Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Setiap bagian di dunia memiliki budaya yang berbeda, namun


pengkategorian budaya yang paling ketara adalah budaya barat dan budaya
timur. Tetapi, ada seorang penulis, Edward Said, dengan bukunya
Orientalisme, menentang perbedaan antara budaya timur dan barat. Ia
dengan lantang mengritik hegemoni barat terhadap timur, lewat gagasangagasanya yang ia miliki. Meskipun, ia bukan orang pertama yang mengritik
barat. Menurutnya, negara Eropa sengaja melakukan itu untuk membedakan
mana negara yang dianggap beradab dan mana yang tidak. Mereka
menciptakan batasan buatan, dengan pengelompokkan itu dan menanggap
dirinya lebih tinggi. Dalam bukunya, Edward menyebutkan bahwa ada kajian
ilmu orientalisme yang merupakan studi tentang oriental atau orang-orang
dari peradaban ini eksotis. Penggambaran yang bias tentang keadaan di
daerah yang dilabeli oriental sendiri terjadi melalui laporan ilmiah mereka,
karya sastra, dan sumber media lainnya. Makalah ini akan membahas
tentang kritik terhadap orientalisme dan bagaimana orientalisme di masa
sekarang, secara khusus membahas pandangan negara-negara Barat
terhadap Islam saat ini.
Apa itu Orientalisme?
Menurut Ratna (2008: 84) adalah hubungan antara pengetahuan
dengan kekuasaan sebagaimana diintroduksi oleh Foucault melalui The
Archeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Dalam hal ini Ratna
(2008:84) menganggap bahwa timur diproduksi sebagai pengetahuan yang
tidak semata-mata ilmu melainkan kolonialisme itu sendiri, di dalamnya
terdapat misi politis, landasan ideologi dan kepentingan-kepentingan kolonial.
Dari pemikiran Said di atas, terdapat dua hal penting yang mendasari
poskolonial. Pertama, oposisi biner Barat-Timur, penjajah-terjajah sebagai
pusat perhatian. Kedua, sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi antara
Barat dengan Timur, di mana konsep identitas dibangun oleh imajinasi, teks,

narasi, didukung oleh lembaga, tradisi, dan praksis atas kepentingankepentingan tertentu. Pembalikan oposisi biner oleh Said tersebut pada
akhirnya mengandung idealisasi terhadap wacana poskolonial yakni, bahwa
sifat wacana poskolonial adalah resistensi, penggugatan, atau penolakan
terhadap penindasan (Budianta, 2008: 17 & 23).
Secara sederhana, orientalisme dapat diartikan sebagai cara
memahami dunia timur karena kekhususannya, menurut cara pandang dan
pengalaman-pengalaman

orang

Eropa.

Edward

Said

mengartikan

Orientalisme sebagai gaya berpikir yang mendasarkan pada perbedaan


secara ontologus maupun epistemologis yang dibuat antara Timur (the
orient) dan Barat (the occident) (Said, 2001:3).
Edward Said sendiri menjelaskan dalam bukunya, bagaimana ilmu
orientalisme dikembangkan dan bagaimana masyarakat oriental mulai
mempertimbangkan pembagian ini tidaklah manuasiawi. Orang-orang barat
membagi dunia dalam dua bagian dengan menggunakan konsep kita dan
mereka. Sebuah garis imajiner geografis itu ditarik antara apa yang kita dan
apa yang adalah milik mereka yang mengarahkan dianggap sebagai orang
tidak beradab. Bahkan, orang-orang yang berasal dari barat, merasa bahwa
mereka memliki tugas untuk membantu masyarakat di daerah oriental untuk
mencapai tujuannya. mereka harus menjajah dan menguasai mengarahkan.
Mereka mengatakan bahwa mengarahkan diri mereka tidak mampu
menjalankan pemerintahan mereka sendiri. Orang-orang Eropa juga berpikir
bahwa mereka memiliki hak untuk mewakili oriental di barat. Said (1985: 7)
menunjukkan bahwa budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya
dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Identifikasi dunia Timur
oleh Barat merupakan bagian upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya
sendiri. Identifikasi pribumi sebagai rendah oleh Barat, berarti juga bahwa
Barat mengidentifikasi dirinya sebagai tinggi. Para peneliti barat yang
mengkaji tentang orientalisme disebut orientalis.

Dalam melakukannya, mereka membentuk orientalis dengan cara


yang dirasakan mereka atau dengan kata lain, mereka mengarahkan
orientalizing. Banyak tim peneliti telah dikirim ke Timur di mana orientalitas
berada, dan diam-diam mengamati oriental dengan tinggal bersama mereka,
dan setiap hal yang oriental katakan dan lakukan tercatat terlepas dari
konteksnya,

dan

diproyeksikan

ke

dunia

beradab

barat.

Hal

ini

mengakibatkan generalisasi. Apa pun yang dilakukan oriental dikaitkan


dengan budaya oriental, tidak peduli apakah itu adalah tindakan irasional
individu. Akhirnya timbul persepsi bahwa, masyarakat oriental malas dan
tidak berkualitas, kasar dan tidak beradab, tidak rasional dan suka hal-hal
gaib.
Namun, dengan berkembangnya jaman pendapat tentang orietalisme
mengalami restrukturisasi. Dua orientalis yang membuat perubahan adalah
Silvestre de Sacy dan Ernest Renan dari abad ke 19. Edward sendiri
memberikan pujian terhadap pekerjaan keduanya. Ia mengatakan Sacy yang
mengorganisir semuanya dengan mengatur informasi sedemikian rupa
sehingga bermanfaat bagi orientalis di masa depan. Dan kedua, Sacy dan
Renan hanya memiliki prasangka yang

rendah, berbeda dengan yang

diwariskan oleh orientalis sebelumnya. Di sisi lain, Renan yang mengambil


keuntungan dari pekerjaannya sebagai orientalis. Sedangkan, Sacy itu
sebagai bias seperti halnya orientalis sebelumnya. Dia percaya bahwa ilmu
orientalisme dan ilmu filologi memiliki hubungan yang sangat penting, dan
setelah Renan ide ini diberi perhatian banyak orientalis dan masa depan
banyak bekerja dari dalam lini.
Kritik Terhadap Orientalisme
Meskipun banyak yang bersimpati dengan Said dan proyeksinya ini,
tetapi kritikan yang mengalir untuknya juga tidak boleh dibilang sedikit.
Beberapa poin yang menjadi kritik terhadap Said adalah; pertama,
perlawanan Timur dan Barat oleh Said sedikit banyak telah merupakan aspek
statis dari wacana-wacana Barat, mulai dari Yunani Klasik sampai dewasa ini.

Said tidak melihat bahwa pandangan terhadap orang-orang Eropa sewaktuwaktu dapat berubah sesuai dengan situasi historis. Kritik kedua untuk Said,
bahwa dia telah terjebak dalam menghomogenkan masyarakat Barat. Said
dipandang terlalu membesarbesarkan arti penting aspek-aspek literer,
ideologis dan diskursif dengan mengorbankan realitas-realitas yang lebih
institusional dan material, dan karena itu menyiratkan bahwa kolonialisme itu
sebagian besar adalah suatu konstruk ideologi. Ketiga, Said terlalu statis
dalam melihat model hubungan-hubungan kolonial dalam kekuasaan dan
wacana kolonial itu dimiliki sepenuhnya oleh para penjajah, dan karena itu
tidak terdapat ruang untuk negosiasi atau perubahan (Loomba, 2003:64).
Tidak hanya datang dari Barat, representasi Timur juga memberikan
perlawanan atas orientalisme yang dibangun oleh Said. Orientalisme
dianggap sebagai sebuah teks terbatas sehingga gagal mengakomodasi
kemungkinan perbedaan dalam wacana ketimuran. Hassan Hanafi muncul ke
permukaan dengan gagasan oksidentalisme (al-istighrab) yang ditulisnya
melalui sebuah buku Muqaddimah fi Ilmi al-Istighrab. Oksidentalisme ini, kata
Hanafi, adalah sebuah pengetahuan yang bertujuan mentransformasika Barat
menjadi objek kajian setelah dirinya, secara esensial, menjadi kajian, yakni
inti yang ditimbang dan tempat pergantian, dimana kita meninggalkan sebuah
sumber ilmu dan pengetahuan setelah kita sendiri menjadi objek kajian dan
penelitian (Gandhi, 2006:103)
Dengan demikian, orientalisme dan oksidentalisme sebenarnya samasama menghendaki perebutan wacana dan merepresentasikan masingmasing peradaban sesuai dengan kehendaknya, antara Barat dan Timur.
Perkembangan Orientalisme di Masa Sekarang (Pandangan Barat
Terhadap Islam)
Pada di bidang pendidikan dan para cendikia di negara Barat,
orientalisme sendiri sudah benar-benar menghilang. Namun, pada level
praktik di tingkat masyarakat, gagasan dan perspesi yang melewat soal

negara-negara di daerah oriental, tidak pernah hilang (Huntington, 1997). Di


masa sekarang, orientalisme masih terjadi, streotype terhadap kemiskinan
yang muncul di negara yang dianggap oriental, sangat parah. Misalnya, India,
masyarakat barat menganggap India adalah negara yang kumuh dan kotor.
Padahal dalam beberapa dekade, India telah merubah negaranya, sebagai
negara dengan teknologi informasi yang tinggi, dan raksasa ekonomi di Asia.
Kedua, terbesar setelah China.
Bahkan akhir-akhir ini diperparah dengan pandangan terorisme
melekat pada negara-negara di Timur Tengah dan terutama dengan agama
Islam. Bahkan ada anggapan bahwa saat Barat dan Timur berbicara soal
Islam, sama saja berbicara dengan seseorang yang tuli. Memang hubungan
antara Barat dan Islam didasari pada, stereotip dan prasangka, yang dapat
diamati secara jelas dalam berbagai berita di media Barat di mana Muslim
digambarkan sebagai fanatik, irasional, primitif, suka berperang, dan
berbahaya. Demikian generalisasi dan penyederhanaan menunjukkan bahwa
di mana para ahli kurang memiliki fantasi dan ilmu pengetahuan yang benar,
dan mereka memainkan peranan dalam mengatur hubungan antara Islam
dan Barat (Shadid dan Koningsveld, 2002),
Peringatan bahwa Islam membawa ancaman bukanlah hal yang baru
di dunia Barat. Sejak abad ke 18, para ilmuwan, politikus, jurnalis telah
memberikan peringatan ini tanpa menunjukkan bukti yang nyata untuk
mendukung kekhawatiran mereka. Peringatan ini diberikan oleh Kepala Klub
Roma, mantan Sekertaris Jenderal NATO, menteri dan pemimpin politik
sayap kanan di Eropa Barat dan Amerika Utara. Atau mereka mendapatkan
pengetahuan tentang Islam melalui kejadian-kejadian ekstrem seperti
serangan teroris tanggal 11 September di Amerika Serikat, atau kejadiankejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian
tersebut sering mengarah pada negatif dibanding positif. Dan sering kali
bukanlah Islam yang dipahami, tetapi lebih pada perilaku Muslim yang
dibiaskan sebagai gambaran Islam karena mereka bertindak atas nama
Islam tetapi sesungguhnya mereka sama sekali tidak mewakili mayoritas

Muslim.

Ini

adalah

pandangan

yang

diketahui

secara

luas

dan

mengindikasikan intensitas sikap negatif negara-negara Barat terhadap


Islam. Secara esensial, sikap negatif ini tidak berdasarkan fakta yang solid.
Penjajahan negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah
negara lain telah meninggalkan jejak di antara masyarakat bangsa bekas
penjajahannya. Permusuhan antara negara Barat dan Islam dipicu oleh
banyak hal, selain pandangan streotipe dan prasangka yang dimiliki. Sikap
Barat yang sering dilihat Arab dan Muslim sebagai kebijakan standar ganda
terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan di dunia Islam dan
Arab terhadap Barat. Masalah ini, aslinya adalah permusuhan nasionalisme,
namun kemudian ditambah oleh dimensi lain yang meluas menjadi
permusuhan Muslim melawan Barat, yang akhirnya memunculkan banyaknya
operasi teroris dan kekerasan lainnya oleh organisasi seperti al-Qaidah,
Taliban dan sebagainya. Campur tangan Barat di negara-negara Islam seperti
Irak dan Afghanistan, dan pula kehadiran Barat di jantung wilayah. Muslim
semenanjung Arab menambah peran dalam memunculkan kebencian dan
konflik ini.
Sekarang ini terdapat elemen baru yaitu kuatnya keberadaan imigran
Muslim di Eropa dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda.
Keberadaan mereka amat sangat mempengaruhi pendapat orang Eropa
terhadap Islam dan Muslim pada umumnya. Banyak para imigran ini datang
dari pelosok desa miskin atau bahkan termiskin di negara mereka sehingga
mereka hanya berpendidikan rendah daripada negara di mana mereka
berimigrasi. Sering mereka juga tidak mempunyai posisi bersaing dalam hal
ekonomi. Meskipun perlu dicatat bahwa ada beberapa pengusahapengusaha yang berhasil di antara anak keturunan mereka. Di Belanda,
misalnya, rata-rata pengangguran imigran Maroko adalah sangat tinggi
dibanding dengan kelompok imigran lainnya dan ini sebanding lurus dengan
tingkat kriminalitas mereka. Karena alasan tersebut mereka memicu perilaku
negatif dalam sektor kehidupan tertentu yang dicap oleh penduduk asli
Belanda, dan secara tidak langsung juga terhadap Islam.

Kesimpulan
Orientalisme adalah suatu kajian orang barat baik muslim maupun non
muslim terhadap dunia timur seperti bahasanya, adatnya, budayanya,
termasuk bagaimana cara berpikir orang timur tersebut. Kajian ini banyak
menimbulkan generalisasi bahwasanya masyarakat oriental terkait dengan
sifat-sifat tertentu seperti malas dan tidak berkualitas, kasar dan tidak
beradab, tidak rasional dan suka hal-hal gaib. Kajian ini juga membuat orangorang Barat merasa lebih superior dan memiliki hak untuk mewakili dunia
timur untuk mencapai tujuannya, walaupun dalam bentuk intervensi.
Namun, pada bidang akademik kajian ini sudah benar-benar hilang.
Namun, dalam level praktik dan masyarakat, para pemuka negara, politikus,
ilmuwan, dan jurnalis masih membawa nilai-nilai postkolonial ini ke muka
publik. Akibatnya, masyarakat memiliki streotip dan prasangka terhadap
dunia timur, dan sikap negatif yang intens. Salah satunya, pandangan
negara-negara Barat terhadap Islam. Peringatan bahwa Islam adalah
ancaman dan berbahaya telah banyak disuarakan, apalagi setelah peristiwa
ekstrem seperti 9/11. Padahal, kekerasan ini hanya dilakukan segelintir orang
yang mengatasnamakan Islam.

Anda mungkin juga menyukai