Anda di halaman 1dari 3

Street Art Menyapa Kota

Obed Bima Wicandra*

Sorotan media massa cetak dan elektronik di Indonesia terakhir ini


termasuk di Metropolis Jawa Pos adalah berita tentang tren memperindah
wilayah publik yang biasa dikenal dengan street art atau seni rupa
jalanan. Wabah street art bahkan sudah masuk di Surabaya dengan
berbagai macam bentuknya mulai dari graffiti maupun mural (meskipun
dua bentuk ini memiliki perbedaan yang mendasar).
Street art identik dengan seni underground. Street art yang lahir
pada tahun 1980-an di kota New York lebih tepat ditujukan pada graffiti
atau bentuk seni rupa jalanan lain seperti stencil, sticker, poster dan lain-
lain. Sedangkan mural dalam beberapa referensi perkembangan street art
tidak memasukkannya dalam kategori tersebut. Sifat mural yang penuh
ketelitian dalam pengerjaan sehingga memunculkan kesan sempurna
tentu berbeda dengan graffiti maupun bentuk street art lain yang sifatnya
cepat digoreskan pada tembok.
Karena itulah muncul kesan, bahwa graffiti maupun stencil
menghasilkan wajah buruk bagi kota yang tengah membangun image
bersih, rapi dan tampak tertata, sehingga tidak heran dalam setiap aksinya
kelompok graffiti biasanya harus berurusan dengan Satpol Pamong Praja.
Tantangan yang memicu hormon andrenalin meningkat itu pun diikuti
oleh perkembangan komunitas graffiti di Surabaya yang juga semakin
meningkat seiring dengan referensi visual yang didapat dari internet,
buku-buku terbitan luar negeri maupun dari hasil diskusi dengan sesama
komunitas dari Jogjakarta, Bandung dan Jakarta yang lebih dulu memulai
kegiatan ini sejak tahun 2000-an. Sehingga visual yang dihadirkan oleh
graffiti di Surabaya pun semakin artistik, tidak lagi hanya coretan-coretan
liar nama sekolah, nama geng/kelompok maupun kata-kata yang tak
punya arti. Sesekali cobalah melihat graffiti di salah satu sudut kawasan
Margorejo dan Gunungsari. Sangat artistik kan?
Berbeda lagi dengan mural yang proses pengerjaannya lebih lama
daripada graffiti maupun stencil, maka mau tidak mau seniman mural
memang ‘harus’ berkompromi dengan dinas-dinas kota yang terkait. Di
samping itu mural memang menuntut adanya relasi sosial antara seni itu
sendiri dengan kondisi masyarakat sekitar.

Respon Street Art Terhadap Ruang Publik


Adakah di Surabaya tempat yang dinamakan ruang publik? Suatu
tempat dimana kita bisa sekedar duduk dengan lega, tidak terganggu
dengan tawaran iklan komersial atau bisingnya lalu lintas jalan? Suatu
tempat dimana aktifitas bertemu dan bersama orang lain terjadi dalam
situasi kehangatan?
Dalam proyek Re-Publik Art di Jogjakarta pada tahun 2005 lalu
dipertanyakan pula mengenai konsep kota bagi publik. Kota yang telah
menjadi branding bagi merek-merek global ditengarai tidak lagi memberi
cukup ruang dalam menciptakan ruang publik. Ruang publik dalam
kategori spasial kota adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan
publik. Modernitas yang menghasilkan pesan-pesan komersial seperti
iklan menjadi pihak yang bertanggung jawab atas dehumanisasi yang
tercipta oleh ruang. Ruang publik adalah salah satu jalan bagi anggota
masyarakat menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Ruang publik
bisa berarti tempat (plaza, alun-alun, mall, taman atau hutan kota) tapi
mungkin lebih luas dari itu sebagaimana tempat umum (wc umum,
rumah sakit umum) tidak selalu berarti ruang publik. Dalam perencanaan
tata kota yang berhasil, apa yang dibayangkan atau dirancangkan dapat
terwujud (atau mengkonstruksi) pada kenyataan praktik sehari-hari.
Kesenian, seperti seni rupa seperti juga kota, bergerak dalam
sekian aras modern yang bercabang dan menghasilkan pula
kecenderungan yang beragam. Kecenderungan yang paling kuat dalam
dunia seni rupa adalah kecenderungan untuk meninggalkan ruang yang
khusus memajang karya seni yang selama ini telah terlembaga, yaitu
galeri. Mengalihkan galeri ke tempat-tempat umum dalam berkarya seni
adalah berupaya untuk menembus jarak spasialnya dengan orang banyak.
Seni pun pada akhirnya bisa dinikmati oleh siapapun dengan strata sosial
apapun.
Graffiti maupun stencil memang mempunyai idealisme yang tidak
mau berkompromi dengan kebijakan pemerintah kota, namun
kehadirannya akan selalu ada ketika ruang publik tidak terawat dan tidak
dibebaskan dari tempelan poster-poster produk iklan yang asal saling
bertumpuk, bahkan ketika kota makin dihiasi oleh berbagai macam dan
ukuran billboard yang menambah bising. Mural pun memiliki nafas yang
sama, yaitu memperindah dan menghilangkan kesan bising kota oleh
kesan kumuhnya wilayah maupun ketidak pedulian masyarakat kota
dalam menciptakan keindahan.

Mural dan Lingkungan


Mural bila dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka
mural mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan
kota. Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta
tingkat kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa
dihubungkan dengan memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’
akibat padatnya pengguna jalan raya, tingginya pemilik kendaraan
bermotor hingga kemacetan yang terjadi. Begitu pula dengan lingkungan
yang tidak seimbang akibat penebangan pohon yang sebenarnya
difungsikan sebagai paru-paru kota menambah panasnya hunian serta
tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian dimanfaatkan oleh mural
dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk menangkap kesan
estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan kota, papan iklan
maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
Dalam politik kota yang semrawut, mural berbicara untuk melukis
dinding kota yang tidak terawat, kotor nan sangat kumuh dengan
sentuhan estetika (seni). Hal ini menunjukkan kegelisahan para perupa
kontemporer untuk mencari kaitan antara wacana seni rupa dan
kehidupan kota sebagai representasi keseharian. Kota sudah memasuki
fase pelupa. Pada saat yang sama kota telah berubah menjadi rimba tanda-
tanda yang mengubur sejarah kotanya sendiri dan kota tidak lagi sarat
dengan kenangan lama yang menjadi saksi berkembangnya kota dari hari
ke hari. Hal inilah yang menjadi dasar alasan yang kuat mengapa mural
dilakukan dan mengapa pula mural sebaiknya tidak dipakai sebagai alat
promosi sebuah produk.
Sekedar perbandingan saja, di Jogjakarta mural dalam
perkembangannya tidak lagi dibuat oleh seniman namun justru oleh
masyarakat sendiri. Mereka mengerjakan mural itu di pinggir-pinggir
jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Terkesan mural di Jogja
bahkan seperti gerakan massal yang memaksa pihak biro iklan harus
memutar otaknya lagi untuk memasang poster iklan, karena ternyata
ruang publik itu sudah kembali ke masyarakat sendiri. Menurut data dari
Samuel Indratma, penggagas mural di Jogja sekaligus seniman dari
Apotik Komik, telah lebih dari 500 karya mural dihasilkan oleh
masyarakat Jogja. Sebuah usaha yang bisa dipakai sebagai salah satu trik
menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha
yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat mulai dari yang
muda hingga yang tua dalam menciptakan kondisi kota yang tidak saja
bersih namun juga indah.
Mari mewarnai kota Surabaya ini dengan bahasa keindahan!***

Identitas Penulis:
Obed Bima Wicandra
Aktivis “Tiadaruang Art Community” dan dosen Desain Komunikasi Visual UK Petra Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai