Anda di halaman 1dari 8

Ardhana Murti Indhira

C9510010
D3 DKV A

Seni Jalanan
Seni jalanan atau lebih karib disebut street art, hari ini memang kian majemuk
menampakkan parasnya. Ia, sepertinya mewakili semangat zaman yang serba mungkin.
Nilai estetika di dalam seni sendiri, semakin hari semakin terbuka menyambut berbagai
gejala perubahan sosial serta berkembangnya posisi sub kultur yang makin menguat di
ranah urban.

Sementara itu, konsep tentang subversi, sebagai satu-satunya mantra suci yang dipakai
oleh penggiat atau seniman street art tempo dulu – biasanya memakai bentuk seni graffiti
- yang mengusung agenda-agenda politis di ruang publik, menyuarakan ekspresi liar dan
pembelaan kepada kelompok yang “dimarginalkan” tidak lagi menjadi isu dominan lagi.
Meskipun kelompok ideologis serta individu-individu seperti mereka, masih saja
diwariskan dari generasi ke generasi, terus saja hadir dan berekspresi di kota-kota besar
dunia.

Yang sering terjadi, dalam prespektif tindakan vandalisme yang disematkan pada aktifitas
perupa jalanan lebih pada kasus tuduhan pengotoran tembok kota dan ruang publik
spesifik yang berseberangan dengan kebijakan pemerintahan lokal tentang tata kota.

Di lain pihak, di berbagai belahan dunia, sudah jamak diketahui pula lembaga-lembaga
yang berafiliasi atau di bawah payung pemerintah, misalnya seperti NEA (National
Endowment for The Arts) di Amerika Serikat berkolaborasi dengan LSM setempat
seringkali mengundang dan mengakomodir kegiatan para seniman jalanan, merangkulnya
untuk bersama-sama mengkampanyekan agenda-agenda milik pemerintah; seperti
demokratisasi, pluralisme dan hak asasi manusia dengan label initiative art project dll.

Pada sudut pandang industri seni, paras street art kian semarak, atau boleh dibilang lebih
sumringah menyambangi alaf anyar. Jika beberapa dekade lalu Basquiat sudah
“mementaskan diri” dari jalanan di Bronx untuk kemudian karyanya hadir di rumah
lelang Sotheby’s dan didisplay di MOMA, demikian pula Shepard Fairey dengan nama
jalanan Obey yang sepuluh tahun lalu “bergerilya” di tembok-tembok kota di Washington
DC, akhirnya hari ini “duduk manis” dalam satu diskusi panel dengan Bonham Art
Auction. Para seniman jalanan sohor lain di dunia barat, seperti Mr. Brainwash, Invader
sampai Banksy sedang menunggu antrian karyanya kelak akan demikian mahal di galeri
komersil dan menjadi incaran para kolektor.

Bagaimana dengan lembaga seni formal dan prestisius lain? Galeri Nasional milik
pemerintah Inggris telah memulainya, membuka gerbangnya lebar-lebar. Tate Modern,
London, pada 2008 lalu dengan tajuk Street Art memberi ruang ekspresi lebih luas untuk
seniman-seniman jalanan yang eksis hari ini. Mereka mengundang dan menyeleksi karya-
karya dari seluruh pelosok dunia dan memutuskan 6 kelompok seniman yakni Blu dari
Bologna, Itali; kelompok Faile dari New York, USA; JR dari Paris, Perancis; Nunca dan
Os Gêmeos, keduanya dari São Paulo, Brazil serta Sixeart dari Barcelona, Spanyol untuk
bersama-sam

Dengan menyigi berbagai peristiwa di atas, kita bisa mahfum bahwa seni jalanan era
sekarang memiliki wujud yang plural, tak ada sebuah klaim yang benar-benar sahih untuk
mendefinisikan apa dan bagaimana seharusnya seniman dan karya street art yang paling
ideal itu? Dan segeralah, pemahaman perlawanan terhadap segala sesuatu yang mapan
dan semangat pembokaran batas-batas high art dan low art perlahan-lahan mungkin saja
dianggap mulai usang. Keberadaan genre seni ini, adalah lebih pada sebuah sikap atau
pilihan para perupa untuk berkarya dan berekspresi secara bebas dan kebetulan ruang
yang dipilihadalahdijalanan.

Street Art di Indonesia

Di tanah air, keberadaan seni jalanan (graffiti, poster—stencil art dan mural) tidak bisa
dilepaskan pada perjalanan sejarah bangsa ini. Seni dianggap bagian integral dalam
menyikapi kehidupan dan dinamika politik. Meskipun dulu, tak dikenal sebutan seni
graffiti, karena hanya terkait pada seni yang berorientasi pada propaganda melawan
penjajahan.

Basuki Resobowo salah satu eksponen pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)
dalam bukunya “Bercermin di Muka Kaca—Seniman, Seni & Masyarakat” mengaku,
jauh sebelum ia bergabung dengan LEKRA, pada bulan Agustus tahun 1945 --
diinspirasi oleh aktifis politik dan pelukis mural Diego Revera asal Mexico-- pukul 6 pagi
tanggal 17, ia telah mencorat-coret tubuh gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya via
Semarang.

Jadi, beberapa jam sebelum Proklamasi dibacakan Soekarno, Basuki telah memulai gema
kemerdekaan RI dengan coretan ala graffiti ini. Sedangkan poster Boeng Ayo Boeng
yang dilukis bareng antara Affandi, bersama Sudjojono dan teksnya oleh Chairil Anwar
pada masa revolusi bisa juga menjadi “penanda awal” seni jalanan yang digandakan
secara luas.
Jika kita amati dalam soal bentuk dan medium, street art hari ini mengalami evolusi
gradual perubahan bentuk dari para perintisnya. Di Indonesia setelah masa Basuki cs,
segera kita mengenal bentuk-bentuk seni jalanan seperti graffiti, poster, mural atau stencil
art yang sangat khas pada tahun 70 an, yang berkelindan dengan pengaruh pop art dari
Eropa Barat atau Amerika serikat.

Yang kini, dengan semangat “retro”, para perupa jalanan kita memungut kembali jenis
yang demikian dan akhirnya menjadi semacam bentuk klasik seni jalanan yang kita
kenal di Indonesia. Tampilnya urban art, di tanah air yang dekat dengan karya seni di
ruang publik, tentu mewarnai perjalanan tersendiri bagi seni jalanan, yang sejatinya
adalah hasil “hibriditas” dan keniscayaan pengaruh bentuk seni-seni sebelumnya atau
seni kontemporer --- menggejala dalam dua dekade terakhir--- dengan merespon budaya
dan kehidupan kontemporer di wilayah kosmopolit urban.

Sementara itu, para seniman street art menentukan nasibnya sendiri, bereksplorasi lebih
lanjut bergabung dengan kantung-kantung perupa yang berbasis di jalan, atau melakukan
kerja kreatif sendiri di studio, kemudian turun ke jalan dan berinteraksi dengan siapa saja,
merespon lingkungan dan fasilitas apapun yang tersedia dengan tetap memakai ciri dan
identitas independen atau memilih berkolaborasi dengan lembaga seni atau non seni dari
manapun, tidak terkecuali pemerintah.

Mereka berlatar belakang tak hanya pelukis otodidak, namun lulus dari akademi seni
formal, seperti IKJ, ITB maupun ISI atau perguruan tinggi di seantero tanah air.
Menerima pesanan pembuatan karya mural atau tetap berinisiatif sendiri dengan
kelompoknya, memproduksi t-shirt dan menjualnya di distro-distro, membuat ilustrasi
buku dan komik atau memproduksi desain-desain merchandise sendiri sekaligus
menjualnya. Mempraktikkan dan mengerjakan industri figurine, toys, sneaker dan desain-
desain wardrobe serta untuk brand-brand produk retail tertentu.

Mereka, pada waktu lain, membuat proyek-proyek street art yang didanai lembaga swasta
nirlaba di bidang seni rupa atau lembaga advokasi masyarakat yang disponsori yayasan
seni besar dari luar negeri. Kemudian, membangun jejaring dengan kelompok-kelompok
seniman street art internasional via internet dan saling bertukar karya dan meresponnya
pada event-event khusus, dan tentu saja: melakukan pameran-pameran di galeri seni
komersil.

Hasil karya mereka di jalanan, menjadi demikian majemuk, karena pengalaman kerja
kreatif mereka yang memang beragam, lintas disipliner dan mengadopsi berbagai sub
kultur global dan sekarang memulai mengintroduksi medium anyar seperti 3d illusionist
painting, 3d video projection, video art, produk - produk daur ulang sampah industri,
patung-patung vinyl toys di luar ruang, merespon rambu jalanan dan menggabungkannya
dengan instalasi jalanan serta bentuk lain-lainnya.
Breakin The Wall
Breakin The Wall, adalah eksibisi yang cenderung bisa dikatakan sebagai sebuah proyek
seni, yang pada kesempatan kali ini disponsori oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Dinas
Wisata & Budaya DKI, dengan mengagas ide utama untuk melihat, menelisik dan
menyaksikan bagaimana para perupa dan komunitasnya dengan medium serta ekspresi
street art menyodorkan karya-karya yang dipilih para senimannya sendiri.

Dalam pameran ini, Kurator setelah mengamati aktifitas bersama kelompok para seniman
tersebut, selama beberapa waktu, memutuskan untuk mengundang enam komunitas seni
rupa untuk merespon tema Breakin The Wall. Mereka adalah Atap Alis (Jakarta), Xserut
(Tangerang), Lintas Melawai (Jakarta), Popo dan Kampungsegart (Jakarta), Amel N
friend (Bandung) serta kelompok Mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian
Jakarta (IKJ).

Sejak awal, tema Breakin The Wall dihasratkan sebagai upaya untuk memahami seni
jalanan sebagai sikap alternatif untuk memilih dari kemungkinan-kemungkinan anyar
bentuk seni yang tumbuh bebas dan beragam wujudnya di jalanan. Bahkan, menemukan
sebuah karakter yang khas jenis seni jalanan yang eksis di Indonesia dan siapa saja
komunitas yang mewakilinya saat ini. Dalam pameran ini, dipilih ruang terbuka / publik
yang digunakan, yakni halaman Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Tak ada niatan
untuk membatasi dan mengekang ekspresi ruang kreasi. Kurator dari permulaan, telah
mengajak mengamati dan meneliti dengan mengintrodusir tempat yang dihadiri seluruh
koordinator komunitas partisipan eksibisi dan tempat tersebut memang dianggap layak
untuk disebut ruang publik yang lebih cair dan tidak terlalu eksklusif, siapa saja bisa
hadir dan menyaksikan presentasi pameran.

Atap Alis, komunitas yang lahir di Jakarta empat tahun lalu, menurunkan sekitar sepuluh
pekerja seninya dengan membawa materi boneka dan mainan-mainan plastik, kaleng dll,
hasil dari mendaur ulang sampah industri kering yang di install di pohon beringin besar.
Mereka, membawa pesan politis dengan judul Koma, yang bisa menggiring asosiasi
benak kita pada imej partai politik yang dianggap “angker” pada era Orde Baru.

Komunitas dari Tangerang, Xserut, bermain-main dengan wujud seni jalanan yang
dianggap baru, dan sekarang menjadi trend di beberapa kota besar dunia seperti New
York, London atau Amsterdam, yakni 3d illusionist painting. Lukisan berformat besar
yang dihampar di lantai dengan keinginan membawa ilusi optis audiensnya dilihat dari
sudut tertentu. Mereka, berupaya “menipu” sudut pandang struktur bangunan Teater
Jakarta dan membandingkannya dengan imej ilusif di lukisan tersebut dengan judul
Negeri Ilusi.

Lukisan 3d illusion juga digunakan sebagai strategi bertutur visual oleh komunitas Lintas
Melawai bersama tiga orang anggotanya, yakni para pelukis yang biasanya menerima
pesanan potret di jalan Lintas Melawai atau di studionya. Mereka, memilih sosok Mbah
Maridjan dalam In Maridjan We Trust, yang sedang terlentang dalam ukuran raksasa
untuk merespon fenomena terpinggirkannya spiritualitas lokal dan maraknya
fundamentalisme keyakinan beragama.

Dari jenis graffiti atau mural, kita akan bertemu dengan Popo dan Kampungsegart yang
membutuhkan sekitar sepuluh anggotanya untuk mengisi tembok putih di sekeliling
sebelah kanan bangunan Teater Jakarta. Mereka sepakat untuk mengusung judul Fun,
dengan fokus pada tema perkembangan dunia sinema elektronik kita dan segala masalah
yang membebaninya.

Kita akan menyaksikan pula, perwakilan dari Bandung, Amel N Friens, komunitas yang
baru terbentuk dan sementara ini diwakili nama dari salah satu rekan mereka. Kelompok
ini, membuat sebuah “patung” atau tepatnya balon bertumpuk dengan imej yang jenaka
dengan judul: Bam Bam Go! Keanehan dari wujud dan materi seni jalanan mereka
menggugah rasa ingin tahu. Sehari-harinya, mereka memang para perupa animamix, yang
biasa mencipta mural, ilustrasi, desain produk-produk komersil dan lukisan dengan
merujuk pada imej-imej animasi dan komik.

Sedang yang terakhir, kelompok mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) memilih untuk mengikuti medium lukisan 3d illusion, dengan judul: Sinterklas,
menggelitik, menampilkan lukisan realis besar bersosok Gayus, mafia pajak di Indonesia
dan sindiran karikatural tentang bagaimana seorang pengemplang atau dermawan bisa
saja menjadi satu profil yang paradoks.

Jika kita perhatikan, dari sekian komunitas yang mempresentasikan karyanya dapat
dikatakan bahwa mereka secara bebas memilih tema, materi maupun perwujudan
ekspresi seni dengan pendekatan dan cara yang berbeda. Seni jalanan, secara substansi
memang hendak berpihak pada khalayak yang lebih luas dimana seni rupa dirayakan
secara egaliter dan merujuk pada kebudayaan kontemporer hari ini, yang membuka diri
terhadap kemajemukan identitas dan hari ini kita bersama menjadi saksi atas
kehadirannya.

Graffiti
Graffiti adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis,
bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Alat yang
digunakan pada masa kini biasanya cat semprot kaleng. Sebelum cat semprot tersedia,
grafiti umumnya dibuat dengan sapuan cat menggunakan kuas atau kapur.
Graffiti dan Vandalsime
Bayangkan ketika graffiti tidak ilegal, sebuah kota dimana setiap orang dapat
menggambar apa yang mereka suka. Dimana setiap jalan berisi jutaan warna dan frasa-
frasa yang bermakna. Mengantri bus menjadi tidak membosankan lagi. Sebuah kota yang
terasa memberi nafas bagi semua orang, tidak hanya pada agen real estat dan iklan-iklan
perusahaan raksasa. Bayangkan sebuah kota seperti itu, dan berhentilah bersandar di
dinding-dinding yang basah — Banksy —

Itulah mimpi seorang Banksy, pelukis graffiti (bomber) terkenal dari Inggris yang baru
saja menjadi perbincangan karena indentitasnya mulai terkuak. Beberapa foto yang
diduga fotonya diekspos di media masa.

Graffiti menjadi kontroversial dikalangan masyarakat termasuk masyarakat di Indonesia.


Ada sebagian yang menganggap graffiti merupakan karya seni yang mengandung nilai
estetika yang tinggi. Bahkan ada yang menganggap pelukis graffiti adalah seorang
seniman yang genius dan pemberani.

Sebagian yang lain menyebut graffiti adalah visual sampah yang mengganggu keindahan
dan mengotori kota. Karenaya melukis graffiti termasuk perbuatan kriminal. Banyak
sudah kelompok-kelompok pelukis graffiti yang digrebek polisi saat menjalankan
aksinya.

Graffiti sendiri termasuk dalam seni publik (public art). Dalam dunia seni rupa dalam
lingkup yang lebih khusus, seni publik diartikan sebagai seni yang dibuat secara individu
maupun kelompok yang menggunakan prinsip tertentu dalam menggulirkan wacana
untuk disampaikan kepada publik atau masyarakat luas.

Selain graffiti contoh lain yang juga termasuk lingkup seni publik antara lain
performance art, seni instalasi, happening art, stencil, mural dan poster. Dibandingkan
dengan yang lain, graffiti kurang mendapat tempat atau sedikit mendapat apresiasi karena
sifatnya yang vandalisme, merusak milik orang lain atau milik umum.

Sebagai gambaran aksi vandalisme kita simak karya Banksy yang dipasang di Galeri 49
British Museum. ”Early Man Goes to Market”, sebuah batu bergambar manusia purba
yang sedang berburu membawa keranjang belanja. Tentu pemasangan itu tanpa
sepengetahuan pengelola museum. Pengelola museum baru mengetahui ada tambahan
koleksi setelah Banksy mengumumkan di situs pribadinya.
Yang menarik, setelah pengelola museum mengetahui ada karya Banksy terpampang di
salah satu galerinya, pengelola bukan mehilangkannya malah mempertahankan menjadi
salah satu koleksi tetapnya.

Mungkin pihak museum menilai karya Banksy termasuk dalam karya yang mempunyai
nilai seni yang tinggi. Mungkin juga karya itu mempunyai nilai komersial yang dapat
menarik orang berkunjung ke museum. Bandingkan dengan poster-poster iklan produk
atau foto-foto calon peserta pilkada yang banyak dipasang di tembok-tembok kota, halte
dan tempat-tempat umum lainnya yang semakin semarak apalagi saat kampanye tiba.

Inilah yang coba dilakukan oleh Banksy dan bomber-bomber yang lain, termasuk di
Indonesia, membebaskan masyarakat dari serangan iklan komersial dan intrik-interik
politik yang tidak mendidik dan kurang atau tidak ada sama sekali unsur seninya.

Grafitti Modern
Graffiti modern sering kali dikaitkan sebagai salah satu elemen dari Hip-Hop: MC, DJ-
ing, break-dancing, dan tentunya graffiti. Bermula ditahun 1960-an sebagai salah satu
metode murah dan aman untuk mengemukakan pernyataan atau pendapat politik, graffiti
kini sudah berkembang menjadi seni modern yang dapat dinikmati di museum atau art
exhibition. Tetapi tetap saja yang bagi para penggangum graffiti, medium terbaik tetaplah
di tempat umum dimana semua orang dapat melihatnya. Semakin publik, semakin tinggi
pula reputasi sang artis. Tidak terbatas dengan aerosol, graffiti juga banyak diekspresikan
dengan sticker dan stencil.

Graffiti: seni untuk publik dan vandalisme


Berhubung kegiatan graffiti tidak bisa dibilang legal, karena secara tidak langsung
merusak barang milik publik, maka tidak heran para artis menggunakan “tags”. Tags
selain berfungsi sebagai nama samaran, sering kali pula dipilih untuk mencerminkan
pribadi sang penulis atau bagaimana huruf-huruf itu ditulis dan dibaca, misalnya Train
yang bisa juga ditulis sebagai Trane atau Trayne. Pertama berkembang dan menjadi
populer di Amerika Serikat, pada hari ini graffiti telah mengalami berbagai perubahan
gaya, medium, tujuan, dan penerimaannya di publik, bahkan bisa dibilang beberapa hasil
karya graffiti artis tertentu menjadi buruan para kolektor.

Banyak perdebatan di antara kalangan graffiti apakah karya-karya mereka patut masuk ke
studio dan pameran untuk dijual secara komersial. Banyak yang merasa tindakan ini
merupakan pengkhianatan terhadap semangat pemberontakan dan anti-establishment
orisinil graffiti. Dipihak lain, banyak yang merasa inilah cara terbaik bagi graffiti untuk
diakui dan diterima oleh khalayak umum. Pada kenyataannya pemerintah masih
menindak kegiatan graffiti sebagai pelanggaran dan perusakan barang milik publik walau
terkadang beberapa toko atau pemda justru khusus mengkomisi para artis tersebut. Trend
graffiti di Belanda sendiri semakin populer dan berkembang, banyak artis yang memiliki
reputasi internasional dan karyanya dapat kamu lihat di kota-kota besar.

Anda mungkin juga menyukai