Anda di halaman 1dari 3

K. D. 7.

2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen

Ziarah Para Malaikat

Oleh:
Risda Nur Widia

Cuaca seketika berduka saat terbetik kabar kematian Tokoh Penulis Kita. Waktu kau datang melayat
ke rumahnya, orang-orang berpakaian hitam dengan wajah berkabung sudah berkerumun di pelataran
kediamannya. Langit masygul. Mendung pekat lekat menggantung di atas kepala-kepala manusia
yang berjejal ingin mengantarkan jenazah Tokoh Penulis Kita ke liang peristirahatan terakhir. Akan
tetapi hujan seolah ragu-ragu memuntahkan rinai. Langit seakan juga tak percaya atas kematian
Tokoh Penulis Kita.

“Mengapa orang baik harus mati lebih dahulu?” kata seorang di belakang punggungmu.

“Tuhan mungkin menyayanginya lebih. Orang-orang baik itu dilindungi dari angkara murka dunia!”

“Pasti seluruh keluarganya sangat kehilangan.”

Kembali kau mendengar cerita-cerita mengenai kematian Tokoh Penulis Kita. Kau pun sebenarnya
tidak percaya atas kamatiannya. Akan tetapi siapa tahu tentang takdir. “Kau tahu, ia meninggal setelah
menulis salah satu prosa yang indah.”

“Maksudmu?”

“Dia meninggal setelah menulis prosa-prosa terbaik.”

“Jadi ia meninggal saat menunaikan ibadah prosa?”

“Ya, begitulah!”

Langit bergemuruh. Rinai hujan akhirnya turun. Gerimis menyerapah pelataran rumah Tokoh Penulis
Kita. Orang-orang menepi, mencari tempat berteduh.
Sesekali kau masih mencuri pandang pada air muka Tokoh Penulis Kita yang terbaring di rumah
duka. Tokoh Penulis Kita, dari pandanganmu, tetap segar; bugar memancarkan gelora kehidupan,
walau telah mati. Bahkan kau mengira Tokoh Penulis Kita hanya tidur sesaat; sebelum nanti bangun
lagi melanjutkan tulisannya.

Mendadak seberkas sinar matahari membersit dari gundukan mendung. Gerimis turun bersama kilas
cahaya tipis di langit. Pelan-pelan membasahi pelataran. Tiba-tiba kau ingat sebuah kisah tentang
hujan yang diselingi semburat cahaya matahari. Dahulu ketika kecil mendiang kakekmu pernah
bercerita: Sebersit cahaya matahari yang menyeruak diiring gerimis; di sanalah pertanda ada malaikat
yang sedang ikut berduka atas suatu kejadian. Apakah hujan bersama sinar matahari ini berhubungan
dengan kematian Tokoh Penulis Kita? Mungkin itu hanya bualan. Namun kau sudah dua kali
mengalami peristiwa dramatis seperti itu.

Pertama, saat kakekmu meninggal. Kakekmu memang dikenang sebagai pria yang baik di kampung.
Ia juga imam bagi warga, sehingga banyak orang merasa kehilangan atas kematiannya. Dan yang
membuat acara pemakaman kakekmu sedikit berbeda, sepanjang acara pemakaman ada gerimis
beserta sinar matahari turun bersamaan. Air hujan itu terasa hangat. Pun bila dicecap terasa manis.

Kedua, pada pemakaman Tokoh Penulis Kita. Pria paruh baya itu juga dikenal baik dan bijaksana. Ia
tokoh yang haus ilmu pengetahuan; pembaruan gagasan dan konsep, khususnya di bidang seni dan
budaya. Banyak bukunya menjadi pedoman pembelajaran para mahasiswa di kampus. Dahulu kau
juga menggunakan bukunya untuk penelitian di bidang sastra, sosiologi, dan budaya.

Percakapan dua orang di balik punggungmu kembali berlanjut.

“Kapan Tokoh Penulis Kita dikebumikan?”

“Mungkin nanti siang, setelah zuhur.”

“Oh, apa karena menunggu semua kerabatnya yang tinggal di luar kota?”

“Ya! Seluruh kerabat Tokoh Penulis Kita di Jakarta, Bandung, Solo, Aceh, Kalimatan, bahkan di luar
negeri akan datang.”

“Termasuk para pembaca bukunya seperti kita. Sungguh, Tokoh Penulis Kita sosok yang dirindukan.
Aku jadi ingin seperti dia.”

“Jadilah orang baik, tak pamrih saat menolong. Di mana dan sejauh apa pun berada, kita selalu
dirindukan.”

Kau tersenyum mendengarkan percakapan dua orang itu. Kau berpikir dua orang itu pasti juga sedih
dan merindukan Tokoh Penulis Kita. Karena mereka tak henti membicarakannya sejak tadi. Begitu
pula orang-orang di jejaring media sosial.

*****

Para kerabat dan pembaca karya-karyanya terus berdatangan dari berbagai tempat. Para peziarah pun
kini khusyuk mendoakan Tokoh Penulis Kita dengan mendengungkan ayat-ayat Tuhan. Kau larut
dalam lautan duka. Kau seperti mendengar makrifat ketenangan dari segala ayat itu. Tanpa sadar kau
juga larut; menggumamkan doa-doa terindah untuk melepaskan Tokoh Penulis Kita. Pun terbersit
seulas air mata di tapuk matamu. Pelan. Hangat. Dan terasa memilukan. Tiba-tiba kau merasa sangat
kehilangan. Kau merasa tak rela ditinggalkan sosok itu. Dadamu pun seperti berlubang.

“Tokoh Penulis Kita akan dikebumikan di samping makam ibu dan ayahnya di kampung sebelah?”
Seorang pria mengatakan di atas mimbar setelah selesai mendoakan jenazah.
Mayat pun diangkat menuju pusara yang disiapkan. Sepanjang jalan kau beberapa kali mengerling ke
arah para peziarah. Semua tertunduk muram; berduka, tak rela kehilangan sosok Tokoh Penulis Kita.
Langit makin masygul. Berduyun-duyun orang membopong keranda mayat. Gema ayat-ayat Tuhan
terdengar lantang di sepanjang jalan. Akan tetapi seperti terjadi peristiwa aneh dalam iring-iringan
peziarah itu. Kau merasa di setiap desa yang dilewati bertambah banyak yang bergabung dalam
iringan.

Banyak orang berpakaian hitam dan wajah bersih mengiringi. Wajah para peziarah seperti bercahaya.
Setiap kali memandang langsung ke mata para peziarah itu, kau seperti melihat kedamaian abadi di
sana. Para peziarah asing itu seperti para malaikat yang diutus Tuhan untuk mendatangi seremoni
pemakaman Tokoh Penulis Kita. Para peziarah itu seperti datang dari langit. Lantas kau waktu
melihat semua orang tak dikenal yang juga kehilangan setelah kepergian Tokoh Penulis Kita berpikir:
Apakah orang-orang itu adalah para malaikat yang berkabung dan menjelma menjadi manusia? Kau
hanya ingat Tokoh Penulis Kita acap menulis tentang malaikat. Mungkin sosok-sosok itu benar yang
kini berkabung.

*****

Sesampai di kuburan sebuah liang telah menganga menyambut. Rombongan pemanggul keranda
dengan hati-hati menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita. Kau juga menurunkan tubuh Tokoh Penulis
Kita ke liang lahat. Namun kau tercekat. Tubuh itu sangat ringan. Bahkan seperti tak berisi sama
sekali. Kau bertukar pandang dengan seorang yang menurunkan jazad Tokoh Penulis Kita; bertanya-
bertanya dalam kebisuan hati masing-masing.

Dari dalam pusar pemakaman tercium aroma wangi bunga kamboja. Bahkan kau mendengar
seseorang berkata: Tanah kuburan ini begitu mudah digali. Para penggali kubur hanya seperti
membongkar selembar kertas di sampul buku. Gerimis kembali turun. Doa tak henti mengura.
Sebelum mayat ditimbun tanah, seorang membacakan salah satu kutipan dalam buku Tokoh Penulis
Kita: Karena pola kerja Tuhan tidak berpola, maka kita sebagai barang ciptaan-Nya mencoba
membikin pola-Nya. Hasilnya adalah manusia dikasih kado istimewa: kematian! * Sendu dalam larik
kalimat itu mengawang sunyi. Sampai kemudian hujan cukup lebat menyelesaikan prosesi
pemakaman.

Satu per satu peziarah belingsatan menyelamatkan diri dari amukan hujan. Kau pun lari berteduh. Dan
tanpa menyadari, saat mencoba menyelamatkan diri dari kucuran hujan, ada dorongan mistis yang
menyuruh kau melengos ke belakang. Sekilas sosok-sosok ganjil, berupa bayang-bayang hitam dan
para peziarah asing yang datang secara misterius itu, bertambah; bermunculan dari balik tirai hujan.
Sosok-sosok itu bagai terlahir dari gugur hujan deras. Begitu banyak. Lalu sosok-sosok itu serempak
membacakan sajak untuk Tokoh Penulis Kita. Hujan makin lebat. Semerbak wangi bunga kamboja
pekat mengawang. Sosok-sosok asing itu tetap terpekur di sana; menadahkan telapak tangan. Mereka
seperti berdoa seraya membacakan sajak-sajak Tokoh Penulis Kita.

Akhirnya kau terpekur takjub di bawah hujan, mengawasi keajaiban terjadi. Awan kelam dan hitam
seketika menyibak, langit benderang, dengan sepotong sinar matahari. Cahaya keperakan berpendar;
menyibak awan mendung di atas pusara Tokoh Penulis Kita; kemudian menerangi dengan satu sorot
mirip pertunjukan teater ke arah sosok-sosok asing di pemakaman itu. Kau makin terenyak waktu
mengetahui sesaat hujan terhenti di pemakaman itu; sedangkan di bagian lain hujan mengempas
deras. Napasmu juga makin tersedak saat melihat dari punggung para peziarah asing itu muncul
sayap-sayap yang mengalu hujan; menyibak pula matahari untuk menerangi.

* Mengutip dari buku Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril


** Tulisan ini untuk mengenang Danarto.

Risda Nur Widia, buku tunggalnya Bunga-Bunga Kesunyian (2015), Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti
Mersault (2016), Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing (2018).

Anda mungkin juga menyukai