Anda di halaman 1dari 3

FANATIK vs MODERAT

Mencari Cara Beragama yang Mendamaikan


Ahmad Zainul Hamdi1

“For the sake of peaceful co-existence, all adherents of religions should


apply moderation in the exercise of their religious beliefs.” --Friday Ifeanyi Ogbuehi--

Setiap agama mengklaim mengajarkan perdamaian, namun kita melihat ada banyak
perang, konflik, kekerasan, dan kerusuhan di berbagai belahan dunia yang
dilatarbelakangi agama. Itu menunjukkan bahwa ada jarak yang menganga antara
ajaran dengan realisasinya di lapangan.

Di sisi lain, mudah sekali menemukan fanatisme agama di dalam masyarakat. Kita juga
tidak bisa memungkiri adanya narasi kekerasan yang mengendak di dalam hampir
semua agama. Kisah-kisah keagamaan terutama yang berkaitan dengan kegigihan
orang-orang dalam mempertahankan imannya tidak jarang dibungkus dengan narasi
perang. Martir menjadi bagian dari doktrin hamper semua agama. Kisah terbunuhnya
orang-orang suci atau pembunuhan atas nama iman bukan hal yang sulit ditemukan
dalam ajaran agama. Orang mati karena agamanya tidak saja dianggap biasa, tapi
bahkan dianggap sebagai kemuliaan. Mati sebagai martir dianggap sebagai kemuliaan
tertinggi dalam mempertahankan keimanan.

Tulisan singkat ini bermaksud untuk mendiskusikan hubungan antara fanatisme agama
dengan fenomena kekerasan agama. Apa yang hendak dinyatakan di sini adalah
bahwa fanatisme agama bukan cara sehat dalam menaati agama. Fanatisme agama
merupakan ekspresi keagamaan yang mengabaikan nalar, menutup ruang dialog, gagal
menanggapi perbedaan, dan membangun teologi superior untuk mengalahkan sang
liyan. Fanatisme agama merupakan ekspresi berlebihan dalam beragama. Fanatisme
agama merupakan sebentuk ekspresi keagamaan yang gagal dalam menerjemahkan
spirit kasih saying yang menjadi raison d’etre setiap agama.

Bagaimanapun juga, agama bukan semata-mata tentang peribadatan kepada Tuhan,


tapi juga hubungan dengan sesame manusia. Hampir setiap perintah ibadah di dalam
islam selalu dikaitkan dengan membangun kemaslahatan di antara sesame manusia.
Keseimbangan antara hablu min Allah (hubungan dengan Allah)/kesalehan personal
dengan habl min al-nas (hubungan dengan manusia)/kesalehan social adalah sikap
keagamaan yang sanggup menciptakan kemaslahatan. Keseimbangan inilah yang
disebut dengan moderatisme lawan dari fanatisme.

Fanatisme Agama
Menurut Sutherland, fanaticism berasal dari kata Latin fanaticus yang berarti sesuatu
yang diinspirasi/diilhami oleh dewa. Fanatisme berasal dari akar kata latin fanum yang
berarti kuil. Okere menjelaskan bahwa fanatisme adalah “extreme, inordinate and often

1
Kaprodi Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya; Disektur Eksekutif CMARs (Center for Marginalized
Communities Studies
misguided enthusiasm for anything. It is an unmitigated, emotional or intellectual
commitment to an idea or a value. It is a sort of maniacal and unbridled zealotry for a
cause”.2 Jadi fanatisme bisa terjadi di semua bidang kehidupan. Misalnya, fanatisme
politik merujuk pada sikap memegangi ideologi, kepentingan dan pandangan politik
tertentu tanpa batas. Jika seseorang fanatic terhadap ideologi politik tertentu, dia bisa
jatuh pada sikap chauvinistic, tindakan politik yang dipenuhi dengan semangat konflik,
mulai dari manipulasi praktik pemilu hingga pembunuhan.3

Di antara berbagai macam fanatisme, fanatisme agama penting untuk mendapatkan


perhatian karena posisi agama dalam kehidupan manusia. William James
mendefinisikan agama sebagai “the feelings, acts, and experiences of individual men in
their solitude, so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they
may consider the divine”. Karena posisi agama yang begitu penting dalam hidup
manusia, maka agama bisa menjadi motif terdalam dalam tindakan-tindakan
pemeluknya. Dalam hal ini, agama bisa menjadi seperti pedang bermata dua. Ia bisa
menjadi motif terdalam bagi tindakan kebajikan, tapi agama juga menyimpang potensi
sebaliknya. Pemeluk agama dalam upayanya untuk mewujudkan perintah Tuhan
mungkin saja melanggar nilai-nilai kemanusia jika itu dianggapnya sebagai penghalang
bagi dirinya dalam beragama. Di titik inilah, beragama bisa mengarahkan pada
tindakan-tindakan destruktif: kecerobohan, kekerasan, dan ekstremisme.4

Fanatisme agama mengandung arti kegairahan yang ekstrem, berlebihan dan tak terkendali
terhadap keyakinan agama, yang mendorong pada sikap ekstrem dalam kehidupan
seseorang karena keyakinannya bahwa hal itu diiperintahkan oleh Tuhan. Fanatisme
dikarakterisasi dengan semangat berlebihan dan tak kritis untuk mengejar ajaran
keagamaan yang ekstrem. Fanatisisme adalah suatu sikap yang negatif dan ganas
dalam beragama, dikarakterisasi dengan sikap yang berlebih-lebihan, ekstrem,
manipulatif, eksploitatif, dan dominative (penundukan).5

Fanatisme agama adalah sebuah penyimpangan dari ajaran agama. Dianggap sebagai
penyimpangan karena hasil dari fanatisme kekerasan dan peperangan serta
pemusnahan. Okere menyatakan bahwa fanatisme agama sangat ganas karena agama
dipandang sebagai sumber tertinggi dalam kehidupan manusia. Agama menuntut
ketundukan mutak karena menyangkut keselamatan hidup. Karena itu, tidak heran jika
fanatisme agama telah menyebabkan tragedi di berbagai bidang kehidupan maniusia,
mulai politik hingga ekonomi. Fanatisme agama menumbuhkan ketegangan sosial dan
perang agama yang mengakibatkan hancurnya kehidupan dan harta benda.
Pembakaran rumah ibadah, perusakan makam-makam suci, artifak dan simbol-simbol
agama adalah akibat dari fanatisme agama.

2 Ibid. (Fanatisme adalah kegairahan yang ekstrem, berlebihan dan sering salah arah menyangkutn
apa saja. Fanatisme adalah komitmen yang mendalam, emosional atau intelektual, terhadap ide atau nilai
tertentu. Ia semacam kegairahan dan semangat yang tak terkendali untuk suatu tujuan).
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Friday Ifeanyi Ogbuehi, RELIGIOUS FANATICISM AND GLOBAL PEACE,
http://www.academicexcellencesociety.com/religious_fanaticism_and_global.pdf
Fanatisme agama lahir pada diri pemeluk agama karena didorong oleh antusiasme
yang berlebihan, tak terkendali, dan salah tempat yang ditunjukkan dalam kepafantikan
yang berlebihan tanpa ada kendali diri.

Sebab-sebab fanatisme agama


Ogbuehi menyebut ada enam factor yang menyebabkan fanatisme agama: intoleransi
agama, etnisitas, fundamentalsiem, penafsiran yang salah atas kitab suci, solidaritas
dan globalisasi. Dari enam tersebut, manurut saya, yang paling penting ada tiga hal:
tafsir kitab suci, etnis, dan globalisasi.

Etnisitas memainkan peran penting dalam membangkitkan fanatisme di antara kelmpok


agama. Hampir setiap agama memainkan isu etnis baik dengan alasan agar diterima
maupun untuk menyingkirkan. Isu-isu agama sering kali menjadi alasan atau
berkelindan dengan sentiment etnis, kecemburuan, dan bias etnis. “religious fanaticism
is a spill over of ethnic sentiments, bias and prejudice held by the ethnic group.”
Fanaticism agama lahir dari etnosentrisitas dan pemikiran sempit yang menanungi
sikap fanatic dalam melihat perbedaan antara agamanya dengan agama orang lain.

Kesalahpahaman terhadap kitab suci adalah factor yang banyak ditemui dalam
fenomena fanatisme agama. Interpretasi jihad sebagai perang terhadap non-Muslim,
misalnya, telah melahiurkan sikap fanatic di kalangan umat Islam. Kesalahan dalam
memahami doktrin dapat membawa pemeluk agama terjebak ke dalam perasaan
superioritas, ajaran yang salah dan melahirkan sikap penundukan atas yang lain.

Di samping dampak positifnya, globalisasi juga menyebabkan rasa taka man, tak tentu,
resah dengan perkembangan yang tak berhenti. Globalisasi menyumbang fanatisme
agama. Globalisasi menyebabkan banjirnya arus informasi memungkinkan kartoon Nabi
menyebabkan kekerasan agama di negara-negara lain. Perang amerika serikat di siria
dianggap sebagai bagian dari aksi memusuhi Islam.

Anda mungkin juga menyukai