PUISI DIGITAL
(KAJIAN REPRODUKSI ANTOLOGI PUISI DIGITAL CYBERPUITIKA-2002)
CUNONG N. SURAJA
PENDAHULUAN
Membicarakan puisi digital berkaitan erat dengan kelompok penggiat sastra internet atau sastra cyber yaitu Yayasan
Multimedia Sastra (YMS). YMS didirikan pada 2 Maret 2001 oleh pecinta dan pencipta karya sastra, yang selama ini
berhubungan secara tertulis melalui mailing list penyair@yahoogroups.com,puisikita@yahoogroups.com,
dan gedongpuisi@yahoogroups.com memanfaatkan media internet yang saat ini ada dan tersedia di hampir semua
tempat, di rumah, di kantor, di sekolah, di perjalanan, di pusat perb elanjaan, di warung-warung internet (warnet atau
cyber cafe) untuk pengembangan sastra dengan disahkan akta notaris Evawani Alissa Chairil Anwar. YMS bertujuan
mendukung aktivitas insan pencipta karya sastra dan pecinta (penikmat) sastra dalam mengembangkan sastra
dalam berbagai media dan mempunyai situs (homepage)http://www.cybersastra.net sebagai pusat informasi sastra.
Nama cybersastra merupakan nama situs milik YMS sebagai media publikasi karya sastra lewat fasilitas internet,
yang sering dirancukan dengan karya sastra yang dipublikasikan dalam dunia internet sebagai sastra cyber. YMS
juga menerbitkan karya sastra dalam berbagai media berupa buku-buku, compact disc, video compact disc, kaset,
kaos, kalender. Buku-buku yang telah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi Graffiti Gratitude (2001),kumpulan
artikel atau karangan Cyber Graffiti (2001) yang direvisi menjadi Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004),
kumpulan cerita pendek Graffiti Imaji (2002). Kemudian dalam format CD menerbitkan Antologi Puisi Digital
Cyberpuitika (2002).
Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (APDC) (2002) merupakan kumpulan puisi terbitan YMS dalam format CD bukan
dalam bentuk buku. CD merupakan fasilitas dalam komputer untuk membaca data yang terkumpul dalam compact
disc (CD). Puisi yang terkumpul dalam APDC menggunakan unsur media seni lukis atau foto dan musik serta
animasi yang tersedia dalam program komputer Microsoft PowerPoint. Penggunaan media seni rupa dan musik ini
menjadi dasar alasan atau inspirasi bagi penyair dalam pembuatan puisi dalam kumpulan puisi digital. Alasan lain
yang merupakan alasan YMS dalam penerbitan dalam format CD yaitu:
Penggunaan media pengungkapan seni pada umumnya dan sastra (dalam hal ini puisi) pada khususnya mulai
berubah dengan adanya perkembangan teknologi. Walter Benjamin (1936) dalam "The Work of Art in the Age of
Mechanical Reproduction" mencatat ada dua teknik yakni founding (mencetak dengan menggunakan bentuk cetakan
seperti cara membuat kue) dan stamping (mengecap dengan cara menekankan bentuk cap seperti stempel atau
dalam pembuatan batik yang mempunyai pola gambar yang dibuat dari logam dan dicapkan pada kain batik). Proses
ini berkembang dari cukilan kayu yang kemudian berlanjut dengan penemuan mesin cetak, yang dikenal dengan
istilah lithography sehingga karya sastra yang semula merupakan tradisi lisan berkembang dalam bentuk cetak, baik
berupa buku ataupun majalah dan koran sebagai bentuk sastra tulis(cetak). Robert Escarpit (1958) (terjemahan Ida
Sundari Husen, 2005: 5-6) menyatakan bahwa penemuan percetakan menimbulkan perkembangan industri buku
serta adanya perkembangan teknik audiovisual, menjadikan kegiatan budaya bukan melulu kegiatan golongan elit
borjuis tetapi telah menjadi alat promosi intelektual untuk masyarakat luas. Demikian juga Faruk HT (2004: 61) dalam
"Tubuh, Kebudayaan, dan Seksualitas" menyatakan adanya korelasi positif antara perkembangan kemampuan
teknologi informasi dan komunikasi dengan perkembangan besarnya dan beranekanya kolektivitas serta juga
perkembangan kecanggihan kebudayaan atau peradaban umat manusia.
Teknologi melahirkan perangkat komunikasi dalam bentuk telepon dan komputer yang dikenal dengan istilah internet
yang merupakan perkembangan hasil teknologi komputer dan saluran telepon. Internet adalah dunia maya yang
merupakan hubungan antar berjuta-juta komputer hingga melewati batas wilayah geografis (Nanang Suryadi,2004:
9). Internet sebagai media baru menawarkan hal yang lebih mudah kepada mereka yang mengetahui teknologi
komputer untuk sarana berekspresi kreatif dan bersifat instant – sekali jadi dan langsung – serta interactive –
ditanggapi oleh sesama anggota mailing list. Mailing list merupakan kelompok diskusi terbuka melalui internet dalam
bentuk surat-menyurat elektronik atau yang dikenal dengan nama electronic mail (e-mail). Ini juga terjadi pada
penggunaan telepon genggam (hand-phone) dengan layanan pesan pendek (short message service – SMS) yaitu
dimanfaatkan untuk menulis puisi dengan keterbatasan jumlah huruf yang dapat ditampilkan di layar telepon
genggam. Internet menawarkan media kreatif komunikatif untuk menghasilkan karya yang memacu proses kreatif
dalam karya sastra, khususnya puisi. Puisi tersebut langsung dapat ditanggapi penyair dan penikmat – menjadi
dialog yang interaktif. Faruk HT (2004: 23) dalam penelitian tentang sastra cyber yang diwakili oleh
situs http://www.cybersastra.net menyatakan kehadiran internet melebarkan peluang yang diberikannya, dan
meluasnya para pengguna serta menyimpulkan dari pendapat Nanang Suryadi bahwa internet memberikan
"kemungkinan-kemungkinan lain".
Proses publikasi dan apresiasi berjalan beriringan antara pencipta dan penikmat maupun di antara penyair
(pencipta), Medy Loekito (2004: 2) menyebutkan "… pada detik yang sama, karya itu dipublikasikan di puluh an,
bahkan mungkin pada jutaan titik lain,karya tersebut telah dapat dinikmati." Proses penulisan puisi lewat internet
mulai merebak pada awal tahun 2000 yang ditegaskan Medy Loekito (2004: 3) sebagai mempermudah pembaca
menikmati karya sastra – dengan tampilan yang indah pula – telah menciptakan evolusi sastra instant. Kegiatan
respon-merespon karya seni ini dimungkinkan sebelumnya hanya melewati sebuah pertunjukan seperti dicatat
Goenawan Mohamad (1993: 110) bahwa kesusastraan dan seni rupa bergabung dengan seni pertunjukan yang
dalam
adanyapembacaan
puisi bukan lagi menarik karena puisinya
karya tetapi
cara penampilan pembacanya
penyair yangdan
memungkinkan
kontak langsung. Puisi-puisi di internet adalah penyair pemula maupun sudah diterbitkan
dalam bentuk buku atau di lembar budaya koran maupun majalah muncul bersamaan dalam mailing list dan situs
(homepage) sastra. Kebersamaan itu melahirkan motivasi mencari bentuk atau media puisi yang baru terutama
dalam penggunaan program komputer. Puisi semacam itu dikenal dengan puisi digital. Kominos Zervos (2002) dalam
penelitian puisi cyber - cyberpoetry di situs (homepage) Pandora membatasi puisi digital atau multimedia sebagai
jenis puisi yang menggunakan program-program komputer (Zervos menggunakan istilah cyberpoetry – puisi cyber).
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa puisi tidak lagi sederet huruf dan kumpulan kata yang bermakna tetapi sudah
menjadi sebuah animasi – bentuk yang bergerak, berwarna, berbunyi dan berlatar belakang lukisan atau foto.
Kemudian Jorge Luiz Antonio (2001) dari Brasilia memetakan puisi digital sebagai "… the continuous relationship
between art and science, and the new media utilization as a means of poetic expression: these seem to be the first
elements we can identify as we look for new artistic communication media, among which we find poetic
communication, that is, digital poetry.
Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (APDC) merupakan karya sastra (dalam hal ini puisi) yang dikemas dalam bentuk
compact disc. Menurut kulit luar compact disc yang ditulis oleh Tommy Prakoso (2002) ini merupakan terobosan
karya sastra puisi yang menggunakan media program komputer Microsoft. Program itu bernama PowerPoint yang
digunakan untuk menggantikan peran over head projector (OHP) karena kelebihannya dalam variasi huruf baik
ukuran dan warna, dapat menampilkan gambar berupa foto, tabel, grafik bahkan gambar yang bergerak (animasi),
serta dapat diiringi dengan suara serta potongan film – film episode. Kumpulan puisi digital (APDC) ini merupakan
terbitan Yayasan Multimedia Sastra diluncurkan pertama kali pada 3 Agustus 2002 di Lembaga Indonesia-Perancis,
Yogyakarta yang berisi 169 puisi dari 55 penyair. Penerbitan puisi digital dengan media compact disc ini
menimbulkan polemik di harian Pikiran Rakyat Bandung dan telah diterbitkan dalam kumpulan esai Cyber Graffiti,
Polemik Sastra Cyberpunk (2004) yang merupakan edisi revisi Cyber Graffiti (2001) dengan tambahan esei-esei
terbaru.
Perdebatan dalam polemik puisi digital ini menjadi dorongan untuk diteliti tentang penggunaan media baru (dalam hal
ini program komputer dan media compact disc) yang dalam makalah Starla Stensaas (2000) "New Media, Old Art
Forms: Art in the Age of Digital
Reproduction" dikatakan bahwa penggunaan media baru (dalam hal ini program komputer atau digital) utamanya
sebagai
komputeralat produksi
Microsoft dalam penerapan
PowerPoint berwujudseni kreatif. kata
rangkaian Antologi
yangpuisi digitaldengan
disajikan (APDC)memanfaatkan
merupakan puisi dalam program
teknologi multimedia
(Juniarso Ridwan, 2004: 253). Menggarisbawahi pernyataan Juniarso Ridwan, Jorge Luiz Antonio (2001) melihat
puisi digital dalam dua hal yang pokok yakni dipenuhi dengan gambaran grafis dan puisi dengan bayangan yang
bergerak dan bunyi dalam fasilitas program komputer seperti interactivity, hypertextuality, hypermedia dan interface.
Ditambahkan oleh Faruk HT (2002) bahwa sastra multimedia merupakan bagian integral dari budaya konsumen,
sebuah budaya yang dibangun dan disebarkan oleh kapitalisme mutakhir yang ditopang oleh teknologi elektronik. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Douglass H Thomson (1998) dalam "The Work of Art in the Age of Electronic (Re)
Production" yang mempertanyakan tentang konsep budaya cetak yang merupakan pergeseran dari lisan ke tulis.
they look on a page, their aesthetic appeal as objects of art, their arrangement on a two dimensional surface…
Sedangkan Dami N. Toda (1984) mencatat perkembangan puisi konkret di Indonesia (Dami N. Toda mengeja
kongkret) yang dinamai puisi total sebagai puisi di era pracetak yang memunculkan kata verbal dan unsur nonkata
dalam kesatuan kata, bunyi, warna nada, ritme, gerak tubuh serta irama lain yang mungkin dengan iringan alat musik
dalam sebuah upacara. Catatan Toda ini sejalan dengan pembatasan puisi secara umum oleh Perrine (1969: 3) yang
menyatakan puisi seumum (universal) dan sekuno bahasa,"Poetry is as universal as language and almost as ancient.
The most primitive peoples have used it, and the most civilized have cultivated it. In all ages, and in all countries,
poetry has been written – and eagerly read or listened to – by all kinds and conditions of people …"
Di lain pihak Faruk HT (2004) melihat adanya korelasi positif antara perkembangan kemampuan teknologi informasi
dan komunikasi dengan perkembangan besarnya dan beranekanya kolektivitas serta perkembangan kecanggihan
kebudayaan atau peradaban umat manusia untuk menunjang spesialisasi manusia dalam meningkatkan kualitas
kerjanya. Hal ini yang memacu sikap kreatif penggunaan program komputer untuk menghasilkan puisi digital yang
merupakan kolaborasi antara lukisan atau foto dan musik sebagai inspirasi (ilham – pemicu) dalam APDC. Peneliti
dari Australia Kominos Zervos (2002) membatasi puisi multimedia atau digital sebagai jenis puisi yang menggunakan
program-program komputer. Puisi yang tidak lagi sederet huruf dan kumpulan kata-kata yang bermakna tetapi sudah
menjadi sebuah animasi – bentuk yang bergerak, berwarna, berbunyi dan berlatar belakang lukisan atau foto, "… a
significant contribution to the genre of writing called poetry and he called that writing cyber poetry." Lebih lanjut
Kominos Zervos dalam Ashok Mathur mengklasifikasikan puisi cyber menjadi tujuh jenis yakni:
Inspirasi (ilham – pemicu) seni lukis atau foto tentunya menawarkan berbagai warna yang mengacu pada simbol atau
tanda tertentu yang dapat diungkap hubungan emosinya. Sedangkan seni musik menawarkan suasana yang
mempengaruhi gerak atau animasi penggambaran pengembangan gagasan penyair. Starla Stesaas (2000) mencatat
hasil karya digital yang dipamerkan merupakan pemanfaat alat baru (teknologi) jika dibandingkan dengan media
tradisional yang disebut Dami N. Toda (1984) sebagai puisi total yang mengandalkan suasana dan improvisasi
perpaduan kata-bunyi-suara-gerak.
Different
komputerDigital Poetries"
sebagai mediatormenyebutnya sebagai hasilvideo,
tetapi juga penggunaan seni (dalam hal ini dan
film,holografi puisi) yang tidak atau
pertunjukan hanya menggunakan
pementasan sebagai
pendukung. Zevros (2002) menyebutnya puisi cyber untuk karya-karya puisi yang menggunakan program komputer.
Jakob Sumardjo (2002) menyimpulkan dalam artikelnya "Menggali Kekayaan Medium Cybersastra" bahwa dalam
teknologi ini (komputer), puisi dapat diwujudkan melalui kekayaan medium tulisan, medium gambar, medium musik,
medium bunyi-bunyian, dan gambar bergerak. Semua medium ini dapat digunakan sekaligus dalam puisi.
Proses penciptaan puisi digital dapat ditelusuri pada penggunaan teknologi yang bermula pada penciptaan puisi lisan
yang berdasarkan pada unsur bahasa bunyi dalam bentuk rima, aliterasi dan asonansi. Kemudian pada penciptaan
puisi konkret fungsi kata (bunyi yang dituliskan) menjadi bentuk visual atau gambar. Puisi yang kata atau kelompok
katanya menyulap bayangan yang mengagumkan menggunakan ungkapan gagasan umum tentang makna kata itu.
Mary Ellen Solt (1968) dalam artikelnya Concrete Poetry: A World View mencacat penggunaan istilah puisi konkret
mengacu pada berbagai pencarian dan percobaan setelah Perang Dunia II yang mengubah penulisan puisi secara
menyeluruh dan meluaskan kemungkinan pengungkapan (ekspresi) dan perhubungan (komunikasi). Lebih lanjut Solt
mengatakan "the poem as an object and participate in the poet's act of creating it, for the concrete poem
communicates first and foremost its structure." Di Brasilia sudah sejak 1950an kelompok penyair Noigandres
menunjukkan keberanian dalam penggambaran dalam lirik abad pertengahan yang radikal yang bukan hanya
merupakan tanggapan atas nilai-nilai sebelumnya. Puisi konkret merupakan puisi uji-coba atau pencarian ungkapan
estetika baru dengan penggunaan media seni selain sastra. Eugen Gomringer, penyair Swiss, menyebut puisi
konkretnya sebagai constellations sebagai ketidakpuasan atas carayang
lamatidak
menuliskan
terbataspuisi
(dicat
Indonesia dikenal
dalam seni instalasi, seni lukis yang menggunakan berbagai media pada dan kanvas, tetapi
sudah menggunakan benda-benda sekitar baik benda alam maupun buatan manusia). Proses penciptaan puisi
digital juga mempunyai kemiripan dengan puisi konkret dalam penggunaan media. Puisi digital yang terkumpul dalam
APDC yang menggunakan lukisan, foto dan musik sebagai bahan inspirasi. Puisi digital ini menggunakan program
komputer Microsoft PowerPoint. Penyair menyusun imajinya berdasarkan rangsangan inspirasi media lukis atau foto
dan media musik. Konsep ini sejalan dengan Kredo Puisi Sutardji yang membiarkan kata-kata meloncat-loncat dan
menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi diri, mondar-mandir , membelah diri bahkan jika mungkin
membunuh, yang dengan menerapkan (mengaplikasikan) program komputer penyair puisi digital cukup
menggunakan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan PowerPoint. Merujuk pada batasan puisi cyber oleh Kominos Zervos
yang disimpulkan Ashok Mathur puisi cyber adalah animasi teks yakni penggunaan program animasi komputer - the
animated text maka puisi digital dapat dikategorikan sebagai puisi cyber. Antonio (2001) [on line] dalam artikel "A
Map of Different Digital Poetries" mengatakan bahwa adanya puisi digital pada tingkat tertentu dianggap suatu genre
wacana melalui media digital yang merupakan penggabungan beberapa unsur media. Lebih lanjut dikatakan
munculnya perangkat komputer dan perkembangannya dalam kehidupan menjadikan puisi sebagai seni media
elektronik.
Berdasarkan pemikiran Benjamin, Thomson (1998) dapat dilihat adanya perubahan budaya cetak ke budaya
elektronik, maka ada perubahan media cetak (buku) ke media elektronik dengan perangkat komputer dan telepon
yang menghadirkan e-book. Hal ini muncul pada era surat elektronik (e-mail) yang menghubungkan beberapa
pengguna internet memunculkan karya-karya yang menggunakan program komputer dengan sarana internet yang
merupakan wilayah tanpa batas geografi, ras, suku bangsa maupun negara. Jenifer Altenhoff (2001) [on line] dalam
disertasi Mythology and Depth Psychology mengatakan … the Internet allows connections amongst greater numbers
of human beings than any other time in human history. Hal ini ditegaskan oleh Antonio (2001) dengan menunjukkan
perbedaan "the digital artistic texts differ from other texts (verbal, visual, audiovisual etc) in that they use the
computer as a mediator between man and the sign production with esthetic aims" Ini juga sejalan dengan pendapat
Barthes (1956) dalam artikel "Myth Today" bahwa tulisan dan gambar tidak meminta persamaan jenis kesadaran,
bahkan pada gambar seseorang dapat menggunakan berbagai pembacaan, diagram misalnya memberikan
kejelasan (signifikasi) lebih daripada gambar, salinan lebih jelas dibandingkan dengan aslinya dan karikatur lebih
cocok daripada potret. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gambar lebih memberi kesan langsung daripada tulisan,
gambar menjelaskan arti dengan sekali goresan tanpa harus menguraikan atau melarutkannya. Berdasarkan
penjelasan Barthes ini maka penggunaan inspirasi gambar baik berupa foto maupun lukisan yang disertai efek bunyi
atau musik yang tersedia dalam pembuatan puisi digital memperkaya makna dalam pengungkapan gagasan penyair.
Dari semua kutipan mengenai definisi puisi semua bertumpu pada unsur bahasa yang meliputi kosakata, tatabahasa,
gaya bahasa atau majas serta susunan bait atau baris yang dikenal dengan sebutan tipografi. Semua unsur itu juga
muncul dalam puisi konkret (juga puisi digital) yang sudah melibatkan seni rupa, maupun seni musik dalam
penciptaan atau pameran serta pertunjukannya. Perbedaan puisi digital dengan puisi cetak sebatas pada
penggunaan program komputer yang merupakan kelanjutan perkembangan teknologi yang melandasi
perkembangan mekanik dalam penerbitannya atau dengan kata lain penggunaan mesin seperti yang dicatat oleh
Benjamin (1936) dalam proses pembuat foto yang tanpa melalui pencampuran cat seperti pada saat melukis,
demikian juga dengan
itu penemuan
puisi digital proses
digitalisasi, pencetakan fotokompleks
tidak harus mela penggunaan
lui larutan kimia dalam
gelap. Oleh karena merupakan hasil karya yang lebih karena media senikamar
yang
beragam serta penerapan program komputer. Jika puisi konkret dapat disimpan dalam bentuk buku cetak, atau foto -
foto pameran, maka puisi digital tersimpan dalam compact disc atau diskette yang memerlukan perangkat komputer
untuk membaca atau menikmatinya. Hal ini yang membedakan cara menikmati puisi digital yang sangat tergantung
dengan kecanggihan perangkat komputer, tidak seperti puisi biasa maupun puisi konkret yang dapat dinikmati
melalui penerbitan buku dan pertunjukan atau pameran dalam gedung maupun di alam terbuka.
PROSES REPRODUKSI
Reproduksi dalam sastra berhubungan dengan penerbitan buku (Escarpit 1958, terjemahan Ida Sundari Husen,
2005: 67) yang dengan adanya penemuan percetakan mempengaruhi kehidupan kultural dan intelektual juga pada
hubungan-hubungan sosial (Faruk 1994: 52). Dalam reproduksi itu ada hubungan kegiatan penerbit yang saling
mempengaruhi yaitu kegiatan memilih, membuat (fabriquer), dan membagikan. (Escarpit 1958, terjemahan Ida
Sundari Husen, 2005: 74). Untuk itu Tommy Prakoso dalam penerbitan APDC yang bertindak sebagai Project
Manager (penyunting) menjelaskan tentang penyusunan antologi puisi digital ini yang secara keseluruhan
dikoordinasikan tidak melalui interaksi tatap muka melainkan dengan memanfaatkan sarana komunikasi internet
yang dilakukan sejak pengumuman rencana pembuatan puisi digital, tanya jawab, konsultasi teknis, hingga
pembuatan CD. Penjelasan pembuatan puisi digital dijelaskan pada "Proses Pembuatan Puisi Digital" dengan
mengambil contoh tiga penyair yang menggunakan inspirasi yang berbeda. Gagasan pembuatan puisi digital ini
bermula dari pembicaraan buku kumpulan puisi cyber (Graffiti Gratitude, 2001) yang diterbitkan dalam rangka
peresmian YMS pada tanggal 9 Mei 2001 di Jakarta. Buku kumpulan puisi cyber ini dipertanyakan oleh Herfanda
(2004: 71 - 73) tentang digunakan istilah puisi cyber karena secara estetik puisi-puisi itu tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dengan puisi yang dipublikasikan di media cetak. Mestinya puisi cyber dapat menunjukkan
perbedaan melalui tayangan puisi dengan latar suara atau musik, grafis yang indah, dan background yang bergerak.
Oleh sebab itu penerbitan kumpulan puisi digital ini merupakan upaya menjawab pertanyaan yang muncul setelah
penerbitan buku kumpulan puisi cyber itu.
Salah satu kegiatan dalam reproduksi adalah memilih atau menyunting dan sebagai penyunting Tommy Prakoso
tidak banyak berperan, kecuali dengan membuka peluang tanya jawab melalui hubungan internet dalam pembuatan
puisi yang berhubungan dengan masalah teknis pemanfaatan program komputer, sedang hasil akhir pembuatan
puisi digital
puisinya dandipercayakan pada pada
meminta bantuan penyairnya.
penyairOleh karena
lain yang itu dalam
lebih APDC,
menguasai ada beberapa
program penyair
komputer. tidakmembagikan
Kegiatan mendigitalisasi
atau distribusi karya dilakukan sebatas pada penyebaran penyair yang menyertakan puisinya dan pembicara pada
peluncuran (sampai saat ini CD itu tidak dipasarkan di toko buku atau tempat umum lainya) yakni Faruk HT, Sapto
Rahardjo, Jakob Sumardjo, Jeihan dan dipandu oleh Juniarso Ridwan. Ketika APDC diluncurkan pada 3 Agustus
2002 di Yogyakarta, puisi digital ini dipertanyakan tentang penggunaan teks yang dianimasi (Ridwan, 2004: 255,
Alwy: 2004: 267, Sumardjo, 2002). Hal ini telah ditanggapi oleh beberapa penulis yang menggunakan asumsi bahwa
segala karya seni dapat dipandang sebagai teks (Bariarcianur, 2004:259 dan Soewandi, 2004: 248). Pemaknaan
teks dalam puisi digital dijelaskan pada "Implikasi Pendigitalisasi Puisi".
Tag: makalah
Sebelumnya: Acara IGJ: diskusi publik: Seni sebagai media Perlawanan
Selanjutnya : Bintang Hilang di leonie
http://idaman.multiply.com/journal/item/151
Representasi Medium
Endy Sepkendarsyah
Medium dan Representasi Budaya
Sebagai mana sebuah tulisan yang hadir mengikuti pameran, tulisan ini hadir sekadar
menghantarkan pembicaraan tentang dunia seni rupa dalam kaitannya dengan kehadiran sebuah
medium , dalam hal ini “web”, dan sekelumit masalah yang memberikan gambaran tentang
representasi tertentu atas potensi perbincangan medium dan dunia seni rupa.
“Web” sebagai medium itu sendiri merefleksikan pemahaman tentang medium sebagai bagian dari
representasi budaya. Penggunaannya dalam pameran “Multiplicity” kali ini berpotensi untuk di
tarik ke pembicaraan yang lebih bersifat genealogis membahas implikasi atas pilihan media web
itu sendiri, dengan merangkai pemahaman yang hendaknya di sadari ketika bersentuhan dengan
sebuah medium baru, sambil kemudian membicarakan karya yang tengah dipamerkan di layar
komputer anda.
Sejarah penggunaan web di wilayah seni rupa, di mulai sekitar tahun 1994-1995, yang dikenal
sebagai “the year art world went online”, pendapat ini dilansir dari pengamatan Robert Atkins
(penulis buku “Art speaks” Abbeville press 1990) dalam artikel “State of the (On-line) ” yang di
tulis untuk Art Forum April 1999, (www.artforum.com) yang melihat bahwa penggunaan internet
di dunia seni di tahap awal masih berkisar sebagai sebuah medium untuk arsip, yang tentu saja
jauh lebih agresif dari sekadar arsip biasa. Agresif, karena selain data yang umum di muat untuk
dokumentasi, web mampu membuatnya lebih interaktif. Data tidak hanya dapat di lihat kembali,
tapi sekaligus kita bisa melihat perkembangan yang tengah berjalan sambil mendiskusikannya
langsung, terlebih karakter internet yang dapat di akses bebas membuat data ini bisa dilihat oleh
pemakai internet di manapun. Atkins berkesaksian tentang hal tersebut dengan menyebutkan
proyek “the File” oleh Antonio Muntadas yang memuat arsip interaktif atas kajian sosial dan
kebudayaan tentang sensorship serta arsip kerja “Conceptual Art” (mulai pada tahun 1994 -95
kehilangan sponpor tahun 1998) dan yang masih bisa di tengok adalah ada’web
(www.adaweb.com) , situs yang mendistribusikan sekaligus memproduksi banyak seniman yang
bekerja di lingkungan web-art dari mulai Julia Scher sampai “General Idea”. Berarti secara
genealogis dapat dikatakan; fungsi “dokumentasi” yang lebih “Advanced” melatar belakangi
sejarah penggunaan web-art.
Penggunaan media dalam genealogis seperti ini dapat kita gunakan sebagai “frame of reference”
dalam melihat karya Bagus Nyoman yang memuat olahan fotografi digital yang interaktif. Anda
bisa menikmati karya-karya fotografi digital tersebut lengkap dengan suasana display yang
personal, lebih dari karya fotografi konvensional. Karya tersebut hadir dalam karakter interaktif di
beberapa frame foto digital, sehingga anda dapat menemukan perubahan visual seiring perlakuan
interaktif dengan mouse Pc anda. Rangkaian karya tersebut di akhiri dengan pemuatan “links”
kepada situs lain sebagai jendela referensial dalam memperhatikan kecenderungan olahan
karyanya. Di karya ini elemen interaktif menjadi suplemen tersendiri dalam perlakuan karya
fotografi digital yang hadir, intensi untuk mengedepankan “dokumentasi agresif ” olahan digital
fotografi lebih terasa, daripada menghadirkan olahan web sebagai sebuah media utama.
Fotografi, ketika itu menjadi sebuah ikon yang mewakili jaman peralihan menuju peradaban
manusia yang bersifat mekanis, seiring dengan kemunculan perkembangan revolusi industri yang di
dukung oleh semangat menjunjung tinggi prinsip modernitas dan juga paham kapitalisme yang
tumbuh hampir sejaman. Hal itu menciptakan hierarki dalam perkembangan budaya reproduksi
yang direpresentasikan oleh mistifikasi atas benda produksi dalam hubungannya dengan benda seni
. Dalam hal ini medium berperan sebagai “miles-stone” sekaligus manifestasi dari representasi
budaya di belakangnya.
Merefleksi pada sejarah fotografi, web -art tumbuh dalam situasi yang berbeda dalam semangat
latar belakang penggunaan teknologi informasi dan “pan-kapitalisme” yang bersemangat
“Globalisasi”, membuat hierarki lebih tersentral ke wilayah “komoditas-e-commerce”, daripada
hierarki benda seni berkaitan dengan produksi. Artinya , ketika kita berbicara tentang art world di
wilayah internet, sangat tidak relevan untuk memperhitungkan institusi kesenian klasik seperti
galeri-museum seni-kritikus-pendidikan seni dll, sebagai pusat hierarki kesenian, anda bisa
memuat apapun di “syurga maya” elektrik ini untuk didistribusikan secara agresif (oleh situs anda,
dalam distribusi search engine) ke wilayah yang paling personal (e-mail) dan mengklaimnya
sebagai “Seni(rupa)” tanpa ada yang protes dari institusi kesenian manapun, dan upaya untuk
mediasinya menggunakan “bahasa” distribusi yang sama yang diupayakan situs lain, sehingga
hierarki kesenian jadi tidak penting di bandingkan dengan hierarki “e-commerce” dalam “on-line
art world”.
Situasi “on-line art world” yang sulit melepaskan diri dari hierarki “pasar global” itu sendiri, dapat
kita tangkap representasi-nya lewat karya Gustaff dan Ferly, yang menggunakan idiom
“pornografi” yang dengan mafhum di ketahui oleh masyarakat pengguna internet dalam
penguasaan pasar internet di seluruh dunia (menurut www.devtran.com, situs tutorial pembuatan
web berbahasa indonesia, penggunaan kata yang berhubungan dengan sex, masih menjadi daya
tarik utama agar di kenal di search engine). Web site dengan muatan pornografi dalam segala
variannya di internet melibatkan perputaran modal yang tidak kecil di dunia. Ketika hadir dalam
pameran ini, ia merepresentasikan perilaku paradox masyarakat tentang sex itu sendiri.
Ferly Novriadi mengemasnya dalam bentuk “media player” yang sering digunakan untuk me-
”download” klip dengan muatan seks yang vulgar -dan dapat anda kendalikan temponya-
memperlihatkan bagaimana komodifikasi wilayah personal manusia yang di kuasai oleh konsumen.
Pilihan tema karyanya untuk pameran kali ini berpotensi mengundang pembicaraan lebih lanjut
tentang fenomena kekuasaan pasar atas “sex” di dunia internet yang seolah non hierarkis.
Sedang Gustaff dengan gamblang langsung menyuguhkan wilayah “abu-abu” antara perlakuan
benda seni sebagai benda artefak kebudayaan atau memang links yang anda dapat “nikmati”,
sebagai representasi permasalahan sosiologis seni di wilayah internet yang tidak hanya hadir
sebagai medium tapi sekaligus membawa tatanan baru yang lain dari nilai2 “art world” biasa.
Keduanya me-representasikan wilayah tubuh dalam medan komoditas pasar sebagai sebuah
kecenderungan perlakuan terhadap tubuh. Dalam wilayah media elektronik yang serba transparan
ini, simpangan terhadap nilai terus terjadi.
on our eyes and ears and nerves, we don’t really have any rights left. Leasing our eyes and ears
and nerves to commercial interests is like handing over the common speech to a private
corporation or giving the earth’s atmosphere to a company as a monopoly.” –Marshall McLuhan,
Understanding Media: The Extensions of Man
Dalam karya Adi dharma, yang menggunakan ikon Televisi dalam visualnya yang serba datar-
bersih, interaktif tidak berarti pengunjung site berhak atas tayangan yang ia inginkan, ia menjadi
bagian “private manipulation” dari denir sebagai kreator yang mencoba merangkai pemaknaannya
atas visual yang muncul sejalan dengan kontrol yang ada ( pada keyboard anda). Seperti halnya
televisi, ketidak berdayaan “audience” yang dihadirkan dalam karya denir ada pada posisi ketika
tayangan demi tayangan menampilkan gambar yang pemaknaannya bukan di pihak pemegang
kendali “channel”, ia hadir silih berganti sebagai bagian dari keragaman budaya gambar yang
sehari-hari mengepung kita, tanpa bisa kita tolak kehadirannya menjadi bagian dari kenyataan
sehari-hari manusia yang tumbuh dalam budaya konsumen yang tidak melihat konsumer sebagai
subyek, ia lebih sebagai obyek.
Nilai estetika dari sebuah karya yang hadir dalam medium yang sebelumnya memiliki nilai
komunikasi elektronik seperti web ini hendaknya di pahami sebagai nilai yang terkonstruksi dari
posisi medium yang diciptakan tidak sebagai medium untuk kesenian, sehingga penawarannya
untuk dunia kesenian adalah sebuah tawaran yang terbuka untuk “mewadahi” tapi dalam kondisi
yang telah melekat sebagai bagian dari karakter web-dan seluruh nilai yang termaktub dunia maya
ini. Dalam “Wadah” itulah tarik -menarik kepentingan terjadi, mirip dengan wilayah politis
medium “Tubuh”, yang juga memiliki posisi yang sama sebagai medium, ia tidak pernah diciptakan
dalam intensi kepentingan visual-pemanfaatannya selalu menimbulkan perdebatan yang
mengangkat pretensi lain di balik pemanfaatannya dihubungkan dengan teks atas tubuh itu
sendiri.
Sejak legitimasi atas medium “web” (mungkin lebih ringkas saya pilihkan istilah web-art) ini
berlangsung di Amerika dalam pameran “online-offline” di dua museum seni terkemuka di waktu
yang tidak berjauhan; yakni pertama di the San Francisco Museum of Modern Art dengan tajuk
pameran “010101: Art in Technological Times” yang di “Launching” pada tanggal 1 Januari 2001
seperti tajuknya (010101) dan pameran offline-nya pada 3 Maret -8 Juli , ( lihat di Net-Art avatar-
sfmoma.org./010101) dan di the Whitney Museum of American Art bertajuk “BitStreams” pada 22
Maret-10 Juni, yang tidak seluruh karyanya menggunakan media internet, pembicaraan tentang
web-art berkembang dengan menyoroti wilayah infrastruktur kesenian yang terbaharui dengan
media ini, mengaitkan pada dua pameran tersebut sebagai sebuah referensi, perdebatan yang
berpotensi muncul sebagai wacana baru ternyata berkembang pesat, mengantipasi sebuah
kemunculan perubahan tata nilai kesenian yang baru.
Kurator pameran BitStream Lawrence Rinder memberikan penawaran tersendiri atas posisi
medium baru ini sebagai, ” … creates a paradigmatic shift tantamount to the invention of
photography…” yang bila anda membandingkan dengan apa yang saya coba refleksikan dalam
bagian awal tulisan ini, yang coba di tawarkan oleh Rinder sebenarnya lebih mengarah kepada
pemahaman nilai estetis baru, karena ia meneruskan argumen yang di muat di press release
pameran itu seperti ini …”This is a watershed moment, one which will bring new, previously
unimagined, forms of artistic expression, as well as new possibilities for more establishe d forms…”
.
Dalam pengertian melihat web-art sebagai sebuah medium dengan potensi legitimasi “established
forms” yang lain, dari segi visual, karya RE Hartanto dalam pameran web kali ini merupakan
jabaran wilayah visual baru dalam intensitas “mencari medium lain”. Karena yang terbaca dalam
kiprah kesenian lulusan studio lukis FSRD ITB ini, adalah ke- aktif-an dalam mempergunakan
medium lain, sebagai idiom karyanya. Intensi ini terlihat jelas dalam jejak perjalanan R.E.
Hartanto yang saya ikuti sejak Tugas Akhir kelulusannya, sampai kemenangannya dalam kompetisi
Philip Morris dengan “lukisan” yang ia gabungkan dengan perangkat elektronik untuk membuat
gambarnya bergerak-gerak secara otomatis. Kecenderungan untuk menggunakan gambar bergerak-
sebagai bagian dari karyanya-mencapai tahapan tersendiri dalam perjalanan kekaryaan Hartanto,
yang sedang berada di Belanda ini. Karyanya hadir dalam animasi gambar digital dengan idiom
gambar yang baru, lain dari idiom-idiom gambar yang kerap hadir dalam karya-karya sebelumnya,
meskipun tidak kehilangan identitas visual dalam elemen visual yang telah menjadi karakternya
seperti pilihan warna, penyederhanaan bentuk, yang hadir dalam artikulasi lain dalam bites layar
komputer anda. Karakter visual baru ter-artikulasi dalam wilayah kekaryaan di web art ini, yang
sayangnya baru dimanfaatkan wilayah visualnya saja.
Kehadiran web-art yang hanya diekspos dalam wilayah visualnya memang tidak bisa dihindarkan,
karena pijakan seorang seniman yang telah terlegitimasi oleh institusi kesenian klasik seperti
Hartanto nampaknya harus berproses sebelum meninggalkan nilai-nilai yang telah terlembagakan.
Seperti juga sejarah web-art itu sendiri yang di legitimasi secara “paradox” oleh lembaga kesenian
terkemuka seperti San Francisco MoMA dan New york’s Whitney MoAA, karena dianggap tidak
mampu me-ekspos ke-subversif-an sebuah medium dari internet ini, kedua lembaga kesenian
terkemuka dari USA itu lebih melegitimasi karakter visual dari medium Web art.
Sehingga, atas usaha legitimasi di wilayah ini, di tanggapi dengan artikel yang ditulis oleh Barbara
Pollack (penulis dan seniman feminis dari New York), menggugat kurasi pameran tersebut karena
lebih mendatangkan pertanyaan tentang wilayah legitimasi kuratorial yang dijalankan, sejak
institusi klasik seperti museum yang bersangkutan menjalankan prinsip kuratorial yang
menekankan pada aspek formal dalam melihat kecenderungan penggunaan medium, poin kurasi
yang dijelaskan menjadi kabur ketika potensi media web-art jelas “subversif” dibandingkan
dengan medium yang telah establish.
Ke-”Subversif”-an tersebut akan nampak jelas dari permukaan, bila anda membandingkan medium
klasik dengan web-based-art, memperhatikan sifat media internet sebagai fenomena komunikasi
mutakhir yang merubah wajah jaman. Robert Atkins (dalam artikel yang sama yang saya kutip di
awal) menjelaskan elemen internet yang kemudian menjadi elemen estetik bagi web-art ini
dengan 4 hal utama yakni, “Navigation” (menggunakan “links” hingga ” Net” menjadi “Web” /
jaringan) “Interactivity” (memungkinkan interaksi majemuk dengan komunitas majemuk) “Data
bases” (yang telah dikembangkan dari potensi dasar komputer sebagai penyimpan data) dan
“Interface” (fasilitas penghubung yang memungkinkan bahasa program menjadi perilaku
sederhana, seperti “klik” dalam “browser”). Ada contoh “karya” yang ia “Lampirkan” dalam
mengemukakan pendapatnya; seperti untuk “Navigation” ia memilih “Heath Bunting-Read Me”
(irational.org/_readme.html) (1995) yang berisi tulisan yang setiap katanya adalah links, untuk
“Data bases” ia pilihkan “Art Crimes” (graffity.org) dan www.adaweb.com yang memuat data seni
online dan data performance art sebagai karya juga, wilayah “Interface” ia pilihkan karya dua
seniman belgia-belanda yang bernama Jodi keduanya, dalam www.jodi.org sebuah site yang bila
anda kunjungi anda akan kehilangan cursor anda diantara ribuan cursor yang tiba-tiba muncul atau
tiba-tiba dikembalikan ke site sebelum anda mengunjungi tersebut, dan “Interactivity” dengan
karya Douglas Davis dalam “The world first (and probably longest) Collaborative Sentence”
(math240.lehman.cuny.edu/art) yang berisi situs kolaborative untuk semua orang sedunia dalam
membuat kalimat.
Tidak berarti bahwa semua jenis web-art harus bertolak dari karya yang di ketengahkan oleh
Atkins sebagai mercusuar di bidang ini, tapi karya2 tersebut mendukung argumennya tentang
pengolahan medium yang terekspos karakter unik mediumnya, sebagai media online.
Proses berkembangnya sebuah medium baru di dalam kerangka kerja seniman2 muda indonesia di
pameran multiplicity ini, bagaimanapun, merefleksikan perlakuan medium pada tahapan awal di
wilayah kerja kesenian “kita” (saya agak jengah untuk menyebutkan “indonesia” dalam kalimat
ini, untuk menghindari generalisasi) . Kesadaran ini muncul karena meskipun akses internet di
indonesia bukan hal yang sangat baru, tetapi kesadaran untuk menjadikannya sebagai medium
kerja kesenian boleh dikatakan baru-apalagi yang dengan pretensi kuat untuk mengusungnya
sebagai sebuah pameran seni rupa on line. Dari persentuhan sebuah komunitas dengan medium
yang baru ini potensi representasi masalah budaya muncul.
http://bcfnma.commonroom.info/2002/multiplicity/
Writer:
Endy Sepkendarsyah
http://www.translingual.org
komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia
memberikan definisi komunitas sastra sebagai:
“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom
sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung
(nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian
kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)
Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra Indonesia baik
yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah
berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-
kata “komunitas.” Menurut saya Pujangga Baru merupakan sebuah komunitas,
walaupun nama Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah sastra. Namun di situ
antara redaksi, penulis dan pembacanya ada suatu keterikatan emosional, sehingga
muncullah sebuttan angkatan “Pujangga Baru”. Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk
berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan
Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang
walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga.
Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk
merupakan sebuah
Dari beberapa komunitas,
contoh yang pada
yang kebetulan akhirnya
tercatat melahirkan
dalam Manifesto
sejarah sastra Kebudayaan.
Indonesia itu,
dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak
dahulu.
Sebuah komunitas sastra, menurut saya, tidak harus memiliki struktur organisasi yang
jelas. Saya memandang bahwa jika ada lebih dari satu orang melakukan aktivitas rutin
bersama dengan minat yang sama yaitu “sastra” maka dapat dikatakan itulah
komunitas sastra. Walaupun Afrizal Malna pernah juga mendirikan komunitas yang
anggotanya dia sendiri, yaitu “Komunitas Sepatu Biru.”
Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas
karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis.
Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang,
bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam
penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?
Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang
terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling
belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling
belajar dan saling berbagi.
Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu:
komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan
komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk
menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.
puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com,
bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com
musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di
tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan
apresiasi_sastra@yahoogroups.com.
Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul
di fesbuk, twitter, milist dan blog.
Draft awal tulisan ini dibuat langsung di facebook.com dan twitter.com. Mungkin hal
yang sama pernah dilakukan oleh banyak penggiat facebook dan twitter. Mereka
langsung menulis dan pada beberapa menit berikutnya dipublish. Kecenderungan yang
sama dapat
dan ramai dilihat pada
digunakan, sekitar
para sepuluh
anggota tahun
mailing listlalu pada saat
langsung mailing-mailing
menulis di emailnya list marak
masing-
masing untuk saling menanggapi tulisan rekan-rekannya, bisa berupa opini atau karya
puisi. Berbalas puisi di mailing list sudah terjadi sepuluh tahun lalu. Berbalas puisi dan
menuangkan opini di kolom komentar facebook dan blog merupakan kecenderungan
terbaru. Contoh komentar dari seorang penggiat sastra di facebook (yang saya amati
sangat produktif menulis di facebook.com), yaitu Dimas Arika Miharadja:
“Komunitas semacam facebook, jika tak berhati-hati bisa bikin mabuk. Kenapa? Setiap
mempublish puisi, esai, atau apapun juga terkesan dihadapi (diresepsi, diapresiasi)
secara meriah denga…n aneka puja-puji, minimal mengacungkan jempol tanpa kata-
kata. Komunitas facebook harus dicermati antara ada dan tiada. Adanya komunitas itu
baru berguna bila ada keseriusan dalam melakoni hidup dan kehidupan berkarya.
Tiadanya komunitas di ruang maya ini bisa jadi disebabkan lantaran orang-orang yang
berkerumun di situ tidak ada tali pengikatnya yang jelas (suka datang dan pergi tak
kembali, suka-suka hati).
Apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Sabar,
nanti dulu mas, masak terburu-buru. Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya
tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya,
menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi
jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih
banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.
Melalui media maya ini juga mulai dapat diidentifikasi beberapa person yang bisaa
memanfaatkan media ini sebagai sosialisasi-komunikasi-interaksi karya yang
digubahnya. Lantaran karya sastra itu peronal atau individual sifatnya, aneka respon
terhadap karya yang dipublish haruslah diiringi sikap berhati-hati. Puja-puji bisa
memandegkan kreativitas, mabuk pujian, dn lepas kontrol. Sebaliknya, penyampaian
kecaman atau asal kritik tanpa argumentasi yang jelas bisa jadi akan menghentikan
produktivitas bagi yang tidk siap dan tidak tahan banting.
Intinya, Komunitas dan Media maya, keduanya sama-sama semu. Semua bergantung
pada individu pelakunya?”
Inilah salah satu contoh, bagaimana interaksi di dunia maya dapat berlangsung cepat.
Opini bisa dibalas opini dalam waktu singkat. Sedangkan media konvensional seperti
koran cetak, majalah cetak, jurnal cetak (segala yanmg harus dicetak) membutuhkan
waktu yang cukup lama, paling tidak sehari. Komentar dari Dimas Arika Mihardja ini
yang lahir tahun 70-an dan 90-an merupakan generasi-generasi yang sangat melek
internet. Mereka bisa online internet sepanjang hari menggunakan handphonenya.
Berdasar pengalaman berinteraksi di berbagai jaringan komunitas sastra di internet
selama ini saya menemukan banyak penulis pemula yang ingin belajar menulis di
internet?. Para pemula ini mencari guru yang mau mengajari mereka menulis. Tapi
para
tahunpenulis “mapan”
lalu, dan di dunia
mungkin nyataMungkin
sekarang). susah untuk diminta
kesibukan ilmunya
para (pengalaman
penulis 10
“mapan” yang
menyebabkan mereka susah untuk ditanya ini itu hal hal teknis tentang penulisan.
Pengalaman waktu di cybersastra, ada suatu forum akhirnya para pemula ini saling
membantai karya teman-temannya (tanpa guru!). Saya melihat pembantaian karya
antar teman itu bisa menjadi gesekan kreatif yang mendorong menjadi lebih baik.
Beberapa alumni forum cybersastra karya-karyanya sudah banyak tampil di pentas
sastra Indonesia. Mungkin kalau saling membantai karya menjadi suatu yang
mengerikan, bisa dicari format lain.
Tuntutan para sastrawan “mapan” 12 tahun lalu terhadap sastra di internet menurut
saya terlalu cerewet. Mereka meminta karya sastra yang berbeda dengan karya sastra
media koran, majalah dan buku. Mereka meminta untuk karya-karya yang selektif yang
hadir di internet. Seperti karya yang muncul di koran dan majalah. Tapi tantangan itu
harus diterima! Ada upaya rekan-rekan penggiat sastra di internet untuk
memaksimalkan media yang ada, misalnya dengan mengotak atik HTML, script dll. tapi
masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Perkawinan berbagai media
seperti video, audio, teks bisa menjadi arah pengembangan ke depan. Selain itu satu
hal yang penting, yang mungkin jarang kita perhatikan, ketersediaan bahan bacaan
dalam teks digital dari beberapa terbitan cetak sastra Indonesia masih sedikit ditemui.
Saya mengimpikan suatu ketika kita memiliki perpustakaan maya (semacam PDS HB
Jassin di dunia nyata) , juga database biografi dan karya-karya para penulis sastra di
Indonesia, yang dapat diakses hanya menggunakan jaringan internet melalui
handphone. Saya percaya, itu akan terjadi!
[Malang, 2010]
?
Profil penulis:
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Staff pengajar FE
Unibraw- Malang yang menyukai seni budaya ini berinteraksi kreatif dengan rekan-
rekan yang memiliki minat pada seni, antara lain dalam: Yayasan Multimedia Sastra
(YMS) serta di Cybersastra.net (sebagai redaktur puisi), Teater Kunci SMA Negeri
Cilegon (sebagai pendiri dan ketua 1989-1990), Teater Ego FE Unibraw (sebagai salah
seorang pendiri dan ketua 1992-1994), Unit Aktivitas Teater Mahasiswa Unibraw
(sebagai ketua 1993-1994), HP3N (Himpunan Pengarang, Penulis, Penyair Nusantara),
Forum Pekerja Seni Malang, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), LSMI (Lembaga Seni
Mahasiswa Islam), Komunitas Belajar Sastra Malang (KBSM), Masyarakat Sastra
Internet (MSI),.
antara lain: Puisi-puisinya
Jurnal dimuat
Puisi, Bahana berbagai
(Brunei), Jurnalmedia
Perisamassa di dalam
(Malaysia), dan luar
Horison, negeri,
Suara
Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos,
Harian Banten, Sijori Mandiri (Batam), Mimbar Umum (Medan), Majalah Menjemaat
(Medan), Majalah Media Pembinaan, Majalah Indikator (FE Unibraw), Tabloid Mimbar
(Unibraw), Buletin Kreatif (HP3N Malang), Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman,
Mingguan Pelajar, Buletin Jendela Seni, Buletin Independent (HMI), serta disiarkan
melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan
detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Sketsa (HP3N,
1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997),
Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu
(Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi
bersama rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego-
Indikator, 1995), Kebangkitan Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan Nusantara II
(HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N,
1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi
Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti
Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002),
Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002).. Email:
nanangsuryadi@yahoo.com
Tambahan:
Nanang Suryadi adalah salah seorang penggerak sastra di dunia elektronik, sampai
sekarang. Banyak karya-karyanya yang terlahir dari Facebook dan Twitter, dan
dikumpulkan dalam situs: http://nanangsuryadi.web.id
http://www.sastra-indonesia.com/2010/10/fenomena-sastra-indonesia-mutakhir-komunitas-dan-
media/
New media adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup kemunculan digital, komputer,
atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang
digambarkan sebagai “media baru” adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi,
bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Beberapa contoh dapat Internet,
website, komputer multimedia, permainan komputer, CD-ROMS, dan DVD. Media baru bukanlah
televisi, film, majalah, buku, atau publikasi berbasis kertas.)
http://en.wikipedia.org/wiki/New_media
teknologi.
Pengaruh besar teknologi pada bidang seni, memberi pergeseran konsep
berkarya terutama pada bidang seni peran, musik dan seni rupa. Ditemukannya
listrik melahirkan konsep baru pada seni peran dan seni musik. Begitu pula
berkembangnya teknologi kamera photo, membawa pengaruh besar pada seni rupa.
Sedang pada sastra, terjadi kemenangan sastra tulis atas resistensi sastra
lisan, seiring ditemukannya mesin cetak oleh Johan Guttenberg.
Pesatnya perkembangan teknologi memberi perubahan dan transformasi yang
terus menerus pada pengucapan karya seni. Hal ini didorong oleh
berkembanganya wacana apresiator seni,yang menggiring para seniman untuk
terlibat beriringan dengan kemajuan teknologi, terutama di abad 19 dan 20.
http://informasiteknologi-21.blogspot.com/2009/11/teknologi-dalam-cangkir-kesenian.html
http://informasiteknologi-21.blogspot.com/2009/11/teknologi-dalam-cangkir-kesenian.html