ORANG I
Sekarang semuanya sudah klimaks.
ORANG II
Kita belum lagi mulai.
ORANG I
Sekarang semuanya sudah lampau.
ORANG II
Kita belum lagi mulai.
ORANG I
Sekarang semuanya sudah malam.
ORANG II
Kita belum lagi menemukan pagi.
ORANG I
Pagi tak akan pernah datang.
ORANG II
Matahari harus terbit.
ORANG I
Oh... aku hanya ingin tahu apa kegelisahan hanya milik kita berdua.
ORANG II
Sudah pasti tidak ada dunia lain kecuali dalam batin kita.
ORANG II
Sepertinya tidak ada lagi yang bernafas di sini.
ORANG I
Seharusnya kita sudah berhenti dari dulu.
ORANG II
Kita tidak mungkin bisa berhenti.
ORANG I
Aku sudah macet.
ORANG II
Aku ingin sekali.
ORANG I
Tidak ada, harus ada.
ORANG II
Apa ini yang membuat sakit tengkorak kepalaku, dia bersarang di otak belakang.
Membuat segalanya jadi lamban.
ORANG I
Ada dunia, ada tangan berkuku, tangan itu mencengkeram dunia sampai berdarah-darah.
Diguncang-guncang, kita berdua terpelanting sampai di sini.
ORANG II
Kita masih di dunia.
ORANG I
Kita sudah ketinggalan, hari-hari telah melesat dan simpang-siur entah kemana.
ORANG II
Mana kamisku, mana jumatku, mana malam mingguku, mana pelacurku, mana agamaku,
mana kelaminku? Semua berhamburan dalam omong kosong tentang hidup dan mati.
ORANG I
Mengais-ngais, mengunyah-ngunyah, melorong-lorong, membelit-belit, mana fikiranku?
Campur aduk di sini, membatu.
ORANG I
Mana mungkin?
ORANG II
Tahun ini harus jadi milik kita, mari kita rebut.
ORANG I
Kita tidak pernah punya tahun.
ORANG II
Makanya harus kita rebut.
ORANG I
Tidak! Selamat malam untukmu.
ORANG II
Semua ini harus menjadi pemikiran kita.
ORANG I
Justru itu. Dengan mengucapkan selamat malam berarti aku telah berpikir.
ORANG II
Telah?
ORANG I
Terus berpikir. Aku berpikir bagaimana caranya melupakan semuanya dan diam.
ORANG II
Kau tak mungkin bisa lupa.
ORANG I
Kenapa tidak? Aku toh bukan Tuhan.
ORANG II
Bagaimanapun juga kau tidak akan pernah bisa melupakan tugasmu.
ORANG I
Tugas? Apa maksudmu?
ORANG II
Tugas pelukis adalah melukis.
ORANG II
Tapi itukan yang membuatmu hidup.
ORANG I
Ya, karena aku tidak bisa melakukan apa-apa, tidak ada pilihan lain. Begitu aku lahir aku
sudah dihadapkan kanvas-kanvas dan cat.
ORANG II
Mampuslah kita.
ORANG I
Membujurlah kita. Bosan! Jenuh! Beku! Mandul! Impoten! Lumpuh! Tidur yuk!
ORANG II
Ayo!
ORANG I
Aku lebih suka kalau kau mendongeng saja.
ORANG II
Iya, kita akan mendongeng lewat lukisan kita.
ORANG I
Ayo kalau begitu. Kita ciptakan dunia. Mereka serentak melukis. Orang I melukis sambil
berteriak terus tak berhenti, tak berhenti. Orang II melukis dengan kegelisahan tanpa suara.
ORANG II
Hampir
ORANG I
Penciptaan dunia, kau?
ORANG II
Menggambar peta perjalanan. Sekarang aku sampai pada batas dunia, di mana matahari
tenggelam dalam laut-laut yang berlumpur hitam.
(TUKAR-MERUKAR LUKISAN)
ORANG I
Kau gambar diriku di sini?
ORANG II
Lihat saja, apa kau ada di situ.
ORANG I
Di sini semua gambar asap.
ORANG II
Di sini semua gambar anjing.
ORANG I
Gambar darah berceceran.
ORANG II
Apa kau tidak mendengar jeritan di situ?
ORANG II
Seharusnya di sini ada perahu, inikan air? Bahkan laut, bahkan membuak, perahu Nuh
pasti tenggelam di sini, juga kanaan, juga dzulkarnain yang diberkati itu, juga Picasso, Van
Gogh, Descartes, Budha, Plato, Aristoteles, Caligula, Firaun, Muhammad, Isa .....semua
terkubur di sini. Kenapa mata itu tidak kau hancurkan saja.
ORANG I
Itu adalah keinginannya sendiri.
ORANG II
Keinginan siapa?
ORANG I
Keinginan mata itu.
ORANG II
Dia masih bisa meneteskan air mata, dia menangis.
ORANG I
Kenapa hanya mata itu yang jadi perhatianmu? Di situ masih ada matahari, bulan, laut,
bintang, air, angin, ...
ORANG II
Mata itu adalah mataku.
ORANG I
Itu adalah mata semua manusia.
ORANG II
Kepalaku dimakan anjing.
ORANG I
Kepala semua manusia.
ORANG II
Kamu jabarkan duniaku, aku jabarkan duniamu.
ORANG I
Aku jabarkan kemanusiaanmu, kamu jabarkan kemanusiaanku.
ORANG I
Kamu jabarkan matahariku, bulanku, bintangku, palangiku, aku jabarkan lukamu
ORANG II
Dari mana datangnya bayangan menakutkan seperti ini.
ORANG I
Dari sejarah yang hilang.
ORANG II
Aku semakin takut.
ORANG I
Kita sudah tercerabut dari dunia ini.
ORANG II
Kita sudah tidak di sini.
ORANG I
Kita sudah di sana.
ORANG II
Kita sudah tidak dimana-mana.
ORANG I
Ada garis yang putus di sini. Mereka merobek-robek lukisannya.
ORANG I
Kita buta.
ORANG II
Kita tuli.
ORANG I
Kita gagu.
ORANG II
Kita batu.
ORANG I
Kita bisu.
ORANG I
Kita lumpuh.
ORANG II
Kita mayat.
ORANG I
Kita mumi.
ORANG II
Habis!
ORANG I
Tak berjejak.
ORANG II
Kita tidak pernah bisa mengungkapkan isi hati kita.
ORANG I
Betapa sulitnya merumuskan pikiran.
ORANG II
Ayo, kita coba lagi.
ORANG I
Tidak ada gunanya.
ORANG II
Sebelum semuanya terkubur kita harus cepat bergerak.
ORANG I
Kita sudah terkubur sejak kelahiran kita.
ORANG II
Kita harus terus melukis.
ORANG I
Kita harus berhenti.
ORANG II
ORANG I
Aku sekarang mulai berada antara tahu dan tidak tahu, aku telah dikhianati oleh diriku
sendiri. Aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa, aku telah mandul, aku tidak punya
kekuatan.
ORANG II
Kau harus mencoba terus, kau masih muda.
ORANG I
Aku sudah tidak mampu lagi.
ORANG II
Kau mampu, kau lihat karya-karya ini, semua menakjubkan.
ORANG I
Bohong. Ke mana larinya coretan-coretanku yang dulu, ke mana larinya tokoh-tokohku. Kita
bukan pelukis, mari kita robek lukisan-lukisan kita.
ORANG II
Jangan. Kita akan pamerkan lukisan kita ke seluruh dunia.
ORANG I
Dunia tidak pernah melihat kita, ayo kita ciptakan dunia kita sendiri. Kita harus ciptakan dunia
kita sendiri.
ORANG II
Kita harus terus melukis sebanyak-banyaknya.
ORANG I
Kita harus diam. Kita sudah tidak punya objek lagi.
ORANG II
Masih banyak yang belum kita baca.
ORANG I
Kita tidak punya objek lagi.
ORANG II
ORANG I
Mana objekku.
ORANG II
Masih banyak yang belum kita kunyah.
ORANG I
Mana objekku.
ORANG II
Kita harus terus berjuang.
ORANG I
Kau tidak pernah bisa memahami keinginanku.
ORANG II
Kau yang tidak bisa.
ORANG I
Semuanya sudah punah. Tidak ada lagi yang harus diperjuangkan.
ORANG II
Jiwa kitalah yang harus kita perjuangkan. Kita tidak akan pernah bisa bangkit kalau terus saja
berpusar pada fikiran-fikiran kita sendiri.
ORANG I
Maumu?
ORANG II
Coba lihatlah di pasar-pasar, begitu banyak kehidupan. Kita lahir dan kita bisa jadi apa
saja di situ. Kita bisa memilih peran kita sendiri. Kenapa tidak kita coba. Kita
bisa jadi pencopet, juragan, penipu, pejabat, germo, terserah apa yang kita maui.
ORANG I
Aku tidak memilih apa-apa. Aku akan ciptakan duniaku sendiri.
ORANG II
Dunia apalagi? Cepatlah bergerak sebelum kita tergilas oleh jaman.
ORANG I
Aku tidak peduli.
ORANG II
ORANG I
Aku tidak punya tempat.
ORANG II
Kau jangan menyiksa diri, dengan penjara-penjara pikiran itu akan lebih cepat
membawamu ke arah maut. Marilah kita hidup sebagai orang kebanyakan, sebelum aku mati
tentukan sikapmu, melukislah, melukislah.
ORANG I
Kota-kota, hutan-hutan, angin-angin, gunung-gunung, air-air, laut-laut, pasir-pasir, matahari-
matahari, bulan-bulan, bintang-bintang, manusia-manusia, semuanya sudah tidak ada lagi.
Kita sudah ketinggalan jauh, semuanya sudah berhenti.
ORANG II
Dunia masih berputar.
ORANG I
Kehidupan telah mati.
ORANG II
Matahari masih terbit.
ORANG I
Matahari telah terbakar oleh panasnya sendiri, dia jadi arang, dia jadi abu, dia berhamburan,
dia menghilang, dia musnah!
ORANG II
Lantas apa maumu?
ORANG I (diam)
ORANG II
Lantas apa maumu?
ORANG I
Ngeseks. Berilah aku seks.
ORANG II
Aku tidak mau.
ORANG I
Lakukan kalau kau ingin semua ini berlanjut.
ORANG I
Kau harus bisa karena di sini tidak ada makhluk lain.
ORANG II
Aku tidak mampu. Aku sudah tua.
ORANG I
Cobalah.
ORANG II
Aku tidak bisa.
ORANG I
Tak ada gunanya.
ORANG II
Kau keterlaluan, kau telah mengungkit masa laluku. Ayo berdirilah di situ.
ORANG I
Untuk apa?
ORANG II
Berdirilah di sudut situ.
ORANG I
Untuk apa?
ORANG II (mengancam)
Lakukan saja, kau jadi modelku.
ORANG I (menurut)
ORANG II
Sekarang lepaskan bajumu.
ORANG I
Tidak mau.
ORANG I (menuruti)
ORANG II
Dengan cara ini dulu aku pernah bisa.
ORANG I
Apa maksudmu?
ORANG II
Aku akan peragakan awal terjadinya manusia. Telanjanglah, telanjanglah
(dia menyergap orang I, seolah memperkosanya. Mencoba, terus mencoba, orang I hanya
diam, sampai akhirnya)
Aku tidak bisa! Dengan cara inilah pelacur itu kulukis, aku diperkosa oleh pancaran
seksualnya. Ya, seperti itulah dia duduk, aku menggelepar dan tak tahu apa yang terjadi.
Paginya kulihat kamarku telah kosong, lukisan-lukisanku hilang bersama pelacur itu.
ORANG I
Sesalilah keberadaanmu, akan kulukis tentang penyaliban manusia.
ORANG II
Dengarlah ceritaku.
ORANG I
Tak ada gunanya.
ORANG II
Kau adalah rentetan dari kejadian itu.
ORANG I
Maksudmu?
ORANG II
Enam tahun kemudian, setelah aku lupa, pelacur itu kembali dengan bayi di pangkuannya,
dia bilang bayi itu adalah anakku, aku marah, tapi kemarahan itu tiba-tiba hilang karena
gairah seksku naik dan pelacur itu kuperkosa sampai mati. Sampai mati.
ORANG I
Aku tidak peduli siapa bayi itu.
ORANG II
ORANG I
Aku tidak peduli dari siapa aku dilahirkan, karena semua kejadian toh akan membawa akhir yang
sama.
ORANG II
Maafkan, maafkan aku.
ORANG I
Diamlah.
ORANG II
Semua orang sibuk mempersiapkan nasibnya, sementara
kau? Dari kecil kau hanya kubawa mondar-mandir dari
pasar ke pasar untuk menjajakan lukisan.
ORANG I
Kita ini pasien-pasien tanpa dokter. Ajarilah aku
bagaimana caranya bunuh diri, itu akan lebih baik.
ORANG II
Kau harus membunuhku.
ORANG I
Kaulah yang wajib membunuhku.
ORANG II
Tolong bunuhlah aku.
ORANG I
Tolong bunuhlah aku.
ORANG II
Aku tidak punya keberanian.
ORANG I
Aku juga tidak punya keberanian.
ORANG II
Pada akhirnya kita akan terus terkatung-katung.
ORANG I
ORANG II
Aku mendengar tulang-tulangku berderit-derit seperti daun pintu. Inikah awal dari yang paling
awal itu?
ORANG I
Kita mati dan berubah jadi kepompong.
ORANG II
Marilah kita lukis wajah-wajah dunia. Semua harus diabadikan, semua harus dicatat.
ORANG I
Kita tidak akan pernah samapai. Kehidupan tidak akan cukup dengan waktu hanya seribu
tahun bahkan satu juta tahun pun tidak. Manusia, yang katanya dilahirkan untuk
membaca, bagaimana mungkin membaca kehidupan hanya dengan waktu enam puluh tahun.
ORANG II
Jangan kau kembalikan lagi aku pada momok itu.
ORANG I
Kita akan segera terlewat.
ORANG II
Ooo..., monolog risaumu. Berilah aku tidur.
ORANG I
Semua makhluk telah menentukan sikapnya masing-masing.
ORANG II
Tinggal kita yang ada di sini.
ORANG I
Menghitung rumus-rumus.
ORANG II
Mengalikan rumus-rumus.
ORANG I
Membongkar langit-langit, menikam langit. Meledaklah. Meraung!
ORANG II
Berhamburan dunia di sana, di sini, di situ, di jalan raya-jalan raya, supermarket-
supermarket, terminal-terminal, night club-night club, pasar malam-pasar malam, sirkus.
Semua ini tidak mempunyai hubungan dengan fungsi-fungsinya.
ORANG II
Kita hanya menonton.
ORANG I
Kita hanya dipermainkan
ORANG II
Kita tak pernah jadi subjek.
ORANG I
Seharusnya kita sama-sama punya hak.
ORANG II
Selamatkan aku dari sini.
ORANG I
Lepaskan dulu aku dari kemutlakan ini.
ORANG II
Lepaskan aku dari kaidah-kaidah ini.
ORANG I
Menginjak-injakku, mencekikku.
ORANG II
Aku tidak sanggup.
ORANG I
Ayo kita isi dunia dengan kata-kata, keluarkan ususmu, keluarkan tulang-tulangmu,
keluarkan dagingmu, kuliti-kuliti, jantungmu keluarkan, keluarkan dan ikat dengan petasan,
kemudian ledakkan seperti tatkala kita bermain dimasa kanak-kanak yang hilang.
ORANG II (ketakutan)
Diamlah! Kau lihat kanvas-kanvas itu bergerak, mereka minta nyawa, mereka minta hidup,
mereka minta nafas, kita dikurung oleh kanvas-kanvas, kita terjebak disini. Tolonglah aku,
aku lapar, aku haus, aku muak ...
kenapa kau biarkan aku tenggelam dalam diamku yang gaduh ini.
ORANG I
Monster-monster itu dari mana datangnya, kita akan dilumat oleh zaman.
ORANG I
Kesimpangsiuran ini. Rancu. Segalanya rancu! Aku tidak bisa menjelaskan kata-kataku,
pikiranku melintas-lintas, kita ini akan dibawa ke arah mana?
ORANG II
Kita tidak boleh salah pilih.
ORANG I
Mana kakiku, mana tanganku, mana kupingku, mana mataku, mana jantungku, mana
kananku, mana kiriku, mana atasku, mana bawahku, mana-mana ....
ORANG II
Mana dunia, mana warna, cat-catku, catku mana? Mana merah, mana kuningku, mana
hijauku, mana hitamku, mana putihku, mana dunia?
ORANG I
Mana akherat?
ORANG II
Kita harus hadir.
ORANG I
Tenggelam.
ORANG II
Agama? Agamamu apa?
ORANG I
Islam agamaku, Yesus nabiku. Mau apa kau?
ORANG II
Tuhanmu? Siapa Tuhanmu?
ORANG I
Allah Tuhanku. Maria tetanggaku. Mau apa kau?
ORANG II
Semua kemarilah akan kutuding-tuding matamu.
ORANG I
Jangan salahkan aku, jangan kau maki aku.
ORANG I
Aku tidak mau.
ORANG II
Kita akan dirajam.
ORANG I
Aku tidak mau.
ORANG II
Kau mabuk ke-aku-an.
ORANG I
Kau mabuk diri sendiri.
ORANG II
Kau mabuk pertanyaan.
ORANG I
Kau mabuk jawaban.
ORANG II
Kau mabuk risau.
ORANG I
Kau mabuk bimbang.
ORANG II
Kau mabuk Karlmark.
ORANG I
Kau mabuk Israel.
ORANG II
Kau mabuk agama, kau mabuk Tuhan.
ORANG I
Kau mabuk kentut.
ORANG II
Akankah kita terus bertanya-tanya seperti ini. Bertahun-tahun kita hanya melewatkan
waktu dengan mondar-mandir.
ORANG II
Tidak ada lagi kiblat.
ORANG I
Ayolah kita keluar dari sini.
ORANG I
Di sini pengap.
ORANG II (diam)
ORANG I
Kenapa kau jadi dingin kepadaku? Dingin bagai batu-batu kubur.
ORANG II
Spermatozoa, indung telur, ovum ....
ORANG I
Apa yang ada dalam otakmu?
ORANG II
Ke sanalah larinya.
ORANG I
Ke mana?
ORANG II
Ke dalam kata-katamu.
ORANG I
Malam semakin larut.
ORANG II
Suara laut tak kedengaran dari sini.
ORANG I
Iya jauh.
ORANG II
Mari kita mencari hiburan, kita pergi ke taman-taman.
ORANG I
Tidak mau.
ORANG II
Mari kita ke museum.
ORANG I
Tidak, sudah tutup.
ORANG II
Kita pergi ke perpustakaan.
ORANG I
Tidak.
ORANG II
Kita pergi berenang.
ORANG I
Tidak.
ORANG II
Lantas kita?
ORANG I
Di sini saja.
ORANG II
Biasanya kau suka melihat perahu, ayo kita pergi ke laut. Seperti saat kau masih kecil, kita
akan menggambar pemandangan di pasir. Kita akan mencari kerang, kemudian memancing
sambil naik perahu.
(diam saja)
Ayo kita ke sana, kita akan melihat pelangi yang melengkung bagai naga meminum air laut.
ORANG I
Aku pernah mendengar, suatu saat nanti bulan akan bertabrakan dengan bumi lantas
matahari membakarnya sampai hangus.
ORANG I
Aku ingin tahu akhir dari semua ini.
(mereka melukis)
Sementara kita minum, sementara maut mengintai di tenggorokan kita. Sementara kita
bernafas, sementara jerat melingkar di leher kita. Sementara kita bicara, sementara bisu
membeku di mulut kita.
Sementara kita memandang sementara buta di kelopak kita, sementara kita tidur sementara
maut mengintai di tikar kita, sementara kita sedang, sementara debu, sementara batu, sementara
kabut, sementara lahar, sementara belerang. Kalau mau mampus, mampuslah! Kalau mau
bangkit, bangkitlah! Kalau mau meledak, meledaklah! Kalau mau terbakar, terbakarlah! Kalau
mau hangus, hanguslah! Hancur, hancurlah! Berkeping, kepinglah! Porak, porandalah!
Berdarah, darahlah! Bernanah, nanahlah! Membusuk, membusuklah! Satu tambah satu sama
dengan empat kalau aku mau. Satu tambah empat sama dengan nol kalau aku mau. Seribu
dikurangi sama dengan dua belas kalau aku mau. Itu semua sah! Itu semua benar! Mau
apa kau? Anjing, anjinglah! Babi, babilah! Geledeklah, halilintarlah! Kita lukis wajah kita.
Hiruk-pikukku, simpang-siur, berantakan, porak-poranda, kita lukis kehancuran kita. Galau
kita, rindu kita, pedih kita, sepi-mati kita. Kaku batu, kucing anjing, cacing kelingking,
nungging. Tua, mata, mandek, mandul, mampet, dungu, tersesat, hutan belantara di mana-
mana, belantara angan, belantara tahta, belantara tanda tanya. Akan kuberi hidup dia! Akan
kuberi kata-kata dia! Akan kuberi nyawa dia! Jadilah! Maka jadilah!
ORANG II
Apa yang kau lukis?
ORANG I
Potret diri. Kau?
ORANG II
Sama.
ORANG I
Coba lihat.
ORANG II
ORANG II
Apa kita perlu ke laut?
ORANG I
Mari kita coba lagi.
ORANG I
Apa?
ORANG II
Potret diri, kau?
ORANG I
Sama.
ORANG I
Ini gambar anjing.
ORANG II
Ini gambar tikus.
ORANG I
Apa? Itu Potret diriku.
ORANG II
Tapi ini gambar tikus.
ORANG I
Bangsat. Kita telah ditipu. Kau lihat ini gambar anjing.
ORANG II
ORANG I
Mari kita temukan diri kita.
ORANG I
Kenapa jadi asap?
ORANG II
Kenapa jadi debu?
ORANG II
Kenapa jadi cacing?
ORANG I
Kenapa jadi bangsat?
ORANG I
Bangsat! Anjing!
(MEROBEK-ROBEK LUKISAN)
ORANG II
Setan alas!
ORANG II
Mana?
Itu diriku.
ORANG II
Kau yang salah lihat. Sudah jelas ini diriku dan itu juga diriku.
ORANG I
Ini wajahku dan itu juga wajahku.
ORANG II
Tidak! Ini wajahku dan itu juga wajahku.
ORANG I
Siapa yang benar di antara kita?
ORANG II
Kau siapa? Dan aku siapa?
ORANG I
Kau buta! Yang kau lukis itu diriku.
ORANG II
Kau yang jereng, sudah jelas kau salah lukis dan salah lihat.
ORANG I
Aku melukis wajahku sendiri.
ORANG II
Aku juga
ORANG II
Kita tidak bisa menerjemahkan diri kita sendiri.
ORANG I
Kenapa ini terjadi.
ORANG II
Kenapa ini terjadi? Jawablah.
ORANG I
Jawablah.
ORANG II
Kenapa ini terjadi? Ayo jawablah.
ORANG II
Kau yang harus menjawab.
ORANG I
Itu pertanyaanku.
ORANG II
Juga pertanyaanku.
ORANG I
Kau mementingkan diri sendiri.
ORANG II
Kau yang mementingkan diri sendiri.
ORANG I
Mari kita hancurkan saja. Kita bunuh.
ORANG II
Siapa?
ORANG I
Diri kita.
ORANG II
Mari.
ORANG II (tertawa)
Kita sudah hancur.
ORANG I
Kita sudah mati.
SAMA-SAMA TERTAWA
ORANG II
Enak ya, sudah mati.
ORANG I
ORANG II
Coba
sakit?
ORANG I
Kita telah menjadi pembunuh yang sia-sia.
ORANG II
Sebuah pertanyaan pada dunia.
ORANG I
Otakku sudah beku.
ORANG II
Biarkanlah otakmu untuk terus berfikir.
ORANG I
Takut.
ORANG II
Akhirnya cepat sampai pada kesimpulan.
ORANG I
Dan kembali pada keraguan. Ini seperti penyaliban Yesus untuk kedua kalinya.
ORANG II
Hidup ini penuh dengan rangsangan-rangsangan.
ORANG I
Kita tidak harus mewujudkan semuanya.
ORANG II
Ayo kita mencoba lagi.
ORANG I
Ini adalah saat penentuan. Kita harus mendakwa diri kita.
ORANG II
Kita hakimi.
ORANG I
Mana tali gantungan, aku akan melukis tali gantungan, mana pisau aku akan melukis di pisau-
pisau, mana salib, mana gantungan, mana kanvas, mana kanvas ... gantungan, salib, kanvas,
objek...
(Mereka terus berputar-putar, gelisah, berlari, terus. Terus sampai histeris dan sampai
akhirnya mereka bertabrakan. Berpelukan, saling raba dan sama-sama berkata:)
Kau adalah kanvasku, kau adalah kanvasku .... Cat, mana cat ... mana pahat ... mana gergaji,
palu ....
(mereka menjadikan tubuh yang lain adalah kanvasnya, mereka saling melukis, saling
mengguyurkan cat, saling pahat-memahat tubuh yang lainnya sambil terus berteriak:)
Kau kanvasku, kau objekku, kau kanvasku, kau objekku, kau patungku, kau karyaku ... kau
objekku, kau objekku, kau objekku ....
LAMPU PADAM