5) Manusia (4 pemain)
Bagian Satu
Adegan mulai lampu menyala, terlihat ada 2 orang suami istri sedang menunggu seseorang.
Tidak lama kemudian, datanglah seseorang masuk panggung membawa koper dan
memberikannya ke 2 orang kampung tersebut dan meninggalkan panggung. Kemudian 2
orang kampung tersebut masuk rumah. Lampu mati.
Keributan suara orang-orang kampung, dari luar panggung terdengar menggil-manggil sambil
berkata
Kemudian lampu perlahan-lahan hidup dan seketika itu terlihat jaring, jala, pancing, lukah,
dan pelantaran tempat orang mandi di tepian sungai. Semuanya hanya tersangkut sampah-
sampah plastik. Di pelantaran itu terlihat orang tua separuh baya sekitar 60 tahun umurnya
sedang memperbaiki jalan yang penuh sampah.
Orang Tua : Air adalah dunia hidup kita! Tapi kali ini aneh bin ajib selalu saja datang
hingga kini. (Membuang puntung rokok). Kalau kayu sudah ditebang oleh orang negeri ini,
tak ada lagi penyangga air. Alamatlah kita kembali ke zaman Nabi Nuh atau air akan menjadi
dangkal. Sudahlah dangkal, penuh pencemaran, tak ada yang bisa hidup di sungai ini!
(Bingung sendiri dengan perkataannya). Setelah itu ekosistem perairan pun terganggu.
Habitat seperti ikan, akan habis. Tengok ini! (Menunjuk kearah jala yang penuh dengan
sampah) sampah yang banyak, air pun dah berminyak-minyak. (mendekati lukah yang berdiri
di tepi pelantaran) Apalagi ikan-ikan sudah punah. Dulu minum air sungai, sekarang air
galon. Naseb badan!!! (Tertawa). Kalau mengutuk dalam hati, buat tambah serasa dekat
dengan mati. Eeeeehh puihhh!
(Lampu padam seketika, kemudian hidup kembali). Gelap! Gelap! Gelap! Terlalu gelap mata
ini.
Orang-orang kampung mulai memenuhi panggung sambil marah-marah yang tidak jelas,
melewati jaring, jala, lukah, dan pancing, kemudian keluar kembali dan Orang Tua itu keluar
panggung juga dalam keadaan ketakutan.
Setelah membaca bait kata-kata. Aktor manusia-manusia membuat komposisi seperti orang
ketakutan dan tidak saling bertindih.
Manusia 1 : Aku belum mau mati, apa lagi haus di sungai ini. (Berjalan meraba-raba)
Manusia 2 : Ya begitulah, air di sungai ini tidak pernah bisa melepaskan dahaga. Karena kita
tidak bisa minum di dalamnya.
Manusia 3: Mengapa kita membiarkan sampah itu terbuang dan lalu mencurahkan minyak-
minyak sawit ke dalam sungai? Kenapa para pekerja indrustri tidak pernah menyumbang
untuk kampung-kampung kita?
Manusia 4 : Anehnya, kenapa kita sudah meninggalkan sungai, padahal sungai sumber dari
segala kehidupan nenek moyang kita?
Manusia 1 : Kenapa harus begitu? Sungai ini sudah lama dilupakan. Bukannya kita semua
sudah kalah dari kota?
Manusia 2 :Ya, itu masalah mereka, bukan kita! Kita semua hanya rakyat yang
membutuhkan air.
Manusia 3 : Ini adalah sebuah rasa sakit yang nyata, sebab kita tidak bisa bertahan dan
menahan. (Mendekat ke tempat pelantaran).
Manusia 1 : Berarti kita ini melambangkan sebuah kematian atau sebuah kebutaan terhadap
lingkungan?
Manusia 2 : Eeehh! Jangan berkata seperti itu!!! Aku malu. Ini sebuah kegelapan sebenarnya
dan akan memutuskan tujuan dan harapan kita.
Manusia 3 : Sebenarnya apa yang dibicarakan ini, seperti menceritakan masa lalu yang
dilupakan. Semua telah lupa peradaban!
Manusia 4: Jangan ceritakan masa lalu. Jangan! Karena masa lalu menakutkan.
Manusia 3 : Ayoo! Ceritakan keresahan kita! (Sambil tertawa dan memumukul setiap ember
di kepala manusia 1,2, dan 4) Cepat ceritakan. Semua aktor mematung,bunyi suara pabrik
mengiringi pelan-pelan.
Manusia 4 : (Bergerak pelan-pelan). Masa lalu tidak pernah mendengar tangisan sungai!
Tapi hari ini tangisannya lantang.
Manusia 2 : Bukan hanya sungai yang menangis, tapi ikan juga menangis hingga mati.
Manusia 2 : Bukan terpaksa, tapi dipaksa oleh mereka. Ini sesuatu yang mengerikan bagi
kehidupan orang-orang yang membutuhkan. Ayo bergerak! Ayo!
Perlahan-lahan aktor Manusia membuka ember di kepala. Musik kaos berbunyi dengan
sangat ribut, bercampur bunyi-bunyian mesin pabrik semakin keras. Semua aktor lansung
melihat ke penonton dengan aneh, lalu aktor menampakkan bermacam-macam karakter
mukanya.
Manusia 1 : Aliran-aliran yang menyesakkan dada.
Manusia 2 : Aliran-aliran yang membunuh!
Manusia 3 : Aliran-aliran yang menikam!
Manusia 4 : Aliran-aliran paling buruk perangainya.
Semua aktor Manusia menduduki ember yang di kepala, membentuk komposisi berbaris
berbanjar. Lampu berwarna merah menyinari empat aktor Manusia. Video sungai saat senja
tiba-tiba hidup. Muncul di belakang layar.
Saat lampu menyala terlihat sepasang orang kampung 2 sedang menjemur baju. Kemudian
muncul orang kampung 1 baru saja pulang membawa alat pancing, dan saat datang Orang
Kampung 1 meminta dibuatkan kopi.
Masuk Tuan Kadi. Ia menuju ke tengah panggung dengan membawa buntalan kain yang
berisikan buku-buku lama dan lansung membuka di tengah panggung tersebut.
Tuan Kadi : Aku yang paling berhak marah kepada siapa saja, baik kepada buaya, gajah,
atau Raja segala penguasa. Sebab segala seluk-beluk beserta keamanan sungai aku tahu.
(Membuka buku dengan bermacam-macam bentuk tubuh, bahkan menghempas diri di
tumpukan buku) Dan lebih tahu lagi kalau yang memperkosa sungai itu para pembuang
limbah. (Matanya melotot kepada penonton lalu tertawa terbahak-bahak) Itu hanya bumbu
bicara, ahh!!! Sudahlah, tak perlu diteruskan, nanti bertambah panjang racauan sandiwara ini.
(Membuka bajunya sehingga ia hanya memakai baju dalam). Pada suatu ketika mereka
datang menemui saya bahkan membawa saya berjalan menyusuri sungai hingga sampai ke
muara, hampir dekat selat. Mereka menawarkan berbagai macam cara, supaya saya bisa
memberi tahu bagaimana cara memujuk orang yang tinggal di tepian sungai untuk tidak
marah dan melarang melihat sungai lagi. Tapi saya tahu hal itu taktik, pasti hanya untuk
berlindung dari kesalahan mereka. (Bunyi detik jam dinding yang cepat) Wah! Waktunya
sampai. Ahhh, sudah terlambat! Terlambat! Terlambat! Terlambat!
Masuk Orang Berkacamata dan memakai tanjak di kepala, dasi di lehernya sambal
mendorong kursi di sela-sela jaring, jala, lukah, dan joran pancing. Yang berada di dalam
panggung tersebut, lalu mereka membuat komposisi seperti para pejabat yang sedang rapat
di tengah-tengah panggung, sambil tertawa terbahak-bahak. Dan terhenti ketika Orang Tua
masuk ke dalam panggung. Bersaamaan kejadian tersebut, Orang Berkacamata hanya
berbisik, lalu membentuk komposisi persis seperti orang yang rapat dinas
Muncul Orang Tua dari sudut kanan panggung membawa jala yang penuh dengan sampah
menuju ke pelantaran sebelah kiri panggung dan berdiri. Cahaya lampu berbentuk bulat di
titik pelantaran, tepat pada tubuh Orang Tua itu, lalu berkata:
Orang Tua : Beginilah kisah perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Tapi ini bukan
tiba-tiba membuat kita bersabar atau merasakan nyaman dalam menjalani kehidupan di tepian
Sungai Jantan. Tak ada guna untuk menangis. Air mata sudah senja, tak mungkin mengulang
kembali menjadi siang benderang. Lihatlah mereka! (Menunjuk ke arah Orang
Berkacamata). Itulah yang membekas di hati. Membuat luluh lanta, hingga gubuk-gubuk
tuaku dirobohkan dan periuk tidak lagi berisi, tungku dapur pun tak berasap. Bahkan bencana
batin terus mengusik lamunan. (Termenung sejenak lalu marah). Ini celaka! Ini benar-benar
celaka! Di mana letak kemanusiaan? (Menghempas jalanya ke lantai panggung, sebanyak
tiga kali lalu ia keluar panggung lagi ke tempat ia masuk pertama).
Orang Berkacamata mulai ribut dengan berbagai gaya komposisi dan berbicara dengan
lantang.
Orang Berkacamata 1 : Nah, beri tahu kepada seluruh warga kampung ini. Kita akan
mencari tanah untuk dibeli dengan harga yang mahal, tapi dengan syarat tanahnya harus di
tepi sungai. Agar mudah masuk kapal-kapal pembawa barang, singgah di pelabuhan kita
nanti. (Berjalan mendorong kursi melihat bentuk-bentuk jaring, jala, dan pancing)
Orang Berkacamata 2 : Kalau ini aku setuju, Wak!
Orang Berkacamata 2 : Mengamuk kenapa pula? ‘Kan niat kita baik, untuk membuka
lapangan kerja masyarakat setempat. Itu pun kalau mereka mau menjual tanah di tepian
Sungai Jantan itu.
Orang Berkacamata 3 : Kita sebaiknya menanam prinsip untuk kenyamanan dan ketertiban
sungai ini. Tanpa ada mengganggu kenyamanan mereka. Apalah artinya sebuah sawit kalau
mengotorkan sungai?
Orang Berkacamata 3 : Lihatlah tubuh-tubuh mereka yang gempal dan kurus selalu
bermenung di pinggir sungai. Sebab, tak ada yang dihasilkan. Sungai telah mengutuk
manusia. Mereka hanya mengadu kepada kekosongan belaka.
Orang Berkacamata 1 : Ini bukan sungai yang mengutuk manusia, tapi manusia sendiri
yang mengutuk sungai (Mendekati).
Orang Berkacamata 2 : Sudahlah! Kita orang yang berkuasa, kenapa harus memikirkan hal
yang tidak penting.
Orang Berkacamata 3 : Jangan singkat padat pemikirannya, apakah mereka mata duitan?
Orang Berkacamata 2 : Kita harus menyusun strategi yang matang, tidak hanya asal-asal
saja.
Orang Berkacamata 2 : Jangan dikira mereka mau menelan bulat-bulat pembicaraan kita.
Mereka juga orang berpendidikan. Bahkan anak-anak mereka sekolah di luar negeri.
Orang Berkecamata 3 : Alaah! Nama saja luar negeri, tapi pemikiran masing-masing
kosong, contoh saja sungai ini dibiarkan begitu saja. Jadi, sudahlah! Kita lakukan saja sesuai
tujuan utama. (Agak maju ke panggung).
Orang Berkacamata 1 : Tapi, jangan tergopoh-gopoh dulu.
Orang Berkacamata 2 : Betul! Nanti, menepuk air dulang, terpercik muka sendiri. (Sinis).
Orang Berkacamata 3 : Menurut firasat saya, masalah ini selesai dengan uang kita, saya
yakin betul. Orang tepian sungai itu bukan ada yang kaya. Kais pagi makan pagi, kais petang
makan petang, tak mungkin pula rasanya menolak. Meskipun ini hal yang sulit untuk mereka,
tapi kalau sudah masalah duet yang masuk, hijaulah mata mereka. (Tersenyum).
Orang berkacamata 1 dan 2 ketawa seperti mengejek.
Orang Berkacamata 3 : (Sedikit tersinggung). Kenapa kalian tertawa? Mengejek?
Orang berkacamata 2 : Sedikit mengejek. Agar buat perenungan, memang duet dapat
mengubah segala hal. Kemudian efek ke kita apa? Jika hal ini tidak berhasil, lalu kita
dilaporkan kepada pihak yang berwenang, pasti peristiwa ini menjadi pencemaran nama kita.
Orang Berkacamata 1 : Wah! Sudah jauh pemikiranmu. Apa hak yang berwenang? Hanya
untuk menangkap yang belum jelas begitu? (Tertawa) tentu tidak seperti itu ‘kan?
Orang Berkacamata 3 : Ini hanya perkara sungai, Bung. Tidak jauh ke sana, bukan korupsi
atau mencuri. Ini masalah tanah tepi sungai, tahu ‘kan sungai? Kalau tak tahu sungai, sini,
saya tunjukkan. Setelah sampai di sungai langsung terjun ke dalamnya (tertawa) di situlah
kita akan mendengar suara orang dalam neraka. (Semakin menjadi-jadi tertawanya).
Masuk Orang Tua kembali, tapi kali ini ia bersama istrinya dengan membawa
peralatan tepung tawar untuk merenjis sekeliling pelantaran dan jaring, jala, maupun
pancing.
Istri Orang Tua : Bagaimana cara, agar sungai terawat? (Kepada suami) Sungai tidak mau
memberi ikan, apakah mereka meminta kepala kambing? Sebagai tumbal? (Sambil merenjis
tepung tawar). Atau, memang sudah tidak ada lagi kehidupan di dalam sungai ini?
Orang Tua : Mungkin begitu! (Sambil memperbaiki jaring yang robek).
Istri Orang Tua : Mungkin apa?
Orang Tua : Ya begitulah, seperti yang kamu katakan pertama.
Istri Orang Tua : Pasti si penunggu sungai itu yang telah menghalau pendapatan kita. Wahai
Tuan Kadi penjaga sungai (menabur beras kunyit) aku ingin bertanya, keluarlah puahhhh!
Orang Tua : Hei? Mengapa engkau menyeru dia? Nanti datang angin dan timbul buaya putih
di sini, di luar kendali. (Menghampiri istrinya).
Istri Orang Tua : Ternyata dirimu tidak berani dengan seruan seperti ini (tertawa).
Bukankah ini sebuah kebahagian untuk kita? Jikalau Tuan Kadi muncul dan ia pasti akan
menceritakan semua masalah sungai ini, kita pun akan mudah mengatasi masalah-masalah di
zaman sekarang.
Orang Tua : Jangan berharap hujan, lalu air di tempayan dibuang.
Istri Orang Tua : Bukan berharap, tapi mengharap (tertawa lalu melanjutkan menyeru
Tuan Kadi) puah darat, puahhh! Tuan Kadi! (Memanggil berkali-kali).
Orang Tua : Sudahlah! Sudahlah! (Marah). Kita tunggu saja dia sampai menemui kita,
berharaplah pada keajaiban. Kita akan bertemu dan dapat menanyakan kejadian sebenarnya.
Istri Orang Tua : Kemarin, orang sebelah rumah kita bercerita bahwa ia melihat buaya putih
timbul di sungai ini. Pertanda apa ya? (Kepada suaminya) Mungkin buaya itulah yang
memakan ikan-ikan yang kita harapkan selama ini. (Meletakkan alat tepung tawarnya di
atas pelantar).
Orang Tua : Ini gawat! Benar-benar gawat! (Kepanikan).
Istri Orang Tua : Kelihatannya panik sekali, kening bertambah kuat kerutnya. Ada apa
dengan perkataan buya? ‘Kan biasa-biasa saja.
Orang Tua : Seperti menyimpan misteri ketika mendengar buaya putih, selama ini sudah
melupakan dan pura-pura tidak tahu tentang hal itu.
Istri Orang Tua : Sepasang suami istri menyimpan sesuatu yang aneh. Kenapa tidak mau
menceritakan?
Orang Tua : Ya, begitulah bukankah misteri setiap manusia ada, bahkan yang hidup di
sungai ini mempunyai cerita masing-masing. Jadi, tidak perlu kita membahas misteri buaya
putih itu.
Istri Orang Tua : Terserah, itu hak masing-masing.
Orang Tua : Sudahlah, jangan merajuk (tertawa) kita sudah mau keriput lagi, tak mungkin
hanya gara-gara itu marah. (Menepuk bahu istrinya). Cerita buaya dan kacil saja ya? Mau
‘kan?
Istri orang Tua : Sudahlah, Bang! Jangan nak melawak dah tua-tua ni. Periuk nasi kita itu
dipikirkan, dah lama tak makan ikan.
Orang Tua : Tenang sajalah!
Istri Orang Tua : Tenang terus, dua hari yang lalu tenang juga. Tiga hari lagi pasti tenang
juga jawabnya.
Orang Tua : (Tertawa).
Istri Orang Tua : Kenapa tertawa? Orang lagi serius.
Orang Tua : Sudah lama tidak mendengar sang istri celoteh semacam ini. Rindu pula
rasanya.
Tiba-tiba terdengar suara petir dan kilat menyambar.
Istri Orang Tua : Pulang lagi! Cuaca sudah tidak bagus, tampaknya mau hujan.
Orang Tua : Sebentar lagi. ‘Kan belum hujan, baru mau saja.
Istri Orang Tua : Kalau sudah basah, baru pulang? Oh tidak, lebih baik dari sekarang.
(Melangkah kaki keluar panggung).
Orang Tua : Begitulah istri kalau sudah tidak sesuai dengan keinginan hatinya, selalu saja
pergi sesuai hati sendiri. (Menghadap penonton) Sebenarnya kasihan melihat istri aku, dia
ingin sekali makan ikan sungai ini. Tapi macam manalah sudah tak ada yang nak ditangkap di
Sungai Jantan ini. Keluar air mata darah pun tak ‘kan dapat menyelesaikannya. Terkadang
sedih hati ini menyerupai matahari senja yang merah terbenam itu. Begitu agaknya keinginan
sudah terbenam. Sungai-sungai ini makin hari, makin tak ada yang dapat diharapkan lagi.
Tanah di tepi sungai ini mungkin lebih baik dijual daripada terbiar begitu saja. Dulu tanah itu
berharap tempat pelabuhan, kemudian kendaraan air akan singgah. Kalau seperti ini harapan
itu dah jadi air mata senja. Air mata senja! Di mataku. (Keluar panggung).
Masuk manusia-manusia dengan mengikat lehernya masing-masing, menggunakan kain
panjang dalam keadaan merintih kesakitan. Di pinggangnya dikenakan tali untuk menyeret
ember masing-masing. Dengan diiringi musik seruling, kemudian suara anjing
menggonggong, suara pertir menyambar dan suara gong.
Lampu berwarna merah temaram menyorot satu titik di aktor Manusia-manusia.
Manusia 1 : Lehar kita adalah sumber segala air.
Manusia 2 : Kita sudah tercekik. Sudah tercekik!
Manusia 3 : Air-air itu sudah membunuh kita!
Manusia 4 : Aku tidak bisa tidur! Aku kesakitan! Aku lapar!
Manusia 2 : Tidak ada hak untuk berharap. Tidak ada harap untuk dijemput.
Manusia 3 : Beginilah ikan-ikan, serupa kita kehilangan rumah.
Manusia 1 : Beginilah sungai kehilangan penghuninya.
Manusia 4 : Begitu juga mereka tidak memperdulikan kegelisahan kita.
Semua aktor Manusia tergeletak di tengah-tengah panggung, menggelepar seperti ikan di
atas darat.
Masuk Tuan Kadi lalu mendekati Manusia.
Tuan Kadi : Seperti ikan-ikan yang sudah mati. Suara-suara telah dibungkam. Sejarah
manusia dilupakan, sejarah sungai dibelakangkan. Hanya aku selalu setia menunggu di
pinggir sungai bahkan membangun rumah. Sampan-sampan aku sudah bocor dilantak kota.
Tapi aku hanya menemukan orang-orang bermata sembab. Dan bagaimana mereka
membiarkannya. Kenapa tidak ada kutukan? (Marah) Kenapa? (Meloto ke
penonton) kesakitan mereka (menunjuk ke arah manusia-manusia) Adalah kesakitan kita
semua! Kesakitan yang tiada henti, terpiuh oleh waktu. (Mendekatai satu per satu manusia
lalu berkata “ayo kita istirahat, ayo!” lalu keluar panggung).
Bagian Tiga
Tuan Kadi : Perenungan terhadap harapan akan kalah dengan berdiam. Manusia selalu
terpuruk dalam kesia-siaan untuk menentukan hidupnya. Bahkan ia sendiri suka membuat
sakit untuk kepentingan nafsu. Demi menyelamatkan keuntungan, sedangkan orang kecil
akan menangis dan bertengkar dengan keluarga karena tidak bisa bersuara lantang terhadap
penguasa. Kekuasaan adalah sebuah perangkap iman yang lemah. Setiap kali matahari
muncul tidak mampu menahan cahayanya terhadap sungai ini. Apabila ia terbenam selalu
saja membuat mata berbinar-binar memandang sekujur tubuh sungai, seolah-olah pasrah dan
tidak bergairah. Tapi bibir mereka (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata), merekah
menyebut sungai dengan senyum di langit senja yang ranum. Ia tergila-gila untuk
menghambur ke dalamnya. Ketika itulah mata air senja mengisak sampai tak mengeluarkan
merahnya. (Suara tembakkan muncul dan Tuan Kadi keluar).
Orang Berkacamata pelan-pelan keluar seperti maling.
Kedua suami-istri terbangun dari tidur lansung berkata.
Istri Orang Tua : Pemikiran itu selalu muncul (kepada suami) ia sudah diperbudak nafsu.
Orang Tua : Kita memang tidak bisa mengatasinya. Itu hal yang tidak semudah membalikan
telapak tangan.
Istri Orang Tua : Mereka senantiasa memunculkan wajah sesuai keinginan. Setelah semua
dapat dikuasai kemudian mengubah lagi wajahnya.
Orang Tua : Itulah mereka, setelah dapat menggenggam.
Kedua suami istri keluar.
Masuk manusia-manusia dengan mengenakan kain sarung di pinggang, lalu menuju ke
pelantaran tempat suami-istri.
Manusia 1 : Biasanya mereka di sini.
Manusia 2 : Ke mana mereka? Apa mereka sudah tidak mau melihat sungai ini.
Manusia 3 : Mungkin sudah pulang karena tidak ada pendapatan dalam beberapa pekan ini.
Manusia 4 : Bisa jadi begitu, apa yang harus kita buat untuk kehidupan orang-orang di
sungai ini?
Manusia 2 : Kita demontrasi saja ke sana.
Manusia 1 : Ke mana?
Manusia 2 : Pokoknya ke sana! (Menunjuk ke penonton)
Manusia 3 : Kalau kita bikin pengumuman di tepi sungai ini bagaimana?
Manusia 4 : Tulisan apa?
Manusia 1 : Iya tulisan apa?
Manusia 2 : Tulisan bahwa dilarang membuang libah di sungai ini atau pun sampah.
Manusia 3 : Iya, tulisan seperti itu.
Manusia 4 : (Tertawa). Memang mereka bisa diatasi dengan begitu. Takkan bisa, malah
yang menjadi kekhawatiran adalah mereka sudah mulai masuk ke warga lalu membeli tanah
mereka dengan harga yang sangat mahal.
Manusia 1 : Iya, seperti itu, atau jangan-jangan kedua suami-istri itu sudah tidak berada di
sungai ini. Sebab telah menjual tanah dan peralatan pencari ikannya.
Manusia 2 : Bisa jadi seperti itu, sungai ini tidak ada yang mereka harapkan lagi.
Manusia 3 : Oh ya, sungai ini mempunyai mitos serta fenomena gaib. Beberapa hari yang
lalu, orang melihat di suak sana. Ada penampakkan gajah putih. (Meyakinkan Manusia
1,2, dan 4).
Manusia 1 : Kedengarannya, iya. Sudah heboh satu kampung ini, tetang hal itu.
Manusia 2 : Pertanda apa ya? (Berpikir).
Manusia 3 : Beberapa bulan yang lalu sungai ini telah diukur oleh beberapa profesor. Jauh
surut airnya, dulu 30 meter kedalamannya. Tapi sekarang hanya tinggal 18 meter.
Manusia 4 : Ini benar-benar durhaka!
Manusia 1,2,3 : Durhaka? (Serentak aktor 1,2, dan 3)
Mnausia 4 : Iya durhaka, durhaka dengan sejarah. Sungai merupakan sumber dari segalanya
bahkan jantung kehidupan. Terkutuklah mereka!
Manusia 1 : Lalu bagaimana mengatasinya? Nasi sudah menjadi bubur ini.
Semua aktor mondar–mandir ke kanan dan ke kiri panggung memikirkan.
Masuk istri Orang Tua dengan melantunkan syair, berdiri di pelantaran.
Istri Orang Tua : Kalaulah hidup bermacam perangai
umpama berpikir tidak terlerai
Para aktor manusia berhenti membuat komposisi, lalu mencari sumber suara itu.
Manusia 1 : Itu suara orang tua itu.
Manusia 2 : Ayo kita hampiri dia.
Manusia 3 : Apa yang mau kita bicarakan?
Manusia 4 : Ya, bicara tentang kerusakkan sungai.
Tiba-tiba istri Orang Tua hilang keluar panggung.
Manusia 1 : Habis di mulut dan bicara saja, coba lihat! Mana ada lagi orang tua itu.
Manusia 2 : Waduh, cepat hilangnya.
Manusia 3 : Ya, begitulah, kita ini terlalu banyak bicara maka semua hajat tak terlaksanakan.
Manusia 4 : Lebih baik kita susul ke rumahnya.
Manusia 1 : Rumahnya di mana?
Manusia 4 : Kita cari sampai dapat.
Manusia 1 : Lewat sini. (Arah kanan panggung)
Manusia 2 : Salah lewat sini. (Arah kiri panggung)
Manusia 3 : Mana yang benar? Sana dan sini. (Menunjuk kiri dan kanan panggung)
Manusia 4 : Sini sajalah (mengikuti arah pelantaran) kalau hal ini saja tidak satu arah,
bagaimana dengan urusan yang laen nanti.
Aktor-aktor Manusia keluar.
Tuan Kadi : Begitulah kita manusia, jikalau bicara diperbanyak umpama hidup untuk satu
hari saja. Apalagi masalah lingkungan yang semakin hari semakin suram. Ini sungai, sebuah
masalah besar buat kita, terutama saya yang memang diam di tepian sungai, besar oleh
sungai. Sandiwara semacam ini perlu dilanjutkan terus untuk mengingat masalah lingkungan,
masalah ikan-ikan mati, masalah udang-udang yang punah ranah, dan intinya masalah
serakah! Serahkah! (Tiba-tiba hentakkan gong bergema) Itu sebuah gemuruh dalam
dada! (Cemas). Aku Tuan Kadi! Penunggu tepian sungai. (Dengan lantang) Jangan sentuh
tubuh-tubuh sungai, jangan perkosa kehidupan di dalamnya. Jangan! Aku lelaki petapa setiap
peradaban dari sejarah yang datang hingga berganti menjadi hari ini. Akulah itu! Akulah
sejarah sungai itu, akulah yang lebih tahu!
Tiba-tiba terdengar suara gema Orang Berkacamata masuk ke dalam panggung dalam
keadaan terikat, lampu temaram. Bercampur keributan orang-orang kampung sedang
marah “Sungai ini milik kami, bukan untuk diperjual-beli.” Lalu memenuhi panggung.
Tuan Kadi ketakutan dan hanya melihat sebuah kejadian itu.
Orang Berkacamata terduduk di tengah panggung seperti otang terikat, orang-orang
kampung menutup kepala Orang Berkacamata dengan menggunakan ember. Lalu satu
per satu memukul ember di kepala mereka sambil berkata “ Benak telah membinasakan
badan, dan pikiran menghantui kekuasaan.” Satu per satu orang kampung keluar
panggung.
Masuk Istri Orang Tua, sambil melantunkan syair dari kutipan Tunjuk Ajar Melayu Tennas
Effendi. Dan membawa lukah besar lalu menutup ketiga Aktor Berkacamata, terlihat seperti
terpenjara.
Istri Orang Tua : Siapa suka membinasakan alam
akalnya busuk hatinya lebam.
Orang Tua mengikuti dari belakang istrinya sambil merenjis tepung tawar ke segala properti
yang ada di panggung. Hingga yang terakhir kepada Orang Berkacamata.
Lampu perlahan-lahan redup. Bunyi nafiri bersahutan.
Lampu padam.
Pekanbaru, Oktober 2019