Anda di halaman 1dari 8

Kajian Psikoanalisis dalam Novel Paradigma

Karya Syahid Muhammad

Disusun oleh ;

Nama : Rike Kameswara

NIM : 173112200150020

Matakuliah : Psikologi Sastra

Hari/tanggal : Senin 13 Mei 2019

Universitas Nasional

2019
Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kajian dapat disebut juga dengan penelaahan, penelitian. Kajian berasal dari kata
“kaji” yang berarti pelajaran atau penyelidikan. Kajian merupakan proses, cara, perbuatan
mengkaji; penyelidikan; penelaahan (KBBI, 1994: 431). Kajian memilki hubungan dengan
kata penelitian yang berarti mengumpulkan, mengolah , menganalisis data secara ilmiah.

Setiap karya sastra (dalam hal ini novel) pasti memiliki ciri dan masalah tersendiri,
untuk itu perlu adanya kajian. Dengan kajian, kita bisa menemukan hal-hal yang berkaitan
dengan karya sastra (novel) tersebut. Ada banyak kajian yang bisa kita gunakan, seperti
kajian Struktural, Intertekstual, Psikoanalisis, Feminisme, Pascakolonial, dll.Dalam hal ini,
kami akan mengkaji sebuah novel yang berjudul Paradigma Karya Syahid Muhammad
dengan menggunakan kajian psikoanalisis Sigmund Freud.

1.2.Teori Psikoanalisis

Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan
para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Psikoanalisis
dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses
kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun,
yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam
bidang sastra.

Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya
sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan
oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai
diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi (The Interpretation of Dreams)
dan Three Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori
Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai
eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan
pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan
sosial melawan Puritanisme (kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme (pergaulan
kaku).

Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali
karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan
naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat
membantu kita melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang
sangat penting dalam suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk
menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang
pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang
dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.

Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan,
antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas
Jalan Tak Ada Ujung dan Atheis. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan
pertolongan agar dapat membaca drama atau novel secara benar.

Ada tiga teori kepribadian menurut Freud, yaitu ;

a. Id
Id merupakan sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah
beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem
kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor – faktor bawaan (Freud, dalam
Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa
sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua,
yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts).

b. Ego
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan
pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui
Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan
untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti
seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan
kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek
psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi
psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual. Ego selain sebagai
pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan
keadaan lingkungan yang ada.

c. Superego
Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan
merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional atau cita–cita masyarakat
sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak–anaknya, yang dimaksud
dengan berbagai perintah dan larangan. Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk
karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan
terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan
orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri.
Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
1.3. Teori Aspek Kepribadian

Kepribadian atau personality menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam
Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya
dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat,
pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai
diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.

Gangguan identitas disosiatif (dahulu dikenal sebagai gangguan kepribadian


majemuk) adalah gangguan jiwa yang berasal dari akibat sampingan dari trauma parah
pada masa kanak-kanak (bahasa Inggris:childhood umur 3 -11 tahun) dan remaja (bahasa
Inggris:adolesence umur 12 -18 tahun).

Individu biasanya mengalami pengalaman traumatis yang cukup ekstrem dan terjadi
berulang kali yang mengakibatkan terbentuknya dua atau lebih kepribadian yang
berbeda.Masing-masing individu dengan ingatan sendiri, kepercayaan, perilaku, pola
pikir, serta cara melihat lingkungan dan diri mereka sendiri. Setidaknya dua kepribadian
ini secara berulang memegang kendali penuh atas tubuh si individu.

Tanda dan gejala Penderita gangguan identitas disosiatif memiliki gejala-gejala sebagai
berikut:
1. Depersonalisasi dan derealisasi
Penderita mengalami perasaan tidak nyata, merasa terpisah dari diri sendiri baik
secara fisik maupun mental. Penderita merasa seperti mengamati dirinya sendiri,
seolah-olah mereka sedang menonton diri mereka dalam sebuah film. Penderita
merasa tidak mendiami tubuh mereka sendiri dan menganggap diri sebagai orang
yang asing atau tidak nyata.
2. Mengalami distorsi waktu, amnesia, dan penyimpangan waktu
Penderita kerap kali mengalami kehilangan waktu, dimana kadang-kadang mereka
menemukan sesuatu yang tidak diketahuinya, ataupun tersadar disuatu tempat yang
tidak dikenal, sementara mereka tidak sadar kapan pergi ketempat itu.
3. Sakit kepala dan keinginan bunuh diri
Penderita seringkali merasa sakit kepala, dan mendengar banyak suara-suara
dikepalanya (mirip dengan gejala skizofrenia). Beberapa kepribadian mendorongnya
untuk melakukan bunuh diri.
4. Fluktuasi tingkat kemampuan dan gambaran diri
Berubah-ubahnya kondisi penderita terjadi saat satu kepribadian bertukar dengan
kepribadian lain. Misalnya, saat kepribadian A muncul, maka kepribadian tersebut
adalah kepribadian yang mempunyai kemampuan berhitung yang bagus. Sementara
saat kepribadian lain muncul, kemampuan kepribadian A pun menghilang. Jadi,
kemampuannya berubah tergantung dari kepribadian mana yang muncul. Begitu juga
dengan gambaran dirinya, berfluktuasi sesuai kehadiran setiap kepribadian.
Bab II
Pembahasan

2.1. Analisis Tokoh Utama dalam Novel Paradigma Sebagai Penderita Dissociative
identity disorder ( Kepribadian ganda)

1. Sinopsis

Cerita dimulai dari sudut pandang Anya,seorang perempuan yang sangat dekat dan
berteman baik dengan Rana. Kedekatan antara keduanya menimbulkan ras cemburu
pada tokoh Ola,yang tidak lain adalah kekasih dari Rana. Namun,setiap kali Ola
merasa marah padanya,Rana selalu menanggapinya dengan sikap yang tenang.
Berbeda dengan Ola, tokoh Anya justru terkadang merasa takut jika kehadirannya di
dekat Rana akan membawanya kedalam permasalahan-permasalahan antara ia dan
juga Ola. Namun,Rana selalu mengatakan pada Anya bahwa tidak ada yang perlu ia
khawatirkan,dan tidak perlu ada yang dicemaskan,terlebih lagi dengan sikap Ola yang
acuh dan terkesan tidak suka dengannya.

Di sisi lain,ada juga Tokoh Aldo yang selalu digosipkan sebagai pasangan sejenis
Rana, hanya karena ia dekat dan berteman baik dengannya. Kabar-kabar buruk
tentang orientasi seksual Rana yang selalu menyangkut pautkan Aldo terkadang
membuatnya merasa bahwa seharusnya Rana lebih bersikap tegas pada teman-
temannya di kampus. Aldo merasa bahwa Rana terlalu bersikap tenang setiap kali
teman-temannya mengejek dan mencemoohnya sebagai penyuka sesama jenis atau
gay.

Permasalahan mengenai teka-teki siapakah sebenarnya seorang Rana dimulai setelah


Anya dan Rana bertemu dengan Felma yang tidak lain sahabat dekat Anya.
Pertemuan antara Rana dan Felma serta Anya menyisakan sebuah pertanyaan
mengenai sebuah gambar yang dilukis oleh Rana. Gambar kupu-kupu bermotif yang
menurut Felma sama seperti apa yang digambarkan oleh kekasihnya. Gambar tersebut
kemudian membawa banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai siapakah sebenarnya
seorang Rana dan mengapa ia bisa menggambar sesuatu yang sama persis dengan
gambar orang lain padahal Felma sendiri tidak pernah mempublikasikan gambar dari
kekasihnya itu ke sosial media manapun.

Perpisahan antara Rana dengan Ola menjadi titik awal permasalahan yang ada, Ola
yang merasa dendam dan tidak menerima perpisahannya dengan Rana menyebarkan
sebuah isu yang mengatakan bahwa Rana memang benar-benar seorang gay.Foto-
foto yang menyatakan bahwa Rana memakai pakaian perempuan memperkuat dugaan
dugaan dari teman-temannya bahwa Rana memang seorang gay. Bahkan karena hal
tersebut,Rana hampir dikeluarkan oleh kampus karena dianggap menjelek-jelekkan
nama universitas karena tindakannya tersebut.
Puncak masalah tentang teka-teki siapa Rana mulai terbuka setelah tiba-tiba sosok
Rana yang mengenakan pakaian perempuan benar-benar muncul di kampus dan
membuat geger seisinya. Sosok Rana yang mengenakan pakaian wanita itupun
menjadi bahan tertawaan teman-teman dikampusnya dan setelah kejadian hari itu,
Rana menghilang tanpa ada kabar.

Titik terang masalah mengenai Rana ialah ketika Anya dan Aldo mendatangi sebuah
Rumah yang menjadi tempat dimana Rana menghabiskan masa kecilnya. Dirumah
itulah Anya dan Aldo bertemu titik terang dimana, Rana dan Ibu Yani adalah ibu dan
anak, Ibu Yani telah lama meninggal karena sebuah kecelakaan dan Rana yang
mencoba menghidupkan kembali ibunya dalam dirinya karena merasa kecewa dan
putus asa akibat kebenciannya terhadap sosok ayahnya. Rana bertukar peran dengan
sang ibu demi mengusir rasa sepi sepeninggal ibunya.

2. Gangguan dissociative identity disorder dalam tokoh Rana

- Fisiologi : laki-laki, berusia sekitar 21 - 22 tahun.

Tidak dijelaskan berapa usia Rana sebenarnya. Hanya saja jika mengingat bahwa
Rana merupakan seorang mahasiswa senior kemungkinan ia masih berusia sekitar
21 - 22 tahun.

- Psikologi : cenderung bersifat lembut berbeda dari kebanyakan laki-laki pada


umumnya. Sedikit cuek dan tidak terlalu peduli dengan omongan orang lain.

“Aku tahu beberapa kabat yang menyebutkan bahwa beberapa orang,bahkan


teman- temannya sendiri,menganggap rana sebagai seorang gay. Rana memang
punya kecenderungan yang terlalu lembut dalam gerak-geriknya sebagai lelaki.
Terlebih Rana lebih dekat dengan teman-teman perempuan dibandingkan dengan
teman laki-laki.” ( halaman 11 )

“Sayangnya,sifat rana yang terlalu cuek dan egois,bahkan terkesan arogan,


membuatnya tak bisa memiliki hubungan ideal dengan mantan-mantannya. Ia
selalu berakhir dengan menyakiti mereka”. ( halaman 45 )

- Sosiologi : Seorang Pelukis, Mahasiswa, dan pegiat komunitas sosial

“Banyak yang mengenal Rana karena ia satu-satunya lelaki di jurusannya yang


senang melukis,tapi hanya sedikit yang benar-benar mau berteman dengannya.”
( halaman 26)

“Kok kamu bisa kepikiran buat komunitas Well Being gitu gitu?” ( halaman 167 )
- Id dalam tokoh Rana
Kebencian Rana terhadap sosok ayahnya hingga tanpa sadar ia mulai menjauhi
bahkan melupakan keberadaan dari sang ayah dan juga adik kandungnya.

Seperti pada kutipan ;

“Ya,Rana memang begitu membenci ayahnya. Sejak dulu, setiap ada yang
membicarkaan atau menanyakan tentang ayahnya,Rana pasti akan marah”
( halaman 261 )

“Karena ia tidak mau ikrar dan ayahnya menemukannya. Ia benar-benar


menghilang dari kehidupan mereka “. ( halaman 262 )

- Ego

Rana mengambil sebuah canvas besar dan memberikannya kepada Ola. Sebuah
lukisan yang ia buat sebagai hadiah ulangtahun untuk kekasihnya tersebut. Ia
merasa bermasalah karena terus menerus bertengkar dan jarang memberikan kabar
pada kekasihnya tersebut.

Seperti pada kutipan ;

“Kemarin aku menyelesaikan lukisan ini. Kalau aku ngabarin,pasti kamu mau
ketemu. Kalau kita ketemu,lukisannya enggak akan beres. Kamu marah selain
karena aku enggak ada kabar,pasti juga karena kamu ulangtahun dan nunggu
aku, maaf.” ( halaman 31 )

- Superego

Rana tetap menjadi dirinya sendiri. Namun ketika ia dirumah dan merasa kesepian
maka sang ibulah yang akan hadir untuk menemani dan berbagi cerita dengannya.
Selain itu,hal tersebut ia lakukan karena rasa trauma yang dialaminya sejak
remaja.

Seperti pada kutipan ;

“Rana menghidupkan sosok ibunya dalam dirinya. Selain karena patah hati yang
mendalam yang ia alami sejak remaja yang ditinggal oleh sang ibu dan hubungan
yang kurang baik dengan ayahnya, rana juga menyimpan harapan dan kerinduan
yang dalam bahwa suatu saat kelak ia bis terbebas dari dendam itu sendiri. Sebab
jauh di sudut hati Rana yang paling dalam, ia pun juga sangat merindukan sosok
ayah dan juga adiknya itu.” ( halaman 262 )
Bab III
Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah diatas ialah bagaimana pendekatan
psikoanalisis dapat membantu dalam menganalisa karakter dan juga kepribadian
yang ada dari tokoh yang terdapat dari novel tersebut.

Anda mungkin juga menyukai