Anda di halaman 1dari 17

POLITIK SUBALTERN

PERGULATAN IDENTITAS GAY

Wigke Capri SP

 Sejarah Gerakan Gay : Dari wacana ke gerakan

Persoalan wacana adalah persoalan kuasa. Begitu juga halnya dengan


wacana homoseksual. Selama berabad-abad, wacana homoseksualitas hadir
mendefinisikan dirinya ke dalam terma identitas. Buku ini secara spesifik
membahas wacana dan gerakan gay dalam arena politik subaltern, walaupun kajian
serupa lebih banyak dibahas dari aspek sosio-kulturalnya. Dalam teori identitas
disebut 2 (dua) kategori, yaitu esensialis dan sosio-konstruksionis, dan selanjutnya
digunakan oleh penulis untuk menjelaskan wacana gay.

Sejumlah literatur menggambarkan secara gamblang bagaimana


homoerotisme telah hadir sejak jaman prasejarah melalui mitos, seperti Suku
Sambia, Suku Marind, dan Suku Namba Besar di Papua Nugini. Bagi suku-suku ini,
mitos memegang peran penting dalam membangun pondasi kebudayaan, termasuk
mitos homoseksual. Kebudayaan serupa juga ditemukan dalam masyarakat dengan
peradaban maju, seperti Mesopotamia, India, China, Mesir, Yunani Kuno dan
Romawi, walaupun kebudayaan seksualnya berbeda, namun benang merah yang
sama adalah ditemukannya perilaku homoseksual baik legal maupun ilegal.
Misalnya, budaya segresi gender di Mesopotamia memunculkan interaksi yang lebih
kuat antar sesama jenis.

Mitos juga berkembang dalam struktur masyarakat ini, namun berbeda


dengan suku-suku primitif prasejarah dimana mitos dibangun diatas wacana verbal
(lisan/tutur), sementara dalam peradaban maju, mitos dikonstruksi dalam budaya
literer (tulis). Misalnya, epos Gilgamesh dan Enkidu dalam kebudayaan
Mesopotamia. Mitos ini menjadi alat legitimasi praktek homoseksual dalam
masyarakatnya. Dikisahkan bahwa Gilgamesh, tokoh ksatria dalam budaya
Mesopotamia, sangat menyayangi kapak besarnya yang diberi nama Enkidu. Relasi
yang sangat erat antara ksatria dan kapak kesayangannya ini terbangun dari
budaya yang mendekatkan lelaki Mesopotamia dengan pekerjaan kasar dan
peperangan. Kedekatan ini lantas melahirkan harapan dalam hati Gilgamesh bahwa
Enkidu dapat berubah menjadi sosok manusia. Harapan ini konon terwujud dan
menjelmalah Enkidu menjadi sosok lelaki. Alhasil, Gilgamesh semakin
menyayanginya dan bahkan memperlakukan enkidu seperti pengantin pada saat
kematian Enkidu.

Mitos Gilgamesh dan Enkidu ini terproduksi masif dan menjadi produk budaya
Mesopotamia yang sarat dengan esensi homoerotisme. Kebanggaan bangsa
Mesopotamia terhadap epos ini menggambarkan bahwa homoseksualitas tidak
menjadi masalah yang berarti bagi mereka, meskipun budaya mereka juga memiliki
ketegasan pemisahan batas antara lelaki dan perempuan dalam hal harta paling
berharga dalam tata nilai masyarakatnya, yaitu anak.

Berbeda dengan peradaban lain yang men-subordinasikan perempuan,


peradaban Cina meyakini bahwa hubungan lelaki dan perempuan harus senantiasa
mengikuti perputaran kosmik dalam terminologi Yin dan Yang. Dalam studi R.H Van
Gulik mengenai kehidupan seksual dalam peradaban kuno Cina ditegaskan bahwa
semen adalah harta lelaki yang sangat berharga. Oleh karena itu, setiap
pengeluarannya yang merupakan wujud energi Yang harus mendapatkan timbal
balik dari energi Yin yang merupakan esensi dari perempuan. Dalam fase
berikutnya, homoseksualitas mendapatkan ruangnya dalam peradaban Cina.
Berbeda dengan peradaban lain yang dilegitimasi dengan mitos, struktur dan politik
masyarakatnya, homoseksualitas di Cina dilegitimasi secara teologis.
Homoseksualitas diperbolehkan bagi lelaki dan perempuan dewasa. Hubungan
antara Yin dengan Yin dan Yang dengan Yang diyakini tidak menghilangkan dan
tidak menambah elemen vital Yin maupun Yang. Oleh karenanya, dalam peradaban
Cina terdapat eksistensi kasim sebagai lelaki yang telah dikebiri dan bertugas
membantu melayani kekaisaran Cina. Konstruksi historis mengenai keberadaan
homoseksualitas di Cina dapat ditemukan dalam berbagai kisah pada syair klasik
atau Shi Ji.

Kisah mengenai eksistensi homoseksualitas juga dapat ditemukan dalam


budaya Yunani kuno. Konsepsi mengenai demokrasi yang berasal dari kebudayaan
ini, ternyata tidak lantas berarti bahwa negara tersebut menjamin setiap warganya
mendapatkan porsi dan ruang dalam segala bidang. Yunani kuno mengenal
pemisahan tegas antara ranah privat dan ranah publik. Pemisahan yang
menegaskan peran lelaki dan perempuan ini menempatkan lelaki di wilayah privat
dengan persaingan dalam politik dan prestige. Sementara perempuan, anak-anak
dan budak berada dalam wilayah publik.

Dua pemikir dari Yunani, Aristotheles dan Xenophone dalam karyanya


masing-masing mempertegas pemisahan batas tersebut. Salah satu pemikiran
mereka adalah bahwa perempuan idealnya hidup dibawah pengawasan yang ketat
sebelum menikah, dan sebisa mungkin hanya melihat, mendengar dan berkata
sedikit tentang sesuatu hal. Tugas mereka terutama adalah membagi tugas dengan
tepat pada pelayan-pelayan mereka, mengelola harta kekayaan suami dengan baik
dan membesarkan serta mendidik anak dengan bijaksana.

Buku-buku lain dari budaya Yunani kuno menandaskan bahwa perempuan


Yunani kuno tidak mengenal kebebasan untuk berbicara, beraktualisasi dan
menyampaikan pendapat mereka, baik di ranah privat maupun di ranah publik.
Situasi phallokratik yang ditimbulkan akibat penghargaan lebih atas phallus ini
dapat dilihat juga dalam seni patung Yunani kuno. Situasi sosiologis ini diperkuat
dengan mitologi kepahlawanan Yunani yang merupakan ‘kakek buyut” wacana gay.
Mitos klasik seperti epos Homerus dan Illiad yang salah satunya mengisahkan
homoerotisme antara Achile(s) dan Petrocle (Patroclus) ini senantiasa menjadi
rujukan wacana gay di masa Yunani kuno.

Tak jauh berbeda dengan kebudayan-kebudayaan yang telah disebutkan di


atas, wacana gay pun mendapatkan ruang dalam kebudayaan di nusantara.
Keanekaragaman budaya di nusantara menyebabkan adanya perbedaan mengenai
wacana gay di satu daerah dengan daerah yang lain. Dede Oetomo, seorang
antropolog yang meneliti mengenai homoseksualitas di Indonesia, membagi
fenomena homoseksualitas menjadi lima tipologi, yaitu :

1. Hubungan homoseksual yang dikenal atau diakui, seperti pada pola


hubungan induk jawi, anak jawi dan mairilan dalam pondok pesantren
di Jawa.

2. Hubungan homoseksual yang dilembagakan dalam rangka mencari


kesaktian atau menjaga kesakralan, seperti pada hubungan Warok dan
Gemblak dalam Reyog Ponorogo.

3. Hubungan homoseksual yang dijadikan sebagai ritus inisiasi pada


suku-suku di Irian Jaya.

4. Perilaku homoseksual yang diberi jabatan sakral, sebagaimana


dicontohkan oleh peneliti ini dengan Bissu.

5. Homoseksualitas yang dilembagakan dalam seni pertunjukan, seperti


pada tari Seudati Aceh yang diiringi puisi relijius dengan tema
erotisme, pertunjukan Ludruk dan tari Bedhaya di Jawa.

Pembagian tipologi ini dalam berbagai temuan studinya dianggap masih


kurang deskriptif dalam menggambarkan indikasi eksistensi homoseksualitas bagi
tiap-tiap kasus yang dipaparkan. Meskipun demikian, ruang bagi wacana gay di
nusantara tidak hanya dapat ditemukan dalam berbagai epos klasik nusantara,
namun juga pada produk literer klasik, seperti pada Serat Tjentini karya Paku
Buwana V pada tahun 1814. Karya sastra ini mengisahkan alur perguliran
kekuasaan di Jawa yang mengangkat pengembaraan putra-putri penguasa Kediri
yang menyelamatkan diri dari serangan kerajaan Mataram. Pada pengembaraan
tersebut, putra-putri kerajaan ini melakukan petualangan seksual lepas dari
kerangka pernikahan. Petualangan ini meliputi hubungan lelaki dengan perempuan
dan lelaki dengan lelaki. Perbedaan kuasa dalam konstruksi nilai Jawa lantas
membedakan kebebasan yang dimiliki antara lelaki priyayi dengan perempuan
priyayi. Secara intens pada jilid-jilid yang ada dalam Serat Tjentini juga
mengisahkan kisah lain mengenai homoseksualitas. Berbeda dengan wacana
serupa pada budaya lain, wacana homoseksualitas yang dipaparkan dalam karya
sastra jawa ini senantiasa terkait dengan konstelasi kekuasaan. Penggagas aktivitas
seksual selalu digambarkan sebagai pihak yang memiliki kendali atas kekuasaan
dan pihak lain sebagai pihak yang berada di bawah kendali kekuasaan, sehingga
homoseksualitas menjadi terkesan eksklusif. Hanya orang-orang yang memiliki
status sosial atau privilege tertentu yang dianggap berhak melakukannya dan
bereksperimen dengan hubungan sejenis.

Dalam konteks kebudayaan dunia, kekalahan Macedonia atas Romawi


memperlihatkan persinggungan antara homoseksualitas dengan kekuasaan dengan
diberlakukannya undang-undang Lex Scatinia. Undang-undang ini tidak lantas
melarang homoseksual secara revolusioner. Lex Scatinia berisi tentang larangan
untuk merayu dan bercinta dengan lelaki merdeka dan memperbolehkan jika
perbuatan tersebut dilakukan pada budak. Tak pelak, undang-undang ini justru kian
mempertegas jurang sosial dalam pergaulan masyarakatnya. Tak mengherankan
jika masih banyak ditemukan kisah mengenai praktik homoseksual dalam masa
kekaisaran Romawi kuno, seperti pada kisah Julius Caesar, Nero, dan Antinous.

Walaupun demikian, diundangkannya Lex Scatinia justru merupakan bentuk


upaya awal bagi dekonstruksi wacana homoseksual dalam budaya Romawi
sekaligus Yunani kuno dengan kehadiran mitos tandingan yang dibawa oleh Musa,
yang kemudian diwacanakan lagi oleh Paulus - salah seorang murid Yesus Kristus-
yang berdakwah di Yunani kuno. Mitos tandingan tersebut adalah mitos tentang
Sodom dan Gomorah yang berkisah tentang penghancuran suatu kota oleh Tuhan
akibat perilaku homoseksualitas yang merajalela di kota tersebut. Diperkuat dengan
legitimasi sebagai perintah dari Tuhan, mitos Yunani kuno pun akhirnya runtuh.
Yunani kuno yang berada di bawah kekuasaan Romawi kuno akhirnya benar-benar
kalah telak ketika dua kebudayaan tersebut dihancurkan pada tahun 400 Masehi.
Tak lama berselang, pada 529 M, akademi Plato ditutup dan sekaligus mengubur
ruang bagi wacana tentang homoseksualitas. Kemenangan mitos tersebut
mendapati puncaknya pada 533 M yang dikenal dengan nama Abad Pertengahan
(The Medieval Century) dengan lahirnya Justinian Code yang mengatur
homoseksual sebagai sebuah perbuatan kriminal bagi semua warga negara dengan
sanksi tertentu yang tegas. Justinian Code kemudian digantikan dengan The Code
of Homosexuality yang menandai kemenangan budaya subkultur yang dengan
sangat luwes beradaptasi dengan budaya besar dan kemudian membalikan
keadaan dengan legitimasi kekuatan hegemonik yang dimiliki negara.

Keberhasilan Justinian Code dan The Code of Homosexuality dalam


meminimalisir wacana tentang homoseksual ternyata tidak lantas menghilangkan
eksistensi pecinta sejenis di dunia. Dalam perspektif sosio konstruksionis, identitas
pecinta sejenis ini memang telah dapat dihilangkan. Namun dalam perspektif
esensialis, identitas ini tetap hidup di tengah masyarakat. Penelitian Simon Le Vay
yang menemukan perbedaan volume hipotalamus pada lelaki straight dan gay
dimaknai secara esensialis sebagai konstruksi identitas yang menandakan
eksistensi gay meskipun berada dalam periode nihilisasi. Pemaknaan identitas ini
lantas melahirkan kegelisahan bagi seseorang mengenai identitasnya. Pada tahap
selanjutnya, kegelisahan menjelma menjadi aksi protes dengan beragam cara,
termasuk dengan media tulisan yang kemudian menghasilkan efek simultan yang
tajam sekaligus memicu kelahiran gelombang pertama gerakan gay di dunia.

Gerakan yang terjadi di Inggris ini berangkat dari kesenjangan antar kelas
sosial dalam mendapatkan akses kemakmuran akibat kegagalan reformasi agama
dalam menyalurkan kemakmuran yang dimiliki gereja, kelas atas maupun kelas
menengah dalam masyarakat pada waktu itu. Hal ini menimbulkan suasana tatanan
sosial yang chaotic dengan maraknya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan
oknum-oknum tertentu, termasuk kepada kelompok pecinta sejenis yang juga
menjadi korban situasi ini. Bukan hanya persoalan kesenjangan antar kelas sosial,
isu gender pun kental mewarnai periode ini dengan hak-hak istimewa yang dimiliki
lelaki dalam ranah seksualitas. Pemberlakuan undang-undang Criminal Law
Amandement Acts pada 1895 yang membatasi pelacuran perempuan dan
pembatasan umur bagi gadis pekerja seksual, di satu sisi bertujuan melindungi
perempuan dari ketertindasan seksual. Namun di sisi lain justru menjadi
kemenangan bagi pekerja seksual pria dengan beralihnya pengguna jasa seksual
kepada para pekerja seksual lelaki. Perundangan tersebut justru membangkitkan
kembali wacana homoseksual yang telah lama hilang.

Gerakan gay gelombang pertama terjadi dengan adanya trial besar pada
akhir abad XIX oleh seorang pesohor Inggris pada waktu itu, Oscar Wilde. Hubungan
Oscar Wilde dengan Alfred Douglas Queensberry menjadi pusat konflik hukum yang
melibatkan Oscar Wilde dengan ayah Alfred Douglas. Pada pernyataan
pembelaannya, Oscar Wilde mengangkat isu kesetaraan seksual yang menekankan
rasa cinta sebagai hal mulia yang biasa dirasakan oleh manusia. Ia
melegitimasikannya dengan menyebutkan kisah David dan Jonathan sebagai nabi,
Plato, Michael Angelo dan Shakespeare. Pada titik inilah Wilde telah melakukan satu
fase penting dalam politik identitas gay, yaitu coming out atau outing. Pemberitaan
mengenai kasus yang menimpa Oscar Wilde di media-media Inggris turut berperan
besar dalam berkembangnya situasi chaotic yang terlihat dengan adanya eksodus
besar-besaran menuju Perancis, Jerman dan Belanda pasca vonis bersalah atas
Oscar Wilde. Justru dengan peran media dalam memberitakan kasus Wilde, gejolak
dan perasaan senasib tersebar hingga keluar Inggris dan menimbulkan gerakan
perlawanan, diawali oleh Cecile Ives yang mendirikan perhimpunan homoseks
rahasia Ordo Cheronee. Pada 1897, Magnus Hirschfeld mendirikan The Scientific
Humanitarian Committee sebagai organisasi perjuangan hak-hak homoseksual
pertama di dunia. Menyusul berikutnya pada 1914 dengan didirikannya
Perhimpunan Britania untuk Studi Psikologi Seksual (BSSP). Pada 1928, Hirschfeld,
August dan Havelock Ellis mendirikan Liga Dunia untuk Reformasi Seksual di
Copenhagen. Dan akhirnya gelombang pertama gerakan gay ini menyebar hingga
Amerika melalui Henry Gerber, seorang aktivis gay yang pernah berjuang dalam
perang dunia pertama dan mempelajari organisasi gerakan gay di Jerman.

Sebuah peristiwa penting yang menjadi gelombang kedua gerakan gay


terjadi pada tahun 1969 di Amerika, tepatnya di bar Stonewall di Stonewall Inn New
York. Peristiwa ini dikenal dengan Stonewall Riots, beriringan dengan perjuangan
hak-hak sipil di Amerika. Berawal dari razia alkohol yang dilakukan polisi New York
di bar-bar yang kemudian menuai perlawanan spontan dan masif dari massa yang
meneriakan kata-kata “Gay Power”, “Legalize Gay Bars” dan “Gay is Good”. Aksi
yang terjadi hingga berhari-hari ini kemudian tersebar ke dunia melalui campur
tangan media. Salah satu respon aktif setelah aksi ini adalah dibentuknya Gay
Liberation Front di Inggris pada 1970.

Berbeda dengan yang terjadi di barat, seksualitas di masyarakat Indonesia


tidak terkotak-kotak dalam preferensi maupun identitas tertentu. Filosofi yang
mengakar dalam masyarakat Indonesia menyebabkan ekspresi yang nyaris identik
di seluruh pojok nusantara tentang isu-isu seksualitas. Gerakan gay Indonesia tidak
dapat terlepas dari salah satu aktor utama gerakan ini, Dede Oetomo. Lahir dan
dibesarkan di Pasuruan, Dede Oetomo telah merasakan ketertarikan terhadap
sesama jenis sejak masih kecil. Namun hal ini ditekan dengan akal
heteronormatifitas yang diterapkan kuasa. Sehingga Dede menekannya dengan
pendekatan logis agama, logika psikiatri hingga logika prokreasi. Fenomena yang
dirasakan Dede terakumulasi menjadi sebuah gunung frustasi yang akhirnya
menemukan momentum penting ketika mendapatkan beasiswa studi bidang
Linguistik di Cornell University, Amerika.

Momentum itu terjadi pada 1980 ketika Dede melancarkan aksi protesnya
atas heteronormatifitas di Indonesia. Initiating event Dede direspon positif oleh
teman-temannya di Amerika. Mengingat eksistensi homoseksual tidak eksis dalam
ranah kekuasaan di Indonesia, maka Dede memulai gerakannya dengan
mengintensifkan kontak dengan jaringannya dan mendirikan organisasi gay
bernama Lambda Indonesia bersama Yongki dan Chandra. Organisasi yang
berlokasi di Solo ini merupakan organisasi gay terbuka pertama di Asia. Gerakan
yang dilakukan tanpa cara-cara kekerasan melainkan dengan media berskala
nasional, ditujukan untuk menghubungkan dunia “Solo” pada dunia nasional.
Gerakan ini pada perjalannya menemukan kota yang memiliki iklim terbuka pada
1985 yang menjadi fase pertama gerakan baru di kalangan mahasiswa di kota
Yogyakarta.

 Gerakan Gay di Yogyakarta

Pada tahun 1980-an, suasana Yogyakarta hampir mirip dengan keadaan


Amerika yang mengalami huru-haraq pada 1960-an. Namun gerakan yang terjadi di
Yogyakarta pada waktu itu bukanlah gerakan perjuangan hak-hak sipil maupun
gerakan anti perang, melainkan gerakan mahasiswa yang melawan doktrin dan
represi pemerintah pusat di Jakarta. Label “Kiri” menjadi marak pada masa gerakan
ini. Pada masa inilah Yogyakarta mengalami perubahan baik dalam kondisi politik
maupun kondisi sosiokulturalnya. Basis komunal yang ada dalam masyarakat
tergeser oleh orientasi material dengan perilaku masyarakat yang cenderung
individualistis. Pada masa ini pula, terdapat kelompok mahasiswa yang memiliki
forum diskusi. Adalah Andreas Susanto, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional
UGM yang memotori forum ini.

Andreas melakukan initiating event pertama kali dengan mengontak Dede


Oetomo melalui rubrik surat pembaca di majalah “Jaman”. Melalui momen inilah
jalur komunikasi dengan korespondensi terjalin antara Andreas dengan Dede yang
kebetulan sedang berada di Indonesia pada 1982-1983. Korespondensi antara
Andreas dan Dede ini kemudian menyengat semangat perjuangan mereka hingga
kemudian mendirikan sebuah organisasi Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) pada
1985. Organisasi ini menjadikan media sebagai strategi dalam gerakannya. Namun,
organisasi ini kemudian surut pada 1988 karena banyak anggotanya yang telah
menyelesaikan studinya dan harus kembali ke kampung halamannya. Sebelum
vakum, PGY telah berhasil mencatatkan diri sebagai organisasi gay pertama di
Indonesia selain KKLGN (Gaya Nusantara) dan MMC (Metropolitan Community
Church) yang didirikan pada 1986 di Jakarta.

Pada periode kedua gerakan, PGY beserta LI/KKLGN melakukan gerakan


edukasi HIV/AIDS dan berhasil menyelenggarakan pelayanan dan konsultasi hingga
mencapai 12.000 orang sampai tahun 1992. Hampir bersamaan dengan
pembentukan kembali LI (Lambda Indonesia) menjadi KKLGN (Kelompok Kerja
Lesbian dan Gay Nusantara) pada November 1987, PGY mengalami transformasi
menjadi IGS (Indonesian Gay Society) dan berpindah basis gerakan dari Solo ke
Surabaya. Hal ini berangkat dari pertimbangan adanya ruang ekspresi yang lebih
leluasa di Surabaya dan beriringan dengan kepulangan Dede ke Surabaya. Pada
masa inilah gerakan gay bergulat dengan persoalan krusial menyangkut konstruksi
identitas gay di Indonesia. Pertemuan IGS dan GN (Gaya Nusantara) menjadi
pertemuan yang membahas persoalan konstruksi identitas dan berbagai persoalan
lain yang dihadapi gay, lesbi dan waria di Indonesia. Tak mengherankan, pertemuan
ini menjadi awal ekspansi jaringan gay yang di kemudian hari mendapatkan
penghargaan dari majalah Pazy Liberation sebagai pemilik jaringan dan aktivis gay
terluas dengan kedua aktor utamanya Andreas Susanto dan Dede Oetomo.

Pada perkembangan selanjutnya, gerakan gay mulai bermekaran di kota-kota


lain. Geliat gerakan gay di luar Yogyakarta dan Surabaya ini menjadi penanda
penguatan gerakan baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Sebagaimana
organisasi lainnya, gerakan gay di tanah air mengkonsolidasikan gerakan
underground mereka dalam Konggres Lesbian Gay Indonesia (KLGI). KLGI I
diselenggarakan pada 10-12 Desember 1993 dengan berlokasi di Kaliurang
Yogyakarta dengan Andreas Susanto sebagai koordinatornya. Konggres ini
dilatarbelakangi beberapa tujuan. Tujuan umumnya adalah menciptakan lingkungan
hidup yang akomodatif dan nyaman bagi lesbian dan gay dengan berupaya agar
masyarakat menerima pilihan hidup mereka. Kedua, membawa perubahan pada
masyarakat lesbian dan gay sendiri agar menyikapi homoseksualitas mereka secara
konstruktif dan berani memperjuangkan hak asasi mereka. Sementara tujuan
khususnya lebih mengarah pada kondisi internal gerakan dengan membuat jaringan
kerjasama dan meningkatkan keterampilan berorganisasi. Alhasil, konggres ini
berhasil membuat lima resolusi mencakup ideologi gerakan, pengembangan
jaringan, hubungan masyarakat, penerbitan, kesehatan jasmani dan rohani. Dan
untuk memudahkan koordinasi, dibentuklah Badan Koordinasi Nasional yang
kemudian berhasil menyelenggarakan Konggres kedua di lembang pada 29-31
Desember 1995.

Konggres ketiga (KLGI III) dilaksanakan di Denpasar pada 21-23 November


1997. Sebagaimana KLGI II, keputusan yang dihasilkan konggres ini lebih pada
keputusan administratif dan koordinatif. Yang menarik dari KLGI III adalah hadirnya
antropolog dari Amerika, Tom Boellstrorf, yang concern terhadap studi seksualitas
di Indonesia. Namun pada KLG III ini mulai terlihat perpecahan di tingkat elit dalam
gerakan, yaitu antara wilayah Surabaya dan Yogyakarta dengan bergabungnya
salah satu organisasi ke wilayah Yogyakarta yang semestinya berada dalam wilayah
koordinasi Surabaya. Pasca terselenggaranya KLGI III, gerakan gay di tanah air lebih
memfokuskan diri pada persoalan HAM dan politik. Hal ini bersambut dengan
momentum politik pada 1996 dengan adanya manifesto politik PRD yang
mencamtumkan hak-hak homoseksual dan transeksual di dalamnya. Situasi ini
menguntungkan kedua belah pihak untuk mengoptimalkan kader dalam
menyambut Pemilu 1999. Namun, langkah ini terkendala dengan absennya Andreas
Susanto yang berhasil meraih kesempatan untuk melanjutkan studi ke wilayah lain.

Menilik perjalanan IGS, peran Andreas sebagai pengkonstruksi identitas


lantas terinternalisasi ke dalam tubug IGS, sehingga tanpa Andreas IGS seolah
kehilangan nyawanya. Vakumnya IGS bukan hanya diwarnai oleh faktor charismatic
leader yang melekat pada Andreas, namun juga rapuhnya jaringan IGS dengan
aktivis gay yang berada di luar jaringan organisasi ini. Faktor ketiga yang menjadi
sebab vakumnya IGS adalah “penyakit” politic by proxy dengan maraknya gay yang
cenderung tidak peduli pada nasibnya sendiri dan lebih memilih menjadi free rider
atas perjuangan gerakan gay di Indonesia. Terlepas dari vakumnya IGS pada
periode ini, IGS tetap merupakan organisasi yang meretas “hutan perawan”
gerakan gay di Yogyakarta.

 Dinamika Gerakan Gay di Yogyakarta

Yogyakarta merupakan wilayah gerakan gay yang paling dinamis di


Indonesia. Sensitifitas aktivis gerakan gay dengan isu-isu aktual dan sinyalemen
media merupakan bukti dinamika tersebut. Media (lagi-lagi) merupakan wadah
yang penting bagi kelompok masyarakat ini, mengingat media-lah yang tidak lagi
asing dengan peristiwa penting seperti pengungkapan identitas seksual. Media di
Indonesia telah beberapa kali merilis film nasional yang berisi tentang
pengungkapan identitas seksual, sebut saja, Arisan, Coklat Stroberi, Berbagi Suami,
dsb. Selain film, telah banyak diterbitkan beranekaragam buku yang mengisahkan
tentang diversitas seksual. Pewacanaan seksualitas melalui media tersebut
memunculkan era baru gelombang seksualitas yang lebih terbuka.

KLGI I yang dilaksanakan di Yogyakarta memperlihatkan kekompakan


gerakan gay dan lesbian di tanah air. Chandra Kirana yang merupakan organisasi
lesbian berhasil dirangkul dalam kongges pertama ini. Namun kekompakan ini tidak
berlanjut pada KLGI II dan KLGI III. Hal yang menunjukan kekurangkompakan
gerakan gay dan lesbian terjadi pada Jaringan Lesbian Gay Indonesia (JLGI) I yang
dilaksanakan di Solo. Pola yang sama ternyata terjadi juga di dalam tubuh PGY /
IGS. Perbedaan akar gerakan gay dan lesbian ini dikarenakan seorang perempuan
lesbian menanggung beban dua kali lebih berat dibanding lelaki gay. Perempuan
lesbian tidak hanya bertarung dengan kuasa wacana yang men-subordinasikan
perempuan, namun juga harus berjuang memperjuangkan identitas seksualnya
sebagai seorang lesbian. Kondisi inilah yang menyebabkan keterpisahan ideologis
antara gerakan gay dan gerakan lesbian. Aseksualitas perempuan distigmakan
“biasa’ oleh kuasa wacan dalam menyikapi ekspesi-ekspresi prikologis perempuan
yang mengarah pada homoerotisme. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan
perempuan terlambat menyadari identitas seksual mereka, meskipun fenomena
homoseksual pada perempuan cenderung pada aspek psikologis dan tidak selalu
mengarah pada aspek biologis.

Berbeda dengan pola hubungan gerakan gay dengan lesbian, gerakan gay
dengan gerakan waria justru lebih terjalin meskipun diawali dengan konflik yang
identik dengan perdebatan mengenai latar belakang ekonomi yang dianggap
memicu kelahiran waria pada awalnya. Stigma yang pada perkembangan
selanjutnya mendapattkan pencerahan melalui informasi-informasi yang lebih
relevan dan akurat mengenai homoseksualitas ini lantas terbenahi. Dalam
serangkaian acara Q-mmunity yang berbasis media popular dan serangkaian acara
solidaritas bersama, kekompakan gerakan gay dan waria dapat ditemukan.
Dinamika yang berbeda menyeruak jika merujuk pada hubungan gerakan gay
dengan lawan lama, gerakan fundamentalisme Islam. Yogyakarta menjadi saksi
ketika peristiwa yang dikenal dengan tragedi KKWK terjadi pada tahun 2000 dan di
Solo pada 1999 oleh FPI. Persamaan ciri gerakan sosial baru post materialist tidak
menyurutkan konfrontasi akibat perbedaan nilai antara dua gerakan tersebut.
Gerakan fundamentalisme Islam, menurut Richard T Antorn, merupakan gerakan
yang merujuk pada suatu sikap keprihatinan yang mendalam akibat kekalahan,
ketertindasan maupun ancaman dari dunia luar. Maka terdapat paradox pada pola
kedua gerakan dalam kaitannya dengan globalisasi yang melanda seluruh belahan
dunia. Gerakan gay merupakan konsekuensi logis dari globalisasi yang “menarik ke
atas” fenomena sosial yang tersembunyi di dalam konstruksi sosial masyarakat,
sementara gerakan fundamentalisme Islam merupakan konsekuensi logis
globalisasi yang “mendorong ke bawah”.

Ekspresi dari keprihatinan dalam gerakan fundamentalisme Islam pun


memiliki beragam strategi, mulai dari penggunaaan forum pertemuan bersama
hingga gerakan massa seperti demonstrasi dan radikalisasi dengan aksi kekerasan.
Strategi terakhirlah yang digunakan GPK, GAM dan Remaja Masjid Yogyakarta
dalam melakukan aksinya pada 11 November 2000. Konflik yang monumental ini
sesungguhnya merupakan perulangan dari kisah-kisah konflik sebelumnya yang
terjalin antara gerakan gay dengan gerakan religius, yang bahkan telah ada sejak
usia religi Abrahamik itu sendiri. Namun disayangkan, aksi kekerasan yang
bercampur dengan pemerasan tersebut justru mengaburkan tujuan yang hendak
diraih oleh gerakan fundamentalis itu sendiri dengan pelanggaran konstitusi
mengenai HAM pada UU No. 39 Tahun 1999 pasal 33 ayat pertama dalam kedok
penegakan aturan agama.

Pelanggaran atas beberapa pasal mengenai HAM inilah yang kemudian


memunculkan penggalangan dukungan solidaritas dari lima puluh LSM untuk
memperjuangkan kasus tersebut. Tidak hanya pelanggaran yang termasuk dalam
perkara pidananya saja, namun juga mencakup proses advokasi yang
memperjuangkan ganti rugi finansial akibat tragedi tersebut. Dengan membentuk
wadah advokasi Pelangi, mereka melakukan dialog persuasif melalui media cetak.
Namun wacana yang berkembang justru berubah menjadi one sided affair dan
menempatkan gerakan gay pada posisi yang kalah. Keadaan ini diperparah dengan
merosotnya keterlibatan LSM dalam peran advokasinya. Ketika proses advokasi
mengarah pada kebuntuan, kejutan justru muncul dengan adanya aksi rehabilitasi
yang dilakukan oleh gerakan fundamentalis ini dengan mengganti rugi aspek-aspek
materiil akibat bentrokan yang terjadi. Meskipun demikian, trauma yang
ditinggalkan kasus ini masih sangat membekas bagi para korban yang selama
beberapa waktu tidak berani memunculkan diri di depan umum dan hanya
mengurung diri di dalam rumah.

Pasca kejadian ini, strategi untuk memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi


alternatif strategi perlawanan baru dengan menggunakan jalur Mirc melalui channel
#gim, Gay Indonesian Male. Perlawanan dengan strategi baru inipun berlangsung
secara masif, tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia, namun hingga mencakup
jaringan di luar negeri. Sehingga terciptalah jaringan maya yang menjaga eksistensi
gerakan gay di seluruh Indonesia.

Ketika gerakan gay di Yogyakarta “mati suri”, gerakan gay di Jakarta


memunculkan ide kreatif untuk membuat komunitas bersama bernama Q-mmunity.
Q-mmunity berasal dari para wartawan dan penulis lepas yang memiliki ide untuk
mengorganisasikan film bertema gay dan lesbian. Q-mmunity yang digawangi oleh
John Badalu, seorang juri pada festival film Goethe ini mulai merambah Yogyakarta.
Pada titik ini menandakan adanya perubahan identitas kolektif yang dikonstruksi
oleh gerakan gay di Yogyakarta dengan identitas Queer.

Berbeda dengan konsep gerakan sebelumnya yang mengusung isu


kesetaraan di hadapan kuasa, queer justru secara radikal menolak konsep tersebut
dan memilih untuk menyesuaikan nilai homoseksual dengan nilai heteroseksual
secara politis untuk mewujudkan transformasi sosial secara utuh. Strategi yang
ditempuh pun cukup unik dengan melakukan dialog persuasif melalui media film
dan diskusi. Namun, strategi infiltrasi melalui media populer ini tidak lantas
membuat masyarakat dengan mudah menerima mereka. Pada tahun 2006, Q-
mmunity menyelenggarakan acara tahunan berupa festival film yang bekerja sama
dengan Kinekom (Komunikasi UGM). Namun pada saat acara ini berlangsung,
terjadi insiden akibat kesalahpahaman yang membuat Kinekom menhentikan
pemutaran film pada saat ditampilkannya adegan intim pada acara yang
dilaksanakan di lingkungan kampus tersebut.
Meski menghadapi tantangan kesulitan, gerakan gay yang tidak hanya
terwadahi dalam Q-mmunity ini tetap dapat menyelenggarakan acara-acara
bersama dalam agenda-agenda nasional seperti peringatan kemerdekaan, maupun
lewat gerakan advokasidengan demonstrasi yang tidak terjamah oleh gerakan gay
di masa IGS. Perkembangan ini mengindikasikan kemantapan gerakan gay dari
waktu ke waktu. Gerakan ini tidak melulu terwadahi dalam format organisasi
formal. Berbagai tempat di Jogja telah menjadi ajang bagi pertemuan informal
gerakan ini dengan beragam kualifikasi mengenai tempat terkait dengan senioritas
dalam masyarakat gay sendiri. Hal ini menegaskan bahwa gerakan ini bukanlah
gerakan main-main yang berspekulasi dengan eksistensinya. Bahkan bukan tidak
mungkin, suatu saat gerakan ini dapat memiliki ruang yang sama dengan gerakan-
gerakan sosial lainnya di tanah air.

Beberapa hal penting yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah,
pertama, penyebab berkembangnya gerakan gay terutama di Yogyakarta tidak
hanya diakibatkan faktor emosional yang menjadi ciri khas gerakan sosial
kontemporer, namun juga disebabkan oleh nihilisme ruang bagi wacana tentang
homoseksual dengan berbagai mitos tandingan sebagai perwujudan strategi
kekuasaan. Hal ini diperlihatkan dengan dinamika konstruksi identitas gay ke
identitas queer secara politis yang menekankan independensi konsep dari
heteroseksualitas dan transformasi sosial yang utuh dan menyeluruh. Nihilisme
ruang yang menumbuhkembangkan faktor emosional sebagai basis perekrutan
gerkan dan wacana dengan perspektif medis akademis merupakan dua strategi
gerakan gay dalam membentuk emotional deviance bagi kelompok-kelompok di
luar mereka.

Kedua, gerakan gay yang berangkat dari kelas sosial menengah ke atas
identik dengan ciri gerakan sosial baru meskipun dalam perkembangannya justru
menjadi gerakan melawan kelas dengan menuntut pemberian ruang bagi
homoseksualitas dalam ranah-ranah heteronormatif. Karakter gerakan yang
sebenarnya menjadi ciri gerakan sosial lama seperti gerakan Marxist.

Ketiga, akar gerakan ini bukan diawali pada periode 1960-an namun lebih
jauh dari itu, yaitu pada abad XIX dengan inisisasi yang dilakukan oleh Oscar Wilde.
Dalam hal ini, penulis lebih setuju dengan teori Habermas yang memparalelkan
gerakan sosial kontemporer dengan gerakan sosial romantik pada abad tersebut
yang menolak rasio kapitalisme modern. Walaupun watak capital materiil dalam
hubungan sejenis ini sangat kental, penolakan atas rasio kapitalisme ini diwujudkan
dengan hubungan antar gay yang tidak berorientasi pada asa prokreasi dan tidak
memandang kelas ekonomi dari pasangannya.

Keempat, gerakan gay di Yogyakarta bukan hanya gerakan yang sekedar


melakukan penggalangan massa sebagai kelompok penekan, namun juga
melakukan koalisi dengan pembuat kebijakan dan kepentingan dan partai politik
tertentu. Kelima, berubahnya isu yang diusung oleh gerakan gay di Yogyakarta
sebagaimana paparan mengenai kemunculan queer di atas menunjukan
kedinamisan gerakan ini. Terakhir, media memiliki peranan besar dalam memicu
sekaligus sebagai pihak informer yang tidak dapat disangkal bagi keberlangsungan
gerakan gay di dunia dari waktu ke waktu.

Tinjauan dalam perspektif ilmu pemerintahan pada gerakan ini bermaksud


untuk menyelami denyut nadi penguatan demokrasi di Indonesia yang tidak hanya
berkutat pada kajian-kajian sempit pada lembaga-lembaga pemerintahan sebagai
representasi pihak “yang memerintah”, namun juga pihak “yang diperintah”.
Konsep politik yang mulai mencair dan merambah pada kehidupan sehari-hari
merupakan konsekuensi logis dari proses transisi demokrasi hari ini. Hal ini
memerlukan mediasi agar pada praktiknya kelak, demokrasi dapat diejawantahkan
dengan produk-produk kebijakan yang efektif dan relevan dengan kondisi medan
dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Berangkat dari visi itulah, karya ini
ditujukan untuk memberi apresiasi atas eksistensi gerakan gay sebagai wujud
keberagaman dalam masyarakat. Sehingga, dunia akademis negeri ini tidak
terperosok dalam kenaifan yang sibuk dengan pelbagai aturan dan larangan.
 Kritik terhadap buku ini

Dinamika gerakan gay sebagai sebuah tema yang diangkat dalam karya ini
merupakan tema yang seharusnya hadir dan menjadi tema yang segar bagi
khasanah pengkajian dalam ilmu sosial kontemporer. Namun beberapa hal
menyangkut substansi dan aspek redaksional dalam buku ini mungkin dapat
menjadi kendala tersendiri bagi pembaca maupun peminat buku awam yang belum
cukup akrab dengan tema ekstrim (untuk tidak menyebutnya tabu) bagi tata nilai
masyarakat Indonesia pada umumnya.

Pertama, paparan deskriptif dalam tinjauan akar sosio historis pada bagian
awal buku ini akan cenderung menenggelamkan pembaca dalam penyelaman
sejarah yang terlampau luas jika tidak diringkas menjadi beberapa deskripsi singkat
yang terseleksi dalam aspek relevansi-nya dengan bagian utama yang dikaji dalam
penelitian ini. Penulis tampaknya masih terlalu asyik dengan penggalian fenomena
gay pada zaman prasejarah pada awal buku ini.

Kedua, kekayaragaman bahasa dalam memaparkan gagasan secara runtut


tanpa perlu memunculkan repetisi-repetisi redaksional masih dapat diupayakan
guna menjaga karya ini dalam kaidah penulisan karya ilmiah yang efektif secara
kebahasaan dan runtut secara kronologis pada fakta-fakta historis di dalamnya.

Terakhir, meskipun masih sering ditemui lompatan-lompatan “mengejutkan”


pada alur penulisan di tiap bagiannya, semoga penulis tetap memelihara integritas
akademiknya dengan tinjauan yang lebih padat dengan “mengajak” gagasan yang
lebih tajam dari para penulis besar pada tiap kutipan sehingga dapat menciptakan
momentum “lompatan sejarah” bagi penulis pada karya-karya selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai