Anda di halaman 1dari 14

Nama : Tabita Nugrahani Putri

NIM : 2111415034

Review Prinsip-Prinsip Kritik Sastra karya Rahmat Djoko Pradopo

Sinopsis Buku
Kesustraan indonesia Modern masih sangat muda usianya, baru 60 tahun.tumbuh
waktu berkembangnya kesustraan indonesia modern ini bersamaaan waktu dengan bangkit
dan berkobarnya kesadaran kebangsaan indonesia, yang bila dinyatakan dengan tahun yang
pasti ialah tahun 1908, yaitu tahun berdirinya organisasi kebangsaan yang pertama kali ialah
Boedi Oetomo. Pada tahun itu pula didirikan komisi Bacaan rakyat yang pada tahun 1917
menjadi Balai pustaka namanya, yang akan memegang peranan penting dalam penerbitan
karya-karya, yang akan memegang peranan penting dalam penerbitan karya-karya sastra
indonesia ditahun-tahun selanjutnya dan juga mempengaruhi pertumbuhan kesustraan
indonesia modern meskipun pada mulanya hanya bertujuan untuk menyediakan buku-buku
yang baik bagibacaan bangsa bumi putera.
Seperti yang dikatakan William Henry Hudson perkataan kritik (criticism) dalam
artinya yang tajam adalah penghakiman (judgment) dan dalam pengertian ini biasanya
memberi corak pemakaian kika akan istilah itu, meskipun bila kata itu dipergunakan dalam
pengertian yang paling luas. Karena tu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang
ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya
seni sastra, atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya
dan menyatakan pendapatnya akan hal itu
Jadi kritikus sastra atau seorang krtikus dapat memberi keterangan tentang hal-hal
yang masih samar-samar kita ketahui dalam membaca karya sastra hingga dengan
demikian.Kita dapat menangkap denga jelas nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam karya
sastra itu, Disamping itu, kritik sastra juga dapat mempertajam kepandaian pembaca dalam
menangkap maksud isi karya sastra, dalam memahami karya sastra.Dan hal itu dapat
membuat masyarakat ebih menghargai kesusastraan yang sudah ada.
Dan seperti H.B. Jassin seseorang kritikus harus dapat bersifat lembut dan juga harus
dapat bersifat keras dimana peru, pokoknya berdasarkan akal budi. Maka dengan sikap yang
demikian itu kritiknya akan bersifat membangun, tidak bersifat merusak. Sepert apa kata
Hudson yang telah kita kutip barusan bahwa seorang kritikus harus berwawasan luas
(flexibe). Kritik sastra sebagai buah karya seorang kritikus memang sering mencerminkan
pribadi kritikus sendiri.Seperti kata T.S. Eliton dalam bukunya Introduction to the Use of
Poetry, 1933, Bila para kritikus adalah para penyair, dapat dikira-kirakan bahwa mereka
membentuk pernyataan kritiknya berdasarkan suatu pandangan untuk menimbang
pelaksanaan-pelaksanaan praktik-praktik puisi mereka.
Aoh Kartahadimaja mengemukakan bagaimana H.B. Jassin menyaring sajak-sajak
yang diterimanya, maka syarat pertama yang diletakkan adalah kepada keindahan dan barulah
pada moral baik keindahan atau moral itu subyektif, kemudian dijawabnya: sebuah
keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni
itu. apabila keindahan terasa, cukuplah bagi sipendengar atau sipeninjau untuk menerimanya,
akan tetapi bila pengertian itu didapatnya maka lebih semangatlah ia.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat
LEKRA, Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan karyawan seni dan budaya diantaranya
para sastrawan yang berpaham rasionalisme (komunisme). Para sastrawan lekra menghedaki
kesusastraan yang berpaham realism-sosialis.Paha mini datang dari Negara sosialis Rusia
dengan tokohnya atau bapak realism-sosialisnya Maxim Gorky.

BAB II KRITIK SATRA


Ilmu sastra mempunyai tiga bagian atau cabangnya, yaitu teori sastra, sejarah sastra,
dan kritik sastra.Teori sastra seperti namanya bekerja dalam bidang teori misalnya
penyelidikan hal yang berhubungan dengan apakah sastra itu, hakikat sastra dan dasar-dasar
sastra.Sedangkan sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai
timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir.Dan kritik sastra sendiri ialah ilmu sastra
yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi
pertimbangan baik buruknya karya sastra bernilai seni atau tidaknya.
Ketiga disiplin sastra itu saling bantu-membantu.Misalnya dalam memberi penilaian
karya sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu karya sastra
supaya dapat bernilai sastra dan sebaliknya.
Seperti yang dikatakan William Henry Hudson perkataan kritik (criticism) dalam
artinya yang tajam adalah penghakiman (judgment) dan dalam pengertian ini biasanya
memberi corak pemakaian kika akan istilah itu, meskipun bila kata itu dipergunakan dalam
pengertian yang paling luas. Karena tu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang
ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya
seni sastra, atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya
dan menyatakan pendapatnya akan hal itu
Begitu pula dapat dibandingkan dengan pengertian yang diberikan oleh I.A.Richard, kritik
sastra seperti yang diketahui adalah usaha untuk membeda-bedakan pengalaman (jiwa) dan
memberi penilaian kepadanya.Jadi ilmu kritik sastra itu adalah ilmu sastra untuk
menghakimi karya sastra untuk memberi penilaian dan memberi keputusan bermutu atau
tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus.
Dan Hudson pun berkata bahwa kritik bersangkut-paut dengan puisi, drama, novel,
bahkan kritik sendiri.Bila kesusastraan kreatif dapat didefinisikan sebagai suatu tafsir
(interprestasi) kehidupan dalam berbagai bentuk seni sastra, krtik sastra dapatlah
didefinisikan sebagai suatu penafsiran kepada suatu penafsiran itu dan kepada bentuk-bentuk
seni yang memberikan tafsiran kehidupan tersebut.
Seorang kritikus adalah hakim, maka untuk menjadi hakim haruslah adil, ia akan adil
bila selalu berpegang pada kejujuran, kebenaran dan tak terpengaruh sentimenya. Seorang
kritikus yang berjiwa besar mestilah berpandang luas terbuka hatinya meski kepada orang
yang tidak disukai atau lawannya. Maka sangat tepatlah dengan apa yang dikatakan
W.H.Hudson
Kritikus yang benar haruslah berhati-hati dalam berfikir dn harus berwawasan luas
(flexible), tajam penglihatannya, cepat menjawab kepada semua kesan, kuat dalam
menangkap esensi : lagi pula ia harus selalu, seperti kata Matthew Arnold, dapat melihat
perihal seperti adanya, dan tidak menyelewengkannya lewat kabut kabut keganjian keadaan
pribadi dan prasangka-prasangkanya, yang berarti bahwa ia harus sama sekal tidak tertark
dan bebas dari prasangka yang bermacam-macam prasangka selera pribadi, prasangka
pendidikan, dogma, golongan partai, klas dan bangsa.
Tugas seorang kritikus dapat juga dibandingkan dengan peranan seorang penunjuk
jalan.Ia menunjukkan jalan kepada para sastrawan bagaimanakah harus dipecahkan
persoalan-persoalan sastra yang ada dalam negerinya. Ia menunjukkan jalan bagaimana cara
meninggikan mutu ciptaannya, dengan jalan menambah pengetahuan sejarah, filsafat, dan
menganjurkan mempelajari ilmu-lmu lainnya. Dan Juga W.h. Hudson menulis dalam
bukunya, Fungsi yang terutama baik kritik adalah memperjelas dan memberi dorongan.Bila
seorang penyair besar membuat kita menjadi orang yang turut mengalami (memiliki)
perasaanya yang luas tentang arti kesusastraan.
Jadi kritikus sastra atau seorang krtikus dapat memberi keterangan tentang hal-hal
yang masih samar-samar kita ketahui dalam membaca karya sastra hingga dengan
demikian.Kita dapat menangkap denga jelas nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam karya
sastra itu, Disamping itu, kritik sastra juga dapat mempertajam kepandaian pembaca dalam
menangkap maksud isi karya sastra, dalam memahami karya sastra.Dan hal itu dapat
membuat masyarakat ebih menghargai kesusastraan yang sudah ada.
Dan seperti H.B. Jassin seseorang kritikus harus dapat bersifat lembut dan juga harus
dapat bersifat keras dimana peru, pokoknya berdasarkan akal budi. Maka dengan sikap yang
demikian itu kritiknya akan bersifat membangun, tidak bersifat merusak. Sepert apa kata
Hudson yang telah kita kutip barusan bahwa seorang kritikus harus berwawasan luas
(flexibe). Kritik sastra sebagai buah karya seorang kritikus memang sering mencerminkan
pribadi kritikus sendiri.Seperti kata T.S. Eliton dalam bukunya Introduction to the Use of
Poetry, 1933, Bila para kritikus adalah para penyair, dapat dikira-kirakan bahwa mereka
membentuk pernyataan kritiknya berdasarkan suatu pandangan untuk menimbang
pelaksanaan-pelaksanaan praktik-praktik puisi mereka.
Kritik sastra ada bermacam-macam dapat digolongkan menurut jenis bentuknya,
pelaksanaan atau praktik kritik, dan menurut dasar pendekatan kritik sastra terhadap karya
sastra. Menurut bentuknya kritik sastra digolongkan menjadi kritik teori (Theoretical
criticism) dan kritik praktik atau kritik terapan ( practical criticism atau applied criticism).
Kritik sastra teori adalah bidang kritik sastra yang berusaha bekerja untuk menetapkan, atas
dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah-istilah yang tali temali , pembedaan-
pembedaan dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interprestasi karya
sastra maupun penerapan kriteria (standar atau norma-norma), yang dengan hal-hal tersebut
itu karya-karya sastra dan para sastrawannya dinilai.
Menurut pelaksana atau praktik kritik, kritik sastra oleh Abrams dbag menjadi kritik
judisial dan kritik impressionistic.Sedangkan menurut W.H.Hudson menggolongkan kritik
sastra menjadi kritik judisial dan kritik induktif.Disini kritik Judisial adalah kritik sastra yang
berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya,
organisasinya, tekhnik dan gayanya, dan berdasrkan pertimbangan individual kritikus atas
dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra.Dan kritik
impressionistic disebut juga kritik yang estetik, T.S. Eliot mengemukakan bahwa dalam kritik
ini kritikus menunjukkan kesan kesannya terhadap suatu obyek dan memberikan tafsiran-
tafsiran untuk mengagumkan pembaca, dan menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca.
Berdasarkan pendekatannya dengan kritik sastra, Abrams membagi kritik sastra
kedalam empat tipe: kritik mimetic, kritik pragmatic, kritik ekspresif, kritik objektif.
kritik mimetic memandang karya satra sebagai tiruan, pencerminan, atau
penggambaran dunia dan kehidupan manusia dan kriteria utama yang dikenakan pada karya
sastra adalah kebenaran yang hendaknya digambarkan.
kritik pragmatic memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk
mencapai efek-efek tertentu pada audience (pendengar, pembaca), baik berupa efek-efek
kesenangan estetik maupun ajaran ataupun efek yang lain.
kritik ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis
kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair,
audience, dan dunia yang mengelilinginnya.
Di Indonesia kritik objektif menjadi teori kritik aliran Rawamangun, dengan tokoh-tokohnya
J.U. Nasution, M.S.Hutagalung, Boen Sri Oemarjati dan Saleh Saad.

BAB III PENILAIAN KARYA SASTRA


Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sarta, pertimbangan bernilai seni
atau tidaknya.Dan menurut pendapat Rene Wellek bahwa kita tak dapat memahami dan
menganaisis karya seni tanpa menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan suatu
struktur sebagai karya seni, kita sudah memakai timbangan penilaian.
Aoh Kartahadimaja mengemukakan bagaimana H.B. Jassin menyaring sajak-sajak
yang diterimanya, maka syarat pertama yang diletakkan adalah kepada keindahan dan barulah
pada moral baik keindahan atau moral itu subyektif, kemudian dijawabnya: sebuah
keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni
itu. apabila keindahan terasa, cukuplah bagi sipendengar atau sipeninjau untuk menerimanya,
akan tetapi bila pengertian itu didapatnya maka lebih semangatlah ia.
Wellek menyatakan pentingnya hubungan hakikat, fungsi dan penilaian karya sastra
sebagai berikut: Bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab
dengan definisi-definisi. Seharusnya orang meniai seni sastra apa adanya dan menaksir nilai
itu menurut kadar sastra hakikat, fungsi, dan penilaian erat berhubungan.
Rene Wellek mengemukakan 3 definisi:
1. seni sastra adaah segala sesuatu yang dicetak
2. seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya.
3. agaknya lebih baik jika istilah kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat
imaginative, jadi disini sfat imaginative ini menunjukkan dunia angan dan khayalan hingga
kesusastraan berpusat pada epic, lirik, dan drama. Karena ketiganya ini yang ditunjuk adalah
duniaangan (fiction, imagination).
Dalam pendapat Gazali B.A, B.Simorangkir, Zuber Usman, Suparlan D.S, dan
H.F.Sitompul tercermin juga bahwa karya sastra (kesusastraan) ialah tulisan atau karangan
yang unsur estetikanya yang dominan yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil seni dan
bahasa yang indah. Dengan pembicaraan tentang definisi dan hakikat karya sastra itu maksud
pembicaraan ini mengarah pada pemberian penilaian karya sastra secara setepatnya menurut
hakikat sastra.
Jadi menurut pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Herbert Read, Leo
Tolstoy bahwa indah itu sementara menurut pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai
kritera karya seni (sastra). Memang bukan indah semata yang menjadi tujuan penciptaan
sastra, dan Pramudya mengemukakan bahwa secara klasikal orang dapat mengatakan :
kesusastraan adalah suatu keseluruhan cipta manusia, baik dalam prosa maupun puisi untuk
mengucapkan suatu keindahan .
Dalam tulisannya Pramudya berkata bahwa keindahan adalah wujud kesubjektifitasan
manusia , dan selanjutnya katanya, bahwa keindahan adalah soal yang sangat empiris hanya
dapat dikenal bila sudah ada. Memang keindahan juga bahkan keharuan baru kita kenal
sesudah kita melihat berhasilnya sastrawan dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya.Jadi
kendahan dan keharuan itu akibat saja hingga kelihatannya memang tidak dapat menjadi ciri
khas atau hakikat dari karya sastra khususnya.
Seniman dan sastrawan memang dalam menciptakan karya sastranya itu, tujuan
pokoknya melukiskan atau mengekspresikan watak-watak yang penting, bukan menciptakan
keindahan. Sepert pendapat N.G.Tjernisevski, pemikir filsuf Rusia, demikian: sebuah karya
seni memanglah akan indah hanya apabila senimannya telah membawakan dalam karyanya
segala yang dimaksudkan untuk dibawa kedalam karyanya. Sudah tentu sebuah potret bagus
adanya hanya jika senimannya telah berhasil dilukiskannya. namun untuk melukiskan
suatu paras dengan indah dan untuk melukiskan suatu paras yang indah adalah dua hal
yang sama sekali berlainan
Pengertian indah menurut Thomas Aquino, yang dikutip oleh Slametmuljana, bahwa
untuk kendahan ada tiga syarat:1. keutuhan atau kesempurnaan. 2. keselarasan bentuk atau
keseimbangan. 3. sekali lagi sinar kejelasan oleh karena itu apapun yang berpancar sinar
kejelasan boleh disebut indah (dari Summa Theologie). Dan Slametmuljana
menyimpulkan: pada tiap barang yang kita anggap indah terdapat tiga macam ciri: 1.
keutuhan. 2. keselarasan bentuk. 3. kejelasan atau sifat gilang cerlang.
Sering oleh para ahli estetka kesubliman itu disatukan dengan keindahan , disebut
Difficulty beauty, dan disamping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan
yang mudah (bunti indah, kenangan indah, dan sebagainya). dan difficulty beauty (sublimuss,
keindahan sukar) yaitu keindahan yang mengandung intricacy, width, kesakitan, keburukan,
dan sebagainya. Misalnya yang berpendapat begitu adalah Bosanquet.Kedua bentuk
keindahan itu dimasukkan dalam kriteria estetik.Kriteria estetik dkenakan pada
bentuk.disamping itu kriteria ekstra estetik dikenakan pada isi karya sastra, Kriteria ini
ekstraestetik ini bukan idah tapi kebesaran atau keagungan (greatness). Karya sastra bernilai
seni bila dalamnya terdapat sifat seni, yautu yang mengandung keindahan dan
kesubliman.Sifat indah, subim, dan besar itu kian banyak cipta dan keahlian cipta, maka kian
tingg nilai seninya.
Seni atau sastra itu menyenangkan dan berguna karena hakikatnya sendiri. Seperti
gula rasanya manis itu sifat hakikatnya sendiri. Seni sastra itu menyenangkan karena bersifat
seimbang (harmonis), berirama, kata-katanya menarik hati, mengharukan, mengandung
ketegangan dan sebaliknya. Dan sifat yang demikian lah yang memikat para peminatnya,
mereka tertarik bukan paksaan orang lain untuk mengakuinya sebagai hal yang menarik tetapi
karena seni itu indah, seperti orang yang mengagumi lukisan atau patung yang indah dan
mengakui keindahahnnya itu bukan karena dipaksa untuk mengatakan indah.
Pada dasarnya ada tiga paham tentang penilaian yang penting, yaitu paham penilaian
relativisme, absolutism, perspektivisme.penilaian relativme ialah paham penilaian yang
menghendaki tidak adanya penilaian lagi atauh penilaian yang dihubungkan dengan tempat,
zaman terbitnya karya sastra. dan peniaian absolut yaitu paham ini menilai pada karya sastra
berdasarkan paham-paham, aliran-aliran, politik, moral, ataupun berdasarkan ukuran-ukuran
tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit hingga dengan
demikian sifat penilaiannya tidak berdasarkan pada hakikat seni sendiri. Dan paham yang
ketiga adalah penilaian perspektif yaitu menilai karya sastra dari berbagai perspektif, dari
berbagai sudut pandangan yaitu dengan jalan menunjukkan nila karya sastra pada waktu
terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa-masa berikutnya.
Untuk menganalisis sebuah karya sastra haruslah dimulai dengan menjawab
pertanyaan yang berhubungan dengan cara beradanya (mode of existence) karya sastra, atau
pertanyaan pertanyaan epistimologis karya sastra, yaitu apakah sesungguhnya karya sastra
itu, Rene Wellek mengemukakan jawabannya yang bermacam-macam, yaitu:
1. karya sastra itu tulisan
2. karya sastra adalah rangkaian suara yang diucapkan oleh pembaca puisi
3. karya sastra adalah pengalaman si pembaca
4. karya sastra adalah pengalaman si pengarang
5. karya sastra adalah pengalaman kolektif sosial
Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, didalam
bukunya Das Literarsche Kunstiwerk (1931) dengan metode phenomenology Edmond
Husserl menganalisis lapisan-lapisan norma
a. lapisan suara (sound stratum) dasar timbulnya
b. lapis arti ( units of meaning) masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan didalam
konteks, syntagma, pola kalimat.
c. lapis obyek yang dikemukakan dunia pengarang pelaku, tempat (setting). Dan Roman
Ingarden menambahkan dua trata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Welek dapat
dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapisan ketiga diatas (lapisandunia
pengarang)
d. lapis dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan. tetapi
terkandung didalamnya (implied)
e. stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat
mulia, tragis, mengerikan, dan suci.

BAB IV ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI


Puisi adalah inti peryataan sastra demikianlah menurut sejarah dan
hakekatnya.menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi,
bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang
dipandang kesusastraan adalah puisi.
Juga dizaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai
kemungkinan pernyataan yang lain, puis tetap menempati kedudukan yang sentral dalam
kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat
puisi itu sendiri. Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi.didalam
puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Didalam
poisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh
prosa.
Lapis Arti
Cathedrale de Charteres: gereja di kota Chartres, bergaya ghotihik. Kata ini membawa
kita kepada suasana ketuhanan. Ia. Isa burung putih-putih: burung-burung menjadi putih
karena kena salju. Akan bicarakah ia di malam sepi: apakah Isa/Kristus masih akan diingat
kembali di waktu malam yang sunyi itu. Disini Isa melambngkan kesucian, kejujuran,
kebaikan, dan juga kesetian.Puisi tak dapat dipisahkan juga dari penyairnya.Dalam sajak ini
sitor situmorang.Berdasarkan esei-eseinya, kesastraaan sitor situmorang dipergunakan untuk
membuka kekacauan.Seperti membuka kedok kekacauan batin menghadapi kehidupan yang
lebih kompleks, jalin menjalin.Ia adalah seorang kristen eksistensialis. Sebagai seorang
eksistensialis ingin mengecap hidup sebanyak-banyaknya pada waktu kini, mempergunakan
segala eksistensinya, namun sering bertentangan dengan moral dan agama hingga
menimbulkan pertentangan-pertentangan batin, konflik-komflik kompleks.Berdasarkan
analisis ternyata dapatlah dilihat bahwa dalam sajak situmorang itu tersebar pengalaman jiwa
penyair, berupa konflik-konflik kejiwaan, kesadaran, eksistensinya, keagamaan dan
moralnya.

BAB V TEORI KRITIK DAN PELAKSANAAN KRITIK DALAM


KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
Sejak terbitnya Roman Azab dan sengsara karya Merar Siregar pada tahun 1921.maka
mulailah tradisi baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia, mulai tradisi baru yang coraknya
berlainan dengan kesusastraan lama (kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya,
pandangan hidup, latar belakang maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan
Balai Pustaka itu, maka tak putus-putusnya sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa
maupun puisi. Juga dengan bertambahnya gaya, corak, serta persoalannya berkembang sesuai
dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh karya sastra itu
merupakan panvaran jiwa pengarangnya.Pengarang sebagai anggota masyarakat, maka tak
dapat lepas dari persoalan-persoalan masyarakat yang melingkunginnya.persoalan itu
menyangkut bidang perekonomian, kemasyarakatan maupun politik cita-cita dan
sebagainya.
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca
tentang budi pekerti dan niai-nilai moral hngga dengan demikian sesungguhnya hal ini telah
menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra
sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan
nomor dua.Tero kritik sastra taraf kedua sudahlah lebih jelas dan tegas dari taraf yang
pertama, yaitu ketika timbulnya sastrawan sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga
Baru.Para sastrawan sudah mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya
dalam bentuk esay dan kritik sastra.Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema
pertentangan paham tentang karya sastra yang berupa paham seni untuk seni dan seni
bertendens. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan seni untuk seni tegas
diwkili oleh Sanusi Pane, yang menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan seni,
seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni murninya pada permulaanya ia
mementingkan bentuk pengucapannya seninya dari isi sastranya.
Pertentangan paham tidak hanya berhenti pada masa Pujangga Baru saja melainkan
masih berlanjut hingga kini pula.Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah perubahan
yang besar.Masuknya kekuasaan Jepang ke Indonesia membawa perubahan usunan politik
kemasyarakatan, dan perekonomian, segaanya itu mempengaruhi sikap hidup bangsa
Indonesia.Tidak ketinggalan pula sastrawannya.Mereka membawa pembaharuan daam
kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori penilaian Pujangga Baru dengan karya-
karya mereka yang revolusioner.Mereka ini dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bidang
puisi dan Idrus dalam bidang prosa.Garis-garis para sastrawan ini makin jelas sesudah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut
sastrawan Angkatan 45.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat
LEKRA, Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan karyawan seni dan budaya diantaranya
para sastrawan yang berpaham rasionalisme (komunisme). Para sastrawan lekra menghedaki
kesusastraan yang berpaham realism-sosialis.Paha mini datang dari Negara sosialis Rusia
dengan tokohnya atau bapak realism-sosialisnya Maxim Gorky.
MANIFEST KEBUDAYAAN
kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini menumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan poitik Kebudayaan Nasional
Kami.
bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan diatas sector kebudayaan
yang lain, setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan
kondratnya.
dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan
kesungguhan yang sejujur jujurnya sebagai perjoangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagi bangsa Indonesia ditengah-tengah masyarakat
bangsa-bangsa
PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963


(Majalah SASTRA, No 9/10. Th. III 1963: 27)
Begitulah paham-paham tentang kesusastraan dalam sejarah perkembangan
kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya hingga sekarang.Paham-paham
itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan kritik sastra di Indonesia, bersangkut paut
dengan penilaian karya sastra.

2. PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN


Menganaisis karya sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada
norma-normanya dan kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai
keseluruhan yang utuh.Seperti pernah dikemukakan oleh Asrul Sani yang telah dikutip bahwa
kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh daripada karya sastranya sendiri (sekiranya bla
ada kritik sastra).Hasil-hasil kritik sastra itu berupa pidato radio, timbangan buku, esai-esai
dalam majalah, ceramah dan seminar, dan studi yang berbentuk buku.

BAB VI PARA KRITIKUS SASTRA INDONESIA MODERN DAN KARYANYA

1. H. B. JASSIN
H. B. Jassin merupakan kritikus dalam sastra Indonesia yang terutama, baik oleh
pekerjaan sastranya maupun jumlah karyanya. Dia lahir tahun 1917 (31 Juli 1917), Telah
dialaminya tiga atau empat angkatan kesusastraan, kesusastraan Angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 50 (ia menamakan angkatan 66).
Meskipun ia telah menulis da menyiarkan sajak dan cerita pendek, namun terutama ia
menulis beberapa kritik sastra, Ia juga menyusun antologi atau bunga sampal sastra, penulis
studi penerjemah, seorang redaktur majalah-majalah kesusastraan, dan dokumentator
kesusastraan yang tangguh. Buku-buku yang telah diterbitkan Kesusastraan Indonesia di
masa Jepang, bunga rampal prosa dan puisi hasil karya para sastrawan Kesusastraan
Angkatan Perang Dunia II, Nilai buku ini terutama terletak pada nilai dokumenternya.
Dengan hasilnya yang agak banyak dan kritiknya yang berarti itu H. B. Jassin
menduduki kedudukan yang penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern,
ditambah pula oleh ketekunannya yang tak kunjung mengendor, bahkan karena
kedudukannya yang dominan itu, ia oleh salah seorang tokoh sastra Indonesia. Gajus Siagian,
dijuluki Faus dari kritikus-kritikus Indonesia, selanjutnya dikatakan Siagan : Tidaklah
berlebih-lebihan kalau saya sertai dengan penghargaan terhadap autoritas dan jasanya.
Dengan hasilnya yang banyak itu dan pengaruh nya yang besar, ia menjadi pengarah
kesusastraan Indonesia baik secara langsung atau tidak.
2. AMAL HAMZAH
Amal Hamzah mengumpulkan esai-esai kritiknya dalam buku dan penulis.Buku dan
penulis merupakan kumpulan kritik terhadap karya-karya sastra 17 penulis Indonesia
modern.Sepert kritik dan Esai H. B. Jassin, Buku ini tidak disusun berdasrkan perkmbangan
sejarah kesusatraan Indonesia dan juga tidak lengkap. Sebagian besar hampir semua adalah
pengarang sebelum Perang Dunia II, seperti Merari Siregar, Marah Rusli, Adi Negara,
HAMKA, Armijn Pane dan yang lainnya.
Hampir-hampir Amal Hamzah dalam beberapa kupasannya tidak melakukan analisis
ataupun hanya menyebutkan hal yang tidak berarti, sedangkan hal-hal yang lain didalamnya
saja, misalnya pada Dibawah Lindungan Kabah karya HAMKA (halm 87), ini hanya
meninjau cara melukiskan perasaan saja, sedangkan hal-hal yang lain tidak disoroti yang
sesungguhnya lebih penting sehingga dengan demikian buku diapa-apakan. Karena sibuk
pada hal-hal yang kurang penting, maka ia melupakan hal-hal yang penting misalnya pada
Belenggu.
3. AJIP ROSIDI
Yang dibicarakan dalam buku Ajip Rosidi Cerita Pendek Indonesia adalah khusus
mengenai cerita pendek. Dalam bukunya ia membicarakan cerita pendek dari permulaan
tumbuhnya, dengan mulai pembicaraan-pmbicaraanya M.Kasim dan Suman Hs, sampai
pertumbuhannya yang terakhir (1959), yang ditutup dengan pembicaraan cerita pendek
Sukanto S.A,Sastrawan seangkata Ajip.
Denga hanya meninjau pokok-pokok ini Ajip, dapat dikatakan bahwa ia tidak
meninjau bahasa dan gaya kalimat, tetapi hanya sedikit, tidak lengkap, memang dapat diakui
Ajip pandai mengemukakan persoalan yang diungkapkan oleh pengarang dan pandai
menceritakan kembali dengan liku-liku persoalan dan pemikiran pengarang hingga menjadi
jelas kepada pembaca apa yang digarap dan menjadi tujuan sastrawan dalam penulisannya.
Kutipan berikut ini kiranya membuktika kecakapan Ajip dalam mengemukakan persoalan
dan menceritakan kembali.
4. J. U. NASUTION
Hasil karya J.U. Nasution memiliki perbedaan dengan hasil karya Ajip Rosidi yang
tidak mementingkan aspek-aspek penelitian ilmiah dalam kritiknya, seperti sumber
pengutipan dan sebagainya.Nasution benar-benar memperhatikan aspek ini sebagai aspek
yang sangat penting.
Namuan metode tersebut dikritik oleh beberapa kalangan diantaranya adalah oleh Mh
Rustandi Kartakusumah dalam Faal Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggai dan Sekolah
Lanjutan dalam Perkembangan Sastra, bukunya itu ditujukan sebagai kritik atas karya
Nasution yang berjudul Sitor Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek (Sebelum
dibukukan).

J. U. Nasution banyak menulis buku yang diantara bukunya itu adalah Sitor
Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek dan buku keduanya Sanusi Pane, metode
kritiknya bersifat induktif, hanya bersifat penafsiran apa yang ia baca dari syair-syair dan
cerita pendek.

Dalam pembahasan Drama Sanusi Pane nampaknya Nasution sudah melakukan beberapa
penilaian, namun tetap saja masih kurang, karena hanya menilai pada perwatakannya saja,
tidak mempertimbangkan norma-norma sastra yang lain.

5. Junus Amir Hamzah

Dalam bukunya Hamka sebagai Pengarang Roman, ia memberikan analisis


terhadap dua roman Hamka yang berjudul, Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya
Kapal Van der Wick. Di dalamnya diuraikan tentang ajaran takdir, pengaruh-pengaruh
terhadap Hamka, plot, dan tema.

Amir Hamzah mengemukakan bahwa tak cukup hanya melakukan penafsiran-


penafsiran saja terhadap karya sastra tapi harus juga memperhatikan aspek penilaian yang
menyeluruh.

Akan tetapi jika ditelisik lagi dari karyanya ini, teryata kritik sastranya masih belum
menyeluruh, sama seperti kritikus-kritukus sebelumnya, hanya bersifat menerima begitu saja
apa yang diungkap oleh seorang penulis (relativisme).

Hamka mengaku terpengaruh oleh ajaran takdir, tapi unsur keberhasilan ajaran ini
tidak dihubungkan dengan unsur-unsur lainya.

6. Boen S. Oemardjati

Boen S. Oemardjati menulis sebuah karya monumental berjudul Pembicaraan Roman


Atheis, di dalamnya dibicarakan bukan hanya penafsiran, tapi juga diungkap tentang
kelebihan dan kekurangan karyanya secara lengkap tidak seperti karya-karya tokoh kritik
sastra sebelumnya.
7. M. S Hutagalung

Dalam bukunya Jalan tak ada Ujung, Muchtar Lubis ia menyoroti karya sastra Lubis
dengan analisis Ilmu jiwa dalam, filsafat eksistensialisme dan sosiologi. Meninjau gaya
bahasanya dan juga menguraikan latar belakang cerita tersebut.

Namun dalam penguraiannya terdapat proporsi yang tidak seimbang, dalam


penguraiannya ia terlalu banyak membahas kepada yang berkaitan dengan teori, dan hanya
bersifat penafsiran saja. Ia hanya mengungkapkan contoh-contoh tanpa mengungkapkan
bagaimana berhasilnya karya tersebut sebagai pernyataan sastra.

M. S Hutagalung meninjau kesalahan-kesalahan gaya bahasa Muchtar Lubis, ia memandang


bahwa pekerjaan Lubis sebagai seorang wartawan yang terbiasa menulis cepat membuat
karyanya kurang lengkap. Ia menilai dari segi tata bahasa normatif tapi tidak meninjau dari
segi pernyataan ekspresif.

Sampai saat ini hanya buku-buku ini (1965) saja yang dikarang dalam sudut pandang
kritik sastra.

Anda mungkin juga menyukai