
pembagian tingkatan-tingkatan bahasa yang cukup rinci. Penempatan bahasa Jawa
berbeda-beda sesuai pada perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat
kekerabatan antara yang berbicara dengan yang diajak bicara, yang menunjukkan
adanya ungah-ungguh bahasa Jawa.

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah,
terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa jenis bentuk ragam
tutur dalam bahasa Jawa yang disebut juga unggah-ungguhing basa ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) bahasa ngoko (ngoko lugu, ngoko alus), (2)
bahasa madya (madya ngoko, madya krama), (3) bahasa krama (krama andhap,
krama inggil).

Tidak banyak orang yang mengetahui asal-muasal bahasa jawa, termasuk orang
jawa sendiri. Apalagi di era modern ini, bisa jadi para orang tua sudah tidak
mempedulikannya, sehingga tidak pernah lagi menceritakan terkait sejarah bahasa jawa.
Padahal hal ini penting, apalagi di era dengan pertukaran informasi yang begitu cepat, tentu
erat sekali kaitannya dengan masalah jati diri. Ketika seseorang lebih paham akan asal usul
budaya termasuk bahasa didalamnya, tentu akan memiliki kebanggaan yang lebih.
Terdapat cara lain untuk mempertahankan jati diri sebagai orang jawa, salah satunya
dengan mempelajari dan menjaga budayanya, misal dengan membuat puisi bahasa jawa
atau cerita. Ketika kita membicarakan tanah jawa berarti kita membicarakan tentang
Indonesia, karena kedua hal ini tidak akan dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Indonesia merupakan negara yang kaya, baik sumber daya alam maupun
kebudayaannya. Kebudayaan yang begitu beragam tentu harus dilindungi serta
dilestarikan, termasuk didalamnya bahasa daerah. Lalu dari mana asal-usul bahasa jawa?

Jawa di jaman dahulu merupakan sebuah wilayah yang memiliki peradaban yang
tinggi, buktinya banyak kerajaan yang berpusat di Pulau Jawa. Baik itu kerajaan hindu
maupun kerajaan Islam. Sering terdengar, tentang kemasyhuran Majapahit, sebuah
kerajaan yang berpusat di Jawa yang memiliki kekuasaan sampai Malaysia bahkan Filipina.
Di era selanjutnya ketika para penjajah memasuki wilayah Indonesia, yang dijadikan
tempat atau pusat pemerintahan Hindia-Belanda lagi-lagi Pulau Jawa. Jawa juga dijadikan
sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, serta pusat pemerintahan pasca jaman penjajahan.
Masuk ke dalam pembahasan bahasa jawa, ternyata memiliki ragam, bukan hanya satu saja.

Pernahkah kalian mendengar bahasa jawa ngapak? Kita akan menemukan dialek
ngapak di daerah barat Jawa Tegah, seperti Tegal, Banyumas, pekalongan dan Brebes. Dan
yang menarik, terdapat beberapa wilayah diluar suku jawa yang menggunakan dialek
dengan bahasa jawa, sebagai contoh Cirebon, Indramayu dan Banten. Katanya berdasarkan
sumber sejarah, bahasa banyumasan ini erat kaitannya dengan bahasa kuna atau kawi.
Mungkin untuk kalian yang pertama kali mendengar bahasa banyumasan akan sedikit aneh
atau bahkan lucu, sebab memiliki ciri yang khas. Sedangkan untuk daerah Yogyakarta
menggunakan bahasa jawa yang sama dengan daerah di Surakarta, Semarang serta yang
lainnya. Selain bahasa jawa yang digunakan di daerah jawa bagian tengah, adapula bahasa
jawa di bagian timur. Berikut adalah ragam jenis bahasa jawa di Indonesia

a. Bahasa Jawa Ngoko

Ragam bahasa Jawa ngoko digunakan untuk penutur dan mitratutur yang


mempunyai kedudukan yang akrab atau kedudukan penutur lebih tinggi
daripada mitratutur (Susylowati, 2006). Bahasa Jawa ngoko sering digunakan
oleh orang yang usianya sebaya maupun oleh orang-orang yang sudah akrab.
Bahasa ngoko ini di bagi atas ngoko lugu,dan ngoko alus. Ngoko lugu digunakan
untuk menyatakan orang pertama. Ngoko alus digunakan oleh orang pertama
dengan lawan bicaranya yang sebaya atau yang sudah akrab, bahasa ini santai
namun sopan.

b. Bahasa Jawa Madya
Ragam bahasa Jawa madya menunjukkan tingkat tataran menengah yang
terletak di antara ragam ngoko dan krama (Kridalaksana, 2001).
Bahasa madya biasanya digunakan terhadap teman sendiri.

c. Bahasa Jawa Krama

Ragam bahasa Jawa krama digunakan untuk menunjukkan adanya


penghormatan kepada mitratutur yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan
yang lebih tinggi daripada penutur (Susylowati, 2006). Bahasa Jawa krama ini
digunakan orang sebagai tanda menghormati orang yang diajak bicara.
Misalnya, anak muda dengan orang tua atau pegawai dengan atasannya.
Tingkatan yang lebih tinggi dari krama yaitu krama inggil. Krama inggil dianggap
sebagai bahasa dengan nilai sopan santun yang sangat tinggi. Jarang sekali
digunakan pada sesama usia muda. Bahasa krama dibagi menjadi krama
andhap dan krama inggil.

Penggunaan ragam ngoko, madya, dan krama didasarkan atas sikap


penghormatan dan tingkat keakraban. Dalam bahasa Jawa untuk menyatakan diri
sendiri dengan bahasa halus tidak menggunakan krama inggil tetapi
menggunakan madya karena tidak mungkin seseorang menghormati dirinya sendiri.
Jadi, penggunaan bahasa Jawa itu ditentukan oleh kedudukan dan tingkat
usia. Sudaryanto (1991: 34) menyebutkan fungsi dari tingkat-tingkatan bahasa dalam
bahasa Jawa ini adalah:

a. Norma dan etika, yaitu digunakan untuk berkomunikasi di masyarakat atau dengan
orang lain dengan melihat orang yang diajak bicara (lebih tua atau lebih muda).
b. Penghormatan dan keakraban, yaitu digunakan untuk menghormati orang yang
diajak bicara supaya tidak dibilang tidak mempunyai tata krama dalam berbicara.
c. Pangkat dan status sosial, yaitu digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain
dengan melihat pangkat dan status sosialnya di dalam masyarakat tersebut.
BAB III

KESIMPULAN

a. Berdasarkan dari latar belakang dan pembahasan mengenai budaya bahasa Jawa
yang tersebar di Indonesia dan uraian yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa
bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
sebagai alat komunikasi. Bahasa Jawa memiliki pembagian tingkatan-tingkatan
bahasa yang cukup rinci, penempatan bahasa Jawa berbeda-beda sesuai pada
perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat kekerabatan antara yang berbicara
dengan yang diajak bicara, yang menunjukkan adanya ungah-ungguh (sopan santun)
bahasa Jawa. Terdapat beberapa jenis bentuk ragam tutur dalam bahasa Jawa yang
disebut juga unggah-ungguhing basa. Ragam tutur dalam bahasa Jawa ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: ngoko, madya, dan krama. Namun, perkembangan
jaman membuat bahasa Jawa semakin terpinggirkan dan dianggap tidak penting.
Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Jawa semakin ditinggal-kan. Masyarakat
menganggap bahasa Jawa merupakan bahasa orang-orang desa, orang-orang
pinggiran, atau orang-orang zaman dulu. Mereka mengaku malu dan gengsi
menggunakan bahasa Jawa dan memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
gaul. Masuknya budaya barat juga menjadi faktor bahasa semakin diabaikan, dan
dianggap tidak penting. Sebagai masyarakat asli Jawa, masyarakatmemiliki kewajiban
menjaga dan melestarikan budaya berbahasa Jawa. Siapa lagi yang akan meneruskan
budaya warisan nenek moyang jika bukan masyarakat sendiri. Jangan sampai setelah
budaya sudah hilang atau dinyatakan milik negara lain barulah masyarakat peduli dan
merasa memiliki. Untuk itu menjaga dari sekarang sangatlah penting agar tidak
menyesal kemudian. Cara atau langkah menjaga dan melestarikan bahasa Jawa
diantaranya dengan menanamkan sejak dini, membiasakan diri menggunakan bahasa
Jawa dalam kehidupan sehari-hari, mengajarkan bahasa Jawa baik secara formal
(sekolah) maupun informal (masyarakat). Dalam hal ini tidak hanya satu pihak saja
yang melaksanakan tapi semua lapisan ikut terlibat agar bahasa Jawa tetap bertahan
dan lestari di pulau Jawa.

Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan masih banyak orang yang
memakai bahasa Jawa di dalam kehidupan sehari-hari dikarenakan orang suku
jawa yang ada di Indonesia menjadi mayoritas rata-rata populasi, sehingga
masih banyak orang yang memakai bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari
tetapi lawan bicaranya dengan suku yang sama atau yang mengerti dengan
bahasa Jawa.
Untuk pertanyaan selanjutnya yang ada dalam Rumusan Masalah, penulis
dalam hal ini menyimpulkan bahwa bahasa Jawa yang digunakan dapat
menggambarkan dari mana asal daerah orang tersebut, dikarenakan jika
berbeda daerah, maka bahasa yang digunakan akan berbeda, tetapi masih dalam
bahasa Jawa, hanya saja bahasa jawa Halus atau tidaknya yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, terj. Agus Cremers (Jakarta:
Gramedia, 1989)

Lasiyo, Reno Wikandaru, Hastangka (2020) “Pendidikan Kewarganegaraan” Tangerang


Selatan: Universitas Terbuka.

https://www.kompasiana.com/isyaokta/54f7563ca3331184358b45e6/penggunaan-
bahasa-jawa-untuk-melestarikan-warisan-budaya-indonesia-dalam-lingkup-pemuda-
jawa

https://takiyaazkah.blogspot.com/2012/11/kebudayaan-sebagai-pembentuk-
identitas.html

http://eprints.umm.ac.id/39398/3/BAB%202.pdf

https://www.ayoksinau.com/tag/pengertian-artikel-dalam-bahasa-jawa/

https://www.academia.edu/10224057/ASAL_USUL_BAHASA_JAWA

Ahira, Anne. 2010. Kosa kata Bahasa Jawa yang Unik, (Online),


(http://www.AnneAhira.com), diakses tanggal 28 Oktober 2011.

Alwi, Hasan. 2000. Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Anonim. 2010. Unggah-Ungguh Basa Jawa, (Online),


(http://basa_jawa8b.wordpress.com), diakses tanggal 28 Oktober 2011.

Ipung. 2011. Pantang Malu Menggunakan Bahasa Jawa, (Online),


(http://www.ipung.blogspot.com), diakses tanggal 4 Oktober 2011.

Anda mungkin juga menyukai