RUANG
KOMUNITAS VOL. 2
R E F L E K S I
RUANG
PEMBUKA
Setiap individu terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang dikenal dengan nama komunitas. Secara
eksplisit maupun implisit; ilmu, budaya, dan cara hidup sebuah komunitas akan tercetak dalam diri individu.
Komunitas terbentuk dari kesamaan latar belakang dan visi untuk mencapai tujuan bersama, dengan
bergerak cepat dari bawah ke atas, kadang memangkas jalur birokrasi hirarkis yang berbelit. Kemudian,
dialektik ruang maya kini hadir; memecah dan membentuk komunitas pada saat yang bersamaan.
Individualisme meningkat, masyarakat makin acuh tak acuh dengan sekelilingnya. Di sisi lain, berkatnya,
pembentukan komunitas tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.
Dalam Ruang edisi 9 kategori Refleksi, kami menyuguhkan serangkaian upaya para akademisi, praktisi,
pengamat, maupun mereka yang berada di tengah-tengah komunitas untuk memaknai kembali apa
yang selama ini mereka catat, rekam, dan rasakan. Sembilan artikel yang akan kami terbitkan sepanjang
bulan November ini akan mengantar kita untuk tidak hanya berpikir kembali, tetapi juga mengalami
lebih dalam melalui sudut pandang tiap kontributor akan tantangan yang dihadapi komunitas dalam
pemahaman mereka.
Yusni Aziz dalam artikelnya Di Balik Pintu Surga Persia yang dimuat di koran Tempo
mengawali wacana dengan pengalamannya mengamati fenomena yang ia amati pada masyarakat
Persia dari sebuah bangunan arsitektural khas timur tengah: masjid. Kemudian Robert Dujmovic
mewacanakan hal serupa dalam pengamatannya tentang Architecture and Community,
menitikberatkan hubungan sebab-akibat antara keduanya. Sementara Yoppy Pieter memberi
suguhan esai foto bertajuk Teater Tribal Bumi Takpala tentang suasana kampung tribal di
Alor, dan dinamika di dalam komunitas mereka di tengah arus modernitas. Di artikel Arsitektur
Rizoma, Andreas Fitrianto membahas seluk-beluk arsitektur akar-rumput dengan pemaknaan
dan pengemasan yang unik. Lalu Sigit Kusumawijaya menjabarkan perkembangan ruang publik
di dunia maya sebagai wadah baru yang membentuk komunitas-komunitas dalam kategori sosialbudaya tertentu di artikel Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya di dalam
Menciptakan Ruang Publik. Ivan Nasution memberikan gambaran komunitas pendatang
di negeri asing yang mengokupasi ruang publik dalam jumlah besar sehingga menimbulkan sebuah
fenomena dan menghadirkan karakter ruang yang baru, dalam esai foto Minggu Pagi di Victoria
Park: Sebuah Fenomena Eksklusi dan Inklusi. Pengamatan lebih lanjut tentang tarikmenarik komunitas di antara ruang publik maya dan fisik dengan studi kasus di Jepang dilakukan oleh
Dam Hee Kim, Ya Han Tu, dan Ahmad Nazmi dalam artikel From Cyberspace to
Cityscape: Virtual Communities and the City. Yusni Aziz berupaya mendapat jawaban
akan pertanyaan mengenai peranan arsitek dalam komunitas pada Wawancara dengan Johan
Silas. Di akhir wacana, Kamil Muhammad menutup volume kedua edisi Komunitas ini dengan
artikel Traces, berisi pemikirannya seputar komunitas dalam pengalamannya menjadi sukarelawan di
komunitas Ciliwung Merdeka.
Kami berharap serangkaian artikel di atas akan membawa kita semua untuk merefleksikan dan
meredefinisi pemahaman tentang komunitas dengan lebih bijak, bagaimanapun istilah tersebut
dimaknai dalam setiap konteks yang disuguhkan oleh setiap kontributor. Karena pada akhirnya, setiap
kita terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang merepresentasikan ilmu, budaya, dan cara hidup
tertentu (dan terkadang, kontradiktif satu dan yang lain) dalam setiap gerak-gerik. Hingga kembali ke diri
kitalah, kompromi antara apa yang kita pahami dan apa yang selama ini melatarbelakangi kehidupan kita
harus diputuskan.
Selamat menikmati Ruang!
ISI
vol.2: Refleksi
19
29
41
Arsitektur Rizoma
53
Ruang Publik
Sigit Kusumawijaya
65
73
85
Traces
95
Yusni Aziz.
K O N T R I B U T O R
1. YOPPY PIETER
Based
in
Jakarta,
Indonesia. Yoppy
Pieter
is a photographer who
documents social issues and
travel. His interests led him
to work as an advertising
coordinator at a travel
magazine in 2004.Three years
later he began to pursue
photography as a medium to
channel his passion. He took
some photography training
in
PannaFoto
Institute,
Permata
Photojournalist
Grant, and the Angkor
Photo Workshop. Since
2010, he has been working
as freelance photographer
and also a travel writer. His
works are published in www.
yoppycture.com
5. YA HAN TU
2. YUSNI AZIZ
Alumnus
dari
doubledegree bachelor program
kerjasama antara ITS dan
Saxion
Hogeschool
of
Applied Sciences. Kemudian
menyelesaikan
riset
di
Berlage Institute pada tahun
2013. Saat ini menjadi
pengajar di UPH, peneliti di
RAW dan manager OMAH
library.
6.ANDREA FITRIANTO
3. IVAN NASUTION
5. AHMAD NAZMI
8.SIGIT KUSUMAWIJAYA
NARASUMBER
11. JOHAN SILAS
10
11
RUANG
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution
Mochammad Yusni Aziz
Rofianisa Nurdin
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : akudanruang@yahoo.com
segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab
masing-masing penulis. penggunaan gambar
untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.
DI BALIK PINTU
SURGA PERSIA
oleh Yusni Aziz
ESAI
INDONESIA
Arsitektur, Iran, Komunitas,
Makna Arsitektur, Ruang
Publik
10
Bentuknya
sangat
sederhana.
Dinding lumpur mengelilingi sebuah
ruang terbuka sebesar 50 x 50 m,
dengan pilar dari batang kelapa yang
menopang atap di sisi kiblat dan sisi
utara. Ia memiliki tiga pintu di sisi utara,
barat dan timur. Nabi dan keluarga juga
tinggal didalam masjid ini. Ruang-ruang
Kebutuhan pendirian masjid muncul tinggal mereka menempel di sisi timur
di era nabi Muhammad SAW untuk masjid.
mempersatukan umat. Ia mengawali
dengan pembangunan masjid Quba, yang Karen Armstrong dalam Islam: A
disusul oleh masjid Nabawi atau Masjid Short History menyampaikan bahwa
Nabi. Masjid terakhir menjadi embrio bentuk bangunan yang simpel ini
dari semua bangunan masjid di dunia.
menyimbolkan inti kesederhanaan
ajaran Islam. Tidak seperti gereja
juga digunakan untuk shalat, yang
membatasi area masjid dimanapun
seseorang ingin beribadah. Di dalam
Al-Quran sendiri, ternyata tidak ada
ayat yang secara khusus menuliskan
karakteristik arsitektural dari bangunan
masjid.
11
Kristiani
yang
mengkhususkan
bangunannya untuk beribadah, masjid
tidak melarang hadirnya aktivitas
kemasyarakatan di dalamnya. Masjid
Nabi saat itu menjadi rumah pemimpin
dan pusat pemerintahan umat Islam.
Ruang terbukanya menjadi area
untuk beribadah, perundingan militer
hingga tempat tinggal sementara para
pengungsi.
Lalu, mengapa desain masjid Iran
menjadi sangat berbeda dengan masjid
Nabi ?
Arsitektur merupakan sebuah produk
budaya. Seperti bentuk kebudayaan
apapun saat dikenalkan di lokasi
yang asing, Ia akan melebur bersama
nilai, tradisi dan estetika lokal untuk
membuatnya menjadi lebih ramah dan
bisa diterima oleh lingkungan.
12
Masjid Nabi
Masjid Shah
Masjid Sepahsalar
13
Koleksi denah masjid dengan skala yang sama yang terbahas dalam artikel. Yusni Aziz
14
15
Lapangan masjid Teheran yang selalu ramai dimanfaatkan pedagang Yusni Aziz
16
Kebanyakan
masyarakat
kelas
menengah tidak religus. Saya percaya
ini datang dari ketidaksukaan mereka
terhadap batasan ketat pemerintah
yang diaplikasikan dibawah nama
Islam.
Hingga muncul pemikiran, yang
tentu tidak sepenuhnya benar, bahwa
menjadi religius diasumsikan sebagai
tendensi politik. Saya tekankan lagi,
tidak sepenuhnya benar! Saya tahu
kawan yang sangat religius yang tidak
suka juga dengan pemerintah.
Masjid adalah rumah umat. Dia
lahir
karena
kebutuhan
untuk
mempersatukan umat. Namun masjid
di Iran, yang begitu cantik dan megah,
tidak dapat mempersatukan umat.
Memang indahnya tidak lepas dari
peran penguasa terdahulu.Tetapi di era
penguasa masa kini, semua seakan sia-
Masjid Sepahsalar terlihat dari sisi jalan yang ramai Yusni Aziz
17
Jorge Anzorena
Yusni Aziz
ARCHITECTURE:
FOR ELITES OR
COMMUNITY?
by Robert Dujmovic
ESSAY
ENGLISH
Architecture, Community, Consumerism, Religion, Politics
20
source: http://www.csmonitor.com/World/Americas/Latin-America-Monitor/2014/0116/Brazil-shopping-malls-New-epicenter-for-social-protest
21
22
23
24
http://www.asce.org/CEMagazine/ArticleNs.
aspx?id=23622324819#.VFs8RxzNomo
25
26
27
Teater Tribal
Bumi Takpala
oleh Yoppy Pieter
ESAI
INDONESIA
Arsitektur, Alor, Komunitas,
Tradisional, Nusa Tenggara
Timur
30
31
32
33
34
35
36
37
39
ARSITEKTUR RIZOMA
oleh Andrea Fitrianto
ESAI
INDONESIA
Arsitektur Komunitas, Akar
Rumput, Kolektivitas
42
Now you see, now you dont. Stereogram hutan bambu di Nankin, Cina.
(Sumber: James Ricalton, 1990)
43
44
45
46
47
48
50
Dalam
rangka
kontekstualisasi
dengan kota, arsitek menjadi agen
penggubah untuk misapropriasi
ruang-ruang mati, ruang-ruang
sisa, residual, dan menjadikannya
alternatif dan potensi. Di bawah
hemisfer Utara ada Pet Architecturenya Atelier Bow Wow di Jepang,
Raumlabor di Jerman, dan Atelier
darchitecture autogre (AAA)
di Perancis. Kelompok-kelompok
lain memberi fokus kerja mereka
di Selatan, seperti Urban-Think
Tank (U-TT) di Swiss/Venezuela,
Elemental di Chile,TYIN tegnestue di
Norwegia. Grup arsitektur pro-bono
seperti Architecture for Humanity
(AFH) adalah jaringan sumber
daya arsitektural yang berawal dari
penerbitan sebuah buku, Architecture
Sans Frontires (ASF) terdiri dari
simpul-simpul yang independen di
banyak negara Eropa, dan Community
[1] Manichaeism adalah paham yang percaya dengan dualisme dalam kosmologi,
pertarungan antara baik dan buruk.
[2] Delcacomania atau decalcomanian (Perancis) adalah sebuah teknik dekoratif yang
mentransfer desain yang tercetak di atas medium kertas yang dilipat ke medium kaca
atau porselen.
[3] Gecekondu (Turki) secara harfiah berarti dibangun semalam adalah pemukiman
spontan di kota-kota besar di Turki.
51
ESAI
INDONESIA
Komunitas Online, Media
Sosial, Ruang Publik
Ruang
publik
kreatif
dapat
bekerja dengan baik jika dapat
mengakomodasi
ekspresi
komunitas-komunitas. Ada sebelas
prinsip untuk menciptakan sebuah
ruang komunitas (ruang bersama)
yang baik yang dirangkum oleh
Project for Public Space (PPS).
Dengan
menerapkan
prinsipprinsip ini ruang publik akan
bertransformasi menjadi sebuah
ruang bersama yang kaya dan hidup,
tempat taman, plaza, lapangan
KOMUNITAS ONLINE DI
ERA MEDIA SOSIAL
Sejalan dengan perkembangan
jaman, ruang publik telah meluas
melampaui ranah fisik dan geografis
yang dapat dinikmati secara
langsung. Informasi dan teknologi
komunikasi telah berkembang pesat
di kota-kota besar di Indonesia
dalam dua dekade terakhir. Saat
ini, dengan kecanggihan teknologi,
ruang publik juga hidup di dunia
maya. Hal ini membuat perubahan
55
kesamaan
kepentingan
dan
ketertarikan.
Komunitas
online adalah kumpulan orang
(masyarakat)
yang
melakukan
kegiatan dalam bentuk pertukaran
informasi
dan
pengetahuan
dengan bantuan Information and
Communications Technology (ICT).
Komunitas online dapat dibentuk
dengan hanya beberapa orang atau
anggota yang terbatas. Beberapa
contoh komunitas online misalnya
komunitas alumni atau hobi.
Komunitas ini menjadi contoh
bahwa konektivitas tidak terbatas
oleh pertemuan secara fisik, bisa
juga melalui dunia maya. Ini adalah
fenomena menarik untuk dikaji
karena jenisnya beragam, walaupun
pada kenyataannya, kegiatan ini
Fenomena adiksi penggunaan gadget dan media sosial di kota-kota besar di Indonesia.
(Foto: internet)
56
komunitas-komunitas
yang
menggunakan teknologi media
sosial untuk berkomunikasi dan
berinteraksi, kemudian melakukan
pertemuan secara langsung untuk
menciptakan ruang publik kreatif
yang baru untuk menciptakan kota
yang lebih nyaman dan layak huni.
Indonesia Berkebun
Indonesia Berkebun adalah komunitas
yang bergerak melalui jejaring sosial
(baik itu twitter, facebook atau blog)
untuk menyebarkan semangat
positif agar lebih peduli terhadap
lingkungan dan perkotaan dengan
program urban farming. Hal ini
dilakukan dengan memanfaatkan
lahan tidur di kawasan perkotaan
yang diubah fungsi menjadi lahan
pertanian/perkebunan
produktif
dengan peran serta masyarakat
sekitar. Semangat ini berawal dari
media sosial twitter @Idberkebun
yang disambut baik oleh para
netizen yang menginginkan kota
yang lebih sehat, lebih hijau, dan
lebih membawa manfaat. Dengan
semangat untuk berbagi, para
sahabat
berkebun
menjadi
buzzers dan influencers, baik di
twitter maupun jejaring sosial
lainnya. Sehingga saat ini Indonesia
Berkebun sudah berkembang di
lebih dari 31 kota & 9 kampus di
Indonesia, tergabung dalam jejaring
Indonesia Berkebun yang memiliki
visi dan tujuan yang sama.
Selain kegiatan-kegiatan berkebun
di lapangan, dalam mengedukasi,
57
58
Keuken Bandung
KEMUDAHAN PENYEBARAN
KOMUNITAS ONLINE DI
INDONESIA
Belajar dari kasus komunitaskomunitas online di atas, dapat dilihat
bahwa gerakan atau aksi komunitas
dapat dimobilisasi dengan jaringan
yang besar. Kemajuan informasi
dan teknologi komunikasi di era ini
59
60
61
Ruang publik alternatif: kebun komunitas yang tercipta oleh komunitas Indonesia Berkebun.
(Foto: Indonesia Berkebun)
PENCIPTAAN RUANG
PUBLIK BARU OLEH
KOMUNITAS ONLINE
62
KESIMPULAN
Sejalan
dengan
perkembangan
jaman, ruang publik pun telah meluas
melampaui ranah fisik dan geografis
yang dapat dinikmati secara langsung,
namun ruang publik juga terdapat
di dunia maya dengan kecanggihan
teknologi. Masyarakat Indonesia
cenderung senang untuk berkumpul,
ini dapat dilihat melalui warisan
kearifan lokal seperti di dalam arisan,
pengajian, atau sekedar nongkrong
di warung kopi. Fenomena ini juga
yang timbul di dalam era media sosial
sekarang ini, di mana membentuk
DAFTAR PUSTAKA
1) BASUKI, Yudi., PRADONO, AKBAR, Roos., and MIHARJA, Miming. (2012). Online Community:
Human Connectivity in a Virtual Space and its Implications to Human Movement. Bandung. Proceeding of
Arte-Polis 4 International Conference.
2) HARDIMAN, Fresco Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
3) HUTAPEA, Hodlan. (2012). Mengembalikan Fungsi Ruang Publik. Harian Analisa. http://www.
analisadaily.com. Accessed on 5 December 2012.
4) INDONESIA BERKEBUN, (2011). Indonesia Berkebun Concept. Jakarta
5) JULIANERY, BE. (2007). Kembalikan Ruang Publik. Klik Nusa. http://kliknusa.blogspot.com. Accessed
on 1 December 2012.
6) NASUTION, Ivan. (2012). Open Source City:Towards Collective Place Making. Bandung. Proceeding of
Arte-Polis 4 International Conference.
7) KUSUMAWIJAYA, Sigit. (2012). Urban Farming as an Act for Community Empowerment. Bandung.
Proceeding of Arte-Polis 4 International Conference.
8) PONTOH, Shafiq. (2012). How Conversation Become a Movement. Jakarta. Provetic.
9) PROJECT FOR PUBLIC SPACE (PPS). Eleven Principles for Creating Great Community Places http://
www.pps.org. Accessed on 1 December 2012.
10) TANUWIDJAJA, Gunawan. Menciptakan Ruang Kreatif Publik di Surabaya. http://diy.c2o-library.net.
Accessed 5 December 2012.
11) WILLIAMS, RN and Slife BD. (1995). Whats behind the research: Discovering hidden assumptions in
the behavioral sciences, Sage Publikations, Inc, Printed in the United Stated of America.
63
ESAI
INDONESIA
Apropriasi Ruang Publik,
Inklusi dan Eksklusi,
Komunitas
Komunitas berawal dari mengidentifikasi eksklusi (siapa yang berada di luar) dan
inklusi (siapa yang termasuk di dalam). Komunitas berakar dari kata commune
(bahasa Prancis) atau communis (bahasa Latin), yang artinya berkumpulnya orangorang yang memiliki nilai-nilai dan cara hidup yang sama. Komunitas akan tumbuh
jika ada kesadaran akan kami dan mereka. Kesadaran ini lama kelamaan akan
membentuk mayoritas dan minoritas orang-orang yang memiliki kesamaan
dan orang-orang yang terpinggirkan.
Dalam konteks perkotaan, peminggiran ini dijumpai pada dikotomi penduduk
dan pendatang. Walaupun kota awalnya dibentuk oleh sekumpulan pendatang.
Pendatang yang tinggal lebih lama akan membangun asosiasi terhadap kota dan
Bertemu teman
(Foto: Ivan Nasution, 2014)
66
67
68
[2] Konsep politik dijabarkan oleh Arendt sebagai aksi dan interaksi antar manusia.
Politik menurut Arendt erat dengan aksi dihadapan orang lain. Ini erat kaitannya dengan
konsep ruang-ruang penampakan (spaces of appearance) yang dibahas dalam buku
karya Hannah Arendt yang berjudul The Human Condition (1958) dan Crises of the
Republic (1972).
69
70
Mengaji
(Foto: Ivan Nasution, 2014)
Kuda Lumping
(Foto: Ivan Nasution, 2014)
71
Komunitas akan
tumbuh jika ada
kesadaran akan
kami dan mereka.
Kesadaran ini
lama kelamaan
akan membentuk
mayoritas dan
minoritas orangorang yang memiliki
kesamaan dan
orang-orang yang
terpinggirkan.
Ivan Nasution
ESSAY
ENGLISH
Architecture, Otaku, Akihabara, Online Community,
Cyberspace
PART I:
VIRTUAL COMMUNITIES AND THEIR (DIS)CONTENTS
The shrinking of distance and the speed of movement that characterize the current
era find one of its most extreme forms in electronically based communities of
individuals or organizations interacting in real time and simultaneously
74
In his seminal 1993 book The Virtual Community; Homesteading on the Electronic
Frontier, Howard Rheingold defined virtual communities as social aggregations
that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions
long enough, with sufficient human feeling to form webs of personal relationship
in cyberspace.1 From his experience as the member of WELL (Whole Earth
Lectronic Link), one of the pioneering virtual community, he wrote, Norms
were established, challenged, changed, reestablished, rechallenged, in a kind of
speeded-up social evolution.2 It is clear from Rhinegolds observations that virtual
communities are viewed as evolutionary form of the traditional communities,
which is founded on assumptions about consensus, rationality and connectivity. 3
A key distinction of virtual communities from the traditional one is that they are
formed independently of physical confines, i.e. neighbourhoods or work places.
The key infrastructures to the formation of communities in this virtual space are
the speed and flexibility of the process of communication and collaboration.They
enable a community which are spontaneous in construction, whose memberships
are loose you can join and leave as you please and are always constantly
redefining their identities. Another central discussion in virtual communities and
the internet is the notion of choice. For what the internet provides, apart from the
almost limitless possibilities of collaboration and exchange, are essentially choices.
On the internet, you chose your community and you leave when you please.
In most cases, virtual communities are communities of interest, formed out of
common needs or a sense of shared mission. They address both the need for an
extension of existing connections into global networks and the need of escaping
the confines and morality of the traditional physical community. The internet
brings together individuals and groups who are ostracised from society because
their interests might be considered as unacceptable to the accepted norms. For
these people the internet is a liberating platform to indulge in, expand and share
their interests with like-minded (often anonymous) peers from all parts of the
world. Careful browsing on the internet can lead you to a community of people
who are obsessed about chewing ice to something as criminal as a hard-core
paedophile ring.
75
76
From here we can see, how could the crystallization of virtual communities in
the physical (urban) space affect the city? Does the ephemeral nature of virtual
constructs prevent lasting and meaningful intervention on the urban landscape?
Or is there evidence of a virtual community inhabiting and actually shaping the
character of a city? And if there is, what makes them successful and how can
we define their relationship with the city? Could they possibly point the way for
communities to inhabit cities in the future?
The truth as it turns out, is stranger than fiction.
77
PART II:
STRANGER THAN FICTION (OR THE CURIOUS CASE OF
AKIHABARA)
What is not found in Akihabara is not worth looking for - Otaku dictum
The district of Akihabara is one of a series of subcentres6 of Tokyo. What makes
Akihabara strangely different is that the aesthetic image of the whole district has
been shaped by its association with the community of the Japanese subculture
of otaku. In Learning from Akihabara:The Birth of a Personapolis architectural
historian Kaichiro Morikawa wrote; The exodus of the otakus into Akihabara is
comparable to the formation of ethnic enclaves such as Chinatown or Little Italy,
with a critical difference that the otaku is a tendency in personality and taste,
unrelated to any ethnic race or social class. 7
Walking through Akihabara and into the various different shops catering to the
myriad of eccentric obsessions is akin to a journey through otaku culture. What
was once virtual has gone physical. Like a stage set on an urban scale, the district
of Akihabara became the platform for the transformation of a virtual subculture
into a physical community, an otaku playground. But what exactly is an otaku?
OTAKU CONFIDENTIAL
Otaku is one of the most well known forms of Japanese youth subcultures,
prevalent mainly among males. In Japanese, otaku is a polite and formal way of
saying you, although if translated literally, it means your house, with connotations
of impersonality and detachment.8
78
As a social phenomenon, the image of the otaku in Japanese media has been
treated with both fear and fascination. Otaku were an underground subculture
throughout the 80s, largely unknown by the public and ignored when noticed.This
ambivalence however, was shattered by the 1989 arrest of Miyazaki Tsutomu, a
serial killer responsible for the murder and mutilation of four young girls in Tokyo.11
Miyazaki became a poster boy, albeit a negative one, for otaku subculture after
photos and footage of his bedroom crammed to the ceiling with pornographic
and paedophilic collection of anime videos and manga - was splashed in the
mainstream press. 12 The ensuing media frenzy saw the otaku being vilified as
social outcasts, eventually being pushed to the center of the debate surrounding
the supposed moral decay among Japanese youth.13
79
80
81
EPILOGUE:
VIRTUAL COMMUNITIES AND THE CITY
82
Discourses related to the place of the community in the city is more often than
not tinted with a sense of nostalgia and loss as summarized by Harold DeRienzo
in The Concepts of community: Lessons from the Bronx (2008); There may be
little room for community in this global political economy, where society values
consumption, mobility, and the concentration of wealth, and where the rewards
of society are geared towards individual achievement. 25 What is implied by
DeRienzo is the incompatibility between the climate and culture of consumerism
in cities to the construct of communities. How then could we interpret the
community of otaku in Akihabara as a form of community within the city?
references:
1. Howard Rheingold , The Virtual Community (AddisonWesley, 1993):p.5.
2. Ibid
3. Linda Carroli, Virtual Encounters: Community or
Collaboration on the Internet Leonardo, Vol. 30, No. 5
(1997): p.359.
4. Elizabeth Grosz, Cyberspace, Virtuality ans the
Real Some Architectural Reflections in Architecture
from the Outside: Essays on Virtual and Real Space by
Elizabeth Grosz (Cambridge: MIT Press, 2001):p.80.
5. Ibid.,p.81.
6. Kaichiro Morikawa, Learning from Akihabara: The
Birth of A Personapolis Wissenschaftliches Kolloquium,
Volume 19 Number 22 (2007): p.123.
7. Ibid., p.124.
8. William M. Tsutsui, Nerd Nation: Otaku and Youth
Subcultures in Contemporary Japan Education About
Asia, Volume 13 Number 3 (2008): p.14.
9. Ito, Fandom Unbound, p.xiv.
10. Morikawa, Learning from Akihabara: The Birth of
A Personapolis
11. Ibid
12. Rem Koolhaas Definitive Instability: The Downtown
Atheltic Club in Rem Koolhaas, Delirious New York: A
Retroactive Manifesto for Manhattan New ed. (New
York: Monacelli Press,1994):152-159
83
TRACES
by Insan Kamil Muhammad
ESSAY
ENGLISH
Architecture and Kampong,
Community Traces, Local
Intelligence
86
87
88
89
90
Typology of street and river interfaces in Bukit Duri and Kampung Pulo.
(Source: Kamil, 2014)
91
92
93
WAWANCARA
INDONESIA
Kampung, Kota, Perencanaan
Partisipatif, Arsitektur
96
97
98
Y:
Tapi
menurut
bapak,
apakah seorang arsitek harus
menyeimbangkan diri untuk aktif
dalam kedua aliran tersebut?
99
100
sebenarnya media.
101
di bidang arsitektur.
Jika Garuda itu isinya business class
semua tanpa economy, akan bangkrut
dia. Sebaliknya jika kita melayani
economy class tanpa business bisa
tetap untung, seperti Lion Air atau Air
Asia. Disana adalah kesempatan kita
untuk membantu middle class menjadi
bermutu, kuat dan maju. Bukan hanya
ngurusin desain bergaya aneh-aneh
itu. Misalnya ada rumah yang seperti
dari jaman kaisar Nero, untuk apa?
Kenapa tidak baju dan kendaraannya
sekalian? Seperti ada split personality,
apakah arsitek mau menjadi seperti
itu? Harusnya kan tidak.
102
15 juta.Tetapi tidak ada yang melakukan juga punya di Surabaya. Anda bisa hadir
cek dimana itu 7 atau 15 juta berasal. langsung atau melalui online. Jadi kota
menyediakan anggaran yang bisa dikelola
Kemudian arsitek itu juga harus berani masyarakat melalui program ini. Surabaya
blusukan. Anda tidak bisa jadi arsitek sudah lama punya dan menganggarkan
hanya tinggal di ruang kelas. Anda sekitar 750 juta per kelurahan. Program
harus mengerti di mana dan apa yang ini bagus, cuma di banyak tempat seakan
diinginkan oleh masyarakat. Mereka hanya menjadi formalitas saja. Di sini
yang tinggal di perkampungan itu jenius musrenbang-nya sudah dikemas dan
karena masih tetap bisa survive meski diawasi ketat pemerintah kota. Sehingga
dalam tekanan atau ancaman. Jokowi mereka juga menjadi pelancar kegiatan.
juga sudah melakukan blusukan, dan
makin serius seperti walikota Surabaya. Kemudian mengenai PKL tadi, mereka itu
Blusukan itu untuk silaturahmi. Dari penting. Di Surabaya sudah ada sekitar
tiap blusukan itu dia bisa tahu siapa 30 cluster PKL. Jika mereka PKL makanan
rakyatnya.
maka diletakkan dekat keramaian, tetapi
jika bukan PKL makanan ada di dekat
Y: Mengenai Jokowi, menurut tempat parkir. Jadi sebetulnya Surabaya
bapak program Musyawarah sudah berbuat banyak, tetapi kita tidak
Perencanaan
Pembangunan gila publikasi.
(MUSRENBANG)[1] Solo Kota
Kita itu apa sudah baik atau
Y: Sepertinya Surabaya juga
perlu diperbaiki ?
memiliki potensi kampung yang
baik
namun
seperti
kurang
JS: MUSRENBANG ini bagus, kita dipublikasikan. Kenapa seperti itu?
103
104
105
KOMUNITAS VOL
RE
LUME 2
EFLEKSI
108
RUANG
KREATIVITAS TANPA BATAS
2014