Anda di halaman 1dari 2

Irfan Dwi Yunianto / 120810006

Teori Sastra II / B

Pascakolonialisme pada sajak “Meneer Trans, Mevrou Trans, Matur Nuwun, Dank U
Well, Terima Kasih, Thank You”.

Karya milik Darmanto Jatman ini menyerupai cerpen dan penuh akan unsur
postkolonialis. Sajak ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke-50 tahun. Sajak ini diceritakan sebagai sebuah ‘laporan’ oleh seorang
bernama Bilung kepada Ratu Belanda untuk memamerkan hasil pembangunan Indonesia
sebagai mantan negara jajahannya sekaligus meminta bantuan dana kepada Belanda yang
sudah tidak bernafsu lagi unutk menjajah. Dari judulnya saja, meskipun tidak mendominasi,
tetapi sudah menjadi penanda bahwa teks ini terdapat unsur kolonialnya dan masa
sesudahnya yang erat berhubungan. Terlihat di sini unsur bahasa menjadi media penghubung
untuk dapat menetukan pendekatan seperti apa yang harus dilalukan terhadap teks ini.

Empat bahasa dari judulnya saja dapat kita lihat jelas dengan adanya perpaduan etnis
budaya yang berhubungan. Yaitu adanya bahasa Inggris sebagai penghubung antara masa
kolonial dan masa setelah kolonialnya.bahasa internasional dapat dikatakan sebagai tanda
arus globalisasi yang sudah masuk ke setiap jengkal budaya masyarakat Indonesia.
Penggunaan bahasa Inggris juga dapat dikatakan sebagai tanda persetujuan untuk hadirnya
kolonialisasi baru yang tidak disadari masyarakat telah hadir dalam hidup mereka.
Selanjutnya bahasa Belanda yang terdapat disini menandakan adanya historiskal kolonialisme
antara Indonesia dengan Belanda yang telah tiga seperempat abad hadir lamanya dan
mencoba memberikan pengaruh terhadap Indonesia baik pengaruh positif maupun pengaruh
negatif. Sehingga berdampak masih terdapat sedikit banyak bahasa Belanda yang telah
dipakai di Indonesia. Bahasa Indonesia yang terdapat dalam sajak ini menyimbolkan bahasa
kaum yang tunduk pada kolonialisasi Belanda dan bersifat melemah serta menyembah
Belanda. Bahasa daerah Jawa sendiri merupakan bahasa yang dimiliki oleh bangsa kita
sendiri. Dalam bahasa tersebut juga masih ada sekat-sekat tebal yang membatasinya, yaitu
bahasa Jawa dianggap bahasa yang kuno, ketinggalan zaman dan bahasanya orang-orang
pedesaan. Ironisnya, bahasa Jawa di sajak ini digunakan sebagai bentuk kolonialisasi yang
baru dalam bangsa Indonesia ini. Karena bahasa Jawa merupakan bahasa orang-orang yang
menguasai berbagai daerah di Indonesia dewasa ini. Hak kuasa besar terdapat pada bahasa
Jawa yang menyimbolkan etnis Jawa atas daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bahasa
kaum Jawa ini juga bersifat terjajah pada saat kolonialisasi Belanda sehingga terdiri dari dua
sifat yaitu menguasai dan yang dikuasai. Selain empat bahasa tersebut juga masih ada bahas-
bahasa orang Jakarta modern misalnya “elu-elu, gua-gua”,. Hal ini disebabkan karena
pergeseran budaya dan untuk memberi sekat antara yang modern (budaya Jakarta modern
serta Jawa) dan yang kuno (daerah lainnya).

Beralih ke sisi sosial masyarakatnya. Darmanto Jatman menyajikan suatu keadaan


masyarakat Indonesia yang masih melaksanakan progam transmigrasi yang dicanangkan oleh
kolonial. Hal itu tentu menandakan gejala kolonial yang masih terasa. Globalisasi yang
berkembang pada zaman itu, adat dan budaya Indonesia pun dinilai makin luntur. Globalisasi
dalam sajak ini dapat dilihat dengan pemakaian bahasa Inggris serta masuknya barang-barang
elektronik dan transportasi yang lebih canggih seperi parabola dan Honda. Serta banyaknya
tanah-tanah subur milik dan atas nama rakyat seharusnya berupa sawah maupun kebun
rempah-rempah yang mulai dijadikan area industrialisasi. Tanah-tanah subur tersebut dikelola
menjadi Country Clubs, Golf Courses, Celeng Hunting Grounds, Agrobisnis, termasuk bisnis
property alias kondominium. Hal ini tentu suatu kritik pengarang yang ditujukan langsung
kepada para feodalis yang ada pada saat itu. Karena telah mengambil hak milik rakyat yang
kemungkinan bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat.

Sisi bahasa yang digunakan sebagai media penceritaan dan sisi sosial yang
menyimbolkan atmosfer kehidupan cukup untuk menyimpulkan atau menginterpretasi teks
sajak ini sebagai kritik sosial kepada pemerintah. Hal ini tentu terjadi karena pemerintah
Indonesia masih saja berkutat pada dominasi kolonial yang tentu tidak saja memiskinkan
masyarakatnya, melainkan memutuskan untuk acuh terhadap rakyatnya sekaligus melegalkan
kolonial menguasai tiap infrastruktur kehidupan. Maka teks ini adalah ucapan terimakasih
yang bernada ironis atas sejarah kolonial yang telah dilanjutkan oleh kader-kader modernisasi
dalam memasuki era globalisasi.

Anda mungkin juga menyukai