Anda di halaman 1dari 110

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG
KOMUNITAS VOL. 2
R E F L E K S I

edisi #9: Komunitas

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #9: KOMUNITAS


vol. 2: Refleksi

tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari:


Dam Hee Kim
Ya Han Tu
Ahmad Nazmi
Ivan Nasution
Sigit Kusumawijaya
Yoppy Pieter
Andrea Fitrianto
Robert Dujmovic
Yusni Aziz
Kamil Muhammad

RUANG

PEMBUKA
Setiap individu terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang dikenal dengan nama komunitas. Secara
eksplisit maupun implisit; ilmu, budaya, dan cara hidup sebuah komunitas akan tercetak dalam diri individu.
Komunitas terbentuk dari kesamaan latar belakang dan visi untuk mencapai tujuan bersama, dengan
bergerak cepat dari bawah ke atas, kadang memangkas jalur birokrasi hirarkis yang berbelit. Kemudian,
dialektik ruang maya kini hadir; memecah dan membentuk komunitas pada saat yang bersamaan.
Individualisme meningkat, masyarakat makin acuh tak acuh dengan sekelilingnya. Di sisi lain, berkatnya,
pembentukan komunitas tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.
Dalam Ruang edisi 9 kategori Refleksi, kami menyuguhkan serangkaian upaya para akademisi, praktisi,
pengamat, maupun mereka yang berada di tengah-tengah komunitas untuk memaknai kembali apa
yang selama ini mereka catat, rekam, dan rasakan. Sembilan artikel yang akan kami terbitkan sepanjang
bulan November ini akan mengantar kita untuk tidak hanya berpikir kembali, tetapi juga mengalami
lebih dalam melalui sudut pandang tiap kontributor akan tantangan yang dihadapi komunitas dalam
pemahaman mereka.
Yusni Aziz dalam artikelnya Di Balik Pintu Surga Persia yang dimuat di koran Tempo
mengawali wacana dengan pengalamannya mengamati fenomena yang ia amati pada masyarakat
Persia dari sebuah bangunan arsitektural khas timur tengah: masjid. Kemudian Robert Dujmovic
mewacanakan hal serupa dalam pengamatannya tentang Architecture and Community,
menitikberatkan hubungan sebab-akibat antara keduanya. Sementara Yoppy Pieter memberi
suguhan esai foto bertajuk Teater Tribal Bumi Takpala tentang suasana kampung tribal di
Alor, dan dinamika di dalam komunitas mereka di tengah arus modernitas. Di artikel Arsitektur
Rizoma, Andreas Fitrianto membahas seluk-beluk arsitektur akar-rumput dengan pemaknaan
dan pengemasan yang unik. Lalu Sigit Kusumawijaya menjabarkan perkembangan ruang publik
di dunia maya sebagai wadah baru yang membentuk komunitas-komunitas dalam kategori sosialbudaya tertentu di artikel Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya di dalam
Menciptakan Ruang Publik. Ivan Nasution memberikan gambaran komunitas pendatang
di negeri asing yang mengokupasi ruang publik dalam jumlah besar sehingga menimbulkan sebuah
fenomena dan menghadirkan karakter ruang yang baru, dalam esai foto Minggu Pagi di Victoria
Park: Sebuah Fenomena Eksklusi dan Inklusi. Pengamatan lebih lanjut tentang tarikmenarik komunitas di antara ruang publik maya dan fisik dengan studi kasus di Jepang dilakukan oleh
Dam Hee Kim, Ya Han Tu, dan Ahmad Nazmi dalam artikel From Cyberspace to
Cityscape: Virtual Communities and the City. Yusni Aziz berupaya mendapat jawaban
akan pertanyaan mengenai peranan arsitek dalam komunitas pada Wawancara dengan Johan
Silas. Di akhir wacana, Kamil Muhammad menutup volume kedua edisi Komunitas ini dengan
artikel Traces, berisi pemikirannya seputar komunitas dalam pengalamannya menjadi sukarelawan di
komunitas Ciliwung Merdeka.
Kami berharap serangkaian artikel di atas akan membawa kita semua untuk merefleksikan dan
meredefinisi pemahaman tentang komunitas dengan lebih bijak, bagaimanapun istilah tersebut
dimaknai dalam setiap konteks yang disuguhkan oleh setiap kontributor. Karena pada akhirnya, setiap
kita terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang merepresentasikan ilmu, budaya, dan cara hidup
tertentu (dan terkadang, kontradiktif satu dan yang lain) dalam setiap gerak-gerik. Hingga kembali ke diri
kitalah, kompromi antara apa yang kita pahami dan apa yang selama ini melatarbelakangi kehidupan kita
harus diputuskan.
Selamat menikmati Ruang!

ISI

vol.2: Refleksi

Di Balik Pintu Surga Persia

esai Yusni Aziz.

19

Architecture: For Elites or Community?

29

Teater Tribal Bumi Takpala

41

Arsitektur Rizoma

53

Komunitas Online di Era Media Sosial

esai Robert Dujmovic.

esai Yoppy Pieter

esai Andrea Fitrianto

esai dan Perannya di Dalam Menciptakan

Ruang Publik

Sigit Kusumawijaya

65

Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah

73

From Cyberspace to Cityscape: Virtual

85

Traces

esai Fenomena Inklusi dan Eksklusi


Ivan Nasution

esai Communities and the City


Ahmad Nazmi, Dam Hee Kim,Ya Han Tu

esai Kamil Muhammad

Secangkir Teh Bersama Johan Silas:


wawancara Peran Bisnis dan Komunitas Untuk
Kota

95

Yusni Aziz.

K O N T R I B U T O R
1. YOPPY PIETER

Based
in
Jakarta,
Indonesia. Yoppy
Pieter
is a photographer who
documents social issues and
travel. His interests led him
to work as an advertising
coordinator at a travel
magazine in 2004.Three years
later he began to pursue
photography as a medium to
channel his passion. He took
some photography training
in
PannaFoto
Institute,
Permata
Photojournalist
Grant, and the Angkor
Photo Workshop. Since
2010, he has been working
as freelance photographer
and also a travel writer. His
works are published in www.
yoppycture.com

4. DAM HEE KIM

5. YA HAN TU

2. YUSNI AZIZ

Alumnus
dari
doubledegree bachelor program
kerjasama antara ITS dan
Saxion
Hogeschool
of
Applied Sciences. Kemudian
menyelesaikan
riset
di
Berlage Institute pada tahun
2013. Saat ini menjadi
pengajar di UPH, peneliti di
RAW dan manager OMAH
library.

She graduated from the architecture


department of National Cheng Kung
University, Tainan, Taiwan where she
studied architectural design, history
and theory . After working for two
years, she joined the postgraduate
program at The Berlage, Center for
Advanced Studies in Architecture
and Urban Design, TU Delft from
which she graduated in the spring
of 2014.

6.ANDREA FITRIANTO

3. IVAN NASUTION

Setelah lulus dari arsitektur


ITB, kemudian bekerja di
Park+Associates Architect.
Telah menyelesaikan riset di
Berlage Institute Rotterdam
pada tahun 2011. Saat ini
menjadi research assistant di
Centre for Sustainable Asian
Cities, NUS.

She graduated with a bachelor of


Architecture from Kyonggi University
and had completed an internship at
Iroje KHM Architects participating in
projects in Korea which had won the
ARCASIA AWARDS 2007-2008.
She graduated from The Berlage
Center for Advanced Studies in
Architecture and Urban Design, TU
Delft in the spring of 2014.

Andrea Fitrianto bekerja pada


bidang teknologi alternatif bambu,
perencanaan
komunitas,
dan
pembangunan
urban.
Andrea
menempuh pendidikan Arsitektur
di UNPAR (1994), perkotaan
di IHS Rotterdam (2007), dan
pengembangan permukiman di
HDM Lund (2010). Dia pernah
bekerja di Aceh pasca tsunami, di
Kenya pada sektor rural, di Jakarta
dan di Surabaya tentang advokasi hak
atas kota, di Davao dan Yogyakarta
untuk perbaikan kampung informal.
Saat ini Andrea adalah salah satu
koordinator
pada
Community
Architects Network (CAN), sebuah
forum bagi arsitektur komunitas
dalam konteks Asia.

5. AHMAD NAZMI

He graduated from The Berlage,


TU Delft with a thesis on generic
architecture. After collaborating
with the Brussels-based practice
51N4E, he is now based in Kuala
Lumpur, Malaysia where he runs the
research and design studio Normal
Architecture
and
collaborates
with Veritas Architects on their
conceptual and research work. He
is a visiting lecturer at the School
of Architecture, Building & Design,
Taylors University where he teaches
undergraduate design studio.

10. ROBERT DUJMOVIC

8.SIGIT KUSUMAWIJAYA

Lahir di Jakarta pada 14 November


1981, Sigit Kusumawijaya lulus dari
Delft University of Technology,
Belanda, dan Jurusan Arsitektur
dari Universitas Indonesia. Ia
pernah bekerja di Ken Yeang;
Andra Matin Architects; Mei
Architecten & Stedenbouwers
BV; dan PT MRT Jakarta. Saat ini
Sigit adalah Principal Architect di
perusahaan konsultan yang ia dirikan
dengan nama sigit.kusumawijaya |
architect & urbandesigner (www.
sigitkusumawijaya.com).
Dengan
rekannya ia mendirikan komunitas
Belajar Desain, dan menginisiasi
Indonesia Berkebun. Ia pernah
mendapatkan penghargaan Goggle
Awards 2011: Web-Heroes dan
finalis untuk Ashoka Changemakers
2013 Saat ini menjadi Executive
Steering Committee untuk Atap
Jakarta House Vision Indonesia..
9. M. INSAN KAMIL
Muhammad Insan Kamil adalah
seorang pelajar arsitektur di
University of Melbourne. Tesisnya
terfokus ke efek spasial normalisasi
sungai, terutama ke salah satu
pemukiman bantaran sungai di
Jakarta.

Born in Paris, 1969. I have dedicate


most of my life to aiming for
improvement of world justice,
protection of victims of war
crimes, and the most vulnerable
ones - women and children. I
was actively involved in work of
German humanitarian organization,
Senegal Hilfe Verein (SHV), with
which I contributed to numerous
projects,
building
workshop
compound, water towers, schools,
kindergartens, hospitals and so
on. After the civil war in Balkans
has ended, I went back and joined
the United Nation peace-keepers.
After few years of service in Croatia
and Kosovo, I moved to Dili, East
Timor , opening a new UN mission,
where i worked in the special
Court for war crimes. Paralely,
with few colleagues I held several
workshops related to basic health,
and local community empowering
leading to faster neighborhoods
recovery. After 5 years, I returned
to Europe and have been working
for International Criminal Court
for the last 8 years, mainly in the
area of protection and safety of
victims of war crimes.

NARASUMBER
11. JOHAN SILAS
10

11

Lulus dari jurusan arsitektur ITB di


tahun 1963, dan kemudian menjadi
pengajar dan pendiri Jurusan
Teknik Arsitektur ITS Surabaya
di tahun 1965. Pencetus KIP
(Kampung Improvement Program)
ini memperoleh Habitat Scroll
of Honour dari UN Habitat atas
penelitian dan pengabdian dalam
memberikan tempat bernaung bagi
kaum miskin di tahun 2005.

RUANG
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution
Mochammad Yusni Aziz
Rofianisa Nurdin
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : akudanruang@yahoo.com
segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab
masing-masing penulis. penggunaan gambar
untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.

Foto: Yoppy Pieter


Desain: Yusni Aziz

DI BALIK PINTU
SURGA PERSIA
oleh Yusni Aziz

Dua wanita menyusuri sepinya sore


di bazar Isfahan. Yusni Aziz

ESAI
INDONESIA
Arsitektur, Iran, Komunitas,
Makna Arsitektur, Ruang
Publik

Sebuah tulisan tentang perjalanan arsitektur.


Pencarian sisi lain masjid di Iran dalam keterkaitannya dengan politik penguasa.

ubuh sesampai di depan hotel, saya


bergegas menuju medan Imam. Matahari
masih enggan membagi seluruh sinarnya.
Meski biasnya saja cukup membangunkan
kawanan gagak yang ramai menyambut kami
di langit pagi itu.
Letih sisa perjalanan dari Teheran tidak saya
hiraukan lagi. Dengan ransel menggantung
di pundak, langkah berlari kencang menuju
monumen yang selama ini hanya saya kagumi
lewat buku. Saya tidak ingin melewatkan
menit saat kubah biru toskanya berubah
keemasan oleh sinar matahari pagi. Saya tidak
sabar untuk bertemu masjid Shah.
Tentu saja penjaga pintu masih tertidur. Saya
hanya disambut oleh iwan1 raksasanya yang
sangat ayu, bersama pintu gerbang kayu yang
tenggelam di lautan keramik biru di sekujur
dindingnya. Bibir seketika merekahkan
senyum lebar. Kecantikannya langsung
menghangatkan hati saya.

Hotel mungil kami di Isfahan hanya sekitar


satu menit berjalan dari medan Imam,
plasa di pusat kota Isfahan yang berdiri
sejak abad ke-17. Pembimbing kami
memilih tempat itu karena obyek riset
kami banyak terletak di sekitarnya. Alhasil
dengan mudah, saya kembali berkunjung
di siang harinya.
Saya sendiri memilih fokus riset tentang
masjid sebagai salah satu tipologi
bangunan lokal Iran. Sebagai arsitek dari
negara muslim terbesar di dunia, tentu
masjid bukanlah bangunan asing. Namun
melakukannya di Iran, salah satu dari
empat republik Islam dunia, menjadi
sangat menantang.
1) ruang dengan langit-langit melengkung yang
satu sisinya menghadap area terbuka

ruang | kreativitas tanpa batas

Kubah masjid Shah di kala fajar Yusni Aziz

edisi #9: Komunitas


Masjid Shah terlihat gagah bersanding
dengan medan Imam Yusni Aziz

Esok pagi, saya ingin menengok untuk


ketiga kalinya. Kedatangan kemarin
siang belum membuahkan data yang
saya harapkan. Kesalnya, saya harus
mengalah kepada perayaan Ashura
dari pemerintah. Masjid ditutup
untuk umum. Reporter dan kamera
televisi tersebar di segala penjuru, siap
merekam. Bis parkir berbaris di sisi
selatan maidan. Mereka membawa
ratusan orang dari luar kota, sahut
Golnar Abbasi, kawan Iran saya.
Ia lalu menambahkan, Umumnya,
banyak orang kota tidak mau hadir di
perayaan Ashura, karena itu pemerintah
membawa orang-orang dari kota
kecil dengan bis. Namun tidak hanya
terbatas di acara ini saja. Kebanyakan
acara keagamaan pemerintah menjadi
seperti ini.
Sederetan pertanyaan langsung timbul
dalam benak saya.

10

Namun yang pasti, hari itu saya harus


puas dengan memandangi gagahnya
iwan masjid Shah dari jauh. Saya hanya
bisa membayangkan kembali. Pelataran
masjid yang banjir dengan keramik
dan marmer biru di lantai, dinding, dan
langit-langit lengkungnya. Taman cantik
dengan pohon meranggas di dua sisi
masjid. Kubah utama dengan patri pola
floral yang indah, yang menggemakan
suara saya ke seluruh penjuru masjid.
Jika diijinkan, saya ingin tidur semalam
di masjid Shah. Ia adalah rumah umat
yang sangat mewah.

Namun, bayangan itu tetap tak dapat


menghapus pertanyaan besar dalam
pikiran saya. Mengapa masyarakat
Iran membangun masjid secantik dan
semegah ini? Haruskah? Apakah ada
keterkaitannya dengan kepentingan
penguasa jaman dulu, seperti yang
saya saksikan di perayaan Ashura itu?
Saya mencoba awali dari kata masjid
itu sendiri.
Masjid berasal dari kata Sajada, yang
berarti untuk bersujud. Kata ini bisa
juga berarti ruang seseorang untuk
bersujud atau beribadah. Sajada

ruang | kreativitas tanpa batas

Bentuknya
sangat
sederhana.
Dinding lumpur mengelilingi sebuah
ruang terbuka sebesar 50 x 50 m,
dengan pilar dari batang kelapa yang
menopang atap di sisi kiblat dan sisi
utara. Ia memiliki tiga pintu di sisi utara,
barat dan timur. Nabi dan keluarga juga
tinggal didalam masjid ini. Ruang-ruang
Kebutuhan pendirian masjid muncul tinggal mereka menempel di sisi timur
di era nabi Muhammad SAW untuk masjid.
mempersatukan umat. Ia mengawali
dengan pembangunan masjid Quba, yang Karen Armstrong dalam Islam: A
disusul oleh masjid Nabawi atau Masjid Short History menyampaikan bahwa
Nabi. Masjid terakhir menjadi embrio bentuk bangunan yang simpel ini
dari semua bangunan masjid di dunia.
menyimbolkan inti kesederhanaan
ajaran Islam. Tidak seperti gereja
juga digunakan untuk shalat, yang
membatasi area masjid dimanapun
seseorang ingin beribadah. Di dalam
Al-Quran sendiri, ternyata tidak ada
ayat yang secara khusus menuliskan
karakteristik arsitektural dari bangunan
masjid.

11

edisi #9: Komunitas

Kristiani
yang
mengkhususkan
bangunannya untuk beribadah, masjid
tidak melarang hadirnya aktivitas
kemasyarakatan di dalamnya. Masjid
Nabi saat itu menjadi rumah pemimpin
dan pusat pemerintahan umat Islam.
Ruang terbukanya menjadi area
untuk beribadah, perundingan militer
hingga tempat tinggal sementara para
pengungsi.
Lalu, mengapa desain masjid Iran
menjadi sangat berbeda dengan masjid
Nabi ?
Arsitektur merupakan sebuah produk
budaya. Seperti bentuk kebudayaan
apapun saat dikenalkan di lokasi
yang asing, Ia akan melebur bersama
nilai, tradisi dan estetika lokal untuk
membuatnya menjadi lebih ramah dan
bisa diterima oleh lingkungan.

12

Begitu pula dengan masjid. Sejak


embrionya tertanam di tanah Persia
pada era masuknya Islam di abad
ke-7, ia mulai berkembang dengan
menyerap gaya arsitektur lokal. Masjid
Tarik Khane, masjid tertua peninggalan
dinasti Abbasid, menyimpan jejak
transisi tersebut. Seperti masjid Nabi,
Tarik Khane memiliki konstruksi atap
yang ditopang barisan kolom, atau
hypostyle, dan tanah lapang di tengah
bangunannya. Yang membedakan
adalah mulai hadirnya kubah, atau
gonbad dalam bahasa Persia, dan iwan
yang merupakan ciri khas arsitektur
pra-Islam Persia.
Hal ini tidak lepas dari pengaruh
penguasa. Seiring meluasnya ajaran
Islam di Iran, peranan politis masjid

menjadi semakin penting. Agama


menjadi tiga komponen simbol
kekuasaan kerajaan Islam Persia,
disamping perdagangan dan Shah.
Semua menjadi jelas ketika saya
menyaksikannya di medan Imam. Plaza
cantik yang dikelilingi deretan toko
setinggi dua lantai ini menggandeng
tiga simbol itu di tiga sisinya.
Semua diawali pada abad ke-16,
saat Shah Abbas ingin menjadikan
Isfahan ibukota baru Persia yang kala
itu terpecah-pecah. Ia mengusulkan
restrukturisasi besar-besaran kota
Isfahan, salah
satunya
dengan
membangun medan Imam. Saat itu,
medan menjadi tempat bertemunya
Shah dengan rakyatnya. Karena guna
dan letaknya yang strategis, ia juga
menjadi panggung yang tepat untuk
menunjukkan bulatnya kekuasaan sang
Shah. Medan Imam akhirnya menjadi
rantai yang mengikat ketiga simbol
tersebut. Mulai dari bazar sebagai
simbol perdagangan di utara, Istana
Ali Qapu sebagai simbol Shah di barat,
dan masjid Shah sebagai simbol agama
di selatan.
Masjid juga diupayakan menjadi bagian
dari kerajaan. Ia diikat oleh elemen
yang selama ini hanya dikenakan dalam
proyek komisi kerajaan, seperti kubah.
Pada era pra-Islam, kemegahan -kubah
hadir untuk menyimbolkan kejayaan
sang raja. Ia menjadi kepala dari
bangunan makam keluarga raja atau
kuil Zoroastrian. Tradisi ini kemudian
berlanjut di era Islam. Kubah disatukan
-dengan badan masjid, meski sejarawan
belum menemukan waktu pasti kapan
pertama kali ini terjadi.

ruang | kreativitas tanpa batas

Masjid Nabi

Masjid Tarik Khane

Tiga fase evolusi masjid Jame Isfahan

Masjid Shah

Masjid bazar Teheran

Masjid Sepahsalar
13

Koleksi denah masjid dengan skala yang sama yang terbahas dalam artikel. Yusni Aziz

Di dalamnya turut terlukis dekorasi


yang menunjukkan keindahan dunia
langit, pengingat betapa kecilnya rakyat
di hadapan Allah dan kosmos ciptaanNya.
Di masjid Shah, kubah duduk dengan
sangat megah. Konon kilau birunya
dapat dilihat dari jauh oleh pedagang

yang sedang melewati jalur Sutra.


Kemegahan ini juga menjadi simbol
kekuasaan sang Shah lewat cipta
karya berskala akbar. Setelah selesai
dibangun, masjid Shah akhirnya menjadi
masjid terbesar di kota Isfahan, hingga
sekarang. Skala ini juga menjadi magnet
yang menarik jamaah shalat Jumat dari
masjid yang lama ke masjid Shah.

edisi #9: Komunitas

Iwan di tengah lapangan masjid Shah yang megah


dan lengang Yusni Aziz

14

serupa. Bedanya, di sini aksi tidak


dimonopoli oleh sang Shah. Penguasa
Iwan juga menjadi elemen pengikat lokal, baik individu maupun kolektif, yang
masjid.
Di era pra-Islam, Iwan berlomba untuk meninggalkan jejak
mewadahi kegiatan pertemuan di istana politisnya melalui renovasi masjid.
raja, rumah bangsawan, atau bangunan
religius. Ia kemudian bermutasi Mereka selalu memberikan sesuatu yang
menjadi gerbang monumental yang berbeda, jika perlu, lebih baik dibanding
memberi karakter kuat pada masjid renovasi sebelumnya. Setiap penguasa
Persia. Di dalam halaman masjid, Iwan tentu tidak ingin kalah, bahkan ada
berdiri di empat penjuru, menghadap yang menjadikannya lokasi pertarungan.
pusat halaman yang diberi kolam Seperti Taj al-Mulk yang memandatkan
wudhu. Komposisi sempurna yang konstruksi kubah di sisi utara demi
melambangkan axis mundi, titik yang menandingi rivalnya, Nizam al-Mulk, yang
menghubungkan antara dunia fana dan membangun kubah lain di sisi selatan.
nirvana.
Alhasil, masjid ini menjadi sangat kaya.
Dalam riwayat Isfahan, masjid Shah Desain empat Iwan-nya berbeda antara
ternyata tidak menjadi satu-satunya satu dengan yang lain. Lebar pilar
pusat demonstrasi kekuasaan. Masjid bervariasi dari dua jengkal telapak tangan
Jame Isfahan, yang menjadi lokasi hingga dua rentang tangan -pria Iran
shalat Jumat sebelumnya juga bernasib dewasa. Langitnya pendek hingga sangat

ruang | kreativitas tanpa batas

Bahkan dari koridor bazar, ia hanya


dibedakan oleh Iwan setinggi tiga meter.
Jika saya sibuk belanja mungkin tidak akan
tahu bahwa dibaliknya terdapat sebuah
masjid. Tidak ada empat-pintu Iwan,
hanya tiga pintu dengan reka bentuk
tak seirama. Tidak ada dekorasi berlebih
seperti masjid-masjid penguasa. Ia sangat
Sekembalinya ke Teheran, saya rendah hati dan sederhana. Ia menjadi
segera
mencari
perbandingan. bagian dari komunitas.
Saya menyambangi masjid kecil di
bazar Tehran, yang dibangun oleh Semua orang berhak bertamu ke masjid
komunitas setempat pada abad ke- tersebut. Ia menyajikan ruang publik
17. Seperti umumnya masjid Iran, untuk semua. Serta kamar mandi dan
masjid ini menyerap elemen-elemen tempat sembahyang bagi para pedagang,
yang dikenalkan penguasa. Yang yang bekerja di ruang-ruang kecil di
membedakan, Ia jauh dari kemegahan sepanjang sudut bazar. Seperti masjid
atau kesempurnaan. Masjid melebur Nabi, ia menjadi rumah umat yang sangat
sederhana.
dengan lingkungan setempat.
tinggi, tampil polos hingga penuh
dekorasi. Setiap lurus dan lengkung
garis ruangnya seakan bercerita pada
saya akan selera penguasa dan gaya
arsitektur Persia di masa tertentu. Ia
menyimpan rapi jejak-jejak sejarah
arsitektur Persia.

Skalanya membaur, tidak lebih besar


atau lebih tinggi dari bangunan
sekitarnya.

Kontras desain dua iwan masjid Jame Isfahan


memberi karakter kuat pada ruang Yusni Aziz

15

edisi #9: Komunitas

Lapangan masjid Teheran yang selalu ramai dimanfaatkan pedagang Yusni Aziz

Berbeda sekali dengan kunjungan saya


ke masjid Sepahsalar, yang terletak di
sebelah gedung parlemen Teheran.
Saya sangat ingin mengunjunginya sejak
awal perjalanan. Masjid dari abad ke19 ini mulai menunjukkan pengaruh
arsitektur Eropa dalam denahnya yang
memiliki bentuk salib atau desain taman
gaya eropa di tengah lapangannya. Ya,
desain masjid terus berevolusi.

16

Sayangnya, grup riset kami dilarang


masuk dengan alasan bukan warga asli
Iran. Meski sudah berdebat panjang
lebar, bahwa kami hanya ingin melihat
dan tidak akan mengambil foto.
Namun penjaga masjid tetap teguh
bahwa masjid ini milik negara yang
harus dilindungi dari pencuri kearifan
arsitektur Iran. Masjid yang menjadi
rumah umat tiba-tiba menjadi tertutup
dan ekslusif.
Hal ini juga terjadi di Universitas
Teheran. Lapangannya menjadi lokasi
utama shalat Jumat sejak Revolusi Islam
1979. Untuk memasukinya, setiap orang

harus melewati pemeriksaan tentara,


pintu metal detektor dan pemeriksaan
kartu identitas universitas. Pengunjung
tidak diperbolehkan masuk, kecuali rela
mengurus administrasi berbelit dengan
pihak universitas. Arena shalat menjadi
penuh ketegangan. Kenapa seseorang
harus digeledah untuk menyembahNya ?
Saya akhirnya bertanya kembali ke
Golnar, rekan Iran saya. Jika masjid
dikontrol pemerintah sejauh ini,
bagaimana reaksi anak muda di Iran.
Dengan gamblang, Ia mengatakan,
Saya tidak pergi ke masjid sama
sekali, seperti teman-teman saya
yang lain. Saya tahu beberapa teman
yang berangkat, tetapi mayoritas dari
mereka tidak. Saya ingat kepergian
ke masjid dalam 10 tahun terakhir
adalah untuk pemakaman, menjemput
nenek yang selesai sembahyang,
menggunakan kamar mandinya, atau
berkunjung karena mereka adalah
monumen nasional!

ruang | kreativitas tanpa batas

Kebanyakan
masyarakat
kelas
menengah tidak religus. Saya percaya
ini datang dari ketidaksukaan mereka
terhadap batasan ketat pemerintah
yang diaplikasikan dibawah nama
Islam.
Hingga muncul pemikiran, yang
tentu tidak sepenuhnya benar, bahwa
menjadi religius diasumsikan sebagai
tendensi politik. Saya tekankan lagi,
tidak sepenuhnya benar! Saya tahu
kawan yang sangat religius yang tidak
suka juga dengan pemerintah.
Masjid adalah rumah umat. Dia
lahir
karena
kebutuhan
untuk
mempersatukan umat. Namun masjid
di Iran, yang begitu cantik dan megah,
tidak dapat mempersatukan umat.
Memang indahnya tidak lepas dari
peran penguasa terdahulu.Tetapi di era
penguasa masa kini, semua seakan sia-

Masjid Sepahsalar terlihat dari sisi jalan yang ramai Yusni Aziz

sia jika Ia malah dijauhi umatnya.


Saya tidak ingin menyudutkan satu
aliran agama tertentu. Tetapi melalui
arsitektur, saya hanya mempertanyakan
apa agama harus menjadi alat monopoli
penguasa. Jika akhirnya perbuatan
tersebut malah semakin menimbun
dalam-dalam esensi dari agama.
Perdebatan mengenai apakah masjid
harus megah atau tidak, berkubah
atau tidak, berminaret atau tidak, saja
seperti benang kusut yang belum bisa
terurai. Padahal masjid sesederhana
meletakkan alas di tanah kosong untuk
bersujud menyembah-Nya. Gerak kecil
dan tutur kata lembut pasti tak luput
dari sang Maha Bijaksana. Saya sendiri
ingin mencintai-Nya dengan sederhana.

17

Saya tidak ingin


menyudutkan
satu aliran agama
tertentu. Tetapi
melalui arsitektur,
saya hanya
mempertanyakan
apa agama
harus menjadi
alat monopoli
penguasa.

Jorge Anzorena
Yusni Aziz

ARCHITECTURE:
FOR ELITES OR
COMMUNITY?
by Robert Dujmovic

ESSAY
ENGLISH
Architecture, Community, Consumerism, Religion, Politics

Architecture has been used as a tool for control


and manipulation by the elites. Yet in the other
hand, there are acts showing that architecture can
be build by and for the community. Thus, for whom
we actually build?

edisi #9: Komunitas

Architecture plays one of the most


influential roles in the daily life of human
society as a tool of expression and as the
only kind of art with real practical use. Its
highest achievements are seen through
history as a "sign of the time" and a
measure of development of a civilization
with the production of monuments. It
is represented by size, height, capacity,
construction and materials used.

20

Back in the days, someone build


pyramids in Egypt, South America,
Europe, and Asia. It is unknown who,
how and when it is made, but the life
span of these monuments equals to
projects the eternity of the "Gods of lost
civilizations".Today we still wonder about
their builders, their original function,
tools used in construction works. They
stand in our world today, witnessing the
fact that humanity today, similar with the
old ages, aims to build towers reaching
for the sky. Materials and techniques
certainly have changed, but our goals
stay the same - to get closer to the sky,
closer to the old and the new Gods, to
power and fame, by leaving a long lasting
signature between the clouds.
the constructed buildings and keep on
utilizing the spaces. Users build their
Why do we build? To live, to enjoy, to opinions; exchange them with friends
earn. We need to remember that behind and relatives. And often it causes
every curtain of architectural objects little arguments between those who
hides the creators and producers. While find positive and others who notice
on the public stage, we see users and more negative sides of the same pile
accidental viewers that give them alife of concrete. Should the opera house
and purpose.
have a dome or a flat roof? Should
the bridge be like a harp or an arc? As
Once users see an object, whether be in users develop an emotion and relate
plan, model or the finished building, they to the object of attraction, the mind
immediately can relate with it. Positive or behind the curtain starts pulling the
negative emotions develop at first glance. strings, and the audience is happily
After a while, they usually get used to dancing to the music.

ruang | kreativitas tanpa batas

source: http://www.csmonitor.com/World/Americas/Latin-America-Monitor/2014/0116/Brazil-shopping-malls-New-epicenter-for-social-protest

Tourists come and spend their money


because they heard that the place is
cool and famous. Local consumers also
get a story through commercials and
enjoy being a part of the show. They
hang at certain places in the city to be
seen, to be a part of THE crowd.
Architecture's use in mass manipulation
is huge yet mainly unnoticed. Visual art
builds the desired emotions attractive
or repelling depending on the nature
of the building. Governmental buildings
are usually made to trigger respect and

fear. In consequences, people would


develop the same feeling and attitude
towards the ruling power and reducing
risks of civic disobedience. On the other
hand, commercial objects are made to
attract visitors and make them spend.
"There is no doubt whatever about the
influence of architecture and structure
upon human character and action. We
make our buildings and afterwards they
make us. They regulate the course of our
lives." (Winston Churchill, addressing
the English Architectural Association,
1924)

21

edisi #9: Komunitas

22

ruang | kreativitas tanpa batas

Elites can control and manipulate, use


and abuse emotions and behaviour
of common people using different
mediums, including architecture. But
firstly, they have to understand how
a mind functioned. Shopping malls, for
example, use the skills of architects
and lighting designers to bring more
profit to the owners of the building
by manipulating the feelings of visitors
offering gold and glitter in sight. It
invites customers to spent their money
in exchange for some feeling of being
a part of the crowd who can afford.
The appearance of malls automatically
repels the poor but accept those who
can spend. The more bags one carries,
the better they feel. Feeling of power
and ability to spend on products that
are far from needed is comparable
with drug abuse, and many people
cant control it. Knowing that, theres
always new offer or new model
you must have.
Individuals may get high from an
addictive behaviour like shopping.
Meaning that endorphins and dopamine,
naturally occurring opiate receptorsites in the brain, get switched on, so
the person feels good. And if it feels
good, individual is more likely doing it.
It is reinforced, says Ruth Engs, EdD, a
professor of applied health science at
Indiana University.
Apart from gathering places and
practical resupplying locations, malls
are practically legal-drug-distribution
centres whereby people are invited
to develop a spending addiction. The
philosophical difference between the
old-fashioned private shops randomly
located in the city and shopping malls

is while the former attracts customers


because of the NEED, the latter
because of WANT. More over the
latter encourage spending habit.
Once individuals are inside the
circles of spending, their social status
is threatened by eventual stopping
one may lose friends or role in
the community. Therefore, the social
pressure maintains the spending habit.
Sociological issues related to spending
and gathering at commercial locations
are numerous. However, they are just
one fraction of manipulation by upper
layers that have only one goal power
over commoners and their money.
Aside from infrastructure, the most
important objects are those of the
biggest size, the religious ones. Both in
representing the centres of power
locations from which the elites control
different spheres of life of society
and their size and overall grandeur
reflect the status of those paying for
the project.
Building of the temple of any religion
around the globe costs money. These
huge amounts come from the pockets
of believers who willing to donate.
Towers, roofs covered by pure gold,
expensive finishing should all reflect
the power of the addressed god. Such
impression ensures the believers or
donors to even more respectful to
the organization or mind-management
behind the religion. And, of course,
it is also to ensure the believers to
keep on donating funds. Since no
Gods eat, drink, or bath in gold, their
representatives are free to enjoy the
donations. Therefore, the size and

23

edisi #9: Komunitas

24

quality of temples do not reflect the


power of god, but the amount of
money the priests collected out of
the pockets of followers.
Not all of the collected money is
spent; some particular priests are
ensuring their big share is safely kept
in Switzerland. Although dressed in
assigned clothes of spiritual leaders,

they are businessmen followed by


bodyguards, drive expensive limos,
enjoying the glitter and light of gold
someone else worked for them.
They act exactly the same way as
the owners of shopping malls. The
difference is in merchandise. In a mall,
individuals buy something, put them
in a bag, and he/she will flash down
the street. On the other hand in the

ruang | kreativitas tanpa batas

merely as cultural monuments. Many


of them being an expression of power
of rulers from the time of building,
the peak of the art expression, style,
and of course peak of architectural
period.
----Architecture affects the quality of life
of the community, regardless the use
of the final products. It can influence
social conditions simply by installing
object to where it is needed or not.
There is always a huge difference in
development of communities where
we DO have or DONT have roads,
bridges, schools, hospitals.

http://www.asce.org/CEMagazine/ArticleNs.
aspx?id=23622324819#.VFs8RxzNomo

temple, we get invisible portion of


magically given inner peace (or hatred
towards the others depending on
whats popular today and what will
bring more donations).
The truth is - people will always need
something to believe in, and why not
utilizing that? It is one of the oldest
businesses. In the end, temples stay

Depending on the model of


governing applicable in a certain
country, region or a city, there are
different ways of improving life
conditions in the community. In open
societies, communities can decide to
work together on fixing the problems
affecting their community crowdfunding becomes more popular and
brings visible results. By agreeing on
a target, community collects funds
and proceeds with realization of the
project. It can be a playground for
children, a new park, bridge, school,
etc. One of the interesting examples
from Rotterdam (Netherlands) is the
wooden bridge that has reconnected
the city centre with the part that was
for few decades cut-off by a very busy
road.
The history of the project,
mechanisms of creating it, and its
development and realization make

25

edisi #9: Komunitas

the project interesting. Community is


allowed to express their needs and
ideas, choose a solution and collect
the funds for the building. It is from
people to people from A to Z.
Luchtsingel Bridge consists of 17,000
wooden planks. Each donor was
entitled to have a message inscribed
on the plank he donated. The bridge
is a true, public piece of collaborative
architecture.
The bridge is just an example that
anyone can find the community
needs, clean-up an unused plot of
land in the neighbourhood and create
a playground and/or a park, an openair gym, or organize actions to clean
the neighbourhood.

26

For any project, funding and keeping


the costs of building, and future
maintenance should be kept on
realistic levels. So we come to the point
of architecture and cooperation of
the architects with local communities.
Call them for help, many of them live
right in our local communities - tell
them your ideas and find a solution
together!
However, in some communities,
people have no rights to organize
their life even on a local scale.
Government may claims private
owned lands and displaces a village
into new skyscrapers in the top-down
manner. In this case, theres practically
nothing people could do to decide on
their living conditions.

But in other countries, certain


freedoms
and
decision-making
powers are granted to citizens. People
can express their interest and learn
what they can do for their community.
They can demand different material
being used in building, decide on
power sources natural (wind, solar)
or classical fire-made by more
polluting use of gas, oil, wood or coal.
In the best case, with the help from
local architects, people could get
information and suggestions on how
to build, what to build, and what to
observe when building in cases when
they decide to start own projects.
To return to the earlier arguments,
the systems of manipulation that elite
use to ensure their gain we cant
stop or control their eternal game
and theres no point in stopping it is
a part of social living that determines
our society since the very beginning
of civilization. Such levels of control
are far too complicated for common
people to understand, control and
take part.
We need not only to build and enjoy
the luxury as a status symbol, but also
to teach about respect, appreciation,
and value of what we leave to those
to come.
However, living in the world we live
in, we do have powers, abilities and
responsibilities not to forget about
it. It is up to us to make small but
important changes in our local

ruang | kreativitas tanpa batas

environment, changes that count


and will leave a trace on the quality
of life of our community. One thing
that doesnt cost much is meeting
with people, communicate the ideas,
discuss and agree on what to do
together.
There are always things to do to
make our children recognize their
parents. Things that their parents have
made for them and will smile once
they bring their children to the same
place. Without any doubt, happy life
of future generations should be our
most important common goal. We

must work together to ensure it. We


not only need to build and enjoy the
luxury as a status symbol, but also to
teach about respect, appreciation, and
value of what we leave to those to
come.

27

We need not only


to build and enjoy
the luxury as a
status symbol,
but also to teach
about respect,
appreciation, and
value of what we
leave to those to
come.
Robert Dujmovic

Teater Tribal
Bumi Takpala
oleh Yoppy Pieter

Menggantung kain-kain tenun untuk persiapan


pasar tradisional. Yoppy Pieter

ESAI
INDONESIA
Arsitektur, Alor, Komunitas,
Tradisional, Nusa Tenggara
Timur

Sebuah perjalanan ke desa kecil di Nusa Tenggara


Timur. Menyaksikan perjuangan suku Abui dalam
mempertahankan budaya nenek moyang di tengah
gencarnya modernitas.

edisi #9: Komunitas

30

ruang | kreativitas tanpa batas

Cakrawala yang berganti jingga


menjadi latar langkah saya menuju
Kampung Adat Takpala di kabupaten
paling timur gugusan Nusa Tenggara
Timur. Mimpi yang sudah hadir sejak
dua tahun lalu. Sejak saya terhipnotis
oleh kesahajaan orang Abui dalam
layar televisi.
Ragu yang berlomba dengan detak
jantung menemani saya berjalan
menanjak. Sudah terlalu sore ini,
semoga orang-orang Abui masih
mengizinkan saya untuk singgah, ucap
saya dalam hati.
Halo, selamat sore, sapa seorang pria
berambut putih dan berperawakan
kurus kekar. Ia kemudian mengenalkan
diri sebagai Martinus.
Bermalam saja di sini, besok ada
tamu dan kita ada tari penyambutan,
tegasnya sambil mengunyah sirih.
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya
untuk bisa bermalam di sini. Untuk
merebahkan diri di lantai-lantai
bambu fala foka, rumah adat Alor,
yang sesekali berdernyit mengikuti
gerakan tubuh saya.
Malam begitu menyita kesunyian.
Takpala memang sebuah kampung
yang tidak terlalu dipenuhi penduduk.
Melonjakknya jumlah keluarga telah
memaksa sebagian besar dari mereka
berpindah ke kampung-kampung di
bawah bukit yang lebih luas.

Jajaran bangku tamu menghadap mesbah.


Yoppy Pieter

Menyambut pagi, seorang perempuan


muda menyeduh sejumput kopi
pada gelas bermotif bunga. Saya
duduk tertegun di tepian fala foka
memandang saujana biru di atas laut
Flores.
Selamat pagi, sapa Martinus
dengan senyum ramah. Kami mulai
membicarakan jati diri mereka sebagai
orang Abui dan kampung adat Takpala,
tempat lahirnya para ksatria.
Lima tahun sebelum Indonesia
merdeka, Piter Kafilkae, ayah Martinus
mewakafkan tanahnya sebagai lahan
berdirinya kampung adat Takpala.
Eksodus tersebut dilatarbelakangi
sebuah aturan kerajaan tentang balsem,
atau pajak kerajaan. Tidak mudah bagi
raja untuk menerapkannya ke suku
Abui yang tinggal di pegunungan Alor.
Akhirnya ia menetapkan pemindahan
ini untuk mempermudah pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Menurut Martinus, eksodus tidak
sontak mengubah tatanan hidup
suku Abui yang hidupnya bersandar
pada alam. Meski tidak bisa dipungkiri
bahwa pergeseran zaman juga
membawa dampak pada hidup
mereka. Walaupun babi hutan masih
banyak tersedia di hutan, orang-orang
Abui akan berpikir ulang untuk hidup
seutuhnya dari berburu. Mereka
sudah mendapatkan bekal bagaimana
menghasilkan uang dari sektor
pertanian, dan sektor pariwisata
dengan memberdayakan seluruh
kerabat Abui di Kampung Adat
Takpala.

31

edisi #9: Komunitas

32

ruang | kreativitas tanpa batas

33

Fala foka, rumah adat suku Abui Yoppy Pieter

Fala Foka, rumah adat suku Abui Yoppy Pieter

edisi #9: Komunitas

Kiri: Perempuan Abui di sebuah Fala Foka


miliknya dilatari oleh jerami yang menjadi
atap dan dinding bangunan Yoppy Pieter

34

Kanan: Menyalakan cahaya temaram pelita


Yoppy Pieter

ruang | kreativitas tanpa batas

Tidak ada yang tahu pasti kapan Takpala


berganti nama menjadi kampung
adat Takpala, sebuah kampung yang
menampung hajat hidup yang secara
perlahan mengalami pergeseran fungsi
sebagai tujuan wisata.
Penambahan
kampung
adat
semakin menegaskan bahwa Takpala
mentasbihkan dirinya sebagai destinasi
kultural di zaman yang sudah modern.
Hal ini tidak dipandang sebagai ancaman,
bahkan perannya telah memberikan
sumbangsih kepada kekayaan nusantara
sebagai living museum.
Seperti jajaran fala foka yang menyita
pandangan saya sejak datang di sini.
Rumah adat yang ditopang pilar-pilar
kayu dengan atap limas dengan tiga
lapisan ruang di dalamnya. Saya kalahkan
ragu untuk melihat ke dalam, dan
seorang perempuan mempersilahkan
saya untuk masuk.

Saya berdiri di lantai dua. Di dalam


ruangan yang tidak teraba dimensinya
tanpa bantuan pelita. Saat ia
dinyalakan, kedua mata saya mulai
dapat menangkap detail-detail kayu
dan rumbia yang saling bersimpul,
jajaran piring di lantai, sebuah tikar
dengan selimut di dekat tungku api.
Suasana tempat di mana perempuan
menghabiskan waktu mereka saat
malam, juga memasak.
Saya mengadahkan kepala ke lantai
tiga yang ukurannya menyempit.
Di dalam terlihat tumpukan jagung
masih terbungkus kulit bernoda
asap, dan tumpukan pusaka pemilik
rumah tersemat di ruang paling atas.
Pengapnya asap dan cahaya yang
temaram mendekap saya dengan
pengap, saya kemudian memutuskan
keluar untuk menyambangi rumah
tetangga.
Walau tidak begitu luas, Takpala sangat
kaya dalam tatanan kehidupan sosial
Abui. Kristen Katolik dan Protestan
mendominasi kartu identitas penduduk,
meski kepercayaan terhadap alam
masih mengalir deras di diri mereka.
Tidak sepenuhnya konsep trinitas
dipandang sebagai pegangan hidup.
Fala foka sendiri tidak didirikan tanpa
aturan. Mereka berdiri mengelilingi
sebuah situs peninggalan zaman
Megalitikum yang disebut mesbah.
Sebuah
mikro
kosmik
dalam
kepercayaan nenek moyang yang
diamini Abui.

35

edisi #9: Komunitas

36

ruang | kreativitas tanpa batas

37

Martinus menarikan Cakalele Yoppy Pieter

edisi #9: Komunitas

Udara hangat mengiringi kerabat


yang datang. Para perempuan telah
berbalut kain tenun dengan rambut
yang dibiarkan mengembang, disusul
kerabat lelaki dengan rangkaian senjata
sebagai identitas kesatria. Takpala yang
sunyi kini berubah menjadi panggung
pertunjukan, sebuah teater tribal.
Tali diikatkan pada batang-batang
pohon asam, dan kain-kain tenun
berkibar dihembus angin dari
laut Flores. Dalam sekejap, pasar
tradisional hadir di samping teater
itu. Para perempuan berkumpul
menggelar dagangan. Cendramata
khas Alor, kerajinan tangan dan
kain tenun menggoda saya untuk
berbelanja.
Ketika saya kembali melihat Martinus,
ia sudah mengenakan pakaian ksatria
Abui, lengkap dengan pedang dan
perisai perang. Ia bukan lagi sosok
yang sama seperti beberapa menit
lalu.
38

Saya kemudian teringat dengan kisah


para ksatria yang ia sampaikan tadi
malam. Bagaimana leluhur mereka
berperang dengan suku lain dari pulaupulau di sekitar Alor. Saya hampir
percaya dengan seni perang para
leluhur yang terkadang di luar nalar
logika saya. Seperti saat ia menyatakan
kemampuan terbang ke pulau-pulau
tetangga demi mempertahankan
harga diri dengan berperang.

Mesbah kini dikelilingi putaran


perempuan yang membentuk simpul
lingkaran Lego-lego. Gemerincing
gelang kaki, gigi-gigi mereka yang
berwarna burgundi, rambut keriting,
serta tangan yang saling bertautan
membentuk
simbol
eratnya
persaudaraan , lembut, dan kokoh.
Lantunan syair Abui tidak hentihentinya membahana.
Ketulusan mereka mengisi udara
yang semakin hangat. Walau menari
di hadapan tamu kerap mendapat
cibiran miring sebagai pentas
eksploitasi, atau penistaan autentitas
adat leluhur. Namun tidak adil jika
kita tetap mengamini cibiran tersebut,
mereka hanya mempertahankan
hidup lama di tengah dunia yang
semakin tidak menghargai masa lalu.
Kompromi mempertahankan ajaran
leluhur dan menyambung hidup
adalah pilihan mutlak suku Abui di
bumi yang melahirkan mereka, Alor.

Perempuan-perempuan Abui dalam


formasi lego-lego yang melambangkan
persatuan Yoppy Pieter

ruang | kreativitas tanpa batas

39

Namun tidak adil jika kita


tetap mengamini cibiran
tersebut, mereka hanya
mempertahankan hidup
lama di tengah dunia yang
semakin tidak menghargai
masa lalu. Kompromi
mempertahankan ajaran
leluhur dan menyambung
hidup adalah pilihan
mutlak suku Abui di bumi
yang melahirkan mereka,
Alor.
Yoppy Pieter

ARSITEKTUR RIZOMA
oleh Andrea Fitrianto

ESAI
INDONESIA
Arsitektur Komunitas, Akar
Rumput, Kolektivitas

Rizoma adalah struktur yang menyediakan


elemen kekagetan dan ketakterdugaan. Elemenelemen tersebut menghidupkan sifat regeneratif,
menyediakan ruang-ruang bagi proses kreatif.
Komunitas adalah simpul pada Rizoma. Demikian,
komunitas yang tumbuh secara organik pada
saat momen kegagalan pembangunan monolitis
terencana.

edisi #9: Komunitas

Seruas rizoma tanpa henti


menciptakan hubungan di antara
rantai semiotik, organisasi kuasa, dan
keadaan sekitar terkait seni, sains, dan
perjuangan sosial.
Gilles Deleuze & Felix Guattari,
A Thousand Plateaus, 1987. Hal. 7

42

Awal musim hujan. Tunas menyeruak,


membuncah pecah tanah. Rebung
bambu tumbuh tegak penuh percaya
diri. Seruas rizoma lahir dari indungnya,
batang bambu yang sudah mencapai
ketinggian dan sudah berdaun penuh.
Pada dedaunan sari pati diolah
dengan sinar matahari, fotosintesis,
di dalam mesin-mesin yang otonom,
automata, sehingga sari pati menjadi
nutrisi bagi pertumbuhan. Pada irisan
rebung jumlah keseluruhan ruas
bambu terekam sebagai kode untuk
pertumbuhan yang teleskopis; hampir
satu meter dalam 24-jam, tinggi
menjulang dalam hitungan empat
bulan.

Di bawah permukaan. Rebung


tumbuh dari indung, indung tumbuh
dari nenek, nenek tumbuh dari
buyut, dan seterusnya. Demikian akar
rizoma berkembang jalin-menjalin
membentuk labirin di bawah tanah,
berlika-liku seperti novel Kafka; jalinan
yang tidak memiliki awal maupun
akhir, tidak ada pusat ataupun tepi,
tidak ada pintasan Ariadne, juga tidak
ada Minotaur. Dengan demikian tak
ada singularitas, tanpa hirarki, nonotoriter secara elementer maupun
sebagai kolektif. Labirin yang ideal
seperti Tln dalam cerita pendek
Jorge Luis Borges.

Pohon adalah filial, namun rizoma adalah aliansi unik. Pohon


menyertakan kata kerja menjadi, namun jalinan rizoma adalah
konjungsi, dandandan. Konjungsi ini mengandung cukup daya
untuk mengguncang dan mencabut akar kata kerja menjadi
Deleuze & Guattari, ibid, hal. 25

ruang | kreativitas tanpa batas

Now you see, now you dont. Stereogram hutan bambu di Nankin, Cina.
(Sumber: James Ricalton, 1990)

Rizoma adalah struktur lorong prosesi


yang lebih banyak memiliki pintasan dan
putar-balikan daripada jalur yang lurus
dan langsung. Ia adalah sistem lorong
yang menyediakan ceruk-ceruk bagi
tabir-tabir, bagi ruang kontingensi, bagi
pertemuan-pertemuan tak-terduga.
Koneksi dan heterogenitas adalah
prinsip. Ia adalah ruang multiplisitas
yang melipat-ganda, mencerap stimuli,
merespon tantangan, di tengah
susutnya kausalitas.
Tanpa desain sistem terbuka atau
mutasi, evolusi tidak akan berlangsung.
Tanpa pertemuan tak-terduga, kejutan,
surprise, atau kekagetan, maka tidak
akan ada peluang untuk regenerasi.
Dengan demikian elemen kekagetan
menjadi krusial dalam menjaga inersia
sistem untuk terus menyediakan
potensi
penuhnya;
ruang-ruang
bagi proses kreatif. Tetapi, dia juga
lantas menghadirkan paradoks dan
situasi ambigu; dia bisa menghasilkan
kesepahaman, juga ketidaksepahaman.

Baik atau buruk hanyalah hasil


dari seleksi aktif dan sesaat, maka
kesempatan harus terus diperbaharui,
dan dengan demikian tak ada tempat
bagi dualisme Manichaean [1] yang
hitam-putih.
Metafisika rizoma adalah tataran yang
imanen, membedakannya dengan yang
transenden. Pada tataran tersebut
berlaku sebuah proses yang disebut
misapropriasi, yang digambarkan
seperti pencurian tanpa akuisisi.
Tidak seperti prosesi pencurian
konvensional yang melibatkan akuisisi,
perpindahan kepemilikan untuk
meningkatkan akumulasi kapital,
proses misapropriasi menjelaskan
suatu proses ekstraksi yang sementara
dari sebuah konteks ke konteks
lainnya, dari milieu ke milieu. Demikian
dinamika
internal
menciptakan
kapasitas baru untuk menghasilkan.
Inilah proses kreatif rizomatis, seperti
ribuan bengkel kerja, ribuan dataran
tinggi, ribuan plato.

43

edisi #9: Komunitas

Setiap plato adalah sebuah orkestrasi


yang terdiri dari elemen-elemen
layaknya kepingan batu bata yang
diekstrak dari setiap situs-situs
reruntuhan,
sumber
informasi,
pengetahuan,
dan
pengalaman
lain. Dia adalah sebuah rakitan,
brikolase, yang di dalam dirinya
terkandung vektor-vektor dan segala
bentuk potensi untuk terus hidup,
berkembang, dan mengorganisasi
diri. Sebagaimana halnya sebutir telur,
dia adalah Tubuh tanpa Organ (TtO)
dalam proses menjadi. TtO bukan
sebuah organisme, juga bukan sebuah
organisasi, melainkan sebuah ruang
bagi eksperimen organ yang berlainan
dan organisasi yang berlainan.
Kinerja moda berpikir rizomatis
berkaitan
dengan
cara-cara
mentransfer satu konsep ke konsep
lain, dari satu disiplin ke disiplin
lain. Dengan demikian suatu fungsi
dapat dicangkokan ke konteks atau

milieu lain; prinsip dekalkomania [2].


Proses ini melibatkan transgresi antar
teritorial, dalam melintasi batasbatas konvensional. Maka proses
deteritorialisasi dan reteritorialisasi
menggerakkan arus material, sosial,
dan mikropolitis secara terusmenerus, konstan; sebuah flux.
Seperti pengalaman imajiner saat
membaca biografi seorang pengelana
muka bumi, sebagaimana alur pikiran
orang nomaden; nomadologi.
Arus perpindahan menemukan
relevansi
pada
geografi
dan
demografi.Tercatat lebih dari separuh
penghuni bumi termasuk dalam
kategori urban. Kampung kota, yang
seringkali digusur, adalah kemenangan
atas individualisme yang melazim di
kota, ia menjadi benteng terakhir bagi
kemandirian, nilai-nilai lokal, kultural,
tentang identitas, kolektivitas, modal
sosial, dan lain-lain. Pembenaran
moral akademiknya ada pada traktat
Balai warga di Kampung Jatimulyo,Yogyakarta.
(Andrea Fitrianto, 2012)

44

ruang | kreativitas tanpa batas

Hak atas Kota dan Keadilan Spasial.


Dan perlawanan dari kampung kota,
klaimnya atas ruang kota, sudah
menjadi fenomena global; Claiming
the City.
Seperti halnya kampung miskin kota,
sebagai komunitas akar rumput,
menjadi sebuah simpul pada sistem
rizoma. Demikianlah cara entitas
sosial bernavigasi di kota-kota pada
masa kini. Kampung kota yang
miskin, padat, dan informal hadir
dan akan selalu hadir. Mereka terus
dan terus berkembang biak, melipat
ganda, dan bertukar posisi dengan
eksterioritasnya; konstan tanpa akhir.
Dalam setiap kampungada kohesi
yang dinamis dengan kota sebagai
lingkungannya. Kampung kota adalah
sebuah plato.
Kampung kota adalah ruang berkreasi
seorang arsitek, seniman, warga, guna
menjadi manusia pembuat, si tukang,
homo faber. Maka, perlu pengetahuan
tersendiri untuk bekerja di ruang
rizoma, seperti studi tentang gerak,
tentang menanti, dan etos dalam
mengantisipasi. Karenanya, peta
lokal akan lebih berguna dibanding
peta global. Prosesi adalah lazim dan
perubahan adalah sebuah kepastian,
maka untuk menentukan arah perlu
mata-ketiga, intuisi, atau mata batin;
kontemplasi.
Komunitas tumbuh secara organik
di setiap momen kegagalan
pembangunan terencana. Hunianhunian ad-hoc, spontan, irregular,
atau informal terbentuk atas dasar
kebutuhan. Misalnya, oleh mereka
yang mengisi relung-relung kosong,

seperti ruang-ruang sisa di kotamonumen Chandigarh, The White


Building di Phnom Penh, The Walled
City di Kowloon, atau konstruksi
pencakar langit yang tidak selesai,
karena pemodalnya keburu bangkrut
terinterupsi oleh resesi ekonomi,
Torre David di Caracas.
Di Torre David, kaum miskin kota
mengokupasi lantai-lantai pencakar
langit dengan meletakkan dan menata
sekat-sekat, memberi kehidupan
di antara kerangka kolom-lantai
beton yang usang. Kampung miskin
memenuhi kebutuhan dasarnya
untuk bertahan hidup di kota.
Rancangan dan penataan mereka
jauh dari sempurna. Karenanya tidak
jarang mereka menyertakan mafia,
meminggirkan akuntabilitas, institusi,
dan demokrasi pada kategori utopia,
bersama-sama dengan negara serta
segala rezim perencanaannya. Maka,
kegagalan perencanaan dan arsitektur
adalah kejayaan populer atau
kemenangan rakyat dan sama sekali
bukan anomali. Maka, Rem Koolhaas
membawa serombongan mahasiswa
Harvard berkunjungan-belajar ke
Lagos, Nigeria demi menyaksikan
kegagalan kota-terencana dengan
perspektif helikopter yang sinis-nyarisfatalis; membaca Lagos dari ketinggian
sebagai
sebentuk
ketangguhan,
kesempatan, inspirasi, bagi masa
depan yang spekulatif.
Lewat sebuah percakapan, Nenek
Dela, warga kampung kota, tampil
sebagai tokoh sentral pada film
dokumenter Jakarta Disorder karya
Ascan Breuer dan Victor Jaschke

45

edisi #9: Komunitas

sudah tiga kali digusur selama berada


Jakarta. Rasdullah, penarik becak
yang di tahun 2002 mencalonkan
diri sebagai gubernur Jakarta, bahkan
sudah tujuh kali digusur. Di sini kita
mesti cermat: bertahan hidup adalah
prinsip, sedangkan digusur adalah
konsekuesi. Bersama kaumnya,
Nenek Dela dan Rasdullah tinggal
di bantaran sungai, bantaran kanal,
waduk, rel kereta, di bawah sutet,
di kolong tol, di lahan terlantar, di
lahan spekulasi, yang semuanya
merupakan tataran, strata, khusus
bagi kampung miskin di Jakarta.
Terkait kelangkaan lahan sebagai
sumber daya kota yang paling krusial,
Nenek Dela, Rasdullah, dan keluarga
termiskin kota umumnya hidup
nomaden. Setiap saat mereka harus
siap berhadapan, bertukar teritori,
bertukar penguasaan dengan Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP),

aparat rezim keindahan dan ketertiban


sekaligus aparatus otoritas formal
kota.
Pada ruang komunitas, organisasi
setempat, arsitek, dan warga bersekutu
untuk mengadakan eksperimen
kreatif, seringkali dengan bahan lokal
dan organik, dengan teknik-teknik
yang juga bagian dari tradisi. Misalnya,
pada sekolah yang dirancang Dibdo
Francis Kr di Gando, Mali; pusat
interpretasi Mapungubwe di Afrika
Selatan rancangan Peter Rich yang
menggunakan teknik kubah yang
merupakan warisan kultural berumur
600 tahun; museum yang dibangun
dari puing-puing karya Wang Shu
di Cina; redefinisi arsitektur bambu
yang modern lewat tangan dingin
Simn Vlez di Kolombia; dan taktik
menghidupkan
kembali
tradisi
sekaligus mitigasi bencana la

Potongan sekolah alam di Bogor.


(Andrea Fitrianto, 2013)

46

ruang | kreativitas tanpa batas

Hunnarshala di India dan Yasmeen


Lari di Pakistan, dan banyak lagi
arsitektur dengan kompleksitas,
arsitektur yang peka-konteks.
Sedangkan yang bebal-konteks juga
ada; di London, sebuah gedung
baru menjelma menjadi suryakanta
raksasa dan melelehkan mobil-mobil
yang parkir di bawahnya; di Dubai,
di balik kemilau arsitektur mewah,
terungkap eksploitasi terhadap
pekerja bangunan migran. London
dan Dubai mungkin sudah terlanjur
menjadi poros bagi rezim Arsitektur
yang hirarkis, singular, monolitik, dan
totaliter yang tujuan akhirnya definit;
akumulasi kapital adalah eskatologi.
Di sana, moda kreativitas ditandai
dengan kecintaan akan permukaan,
mekanisasi proses yang mengebiri
arsitektur menjadi sebentuk ritual
digitasi prosedural.

Kadangkala kami bekerja secara


ilegal, bukan untuk menyakiti
seseorang. Kebalikannya, justru
kami lakukan untuk menolong
banyak orang. Keputusan untuk
bekerja secara ilegal berarti
bekerja dengan pendekatan lain
- Santiago Cirugeda
Santiago Cirugeda mendapat julukan
arsitek pembangkang dan subversif.
Ia tergabung dalam sebuah kolektif
arsitektural Recetas Urbanas di
Sevilla. Mereka berarsitektur lewat
aksi langsung, salah satunya dalam
merancang-bangun ruang seni sirkus
kultural independen La Carpa dengan
profil-profil baja yang diekstrak dari
bangunan lain. Saat ada yang mencibir
La Carpa sebagai arsitektur yang

Araa, sirkus dan ruang seni pos-apokaliptis La Carpa di Sevilla.


(Woody James, 2014)

47

edisi #9: Komunitas

48

menarik tapi juga buruk rupa, Santi


menjawab Siapa yang gak punya
teman buruk rupa? Setiap orang
punya teman buruk rupa. Mereka
sudah tinggalkan estetisasi obsesif
kaum pemodal, untuk arsitektur
yang ekonomis dan fungsional. Di
Sevilla, La Carpa adalah antitesis
bagi Metropol Parasol, sebuah folly
dari kayu laminasi yang menguras
biaya $130 juta dari kantung para
pembayar pajak di tengah situasi
resesi.

Recetas Urbanas juga harus


menyiasati
formalisme
aturan
membangun dan meniti di
antara
batas-batas
legal-ilegal.
Pembangunan dilakukan dalam
waktu sesingkat satu-setengah hari.
Secara klandestin mereka bergerilya
di bawah bayangan rezim ruang dan
waktu sang kota; seperti Sulaiman
memindahkan istana Ratu Sheba,
seperti
Sangkuriang, Bandung
Bondowoso, juga seperti ribuan
gecekondu [3] yang tumbuh dalam

edisi #9: Komunitas

Bayanihan Power: gotong-royong menghela rangka jembatan di Davao.


(Andrea Fitrianto, 2011)

semalam di kota-kota di Turki.


49

Di Davao, Mindanao, warga


kampung informal membangun
jembatan pedestrian sepanjang
23 meter. Dana terkumpul dari
kelompok tabungan para ibu di
tiga kampung. Lantas mereka
meminjam
$10.000
untuk
membiayai pembangunan jembatan
pedestrian
dengan
teknologi
alternatif; bambu. Setelah setahun
menabung sekaligus menggalang

kolektivitas, relawan warga bekerja


membangun
jembatan
lewat
arahan Suyadi dan Sunarko (alm.),
dua perajin bambu asal Cebongan,
Yogyakarta. Sepanjang April 2011,
tujuh hingga sepuluh relawan warga
bekerja enam hari dalam seminggu.
Pada satu akhir pekan, lebih dari
seratus-lima-puluh warga kampung
dikerahkan untuk menghela rangka
utama menuju posisi pondasi
beton; bayanihan paralel dengan
gotong-royong.
Sekurangnya

edisi #9: Komunitas

duaratus bambu petung dan seratus


bambu legi dan bambu ori, dirangkai
menjadi jembatan bambu modern
pertama di Filipina. Pembangunan
inklusif/partisipatif dan teknologi
alternatif merupakan paralelisasi dua
strata yang membentuk rizoma.

50

Dalam
rangka
kontekstualisasi
dengan kota, arsitek menjadi agen
penggubah untuk misapropriasi
ruang-ruang mati, ruang-ruang
sisa, residual, dan menjadikannya
alternatif dan potensi. Di bawah
hemisfer Utara ada Pet Architecturenya Atelier Bow Wow di Jepang,
Raumlabor di Jerman, dan Atelier
darchitecture autogre (AAA)
di Perancis. Kelompok-kelompok
lain memberi fokus kerja mereka
di Selatan, seperti Urban-Think
Tank (U-TT) di Swiss/Venezuela,
Elemental di Chile,TYIN tegnestue di
Norwegia. Grup arsitektur pro-bono
seperti Architecture for Humanity
(AFH) adalah jaringan sumber
daya arsitektural yang berawal dari
penerbitan sebuah buku, Architecture
Sans Frontires (ASF) terdiri dari
simpul-simpul yang independen di
banyak negara Eropa, dan Community

Architects Network (CAN) menjadi


platform bagi kelompok-kelompok
arsitek komunitas di tujuh-belas
negara Asia.
Arsitek-arsitek
dan
kolektif
arsitektural tersebut tumbuh sporadis,
trans-nasional, nomaden, melampaui
batas-batas teritorial, dan berjarak
kritis dengan aparatus kekuasaan.
Maka, wilayah kerja mereka tidak
ditentukan oleh konvensi: apa yang
boleh, tapi oleh intensi: apa yang
harus, dalam pengetian masingmasing. Maka, tidak akan kita temukan
agenda-agenda besar, melainkan etos
dan disiplin berkarya yang realistis,
taktis, dan penuh improvisasi. Maka,
apapun sebutannya, arsitek komunitas,
arsitek sosial, pembangkang, visioner,
revolusioner, pada prakteknya adalah
arsitek yang menanggapi perkaraperkara sosial dan lingkungan di
sekelilingnya. Mereka bekerja secara
militan, kadang bergerilya dengan
penekanan pada proses. Ini akan
melibatkan
polinasi-lintas
antarelemen yang heterogen, teknis, sosial,
kultural, ekologis, dan mikropolitis;
sehingga tiba pada capaian-capaian
arsitektural yang tak-terduga.

ruang | kreativitas tanpa batas

Jadi apa itu Tubuh tanpa Organ? Tapi kamu sudah


di dalamnya, menggeliat seperti kutu, meraba-raba
seperti orang buta, atau berlari seperti orang sinting;
pengelana gurun dan nomaden stepa. Di dalamnya kita
tidur, menghidupi hidup yang terbangun, melawan-lawan
dan melawan-mencari tempat bagi kita, mengalami
kebahagiaan tak terbilang dan kekalahan hebat;
didalamnya kita menerobos dan diterobos; di dalamnya kita
mencinta TtO: ia datang saat tubuh telah berkelebihan
organ dan dia ingin menanggalkan, ingin melepaskan.
Deleuze & Guattari, ibid, hal. 150
Dari ribuan teritori, ribuan plato, tentunya ada cukup daya untuk mengguncang,
mencabut, menerobos ruang-ruang berruam, menjadikannya ruang-ruang mulus
bagi Tubuh tanpa Organ dalam rangka mengantisipasi arsitektur yang akan hadir.

[1] Manichaeism adalah paham yang percaya dengan dualisme dalam kosmologi,
pertarungan antara baik dan buruk.
[2] Delcacomania atau decalcomanian (Perancis) adalah sebuah teknik dekoratif yang
mentransfer desain yang tercetak di atas medium kertas yang dilipat ke medium kaca
atau porselen.
[3] Gecekondu (Turki) secara harfiah berarti dibangun semalam adalah pemukiman
spontan di kota-kota besar di Turki.

51

Pohon adalah filial,


namun rizoma adalah
aliansi unik. Pohon
menyertakan kata
kerja menjadi, namun
jalinan rizoma adalah
konjungsi, dan
dandan. Konjungsi
ini mengandung
cukup daya untuk
mengguncang dan
mencabut akar kata
kerja menjadi
Gilles Deleuze & Felix Guattari

Komunitas Online di Era


Media Sosial dan Perannya
dalam Menciptakan Ruang
Publik
oleh Sigit Kusumawijaya

ESAI
INDONESIA
Komunitas Online, Media
Sosial, Ruang Publik

Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi


mempengaruhi pola interaksi sosial antar individu,
juga dalam pembentukan sebuah komunitas.
Lebih jauh lagi, hal ini juga telah mengubah cara
pembentukan ruang-ruang publik di kota oleh
komunitas urban.

edisi #9: Komunitas

Ruang publik adalah sebuah ekosistem yang dapat


memberi ruang tumbuh bagi peradaban manusia.
Ruang ini menjadi modal sosial dan ekonomi bagi
masyarakat untuk tumbuh dan berkembang secara
sehat dan produktif.
Menurut Jurgen Habermas, ruang
publik memiliki peran yang berarti
dalam
proses
berdemokrasi.
Ruang publik merupakan wadah
diskursus masyarakat, tempat warga
negara dapat menyatakan opini,
kepentingan, dan kebutuhan mereka
secara diskursif. Sifatnya harus
bebas, terbuka, transparan, dan
tidak ada intervensi pemerintah di
dalamnya; dengan kata lain otonom.
Ruang publik harus mudah diakses
oleh semua orang. Melalui ruang
publik ini masyarakat atau warga
dapat menghimpun solidaritas dan
kekuatan untuk melawan mesinmesin pasar atau kapitalisme dan
mesin-mesin politik.

RUANG KREATIF PUBLIK


54

Ruang
publik
kreatif
dapat
bekerja dengan baik jika dapat
mengakomodasi
ekspresi
komunitas-komunitas. Ada sebelas
prinsip untuk menciptakan sebuah
ruang komunitas (ruang bersama)
yang baik yang dirangkum oleh
Project for Public Space (PPS).
Dengan
menerapkan
prinsipprinsip ini ruang publik akan
bertransformasi menjadi sebuah
ruang bersama yang kaya dan hidup,
tempat taman, plaza, lapangan

terbuka, jalan kendaraan, area pejalan


kaki, atau segudang ruang outdoor dan
indoor lainnya yang memiliki kesamaan
kegunaan
publik. Prinsip-prinsip
tersebut yaitu:
1. Komunitas atau masyarakat lokal
adalah ahli
2. Menciptakan tempat, bukan
merancangnya
3. Mencari mitra untuk bekerja
sama
4. Melakukan pengamatan secara
mendalam
5. Mempunyai sebuah visi jangka
pendek, menengah, dan panjang
6. Mulai dengan hal-hal yang mudah,
cepat, dan murah
7. Triangulate: menyediakan peluang
bagi orang yang sama-sama
asing untuk melakukan kontak
dan berbicara dengan memberi
stimulus eksternal, misalnya,
penempatan bangku taman,
tempat sampah, dan telepon
umum yang berdekatan
8. Mulai dengan skala kecil
komunitas/warga secara bersama
untuk memelihara perbaikan
tempat
9. Bentuk yang mendukung fungsi
ruang publik tersebut
10. Uang bukan masalah
11. Kelestarian ruang publik karena
tidak pernah berujung

ruang | kreativitas tanpa batas

Intervensi ruang publik oleh Cepot dan kawan-kawan, Jakarta.


(Foto: Sigit Kusumawijaya)

KOMUNITAS ONLINE DI
ERA MEDIA SOSIAL
Sejalan dengan perkembangan
jaman, ruang publik telah meluas
melampaui ranah fisik dan geografis
yang dapat dinikmati secara
langsung. Informasi dan teknologi
komunikasi telah berkembang pesat
di kota-kota besar di Indonesia
dalam dua dekade terakhir. Saat
ini, dengan kecanggihan teknologi,
ruang publik juga hidup di dunia
maya. Hal ini membuat perubahan

dalam berkegiatan sosial-budaya


ekonomi, sosial, dan kelembagaan
terutama di perkotaan. Terciptakah
bentuk konektivitas baru antar
manusia yang tidak lagi terbatas oleh
kehadiran fisik dan letak geografis.
Muncullah fenomena komunitas
yang semakin umum dikenal sebagai
komunitas jejaring.
Kemudahan mengunduh aplikasi
di
internet
mempermudah
penggunanya untuk membentuk
komunitas online berdasarkan

55

edisi #9: Komunitas

kesamaan
kepentingan
dan
ketertarikan.
Komunitas
online adalah kumpulan orang
(masyarakat)
yang
melakukan
kegiatan dalam bentuk pertukaran
informasi
dan
pengetahuan
dengan bantuan Information and
Communications Technology (ICT).
Komunitas online dapat dibentuk
dengan hanya beberapa orang atau
anggota yang terbatas. Beberapa
contoh komunitas online misalnya
komunitas alumni atau hobi.
Komunitas ini menjadi contoh
bahwa konektivitas tidak terbatas
oleh pertemuan secara fisik, bisa
juga melalui dunia maya. Ini adalah
fenomena menarik untuk dikaji
karena jenisnya beragam, walaupun
pada kenyataannya, kegiatan ini

masih memerlukan pertemuan


fisik secara real time dan ruang.
Keberadaan komunitas online ada
yang bertahan lama atau hanya
sementara. Minat yang mendorong
pembentukan komunitas online
adalah representasi dari aktualisasi
diri manusia yang tidak cukup
dengan memenuhi kebutuhan
primer dan sekunder di dunia
nyata (Maslow dalam Williams,
1995). Kecenderungan terhadap
penggunaan facebook, twitter, path,
mailing list, whatsapp, dan lainnya
memperlihatkan bahwa anggota
kelompok online tidak tunggal,
namun bisa terdiri dari berbagai
macam latar belakang.
Beberapa komunitas online yang
akan dibahas selanjutnya adalah

Fenomena adiksi penggunaan gadget dan media sosial di kota-kota besar di Indonesia.
(Foto: internet)

56

ruang | kreativitas tanpa batas

komunitas-komunitas
yang
menggunakan teknologi media
sosial untuk berkomunikasi dan
berinteraksi, kemudian melakukan
pertemuan secara langsung untuk
menciptakan ruang publik kreatif
yang baru untuk menciptakan kota
yang lebih nyaman dan layak huni.

Indonesia Berkebun
Indonesia Berkebun adalah komunitas
yang bergerak melalui jejaring sosial
(baik itu twitter, facebook atau blog)
untuk menyebarkan semangat
positif agar lebih peduli terhadap
lingkungan dan perkotaan dengan
program urban farming. Hal ini
dilakukan dengan memanfaatkan
lahan tidur di kawasan perkotaan
yang diubah fungsi menjadi lahan

pertanian/perkebunan
produktif
dengan peran serta masyarakat
sekitar. Semangat ini berawal dari
media sosial twitter @Idberkebun
yang disambut baik oleh para
netizen yang menginginkan kota
yang lebih sehat, lebih hijau, dan
lebih membawa manfaat. Dengan
semangat untuk berbagi, para
sahabat
berkebun
menjadi
buzzers dan influencers, baik di
twitter maupun jejaring sosial
lainnya. Sehingga saat ini Indonesia
Berkebun sudah berkembang di
lebih dari 31 kota & 9 kampus di
Indonesia, tergabung dalam jejaring
Indonesia Berkebun yang memiliki
visi dan tujuan yang sama.
Selain kegiatan-kegiatan berkebun
di lapangan, dalam mengedukasi,

Penyebaran beberapa jejaring komunitas Indonesia Berkebun di seluruh Indonesia.


(Grafis: Sigit Kusumawijaya)

57

edisi #9: Komunitas

Indonesia Berkebun mengembangkan


kelas @akademiberkebun untuk
belajar berkebun dan bisnis
tentang agrikultur yang diberikan
kepada publik secara cuma-cuma.
Kelas ini biasa dilakukan secara
offline di beberapa tempat yang
membutuhkan edukasi, seperti
kelompok masyarakat, perusahaan
maupun sekolah-sekolah TK ataupun
SD.

Indonesia Berkebun bercita-cita untuk


menularkan semangat urban farming
ini kepada warga lainnya untuk lebih
peduli terhadap lingkungan perkotaan.
Agar kota menjadi lebih hijau, bersih,
sehat nyaman dan mempunyai nilai
dan kualitas yang tinggi untuk ditinggali
oleh generasi penerus, dan memiliki
kemandirian pangan.

Indonesia Berkebun sudah banyak


mendapatkan apresiasi, baik dari
media ataupun penghargaan berskala
nasional hingga internasional, seperti
Google Asia Pacific Awards 2011
(kategori: Web Heroes), Nutrifood
Inspiring Movement 2014, ataupun
shortlisted di Ashoka Changemakers
2013.

Keuken adalah festival makanan sehari


yang membahas isu pemanfaatan
ruang publik kota melalui kebijaksanaan
budaya yang terinspirasi dari jalanan.
Keuken adalah gabungan dari
beberapa komunitas yang mencintai
kuliner lokal dan sebuah upaya
untuk memecahkan kemonotonan

Keramaian acara Keuken Bandung.


(Foto: internet)

58

Keuken Bandung

ruang | kreativitas tanpa batas

kehidupan perkotaan dengan cara


mereklamasi ruang publik. Komunitas
ini mempertanyakan kembali peran
kota dan kejujuran kota di dalam
kehidupan
sehari-hari. Keuken
juga berusaha mengungkapkan
kesenjangan yang hilang di antara dua
hal menarik antara kenikmatan nafsu
makan sehari-hari dan kebutuhan
ruangnya pada waktu yang sama.
Keuken merayakan perebutan ruang
kota dengan kemeriahan kebutuhan
dasar manusia, yaitu makan. Keuken
berusaha mengumpulkan kaum
muda kota dengan memangaatkan
potensi
laten
dari
budaya
nongkrong
dalam
masyarakat
Indonesia dikombinasikan dengan
atraksi makanan jalanan. Keuken
mempertemukan
masyarakat
lokal dan komunitas kreatif untuk
berkomunikasi dan bertukar pikiran.
Setidaknya untuk satu hari, kota
dengan warga dan masyarakatnya
dapat mempertontonkan bakat dan
potensinya masing-masing. Lebih
dekat untuk berbicara dan melakukan
sesuatu yang memungkinkan untuk
kota.

KEMUDAHAN PENYEBARAN
KOMUNITAS ONLINE DI
INDONESIA
Belajar dari kasus komunitaskomunitas online di atas, dapat dilihat
bahwa gerakan atau aksi komunitas
dapat dimobilisasi dengan jaringan
yang besar. Kemajuan informasi
dan teknologi komunikasi di era ini

telah memfasilitasi berbagai gerakan


sosial. Beberapa Buzz gerakan sosial
memiliki jangkauan yang luas, namun
langsung dan personal.
Menurut Pontoh (2012),seorang pakar
media sosial, Indonesia adalah satusatunya negara maritim kepulauan
terbesar di dunia. Ini menentukan
perilaku sosial masyarakatnya yang
unik yang berbeda dari seluruh
dunia. Masyarakat Indonesia memiliki
perilaku orang maritim yang sangat
ramah dan terbiasa saling membantu
orang di sekitarnya serta berkolaborasi
dalam keragaman yang damai. Itulah
sebabnya masyarakat Indonesia
cenderung senang untuk berkumpul.
Ini dapat dilihat melalui warisan
kearifan lokal seperti pada arisan,
pengajian, atau sekedar nongkrong
di warung kopi. Seperti halnya
keramahan dan sambutan selamat
datang untuk tamu yang tercermin
melalui pembagian dapur yang kering
dan dapur yang basah pada rumahrumah masyarakatnya. Dengan alasan
tersebut,
masyarakat
Indonesia
cenderung sangat mudah untuk
dikumpulkan atau diminta bantuan
jika ada sesuatu yang menarik, yang
lain pun ikut bergabung, dengan kata
lain sering disebut latah. Fenomena
ini juga yang timbul di era media
sosial sekarang ini, yang membuat
pembentukan komunitas online dan
mengumpulkan anggotanya untuk
bertemu secara fisik sangatlah mudah
di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan
bahwa aktivitas komunitas online telah
membawa konektivitas baru manusia.

59

edisi #9: Komunitas

60

ruang | kreativitas tanpa batas

61

Ruang publik alternatif: kebun komunitas yang tercipta oleh komunitas Indonesia Berkebun.
(Foto: Indonesia Berkebun)

edisi #9: Komunitas

PENCIPTAAN RUANG
PUBLIK BARU OLEH
KOMUNITAS ONLINE

62

Komunitas-komunitas online kreatif


seperti di atas, selain menciptakan
ruang publik di dunia maya juga
menciptakan ruang-ruang bersama
secara fisik di ranah publik sesuai
dengan tujuan dan visi mereka
masing-masing.
Melalui
dunia
maya seperti media sosial, anggota
komunitas saling berinteraksi dan
berkomunikasi yang membentuk
dialog dan diskursus hingga
akhirnya mereka memutuskan
untuk melakukan aktivitas atau
gerakannya secara offline. Dengan
pertemuan secara offline tersebut,
ruang bersama di ranah publik
tercipta. Indonesia Berkebun dan
Keuken Bandung mengampanyekan
visi masing-masing melalui media
sosial. Dan setelah diputuskan
oleh penggiat ataupun hasil
diskusi dengan anggota-anggota
komunitasnya, mereka berkumpul
dan melakukan kegiatannya masingmasing.
Indonesia
Berkebun
dengan 40 jejaring-nya di seluruh
Indonesia memanfaatkan lahan di
area perkotaan untuk dijadikan
lahan pertanian kota sebagai
sebuah ruang publik bersama
yang baru untuk dimanfaatkan
warga sekitarnya. Keuken Bandung

memakai area jalanan ataupun taman


untuk dimanfaatkan para anggota
komunitasnya maupun warga kota
Bandung secara keseluruhan sebagai
ruang publik bersama dengan
merayakannya dengan cara membuat
festival kuliner dan acara-acara
menarik lainnya.
Ruang-ruang publik baru tercipta oleh
komunitas-komunitas online tersebut
yang masing-masing mempunyai
tujuan dan visi yang positif. Mereka
menggunakan kekuatan komunitas
dengan perencanaan bottom-up
yang akan terus tumbuh, setelah
perencanaan dengan metode topdown terus-menurus gagal untuk
memberikan kebutuhan ruang publik.
Namun secara intuitif, seharusnya
gerakan akar rumput ini tetaplah
bersifat
informal.
Komunitaskomunitas ini harus tetap berbentuk
komunitas dengan aksi mereka yang
walaupun bersifat informal namun
harus dapat mempengaruhi kebijakan
dan legalitas yang sifatnya formal.
Karakter ini harus tetap dipertahankan
sebagai sebuah sistem bipolar dan
oposisi: komunitas dan pemilik modal
dengan pemerintah. Dengan dualisme
ini, kedua entitas akan terus tumbuh
dan saling mengevaluasi kota dan
kebijakannya; sebagai sebuah putaran
apropriasi, evaluasi dan perancangan
kota kembali yang menerus..

ruang | kreativitas tanpa batas

KESIMPULAN
Sejalan
dengan
perkembangan
jaman, ruang publik pun telah meluas
melampaui ranah fisik dan geografis
yang dapat dinikmati secara langsung,
namun ruang publik juga terdapat
di dunia maya dengan kecanggihan
teknologi. Masyarakat Indonesia
cenderung senang untuk berkumpul,
ini dapat dilihat melalui warisan
kearifan lokal seperti di dalam arisan,
pengajian, atau sekedar nongkrong
di warung kopi. Fenomena ini juga
yang timbul di dalam era media sosial
sekarang ini, di mana membentuk

komunitas online dan kemudian


mengumpulkan anggotanya untuk
kopi darat atau bertemu secara
fisik sangatlah mudah di Indonesia.
Dengan pertemuan secara offline
tersebutlah akhirnya ruang bersama
di ranah publik tercipta. Mereka
menggunakan kekuatan komunitas
dengan
perencanaan
memakai
metode bottom-up yang akan terus
tumbuh, setelah perencanaan dengan
metode top-down terus-menurus
gagal untuk memberikan kebutuhan
ruang publik.

DAFTAR PUSTAKA
1) BASUKI, Yudi., PRADONO, AKBAR, Roos., and MIHARJA, Miming. (2012). Online Community:
Human Connectivity in a Virtual Space and its Implications to Human Movement. Bandung. Proceeding of
Arte-Polis 4 International Conference.
2) HARDIMAN, Fresco Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
3) HUTAPEA, Hodlan. (2012). Mengembalikan Fungsi Ruang Publik. Harian Analisa. http://www.
analisadaily.com. Accessed on 5 December 2012.
4) INDONESIA BERKEBUN, (2011). Indonesia Berkebun Concept. Jakarta
5) JULIANERY, BE. (2007). Kembalikan Ruang Publik. Klik Nusa. http://kliknusa.blogspot.com. Accessed
on 1 December 2012.
6) NASUTION, Ivan. (2012). Open Source City:Towards Collective Place Making. Bandung. Proceeding of
Arte-Polis 4 International Conference.
7) KUSUMAWIJAYA, Sigit. (2012). Urban Farming as an Act for Community Empowerment. Bandung.
Proceeding of Arte-Polis 4 International Conference.
8) PONTOH, Shafiq. (2012). How Conversation Become a Movement. Jakarta. Provetic.
9) PROJECT FOR PUBLIC SPACE (PPS). Eleven Principles for Creating Great Community Places http://
www.pps.org. Accessed on 1 December 2012.
10) TANUWIDJAJA, Gunawan. Menciptakan Ruang Kreatif Publik di Surabaya. http://diy.c2o-library.net.
Accessed 5 December 2012.
11) WILLIAMS, RN and Slife BD. (1995). Whats behind the research: Discovering hidden assumptions in
the behavioral sciences, Sage Publikations, Inc, Printed in the United Stated of America.

63

Ruang publik adalah


sebuah ekosistem
yang dapat memberi
ruang tumbuh
bagi peradaban
manusia. Ruang
ini menjadi modal
sosial dan ekonomi
bagi masyarakat
untuk tumbuh dan
berkembang secara
sehat dan produktif.
Sigit Kusumawijaya

Minggu Pagi di Victoria


Park: Sebuah Fenomena
Eksklusi dan Inklusi
oleh Ivan Nasution

ESAI
INDONESIA
Apropriasi Ruang Publik,
Inklusi dan Eksklusi,
Komunitas

Fenomena inklusi dan eksklusi menjadi awal dalam


mengidentifikasi sebuah komunitas. Peminggiran
terhadap identitas sebuah komunitas akan
memaksa komunitas tersebut mendefinisikan
kembali identitasnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengapropriasi ruang-ruang publik
di kota.

edisi #9: Komunitas

Komunitas berawal dari mengidentifikasi eksklusi (siapa yang berada di luar) dan
inklusi (siapa yang termasuk di dalam). Komunitas berakar dari kata commune
(bahasa Prancis) atau communis (bahasa Latin), yang artinya berkumpulnya orangorang yang memiliki nilai-nilai dan cara hidup yang sama. Komunitas akan tumbuh
jika ada kesadaran akan kami dan mereka. Kesadaran ini lama kelamaan akan
membentuk mayoritas dan minoritas orang-orang yang memiliki kesamaan
dan orang-orang yang terpinggirkan.
Dalam konteks perkotaan, peminggiran ini dijumpai pada dikotomi penduduk
dan pendatang. Walaupun kota awalnya dibentuk oleh sekumpulan pendatang.
Pendatang yang tinggal lebih lama akan membangun asosiasi terhadap kota dan

Bertemu teman
(Foto: Ivan Nasution, 2014)

66

ruang | kreativitas tanpa batas

mengklaim sebagai penduduk. Mereka akan meminggirkan para pendatang lain,


terutama mereka yang benar-benar asing atau dengan status sosial dan ekonomi
yang dianggap lebih rendah.
Kota dan mayoritas akan menekan identitas minoritas melalui alienasi
(pengasingan). Sebagai contoh, para pekerja domestik asal Indonesia dan Filipina
yang hidup di tengah-tengah hingar-bingar metropolis Hong Kong. Mereka hidup
dalam keadaan tidak stabil. Kota yang padat dan sesak memaksa mereka tinggal
bersama majikannya, sehingga tidak memiliki ruang privat dan ruang gerak yang
terbatas. Keterbatasan waktu luang membuat mereka tidak dapat berpartisipasi
dengan kehidupan sehari-hari di ruang kota.

Peragaan busana tanpa kurator


(Foto: Ivan Nasution, 2014)

67

edisi #9: Komunitas

Pengamanan Minggu pagi di Victoria Park


(Foto: Ivan Nasution, 2014)

68

Hilangnya identitas karena peminggiran secara ekonomi, sosial, ataupun kultural;


membuat minoritas melakukan perlawanan. Mereka mendefinisikan kembali
identitasnya di ruang publik; membangun hubungan dan jejaring atas kesamaan
etnis, nilai-nilai, dan aspirasi. Jejaring ini membesar dan membutuhkan sebuah
teritori. Ruang-ruang publik diapropriasi. Sekitar 300.000 lebih pekerja domestik
berkumpul setiap hari Minggu di ruang-ruang publik (dua diantaranya Plaza HSBC
dan Victoria Park). Pada awalnya mereka mendapat penolakan karena dianggap
mengganggu kemanan dan kenyamanan. Namun, lama-kelamaan aktivitas tersebut
diterima bahkan diakomodasi dengan penambahan berbagai fasilitas publik, aparat,
dan regulasi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan.
Event yang berulang membentuk sebuah kebiasaan. Minggu pagi di Victoria
Park [1] menjadi tradisi mingguan bagi para pekerja domestik asal Indonesia
untuk berekspresi. Ekspresi ini muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya
busana. Hari itu menjadi sebuah pentas peragaan busana tanpa kurator. Tiap-tiap
[1] Minggu Pagi di Victoria Park (2010) adalah sebuah judul film layar lebar yang
disutradarai dan dibintangi oleh Lola Amaria. Cerita film ini berpusat kepada kehidupan
para pekerja domestik di Hong Kong yang penuh pergulatan terhadap ketidakadilan,
pelecehan fisik dan seksual, peminggiran oleh mayoritas, minimnya ruang privat, atau
terikat utang dengan rentenir.

ruang | kreativitas tanpa batas

Grup Rebana sedang berlatiih


(Foto: Ivan Nasution, 2014)

individu mengekspresikan keunikannya. Grup pengajian muslimah dengan pakaian


tertutup, dandanan ala 80-an yang menyerupai instruktur senam, wanita-wanita
yang berlagak pria, dan setelan imut-imut ala pelajar Jepang. Identitas muncul dan
partisipasi dengan kehidupan kota terbina. Dengan kehadiran yang lain di ruang
publik, performa-performa ini menjadi sebuah tindakan politis dan ruang-ruang ini
disebut ruang-ruang penampakan[2].
Tindakan-tindakan di ruang penampakan ini melekatkan simbol pada Minggu pagi
di Victoria Park. Victoria Park menjadi lokus perlawanan terhadap ketidakadilan.
Para pekerja domestik menyuarakan pendapat mereka di ruang publik: protes
terhadap peraturan ketenagakerjaan yang merugikan, meminta keadilan atas
pelecehan fisik atau seksual yang dialami rekan sesama pekerja domestik, hingga
terakhir soal pandangan terhadap pemilu presiden baru-baru ini. Victoria Park
menjadi sebuah simbol perlawanan, kebebasan berpendapat, dan demokrasi.

[2] Konsep politik dijabarkan oleh Arendt sebagai aksi dan interaksi antar manusia.
Politik menurut Arendt erat dengan aksi dihadapan orang lain. Ini erat kaitannya dengan
konsep ruang-ruang penampakan (spaces of appearance) yang dibahas dalam buku
karya Hannah Arendt yang berjudul The Human Condition (1958) dan Crises of the
Republic (1972).

69

edisi #9: Komunitas

70

Mengaji
(Foto: Ivan Nasution, 2014)

ruang | kreativitas tanpa batas

Kuda Lumping
(Foto: Ivan Nasution, 2014)

Pengaruh simbolisme ini menyebar ke penduduk lokal yang juga menjadikan


Victoria Park sebagai sebuah instrumen. Protes besar terhadap pemusatan
pemerintahan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) oleh penduduk Hong Kong
yang pro-demokrasi (dikenal dengan Occupy Central) bermula dari Victoria Park.
Secara praktis Victoria Park memiliki area yang luas dan dekat dengan pusat kota
sehingga menjadi tempat ideal. Namun, tak hanya para pemrotes pro-demokrasi,
para pemrotes pro-RRT yang juga penduduk Hong Kong juga memulai aksi
penolakan terhadap Occupy Central dari Victoria Park. Simbol ini tidak lantas
dimiliki oleh sebagian kelompok, namun, menjadi titik awal pendefinisian ulang
sebuah inklusi dan eksklusi.
Proses ini berulang secara terus menerus, sehingga dapat dikatakan bahwa
komunitas bukanlah sesuatu yang kaku. Ia adalah sesuatu yang temporer dan
dinamis. Identitas sebuah komunitas akan terus dipertanyakan dan didefinisikan
kembali dengan proses inklusi dan eksklusi. Bahkan ia dapat mempengaruhi keadaan
sekitarnya. Hal ini menjadikan komunitas sebagai sesuatu yang oportunistik, politis,
dan penuh perlawanan.

71

Komunitas akan
tumbuh jika ada
kesadaran akan
kami dan mereka.
Kesadaran ini
lama kelamaan
akan membentuk
mayoritas dan
minoritas orangorang yang memiliki
kesamaan dan
orang-orang yang
terpinggirkan.
Ivan Nasution

FROM CYBERSPACE TO CITYSCAPE:


VIRTUAL COMMUNITIES AND THE
CITY
by Dam Hee Kim, Ya Han Tu and Ahmad Nazmi

ESSAY
ENGLISH
Architecture, Otaku, Akihabara, Online Community,
Cyberspace

Nowadays, we have been witnessing the massive


proliferation of virtual communities. However, is
there possibility for them to give impact to the
physical space of our city?

edisi #9: Komunitas

PART I:
VIRTUAL COMMUNITIES AND THEIR (DIS)CONTENTS
The shrinking of distance and the speed of movement that characterize the current
era find one of its most extreme forms in electronically based communities of
individuals or organizations interacting in real time and simultaneously

Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents

74

In his seminal 1993 book The Virtual Community; Homesteading on the Electronic
Frontier, Howard Rheingold defined virtual communities as social aggregations
that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions
long enough, with sufficient human feeling to form webs of personal relationship
in cyberspace.1 From his experience as the member of WELL (Whole Earth
Lectronic Link), one of the pioneering virtual community, he wrote, Norms
were established, challenged, changed, reestablished, rechallenged, in a kind of
speeded-up social evolution.2 It is clear from Rhinegolds observations that virtual
communities are viewed as evolutionary form of the traditional communities,
which is founded on assumptions about consensus, rationality and connectivity. 3

ruang | kreativitas tanpa batas


Facebook World Map (2011) source: https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/
hphotos-ak-prn1/163413_479288597199_8388607_n.jpg

A key distinction of virtual communities from the traditional one is that they are
formed independently of physical confines, i.e. neighbourhoods or work places.
The key infrastructures to the formation of communities in this virtual space are
the speed and flexibility of the process of communication and collaboration.They
enable a community which are spontaneous in construction, whose memberships
are loose you can join and leave as you please and are always constantly
redefining their identities. Another central discussion in virtual communities and
the internet is the notion of choice. For what the internet provides, apart from the
almost limitless possibilities of collaboration and exchange, are essentially choices.
On the internet, you chose your community and you leave when you please.
In most cases, virtual communities are communities of interest, formed out of
common needs or a sense of shared mission. They address both the need for an
extension of existing connections into global networks and the need of escaping
the confines and morality of the traditional physical community. The internet
brings together individuals and groups who are ostracised from society because
their interests might be considered as unacceptable to the accepted norms. For
these people the internet is a liberating platform to indulge in, expand and share
their interests with like-minded (often anonymous) peers from all parts of the
world. Careful browsing on the internet can lead you to a community of people
who are obsessed about chewing ice to something as criminal as a hard-core
paedophile ring.

75

edisi #9: Komunitas

NOW REVERSE THE FILM: FROM VIRTUAL TO PHYSICAL


In her essay Cyberspace, Virtuality, and the Real: Some Architectural Reflections
(2001), Elizabeth Grosz wrote that one of the regulating assumptions in the
discussion of the impact of the virtual on the physical is the belief that the
technological development of virtual communities and networks surpasses,
displaces, and problematizes the body and, with it, identity and community as
we currently know them. 4 Of course (as correctly pointed out by Grosz) the
assumption ignores that the physical form of communities will continue to be
relevant, albeit as converted into a different order in which mind/will/desire are
the ruling termsThe transformation of the real through the concept of the
virtual.5

Co-dependence between virtual and physical communities. Nazmi, Kim, Tu

76

Among of the key characteristics in the construct of virtual communities are:


a set of common interests, non-hierarchical structure and organization, relative
anonymity between the members and temporality of the community (due to the
flexibility of joining and leaving). These characteristics could be observed in the
phenomena of flash mobs, where the actions of a group of anonymous people
could be organized through the internet to stage an event in physical space. It can
be argued that the well known demonstrations and protest movements such as
the Egyptian Revolution and the Occupy Wall Street were carefully coordinated
flash-mob events with ideological leanings and political purposes. These two
examples are a strong argument for the continuing relevance of the physical
realm as the platform for expression despite the anti-geographical nature of the
virtual realm.

ruang | kreativitas tanpa batas

Top: Physical community endowed


with the characteristics of the virtual.
Nazmi, Kim, Tu
Bottom: General characteristics of
online communities. Nazmi, Kim, Tu

From here we can see, how could the crystallization of virtual communities in
the physical (urban) space affect the city? Does the ephemeral nature of virtual
constructs prevent lasting and meaningful intervention on the urban landscape?
Or is there evidence of a virtual community inhabiting and actually shaping the
character of a city? And if there is, what makes them successful and how can
we define their relationship with the city? Could they possibly point the way for
communities to inhabit cities in the future?
The truth as it turns out, is stranger than fiction.

77

edisi #9: Komunitas

PART II:
STRANGER THAN FICTION (OR THE CURIOUS CASE OF
AKIHABARA)
What is not found in Akihabara is not worth looking for - Otaku dictum
The district of Akihabara is one of a series of subcentres6 of Tokyo. What makes
Akihabara strangely different is that the aesthetic image of the whole district has
been shaped by its association with the community of the Japanese subculture
of otaku. In Learning from Akihabara:The Birth of a Personapolis architectural
historian Kaichiro Morikawa wrote; The exodus of the otakus into Akihabara is
comparable to the formation of ethnic enclaves such as Chinatown or Little Italy,
with a critical difference that the otaku is a tendency in personality and taste,
unrelated to any ethnic race or social class. 7
Walking through Akihabara and into the various different shops catering to the
myriad of eccentric obsessions is akin to a journey through otaku culture. What
was once virtual has gone physical. Like a stage set on an urban scale, the district
of Akihabara became the platform for the transformation of a virtual subculture
into a physical community, an otaku playground. But what exactly is an otaku?
OTAKU CONFIDENTIAL
Otaku is one of the most well known forms of Japanese youth subcultures,
prevalent mainly among males. In Japanese, otaku is a polite and formal way of
saying you, although if translated literally, it means your house, with connotations
of impersonality and detachment.8
78

As a social phenomenon, the image of the otaku in Japanese media has been
treated with both fear and fascination. Otaku were an underground subculture
throughout the 80s, largely unknown by the public and ignored when noticed.This
ambivalence however, was shattered by the 1989 arrest of Miyazaki Tsutomu, a
serial killer responsible for the murder and mutilation of four young girls in Tokyo.11
Miyazaki became a poster boy, albeit a negative one, for otaku subculture after
photos and footage of his bedroom crammed to the ceiling with pornographic
and paedophilic collection of anime videos and manga - was splashed in the
mainstream press. 12 The ensuing media frenzy saw the otaku being vilified as
social outcasts, eventually being pushed to the center of the debate surrounding
the supposed moral decay among Japanese youth.13

ruang | kreativitas tanpa batas

The 2000s however, has seen an increasing acceptance of otaku culture in


mainstream society. Part of this is due to the success of the 2004 book Densha
Otoko (Train Man), which based on the true story of an otaku who relied on
the support of an online community to win the love of a woman in real life. It
was adapted into manga, stage play, television series and film. 14 Ito wrote: by
representing otaku as harmless and endearing, both dramas helped to remove
the subcultures historically more negative and sociopathic connotations and to
recast it in a much more sympathetic light.15 If Miyazaki had demonized otaku
culture, Densha Otoko had Hello Kitty-ised them.

PERSONAPOLIS : FROM THE DESKTOP TO THE


CITY
16

Akihabaras growth as the center of otaku community gained momentum after


the burst of Japans economic bubble in the late 1980s.The otaku embrace of the
internet in the early 1990s, coinciding with the reinvention of Akihabara as the
center of Japans IT industry led to the crystallization of a virtual community in
physical space, a Personapolis. Capitalizing on the IT infrastructure of Akihabara,
otakus began to emerge from their bedrooms and gather in the district in
numbers. In turn, establishments related to otaku culture also began to take up
space in the district, attracting even more otakus.These establishments range from
conventional shops selling otaku paraphenilia (DVDs, manga comics,character
figurines) to rental showcases shops.
An Otakus vision for Akihabara district (photo montage).
Source: http://postbubbleculture.blogs.wm.edu/files/2010/08/Akihabara_Rail.jpg

79

edisi #9: Komunitas

80

The aesthetics of these internal spaces and gradually of Akihabara streetscape


also began to mimic the aesthetics of an otaku room. Morikawa added, Akihabara
has come to be more an extension of private space, an otaku rooms blown up
into the city. 17 A prime example of this is the iconic Radio Kaikan building, the
barometer for changing trends in Akihabara18 with its seven floors dedicated to
different aspects of otaku fetishes. 19 Akihabaras own (mini) version of Delirious
New Yorks Downtown Athletic Club. 20
In his Venturi referencing Learning from Akihabara, Morikawa observed; The
facades became filled with otaku icons, as well as the skyline .21 He also referred
to the architecture of Akihabara as the architecture of otaku taste. 22 The growth
of the otaku community was reflected in the aesthetics of the entire Akihabara
district, leading to the whole area becoming a veritable otaku theme park;
plastered with posters of cute anime characters and dotted with maid cafs,
where young women dress up as fantasy maid characters. 23

ruang | kreativitas tanpa batas

Left: An Otakus daily routine. Nazmi, Kim, Tu


Right: From the screen to the city. Nazmi, Kim,

What essentially happened in Akihabara is a phenomenon where a subculture,


linked through virtual communities, crystallized themselves in physical space,
eventually shaping the character of a city district. The physical as the second life
of the virtual.
Where a city in the traditional sense acquires character and identity through
the accumulation of history, the identity of Akihabara is a literal representation
of the tastes, fetishes and aesthetic preferences of its inhabitants, which gained
momentum in virtual communities. The constant shifts in otaku tastes also means
that the aesthetics of Akihabara is constantly evolving, like a stage set, perhaps
in itself a fitting tribute to the spontaneous and ephemeral nature of a physical
manifestation of a virtual community.

81

edisi #9: Komunitas

A typical cross section throu

EPILOGUE:
VIRTUAL COMMUNITIES AND THE CITY
82

Discourses related to the place of the community in the city is more often than
not tinted with a sense of nostalgia and loss as summarized by Harold DeRienzo
in The Concepts of community: Lessons from the Bronx (2008); There may be
little room for community in this global political economy, where society values
consumption, mobility, and the concentration of wealth, and where the rewards
of society are geared towards individual achievement. 25 What is implied by
DeRienzo is the incompatibility between the climate and culture of consumerism
in cities to the construct of communities. How then could we interpret the
community of otaku in Akihabara as a form of community within the city?

ruang | kreativitas tanpa batas

By looking at the embrace of extreme consumption as one


of the underlying trait of otaku subculture, the relationship
between their community and the city could be established.
The simple logic is that communities based on consumption
(to whatever extent) would be able to form in and be a part
of the consumerist landscape of cities. At the same time, the
subcultural nature of the community provides a barrier against
total assimilation with the larger mainstream consumer system.
The virtual and physical is also not mutual, but interlinked and
interdependent since the physical maintains its relevance as
a platform for expression due to the ubiquity of the virtual.

ugh Akihabara. Nazmi, Kim, Tu

The novelist William Gibson, who coined the term


cyberspace, observed that Japan is the global imaginations
default setting for the future.27 If the curious case of Akihabara
could be defined as such, it is interesting to imagine that
through virtual communities, other subcultures, in other parts
of the world would be able to mobilize and form physical
communities within cities. For various economic reasons28,
cities would continue to benefit from the latest developments
in IT infrastructure, making them the perfect platform for
the crystallization of new forms of alternative communities,
fostered in the virtual domain. What this could possibly lead
to are a totally new ways in which the characteristics and
identities of our cities are shaped in the future, by communities
empowered through the Internet. While this projection would
greatly benefit from further exploration of the subject matter,
we can be assured that the second life of communities has
only just begun.

references:
1. Howard Rheingold , The Virtual Community (AddisonWesley, 1993):p.5.
2. Ibid
3. Linda Carroli, Virtual Encounters: Community or
Collaboration on the Internet Leonardo, Vol. 30, No. 5
(1997): p.359.
4. Elizabeth Grosz, Cyberspace, Virtuality ans the
Real Some Architectural Reflections in Architecture
from the Outside: Essays on Virtual and Real Space by
Elizabeth Grosz (Cambridge: MIT Press, 2001):p.80.
5. Ibid.,p.81.
6. Kaichiro Morikawa, Learning from Akihabara: The
Birth of A Personapolis Wissenschaftliches Kolloquium,
Volume 19 Number 22 (2007): p.123.
7. Ibid., p.124.
8. William M. Tsutsui, Nerd Nation: Otaku and Youth
Subcultures in Contemporary Japan Education About
Asia, Volume 13 Number 3 (2008): p.14.
9. Ito, Fandom Unbound, p.xiv.
10. Morikawa, Learning from Akihabara: The Birth of
A Personapolis
11. Ibid
12. Rem Koolhaas Definitive Instability: The Downtown
Atheltic Club in Rem Koolhaas, Delirious New York: A
Retroactive Manifesto for Manhattan New ed. (New
York: Monacelli Press,1994):152-159

13. Morikawa, Learning from Akihabara, p.124.


14. Ito, Fandom Unbound, p.xxiv.
15. Ibid
16 Morikawa, Learning from Akihabara: The Birth of A
Personapolis
17 Morikawa, Learning from Akihabara, p.124.
18 Patrick Galbraith, Akiba on the Run Metropolis (Japan)
(February 2008):p.15.
19 Nabuoka, User Innovation , p.212
20 Rem Koolhaas Definitive Instability: The Downtown Atheltic
Club in Rem Koolhaas, Delirious New York: A Retroactive
Manifesto for Manhattan New ed. (New York: Monacelli
Press,1994):152-159
21 Morikawa, Learning from Akihabara, p.124.
22 Ito, Fandom Unbound, p.xxiv.
23 Ibid.
25 Harold DeRienzo,. The Concepts of community: Lessons from
the Bronx. (Vimodrone: IPOC di Pietro Condemi, 2008),p.223.
27 Tsutsui, Nerd Nation, p.17.
28 Saskia Sassen, Locating Cities on Global Circuits in Global
Networks, Linked Citie, edited by Saskia Sassen (New York:
Routledge, 2002):p.1-34.

83

What this could


possibly lead to
are a totally new
ways in which the
characteristics and
identities of our
cities are shaped
in the future, by
communities
empowered through
the Internet.
Ahmad Nazmi, Dam Hee Kim, Ya Han Tu

TRACES
by Insan Kamil Muhammad

ESSAY
ENGLISH
Architecture and Kampong,
Community Traces, Local
Intelligence

Disaster often becomes a reason to form a


community. However, the communities living
in informal settlements that vulnerable to
disasters are highly adaptive to the changes in
the surrounding environment. They develop a
local intelligence to deal with the problems in
daily life.

edisi #9: Komunitas

When did I hear the word community?


I do not remember. But, what I do remember
is how it sounds.Wholesome, familial and
conveying a sense of belonging. In other words,
it sounds good!
In the absence of a greater narrative and
direction in the act of doing (and the act of
designing), the idea of community seems to
answer the missing why .
But why must it be?

86

ruang | kreativitas tanpa batas

In his book Sociology: A Brief but Critical Introduction (1983), Giddens


recalled Tnnies (1887) on distinguishing elements between community
(Gemeinschaft) and association (Gesellschaft). While the former denotes
cohesiveness dominated by spontaneous self-expression, the latter brings
impersonal yet instrumental social relationship. Any group of people may belong
to one, and the individuals within may form another bond with another set of
groups. But the distinctive quality of community is the sense of purposefulness
that reflects a common basic (or even instinctual?) unity of will an implicit
endorsement of individual diversity within a set of group.
Disasters often become a point in time when people find their commonalities
to overcome the disaster itself and to rebuild their community. To put it simply,
their (the article will unfolds how problematic the word they is) desire to
rebuild is a shared aspiration that bonds the individuals. However, where
and how they take their aspiration is another matters, but the genuineity of
purposefulness is there, and thus the sense of community is born.
The above mentioned argument was clearly proven in Bukit Duri and Kampung
Pulo during the massive flood in the late 2013 in Jakarta. I took the opportunity
Satellite view of the flooded area in Bukit Duri and Kampung Pulo.
(Map adapted from Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2013)

87

edisi #9: Komunitas

88

Diagram of food and aid delivery into Bukit Duri.


(Source: Kamil, 2014)

ruang | kreativitas tanpa batas

to volunteer in logistics distribution in the area. And the event unfolds. On


that day, the area along the main road of Jl. Jatinegara is surrounded by people
from media, long stretch of ad-hoc emergency evacuation points and public
kitchens (among them are associated to political parties). The formation was
located outside the actual flood site. Yet, it relays an image of a disastrous
environmental effect, as well as peoples reaction to it that, unfortunately
but rightly, befalls upon unified bodies of the helpless, needy and powerless.
However, this is far from the truth.
There were numerous impressive attempts to mitigate the disaster from within,
particularly the efforts by Ciliwung Merdeka (for which I volunteered). Although
their roles were quite ambiguous, yet the sense of leadership was present.
Volunteers are freely partakes in any role that motivates him/her. Fortunately, it
was not a chaos, in fact, it is applied quite evenly throughout the volunteers. It is
also coupled with pro-active involvement of many of Bukit Duri and Kampung
Pulo young people who are well versed in their areas. It somehow resembled
what Orwell wrote in his book Homage to Catalonia (1938) that revolutionary
discipline depends on political consciousness an understanding of why orders
must be obeyed.
At the spatial level, as commonly seen in informal settlements, Bukit Duri and
Kampung Pulo settlements are highly adaptive. One particular local intelligent
is the use long stretch of ropes tied connecting different houses at different
levels and zigzagging along the street. The rope serves two practical purposes.
First, its purpose during major floods. The water level often rise to up to 3
meters off the street, which submerges all single storey houses and left only
the upper floors. The rope acts as a guide to help the rescue boat to deliver
food and emergency kits to people who are trapped in the upper floors of their
houses. Moreover, it helps to define the structure of the built environment. It is
crucial for people who are not familiar with the area that may find difficulties to
discern the environment, especially during the night due to the extremely low
availability of street lamps. Thus, it is not a coincidence that the rope is bright
red in colour. Additionally, it also helps to maintain stability against the water
current. The second practical purpose is as a collective clothes hanger to dry
when the flood subsides. Thus, the presence of the rope is increasing already

89

edisi #9: Komunitas

The red rope traversing above the street.


(Source: Kamil, 2014)

90

intensified community togetherness on the street.


It was perhaps an ad hoc decision an improvisation to brace for what has
become a routine. Ad hocism described as the tendency to establish temporary
and improvisational procedures to deal with specific problems. It is a common
framework in spatial expansion within informal settlements context. In Bukit
Duri and Kampung Pulo, the street appears to be the generator of activities.
The river is less so. The scale and interfaces of the houses reflect the fluctuating
street intensity. No structures towers the street, and the combination of upper
floors (balcony) and lower level (front porch) activities creates a volumetric
inter-relationship that fills the public space. The amalgamation of different ideas
without a particular aesthetic direction characterise the area. It is a layer upon
layer of intervention, a process of continual addition and erasure. A palimpsest.

ruang | kreativitas tanpa batas

Typology of street and river interfaces in Bukit Duri and Kampung Pulo.
(Source: Kamil, 2014)

There is a highly functional order in what appears to be chaos.


And here lies the difficulty: how does one design for community? My problematic
use of the word they earlier signifies detachment. Communities are certainly
of many types, and the above is just one example. But the point is that design
arises out of a common understanding and purpose of why certain things must
be done, hence its potential result in an aesthetic of patchwork. It is worth
comparing this briefly, though, to the development of Modernism that has
dogmatically pervades the design discourse: the singularity of authorship that
results in fixed aesthetic and spatiality. If one is about the individual genius,
the other is about the collective agency. If one sees a client, the other sees
stakeholders. The aesthetic is one thing. By just looking at the flood, the missing
why in the first question is to reveal that community is no longer a singular
entity to design for, but a living condition comprised of a diverse set of networks

91

edisi #9: Komunitas

92

ruang | kreativitas tanpa batas

93

A street view of Bukit Duri. (Source: Kamil, 2014)

There were numerous


impressive attempts
to mitigate the
disaster from within,
particularly the efforts
by Ciliwung Merdeka.
Although their roles
were quite ambiguous,
yet the sense of
leadership was
present.
Kamil Muhammad
Kamil Muhammad

Secangkir Teh Bersama


Johan Silas : Peran Bisnis
dan Komunitas untuk Kota
oleh Yusni Aziz

WAWANCARA
INDONESIA
Kampung, Kota, Perencanaan
Partisipatif, Arsitektur

Johan Silas, penggagas KIP (Kampung Improvement


Program) dan peraih Habitat Scroll of Honour dari
UN Habitat, memberikan perspektifnya bagaimana
kepentingan bisnis dan komunitas harus saling bersinergi untuk kemaslahatan masyarakat kota.

edisi #9: Komunitas

96

Ia duduk tenang di kursi kayu berlapis


kulit itu. Di ruang tamu yang penuh
cinderamata
dan
penghargaan
perjuangannya. Matanya memandang
tegas. Posturnya masih tegap untuk
orang seusianya. Sesaat ia terhiraukan
oleh perempuan muda berparas indo
yang datang membawa teh untuk
kami. Terima kasih, ujarnya. Lalu
kami melanjutkan pembicaraan.

Namanya Johan Silas, salah satu tokoh


arsitektur Indonesia yang aktif di bidang
permukiman dan kota. Di tahun 2005,
Ia memperoleh penghargaan Habitat
Scroll of Honour dari UN Habitat
atas kiprahnya selama bertahuntahun dalam menyediakan rumah
yang terjangkau untuk kaum miskin.
Ia termasuk salah satu pencetus KIP
(Kampung Improvement Program) dan
juga aktif dalam rekonstruksi paska
gempa dan tsunami di Aceh dan Nias.

ruang | kreativitas tanpa batas

Y: Menurut bapak, untuk apa


dan siapa profesi arsitek dan
arsitektur itu sendiri?

JS: Jika dilihat dari proses perkembangan,


arsitektur itu kan sebenarnya karya
masyarakat. Sebagai contoh, mari
kita lihat arsitektur tradisional. Ada
pemimpin dalam pengerjaan arsitektur
tradisional, misalnya ada undagi di Bali.
Mereka hadir bukan sebagai ahli ilmu
pengetahuan, melainkan ahli dalam
menjaga aturan-aturan adat yang sudah
ada.
Arsitektur tradisional itu dimulai dari
sebuah keinginan. Setelah ada keinginan
biasanya mereka mulai mengumpulkan
resourcesdari sekitar daerah tinggalnya.
Dari situ kemudian mereka membentuk
bangunan yang menurut mereka sedang
diperlukan waktu itu.

Johan Silas menyambut saya di kediaman pribadinya.


Yusni Aziz

Lampu hijau menyala ketika saya


utarakan ajakan berbincang untuk
mengisi RUANG edisi Komunitas.
Akhirnya siang itu, ia menyambut saya
di kediamannya yang hangat. Dalam
tutur kata yang lembut, ia membagi
ilmu dan pengalamannya dengan
cuma-cuma. Yang didalamnya banyak
tersirat harapan untuk generasi muda
Indonesia.

Pasti terjadi banyak kegagalan.Tapi


dari sini mereka mencari penyebab
dan berusaha menghindari kegagalan
berikutnya. Nah, pengalaman inilah yang
menjadi dasar terbentuknya aturan. Pada
saat itu belum ada pendekatan rasional
dan filosofis, maka aturan tersebut
selalu dikaitkan dengan kepercayaan.
Keterkaitan dengan budaya dan agama
ini juga membuat aturan yang sudah
baik itu tidak mudah dilanggar.
Namun, tidak berarti arsitektur
tradisional itu beku. Setiap kali proses
berulang, selalu ada tambahan baru dan
peluang untuk dikembangkan. Arsitektur
mengikuti keadaan dan kepentingan
hidup manusia.
Saya kira arsitektur muncul sebagai
ilmu pada saat renaissance. Era itu

97

edisi #9: Komunitas

menyebabkan orang mulai berpikir


dan melakukan rasionalisasi. Dari
situ kemudian ilmu pengetahuan,
termasuk arsitektur, lepas dari ikatan
agama dan budaya. Jadi pada dasarnya
arsitektur itu adalah sebuah produk
untuk memenuhi keinginan manusia
yang bersifat budaya. Saat budaya
berkembang, arsitektur berkembang.
Tapi kemudian dalam perjalanannya
arsitektur dan budaya ditarik dan
dikaitkan oleh agama dan kekuasaan.
Inilah yang kemudian melahirkan
arsitektur yang terlepas dari harkatnya
yaitu masyarakat. Lalu akhirnya timbul
dua aliran arsitektur, yaitu yang terlepas
harkat dan menjadi bidang kerja
keprofesian arsitek dan arsitektur yang
masih dikerjakan masyarakat sendiri.

Kalau kita memang memahami ide


backlog, apa yang akan kita lihat? Di
terminal bus numpuk orang, di stasiun
kereta api numpuk orang, itu backlog. Tapi
itu kan harus diselesaikan, dan sekarang
sudah tidak ada lagi penumpukan di
terminal bus, stasiun kereta api, atau
bandara. Jadi konsep backlog itu salah
kaprah atau sengaja tidak dimengerti
untuk kepentingan tertentu.
Tapi itu adalah hakikat di lapangan, dan
tinggal individu lebih cenderung kemana.
Kecenderungan pada yang punya modal
atau dia ingin dekat dengan masyarakat
untuk membangkitkan mereka.

Seperti di Surabaya, kampung-kampung


bahkan bisa lebih bagus dari yang
disebut low cost housing-nya pemerintah.
Jadi artinya masyarakat itu sebetulnya
Pertanyaan yang mungkin menarik punya potensi, dan mereka tidak perlu
itu jika mau berbicara arsitektur, yang menunggu bantuan pemerintah.
mana?

98

Kata arsitektur juga muncul tadi karena


pemisahan, dari proses semula yang
ada di masyarakat menjadi proses di
kalangan elit. Sah-sah saja jika ada dua
aliran. Ini ada di semua bidang, misalnya
perumahan.
Banyak
statement
mengenai perumahan yang sebenarnya
adalah bukan perumahan yang dimiliki
masyarakat. Di Indonesia, saya kira
sekitar 80-85% rumah yang digunakan
masyarakat hadir tanpa pelayanan
seorang arsitek. Munculnya ide housing
backlog itu berangkat dari anggapan
bahwa rumah itu yang benar adalah
yang buatan swasta, bukan dibuat oleh
masyarakat. Padahal 85% rumah yang
ada adalah dari masyarakat.

Y:
Tapi
menurut
bapak,
apakah seorang arsitek harus
menyeimbangkan diri untuk aktif
dalam kedua aliran tersebut?

JS: Saya kira penyeimbang itu adalah


pasar. Misalnya sekarang pasar bergeser
menuju ke bagian high end dan middle
class, karena munculnya the new middle
class menunjukkan sebuah kekuatan
baru. Sebagai illustrasi adalah budget
airlines seperti Air Asia. Meskipun
pesawatnya jenis terbaru, tetapi yang
dilayani adalah rakyat kecil. Handphone
sekarang juga bukan milik kelompok atas
saja. Di sini menurut saya letak asli arsitek
itu, customer-nya tidak hanya kelas atas
tapi juga kelas menengah kebawah. Kita
mau melihat dunia ini dalam kacamata

ruang | kreativitas tanpa batas

99

Menurut Johan Silas, sekitar 80-85% rumah


di Indonesia hadir tanpa pelayanan arsitek.
Christopher Little

edisi #9: Komunitas

yang sempit atau melihat dunia ini


dalam sebuah perspektif yang luas
dengan berbagai warna.
Y: Sebagai contoh, Shigeru Ban
adalah pemenang Pritzker Prize
yang berpraktik secara komersil
tapi juga menjalankan proyek
kemanusiaan. Menurut bapak
apakah arsitek komersial harus
memiliki misi sosial seperti ini?

JS: Saya melihatnya agak sulit, kecuali


jika yang dilakukan benar-benar
berpihak ke masyarakat. Banyak yang
menggunakan - teknologi bangunan
terbaru dan tercanggih, namun tidak
memiliki perhatian terhadap masalah
masyarakat.
Jika kita harus melayani rakyat kecil,
tidak harus dengan pola pikir kasihan.
Mereka tidak minta dikasihani. Mereka
minta diberi kesempatan yang sama
seperti semua, buktinya mereka bisa
bangkit sendiri.

100

Jadi menurut saya, seorang arsitek


sebaiknya memilih. Tetapi tidak dengan
anggapan bahwa saya adalah arsitek
besar, maka saya merasa kasihan. Kita
bisa melayani rakyat kecil secara bisnis,
contohnya Air Asia itu tadi.
Jadi jika saya melihat ada aliran-aliran, ini
masih belum nampak dalam pelayanan
arsitektur. Sekarang kondisi sudah
sangat berkembang, dan membentuk
ide yang hanya dimengerti oleh arsitek
sendiri sudah bukan masanya. Jadi saya
setuju sekali jika anda mengatakan
bahwa RUANG diusahakan sebanyak
mungkin orang bisa men-download,
untuk
memperluas
kesempatan
membacanya.
Sedikit berbicara tentang konservasi,
semua bangunan cagar budaya sudah
menjadi milik kita, termasuk bangunan
belanda. Like it or not itu adalah sejarah.
Tapi kita juga harus forward looking. Saya
sering mengkritik, apakah Gubernur
JawaTimur masih harus tinggal di rumah

ruang | kreativitas tanpa batas

yang dibangun Daendels? Di mana


untuk membangun itu dia membakar
dan merusak Keraton Surabaya. Dia
ingin menghilangkan kekuasaan Jawa,
dengan menghilangkan simbol. Kenapa
tidak membangun kantor atau rumah
karya anak bangsa, kemudian bangunan
itu jadi museum saja?

sebenarnya media.

JS: Iya. Kita bisa belajar dari Steve Jobs,


Microsoft, atau Air Asia yang bisa
merubah trend. Masalahnya tinggal
mau dan berani tidak? RUANG berani
tidak keluar dari keterikatan seperti
itu? Sebagai arsitek yang katanya
mengampu budaya, apa kita hanya mau
Kita merdeka. Kenapa kita masih menjadi kaya tetapi tidak peduli?
memakai simbol penjajahan itu?
Baiknya kita meneruskan cita-cita Kenapa tidak seperti Air Asia yang
kemerdekaan, bukan kepentingan dan memiliki pesawat paling modern tetapi
keinginan sejarah Belanda. Kembali lagi menyesuaikan pelayanannya kepada
disini peranan arsitek sebaiknya ada semua lapisan masyarakat. Make them
unsur nasionalisme yang perlu kita happy.
bangun. Lihat saja perumahan mewah
di sekitar surabaya yang bergaya Tidak benar jika kita meninggalkan
klasik, dan sebagainya. Itu bukan 100% laba maka kita akan gagal. Lihat
salahnya arsitek, tetapi dia mengikuti saja Steve Jobs yang memberontak
keinginan owner. Namun kita sebagai akhirnya dipecat, tapi ujung-ujungnya
arsitek, demi laba tetap dikerjakan saja. memang dia yang benar. Jika dia tidak
memutuskan untuk membongkar
Y: Tapi bukankah owner hanya Apple yang dulu, kita tidak akan punya
mengikuti yang digalakkan oleh - Apple yang sekarang. Perombakanmedia, Pak? Jadi akar penentunya perombakan itu yang harus dilakukan

101

Rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Wikipedia

edisi #9: Komunitas

di bidang arsitektur.
Jika Garuda itu isinya business class
semua tanpa economy, akan bangkrut
dia. Sebaliknya jika kita melayani
economy class tanpa business bisa
tetap untung, seperti Lion Air atau Air
Asia. Disana adalah kesempatan kita
untuk membantu middle class menjadi
bermutu, kuat dan maju. Bukan hanya
ngurusin desain bergaya aneh-aneh
itu. Misalnya ada rumah yang seperti
dari jaman kaisar Nero, untuk apa?
Kenapa tidak baju dan kendaraannya
sekalian? Seperti ada split personality,
apakah arsitek mau menjadi seperti
itu? Harusnya kan tidak.

bayar yang aneh-aneh dan ekstra. Jika


kembali ke middle class, restoran besar
di Surabaya banyak yang asalnya dari
Pedagang Kaki Lima (PKL). Mereka
bisa berdiri sendiri. Mereka kan tidak
jual steak, tidak jual pasta, hanya soto
lamongan, pecel madiun, dan laku. Kelas
menengah seperti itu banyak. Tetapi dia
tidak bisa dipaksa disuruh bayar yang dia
tidak merasakan.

Y: Jadi sebetulnya sektor informal


seperti PKL itu dibutuhkan oleh
kota.
Karena
pembangunan
kota sangatlah formal, dengan
gencarnya perumahan swasta atau
bangunan mixed use. Pemerintah
seakan masih belum melihat
pentingnya sektor ini. Bagaiman
Y: Kemudian untuk perencanaan menurut bapak?
partisipasi
yang
melibatkan
masyarakat, bagaimana dengan
JS: Sebenarnya jika ditinjau kembali,
konteks Indonesia? Apakah kita
sudah cukup melek untuk itu dan sektor-sektor itu tidak semuanya
kalau dituruti apakah mereka informal. Kampung itu tidak dibuat
tanpa perencanaan, buktinya ada jalan
cenderung meminta lebih?

102

JS: Sebetulnya tidak juga. Misalnya di


Nias mereka bisa mengikuti target
kita dalam setahun anggaran, jadi
harus selesai pembangunannya. Meski
rumah adat yang besar itu tidak bisa
100% selesai, dan itu tugas mereka
sendiri untuk menyelesaikan. Menurut
saya yang penting kita percaya bahwa
mereka bisa mendesain. Di Nias,
bantuan kita hanya 65 juta meskipun
saya tahu bahwa rumah itu akan
memakan lebih dari 100 juta. Mereka
sadar dan mereka juga menyiapkan
rencana kerja. Akhirnya semua juga
bisa selesai sesuai jadwal.

dan sebagainya. Kampung itu juga tidak


dibuat tanpa izin bangunan, meski hanya
izin masyarakat. Jika bikin rumah, apa
berani jika tidak selametan? Selametan
itu kan meminta persetujuan tetangga.
Jika mereka tidak setuju, mereka tidak
datang, dan sebaliknya. Itu kan sama.
Y: Bagaimana dengan formalitas
yang terkait dengan birokrasi?

JS: Yang harus dirubah ya birokrasinya,


bukan orangnya. Seperti perumahan
80% dari rakyat yang tadi harus diwadahi
pemerintah.
Pada
kenyataannya
penambahan itu tidak ada, jadi kita
anggap backlog. Angka yang dipakai
Sama seperti Air Asia, jika tidak bawa media pun masih angka lama, yang
bagasi kenapa bayar bagasi, jika tidak masih tidak masuk akal. Misalnya hari ini
makan kenapa bayar, jadi jangan backlog-nya 7 juta, seminggu kemudian

ruang | kreativitas tanpa batas

Diskusi bersama warga dalam program Musrenbang. Solokotakita

15 juta.Tetapi tidak ada yang melakukan juga punya di Surabaya. Anda bisa hadir
cek dimana itu 7 atau 15 juta berasal. langsung atau melalui online. Jadi kota
menyediakan anggaran yang bisa dikelola
Kemudian arsitek itu juga harus berani masyarakat melalui program ini. Surabaya
blusukan. Anda tidak bisa jadi arsitek sudah lama punya dan menganggarkan
hanya tinggal di ruang kelas. Anda sekitar 750 juta per kelurahan. Program
harus mengerti di mana dan apa yang ini bagus, cuma di banyak tempat seakan
diinginkan oleh masyarakat. Mereka hanya menjadi formalitas saja. Di sini
yang tinggal di perkampungan itu jenius musrenbang-nya sudah dikemas dan
karena masih tetap bisa survive meski diawasi ketat pemerintah kota. Sehingga
dalam tekanan atau ancaman. Jokowi mereka juga menjadi pelancar kegiatan.
juga sudah melakukan blusukan, dan
makin serius seperti walikota Surabaya. Kemudian mengenai PKL tadi, mereka itu
Blusukan itu untuk silaturahmi. Dari penting. Di Surabaya sudah ada sekitar
tiap blusukan itu dia bisa tahu siapa 30 cluster PKL. Jika mereka PKL makanan
rakyatnya.
maka diletakkan dekat keramaian, tetapi
jika bukan PKL makanan ada di dekat
Y: Mengenai Jokowi, menurut tempat parkir. Jadi sebetulnya Surabaya
bapak program Musyawarah sudah berbuat banyak, tetapi kita tidak
Perencanaan
Pembangunan gila publikasi.
(MUSRENBANG)[1] Solo Kota
Kita itu apa sudah baik atau
Y: Sepertinya Surabaya juga
perlu diperbaiki ?
memiliki potensi kampung yang
baik
namun
seperti
kurang
JS: MUSRENBANG ini bagus, kita dipublikasikan. Kenapa seperti itu?

103

edisi #9: Komunitas

Salah satu sudut kampung Peneleh,


Surabaya. @Yusni Aziz

104

JS: Ya silakan saja, kita open kok. Namun


jika kita harus membayar publikasi
tersebut seperti Jokowi, ya jangan.
Jangankan publikasi, pasang foto saja
bu Risma tidak mau. Coba keliling
Surabaya, di mana fotonya? Mungkin di
kampung karena ada inisiatif warga. Jika
kota ingin mempublikasikan kan tentu
tidak gratis. Dan sebetulnya sudah
ada beberapa media yang meliput
Surabaya dan walikotanya.
Y: Kembali ke MUSRENBANG,
berarti program ini sangat
diperlukan oleh kota?

JS: Menurut saya itu perlu sekali. Saya


ambil contoh Surabaya. Di kota ini,

perencanaannya sudah sampai RT


RW. Jadi benar-benar hingga ke layer
terbawah. Permasalahannya biasanya
di definisi structure plan yang akan
dibuat itu. Apa mungkin plan ini hanya
menyangkut unsur utama dari kota?
Menurut saya, ketika struktur kota
hanya mengatur hal-hal yang penting,
infill-nya harus fleksibel. Karena kita
tidak bisa memprediksikan masa
depan, maka sebaiknya setiap 5 tahun
infill boleh berubah. Tetapi struktur
utama seperti jalan, saluran, bentuk
kota harus tetap. Sebetulnya di masa
depan, kota Indonesia baiknya menjadi
seperti kota-kota Jepang.
Y: Kenapa harus Jepang?

ruang | kreativitas tanpa batas

JS: Karena di Jepang budaya lokal dan


lifestyle global masih bisa tetap eksis
bersama. Tempat sesajen masih ada,
meskipun yang dahulu menggunakan
makanan segar sekarang diganti
makanan kaleng. Master bedroom masih
menggunakan tatami, meski dapur,
kamar mandi atau kamar anak sudah
modern. Esensi itu yang harus kita
pakai. Yang berubah adalah teknologi.

dan kota itu saling membutuhkan. Di


kampung, orang dari luar kota mulai
membangun kehidupannya. Tentu ada
yang gagal, tapi banyak juga yang berhasil.

Kita perlu kampung. Karena masih ada


orang miskin yang ingin mengembangkan
diri. Tapi apakah kita perlu membentuk
kampung baru? Menurut saya tidak.
Kampung itu dibentuk masyarakat
sendiri. Jika mereka merasa perlu maka
Mereka juga kaya sekali, namun mereka akan berusaha lagi.
apakahnya rumahnya mewah-mewah
dan bertingkat? Enggak. Indonesia Jika kembali ke Jepang, di Kyoto
kedepan harus seperti itu. Belajar saja kampung-kampungnya masih sangat
dari Jepang.
dijaga. Budaya kekeluargaan di dalam
kampung pun masih ada. Sekarang saya
Y: Jadi disini apakah peranan tanya, bagaimana budaya suatu kota bisa
arsitek menjadi penting juga didapat dari real estate?
untuk mengarahkan visi kota
kedepan pak?

Yang membuat budaya kota itu kan


kampung. Jika tidak ada kampung, siapa
JS: Pasti. Jadi pengetahuan itu akan yang memutuskan budaya kotanya.
dibawa oleh arsitek. Tetapi arsitek tidak Jadi menurut saya, selama masyarakat
menganggap dia yang paling tahu, dia masih memerlukan kampung, adalah
masih perlu masyarakat.
tugas pemerintah untuk menjaga dan
memperbaiki kampung tersebut.
Y: Jadi sebetulnya arsitek dan
arsitektur
bisa
membantu
mengarahkan
masa
depan
dan budaya. Mengenai budaya
sendiri, gotong royong yang
sudah mengakar di kita berasal
dari kampung. Tapi kampung
seakan stagnan, tidak tumbuh
lagi. Apakah menurut bapak kita
memerlukan kampung baru atau
bagaimana?

JS: Sekarang di Surabaya kampung sudah


jauh lebih bagus dan berkembang,
bahkan lebih bagus dari perumahan
swasta. Kampung akhirnya tidak sesuai
dengan istilah kampungan yang dulu
suka digaungkan. Kemudian kampung

Surabaya bisa maju dan kampungnya


masih banyak. Bahkan kampung di kota
menjadi cagar budaya, termasuk namanya.
Anda tidak boleh mengubah nama
kampung. Berbeda seperti Yogya, dimana
nama-nama tradisional dihilangkan.
Itulah warna khas dari kota-kota kita.
Coba kita lihat kota-kota baru, seperti
Alam Sutera, BSD. Apakah bisa bertemu
budaya Betawi? Tidak ada. Di sini pelaku
tari remo, reog masih ada di kampungkampung. Itu yang memberi ciri khas,
tanpa itu tidak akan bisa bersaing. Hanya
akan menjadi kota yang generik.

105

KOMUNITAS VOL

RE

LUME 2

EFLEKSI

edisi #9: Komunitas

108

RUANG
KREATIVITAS TANPA BATAS
2014

Anda mungkin juga menyukai