Anda di halaman 1dari 41

MURAL SEBAGAI MEDIA KRITIK ANAK MUDA

“ Studi Semiotika Roland Barthes Mural Karya Komunitas Pemuda Sadar

Lingkungan (KPSL) Di Kabupaten Sikka “

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 (S 1)

Disusun Oleh

Yulius Fredy Marino

052150028

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU – ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NUSA NIPA

MAUMERE

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keterlibatan orang muda dalam menyikapi kondisi sosial yang terjadi


di masyarakat sangat diperlukan. Hal ini tidaklah diragukan lagi karena
kemerdekaan bangsa Indonesiapun terjadi berkat peran anak muda di
dalamnya. Pemuda selalu menjadi pelopor dalam menggerakan massa rakyat
dan melawan berbagai bentuk ketidak adilan sosial di dalam masyarakat.
Biasanya, pemuda selalu hadir pada saat-saat genting dan krusial, yang
membutuhkan perubahan mendesak akan persoalan ekonomi dan politik yang
terjadi di masyarakat (Sese Tolo, 2018: 02).

Hadirnya anak muda dalam mengawal setiap jalannya roda


pemerintahan dan menyikapi berbagai persoalan yang ada di tingkat nasional
maupun daerah membangkitkan sebuah gerakan anak muda. Gerakan anak
muda pada umumnya lebih dikenal melalui demonstrasi, pemasangan
spanduk-spanduk perlawanan, dan melalui media sosial dengan berbagai
postingan foto-foto dengan berbagai kalimat demonstrasi tetapi terkadang
juga di bingkai dalam kalimat berbau pornografi.
(https://www.suara.com/news/2019/09/28/173542/sempat-viral-bawa-poster).

Sering juga demostrasi yang terjadi berakhir ricuh dan menimbulkan


berbagai resiko seperti korban jiwa, kekerasan dan perusakan fasilitas umum.
Hal ini tentulah membuat sebuah anggapan bahwa sebuah gerakan yang
seharusnya mendapatkan respon yang baik justru menimbulkan sebuah
persoalan baru sehingga kerap kali timbul persepsi gerakan mahasiswa
tidaklah murni atau di tunggangi.

Dewasa ini, banyak cara bisa digunakan untuk melakukan sebuah


gerakan berlandaksan moral dan kepentingan kepada masyarakat. Dengan
tidak ikut terlibat langsung dalam demonstrasi bukan berarti seseorang
menjadi
apatis atau masa bodoh terhadap gerakan yang berlandaskan moral dan
kepentingan umum. Tetapi, menunjukan sikap kritis dapat diekspresikan
dalam beberapa hal misalnya melalui seni musik, teater, membuat sebuah
karya yang berguna bagi kepentingan masyarakat umum, ataupun melalui
seni lukis mural. Semua gerakan di fokuskan pada ruang publik atau jalanan,
dengan maksud agar tuntutan dari setiap gerakan itu mendapatkan respon
yang baik. Tetapi kerap kali yang terjadi ruang publik atau jalanan yang
menjadi ruang terbuka diskusi kerap kali diperebutkan, baik elit politik atau
kelompok kapitalis.

Ruang Publik dijelakan Barry (2008:105) adalah bagian penting dari


kota, sebab di tempat ini masyarakat saling bertemu dan berinteraksi,
sekaligus merupakan simbol yang bisa digunakan untuk memahami kota
beserta budayanya. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa ruang publik
merupakan persepsi kolektif dan imajinasi masyarakat, yaitu tempat dimana
mereka bisa berkumpul, berjalan-jalan, berkendaraan dan berolaraga. Di
tempat itu masyarakat bertemu, saling bersapa, berinteraksi dan berpartisipasi
dalam kehidupan keseharian komunal yang kemudian disebut kota.
Pembangunan dan pemekaran kota tanpa mempertimbangkan publiknya
menyebabkan ruang publik terlihat sebagai bagian dari sisa lahan
pembangunan. Di ruang sisi inilah seringkali terjadi perebutan tempat antara
individu atau kelompok yang mengusung berbagai kepentingan (poster iklan,
seni jalanan, atribut propaganda partai). Tidak adanya kesadaran publik
bahwa ruang tersebut milik bersama menyebabkan ruang terbuka (sisa) kota
ini menjadi sulit terawat.

Ditengah maraknya pembangunan yang sedang terjadi di Kabupaten


Sikka, ruang publik kota Maumere seringkali dihiasi dengan berbagai carut
marut atribut proyek, instalasi kabel yang kurang rapih, dan pemasangan
papan iklan yang tidak beraturan, hal ini tentunya menjadi sebuah
pemandangan yang akan merusak estetika kota. Pohon yang menjadi jantung
kota menjadi berkurang karena proyek pembangunan pelebaran jalan dan
pembangunan fasilitas umum lainnya. Cuaca panas di siang hari dengan
kondisi pohon yang berkurang membuat tingkat polusi kendaraan bermotor
semakin tinggi. Fungsi ruang publik yang lebih sering digunakan untuk
kepentingan iklan dan kampaye partai politik, padahal esensi ruang publik
adalah milik publik. Dalam hal ini mural dipakai sebagai instrumen penetrasi
otoritas. Selain itu peran seniman sebagai representasi publik dapat dicapai
lewat pembuatan mural. (Barry.2008:73)

Kehadiran mural di tengah-tengah kota menjadi sebuah pengalaman


yang berbeda bagi setiap orang yang melihat maupun melewatinya. Di suatu
sisi mural mencoba untuk menyembunyikan sebuah kesan kumuh dari
hadirnya kampung kota, hingga mencoba untuk menyembunyikan padangan
pandangan pengguna jalan dari sampah kota.

Mural di kota Maumere hadir melalui anak muda dan komunitas yang
sadar dan peka terhadap kondisi sosial yang berkembang di masyarakat
Kabupaten Sikka. Pada beberapa sudut kota di Maumere, sering kita temui
lukisan-lukisan mural, yang dalam proses pembuatannya terinspirasi oleh
keadaan sosial masyarakat yang terjadi di kota Maumere. Komunitas Pemuda
Sadar Lingkungan (KPSL) merupakan kumpulan anak muda yang
mempunyai hasrat yang sama di bidang seni rupa dalam hal ini seni mural.
Mereka beranggapan bahwa perlu adanya sebuah wadah untuk
menyampaikan ide ataupun gagasan yang positif melalui media tembok di
sudut-sudut kota Maumere dengan harapan bahwa gambar-gambar yang
dibuat dengan nilai estetika yang tinggi akan memberikan pengalaman visual
yang berbeda sehingga tidak membuat pengguna jalan menjadi bosan.

Mural mulai muncul dan berkembang sejalan dengan perilaku


vandalisme yang ada pada kota Maumere. Tembok-tembok putih bersih yang
ada pada tempat umum di kota Maumere kerap kali menjadi sasaran empuk,
oknum yang tidak bertanggung jawab melakukan kegiatan vandalis atau
mencoret-coret sisi tembok tempat umum. Mural hadir sebagai sebuah aksi
penolakan dan bahkan menjadi sebuah perlawanan terhadap aksi vandalisme
oknum yang tak bertangungjawab. Mural hadir dan melapisi beberapa
tembok yang sudah dicoreti oleh oleh oknum pelaku vandalisme, dengan
maksud agar mural menjadi sebuah alternatife baru yang lebih baik dalam
menyampaikan sebuah gagasan di jalanan.
Walaupun mural perlahan-lahan mulai berkembang di Kabupaten
Sikka, namun masih banyak masyarakat yang belum mengenal seperti apa
mural itu sendiri. Pada umumnya masyarakat lebih mengenal graffiti
sehingga terkadang mural sering disama artikan dengan grafiti dan seni
jalanan lainnya. Berbeda dengan mural, grafiti lebih menekankan pada
penggunaan huruf atau font dalam tampilannya, sedangkan mural lebih
kepada gambar-gambar atau ilustrasi yang dalam pembuatannya di buat
berdasarkan konsep atau pengalaman dari senimannya.

Pada proses pembuatannya sang seniman kerap kali memasukan


gagasan atau refleksi terhadap isu yang kerap kali berkembang di masyarakat.
Sang seniman mural tidak hanya mempertimbangkan salah satu sisi estetika
atau dari tampilan indah di pandang pada mural itu sendiri, tetapi ada pesan-
pesan tertentu yang ingin seorang seniman sampaikan pada masyarakat pada
umumnya. Di dalam pembuatan mural itu sendiri, karakter atau karya dari
mural itu sendiri tidaklah terlepas juga dari ideology ataupun apa yang ia
rasakan pada lingkungan yang ada pada sekitar dirinya. Agar masyarakat
tidak salah dalam menginterpretasikan gambar mural itu sendiri, maka
peneliti ingin meneliti apa makna lain yang terdapat pada gambar mural
tersebut.

Seperti yang dialami oleh seorang seniman mural sekaligus pemimpin


Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL) yang bernama Ricko, ia
mengatakan ketertarikannya terhadap terhadap mural berawal dari
kepeduliannya terhadap masayarakat kecil dan menengah ke atas.

Melukis mural juga merupakan tempat untuk belajar dan bekerja.


Selain itu juga sebagai promosi budaya, etnik yang ada di daerah lewat
lukisan mural. Pada tembok putih samping toko bangunan Toko Batu
Maumere Ricko dan beberapa anggota Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan
(KPSL) membuat lukisan mural yang bertema nasionalisme dan etnik budaya
Sikka. Pada beberapa bentuk lukisan diadopsi dari motif kain sarung, seorang
ibu yang sementara membuat kain sarung, serta lukisan tempat pariwisata
pantai Koka Maumere.
Karena letaknya dijalanan, mural ini tentunya memiliki pesan dan
makna tersendiri yang ingin disampaikan oleh masyarakat umum. Setiap
orang mempunyai pengalaman akan seni yang berbeda dalam diri mereka,
sehingga terkadang setiap orang memiliki perbedaan dalam
menginterpretasikan maksud ataupun pesan dari karya seni yang mereka
nikmati. Namum, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau salah
menginterpretasikan makna dari karya seni mural ini maka peneliti
melakukan sebuah penelitian menggunakan kajian teori semiotika untuk bisa
memahami makna yang terkandung di balik gambar mural ini.

1.2 Rumusan Masalah


Berangkat dari latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah : Apa makna yang terkandung di balik lukisan
mural Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL) ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Memperkenalkan lukisan mural kepada masyarakat Sikka
1.3.2 Menggali makna yang terkandung di dalam gambar mural di kota
Maumere yang salah satunya dibuat oleh seniman Komunitas Pemuda
Sadar Lingkungan (KPSL).
1.3.3 Mendeskripsikan Mural Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL)
sebagai media kritik anak muda.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4 1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan dan sumbangan bagi peneliti berikutnya yang ingin
melengkapi atau mendalami penelitian dalam bidang seni dan
komunikasi visual.
1.4 2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan wawasan kepada
masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Sikka mengenai
lukisan mural.
2. Sebagai bentuk apresiasi terhadap anak muda dan komunitas seni
yang ada di Maumere
3. Sebagai masukan terhadap pemerintah daerah Kabupaten Sikka
dan dinas terkait agar lebih memperhatikan pegiat seni dan
komunitas seni yang hidup di Maumere sehingga anak muda dan
komunitas seni bisa mendapat ruang untuk berkarya
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Judul
No Nama Peneliti Tahun Isi Penelitian
Penelitian
1 Ni Made Tanti Produksi Ruang 2017 Berdasarkan penelitian
Candra, Wahyu Sosial Melalui yang telah dilakukan
Budi Nugroho, Mural Di Kota mengenai Produksi Ruang
Nengah Punia Denpasar Sosial melalui Mural di
Kota Denpasar, maka dapat

disimpulkan bahwa mural


bagi para seniman mural di
Kota Denpasar adalah
suatu gambar berukuran
besar yang mengandung
makna atau pesan yang
ingin disampaikan
kepada
masyarakat luas. Pesan
yang terkandung pada
mural merupakan
permasalahan sosial yang
terjadi pada lingkungan
masyarakat dimana mural
itu dibuat sehingga mampu
merepresentasikan keadaan
sekitar sesuai dengan
konteks tempat ruang sosial
tersebut diproduksi.

2 Muhammad Mural Sebagai 2017 Mural sebagai media


Afif Althaf, Media Edukasi edukasi mengenai
Dimas Krisna Mengenai kebudayaan yang ada di
Aditya, S.IP, Kebudayaan sekitar wilayah Kecamatan
M.Sn Kecamatan Bojongsoang merupakan
Bojongsoang hal baru yang dilakukan
Dengan dan ini merupakan sebuah
Memanfaatkan solusi yang efektif. Selain
Ruang Dua bertujuan untuk
Dimensi Yang mengedukasi masyarakat,
Terbengkalai mural juga sebagai solusi
dari permasalahan
pemanfaatan ruang dua
dimensi terbengkalai yang
membuat kesan kumuh
pada sekitar wilayah
tersebut

3 Meila Riskia Mural sebagai 2015 Hasil penelitian


Fitri Medium Kritik menunjukkan bahwa mural
Sosial Seniman digunakan sebagai medium
kritik sosial berkaitan
dengan gerakan seni rupa
baru yang bermula pada
tahun 70-an dimana
kelompok seniman muda
melawan dominasi dan
hegemoni kelompok
seniman tua di masa Orde
Baru. Kedekatan mural
dengan publik
dimanfaatkan sebagai
medium kritik dengan
harapan isu yang diangkat
dapat sampai kepada
masyarakat yang melihat
mural tersebut. Mural yang
berkembang menjadi
gerakan sosial sebagaimana
yang nampak pada mural
“Jogja Asat” juga berakar
dari tradisi perlawanan para
seniman terhadap tatanan
sosial, politik dan ekonomi
yang mengabaikan
partisipasi masyarakat.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Mural
Mural adalah gambar atau lukisan pada dinding, langit-langit ruang,
atau tempat permanen dengan ukuran yang besar. Mural menjadi
pembahasan yang serius dalam dunia seni rupa setelah adanya gerakan
The Mexican Muralista Art Movement yang dipelopori oleh Diego
Rivera, David Siqueiros dan Jose orozco.
Banyak teknik yang digunakan dalam perwujudan mural, tetapi
paling terkenal adalah teknik fresco. Mural masa kini dilukis dengan
berbagai macam teknik yang menggunakan cat berbasis air atau minyak,
bahkan ada pula yang memanfaatkan teknik digital komputer, sebuah
foto bisa diolah lalu dicetak pada kertas stiker besar, sebelum akhinya
ditempel pada dinding (dalam buku Barry,2008:67).
“Mural sebagai lukisan besar yang dibuat untuk mendukung ruang
arsitektur. Definisi tersebut bila diterjemahkan lebih lanjut, maka mural
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bangunan dalam hal ini dinding.
Dinding dipandang tidak hanya sebagai pembatas ruang maupun sekedar
unsur yang harus ada dalam bangunan rumah atau gedung, namun
dinding juga dipandang sebagai medium untuk memperindah ruangan.
Kesan melengkapi arsitektur bisa dilihat pada bangunan gereja Katolik
yang bercorak Barok yang melukis atap gereja yang biasanya berupa
kubah dengan lukisan awan dan cerita di Alkitab.” (Susanto,2002:76).
2.2.2 Sejarah Perkembangan Mural
Mural mengalami perkembangan tidak hanya di negara
barat saja, tetapi juga berkembang di Indonesia, namun dalam
pengerjaannya mural seringkali dipadukan dengan graffiti. Walaupun
mural lebih mengutamakan gambar atau drawing sedangkan graffiti
hanya tulisan atau teks, akan tetapi ketika keduanya dipadukan, maka
kesan seninya akan lebih menonjol dan memiliki cerita mendalam.
Mural yang terkesan dingin dan (kalem) dalam pengerjaannya, sering
diartikan sebagai kolega dengan graffiti. Padahal graffiti merupakan
projek seni jalanan yang seringkali dianggap sebagai aksi vandalisme
di mata masyarakat. Keberadaannya memang sebagai seni visual
dinding, namun kadang makna dan pesannya sarat akan kekerasan
yang menjurus pada komunitas geng liar (street crime), walaupun
hanya beberapa saja.
Mural di Indonesia sudah muncul sejak zaman perang
kemerdekaan. Pada saat itu, para pejuang mengekspresikan
keinginannya melalui graffiti. Walaupun dengan skill atau
keterampilan dan peralatan yang masih sederhana, konsep tulisan di
dinding menjadi alternatif paling aman untuk mengekspresikan
pendapat secara diam-diam pada saat itu. Situasi sosial negara,
khususnya di Indonesia yang berkembang menjadikan pemerintahan
negara yang dinamis. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tentu saja berpengaruh terhadap rakyatnya. Hal yang
lumrah terjadi apabila dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan
menimbulkan pro dan kontra, karena setiap kebijakan dapat
menimbulkan opini yang menguntungkan pihak tertentu, sedangkan
di lain pihak merugikan masyarakat dan lain sebagainya.
“Indonesia sebagai negara demokrasi membuat setiap orang
bebas mengeluarkan dan menyalurkan aspirasi atau pendapatnya
terhadap situasi sosial politik yang ada. Selama ini media penyalur
aspirasi rakyat adalah melalui media cetak maupun media elektronik,
seperti surat kabar, televisi, radio, maupun internet atau layanan
jejaring sosial. Bermacam media penyalur aspirasi tersebut akhirnya
menjadi fenomena yang biasa karena masyarakat melihatnya setiap
hari, sehingga timbul reaksi masyarakat maupun seniman-seniman
yang turut berpartisipasi membentuk atau menciptakan suatu gagasan
kreatif yang disampaikan untuk mengajukan konsep seni (visual),
dan ingin merepresentasikan sebagai media alternatif aspirasi rakyat
lainnya, dalam hal ini adalah mural” (Oki Candra,2013:14).
2.2.3 Unsur-Unsur Pembentuk Rupa dan Prinsip-Prinsip Desain
Dalam Mural.
1. Pembentuk Rupa dalam Mural
Unsur-unsur pembentuk rupa atau elemen seni yang
terdapat dalam mural terdiri dari garis (line), bentuk (form), bidang
(shape), warna (colour), huruf (kalimat, tipografi) dan ruang
(space). Unsur pembentuk rupa tersebut di organisasi dengan
mempertimbangkan pada prinsip-prinsip penciptaan karya seni
(prinsip-prinsip desain) sehingga terbentuklah lukisan mural.
Unsur-unsur pembentuk rupa tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut:
a. Garis (line)
Garis merupakan salah satu unsur visual dalam karya seni
lukis dan merupakan elemen pokok dalam seni rupa. Di
samping potensi garis sebagai pembentuk kontur, di dalam
mural garis merupakan elemen untuk mengungkapkan gerak
dan bentuk. Baik bentuk dua dimensi maupun yang berkesan
tiga dimensi. Aspek garis dalam mural bermacam-macam, di
antaranya berdasarkan jenis yaitu lengkung, zig-zag, dan
bergelombang. Berdasarkan wujud atau ukuran, terdapat garis
panjang pendek,
besar kecil dan tebal tipis. Berdasarkan arahnya, terdapat garis
vertikal, diagonal, horisontal dan radial. Berdasarkan sifatnya
garis terbagi menjadi garis positif dan garis negatif, garis positif
merupakan garis yang sengaja dibentuk, sedangkan garis
negatif terjadi karena singgungan dari dua bidang atau warna
yang berlainan.
b. Bentuk (form) dan bidang (shape)
Nooryan Bahary (2008:100) menjelaskan Bidang (Shape)
adalah suatu bentuk yang sekelilingnya dibatasi oleh garis.
Secara umum garis dikenal dalam dua jenis, bidang yaitu
bidang geometris dan organis. Bidang geometris seperti
lingkaran atau bulatan, segi empat, segi tiga dan segi-segi
lainnya, sementara bidang organis dengan bentuk bebas yang
terdiri dari aneka macam bentuk yang tidak terbatas.
Menurut Sahman (1993:41) Bentuk (form) dilihat sebagai 3
(tiga) dimensi dan merupakan total struktur karya seni.
Sedangkan bangun (shape) merupakan berdimensi 2 (dua) dan
merupakan pecahan atau unsur kecil dari keseluruhan bentuk
Dalam mural dapat diterapkan bentuk dua dimensi atau tiga
dimensi, maupun kombinasi keduanya pada semua objek.
Penerapan bayangan dan perspektif pada lukisan tiga dimensi
biasa disebut trompe l’oil, memberi ilusi visual (memanipulasi
space). Misalnya lukisan bingkai jendela dan pemandangan
taman pada dinding akan berbeda pada wujud jendela
sesungguhnya, namun berhasil memberi image yang
meningkatkan kualitas ruang.
c. Warna
Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang
mempengaruhi penglihatan kita. Warna memiliki tiga dimensi
dasar yaitu hue, nilai (value), dan intensitas (intensity). Hue
adalah gelombang khusus dalam spektrum dan warna tertentu.
Misalnya, spektrum warna merah disebut hue merah. Nilai
(value) adalah nuansa yang terdapat pada warna, seperti nuansa
cerah atau gelap, sedangkan intensitas adalah kemurnian dari
hue warna. Sehubungan dengan seni rupa, dalam teori warna
dikenal beberapa jenis kombinasi harmonis, yaitu kombinasi
monokratis, analogis, komplementer, split komplementer,
kombinasi warna triadik.
Menurut Nooryan Bahari (2008:100) Secara garis besar
fungsi warna dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, dalam
ilmu komunikasi, warna bisa berfungsi sebagai tanda
berdasarkan sifatnya, seperti warna merah yang dapat dimaknai
sebagai tanda cinta, bahaya atau larangan. Kedua; sebagai
lambang atau simbol kesepakatan bersama atau consensus,
seperti bendera berwarna putih menandakan menyerah kepada
musuh. Ketiga, warna juga bisa dijadikan ikon, misalnya warna
merah untuk darah dan warna hijau untuk menggambarkan
dedaunan

d. Huruf (text/tipografi)
Dalam mural terdapat juga unsur pembentuk rupa, yaitu
huruf yang disusun membentuk kata atau kalimat, huruf di sini
sebagai tanda visual dan tanda verbal dalam mural. Telah
dijelaskan bahwa perbedaan antara mural dan graffiti dilihat
berdasarkan objeknya. Graffiti lebih menekankan pada stilisasi
rangkaian huruf dan biasanya dikerjakan dengan teknik cat
semprot atau airbrush, sedangkan mural lebih menekankan
pada kemampuan drawing (menggambar objek). Dalam mural
kadang juga terdapat huruf atau teks yang berfungsi sebagai
aksen dari keseluruhan komposisi unsur-unsur pembentuk rupa
yang lain dan sekaligus sebagai penjelas dari pesan yang
disampaikan seniman.
e. Ruang ( Space)
Ruang adalah bidang keluasan dalam dua atau tiga
dimensional (volume). Unsur seni lukis ini digunakan untuk
menimbulkan kesan kedalaman dari objek yang dilukiskan.
Kesan ini dapat dilalui dengan gradasi warna terang ke warna
gelap, begitu pula sebaliknya. Kesan ini juga bisa ditimbulkan
dengan pemanfaatan value atau nilai dan pemanfaatan
bayangan pada objek lukisan.
Menurut Susanto dalam (2002:99); Ruang dikaitkan dengan
bidang dan keluasan, yang kemudian muncul istilah dwimatra
dan trimatra.
Dalam seni rupa, orang sering mengkaitkannya dengan
bidang yang memiliki batas atau limit, walaupun kadang-
kadang bersifat tidak terbatas dan tidak terjamah. Ruang juga
dapat diartikan secara fisik adalah rongga yang terbatas
maupun tidak terbatas oleh bidang. Sehingga pada suatu waktu,
dalam hal berkarya seni, ruang tidak lagi dianggap memiliki
batas secara fisik, contohnya pada karya-karya seni lingkungan
(environmental art), happening art, dan lain-lain.
Dalam seni lukis, ruang dalam perkembangannya terkait
dengan konsep, contohnya zaman Renaissance dengan
perspektif digunakan untuk menghasilkan ilusi susunan
kedalaman tertentu atau di Cina, lebih menghargai arti ruang
kosong sebagai makna filosofis, dengan kekosongan jiwa dapat
diwujudkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
2. Asas-Asas Desain dalam Mural
Menurut Nooryan Bahari (2008:95-98) Susunan karya seni
sebenarnya lebih kompleks di banding kesan yang ditangkap dari
setiap deskripsi, sebab ia tidak hanya ada ada dalam satu unsur
saja, melainkan juga pada setiap unsur secara keseluruhan.
Kesatuan diantara medium, pikiran dan perasaan apapun yang
menjelma padanya itulah pokok dalam segala macam ungkapan.
Kesatuan di antara kata dan artinya, nada music dan rasanya, dan
warna dengan kekuatan, bentuk yang disajikan.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam mural adalah unity


atau kesatuan, balance atau keseimbangan, rhythm atau ritme,
proportion atau proporsi emphasis atau dominasi, dan variety atau
variasi. Prinsip-prinsip tersebut saling berkaitan dan melengkapi.

a. Kesatuan (unity)
Kesatuan berkaitan dengan homogenitas. Djelantik
(1996:37-38), menerangkan bahwa dengan keutuhan
dimaksudkan bahwa karya yang indah menunjukkan dalam
keseluruhannya sifat yang utuh, tidak ada cacatnya, berarti
tidak ada yang kurang dan tidak ada yang berlebihan.
b. Keseimbangan (balance)
Susanto (2002:20) memberikan pengertian tentang
keseimbangan (balance); balance merupakan persesuaian
materi dari ukuran berat dan memberi tekanan pada stabilitas
pada suatu komposisi dalam karya seni.
Balance dikelompokkan menjadi symmetrical balance atau
keseimbangan simetris, asymmetrical balance/keseimbangan
asimetris, balance by contrast atau perbedaan atau adanya
oposisi dan balance by radial.
Menurut Nooryan Bahari (2008:97) asas keseimbangan (the
principle of balance) adalah kesamaan dari unsur-unsur yang
berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni, meskipun
unsur-unsurnya tampak bertantangan tetapi sesungguhnya
saling memerlukan untuk bersama-sama menciptakan suatu
kebulatan sebagai unsur-unsur yang saling berlawanan atau
tidak perlu sama, karena paling utama ialah kesamaan dalam
ini. Dengan kesamaan nilai-nilai dari unsur-unsur dari unsur-
unsur yang saling bertentangan, keseimbangan secara estetis
akan dapat tercipta.
c. Irama (rhythm)
Menurut Djelantik (1997:39-40) dalam suatu karya seni,
ritme atau irama merupakan kondisi yang menunjukkan
kehadiran yang terjadi berulang-ulang secara teratur.
Keteraturan ini bisa mengenai jarak atau waktunya yang sama.
Terulangnya sesuatu yang secara teratur memberi kesan
keterkaitan peristiwa itu oleh sesuatu hukum, sesuatu yang
ditaati, sesuatu yang disiplin, oleh karena itu ritme mempunyai
sifat memperkuat kesatuan dan keutuhan (Djelantik, 1997:39-
40).
Edmund Burke Feldman ( dalam Sahman,1993:43), melihat
rhythm sebagai ordered or regular recurrence of an element
(penggolongan yang berulang-ulang dalam unsur yang tetap).
Ada yang repetitive, alternative, progressive dan flowing
(ulangan, ulangan dengan sedikit perubahan, ritme yang
memperlihatkan gerak berkelanjutan). Penerapan ritme pada
mural berfungsi untuk memberikan keteraturan namun
berirama sehingga tidak membosankan dan memiliki
kedinamisan.
d. Proporsi (proportion)
Menurut Sahman (1993:43) proporsi adalah hubungan
ukuran antar bagian satu dan bagian lain, serta bagian dari
kesatuan. Ukuran dan proporsi yang tepat menimbulkan
harmoni, dan menimbulkan rasa indah pada manusia.
Proporsi di sini digunakan pada gambar representasional
sehingga seniman akan mempertimbangkan perbandingan
dengan struktur bangunan, dengan proporsi yang tepat, sebuah
karya seni (mural) akan terlihat indah bagi penikmatnya.
e. Dominasi (emphasis)
Emphasis adalah penekanan atau sesuatu yang
mendominasi, prinsip seni ini digunakan untuk menonjolkan
salah satu bentuk dari sekian banyak unsur yang ada dalam
suatu karya seni.
f. Variasi (variety)
Variasi sebagai elemen unsur karya seni rupa yang
merupakan pengembangan dari materi pokok berfungsi
memperindah, memperjelas dan menambah makna.
2.3 Seni Jalanan
Seni jalanan atau biasa disebut street art kemudian muncul menjadi
istilah yang dipakai untuk membedakan dengan karya seni yang dibuat dan
ditempatkan di jalanan dengan meminta ijin kepada pihak yang berwenang.
Seni jalanan merupakan perkembangan dari grafiti yang biasanya dibuat
dengan cat semprot (aerosol) kemudian berkembang menggunakan berbagai
teknik pembuatan misalnya : stensil, stiker, tempelan kertas (wheatpasting),
poster atau campuran dari berbagai bentuk seni. Penempatannya dilakukan
tampa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan sengaja. Misalnya:
gerbong kereta, pos polisi, papan reklame, dan lain-lain. Terkadang memicu
timbulnya perkara. Perkara inilah yang seringkali menyababkan pelaku seni
jalanan dianggap sebagai pelaku (vandalism). (Barry.2008, 30-31).
Kata “jalanan” pada seni jalanan bukan sekedar menunjukan tempat tetapi
lebih menekankan kepada keabsahan sebab jalanan memiliki sifat longgar
yang memungkinkan kebebasan ekspresi berlangsung. Apakah itu dalam
bentuk kebebasan berpendapat, seni, maupun kebebasan bertingkah laku.
Jalanan telah menjadi tempat dimana orang-orang memiliki kesempatan
untuk menunjukan rasa kemanusiaan dan kebinatangannya yang
tersembunyi (Barry.2008, 30-31).
2.4 Fungsi Mural di Ruang Kota
2.4.1 Fungsi Mural di Ruang Kota
Dalam periode seni modern, secara individual, seniman lebih bebas
menginterpretasi sesuatu kepada sebuah karya seni. Lambat laun mereka
membutuhkan respon masyarakat untuk mengagumi karya mereka agar
dapat diterima melalui seni publik di ruang publik, bukan hanya dalam galeri
atau museum saja. Seni berperan dalam publik ketika mempengaruhi
kolektif masyarakat, dengan sengaja dibuat untuk diperlihatkan pada publik
atau digunakan sebagai fasilitas publik, menggambarkan atau
mendeskripsikan keberadaan sosial atau sesuatu yang muncul secara kolektif
dari masyarakat, dan bukan merupakan persepsi individu berdasarkan
pengalaman personal seniman (Feldman,1967).
Sebagai gerakan kritik sosial dan politk, Diego Rivera (1922-1953)
merupakan perintis lukisan mural muncul di Mexico, atau dikenal sebagai
Mexican muralista. Karya pertama yang ia buat adalah Man at the
Crossroad.
Karya mural ini merupakan karya seni publik karena memang sengaja dibuat
di dingding pembatas jalanan di Mexico.

Gambar 01. Mural Man at the Crossroad karya Diego Rivera


(sumber http://www.diegorivera.com 06/12)
Public art berasal dari publik yang berarti masyarakat umum,
rakyat umum, orang banyak, atau masyarakat ramai, sedangkan art berarti
seni. Public art merupakan sebuah karya seni yang dapat dinikmati dan
dijangkau secara akses oleh khalayak. Berbeda dengan gallery atau museum
di mana benda-benda seni dipertunjukan sekaligus dijaga secara eksklusif,
seni publik di pajang secara umum di tempat umum seperti jalan umum,
taman dan titik kota lainnya.
Dikatan oleh Miles (1997) bahwa seni publik merupakan sebuah
rana khusus untuk praktik seni, yang menarik perhatian para korutor dan
kritikus seni. Kemudian, seni publik memberi peluang pada pelaku seni
publik yang memiliki otoritas kecil akan seni kontemporer, karena tidak
mendapat kesempatan pameran di galeri formal.
Seni publik dapat menjadi peluang untuk pembetukan reputasi atau
pembentukan wilayah. Ia berpotensi representasi seni lokal. Banyak seni
publik yang disokong oleh Dewan Kesenian dan lembaga penyokong seni.
Namun, tak semua seni dipertunjukan di tempat publik dan dapat dilihat oleh
semua masyarakat disebut sebagai seni publik. Misalnya lukisan dinding di
gereja dan katedral di Eropa bukan seni publik karena nilai kesenian yang
tercipta merupakan sebuah tradisi (Miles,1997). Sedangkan seni publik
mereprentasikan kekinian dan terkait erat dengan konteks dimana ia berada
(Asharhani,2012: 6-8).
2.4.2 Fungsi Sosial
Manusia di samping mempunyai tanggung jawab atas
dirinya ia terikat pula oleh lingkungan sosialnya. Semua karya seni
yang berkaitan dengannya akan juga berfungsi sosial; karena karya
seni diciptakan untuk penghayat. Para seniman dapat berkata bahwa
karya seni yang mereka buat semata-mata untuk dirinya sendiri, dan
dengan ukuran atau standar priadi. Namun tidak dapat di pungkirinya
bahwa di balik itu semua seniman mengharapkan adanya sesuatu dari
masyarakat penghayatnya, apakah masyarakat menerimanya dengan
rasa kagum dan menghargainya. Sebagai konsekuensinya karya seni
yang mereka susun atau ciptakan merupakan respon sosial dengan
dorongan personal, sekaligus mempunyai fungsi sosial (Mulyadi,
1986).
Pengertian fungsi seni sebagai fungsi sosial merupakan
kecenderungan atau usaha untuk mempengaruhi tingkah laku
terhadap kelompok manusia. Ia diciptakan berdasarkan atas dasar
penggunaan pada situasi umum serta mengambarkan aspek
kelompok sebagai wujud adanya perbedaan pengalaman personal.
Kita bisa mengambil contoh karya-karya yang di pakai dalam atau
pada sarana pemujian, penghargaan, pelampiasan kemarahan, protes
atau kritik, deskripsi sosial, penghinaan, sindiran dan sebagainya.
Dengan kata lain, seni dapat mempengaruhi tingkah laku manusia,
mengubah cara berpikir dan juga perasaan, bahkan seringkali
mempengaruhi tindakan. Contohnya adalah karya advertensi atau
reklame dan poster (dalam seni rupa) dalam Kartika (2017:31).
2.5 Mural sebagai Kritik Sosial dan Perlawanan
Visualisasi mural terhadap pemirsanya memberikan dampak, yakni
memberikan pembelajaran ide-ide tentang kesenirupaan dan pendidikan
sosial. Selain itu pembelajaran tersebut memunculkan ide-ide tentang
mural sebagai media kritik sosial dari masyarakat itu sendiri Wayan Setem
dkk, (2012: 62 ).
Disatu sisi, sebuah karya mural mengandung nilai-nilai intrinsik.
Karya mural harus lahir dari pemahaman terhadap keterampilan tehnis
yang bisa diwujudkan dalam karya tersebut. Disisi lain, mampu
dipertanggungjawabkan dalam interaksi sosial, seniman harus
mempertanggung jawabkan proses kreatifnya atau bahkan menyampaikan
sesuatu yang dianggapnya penting lewat karyanya tersebut.
Dunia mural, menyampaikan kritik sosialnya adalah salah satu cara
menjalankan funsi normatifnya, yakni sebagai alat kontrol sosial,
menyampaikan kritikan sosial bagi lapisan masyarakat lewat media
tembok jalanan atau dikenal dengan istilah Street Art, mempunyai makna
sebagai cara bagaimana mural menyampaikan aspirasi sosialnya. Aspirasi
masyarakat kepada pemerintah dan merupakan salah satu bagaimana
memposisikan media visual art dalam hal ini mural sebagai wahana kritik
sosial. ( Kritik sosial dalam mural menyuarakan dari beberapa segi yakni
sosial budaya, ekonomi, dan politik (Wicandra, Obed Bima, (2005:129-
131).
Semisal Kritik sosial dalam sosial budaya, menggambarkan
bagaimana, mural diciptakan di antara kafe dan pemakaman umum. Akan
menjadi menarik karena mural mampu memunculkan citra kedekatan cafe
dengan makam tetapi tidak menghilangkan kesan nyungkani.
Dalam Ekonomi penggambaran mural dimaksudkan menyentil
masyarakat yang terbiasa menyukai permainan yang diikuti judi. Pesan
mural yang dimunculkan mengajak giat bekerja dari pada berharap durian
runtuh melalui permainan judi. Kritik sosial dalam politik, mural yang
dibuat oleh negara-negara sosialis menyuarakan pada kepatuhan terhadap
ideologi yang dianut, dukungan kepada pemerintah hingga ajakan
melawan terhadap pemerintah.
2.6 Pengertian Semiotika
Daniel Chandler mengatakan. “The shortest definition is that it is
the study of signs” (definisi singkat dari semiotika adalah ilmu tentang
tanda- tanda). Ada juga yang menyatakan, “The study of how a society
produces meanings and values in a communication syste is called
semiotics from the Greek term semion, “sign”.” Studi
tentang bagaimana masyarakat memproduksi makna dan
nilai-nilai dalam sebuah sistem komunikasi disebut semiotika, yang berasal
dari kata semion, istilah Yunani, yang berarti “tanda”. Disebut juga sebagai
semiotikos, yang berarti “teori tanda”.
Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotika diambil dari kata dasar Seme
(Yunani) yang berarti “penafsir tanda” (Rusmana, 200:4).
Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiotika sebagai studi
tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, yakni cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan
penerimaanya oleh mereka yang mempergunakannya (Van Zoest,1978,
dalam Rusmana, 2005). Menurut John Fiske, semiotika adalah studi tentang
pertanda dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang
bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang
bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang
mengkomunikasikan makna (John Fiske, 2007:282).
Preminger berpendapat bahwa semiotika adalah illmu tentan tanda-
tanda. Ilmu yang menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotic mempelajari sistem-
sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2003:119). Semiotika mengeksplorasi
bagaimana makna terbangun oleh teks telah diperoleh melalui penataan
tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya
(Barker, 2004). Menurut Culler (1981), semiotika adalah istrumen logis dari
apa yang disebut Derrida sebagai “logosentrisme”. Budaya Barat:
rasionalitas yang memperlakukan makna sebagai konsep atau
representasilogis yang merupakan fungsi tanda sebagai ekspresi Kurniawan
(2001;12)
Dari beberapa pengertian tersebut mka dapat dikatakan bahwa
semiotika adalah ilmu tentang tanda, dan merupakan cabang filsafat yang
mempelajari dan menelaah “tanda”.
2.7 Mitologi Roland Barthes
Menurut Barthes, semiology hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (thing). Memaknai, dalam hal
ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti
bawha objek-ojek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-
objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstruksi system
terstuktur dari tanda. Barthes, dengan demikian melihat signifikansi
sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah
terstruktur.
Signifikasi tidak sebatas pada Bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain diluar
bahasa. Barthes menganggap kehidupan social sebagai sebuah signifikansi.
Dengan kata lain, kehiduoan sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu
system tanda tersendiri (Kurniawan, 2001:53)
Sebagaimana pandangan Sausure, Barthes juga meyakini bahwa
hubungan antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara ilmiah,
melainkan bersifat arbiter. Bila Sausure hanya menekankan pada
penandaan pada tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan
semiology Sausure dengan mengembangkan sistem penandaan pada
tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu
“mitos” yang menandai suatu masyarakat.
Peta tanda Roland Barthes
1. 2.
Signifier
Signified
(penanda)
(pertanda)

3.
Denotative Sign (tanda denotative)
2. Connotative Signifier 3. Connotative
(penanda konotatif) Signified
(pertanda
konotatif)

4. connotative Sign
(tanda konotatif)

2.8 Semiotika Komunikasi Visual


Dilihat dari wujudnya, desain komunikasi visual mengandung
tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti
itulah pesan menjadi bermakna. Di samping itu, gabungan antara tanda dan
pesan yang ada pada desain komunikasi visual diharapkan mampu
mempersuasi khalayak sasaran yang dituju.
Melalui pendekatan teori semiotika, diharapkan karya desain
komunikasi visual mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan
makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, dapat ditemukan
kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada karya desain
komunikasi visual dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan.
Semenntara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya
desain komunikasi visual disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui
tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek ragam bahasa,
tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat
dari cara menggambarya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis dan
bagaimana cara mengungkapkan idiom estetikanya. Tanda-tanda yang
dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan,
dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui
dasar keselarasan anatara tanda verbal dan tanda visual untuk mendukung
kesatuan penampilan karya desain komunikasi visual serta mengetahui
hubungan anatara jumblah muatan isi pesan ( verbal dan visual ) dengan
tingkat kreativitas pembuatan karya desain komunikasi visual.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda. Tanda-tanda
tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia
mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau
dibayangkan.
a. Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teori Pierce (Noth, 1995;45 dalam Amir Piliang, 2009:16-
17), tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon,
indeks, dan symbol.
1. Ikon
Menurut Vera (2014) ikon adalah tanda yang menyerupai benda
yang diwakilinya atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan
atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya.
Misalnya, kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang
digambarkannya, foto, dan lain-lain. Benda-benda tersebut
mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan diantara
tanda dan denotasinya, makna ikon, seperti qualisign merupakan
suatu firsnes. Ikon juga dapat terdiri atas kata-kata onomatope,
gambar (diagram, bagan, dan lain-lain).
Ikon adalah yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat
pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama
dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan
Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari
wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap
jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.
2. Indeks
Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung pada
keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi Peirce
merupakan suatu secondnees. Indeks, dengan demikian adalah suatu
tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang
diwakilinya. Misalnya tanda asap dengan apai, tiang petunjuk jalan,
tanda penunjuk angina dan sebagainya (Vera,2014:25). ata
keterangan seperti disni, di sana, kata ganti seperti, kau, aku, ia, dan
seterusnya (Danesi,2011:34).
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat
dengan apa yang diwakilinya atau disebut sebagai tanda adalah
bukti. Contohnya; asap dan api, asap menunjukan adanya api. Jejak
telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati
tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan
seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
3. Simbol
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami
jika seseorang sudah mengerti arti yang sudah disepakati
sebelumnya.
Contohnya; Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah
burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi
orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eksimo,
misalnya, Garuda Pancasila hanya di pandang sebagai burung elang
biasa (Amir Piliang, 2009:16-17).
Menurut Vera (2014) Simbol adalah tanda, di mana
hubungan tanda dan denitasinya ditentukan oleh suatu peraturan
yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama
(konvesi). Misalnya tanda-tanda kebasahaan adalah simbol.
Menurut Arthur Asa Berger, simbol diklasifikasikan menjadi
tiga bentuk berikut.
- Simbol konvensional, yaitu kata-kata yang terdiri atau ada
untuk menggantikan sesuatu.
- Simbol aksidental, yaitu sifatnya lebih personal. Sebagai
contoh, orang yang baru jatuh cinta di Surabaya, maka bagi
dia Surabaya adalah simbol cinta.
- Simbol universal, yaitu sesuatu yang berakar dari
pengalaman semua orang dan orang memahami sebuah
simbol karena memiliki pengalaman yang sama.
4. Kode
Kode menurut Piliang (1998;17) adalah cara
pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk
memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang
lainnya. Sedangkan kode dalam terminologi sosiolinguistik ialah
variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula
(Poedjosoedarmo, 1986;27). Dalam praktik bahasa, sebuah pesan
dikirim melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco
menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai
tampilan yang kongkrit dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Roland Barthes dalam buku S/Z mengelompokan kode-
kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik,
kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau
kode kebudayaan (Barthes, 1974;106). Uraian kode-kode tersebut
dapat dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:
a. Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi perbagai cara
pertanyaan, teka-teki, respon, enigma, penanggulangan
jawaban, akhirnya menuju kepada jawaban. Atau dengan
kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-
teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah
mereka? Apa yang teradi? Halangan apa yang muncul?
Bagaimana tujuannya? Jawaban yang satu menunda
jawaban yang lain.
b. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada
level penanda. Misalnya konotasi femininitas dan
maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik
adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan
suatu konotasi, maskulin, feminim, kebangsaan,
kesukuan, atau loyalitas.
c. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan
psikoanalisis,antithesis, kemenduaan, pertentangan dua
unsur, atau skizofrenia.
d. Kode Narasi, atau proatentik yaitu kode yang mengandung
cerita, urutan, narasi, atau anti narasi.
e. Kode Kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang
bersifat kolektif, anonym, bawah sadar, mitos,
kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi,
sastra, seni, dan legenda.
b. Makna Denotatif dan Konotatif.
Semua makna budaya diciptakan menggunakan symbol-simbol.
Simbol, mengacu pendapat Spradley (1997:121) adalah objek atau
peristiwa apapun yang menujuk kepada sesuatu. Semua simbol
melibatkan tiga unsur: pertama,simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan
atau lebih. Ketiga, hubungan antara simbol dengan rujukan. Semua itu
merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu,
simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Spradley (1997:122) menjabarkan makna denotative meliputi hal-
hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14)
mengartikan makna denotative hubungan eksplisit antara tanda dengan
referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Misalnya, ada
gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicat, seperti
merah, kuning, biru, putih dan sebagainya. Pada tahapan ini, hanya
informasi data yang disampaikan.
Spradley (1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua
signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensinya.
Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang
berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan
idelogi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum dapat diartikan
sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja
tersenyum diartikan sebagai ekpresi penghinaan terhadap seseorang.
(Amir Piliang, 2009:19-20).

2.9 Ruang (SPACE)


Faktor utama dalam menjaga kelangsungan hidup manusia adalah
terpenuhinya kebutuhan hidup. Yang dimaksud dengan kebutuhan hidup
manusia adalah tersedianya sandang, pangan, ruang hidup atau pemukiman,
pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dari unsur-unsur tersebut, ruang
memegang peranan penting bagi profesi Arsitektur Lansekap.
Ruang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia di mana pun dia
berada, baik secara psikologi dan emosional (persepsi), maupun
dimensional. Manusia selalu berada dalam ruang, bergerak serta menghayati,
berpikir dan juga menciptakan ruang untuk menyatakan bentuk dunianya.
Ciptaan yang artistik disebut Ruang Arsitektur. Ruang aarsitektur ini
menyangkut interaksi antara ruang dalam dan ruang luar, yang saling
mendukung dan memerlukan penataan lebih lanjut.
1. Pengertian Ruang
Ruang mempunyai arti yang penting bagi kehidupan manusia.
Semua kehidupan dan kegiatan manusia sangat berkaitan dengan
aspek ruang. Adanya hubungan antara manusia dengan suatu objek,
baik secara visual maupun secara indra pendengar, indra perasa, indra
penciuman akan selalu menimbulkan kesan ruang. Para pakar yang
mencoba menafsirkan ruang, memberikan pandangan yang berbeda-
beda.
Imanuel Kant (baca Edward Paul, 1972 : The Encylopedia of
Philosophy, vol. 3 dan 4 Mac Milian Publishing hlm. 308)
berpendapat bahwa “ Ruang bukanlah sesuatu yang objektif sebagai
hasil pemikiran dan perasaan manusia”. Sedangkan filsuf Plato
berpendapat bahwa “Ruang adalah suatu kerangka atau wadah
dimana objek dan kejadian tertentu berada”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan
suatu wadah yang tidak nyata, akan tetapi dapat dirasakan
keberadaanya oleh manusia.
2. Hubungan Manusia dan Ruang
Ruang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hal ini
disebabkan manusia selalu bergerak dan berada di dalamnya. Ruang
tidak akan ada artinya jika tidak ada manusia. Oleh karena itu, titik
tolak dari perancangan ruang harus selalu didasarkan pada manusia.
Hubungan manusia dengan ruang secara lingkungan dapat dibagi 2
(dua), yaitu Hubungan Dimensional (Antromenthcs) serta Hubungan
Psikologi dan Emosional (Proxemics).
1. Hubungan Dimensional
Menyangkut dimensi-dimensi yang berhubungan dengan tubuh
dan pergerakan kehidupan manusia.
2. Hubungan Psikologis dan Emosional
Hubungan ini menentukan ukuran-ukuran kebutuhan ruang
untuk kegiatan manusia.
3. Pembatas Ruang dan Komponen Pembentuk Ruang
a. Lantai
Sebagai bidang atas atau The Base, pengaturanya terhadap
pembentukan ruang sangatlah besar. Karena bidang ini erat
hubungannya dengan fungsi ruang. Permukaan lantai pada ruang
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam bahan, yakni
Bahan keras; misalkan batu, kerikil, pasir, beton dan aspal
Bahan Lunak, misalkan berbagai jenis tanaman, dan rumput
Sebidang lantai yang mempunyai sifat bahan berbeda dari
permukaan lantai sekitarnya akan memberikan kesan tersendiri dan
berbeda satu dangan yang lainnya.
Pengaruh perbedaan bahan dapat digunakan untuk membedakan
fungsi-fungsi ruang luar yang berlainan.
Selain perbedaan bahan lantai, perbedaan tinggi pada suatu bidang
lantai akan membentuk kesan dan fungsi ruang yang baru tampa
menggangu hubungan visual antara ruang-ruang tersebut.
Pada ruang yang luas, perbedaan tinggi lantai pada sebagian
bidangnya dapat mengurangi rasa monoton dan menciptakan
ruang yang lebih manusiawi
b. Dinding
Sebagai pembatas ruang, dinding atau dapat disebut “The
Verticals” dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu
1) Dinding Masif
 Permukaan tanah yang miring atau vertical
 Dinding bangunan atau tembok berupa pasangan batu
batau atau kayu dan sebagainya mempunyai sifat yang
kuat dalam pembentukan ruang
2) Dinding transparan
Dinding transparan terdiri dari bidang yang transparan seperti
: Pagar bamboo, kayu, yang tidak padat
3) Dinging semu
Dinding semu merupakan dinding yang dibentuk oleh
perasaan pengamat setelah mengamati suatu objek atau
keadaan. Adapun dinding ini dapat terbentuk oleh garis-garis
batas misalnya garis batas air sungai, air laut, cakrawala, dan
batas lantai trotoar. Kesan ruang yang dipengaruhi oleh tinggi
pandangan mata yang erat hubungannya dengan tinggi
dinding pembatas.
 Tinggi dinding yang rendah sekali
Batas dinding dengan tinggi dibawah mata manusia
memberikan kesan ruang yang kuat sebagai fungsi
“pengarah”.
 Tinggi dinding sebatas manusia
Batas dinding setinggi mata manusia memberikan
kesan ruang yang jelas
 Tinggi dinding diatas kepala manusia
Batas dinding dengan tinggi di atas kepala menusia
memberikan kesan ruang tertutup serta menghasilkan
ruang “pengarahan yang tegas”.
c. Atap/Penutup
Atap dapat disebut The Overhead, seperti halnya hanya dengan
dinding terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni
1) Penutup atap yang massif
Penutup atap yang masif antara lain susunan atau genting,
bidang palfon (para-para) atau atap gua. Bila manusia berada di
bawah atap tersebut, memberikan kesan “terlindung” dari udara
luar serta membentuk ruang yang padat.
2) Penutup atap yang transparan
Penutup atap yang transparan antara lain, susunan tajuk
tanaman, atap pengola, genteng tembus pandang, dan
sebagainya. Kesan ruang yang ditimbulkan dari pemakaian atap
tersebut adalah menghasilkan kesan ruang yang semakin luas,
bebas dan semakin mendekati suasana alami
d. Batasan Ruang
Batasan ruang adalah sebagai berikut.
1) Tinggi diatas mata, fungsi ini sebagai “perlindungan”.
2) Tinggi sebatas dada, fungsinya adalah untuk “membentuk
ruang paling terasa”.
3) Tinggi dibawah pinggang, fungsi sebagai “pengatur lalu lintas”
ataupun “pembentuk pola sirkulasi”.
4) Tinggi sebatas lutut, fungsi sebagai “pola pengarah”.
5) Tinggi sebatas telapak kaki, fungsi sebagai “penutup tanah”
2.10 Kerangka Pemikiran

MURAL KPSL (KOMUNITAS SADAR LINGKUNGAN)

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

MAKNA MURAL KARYA


KOMUNITAS PEMUDA SADAR LINGKUNGAN

FUNGSI MURAL DI SEMIOTIKA KOMUNIKASI RUANG PUBLIK


KOTA VISUAL

MURAL KPSL SEBAGAI


MEDIUM KRITIK ANAK MDA
BAB III

METODE PENELITIAN

4.3 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah dalam buku (Moleong,
2016:6).
4.4 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
pendekatan analisis semiotika anailisis semiotika Mitologi Roland Barthes
dan Semiotika Visual untuk mendeskripsikan setiap elemen yang
membentuk makna pada gambar mural karya Komunitas Sadar Lingkungan
dan ruang publik sebagai media yang digunakan oleh seniman untuk
mengekspresikan karya mereka.
4.5 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah segala tanda, petanda,
penanda yang akan peneliti amati dari gambar mural karya Komunitas
Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL) di Maumere. Dalam hal ini unit analisis
yang diutamakan adalah pada gambar mural di kampung Kabor Maumere
samping Gelora Samador dan Samping Tembok Toko Batu Gaja kota
Maumere karya Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL) dan ruang
public sebagai media yang digunakan seniman untuk menyampaikan pesan
visual kepada masyarakat Kabupaten Sikka.
4.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Observasi
Kegiatan obsevasi meliputi pencatatan secara sistematis atas
kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat dan hal-hal lain
yang diperlukan guna mendukung penelitian secara umum di mana
peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Pada
tahap selanjutnya peneliti harus melakukan observasi yang terfokus,
mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga
dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus-
menerus terjadi.
Jika hal itu sudah ditemukan maka peneliti akan dapat
menemukan tema-tema yang akan diteliti. Salah satu peran pokok
dalam melakukan observasi ialah menemukan interaksi yang
kompleks dengan latar belakang sosial yang alami.
2. Wawancara (In-depth Interview)
Dalam menggunakan teknik wawancara ini keberhasilan
mendapatkan data atau informasi atas objek yang diteliti sangat
tergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara.
Cara wawancara mirip dengan kalau kita sedang melakukan
pembicaraan dengan lawan bicara. Wawancara dimulai dengan
menggunakan topic yang umum untuk membantu peneliti memahami
perspektif makna yang diwawancarai. Hal ini sesuai dengan asumsi
dasar penelitian kualitatif, yaitu bahwa jawaban yang diberikan harus
dapat membeberkan persepsi orang yang diteliti, bukan persepsi
peneliti itu sendiri (Jonathan Sarwono, 2007:101).
3. Dokummentasi
Yaitu pengumpulan data yang penting dalam penelitian
ilmiah dengan melakukan pengamatan, pencatatan, serangkaian
perilaku dan sebagainya secara langsung. Observasi pada penelitian
ini dilakukan dengan mengamati secara langsung objek penelitian
yaitu gambar mural karya seniman mural Komunitas Sadar
Lingkungan (KPSL).
4.7 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber Data dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer
Yaitu data diperoleh dari hasil observasi peneliti dan foto-foto di
lapangan terhadap karya lukisan mural dari Komunitas Sadar
Lingkungan (KPSL).
2. Data Sekunder
Yaitu data diperoleh dari narasumber berupa hasil wawancara.
Narasumber dalam penelitian ini adalah Rykho selaku ketua
Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL) di Maumere.
4.8 Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah anailisis semiotika Mitologi
Roland Barthes, dimana peneliti akan melakukan analisis dengan mitologi
dari Roland Barthes
Barthes meyakini bahwa hubungan antara penanda dan pertanda tidak
terbentuk secara ilmiah, melainkan bersifat arbiter. Bila Sausure hanya
menekankan pada penandaan pada tataran denotatif, maka Roland Barthes
menyempurnakan semiology Sausure dengan mengembangkan sistem
penandaan pada tingkat konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari
penandaan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. Dalam
penelitian ini peneliti ingin mengungkap makna yang terkandung di di balik
gambar mural karya Komunitas Sadar Lingkungan (KPSL).
4.9 Keabsahan Data
Untuk menentukan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferabilityi), kebergantungan(dependability), kepastian
(confirmability).
1. Derajat kepercayaan (credibility).
Criteria ini berfungsi : pertama melaksanakan inkuiri sedemikian
rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat tercapai.
Kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan
dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan yang sedang
diteliti.
2. Keteralihan (transferability).
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan
antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan
tersebut seorang peneliti mencari dan mengumpulkan kejadian empiris
tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung
jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika, ia ingin
membuat keputusan tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu,
peneliti harus melakukan penelitian kecil untuk memastikan usaha
verifikasi tersebut.
3. Kebergantungan (dependability).
Konsep kebergantungan lebih luas dari pada reabilitas. Hal tersebut
disebabkan peninjauan bahwa konsep harus diperhitungkan segala-
galanya yaitu yang ada pada rehabilitas itu sendiri ditambah factor-
faktor lainnya yang bersangkutan.
4. Kepastian (confirmability).
Objektifitas-subjektifitasnya sesuatu hal bergantung pada orang
seorang. Selain itu masih ada unsur kualitas yang melekat pada konsep
objektifitas tersebut. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu
itu objek, berarti dapat dipercaya, factual dan dapat dipastikan.
(Moleong, 2016:324-325).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.10 PROFIL PEMUDA SADAR LINGKUNGAN (KPSL)


Kecintaan sekelompok anak muda akan dunia seni berhasil
mempertemukan beberapa anak muda yang sama akan bidang seni. Hal ini
pula yang mendasari terbentuknya sebuah komunitas yang bergerak di
bidang seni rupa yang meliputi : seni lukis dan mural. Komunitas ini
dibentuk dengan nama Komunitas Pemuda Sadar Lingkungan (KPSL).
KPSL dibentuk pada tahun 2004 bula Juni, yang mempunyai visi-misi dari
komunitas yaitu melawan vandalism yang ada pada lingkungan kota
Maumere terutama pada tembok-tembok kota. Fokus komunitas ini adalah
kepedulian anak muda terhadap lingkungan sekitar. Komunitas ini bergerak
secara mandiri dan berdasarkan hobi atau minat yang sama akan dunia seni
rupa, terutama seni lukis mural.
Pada umumnya anggota yang tergabung dalam komunitas ini
adalah anak muda yang ada di kota Maumere, diantaranya berprofesi sebagai
pekerja seni (seniman) dan mahasiswa. Selain bergerak di bidang seni lukis
dan mural tersendiri komunitas ini juga sering melaksanakan kegiatan karya
bakti berupa pemberian sumbangan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Misalnya kepada masyarakat yang tetap bekerja di tengah pandemic Covid-
19 karena tuntutan ekonomi . komunitas ini bergerak langsung dengan
mengumpulkan dana dari anggota komunitas maupun partisipan dalam
rangka membantu masyarakat kecil ini.
Aksi mural juga sering dilakukan komunitas ini di beberapa
tembok di sudut kota Maumere yang tentunya diladasi dengan observasi
anggota komunitas baik itu tembok yang menjadi media lukisa mural
maupun gambar yang akan dituangkan dalam mural tersebut. Gambar-
gambar mural ini juga dibuat tidak asal-asalan melainkan melalui sebuah
proses perundingan antara ketua dan anggota dengan melihat kondisi atau
isu yang sedang berkembang di masyarakat untuk dijadikan referensi dalam
menggambar.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bahari Nooryan, 2008. Kritik Seni, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. ISBN:978-602-
8055-19-2

Edy Sedyawati, Sapardi Djoko Damono. 1983.Seni Dalam Masyarakat


Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Indonesia.

Moelong, L.J. (2006) Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu


Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Rosdakarya.

Piliang Yasraf Amir, 2008. Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta, Jalasutra.


ISBN : 978-602-8252-24-9

Sarwono Jonathan dan Hery Lubis, 2007. Metode Riset Untuk Desain
Komunikasi Visual, Yogyakarta, C.V ANDI OFFSET. ISBN : 978-979-
29- 0041-5

Vera Nawiroh, M.Si. 2015. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor, Ghalia
Inodesia. Sarwono, Lubis. 2007. Desain Komunikasi Visual, Bandung,
C.V Andi OFFSET (Penerbit Andi) Indonesia.

Kartika,2017. Seni Rupa Moderen, Edisi Revisi. Rekayasa Sains, Bandung.


ISBN:9789793784816

Jurnal

Tolo Sese. 2019. “Ekonomi Politik Gerakan Mahasiswa Progresif di NTT Pasca
Pemilu 2019”. Maumere : LK3I Maumere, Flores, NTT.
Althaf Afif, Dimas Krisna Aditya. 2017. “Mural Sebagai Media Edukasi
Mengenai Kebudayaan Kecamatan Bojongsoang Dengan Memanfaatkan
Ruang Dua Dimensi Yang Terbengkalai Volume 4” No.3
Desember 20 ISSN : 2355-9349

Wicandra Obed Bima. 2005. “Berkomunikasi Secara Visual Melalui Mural Di


Jogjakarta”. Surabaya : Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Wicandra Obed Bima. 2005. “Merebut Kuasa Atas Ruang Publik: Pertarungan
Ruang Komunitas Mural Di Surabaya”. Surabaya : Universitas Kristen
Petra, Surabaya.

Candra Cristian Oki. 2013. ’Pesan Visual Kota’ . Yogyakarta ; Pendidikan Seni
Rupa Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Candra Tanti, Wahyu Budi Nugroho, Nengah Punia. 2017. “Produksi Ruang
Sosial Melalui Mural Di Kota Denpasar”.

Althaf Afif, Dimas Krisna Aditya. 2017. “Mural Sebagai Media Edukasi
Mengenai Kebudayaan Kecamatan Bojongsoang Dengan Memanfaatkan
Ruang Dua Dimensi Yang Terbengkalai Volume 4“.
Desain Komunikasi Visual, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Telkom. ISSN
: 2355-9349.

Susanto, Mikke. (2003). Membongkar Seni Rupa. Yogyakarta: Penerbit Jendela

Susanto, Mikke. (2002),. Diksi Rupa. Yogyakarta: Kanisius.

Skripsi

Cristian Oki Candra, 2013. Pesan Visual Mural Kota Karya Jogja Mural Forum
–Yogyakarta. Kepada Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta
Danny Syah Putra, 2018. Penggunaan Komunikasi Visual Mural Pada Kafe
(Analisis Kualitatif Penggunaan Komunikasi Visual Mural Pada Kafe
Bangi Kopi). Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Tesis

Meila Riskia Fitri, 2015. MuralsebagaiMediumKritik Sosial Seniman (Studi


Kasus “Jogja Asat”). Program Studi Pascasarjanasosiologi Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik ` Universitas Gadjah Mada

Internet

https://www.suara.com/news/2019/09/28/173542/sempat-viral-bawa-poster-
zinahi-aku-saat-demo-6-mahasiswi-minta-maaf di akses pada tanggal
13/12/2019 pada pukul 16:57).

Anda mungkin juga menyukai