Anda di halaman 1dari 4

Komposisi, 2018, Tahun 3, No 2 Yulhasni, Cyber Sastra; Perlawanan…

CYBER SASTRA: PERLAWANAN TERHADAP HEGEMONI DALAM


SASTRA INDONESIA

Yulhasni
Edy Suprayetno

Praktik hegemoni sastra sudah berlangsung cukup lama terutama sejak bangsa
ini mengenal baca tulis. Bahkan perlawanan terhadap dominasi tersebut
menandakan telah terjadi hegemoni dalam sastra Indonesia. Praktik hegemoni
tidak hanya dipraktikkan oleh kekuasaan. Sejak pertama sekali Sastra
Indonesia Modern diperkenalkan dalam panggung politik Indonesia, maka
sejarah kemudian mencatat beberapa bagian penting yang harus dipahami
masyarakat, yakni tokoh, waktu dan peristiwa sastra. Di Indonesia, geger
sastra sempat muncul ke permukaan akibar gerakan puisi esai Denny JA yang
kemudian bermuara masuknya nama ini dalam buku controversial
terbitanPustaka HB Jassin ‘’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.’’

Kata Kunci: Cyber Sastra, Perlawanan, Sastra Indonesia.

Pendahuluan
sastra cenderung mempertontonkan
Dalam khazanah Sejarah Sastra
penolakan terhadap gerakan
Indonesia, perkembangan karya sastra
mengatasnamakan sastra. Di Indonesia,
selalu identik dengan proses kreatifitas
geger sastra sempat muncul kepermukaan
yang mengikutinya. Sejak pertama sekali
akibat gerakan puisi esai Denny JA yang
Sastra Indonesia Modern diperkenalkan
kemudian bermuara masuknya nama ini
dalam panggung politik Indonesia, maka
dalam buku controversial terbitan Pustaka
sejarah kemudian mencatat beberapa
bagian penting yang harus dipahami HB Jassin ‘’33 TokohSastra Indonesia
Paling Berpengaruh.’.
masyarakat, yakni tokoh, waktu, dan
peristiwa sastra. Dengan demikian, ruang Jauh sebelum geger sastra itu
lingkup pembicaraan sastra tidak melebar muncul, di berbagai daerah telah lahir
terlalu jauh dan bias dimaknai sebagai politik sastra dengan gendering perang
lahirnya tanda-tanda dari proses kreatif Anti Jakarta. Konon kabarnya soal Jakarta
tersebut. dan non Jakarta dalam khazanah sastra kita
sudah cukup lama berlangsung bahkan
Dari zaman Balai Pustaka yang
dinilai sebagai sesuatu yang ‘basi.’
ditandai dengan lahirnya novel fenomenal
Sekadar mengingatkan memori kita
Siti Nurbaya karangan Marah Rusli hingga
tentang itu, pada dekade 1972-1973 Remy
lahirnya Angkatan 2000 yang dimaknai
Silado yang berasal dari Jawa Barat telah
kelahiran pengarang-pengarang perempuan
menolak dominasi itu lewat Gerakan Puisi
Indonesia, khazanah Sastra Indonesia
Mbeling di majalah Aktuil, kemudian ada
selalu ditandai dengan berbagai persoalan
‘politik berkarya.’ Saya menyebut politik gerakan Pengadilan Puisi di Bandung
(1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup
berkarya karena proses penciptaan karya
Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun

106
Komposisi, 2018, Tahun 3, No 2 Yulhasni, Cyber Sastra; Perlawanan…

Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra Cyber Sastra: Perlawanan atas


yang Membebaskan (1982), dan Kekuasaan
Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo
(1984). Di akhir 1990, di luar Jakarta juga Gerakan cyber sastra atau karya
bermunculan komunitas-komunitas sastra sastra yang terbit di internet, sebenarnya
dalam gerakan kreativitas. Kita mengenal telah lama muncul di kurun waktu 90-an
gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman namun kemudian di tahun 2001 kembali
(RSP) oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) mencuat setelah terbitnya buku Graffiti
dan Beno Siang Pamungkas di Solo, Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001.
Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ)oleh Graffiti Gratitude merupakan buku
Korrie Layun Rampan dan Slamet antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi
Sukirnanto, Komunitas Sastra Indonesia tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri
(KSI) di Jabotabek yang dimotori Wowok Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja,
Hesti Prabowo dkk, Komunitas Gorong- Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy
gorong di Depok yang dimotori Sitok Loekito. Mereka tergabung dalam satu
Srengenge, Teater Utan Kayu (TUK) di yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra
Jakarta yang dimotori Gunawan Mohamad, (YMS) (Nanang, dkk.2001).
Forum Lingkar Pena yang dimotori Helvy Di luar medium konvensional
Tiana Rosa, Yayasan Multimedia Sastra cetak, internet menghadirkan cara
(YMS) yang dimotori Medy Loekito dkk, distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul
Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) laman Cybersastra yang cukup aktif
oleh Puthut EA dkk, Komunitas menerbitkan karya maupun kritik.
Rumahlebah oleh Raudal Tanjung Banua, Sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi.
komunitas Rumah Dunia yang dimotori Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman
Gola Gong, dan banyak lagi komunitas- Media sastra yang, sayangnya, tidak terlalu
komunitas di berbagai daerah di Indonesia aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak
(yulhasni, 2012). pula penulis pemula yang menulis ulasan,
apresiasi, maupun kritik dalam blog
Proses dan dinamika yang
pribadi. Belakangan muncul pula grup-
tergambar di atas saya letakkan sebagai
grup di sosial media yang khususkan
politik sastra. Ini dimaknai sebuah upaya
dalam mendiskusikan sastra koran (di
penolakan atas berbagai dominasi satu
Facebook misalnya, ada grup sastra Koran
kelompok. Praktik hegemoni sastra sudah
minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi,
berlangsung cukup lama terutama sejak
dan esai yang dimuat dalam Koran
bangsa ini mengenal baca tulis. Bahkan
minggu). Medium internet sebenarnya
perlawanan terhadap dominasi tersebut
menawarkan kemajuan dalam kritik sastra;
menandakan telah terjadi hegemoni dalam
ialebih mudah diakses, tidak terbatas
sastra Indonesia. Praktik hegemoni tidak
dalam panjang tulisan, memungkinkan
hanya dipraktikkan oleh kekuasaan
lebih banyak kritikus yang muncul, serta
(bangsa ini pernah mengalami distorsi
memungkinkan diskusi yang lebih intens.
budaya saat karya-karya Hamka dibreidel
Namun, pada nyatanya, tulisan di internet
Lekra dan karya-karya Pramudya Ananta
belum punya otoritas sebagaimana cetak.
Toer dibakar Orde Baru).
Yovanta Arif (2014) Banyak kritik sastra

107
Komposisi, 2018, Tahun 3, No 2 Yulhasni, Cyber Sastra; Perlawanan…

dalam laman blog pribadi memiliki Kanonisasi dalam sastra Indonesia


masalah dalam hal penulisan dan tersebut sejatinya tetap mendudukkan
penyuntingan; dari susunan kalimat yang adanya otoritas tertentu dari mereka yang
berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, mengklaim sebagai sastrawan. Padahal
argumentasi yang tidak runtut, kurangnya dalam perkembangan karya sastra, otoritas
perspektif kritis, atau bahkan tidak punya tertinggi tersebut berada di tangan
ide tulisan sama sekali. pembaca. Radhar Panca Dahana menulis
Situmorang (2004) Kehadiran sastra semestinya dikembalikan pada
gerakan cyber sastra memunculkan pro dan pembaca, baik secara teoretis maupun
kontra. Dalam buku yang dieditori Saut praktis. Jika sastra dibiarkan dalam kondisi
Situmorang terangkum berbagai reaksi penyingkiran, yang terjadi hanyalah
negative dan positif kehadiran gerakan perebutan otoritas sastra di kalangan
tersebut. Ahmadun Yosi Herfanda dalam sastrawan, penerbit, dan kritikus sastra
artikelnya berjudul ”Puisi Cyber, Genre (Radhar Panca Dahana. 2001).
atau Tong Sampah” secara terang-terangan Sebenarnya polemic tersebut
menyebut puisi yang terbit di internet muncul ketika karya-karya tersebut
sebagai ’’tong sampah.’’ Hal itu karena diterbitkan dalam bentuk buku. Saat karya
karya yang terbit di internet adalah jenis tersebut muncul di internet, polemiknya
sastra yang tidak bisa terbit di media cetak, tidak menguat sebagaimana gerakan yang
(Herfanda, AhmadunYosi, 2004). Bahkan cenderung sering lahir dalam khazanah
tidak kurang garang, penyair ternama Sastra Indonesia.
Sutardji Coulzoum Bachri menyebutnya Munculnya sastra internet tentu
sebagai ’tai yang dikemas secara menarik berkait langsung dengan kemunculan
akan lebih laku dibandingkan dengan puisi internet di Indonesia di kurun waktu 90-an.
yang dikemas secara asal-asalan.’Ia Kemunculan internet ditengarai ikut
mengkritik cover buku tersebut yang menumbuhkembangkan khazanan sastra
dipandang kurang baik dan tidak layak Indonesia. Bahkan beberapa penulis
dijual (Semboja, Asep. 2008). ternama muncul kepermukaa berawal dari
Begitu keras dan tajam internet, sepert Raditya Dika.
’penghinaan’ terhadap kehadiran sastra di Dapat dipahami bahwa sastra
internet tidak serta merta kemudian internet mau tidak mau akan mengalami
mematikan kecederungan itu. Justeru sebuah metamorfosis sebagai akibat
karena tekanan yang bertubi-tubi tersebut berkembangnya jejaring sosial di tanah air.
membuat sastra internet mendapat tempat Siapa pun hari ini, serta merta akan
tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. memperebutkan otoritas pembaca di
Berbagai perlombaan bertajuk ’’sastra facebook, twitter, dan blog pribadi. Tentu
online’’ justeru marak di tanah air. saja problem terbesar kemudian adalah
Polemik kehadiran puisi internet ini ujian yang berada pada otoritas pembaca.
kembali menggiring perbincangan kepada Pengguna internet di Indonesia yang telah
kanonisasi dalam sastra Indonesia, sesuatu menembus angka 88,1 juta jiwa
yang telah lama diterapkan Belanda ketika memungkinkan kehadiran sastra internet
membuat Komisi Bacaan Rakyat atau mendapat tempat tersendiri.
Balai Pustaka di era tahun 20-an.

108
Komposisi, 2018, Tahun 3, No 2 Yulhasni, Cyber Sastra; Perlawanan…

Kesimpulan Daftar Rujukan

Menuangkan gagasan dan ide di Herfanda, AhmadunYosi. 2004. “Puisi


mana saja adalah hak pribadi setiap Cyber, Genre atau Tong Sampah”
manusia. Ide dan gagasan dalam bentuk dalamCyber GrafittiPolemik:
apapun, sepertinya halnya sastra internet, Sastra Cyberpunk. SautSitumorang
membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya (Editor). Yogyakarta: Jendela.
sastra alternatif yang ”memberontak” Nanang Suryadi, dkk. 2001. Graffiti
terhadap kemapanan-terhadap estetika Gratitude (Sebuah Antologi Puisi
yang lazimdan bukan hanya menjadi media Cyber). Angkasa : Bandung.
duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di Radhar Panca Dahana. 2001. Kebenaran
sanalah tempat bagi semangat dan dan Dusta Dalam Sastra. Jakarta :
kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya Indonesia Tera.
sekalipun, yang selama ini tidak mendapat Semboja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra
tempat selayaknya di media sastra cetak, Indonesia (1908-2008)”. Dalam
baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, Anwar Efendi (Ed.). Bahasa dan
maupun antalogi sastra. Sastra dalam Berbagai Perspektif.
Kita menaruh hormat terhadap Yogyakarta: Tiara wacana.
segala bentuk kreatifitas sastra. Berbagai Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber
medium penyampaian gagasan mesti Graffiti: Polemik Sastra
diletakkan sebagai gejala yang lumrah Cyberpunk. Yogyakarta : Jendela.
dalam perjalanan kreatifitas pengarang. Yulhasni, Jangan Pernah Percaya Jakarta,
Sekarang kunci dari perjalanan itu harus Analisa, 9 Desember 2012.
diuji oleh otoritas pembaca. Jutaan orang Yovanta Arief : Kritik Sastra dan Sastra
menggunakan internet, bahkan sekarang Populer dalam Lembar
digampangkan dengan teknologi telepon Kebudayaan Indo progress Edisi
selular yang menyediakan berbagai 18, 2014.
perangkat jejaring sosial.

109

Anda mungkin juga menyukai