Anda di halaman 1dari 5

MELACAK PUITIKA MESIN, MELACAK KECERDASAN SASTRA

(BUATAN)
Oleh Muhammad Lutfi Dwi Kurniawan
mulutdk@gmail.com

Menanggapi kehadiran kecerdasan buatan dalam fenomena sastra


merupakan suatu hal yang kompleks dan bukan sekadar mengenai media.
Kita dihadapkan oleh tiga revolusi sastra; sastra lisan, sastra tulis dan sastra
multimedia (digital). Seperti halnya dalam dunia industri, revolusi yang terjadi
dalam sastra juga terus mengalami goncangan perdebatan demi perdebatan.
Di Indonesia, perdebatan mengenai media penyampaian sastra mulai terjadi
ketika hadirnya sastra ciber. Pembahasan sastra dan kecerdasan buatan ini
pun tidak lengkap rasanya jika tidak mengawali pembahasan dari perdebatan
tersebut. Tidak hanya sekadar membahasnya, tapi juga melakukan kritik dan
revisi, agar genealogi dan epistemologinya tidak berantakan. Sehingga ada
semacam etnosentrisme di mana perkembangan sastra di Indonesia lepas
dari konteks perkembangan sastra di dunia.
Perdebatan dalam sastra siber dimulai dengan perdebatan mengenai
kualitas estetika. Hal ini pun terkait dengan publikasinya yang tanpa proses
kuratorial, sehingga karya-karya yang dipublikasikan di internet dianggap
rendah mutunya atau 'Tong sampah'1. Kecemasan akan menurunnya kualitas
sastra selalu menjadi permasalahan yang terus diulang-ulang. Sama halnya
dengan pertentangan antara sastra populer dan sastra serius. Ada fantasi
dalam kesusastraan Indonesia bahwa sastra harus dikurasi, dan secara tidak
langsung dikanonisasi. Itulah mengapa kritik-kritik sastra kebanyakan hanya
tertarik membahas fenomena sastra serius ketimbang membahas sastra
populer. Akan tetapi, salah satu blunder terbesar dalam fenomena sastra
1
Hal ini disebutkan oleh Ahmadun Yosi Herfanda dalam eseinya yang berjudul "Sastra Cyber, Genre,
dan Tong Sampah" dalam kumpulan esei Cyber Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk: Kumpulan
essai yang dieditori oleh Saut Situmorang.
siber itu dimulai dengan diterbitkannya dua buku tentang sastra siber; Cyber
Grafitti: Polemik Sastra Cyberpunk: Kumpulan essai dan Graffiti Gratitude:
Sebuah Antologi Puisi Cyber.
Mengapa saya menyebut dua fenomena itu sebagai blunder dalam
kesusastraan kita? Pertama, para penulis atau yang tergabung dalam
Yayasan Multimedia Sastra, yang mengajukan media baru dalam sastra yakni
digital, malah terjebak ke dalam media lama, yakni penerbitan, sehingga
secara tidak sadar sesuatu yang dianggap sastra tetap harus diterbitkan dan
ditata (kurasi). Seperti yang dikatakan Eskelinen (2012:6), bahwa masalah
kita terhadap batas-batas di antara keduanya terletak pada sisi historis, di
mana, sastra/budaya cetak berada di atas angin, dan masih dianggap bahwa
sastra cetak merupakan satu-satunya bentuk yang bernilai sastra 2. Sehingga
hanya di Indonesia, ada puisi cyber yang diterbitkan.
Kedua, penggunaan kata cyber atau siber dalam kedua buku tersebut
juga sangat problematis. Cybernetics atau sibernetika pertama kali
dicetuskan oleh Norbert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics or
Control and Communication in the Animal and the Machine (1948 {2019}).
Seperti judulnya, Wiener (2019:18) mendefinisikan cybernetics sebagai teori
komunikasi dan kontrol, di dalam mesin maupun binatang, yang ia ambil dari
istilah Yunani, ‘χυβερνήτης’ (kybernētēs)3. Hal inilah yang menjadi missing
link, kita mengadopsi istilah cyber oleh khazanah perkembangan sastra dunia
tetapi melupakan aspek epistemologis hingga ontologisnya. Dosa-dosa ini
terlampau berlarut-larut dan menjadi kebiasaan yang membuat seluruh
jurusan sastra di Indonesia mengadakan mata kuliah sastra cyber, dan
mendefinisikannya semudah dengan mengunggah puisi atau cerpen di
2
Hal ini pula yang mendiskreditkan sastra lisan semakin dianggap bukan sastra.
3
Dalam bahasa Inggris Wiener menerjemahkan sebagai steersman (pengemudi). Wiener merujuk
terminologi tersebut yang bermakna pengemudi dan terinspirasi dari sistem kemudi pada kapal
sebagai bentuk yang terbaik dari mekanisme arus balik (feedback mechanisms). Mekanisme arus
balik, yang merupakan gagasan utama dari sibernetika berkaitan dengan koneksi antara psikologi dan
fisiologi.
Facebook. Padahal jika merujuk pada fenomena karya sastra yang berada di
website, kita bisa menyebutnya sebagai sastra digital (karena berada dalam
dunia digital), sastra elektronik (karena menggunakan media yang
membutuhkan arus listrik) atau bisa menyebutnya secara lebih spesifik
seperti yang diajukan oleh Hayles (2006) sebagai web fiction atau fiksi
website.
Sementara itu, fokus pada teks-teks sibernetika yang kita sebut
sebagai sastra cyber itu, terletak pada interaktivitasnya, aspek timbal balik
dari teks dan pembacanya (pengguna) dan non-linearitas yang terbangun
dari karya-karyanya (Aarseth, 1998:15). Seperti yang dicontohkan oleh karya-
karya dari Michael Joyce yang berupa Hyperfiction, dan gim-gim naratif yang
tersebar di dunia. Sehingga bisa saya tegaskan ketika terminologi sastra
cyber itu diluncurkan, belum ada satupun fenomena sastra sibernetika yang
hadir. Di kesusastraan Indonesia, kita pun masih sulit menerima gim atau
novel-novel interaktif sebagai khazanah sastra, lalu mau bicara apa kita
tentang sastra artificial intelligence4 yang baru kemarin sore kita dengar?
Saya mencoba memulainya dengan runtut ke belakang, agar genealogi
dalam perkembangan sastra digital di Indonesia bisa kita runutkan hingga
kita bisa menemukan model yang tepat untuk sastra AI. Dalam sejarahnya,
ada beberapa karya yang dibuat melalui kolaborasi antara manusia dan
mesin antara lain The Policeman's Beard is Half Constructed (1984) Rachter,
dan 1 the Road (2017) karya Jack Kerouac.
Di antara dua karya di atas, mereka mengakui bahwa karya mereka
berkolaborasi dengan AI.

Mari kita lihat eksperimental yang dilakukan menggunakan Chat GPT,


dengan memintanya untuk menggubah puisi "Aku" dari Chairil Anwar.

Aku

4
Selanjutnya akan disebut AI.
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Ketika Chat GPT diminta mengubahnya, kemudian menjadi puisi seperti ini:

Dalam Diri

Jika tiba saatku berpisah


Kuharap tak ada yang memelas
Termasuk dirimu
Tak diperlukan air mata sedu
Aku, seperti binatang di padang tandus
Terpencil dari kawanannya
Walau peluru menembus jantungku
Aku akan tetap melangkah maju
Luka, ku pikul dan kubawa berlari
Melangkah hingga rasa sakit reda
Dan takkan kubawa beban perasaan
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Di sini, masih sangat nampak bagaimana plagiasi atau tema besar


yang dibawa oleh Chairil Anwar.

DAFTAR PUSTAKA
Aarseth, Espen. 1997. Cybertext: Perspectives on Ergodic Literature. JHU Press.
Yayasan Multimedia Sastra. 2001. Graffiti Gratitude: Sebuah Antologi Puisi Cyber.
Joyce, Michael. 1995. Of Two Minds: Hypertext Pedagogy and Poetics. University of
Michigan Press.
Situmorang, Saut, ed. 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk : Kumpulan
Esei.

Anda mungkin juga menyukai