Wigke Capri SP
Mitos Gilgamesh dan Enkidu ini terproduksi masif dan menjadi produk budaya
Mesopotamia yang sarat dengan esensi homoerotisme. Kebanggaan bangsa
Mesopotamia terhadap epos ini menggambarkan bahwa homoseksualitas tidak
menjadi masalah yang berarti bagi mereka, meskipun budaya mereka juga memiliki
ketegasan pemisahan batas antara lelaki dan perempuan dalam hal harta paling
berharga dalam tata nilai masyarakatnya, yaitu anak.
Gerakan yang terjadi di Inggris ini berangkat dari kesenjangan antar kelas
sosial dalam mendapatkan akses kemakmuran akibat kegagalan reformasi agama
dalam menyalurkan kemakmuran yang dimiliki gereja, kelas atas maupun kelas
menengah dalam masyarakat pada waktu itu. Hal ini menimbulkan suasana tatanan
sosial yang chaotic dengan maraknya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan
oknum-oknum tertentu, termasuk kepada kelompok pecinta sejenis yang juga
menjadi korban situasi ini. Bukan hanya persoalan kesenjangan antar kelas sosial,
isu gender pun kental mewarnai periode ini dengan hak-hak istimewa yang dimiliki
lelaki dalam ranah seksualitas. Pemberlakuan undang-undang Criminal Law
Amandement Acts pada 1895 yang membatasi pelacuran perempuan dan
pembatasan umur bagi gadis pekerja seksual, di satu sisi bertujuan melindungi
perempuan dari ketertindasan seksual. Namun di sisi lain justru menjadi
kemenangan bagi pekerja seksual pria dengan beralihnya pengguna jasa seksual
kepada para pekerja seksual lelaki. Perundangan tersebut justru membangkitkan
kembali wacana homoseksual yang telah lama hilang.
Gerakan gay gelombang pertama terjadi dengan adanya trial besar pada
akhir abad XIX oleh seorang pesohor Inggris pada waktu itu, Oscar Wilde. Hubungan
Oscar Wilde dengan Alfred Douglas Queensberry menjadi pusat konflik hukum yang
melibatkan Oscar Wilde dengan ayah Alfred Douglas. Pada pernyataan
pembelaannya, Oscar Wilde mengangkat isu kesetaraan seksual yang menekankan
rasa cinta sebagai hal mulia yang biasa dirasakan oleh manusia. Ia
melegitimasikannya dengan menyebutkan kisah David dan Jonathan sebagai nabi,
Plato, Michael Angelo dan Shakespeare. Pada titik inilah Wilde telah melakukan satu
fase penting dalam politik identitas gay, yaitu coming out atau outing. Pemberitaan
mengenai kasus yang menimpa Oscar Wilde di media-media Inggris turut berperan
besar dalam berkembangnya situasi chaotic yang terlihat dengan adanya eksodus
besar-besaran menuju Perancis, Jerman dan Belanda pasca vonis bersalah atas
Oscar Wilde. Justru dengan peran media dalam memberitakan kasus Wilde, gejolak
dan perasaan senasib tersebar hingga keluar Inggris dan menimbulkan gerakan
perlawanan, diawali oleh Cecile Ives yang mendirikan perhimpunan homoseks
rahasia Ordo Cheronee. Pada 1897, Magnus Hirschfeld mendirikan The Scientific
Humanitarian Committee sebagai organisasi perjuangan hak-hak homoseksual
pertama di dunia. Menyusul berikutnya pada 1914 dengan didirikannya
Perhimpunan Britania untuk Studi Psikologi Seksual (BSSP). Pada 1928, Hirschfeld,
August dan Havelock Ellis mendirikan Liga Dunia untuk Reformasi Seksual di
Copenhagen. Dan akhirnya gelombang pertama gerakan gay ini menyebar hingga
Amerika melalui Henry Gerber, seorang aktivis gay yang pernah berjuang dalam
perang dunia pertama dan mempelajari organisasi gerakan gay di Jerman.
Momentum itu terjadi pada 1980 ketika Dede melancarkan aksi protesnya
atas heteronormatifitas di Indonesia. Initiating event Dede direspon positif oleh
teman-temannya di Amerika. Mengingat eksistensi homoseksual tidak eksis dalam
ranah kekuasaan di Indonesia, maka Dede memulai gerakannya dengan
mengintensifkan kontak dengan jaringannya dan mendirikan organisasi gay
bernama Lambda Indonesia bersama Yongki dan Chandra. Organisasi yang
berlokasi di Solo ini merupakan organisasi gay terbuka pertama di Asia. Gerakan
yang dilakukan tanpa cara-cara kekerasan melainkan dengan media berskala
nasional, ditujukan untuk menghubungkan dunia “Solo” pada dunia nasional.
Gerakan ini pada perjalannya menemukan kota yang memiliki iklim terbuka pada
1985 yang menjadi fase pertama gerakan baru di kalangan mahasiswa di kota
Yogyakarta.
Berbeda dengan pola hubungan gerakan gay dengan lesbian, gerakan gay
dengan gerakan waria justru lebih terjalin meskipun diawali dengan konflik yang
identik dengan perdebatan mengenai latar belakang ekonomi yang dianggap
memicu kelahiran waria pada awalnya. Stigma yang pada perkembangan
selanjutnya mendapattkan pencerahan melalui informasi-informasi yang lebih
relevan dan akurat mengenai homoseksualitas ini lantas terbenahi. Dalam
serangkaian acara Q-mmunity yang berbasis media popular dan serangkaian acara
solidaritas bersama, kekompakan gerakan gay dan waria dapat ditemukan.
Dinamika yang berbeda menyeruak jika merujuk pada hubungan gerakan gay
dengan lawan lama, gerakan fundamentalisme Islam. Yogyakarta menjadi saksi
ketika peristiwa yang dikenal dengan tragedi KKWK terjadi pada tahun 2000 dan di
Solo pada 1999 oleh FPI. Persamaan ciri gerakan sosial baru post materialist tidak
menyurutkan konfrontasi akibat perbedaan nilai antara dua gerakan tersebut.
Gerakan fundamentalisme Islam, menurut Richard T Antorn, merupakan gerakan
yang merujuk pada suatu sikap keprihatinan yang mendalam akibat kekalahan,
ketertindasan maupun ancaman dari dunia luar. Maka terdapat paradox pada pola
kedua gerakan dalam kaitannya dengan globalisasi yang melanda seluruh belahan
dunia. Gerakan gay merupakan konsekuensi logis dari globalisasi yang “menarik ke
atas” fenomena sosial yang tersembunyi di dalam konstruksi sosial masyarakat,
sementara gerakan fundamentalisme Islam merupakan konsekuensi logis
globalisasi yang “mendorong ke bawah”.
Beberapa hal penting yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah,
pertama, penyebab berkembangnya gerakan gay terutama di Yogyakarta tidak
hanya diakibatkan faktor emosional yang menjadi ciri khas gerakan sosial
kontemporer, namun juga disebabkan oleh nihilisme ruang bagi wacana tentang
homoseksual dengan berbagai mitos tandingan sebagai perwujudan strategi
kekuasaan. Hal ini diperlihatkan dengan dinamika konstruksi identitas gay ke
identitas queer secara politis yang menekankan independensi konsep dari
heteroseksualitas dan transformasi sosial yang utuh dan menyeluruh. Nihilisme
ruang yang menumbuhkembangkan faktor emosional sebagai basis perekrutan
gerkan dan wacana dengan perspektif medis akademis merupakan dua strategi
gerakan gay dalam membentuk emotional deviance bagi kelompok-kelompok di
luar mereka.
Kedua, gerakan gay yang berangkat dari kelas sosial menengah ke atas
identik dengan ciri gerakan sosial baru meskipun dalam perkembangannya justru
menjadi gerakan melawan kelas dengan menuntut pemberian ruang bagi
homoseksualitas dalam ranah-ranah heteronormatif. Karakter gerakan yang
sebenarnya menjadi ciri gerakan sosial lama seperti gerakan Marxist.
Ketiga, akar gerakan ini bukan diawali pada periode 1960-an namun lebih
jauh dari itu, yaitu pada abad XIX dengan inisisasi yang dilakukan oleh Oscar Wilde.
Dalam hal ini, penulis lebih setuju dengan teori Habermas yang memparalelkan
gerakan sosial kontemporer dengan gerakan sosial romantik pada abad tersebut
yang menolak rasio kapitalisme modern. Walaupun watak capital materiil dalam
hubungan sejenis ini sangat kental, penolakan atas rasio kapitalisme ini diwujudkan
dengan hubungan antar gay yang tidak berorientasi pada asa prokreasi dan tidak
memandang kelas ekonomi dari pasangannya.
Dinamika gerakan gay sebagai sebuah tema yang diangkat dalam karya ini
merupakan tema yang seharusnya hadir dan menjadi tema yang segar bagi
khasanah pengkajian dalam ilmu sosial kontemporer. Namun beberapa hal
menyangkut substansi dan aspek redaksional dalam buku ini mungkin dapat
menjadi kendala tersendiri bagi pembaca maupun peminat buku awam yang belum
cukup akrab dengan tema ekstrim (untuk tidak menyebutnya tabu) bagi tata nilai
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pertama, paparan deskriptif dalam tinjauan akar sosio historis pada bagian
awal buku ini akan cenderung menenggelamkan pembaca dalam penyelaman
sejarah yang terlampau luas jika tidak diringkas menjadi beberapa deskripsi singkat
yang terseleksi dalam aspek relevansi-nya dengan bagian utama yang dikaji dalam
penelitian ini. Penulis tampaknya masih terlalu asyik dengan penggalian fenomena
gay pada zaman prasejarah pada awal buku ini.