Anda di halaman 1dari 10

Trilogi Sosiologi Sastra (Pengarang-Karya-Pembaca)

dalam Cerpen Lelucon Para Koruptor Karya Agus Noor

Abdurrahman Abror
Bahasa dan Sastra Arab – Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: 17310091@student.uin-malang.ac.id
Pendahuluan
Cerita pendek yang berjudul Lelucon Para Koruptor merupakan salah satu finalis 21
cerpen pada buku “Cerpen Pilihan Kompas 2017 Kasur Tanah” dari nominasi cerpen
pilihan dewan juri sebelumnya. Cerpen ini ditulis oleh Agus Noor, seorang sastrawan
Indonesia yang berlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Kini ia dikenal sebagai
cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir.
Pengarang mengangkat realitas koruptor di negeri ini dengan gaya pembawaan yang tidak
biasa, bila biasanya pengarang gemar mengembangkan kisah sadis-romantis-magis, di
dalam cerpen ini, pengarang banyak bercanda dengan lelucon-lelucon yang sangat kocak.
Pada cerpen Lelucon Para Koruptor ini khususnya, pengarang juga membawakan tema
kritik politik khusunya koruptor. Berangkat dari ketertarikan pada karya sastra tersebut,
kami penasaran untuk mengulik beberapa persoalan pada cerpen ini.
Cerpen Lelucon Para Koruptor memiliki plot twist dalam penyajiannya. Dia, seorang
tokoh utama, merasa gelisah dengan kehidupannya di dalam penjara. Dikisahkan bahwa ia
terkena vonis delapan tahun penjara karena kasus korupsi. Mulai dari kegelisahannya
karena takut kehilangan kebebasan, bagaimana pun membuat ia tertekan. Kegelisahan
hidup di penjara karena ia mesti menyiapkan lelucon juga digambarkan di awal kisah.
Sampai suatu saat ia mendapatkan giliran untuk memberikan lelucon dan ia dianggap
paling tak lucu dan disuruh menyanyikan lagu nasional didangdutkan sambil goyang
ngebor. Latar belakangnya yang tertekan karena adanya giliran dalam menyampaikan
lelucon dalam seminggu sekali menjadikan siksaan yang lebih mengerikan disbanding
hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Akhir kisahnya terungkap pada saat ia
mendesak Sarusi untuk mengungkapkan apa yang telah dirahasiakannya.
Beberapa teori kami coba kaitkan dengan cerpen ini dan kesemuanya sesuai.
Namun disini kami tertarik untuk mengkaji cerpen berdasarkan trilogi sosiologi sastra,
yaitu dari aspek pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut
di atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature (Wellek &
Warren, 1994:109-133). Secara umum, sosiologi sastra merupakan studi tentang hubungan
antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan ini bisa berlaku dua arah, yakni bagaimana
konteks sosial mempengaruhi penulis sastra dalam membangun imajinasinya, juga
bagaimana implikasi karyanya terhadap kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan
sosiologi mengindikasikan bahwa sastra tidak lagi bersifat otonom sebagai produk
imajiner seorang penulis. Melainkan ada kaitan erat, hubungan saling memengaruhi dan
timbal balik antara sastra dan masyarakat. Mengkaji hubungan antara sastra dan
masyarakat sebenarnya bukan fenomena baru. Bukan pula fenomena yang lama vakum.
Sebagai contoh, dari dulu hingga sekarang, banyak intelektual yang masih membaca karya
plato ”The Republic” sebagai sebuah karya sastra yang tak lekang zaman. Oleh karena itu,
kajian sosiologi sastra ini menarik diperbincangkan, utamanya dalam konsep kaitan
triloginya.

Latar Belakang Masalah


Berawal dari problematika dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus Noor,
kami mencoba menarik masalah pada kondisi social dalam karya satra. Konflik yang
diangkat pada cerpen ini terjadi secara berkelanjutan. Cerita sindiran tentang tindakan
terselubung pelaku korupsi selam di penjara serta tindakan-tindakan dari kelompok
dominan yang menunjukkan kekuasaan dalam sebuah tindakan yang negatif. Disinilah
tokoh utama, Dia, digambarkan sebagai seorang lelaki yang gelisah dan tertekan dalam
menghadapi kehidupannya di dalam penjara. Ia harus menyiapkan leluconnya seminggu
sekali dan ia juga merasa, apapun leluconnya, tak pernah ada yang menganggap lucu.
Dalam kaitannya dengan pembaca, kami menemukan latar belakang dan kondisi
Lelucon Para Koruptor yang menampilkan tranparansi kehidupan koruptor yang mencoba
menggali dari berbagai informasi yang dikumpulkan tentang kehidupan para koruptor di
penjara. Sehingga disini karya sastra seperti yang dibuat Agus Noor merupakan sebuah
karya sastra yang didasarkan pada sebuah realitas yang kemudian dikemas dengan
abstrak, bahasa yang lugas meskipun tidak menyinggung pihak mana pun secara terang-
terangan dan diulas dengan gaya bahasa perpaduan dialog dan naratif yang menarik dan
unik seperti halnya dengan gaya humor berupa lelucon.
Alasan kami menggunakan konsep trilogi sosiologi sastra adalah titik ketertarikan
kami pada kaitan latar belakang pengarang dan karya sastranya. Kemudian kami juga akan
menganalisis tentang apa yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui
karyanya. Maka tulisan ini akan mengungkap satu persatu kaitan tersebut.

Tujuan Penulisan
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan kami dalam tulisan ini adalah
untuk mengemukakan konsep trilogi sosiologi sastra dalam cerpen Lelucon Para Koruptor
karya Agus Noor berdasarkan perspektif Wellek dan Warren. Konsep trilogi ini tentunya
terbagi menjadi tiga poin penting, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan
sosiologi pembaca.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan yang kami jelaskan di awal, kami
akan memperinci pembahasan sesuai rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana sosiologi pengarang dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?
b. Bagaimana sosiologi karya sastra dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?
c. Bagaimana sosiologi pembaca dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?

Kerangka Teori
Berikut kerangka teori yang akan membantu analisis mengenai trilogi sosiologi
sastra dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus Noor.
A. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan penelitian yang berpusat pada kaitan manusia
dengan lingkungan. Masa depan manusia dapat ditentukan dengan karya sastra
melalui pemikiran, perasaan, dan insting. Damono menjelaskan bahwa sosiologi
dalam sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka dalam dua
pendekatan. Pendekatan pertama bergerak karena adanya faktor di luar sastra itu
sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap sebagai objek
utama, melainkan hanyalah sastra di anggap sebagai gejala kedua. Ia juga
menjelaskan dalam pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan yang mengutamakan
sastra sebagai bahan penganalisisan. Metode yang digunakan yaitu sosiologi sastra
sebagai analisis teks sastra untuk mengetahui strukturnya. Kemudian ia digunakan
untuk memahami lebih dalam lagi tentang gejala sosial yang ada dalam sastra
(Kurniawan, 2012: 5).
Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang
meninjau segi-segi kemasyarakatan. Menurut Ratna, sosiologi sastra hakikatnya
adalah interdisiplin antara sosiologi dengan sastra. Keduanya memiliki objek yang
sama, yaitu manusia dalam masyarakat. Akan tetapi, hakikat sosiologi dan sastra
sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu
objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein),
bukan pada yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, sastra bersifat
evaluative dan subjektif. Adapun definisi sosiologi sastra yang mempresentasikan
hubungan interdisiplin ini mencakup: (1) pemahaman terhadap karya sastra
dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya; (2) pemahaman
terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan
yang terkandung di dalamnya; (3) pemahaman terhadap karya sastra sekaligus
hubungannya dngan masyarakat yang melatarbelakanginya; dan (4) hubungan
dealiktik antara sastra dengan masyarakat (Suaka, 2014: 13).
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati oleh masyarakat.
Sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial
tertentu. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan gambaran kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosiaal. Jadi, hubungan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat memiliki timbal balik di antara ketiganya. Menurut Suaka, sosiologi
sastra adalah penelitian yang terfokus pada kaitan manusia dengan lingkungan.
Karya sastra sering mengungkapkan perjuangan manusia dalam menentukan masa
depannya, melalui imajinasi, perasaan dan intuisi (Suaka, 2014: 34).
Wellek dan warren mengungkapkan bahwa sastra dengan sosiologi terbagi
menjadi tiga yaitu: sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi
pembaca. Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut ditawarkan oleh Wellek dan Warren
dalam bukunya Theory of Literature (Wellek & Warran, 1994: 109-133).
B. Sosiologi pengarang
Sosiologi pengarang dapat dimaknai sebagai salah satu kajian sosiologi
sastra yang memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta karya sastra.
Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap
merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam
masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya dalam masyarakat, juga
hubungannya dengan pembaca. Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan
penulis sangat menentukan. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra
ditentukan oleh pikiran penulisnya. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra
sering kali bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas seperti yang digambarkan
pengarang (Junus, 1986: 8).
Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi
sastra. Masalah yang dibahas ialah status sosial pengarang, ideologi, pengarang,
latar belakang kehidupan pengarang, dasar ekonomi produksi sastra dan hal-hal
lain yang dapat di lihat dari beragam pengarang di luar karya sastra.
Dalam penelitian Junus mengenai novel-novel Indonesia, seperti Belenggu
dan Telegram, ditemukan bahwa kedua novel tersebut telah mencampuradukkan
antara imajinasi dengan realitas. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra
melalui sosiologi pengarang membutuhkan data dan interpretasi sejumlah hal yang
berhubungan dengan pengarang.
Dari yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta Watt, di atas, maka
wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah:
1. Status sosial pengarang,
2. Ideologi sosial pengarang,
3. Latar belakang sosial budaya pengarang,
4. Posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
5. Masyarakat pembaca yang dituju,
6. Mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra)
7. Profesionalisme dalam kepengarangan.
C. Sosiologi karya sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya
sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup dalam
masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang
menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Fokus perhatian sosiologi karya
sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan
Warren, 1994).
Sosiologi karya sastra membahas tujuan yang tersurat dalam karya sastra.
Hal ini berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan
yang berkaitan dengan masalah sosial. Menurut Watt sosiologi karya sastra
mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra
dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat
dalam masyarakat (via Damono, 1979:4).
Beberapa masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah:
isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra yang
berkaitan dengan masalah sosial. Di samping itu, sosiologi karya sastra juga
mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat, sastra sebagai dokumen sosial budaya
yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu. Junus
mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas. Isi karya sastra yang berkaitan
dengan masalah sosial, dalam hal ini sering kali dipandang sebagai dokumen sosial,
atau sebagai potret kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1994).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thomas Warton terhadap sastra
Inggris, dibuktikan bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya. Sastra menurut Warton, mampu menjadi gudang adat istiadat, buku
sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya semangat
kesatriaan.
Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan ikhtisar
sejarah sosial. Namun, menurut Wellek dan Warren, sastra harus dipahami
bagaimana protret kenyataan sosial yang muncul dari karya sastra? Apakah karya
itu dimaksudkah sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire,
karikatur, atau idealisme Romantik? Dalam hubungan antara karya sastra dengan
kenyataan, Teeuw menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap
kenyataan, tetapi sekaligus juga model kenyataan. Bukan hanya satra yang meniru
kenyataan, tetapi sering kali juga terjadi sebuah norma keindahan yang diakui
masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya seni, yang kemudian dipakai
sebagai tolok ukur untuk menyataan (Teeuw, 1988: 228).
Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat
karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur
sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi
cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra. Oleh karena itu, menurut Junus,
sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya
ditandai oleh: (1) unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas dari hubungannya
dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan dengan suatu
unsur sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam
dirinya. (2) Pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang
perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu
karya sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam perspektif
perkembangan. (3) Pendekatan ini dapat mengambil motif atau tema yang terdapat
dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan ini ada kecenderungan melihat hubungan langsung (one-to one-
cerrespondence) antara unsur karya sastra dengan unsur dalam masyarakat yang
digambarkan dalam karya itu (Junus, 1986: 7). Oleh karena itu, pengumpulan dan
analisis data bergerak dari unsur karya sastra ke unsur dalam masyarakat, dan
menginterpretasikan hubungan antara keduanya.
D. Sosiologi pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca.
Hal-hal yang menjadi wilayah kajiannya antara lain adalah permasalahan pembaca
dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau
tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan
Warren, 1994).
Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar
sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Di samping itu, juga mengkaji fungsi
sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial
(Damono, 1979).
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam
menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca
atau publiknya, menurut Wellek dan Warren, seorang sastrawan tidak hanya
mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan
publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut, misalnya
penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk
dinikmati oleh publiknya.
Perlu dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang
secara nyata (riel) membaca karya-karya pengarang tertentu. Apa motivasinya
membaca karya tersebut? Apakah mereka membaca karena ingin menikmatinya
sebagai sebuah karya seni? Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap
karya-karya tersebut? Atau membaca karena harus memilih karya-karya tertentu
untuk berbagai kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan
bahan bacaan wajib di sekolah, memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara
penulisan karya sastra, bahkan juga membaca untuk membuat resensi yang lebih
berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh
masyarakat pembaca secara lebih luas. Perlu diteliti juga bagaimana para pembaca
tersebut menilai dan menanggapi karya sastra yang telah dibacanya? Faktor-faktor
apa sajakah (secara sosiologis dan psikologis) yang berpengaruh dalam menilai dan
menanggapi karya sastranya?.
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan
dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars Poetica, Horatius telah mengemukakan
tugas dan fungsi seorang penyair dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna
dan memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah
untuk kehidupan. Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian menjadi
dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi sastra
(Teeuw, 1988: 183).
Dalam hubungannya dengan fungsi sosial sastra, Ian Watt membedakan
adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1)
pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan
perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra sebagai penghibur
belaka; (3) pandangan yang bersifat kompromis, di satu sisi sastra harus
mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur ( Damono, 1979).
Dalam kajian sosiologi pembaca menurut Junus, yang dipentingkan adalah
reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya
sastranya sendiri diabaikan, menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan
penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, menurut Lowental perlu
diperhatikan iklim sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial
budaya masyarakatlah yang membentuk cita rasa dan norma-norma yang
digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu (Junus, 1986: 19).
Untuk menerapkan kajian ini terlebih dulu perlu ditentukan wilayah
kajiannya, misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu
yang membaca dan menanggapi karya tertentu, ataukah akan meneliti juga
bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya, faktor-faktor sosial budaya
politik yang melatarbelakangi tanggapan pembaca, ataukah bagaimana pembaca
memanfaatkan karya tertentu? Setelah menentukan wilayah kajiannya, selanjutnya
kumpulkanlah data yang diperlukan, dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
Outline Tugas

 Judul : Lelucon Para Koruptor (Cerpen Karya Agus Noor-Kompas 24 Desember 2017)
 Pendahuluan : (Ketertarikan)
- Latar belakang karya sastra.
- Garis besar cerpen yang berisikan rasa gelisah tokoh utama dengan alur
kehidupannya di dalam penjara.
- Membawa pembaca pada perspektif sosial.
 Problem : Berangkat dari cerpen bahwa konflik dalam cerpen terjadi secara
berkelanjutan.
 Tujuan : Mengemukakan konsep trilogi sosiologi sastra dalam cerpen Lelucon Para Koruptor
karya Agus Noor berdasarkan perspektif Wellek dan Warren
 Rumusan Masalah :
- Bagaimana sosiologi pengarang dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?
- Bagaimana sosiologi karya sastra dalam cerpen lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?
- Bagaimana sosiologi pembaca dalam cerpen Lelucon Para Koruptor karya Agus
Noor?
 Kerangka Teori : Konsep trilogi sosiologi sastra (pengarang-karya-pembaca) oleh Wellek dan Warren
 Hasil :
- Sosiologi Pengarang : Biografi, Latar belakang sosial
- Sosiologi Karya Sastra : Intrinsik, Tema, Alur – klimaks, Penokohan, Setting, Amanat
- Sosiologi Pembaca : Dampak sosial

Anda mungkin juga menyukai