Muhammad Shafwan
Pegiat di Hamzanwadi Institute
Dalam perjalanan dari Mataram ke Bima, salah seorang teman asal Bima yang
menikah dengan perempuan dari suku Sasak, mengutarakan kegelisahanya. Ia gelisah karena
anaknya tidak bisa berbahasa lokal. Sebagai orang Bima ia tentu sangat ingin agar anaknya
mengerti bahasa Bima. Celakanya istrinya juga tak intens mengajarkan bahasa Sasak. Praktis
sang anak hanya bisa berbahasa Indonesia. Jika kita amati, kegelisahan kawan seperjalanan
saya itu sesungguhnya banyak terjadi pada keluarga-keluarga yang menikah dengan pasangan
dari suku yang berbeda. Jika salah satu di antara kedua orang tua tidak intens menggunakan
bahasa lokalnya, bisa dipastikan bahasa lokal dalam keluarga mereka akan punah.
Kepunahan beberapa bahasa lokal, menjadi fenomena akhir-akhir ini.
Bahasa lokal merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki oleh sebuah komunitas.
Di dalamnya tersimpan makna dan rasa yang tak bisa ditemukan dalam kosa kata lain kecuali
hanya dalam bahasa itu sendiri. Sebagai kekayan lokal, bahasa ibu memegang peranan
penting dalam membentuk karakter, akal budi, dan proses perkembangan peradaban sebuah
komunitas. Tanpa kita sadari sesungguhnya bahasa lokal menjadi ciri, prilaku, pribadi, yang
mengikat secara lokal adalah bentuk kekuatan. Bahasa menjadi pengikat kebersatuan sebuah
komunitas. Kekuatan yang tersususn dalam simpul-simpul kecil suku-suku di nusantara
inilah yang kemudian menjadi potensi kemajuan Indonesia. Kekuatan-kekuatan bahasa lokal
tersebutlah yang dulu dipersatukan dalam ikatan Bhineka Tunggal Ika. Jika kebudayaan lokal
kita ibaratkan sepeti sebuah tubuh, maka bahasa lokal adalah salah satu organ dari tubuh itu
sendiri. Jika tubuh kehilangan organnya maka ia dianggap cacat. Kebuadayaan lokal yang
bahasa lokalnya punah adalah kebudayaan yang cacat.
Dalam gerusan peradaban global saat ini, banyak orang keliru menganggap lokalitas
sebagai sesuatu yang kuno dan digantikan dengan sesuatu yang berbau modern. Media
elektronik memegang peranan paling depan dalam proses pemusnahan kearifan lokal seperti
bahasa. Secara langsung generasi kita “dipaksa” untuk mengkooptasi diri dalam lingkaran
budaya bahasa yang dikelirukan. Mengikuti artis Betawi yang elu gue, atau Cinta Laura ,
Farah Quin, atau artis lain yang menginggriskan bahasa Indonesia. Ini sebuah kecelakaan.
Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Diperkirakan ada
sekitar 746 bahasa daerah, tapi yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah. Dari 400 lebih bahasa daerah yang
berhasil dipetakan, jumlah penutur yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa.
Bahasa Jawa memiliki penutur terbanyak. Meskipun begitu, ancaman kepunahan tak bisa
dihindarkan karena secara perlahan anak-anak muda sudah enggan menggunakan bahasa
Jawa (Suara Pembaharuan). Bahasa Sunda juga tergolong bahasa yang terancam punah.
Konon sudah banyak warga atau para pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda.
Lain lagi dengan Sumatera Selatan , ancaman kepunahan bahasa daerah belum terlalu
mengkhawatirkan. Berbagai bahasa daerah yang ada di daerah itu masih banyak penuturnya.
Secara aktif komunitas Palembang, Komering, Kayuagung, Enim dan Lintang masih
menggunakan bahasa lokal untuk berkomunikasi. Nusa Tenggara Barat memiliki fenomena
kebahasaan yang berbeda. Ragam bahasa daerah tercatat hingga puluhan jenis. Akibatnya,
pemerintah kesulitan untuk memilih bahasa mana yang akan dibina.(Republika)
Faktor Kepunahan Bahasa Lokal
Kepunahan sebuah bahasa disebabkan oleh banyak faktor . Pertama : Jumlah penutur.
Semakin sedikitnya jumlah penutur bahasa lokal adalah penyebab utama sebuah kepunahan
bahasa. Saat ini banyak bahasa lokal yang penuturnya hanya para orang tua. Anak muda
cenderung malu berbahasa lokal (Tirto). Kedua : Peran Orang Tua. Banyak orang tua yang
mengabaikan bahasa lokal dalam komunikasi keluarganya. Bahasa lokal menjadi bahasa
sampingan saja dalam pergaulan bermasyarakat. Apalagi keluarga yang pernikahanya lintas
suku dari bahasa yang berbeda seperti contoh diatas. Sesunguhnya peran mereka sangat vital
dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa
daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari. Lemahnya peran orang tua menjadi penyebab
anak tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai sense of belonging. Anak justru tak
mengenal sama sekali bahasa daerahnya. Ketiga : Gegerasi Muda, secara tidak langsung,
generasi muda menjadi pelestari bahasa gaul yang baru mereka dengar. Menggunakan bahasa
baru menjadi kebanggan tersendiri dalam pergaulannya. Cara-cara ini telah merontontokkan
bahasa lokal secara perlahan. Kedatangan bahas gaul membuat mereka silau dan menganggap
bahasa tersebut harus digunakan agar dianggap lebih modern. Keempat : Peran Media.
Media cetak, media elektronik, media sosial, media-media yang menjadi arena berinteraksi
banyak orang itu hanya semakin mengikis penggunaan bahasa daerah. Bahasa daerah tersudut
di pojok-pojok kecil oleh gempuran dominasi budaya asing atas kultur lokal bangsa ini.
Perkembangan dunia IT membuat dunia bagai kampung/desa raksasa yang terhubung oleh
media komunikasi yang terus menglami perkembangan. Media telah menjadi “makelar
budaya” asing. Kelima. Dominasi Bahasa. Seringkali, kedatangan bahasa asing ke suatu
tempat mendominasi wilayah tersebut. bahasa asing kadang dianggap lebih tinggi derajatnya
hingga membuat bahsa lokal tergerus. Globalisasi dengan segala kemewahan yang
ditawarkan lebih berkesan superior dan harus dipakai dalam segala bentuk keseharian. Lalu
pada akhirnya bahasa daerah turun derajat.