28 Mei 2021
Dr. A. Setyo Wibowo
STF Driyarkara - Jakarta
Platon (428/427 – 347/346 SM)
Konteks Wacana:
Dan harus diakui, untuk bisa memiliki hidup tenang yang seperti itu, “the
possession of property contributes not a little” (Politeia, 331b).
Apakah Filsafat akan sekedar puas bilamana hati nurani kita “bersih”? Dengan
membahas konsepsi tradisional tentang “keadilan eskatologis” (bahwa “adil”
adalah bila kita bersikap benar dalam hidup ini, supaya kita terhindar dari
hukuman akherat nanti), Platon akan memulai diskusinya tentang dikaiosune
(istilah ini untuk pertama kali muncul di 331c).
Keadilan Tradisional
Maka jika ada orang yang berkata bahwa ia adil, tetapi menyakiti orang lain, ia
bukanlah orang yang benar-benar adil.
Sokrates menyatakan sikapnya secara jelas di 335e: “if anyone affirms that it is just to
render to each his due and he means by this, that injury and harm is what is due to his
enemies from the just man and benefits to his friends, he was no truly wise man who
said it”.
Politeia I 336c-d: “If you really wish, Socrates, to know what the just is, don’t
merely ask questions or plume yourself upon controverting any answer that
anyone gives – since your acumen (kecerdikan/kelicikan) has perceived that it is
easier to ask questions than to answer them, but do you yourself answer and tell
what you say the just is”.
Kedua, Thrasymakhos juga mengritik metode “ironi sokratik” (337a). Ia
tahu bahwa kapan pun Sokrates diminta menjawab, ia akan berusaha
menghindarinya.
Sokrates merumuskan ulang posisi Thrasymakhos ini: “the advantage of the stronger is
what you affirm the just to be”.
Thrasymakhos memberikan konsepsi Realpolitik! Dalam kenyataan, apa yang moral (apa
yang adil, baik, benar) nyatanya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat!
Dari tesis Thrasymakhos tentang keadilan ini, ada dua hal yang bisa
dibahas:
Posisi Sokrates tentunya berseberangan karena baginya « seni memimpin » (yang dimiliki
pemimpin/penguasa) sebagaimana tekne yang lainnya selalu terarah demi kebaikan orang lain,
bukan demi diri sendiri seperti yang dikemukakan Thrasymakhos.
Pertama, tesis Thrasymakhos ini memperlihatkan keadilan sebagai
hasil dari proses politik (dalam bentuk hukum) yang dilakukan oleh
penguasa riil (kesepakatan yang dibuat pemerintah/penguasa atau
pemimpin saat itu), dan keadilan sama sekali tidak dikaitkan dengan
apa yang diharapkan secara “moral” (misalnya, bahwa semua orang
berhasrat mencapai hidup yang baik).
Dalam arti itu, menurut Sokrates, keadilan adalah “teknik memimpin itu
sendiri” (yang sebagaimana tekne lainnya) kesempurnaannya tercapai
bila ia ditujukan bagi pelayanan kepada orang lain (sebagaimana
kesempurnaan teknik pengobatan tercapai ketika dipakai untuk mengobati
orang lain).
“Teknik memimpin” selalu diarahkan demi kepentingan mereka yang
dipimpin (Politeia I 343a). Di mata Sokrates, teknik memimpin ini
mencapai kesempurnaannya ketika kepentingan si pemimpin dan orang
yang dipimpin dipenuhi. (Nantinya, bagi Aristoteles pun jelas bahwa
“keadilan” adalah satu-satunya keutamaan di mana yang dicari adalah
kebaikan bagi orang lain, dan bukan bagi diri sendiri (Ethika Nikomaxeia V
3, 1130a3, 1134b5).
Pemimpin mirip seorang gembala. Namun berbeda dengan “gembala yang baik”, tujuan
utama sang pemimpin-gembala ini adalah mengeksploatasi hewan piaraannya (jadi
sama sekali bukan demi “kebaikan” para hewan gembalaan).
Hidup bahagia yang dicari Kephalos di awal Buku I dan deskripsi tentang
alam sesudah kematian di Buku X akan menemani kita dalam mencari:
benarkah hidup adil (dalam pengertian sokratik) lebih membahagiakan
daripada hidup tidak adil?
GLAUKON melanjutkan argumentasi yang ditinggalkan
THRASYMAKHOS. Dengan landasan yang baru, GLAUKON
ingin mengerti mengapa “keadilan” mesti diprioritaskan.
Persepakatan itulah,
d) yang kemudian disebut sebagai hukum, dan apa
yang diatur dalam hukum disebut sebagai “adil”.
Menurut Glaukon,
hukum adalah kontrak kaum lemah
sebagai akal-akalan untuk
melindungi diri
dari tindakan tidak adil
yang dilakukan orang yang lebih kuat.
Glaukon membela Thrasymakhos dengan argumentasi
yang mengatakan bahwa hukum dan keadilan adalah
persepakatan antara orang lemah, orang yang tidak
cukup kuat untuk melakukan ketidakadilan (in the lack of
vigour to do injustice, The Republic, 359b). Tampaknya
Glaukon berseberangan dengan Thrasymakhos (yang
mengatakan bahwa adil adalah keuntungan orang yang
lebih kuat). Namun sebenarnya Glaukon masih satu alur
dengan Thrasymakhos, sebab seturut argumentasinya,
seorang lelaki sejati (alethos andra, The Republic, 359b),
artinya manusia yang benar-benar kuat, tidak pernah
membutuhkan kesepakatan seperti itu. Lelaki sejati,
seperti di rimba belantara, adalah yang menentukan
hukumnya sendiri, keadilannya sendiri.
Dalam arti ini, Glaukon sama sekali tidak
menolak argumen Thrasymakhos. Ia
melengkapi dan memoles konsepsi hukum à la
Sofisme: bahwa hukum hanya konvensi,
keadilan hukum ditaati tidak secara kodratiah
melainkan karena dianggap mewakili
kepentingan (satu orang kuat, atau
sekelompok orang lemah yang menjadi
kekuatan tersendiri).
Sejauh kepentingan berubah-ubah, maka
hukum dan keadilan juga bersifat relatif.
“We should then catch the just man in the very act of
resorting to the same conduct as the unjust man
because of the self-advantage (terj. Prancis: “mû par
son appetit de gain/pleonexia”) which every creature
by its nature pursues as a good”.
Ketika “tidak terlihat”, menurut GLAUKON, orang adil maupun tidak adil akan
mengambili apa saja yang ia sukai yang ia temukan di pasar. Bahkan tanpa
segan ia akan masuk ke rumah siapa saja dan tidur dengan siapa saja yang ia
minati, membunuh atau membebaskan siapa saja sesuai keinginannya.
Bila ada orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja,
ternyata tidak berbuat “ketidakadilan”, maka biasanya ia akan disebut
“bodoh” oleh orang banyak! Tentu saja, orang-orang itu akan
mengatakan di depan khalayak ramai bahwa orang seperti itu “baik”,
namun GLAUKON juga memperjelas bahwa pujian semacam ini
sebenarnya dibuat sekedar sebagai tipu-tipuan belaka karena motif
sebenarnya di balik pujian itu adalah ketakutan “menderita ketidakadilan”
(yang bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan
melakukannya, 360d).
Orang yang hidup tidak adil secara sempurna, ia akan bertindak tidak adil sekaligus
terhindar dari deteksi bahwa ia seperti itu (361a). Puncak ketidakadilan/ketidakbenaran
adalah ketika tindakannya itu ia justru TAMPAK adil (the height of injustice is to seem
just without being so, 361a). Perfect injustice tercapai manakala orang melakukan
kejahatan justru tampak memiliki reputasi sebagai orang adil.
Pun kalau orang yang tidak adil secara sempurna ini ketahuan berbuat tidak adil, ia
bisa mengkoreksinya karena ini memiliki: a) kemampuan untuk berbicara secara
persuasif, b) memiliki sumber daya yang bisa ia pakai, c) dan juga dibantu teman-
teman dan uang yang ia miliki (361b) membantunya membujuk para dewa lewat
persembahan-persembahan bagus yang ia berikan.
Sebaliknya, orang yang hidup secara adil akan sengsara….
Orang “ningrat” (gennaion, berketurunan baik) sama sekali tidak mau “tampak….”.
Karena hanya yang baik yang ia maui, maka “penampakan baik” pun ia hindari.
Mengapa? Karena kalau ia “nampak” demikian, ia akan menerima penghargaan dan
hadiah (dan sejauh “penampakan adil” ini memberikan “balas jasa” maka tentu saja
di situ “keadilannya belum sempurna”! (Karena kita lalu bisa mempertanyakan
apakah ia bertindak adil itu sebenarnya “demi keadilan itu sendiri” atau jangan-
jangan demi “penghargaan dan hadiah”?)
Oleh karena itu, menurut GLAUKON, orang yang adil ini adalah kebalikan total dari
jenis orang yang sebelumnya: a) though doing no wrong he must have the repute of
the greatest injustice (361c), dan itu ia pegang seumur hidup, sehingga seumur
hidup ia “dikenal orang” dengan reputasi “tidak adil”; b) sehingga ia diadili tanpa ia
sendiri mau dibantu oleh siapa pun, dan c) akan “dicambuk, dipenjara, diculek
matanya dengan besi panas, dan akhirnya setelah sangat menderita, ia akan
ditusuk/disate” (361e – 362a).
Dengan paparan itu, GLAUKON menunjukkan
bahwa dalam kenyataan sehari-hari, justru orang-
orang tidak adil inilah yang hidup dekat dengan
kebenaran (yaitu, bahwa hidup ini tidak adil). Ia tahu
bahwa tuntutan « adil » dari masyarakat hanyalah
tuntutan « tampakan/citra » belaka. Bukan hanya
merumuskan ulang posisi THRASYMAKHOS (hidup
tidak adil menguntungkan, jadi membahagiakan),
GLAUKON menambahi sinisme dengan mengatakan
bahwa hidup tidak adil justru potensial lebih
membantu orang untuk disukai para dewa .
Mencari kodrat keadilan:
Kuda yang putih cenderung taat kepada sais, sementara yang kuda
hitam cenderung mengikuti kemauannya sendiri dan selalu ingin
bergerak ke bawah.
Dalam bahasa Platon:
seorang filsuf raja/ratu (pemimpin) diharapkan memiliki empat
keutamaan pokok (cardinal virtues):
INJUSTICE adalah ketika ada silang sengkarut, ketika orang tidak memperhatikan
spesialisasi “alamiah” yang ada dalam dirinya. Sejauh keadilan adalah yang
“memungkinkan munculnya tiap keutamaan” dan memelihara keutamaan-keutamaan
tersebut sebagai “keseluruhan”, maka ketiadaan justice adalah tiadanya spesialisasi:
Dan situasi ini bisa terjadi manakala tiap pelaku masing-masing melakukan
urusannya sendiri. Jelas kelihatan di sini bahwa selain sebagai keutamaan generik
(ketegakan/kebenaran), secara spesifik keadilan merujuk pada duty (tugas,
kewajiban), bukan semata-mata rights dalam arti sempit.
Dalam arti itu, doing one’s own merupakan kewajiban dari
setiap anggota polis untuk melakukan yang terbaik dalam
kelasnya masing-masing. Hal itu ia lakukan demi happiness
dan excellence masing-masing orang, dan dengan cara
demikian setiap orang membantu munculnya happiness
dan excellence dalam polisnya.
Nilai (keutamaan moral) keadilan (sebagai
tuntutan moral) di satu sisi tidak bisa dipaksakan
melalui teori kodrat, namun di sisi lain, bila nilai
itu absen, aturan hukum hukum (pelembagaan
keadilan) bisa bercabang-cabang tidak karuan
saling menjegal sendiri.