Anda di halaman 1dari 2

Nama : Aliza Nabilla

NIM : 173241016

Jurusan : Bahasa dan Sastra Arab

SINOPSIS NOVEL NAWA EL SAADAWI

“SUKUTH EL IMAM (JATUHNYA SANG IMAM)”

Sukuth El Imam atau Jatuhnya Sang Imam (terjemahan bahasa Indonesia) ini
adalah salah satu novel karangan Nawa El Saadawi. Nawa El Saadawi adalah tokoh
feminis sekaligus penulis serta seorang dokter. Novel Sukuth El Imam ini memiliki 39
sub judul dan disetiap sub judul memiliki cerita yang sangat menarik dan menegangkan
serta dapat membuat pembaca geram dengan salah satu tokoh di novel ini.

Novel ini menceritakan seorang anak kecil yang bernama Bintullah. Bintullah
adalah anak dari hubungan gelap Sang Imam dan ibu nya. Pada cerita ini, Bintullah
mencari identitas dirinya dan kedua orang tuanya. Tokoh Bintullah pada novel ini
sangat menderita dari awal cerita sampai akhir cerita. Tokoh Sang Imam pada novel
ini adalah seorang pemimpin agama yang sangat dipercayai dan dipuja oleh masyarakat
setempat.

Perilaku Sang Imam pada kehidupan yang sebenarnya tidak sesuai dengan
perkataan yang disampaikan kepada pengikutnya atau masyarakat setempat. Ia
menyuruh pengiikutya untuk membuang segala jenis minuman keras, tetapi setiap
malam ia berpesta dan minum minuman keras serta bergaul dengan wanita yang lain.
Istri sah dari Sang Imam juga sering bergaul dengan pejabat-pejabat istana. Bahkan
Sang Imam pernah memperkosa seorang gadis bersama teman-temannya sampai gadis
tersebut hamil.
Keburukan dan kebusukan Sang Imam mulai terlihat ketika Bintullah muncul.
Bintullah adalah seorang gadis yang tidak memiliki ibu karena ibunya dihukum rajam
sampai meninggal karena tuduhan melakukan zina, sedangkan ayahnya menghilang
namun ia berusaha untuk mencari tahu siapa sosok ayahnya. Hukuman yang
diputuskan untuk ibu dari Bintullah adalah suatu keputusan dan Sang Imam, padahal
Sang Imam inilah yang memperkosa ibu dari Bintullah sampai hamil dan melahirkan
Bintullah. Menurut Ibunya dan penjaga panti asuhan yang ia tinggali, sifat-sifat yang
diceritakan mengarah ke sifat yang ada pada Sang Imam. Karena Bintullah merasa
tidak memiliki ayah, ia selalu menyebut dirinya dengan sebutan anak Tuhan.

Pada akhir cerita, Bintullah dijatuhi hukuman mati karena membunuh Sang
Imam. Sebelum ia dihukum mati, ia diberi kesempatan untuk berbicara untuk terakhir
kalinya dan ia mengatakan “Aku ingin mengatakan bahwa aku suci tanpa dosa dan aku
mempunyai seorang ibu yakni matahari dan ayah yang jumlahnya tak terhingga. Aku
tidak mengenal mereka, nama maupun wajah. Aku juga tidak pernah membaca huruf-
huruf di atas kertas. Aku hidup dalam Rumah kebahagiaan dan yang ada di hatiku
hanyalah kesedihan. Kebahagiaan kalian adalah kesedihanku. Kenikmatan bagi kalian,
bagiku adalah rasa sakit. Kemenangan kalian adalah kekalahanku. Dan surga kalian
adalah nerakaku.kehormatan kalian adalah kehinaanku. Kehinaanku adalah kegilaan
kalian dan kegilaanku adalah kesadaran kalian. Jika tubuhku mati maka hatiku takkan
pernah mati. Dalam diriku, yang mati paling akhir adalah otakku. Sehingga setidaknya
dia akan tetap hidup. Semua yang ada padaku akan mati sebelum otak. Tak seorang
pun dari kalian yang akan bisa mendapatkan otakku. Tak seorang pun. Walaupun kalian
telah mendapatkan tubuhku, otakku masih jauh dari jangkauan kalian. Seperti mata
sang mentari pada siang hari dan mata langit pada malam hari”.

Novel ini dianalisis menggunakan pendekatan feminisme. Karena, tokoh


Bintullah pada novel ini memperjuangkan derajat seorang perempuan yang
direndahkan.

Anda mungkin juga menyukai