Anda di halaman 1dari 81

Keadilan dalam Pemikiran Platon

28 Mei 2021
Dr. A. Setyo Wibowo
STF Driyarkara - Jakarta
Platon (428/427 – 347/346 SM)
Konteks Wacana:

“(...) (Glaukon) you mean the city whose home is in the


ideal (en logois literally ‘in words’); for I think that it can
be found nowhere in earth’. ‘Well’, said I (Sokrates),
‘perhaps there for him who wishes to contemplate it is a
pattern (paradeigma) of it laid up in heaven and so
beholding to constitute himself its citizen. But it makes no
difference whether it exists now or ever will come into
being (cf. 499c-d, 472b-e). The politics of this city only
will be his and of none other’” (Politeia, Books IX 592a9).
Konteks Eskatologis

KEPHALOS: “that when a man begins to realize that he is


going to die, he is filled with apprehensions and concern
about matters that before did not occur to him. The tales
that are told of the world below (Hades) and how the men
who have done wrong here must pay the penalty there (…)
then begin to torture his soul (…).”

Dalam bahasa Yunani: “ton enthade adikesanta dei ekei


didonai diken” (hal-hal yang tidak adil yang telah dibuat di
sini akan diadili di sana; atau, akan ada pengadilan untuk
ketidakadilan-ketidakadilan yang telah dibuat).
KEPHALOS di hari tuanya merasa sedikit resah. Rasa
takut ini berhubungan dengan keyakinanannya akan
adanya “hidup beyond/sesudah mati”. Rasa takut ini
yang kemudian membuat orang mulai memeriksa
batinnya, memeriksa kesadarannya: apa saja yang telah
ia buat selama hidupnya, bilamana ia telah melakukan
ketidakadilan (ketidakbenaran) dalam hidupnya.
Namun KEPHALOS toh cukup tenang menghadapi saat
akhir hidupnya. Ia memiliki “sweet hope (hedeia
elpis)”, sebagaimana orang-orang kebanyakan lainnya
yang sadar bahwa selama hidupnya tidak melakukan
sesuatu apa pun yang salah, sehingga merasa tidak
memiliki “hutang” yang harus dilunasi.
KEPHALOS mencukupkan diri dengan hidup yang suara batinnya bersih
karena ia tidak pernah menipu sesama, tidak berhutang uang kepada sesama
dan tidak melalaikan satu persembahan/sesaji pun bagi dewa. Karena merasa
sudah melaksanakan semua kewajiban yang harus dilakukan, ia merasa tidak
perlu takut untuk pergi ke dunia setelah kematian.

Dan harus diakui, untuk bisa memiliki hidup tenang yang seperti itu, “the
possession of property contributes not a little” (Politeia, 331b).

Apakah Filsafat akan sekedar puas bilamana hati nurani kita “bersih”? Dengan
membahas konsepsi tradisional tentang “keadilan eskatologis” (bahwa “adil”
adalah bila kita bersikap benar dalam hidup ini, supaya kita terhindar dari
hukuman akherat nanti), Platon akan memulai diskusinya tentang dikaiosune
(istilah ini untuk pertama kali muncul di 331c).
Keadilan Tradisional

Dalam diskusi dengan KEPHALOS,


keadilan/dikaiosune pertama-tama akan
didefinisikan sebagai sebagai:

“truth-telling and paying back what one has


received from anyone” (331c) atau “to tell the
truth and return what one has received” (331d).

Tanggapan Sokrates: itu tergantung konteksnya, kalau kita berhutang “pisau”


kepada orang yang lalu menjadi gila, apakah kita mesti mengembalikannya?
POLEMARKHOS masuk ke arena dan mengutip seorang penyair pro-demokrasi
bernama SIMONIDES (berasal dari Kheos, 556-486 SM) untuk mengutarakan definisi
kedua tentang apa itu dikaiosune:

Adil artinya “to render to each his due” (331e). Inilah


konsep tradisional keadilan di mata para penyair
Yunani. POLEMARKHOS mempresisi bahwa maksud
SIMONIDES adalah “friends owe it to friends to do
them some good and no evil”, atau lebih tepatnya
lagi, adil adalah “berbuat baik kepada teman, dan
berbuat jahat kepada musuh” (332d).
Tanggapan Sokrates yang pertama: adil artinya berbuat baik kepada teman dan berbuat jahat
kepada musuh. Jadi, adil artinya “melakukan apa yang tepat/berguna disesuaikan dengan
orang yang berhak menerimanya” (332c). Masalahnya, benarkah keadilan selalu berkaitan
dengan “kegunaan” (berguna bagi “teman” dan berguna untuk membalas “musuh”)?
Tanggapan kedua Sokrates mengajak untuk melihat lebih jauh apa yang
dimaksud dengan “teman” dalam definisi itu. Apakah teman di situ
merujuk pada orang yang “tampaknya jujur” ataukah orang yang
“sungguh-sungguh jujur meskipun tampaknya tidak begitu”? Pertanyaan
yang sama juga bisa dikenakan pada soal “musuh” (apakah musuh itu
“tampaknya saja musuh” padahal bukan, ataukah ia sungguh-sungguh
musuh meski tampaknya bukan).

Posisi POLEMARKHOS ini akan dibawa Sokrates ke sebuah paradoks


sedemikian rupa sehingga keadilan justru akan tampak sebagai “berbuat
baik kepada musuh, dan berbuat jahat kepada temannya”!! Keadilan
justru berarti “berbuat jahat kepada mereka yang tidak pernah
melakukan ketidakdilan” (334d).

POLEMARKHOS merasa bingung dengan


argumentasi yang menyudutkan seperti itu: “I no
longer know what I did mean. Yet this still I
believe, that justice benefits friends and harms
enemies”.
Sokrates mengajak POLEMARKHOS untuk melihat lagi (334e), tetapi
dengan lebih memperjelas bahwa yang dimaksud “teman adalah dia yang
tampak baik dan memang sungguh-sungguh baik”, sedangkan “musuh
adalah dia yang tampak jahat dan sungguh-sungguh memang jahat”.
Artinya, kita harus memiliki pengetahuan untuk membedakan antara
“penampakan” dan “realitas”.

Dengan presisi seperti itu, lalu diberikanlah definisi


ketiga dikaiosune di 335a: “We then said it was just to
do good to a friend (philon) and evil to an enemy
(ekhtron), but now we are to add that it is just to
benefit the friend if he is good (philon agathon) and
harm the enemy if he is bad (ekhtron kakon)”.
Tanggapan Sokrates:
Definisi tradisional tentang keadilan/kebenaran (sebagai “balas budi
dan balas dendam”) ini, menurut Sokrates, bertentangan dengan
keyakinan absolut bahwa kita mesti mengutuk ketidakadilan. Bagi
Platon dan Sokrates, secara umum yang disebut keadilan tidak pernah
sejalan dengan sikap permusuhan (misalnya “to harm the enemy”.
Mengapa tidak sejalan? Karena dengan menjahati seseorang, pun
kalau dia adalah musuh, artinya kita akan membuat orang tersebut
makin jahat.

Sama seperti tindakan jahat yang dikenakan pada binatang


membuat binatang tersebut jahat (bdk. 335b: menjadikan
buruk seekor kuda atau anjing bila dibandingkan dengan
excellence/arête seharusnya kuda atau anjing pada
umumnya), maka ketika hal yang sama dikenakan pada
manusia “men who are harmed become more unjust” (335c:
manusia yang dijahati akan menjadi makin tidak adil/benar,
menjadi buruk bila dibandingkan dengan excellence/arête
khasnya sebagai manusia yaitu yang seharusnya dikaios).
Bila seseorang itu sungguh-sungguh dikaios (adil), menurut Sokrates, maka ergon
manusia seperti itu (tindakan khasnya) tidak akan pernah menyakiti orang lain
(bertindak tidak adil): “it is not then the function (ergon) of the just man (tou dikaiou),
Polemarchus, to harm either friend or anyone else, but of his opposite, the unjust (tou
adikou)” (335d).

Maka jika ada orang yang berkata bahwa ia adil, tetapi menyakiti orang lain, ia
bukanlah orang yang benar-benar adil.

Sokrates menyatakan sikapnya secara jelas di 335e: “if anyone affirms that it is just to
render to each his due and he means by this, that injury and harm is what is due to his
enemies from the just man and benefits to his friends, he was no truly wise man who
said it”.

Dengan kata-kata ini, Sokrates menolak definisi keadilan yang


dikatakan berasal dari penyair SIMONIDES.
Keadilan Sofistik Thrasymakhos
Sebelum memberikan tesisnya tentang dikaiosune, pertama, Thrasymakhos
langsung menyerang dengan tajam cara berargumentasi Sokrates (metode
elegkhos). Ia sebal bahwa Sokrates selalu bertanya dan mengkritik definisi yang
diajukan orang lain. Kapan Sokrates sendiri mau memberikan definisinya dan
bersedia diinterrogasi?

Politeia I 336c-d: “If you really wish, Socrates, to know what the just is, don’t
merely ask questions or plume yourself upon controverting any answer that
anyone gives – since your acumen (kecerdikan/kelicikan) has perceived that it is
easier to ask questions than to answer them, but do you yourself answer and tell
what you say the just is”.
Kedua, Thrasymakhos juga mengritik metode “ironi sokratik” (337a). Ia
tahu bahwa kapan pun Sokrates diminta menjawab, ia akan berusaha
menghindarinya.

Metode ironi (eironeia, ei)rwnei/a) yang diasosiasikan ke Sokrates sering


dituduh sebagai metode “kekanak-kanakan” atau “main-main”. Namun,
harus diakui bahwa metode ini merupakan bagian penting dari cara
Sokrates melakukan penelitian filosofisnya. Ironi baginya adalah sikap
“untuk tidak menyatakan terlebih dahulu apa yang diketahui, supaya
dengan demikian muncul berbagai pertanyaan, sehingga penelitan bisa
lebih mendalam” (bdk. Symposion 216 e, Theaitetos 150c).
Setelah kritikan-kritikan tersebut, Thrasymakhos lalu memberikan definisinya tentang
apa itu keadilan di Politeia I 338c :

«Iaffirm that the just (to dikaion) is nothing else than


the advantage of the stronger ».

Sokrates merumuskan ulang posisi Thrasymakhos ini: “the advantage of the stronger is
what you affirm the just to be”.

Inilah definisi sofistik tentang keadilan.


“I affirm that the just is nothing else than the advantage of the stronger .
Well, why don’t you applaude?” (Politeia Buku I 338c).

Thrasymakhos memberikan konsepsi Realpolitik! Dalam kenyataan, apa yang moral (apa
yang adil, baik, benar) nyatanya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat!
Dari tesis Thrasymakhos tentang keadilan ini, ada dua hal yang bisa
dibahas:

Pertama, “keadilan sebagai apa yang menguntungkan (kepentingan)


bagi mereka yang lebih kuat” (338c).

Kedua, “keadilan sebagai sebuah kebaikan bagi orang lain” (343c). Di


mulut Thrasymakhos, pernyataan ini bernada sangat sinis: “keharusan
bersikap adil itu memang baiknya bagi orang lain untuk
melakukannya….(jadi, jangan mengikat aku untuk melakukannya) ».

Posisi Sokrates tentunya berseberangan karena baginya « seni memimpin » (yang dimiliki
pemimpin/penguasa) sebagaimana tekne yang lainnya selalu terarah demi kebaikan orang lain,
bukan demi diri sendiri seperti yang dikemukakan Thrasymakhos.
Pertama, tesis Thrasymakhos ini memperlihatkan keadilan sebagai
hasil dari proses politik (dalam bentuk hukum) yang dilakukan oleh
penguasa riil (kesepakatan yang dibuat pemerintah/penguasa atau
pemimpin saat itu), dan keadilan sama sekali tidak dikaitkan dengan
apa yang diharapkan secara “moral” (misalnya, bahwa semua orang
berhasrat mencapai hidup yang baik).

Menghadapi konsepsi seperti itu, Sokrates lalu menanggapi dengan


pertanyaan: bilamana para pemimpin itu ternyata “bisa keliru”,
apakah dengan demikian hukum yang mereka buat masih bersifat
“adil” (yang dalam pengertian Thrasymakhos, artinya “apakah hukum
yang mereka buat itu akan menguntungkan mereka juga, kalau
ternyata mereka bisa keliru”)?
Thrasymakhos menjawab bahwa “dalam artinya yang ketat”, seorang
pemimpin yang ia bicarakan tidak akan pernah salah!

Konsepsi tentang “pemimpin yang murni pemimpin, pakar yang sungguh-


sugguh secara ketat pakar” ini memberi kesempatan kepada Sokrates
untuk berbicara tentang “apa itu keahlian” (tekne kedokteran, mengemudi,
atau memimpin).

Menurut Sokrates, tiap keahlian (ketrampilan, tekne) membutuhkan


sebuah landasan, yaitu pengetahuan (episteme, 342c11), karena tanpa
episteme, sebuah teknik kepakaran tidak bisa menguasai objek kajiannya
dengan benar.

Dalam arti itu, menurut Sokrates, keadilan adalah “teknik memimpin itu
sendiri” (yang sebagaimana tekne lainnya) kesempurnaannya tercapai
bila ia ditujukan bagi pelayanan kepada orang lain (sebagaimana
kesempurnaan teknik pengobatan tercapai ketika dipakai untuk mengobati
orang lain).
“Teknik memimpin” selalu diarahkan demi kepentingan mereka yang
dipimpin (Politeia I 343a). Di mata Sokrates, teknik memimpin ini
mencapai kesempurnaannya ketika kepentingan si pemimpin dan orang
yang dipimpin dipenuhi. (Nantinya, bagi Aristoteles pun jelas bahwa
“keadilan” adalah satu-satunya keutamaan di mana yang dicari adalah
kebaikan bagi orang lain, dan bukan bagi diri sendiri (Ethika Nikomaxeia V
3, 1130a3, 1134b5).

Bagi Thrasymakhos, seorang pemimpin selalu akan


mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Para
pemimpin dengan sendirinya adalah PLEONEKTIK.
Teknik memimpin bagi Thrasymakhos dilandasi dan
diarahkan oleh “kepentingan diri si pemimpin
sendiri”.

Dalam konsepsi seperti ini, mengingat memimpin


artinya mencari untung bagi diri sendiri, maka soal
keadilan (yang tampak dalam konvensi-hukum)
hanyalah tambah-tambahan “naïf”, “berlebih-
lebihan”, pemanis bibir belaka untuk menutupi motif
mencari untung bagi diri sendiri.
Pleonaxia: hasrat tak pernah puas untuk mengambil keuntungan,
caranya dengan memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntungan
sendiri. Bentuk verbal “ pleonektein, 349b8, 349c4, artinya
« mengeksplotasi », « mengambil keuntungan dari ».

Secara umum, pleonaxia merujuk pada apa yang “eksesif” (berlebih-


lebihan).

Arti keduanya, merujuk pada “ memiliki lebih daripada yang


seharusnya” (Gorgias 490c1).

Sejauh Thrasymakhos memaksudkan definisi keadilan sebagai


“memiliki keuntungan yang lebih”, maka ia PLEONAKTIK. Di Gorgias,
Platon memberikan julukan pleonaktik untuk karakter KALLIKLES yang
kejam dan sinis (Gorgias 508a, bdk. juga Nomoi III 691a).
Doktrin yang dipertahankan oleh Thrasymakhos secara terang-terangan
bersifat immoral. Sementara posisi Sokrates hendak melawan pleonexia
dengan menyatakan bahwa “seni memimpin/politik” adalah seni yang
mestinya “melayani orang lain” (342c-343a). Posisi semacam itu di mata
Thrasymakhos adalah posisi yang “naïf, inosen”.

Keadilan, di mata Thrasymakhos adalah suatu “keburukan, kelemahan” (343b-344d). Ia


hanya baik bila orang lain yang melakukannya. Tetapi bagi seorang pemimpin,
sebagaimana seorang gembala, ia mengarahkan semuanya demi keuntungan pribadinya.
Ini adalah tesis kedua Thrasymakhos.

Pemimpin mirip seorang gembala. Namun berbeda dengan “gembala yang baik”, tujuan
utama sang pemimpin-gembala ini adalah mengeksploatasi hewan piaraannya (jadi
sama sekali bukan demi “kebaikan” para hewan gembalaan).

Pemimpin-gembala berusaha mencari apa yang menurutnya “yang terbaik” (oikeion


agathon, kebaikan khas dirinya). Dan demi kebaikan itu, ia akan mengupayakan seluruh
kekuatan dan kecerdasannya. Di mata Thrasymakhos, orang seperti itulah yang layak
disebut phronimos (orang bijak)¸ yang mestinya kita kagumi. Dan orang seperti inilah satu-
satunya orang yang berbahagia, karena hanya Tiranlah (atau orang yang-tidak-adil) yang
bisa mengumpulkan sebanyak mungkin apa saja yang menguntungkan dirinya. Ia akan
mengikuti hasrat PLEONEKTIK-nya, dan pemenuhan atas hasratnya ini yang akan
memberinya kebahagiaan.
Cara berpikir Thrasymakhos ini mengalihkan kita dari pokok persoalan
yang dibahas Sokrates yaitu pencarian tentang kodrat (esensi) keadilan.
Thrasymakhos tidak peduli lagi dengan “kodrat keadilan”, karena baginya
yang terpenting adalah “apakah keadilan itu menguntungkan apa tidak”.

Pembahasan kita tentang “keadilan” mau tak mau akan berhadapan


dengan sinisme Thrasymakhos, terutama ketika ia mengatakan bahwa
justru orang “tidak adil” yang terlihat “bahagia”.

Bila mengikuti alur pendapat Sokrates, maka kita berhadapan dengan


pertanyaan: apakah kodrat keadilan itu sendiri membahagiakan? Apakah
menjadi orang adil itu pasti membahagiakan? Tema ini akan terus
menemani pencarian kita akan “keadilan” di buku II sd. X nantinya.

Hidup bahagia yang dicari Kephalos di awal Buku I dan deskripsi tentang
alam sesudah kematian di Buku X akan menemani kita dalam mencari:
benarkah hidup adil (dalam pengertian sokratik) lebih membahagiakan
daripada hidup tidak adil?
GLAUKON melanjutkan argumentasi yang ditinggalkan
THRASYMAKHOS. Dengan landasan yang baru, GLAUKON
ingin mengerti mengapa “keadilan” mesti diprioritaskan.

GLAUKON akan mengulangi posisi pokok THRASYMAKHOS


tanpa dia sendiri benar-benar memeluk pendapat tersebut:
“I will lay myself out in praise of the life on injustice”, dan
dengan cara itu ia berharap bisa mendengarkan secara
lebih rinci argumentasi penolakan Sokrates kepadanya
(358d).
Glaukon bertitiktolak dari premis menarik:

a)kebanyakan orang berpendapat bahwa


“melakukan ketidakadilan adalah sesuatu yang
baik, artinya menguntungkan diri kita”, sementara
“dikenai ketidakadilan adalah sesuatu yang
buruk”.
b)Dan orang berpendapat bahwa “dikenai
ketidakdilan” rasanya lebih menjengkelkan
dibandingkan dengan “kebaikan yang dirasakan
dari tindakan tidak adil yang kita buat”.
Glaukon menyimpulkan:

c) ketika banyak orang sudah merasakan derita


akibat ketidakdilan, mereka lalu bersepakat satu
sama lain untuk melarang tindakan yang tidak adil.
Orang-orang ini merasa perlu membuat
persepakatan karena mereka sadar bahwa mereka
adalah orang lemah yang gampang menjadi korban
ketidakadilan

Persepakatan itulah,
d) yang kemudian disebut sebagai hukum, dan apa
yang diatur dalam hukum disebut sebagai “adil”.
Menurut Glaukon,
hukum adalah kontrak kaum lemah
sebagai akal-akalan untuk
melindungi diri
dari tindakan tidak adil
yang dilakukan orang yang lebih kuat.
Glaukon membela Thrasymakhos dengan argumentasi
yang mengatakan bahwa hukum dan keadilan adalah
persepakatan antara orang lemah, orang yang tidak
cukup kuat untuk melakukan ketidakadilan (in the lack of
vigour to do injustice, The Republic, 359b). Tampaknya
Glaukon berseberangan dengan Thrasymakhos (yang
mengatakan bahwa adil adalah keuntungan orang yang
lebih kuat). Namun sebenarnya Glaukon masih satu alur
dengan Thrasymakhos, sebab seturut argumentasinya,
seorang lelaki sejati (alethos andra, The Republic, 359b),
artinya manusia yang benar-benar kuat, tidak pernah
membutuhkan kesepakatan seperti itu. Lelaki sejati,
seperti di rimba belantara, adalah yang menentukan
hukumnya sendiri, keadilannya sendiri.
Dalam arti ini, Glaukon sama sekali tidak
menolak argumen Thrasymakhos. Ia
melengkapi dan memoles konsepsi hukum à la
Sofisme: bahwa hukum hanya konvensi,
keadilan hukum ditaati tidak secara kodratiah
melainkan karena dianggap mewakili
kepentingan (satu orang kuat, atau
sekelompok orang lemah yang menjadi
kekuatan tersendiri).
Sejauh kepentingan berubah-ubah, maka
hukum dan keadilan juga bersifat relatif.
“We should then catch the just man in the very act of
resorting to the same conduct as the unjust man
because of the self-advantage (terj. Prancis: “mû par
son appetit de gain/pleonexia”) which every creature
by its nature pursues as a good”.

Untuk membuktikan sifat manusia yang intinya “mencari


keuntungan diri” (dalam arti pleonexia) ini GLAUKON
kemudian memberikan kisah tentang GYGES dari LYDIA .
Menurut GLAUKON (360b): seandainya ada dua cincin semacam itu, yang satu
dipakai oleh orang yang “adil/benar”, dan yang satunya dipakai “orang yang
tidak adil/tidak benar”, maka bisa dipastikan bahwa tak seorangpun tetap
bersikukuh untuk bersikap adil mengendalikan tangannya guna tidak
mengambili barang milik orang lain.

Ketika “tidak terlihat”, menurut GLAUKON, orang adil maupun tidak adil akan
mengambili apa saja yang ia sukai yang ia temukan di pasar. Bahkan tanpa
segan ia akan masuk ke rumah siapa saja dan tidur dengan siapa saja yang ia
minati, membunuh atau membebaskan siapa saja sesuai keinginannya.

Singkatnya: “and in all other things conduct himself among


mankind as the equal of a god (isotheon)” (360c).
Kisah ini, menurut GLAUKON membuktikan bahwa “no one is just
of his own will but only from constraint” (360c), karena keadilan
bukanlah apa yang terbaik baginya! Dan sama seperti semua
orang lainnya, bilamana ia memiliki kemampuan untuk berbuat
“tidak adil”, maka ia akan melakukannya.

Justice is not his personal good (bdk. dengan, pernyataan


THRASYMAKHOS yang mengatakan bahwa “keadilan adalah
kebaikan bagi orang lain” atau mudahnya “adil itu baiknya ya
untuk orang lain saja, tetapi bukan untuk aku”).

Pernyataan bahwa “tak seorang pun berbuat adil secara sukarela


(melainkan karena paksaan)” juga menunjukkan bahwa dalam
kenyataan sehari-hari, tak seorangpun secara moral ingin berbuat
adil. Orang melakukan keadilan karena dipaksa oleh hukum.
Keadilan adalah sesuatu yang “tidak berguna (inutile)”. Orang
hanya peduli untuk melakukan apa yang “tampaknya saja adil”,
namun untuk benar-benar berbuat adil, semua orang cenderung
menghindarinya. Orang enggan menjalankan keadilan.
Ketiga, mengapa orang enggan berbuat adil? Karena, menurut
GLAUKON, orang berpikir bahwa “there is far more profit for him
personally in injustice than in justice”.

Bila ada orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja,
ternyata tidak berbuat “ketidakadilan”, maka biasanya ia akan disebut
“bodoh” oleh orang banyak! Tentu saja, orang-orang itu akan
mengatakan di depan khalayak ramai bahwa orang seperti itu “baik”,
namun GLAUKON juga memperjelas bahwa pujian semacam ini
sebenarnya dibuat sekedar sebagai tipu-tipuan belaka karena motif
sebenarnya di balik pujian itu adalah ketakutan “menderita ketidakadilan”
(yang bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan
melakukannya, 360d).

Orang “memuji ah si A orangnya sangat baik” persis karena sebenarnya


merasa “lega” bahwa meski si A bisa berbuat apa saja terhadapnya,
ternyata si A tidak mau melakukannya…. Kita mengatakan bahwa
seorang preman sangar di kampung sebagai “baik” karena kita lega
(terbebaskan dari ketakutan) bahwa meski si preman bisa berbuat apa
saja, ternyata ia tidak melakukan yang jahat kepada kita.
Orang yang hidup tidak adil/benar berbahagia!

GLAUKON meneruskan argumentasinya dengan menggambarkan dua macam cara


hidup.

Orang yang hidup tidak adil secara sempurna, ia akan bertindak tidak adil sekaligus
terhindar dari deteksi bahwa ia seperti itu (361a). Puncak ketidakadilan/ketidakbenaran
adalah ketika tindakannya itu ia justru TAMPAK adil (the height of injustice is to seem
just without being so, 361a). Perfect injustice tercapai manakala orang melakukan
kejahatan justru tampak memiliki reputasi sebagai orang adil.

Pun kalau orang yang tidak adil secara sempurna ini ketahuan berbuat tidak adil, ia
bisa mengkoreksinya karena ini memiliki: a) kemampuan untuk berbicara secara
persuasif, b) memiliki sumber daya yang bisa ia pakai, c) dan juga dibantu teman-
teman dan uang yang ia miliki (361b) membantunya membujuk para dewa lewat
persembahan-persembahan bagus yang ia berikan.
Sebaliknya, orang yang hidup secara adil akan sengsara….

Orang “ningrat” (gennaion, berketurunan baik) sama sekali tidak mau “tampak….”.
Karena hanya yang baik yang ia maui, maka “penampakan baik” pun ia hindari.
Mengapa? Karena kalau ia “nampak” demikian, ia akan menerima penghargaan dan
hadiah (dan sejauh “penampakan adil” ini memberikan “balas jasa” maka tentu saja
di situ “keadilannya belum sempurna”! (Karena kita lalu bisa mempertanyakan
apakah ia bertindak adil itu sebenarnya “demi keadilan itu sendiri” atau jangan-
jangan demi “penghargaan dan hadiah”?)

Oleh karena itu, menurut GLAUKON, orang yang adil ini adalah kebalikan total dari
jenis orang yang sebelumnya: a) though doing no wrong he must have the repute of
the greatest injustice (361c), dan itu ia pegang seumur hidup, sehingga seumur
hidup ia “dikenal orang” dengan reputasi “tidak adil”; b) sehingga ia diadili tanpa ia
sendiri mau dibantu oleh siapa pun, dan c) akan “dicambuk, dipenjara, diculek
matanya dengan besi panas, dan akhirnya setelah sangat menderita, ia akan
ditusuk/disate” (361e – 362a).
Dengan paparan itu, GLAUKON menunjukkan
bahwa dalam kenyataan sehari-hari, justru orang-
orang tidak adil inilah yang hidup dekat dengan
kebenaran (yaitu, bahwa hidup ini tidak adil). Ia tahu
bahwa tuntutan « adil » dari masyarakat hanyalah
tuntutan « tampakan/citra » belaka. Bukan hanya
merumuskan ulang posisi THRASYMAKHOS (hidup
tidak adil menguntungkan, jadi membahagiakan),
GLAUKON menambahi sinisme dengan mengatakan
bahwa hidup tidak adil justru potensial lebih
membantu orang untuk disukai para dewa .
Mencari kodrat keadilan:

a)apakah keadilan sebuah kebaikan “in itself”


b)ataukah keadilan itu dicintai karena
akibat/effects-nya yang membahagiakan sehingga
untuk itu perlu dilakukan)
c)ataukah keadilan itu sebuah kebaikan yang dicari
“for its own sake and for its consequence” (357b-c).
EKSKURSUS: Konsep JIWA menurut Platon
Jiwa sebagai Gerak (Konflik Tiga « Bagian » Jiwa)
Platon membahas tentang beberapa prinsip yang berbeda (« tiga jenis (eide) ») dalam
jiwa: adanya bagian jiwa yang merasa haus dan lapar, yang pasti berbeda dengan
bagian lain yang « menyetujui atau menolak » pemuasan hasrat tersebut.

« the soul of the thirsty then, in so far as it thirsts, wishes nothing


else than to drink, and yearns for this and its impulse towards
this. (..) Then if anything draws it back when thirsty, it must be
something different in it from that which thirsts and drives it like
a beast to drink. For it cannot be, we say, that the same thing
with the same part of itself at the same time acts in opposite
ways about the same thing” (Politeia 439a-b).
Dalam pengalaman sehari-hari, “rasa haus” menghendaki
dipenuhi. Namun ternyata tidak selalu begitu. Rasa haus
kadang berhadapan dengan sesuatu yang “menolaknya”. Dan
bertitik tolak dari prinsip non kontradiksi, bahwa tidak mungkin
“sesuatu secara bersamaan menghendaki pemenuhan dan
penolakannya sekaligus”, maka tidak mungkin bahwa “rasa
haus” itu sekaligus menghendaki dipenuhi dan menolak
pemenuhannya!

Bila demikian, siapakah yang menolak pemenuhan rasa haus


ini? Pasti ada “prinsip lain” yang berbeda dari “rasa haus”, yang
menjadi asal “penolakan tersebut”. Itulah prinsip rasional
(prinsip to logistikon, Politeia 439c) yang diajukan Platon di sini
sebagai prinsip yang menghambat nafsu dan hasrat (to
epithumetikon, 439d).
Prinsip epitumethikon adalah prinsip “that with which it loves
hungers, thirsts, and feels the flutter and titillation of other
desires, the irrational (alogistikon) and appetitive companion
of various repletions and pleasures”.

Epithumia di 442a didefinisikan Platon sebagai “the mass of


the soul in each of us and the most insatiate by nature of
wealth”; dan bila tidak dikendalikan dengan baik oleh
logistikon dan thumos ia bisa menjungkirbalikkan kehidupan
individu (442b).

Untuk prinsip rasional, to logistikon, bdk. di Politeia 441c,


571c, 587d dan 605b.
Epithumia adalah appetite (nafsu-nafsu yang
berkenaan dengan makan, minum dan seks, atau
sering disingkat oleh Platon sebagai nafsu akan
UANG).

Bodily appetites (seperti rasa haus, rasa lapar dan


nafsu seksual) digambarkan bersifat buta dan
resisten terhadap ‘nasehat rasional’.

Ia mirip gentong bocor yang tak mungkin dipenuhi.


Ia mirip monster berkepala banyak, Hydra, yang
saat dipenggal satu kepalanya malah tumbuh
banyak kepala lainnya lagi.
Setelah menyatakan 2 “bentuk (eide)” dalam jiwa, Platon lalu berbicara tentang
“thumos, principle of hight spirit” (439e) yang merupakan prinsip ketiga. Untuk
memperjelasnya Platon berkisah tentang Leontios dari Aglaionos yang ketika berjalan-
jalan melewati tempat penghukuman mati publik merasakan di satu sisi “a desire to see
them” (ingin melihat mayat-mayat yang dieksekusi) namun di sisi lain ia merasakan “a
repugnance and aversion” (merasa jijik dan menolak melihat mayat-mayat tersebut).

Prinsip thumos (dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai


spiritedness) ini dikatakan Platon sebagai prinsip « rasa marah » (ten
orgen, principle of anger, 440a). Namun thumos bukan hanya sekedar
“rasa amarah”, karena yang dikatakan adalah soal “rasa marah moral,
rasa marah akan skandal moral yang ia lihat”. Thumos adalah semacam
energi yang besar dan terbuka. Leontios “marah” dengan dirinya sendiri
yang tidak bisa menguasai hasrat rendah untuk “melihat
mayat”…Thumos adalah “hasrat, semangat meluap-luap”. Sebagai prinsip
intermedier dia bisa bekerjasama dengan rasio untuk menekan
epithumia, namun ketika rasio sedang lemah, thumos malahan bisa
bekerjasama dengan epithumia (440b).
Thumos adalah “nyala hasrat akan yang moral”. 440c-
d: “what when a man believes himself to be wronged,
does not his spirit in that case seethe and grow fierce
(…) and make itself the ally of what he judges just, and
in noble souls it endures and wins the victory and will
not let go until either it achieves its purpose, or death
ends all”.

Tentang thumos ini, Paul Shorey, hl. 398 note c memberi


catatan menarik: “(…) thumos as the power of noble wrath,
which, unless perverted by a bad education, is naturally the
ally of the reason (…). In Laws 731b-c, Plato tells us again
that the soul cannot combat injustice without the capacity
for righteous indignation.”
Thumos adalah sebuah ‘prinsip rasa marah
(anger) yang moral’ karena motif utamanya
adalah harga diri (self-worth).

Ujud dari kemarahan moral akibat harga diri


ini misalnya tampak dalam bentuk ‘pride (rasa
bangga diri), shame (tahu malu), atau
indignation (marah dan merasa jijik karena
ada sesuatu yang busuk)’.
Di Politeia 441 a-b Platon menyatakan dengan jelas bahwa
thumos adalah prinsip ketiga.

“just as in the city there were three existing kinds that


composed its structure, the money-makers (khrematistikon),
the helpers (epikouretikon), the counselors (bouletikon), so
also in the soul there exists a third kind, this principle of high
spirit, which is the helper of reason by nature unless it is
corrupted by evil nurture”.

Hasrat akan sesuatu yang bermoral ini hanya bisa sungguh


menjadi sekutu “rasio” (logistikon) apabila ia dididik dengan
baik. Dengan pernyataan ini, Platon memberi catatan penting
bahwa thumos senyatanya lebih mudah dekat dengan
epithumia. Namun hanya berkat pendidikan yang baik ia bisa
bersekutu dengan rasio (bdk dengan buku IX 590b di mana
daya thumos ini disamakan dengan binatang buas).
Saat rasio mengoptimalkan epithumia,
muncullah sophrosune (keugaharian),
sehingga kebaikan yang dikejar epithumia
pas dan tepat sesuai kebutuhan.
Pengendalian rasional atas hasrat
emosional di dada akan menumbuhkan
keutamaan bernama keberanian (andreia),
sehingga kebaikan yang dikejar oleh harga
diri bersifat rasional.
Logistikon (rasio) mengendalikan dua bagian
jiwa di bawahnya. Dengan ia memiliki
keugaharian (di epithumia) dan keberanian (di
thumos), artinya, dengan sendirinya, logistikon
(rasio) itu sendiri juga sudah diwarnai oleh dua
keutamaan tersebut.
Rasio yang mengendalikan dua bagian jiwanya
tentu saja pada dirinya sendiri bersifat ugahari
dan berani. Hanya rasio semacam ini, yang
diwarnai oleh self control sekaligus keberanian
yang akan disebut Platon sebagai
berkeutamaan kebijaksanaan (sophia).
Intellektual yang tajam, rasio yang tangkas,
menurut Platon merupakan pisau bersisi
dua.

Bila rasio dididik dengan baik, diberi


lingkungan yang baik, sehingga ugahari dan
berani, maka rasio akan menjadi bijaksana
(sophia) dan menciptakan figur manusia
yang adil (di mana tiap bagian jiwanya
menjalankan fungsinya dengan baik).
Namun sebaliknya, bila rasio tidak dididik dengan
baik, atau bertumbuh di lingkungan yang buruk,
maka kita berhadapan dengan manusia pintar
yang hanya pandai tipu-tipu, ngakalin segala
sesuatu, demi mengikuti kepentingan epithumia
(uang) atau kepentingan harga diri (misalnya
menjadi pembela fanatik figur tertentu, atau
menjadi orang fanatik yang membela versi agama
yang teroristik).
Dengan situasi seperti ini, kita berhadapan
dengan manusia yang tidak adil, tidak benar.
Contohnya kaum SOFIS yang pinter tapi keblinger
Jiwa adalah gerak yang menggerakkan dirinya sendiri (autokineton).

Menurut mitos di Phaidros (246a-249d), tugas jiwa adalah bergerak


mengikuti arak-arakan kereta kuda para dewa - yang mana kereta
mereka ditarik oleh sepasang kuda yang sempurna dan sama
baiknya - naik menuju punggung langit untuk mengkontemplasikan
keindahan illahi.

Namun pergerakan eksternal jiwa-jiwa itu tidak mudah dan penuh


masalah karena kereta jiwa manusia ditarik oleh sepasang kuda
yang saling bertentangan.

Kuda yang putih cenderung taat kepada sais, sementara yang kuda
hitam cenderung mengikuti kemauannya sendiri dan selalu ingin
bergerak ke bawah.
Dalam bahasa Platon:
seorang filsuf raja/ratu (pemimpin) diharapkan memiliki empat
keutamaan pokok (cardinal virtues):

① keugaharian (moderation, moderatio, sophrosune),

① keberanian (courage, fortitudo, andreia),

① kebijaksanaan (wisdom, prudentia, sophia)

① keadilan (justice, iustitia, dikaiosune).


Definisi yang diuraikan di The Republic buku IV 433a-b
tentang keadilan adalah doing one’s own. Menurut Platon,
Negara akan Adil manakala “each one man must perform
one social service in the state for which his nature was best
adapted” (The Republic 433a4-6).

Negara akan Adil, artinya membahagiakan, manakala setiap


orang – sesuai kelasnya - melakukan apa yang terbaik yang
harus ia lakukan bagi polisnya. Maka jelas bahwa doing
one’s own terjadi manakala setiap orang dan setiap kelas
memiliki relasi yang tepat satu sama lainnya “dalam” polis
sehingga, efeknya, otomatis keadilan/keuntungan muncul
juga “bagi” polis.
“for what we laid down in the beginning as
universal requirement when we were
founding our city, this I think, or some form
of this, is JUSTICE (ti eidos he
dikaiosune). And what we did lay down,
and often said, if you recall, was that each
one man must perform one social service in
the state for which his nature was best
adapted (…) And we said again that TO DO
one’s own business and not to be a
busybody is justice (to ta autou prattein kai
me polupragmonein dikaiosune esti)”
(433a).
Di 433a Platon menunjukkan « spesialisasi trifungsi » (yang
menjadi genealogi munculnya polis dan menjadi aturan
sosial pembagian tugas/tanggungjawab) menjadi
LANDASAN bagi pendefinisian dikaiosune.

Keadilan akhirnya akan didefinisikan sebagai “harmoni


fungsi-fungsi tersebut”, keadilan menjadi semacam
“keutamaan sintetik yang menyatukan keutamaan-
keutamaan lainnya”. Oleh karena itu, keadilan bukanlah
sebuah keutamaan khas, sehingga ia “lolos” dari upaya
pencarian definisi filosofis. Justru dialah yang menjadi
“condition de possibilité/condition of possibility (ten
dunamin, b9)”, syarat bagi bisa terujudnya, tiga
keutamaan lainnya.
Ketidakadilan/ketidakbenaran

INJUSTICE adalah ketika ada silang sengkarut, ketika orang tidak memperhatikan
spesialisasi “alamiah” yang ada dalam dirinya. Sejauh keadilan adalah yang
“memungkinkan munculnya tiap keutamaan” dan memelihara keutamaan-keutamaan
tersebut sebagai “keseluruhan”, maka ketiadaan justice adalah tiadanya spesialisasi:

“But when I fancy one who is by nature an artisan or some kind of


money-maker tempted and incited by wealth or command of
votes or bodily strength or some similar advantage tries to enter
into the class of the soldiers or one of the soldiers into the class of
cousellors and guardians, for which he is not fitted, and these
interchange their tools and their honours or when the same man
undertake all these functions at once, then, I take it, you too
believe that this kind of substitution and meddlesomeness is the
ruin of a state” (434b-c).
Jika A melakukan urusannya sendiri, tindakannya itu berkaitan dengan B dan C
(dalam arti, tindakannya dibuat supaya A tidak mencampuri urusan mereka). A
bertindak dengan dibimbing oleh intensi sedemikian sehingga B dan C “memiliki
kepunyaan mereka sendiri”. Tindakan A dilakukan bukan untuk mengangkangi
urusan atau apa yang dimiliki oleh orang lain. Dalam apa yang disebut adil, setiap
orang akan bertindak sedemikian supaya, secara positif, setiap orang memiliki
kepunyaan masing-masing, dan, secara negatif, setiap orang berusaha mencegah diri
untuk mengangkangi apa yang menjadi milik (urusan) orang lain. Dengan definisi
seperti itu, maka justice menghasilkan situasi di mana “masing-masing memiliki apa
yang berhak ia miliki.”

Dan situasi ini bisa terjadi manakala tiap pelaku masing-masing melakukan
urusannya sendiri. Jelas kelihatan di sini bahwa selain sebagai keutamaan generik
(ketegakan/kebenaran), secara spesifik keadilan merujuk pada duty (tugas,
kewajiban), bukan semata-mata rights dalam arti sempit.
Dalam arti itu, doing one’s own merupakan kewajiban dari
setiap anggota polis untuk melakukan yang terbaik dalam
kelasnya masing-masing. Hal itu ia lakukan demi happiness
dan excellence masing-masing orang, dan dengan cara
demikian setiap orang membantu munculnya happiness
dan excellence dalam polisnya.
Nilai (keutamaan moral) keadilan (sebagai
tuntutan moral) di satu sisi tidak bisa dipaksakan
melalui teori kodrat, namun di sisi lain, bila nilai
itu absen, aturan hukum hukum (pelembagaan
keadilan) bisa bercabang-cabang tidak karuan
saling menjegal sendiri.

Keadilan hanya bisa menjadi « horizon,


cakrawala » : di satu sisi ia hanyalah tuntutan
(tanpa isi konkret), di sisi lain, meski tidak konkret,
ia perlu ada supaya aturan hukum selalu
mengarahkan diri padanya.

Anda mungkin juga menyukai