narasi, didukung oleh lembaga, tradisi, dan praksis atas kepentingankepentingan tertentu. Pembalikan oposisi biner oleh Said tersebut pada
akhirnya mengandung idealisasi terhadap wacana poskolonial yakni, bahwa
sifat wacana poskolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan
terhadap penindasan (Budianta, 2008: 17 & 23).
Secara sederhana, orientalisme dapat diartikan sebagai cara
memahami dunia timur karena kekhususannya, menurut cara pandang dan
pengalaman-pengalaman
orang
Eropa.
Edward
Said
mengartikan
dan
diproyeksikan
ke
dunia
beradab
barat.
Hal
ini
Said tidak melihat bahwa pandangan terhadap orang-orang Eropa sewaktuwaktu dapat berubah sesuai dengan situasi historis. Kritik kedua untuk Said,
bahwa dia telah terjebak dalam menghomogenkan masyarakat Barat. Said
dipandang terlalu membesarbesarkan arti penting aspek-aspek literer,
ideologis dan diskursif dengan mengorbankan realitas-realitas yang lebih
institusional dan material, dan karena itu menyiratkan bahwa kolonialisme itu
sebagian besar adalah suatu konstruk ideologi. Ketiga, Said terlalu statis
dalam melihat model hubungan-hubungan kolonial dalam kekuasaan dan
wacana kolonial itu dimiliki sepenuhnya oleh para penjajah, dan karena itu
tidak terdapat ruang untuk negosiasi atau perubahan (Loomba, 2003:64).
Tidak hanya datang dari Barat, representasi Timur juga memberikan
perlawanan atas orientalisme yang dibangun oleh Said. Orientalisme
dianggap sebagai sebuah teks terbatas sehingga gagal mengakomodasi
kemungkinan perbedaan dalam wacana ketimuran. Hassan Hanafi muncul ke
permukaan dengan gagasan oksidentalisme (al-istighrab) yang ditulisnya
melalui sebuah buku Muqaddimah fi Ilmi al-Istighrab. Oksidentalisme ini, kata
Hanafi, adalah sebuah pengetahuan yang bertujuan mentransformasika Barat
menjadi objek kajian setelah dirinya, secara esensial, menjadi kajian, yakni
inti yang ditimbang dan tempat pergantian, dimana kita meninggalkan sebuah
sumber ilmu dan pengetahuan setelah kita sendiri menjadi objek kajian dan
penelitian (Gandhi, 2006:103)
Dengan demikian, orientalisme dan oksidentalisme sebenarnya samasama menghendaki perebutan wacana dan merepresentasikan masingmasing peradaban sesuai dengan kehendaknya, antara Barat dan Timur.
Perkembangan Orientalisme di Masa Sekarang (Pandangan Barat
Terhadap Islam)
Pada di bidang pendidikan dan para cendikia di negara Barat,
orientalisme sendiri sudah benar-benar menghilang. Namun, pada level
praktik di tingkat masyarakat, gagasan dan perspesi yang melewat soal
Muslim.
Ini
adalah
pandangan
yang
diketahui
secara
luas
dan
Kesimpulan
Orientalisme adalah suatu kajian orang barat baik muslim maupun non
muslim terhadap dunia timur seperti bahasanya, adatnya, budayanya,
termasuk bagaimana cara berpikir orang timur tersebut. Kajian ini banyak
menimbulkan generalisasi bahwasanya masyarakat oriental terkait dengan
sifat-sifat tertentu seperti malas dan tidak berkualitas, kasar dan tidak
beradab, tidak rasional dan suka hal-hal gaib. Kajian ini juga membuat orangorang Barat merasa lebih superior dan memiliki hak untuk mewakili dunia
timur untuk mencapai tujuannya, walaupun dalam bentuk intervensi.
Namun, pada bidang akademik kajian ini sudah benar-benar hilang.
Namun, dalam level praktik dan masyarakat, para pemuka negara, politikus,
ilmuwan, dan jurnalis masih membawa nilai-nilai postkolonial ini ke muka
publik. Akibatnya, masyarakat memiliki streotip dan prasangka terhadap
dunia timur, dan sikap negatif yang intens. Salah satunya, pandangan
negara-negara Barat terhadap Islam. Peringatan bahwa Islam adalah
ancaman dan berbahaya telah banyak disuarakan, apalagi setelah peristiwa
ekstrem seperti 9/11. Padahal, kekerasan ini hanya dilakukan segelintir orang
yang mengatasnamakan Islam.