Anda di halaman 1dari 99

Isi Buku

Sekadar Pengantar Anton Kurnia 7

Suatu Hari di Surga 9 Ryunosuke Akutagawa

Cinta Tak Pernah Mati 15 Honoré de Balzac

Ayah dan Anak 41

Bjornstjerne Bjornson

Varka Hanya Ingin Tidur 47 Anton Chekhov

Maling yang Jujur 59 Fyodor Dostoevsky

Kebajikan
John Galsworthy 86

Tamu Pernikahan 103 O. Henry

Ibunda 111

James Joyce

Hantu Mantan Kekasih 130 Rudyard Kipling


Sekadar Pengantar

Buku seharusnya menjadi sebilah kapak es


yang sanggup memecahkan kebekuan
di dalam diri kita.

—Franz Kafka

DI DALAM antologi Cinta Tak Pernah Mati ini Anda dapat


membaca 17 cerita karya 17 pengarang terkemuka dari
berbagai belahan dunia: Ryunosuke Akutagawa (Jepang),
Honoré de Balzac (Prancis), Bjornstjerne Bjornson
(Norwegia), Anton Chekhov (Rusia), Fyodor Dostoevsky
(Rusia), John Galsworthy (Inggris), O. Henry (Amerika
Serikat), James Joyce (Irlandia), Rudyard Kipling (Inggris),
W. Somerset Maugham (Inggris), Guy de Maupassant
(Prancis), Edgar Allan Poe (Amerika Serikat), August
Strindberg (Swedia), Rabindranath Tagore (India), Leo
Tolstoy (Rusia), Mark Twain (Amerika Serikat), dan Émile
Zola (Prancis). Empat di antara para penulis cerpen dalam
kumpulan ini adalah peraih Hadiah Nobel Sastra yang
disebut-sebut sebagai penghargaan sastra paling bergengsi
di dunia. Mereka adalah Bjornstjerne
Bjornson (1903), Rudyard Kipling (1907), Rabindranath
Tagore (1913), dan John Galsworthy (1932). Cerita-cerita di
dalam buku ini bertutur tentang beragam hal, dari kisah
cinta yang ganjil hingga kisah misteri bernuansa cinta. Kisah-
kisah ini menyiratkan kepada kita bahwa di balik segenap
suka duka kehidupan, sesungguhnya cintalah yang pada
akhirnya akan menyelamatkan kita. Cinta Tak Pernah Mati
merupakan bagian dari rangkaian buku cerpen klasik yang
diterbitkan oleh Serambi sejak awal 2011. Sebelumnya telah
terbit Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada (Leo Tolstoy),
Cinta yang Hilang (O. Henry), Cinta Sejati (Guy de
Maupassant), Pangeran Bahagia (Oscar Wilde), dan
Kenangan Cinta (Anton Chekhov). Penerbitan buku-buku
kumpulan cerpen karya para maestro sastra dunia ini
menandai kepedulian kami terhadap dunia sastra dan
kebudayaan secara luas. Setidaknya, kami berharap buku-
buku ini dapat memperkaya khazanah bacaan sastra di tanah
air serta bermakna dan menjadi ilham bagi khalayak
pembaca—seperti kutipan tulisan Kafka di awal catatan
singkat ini. Salam dan selamat membaca.

Anton Kurnia
Suatu Hari di Surga
Ryunosuke Akutagawa

PADA SUATU hari Sang Budha berjalan-jalan sendirian di tepi kolam teratai di taman
surga. Bunga-bunga teratai bermekaran di kolam itu berwarna putih bagaikan mutiara
dengan putik bunga keemasan dan benang sari di tengah-tengahnya yang menebarkan
aroma memenuhi udara. Saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak Sang Budha berdiri
di tepi kolam, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air
tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. Karena dasar neraka terhampar di bawah
kolam teratai surga, sungai bercabang tiga yang menuju kegelapan abadi dan puncak
Gunung Jarum dapat terlihat melalui kristal permukaan air, bagaikan

sebuah teropong.
Lalu matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar
neraka bersama para pendosa lainnya.
Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah berbuat
banyak kejahatan; membunuh, menjarah, dan membakar rumah-rumah. Namun, ia
memiliki sebuah perbuatan baik. Suatu kali saat ia berjalan di tengah hutan belantara
dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat
kakinya bermaksud hendak menginjak makhluk itu sampai lumat, tetapi tiba-tiba ia
berpikir, “Ah, tidak, tidak. Sekecil ini pun dia mempunyai nyawa. Alangkah
memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan.” Dan dia pun membiarkan laba-
laba itu tetap hidup.
Ketika memandang ke neraka, Sang Budha teringat bagaimana Kandata telah
menyelamatkan kehidupan seekor laba-laba. Dan sebagai balasan atas perbuatan
baiknya itu, dia ingin membantunya keluar dari neraka. Untunglah, saat dia menatap
sekelilingnya, tampak seekor laba-laba surga sedang membuat sarang indah keperak-
perakan yang terbentang di antara dedaunan bunga teratai.
Sang Budha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dengan tangannya.
Dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga
teratai yang berwarna seputih mutiara.

•••
KANDATA TENGAH terpuruk di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Di sana
gelap gulita menyelimuti sekeliling. Kalaupun ada yang berkilau dalam kegelapan, itu
berasal dari kilauan puncak Gunung Jarum yang menakutkan. Kesunyian mencekam di
mana-mana. Satu-satunya yang terdengar hanyalah ratapan samar-samar para
pendosa. Mereka telah mengalami siksaan hebat di neraka sehingga tak mampu lagi
menjerit dengan suara nyaring. Perampok ulung itu terbenam dalam genangan darah,
tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam itu seperti
seekor kodok sekarat. Namun, saatnya telah tiba. Hari ini, ketika Kandata
mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah, ia
melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan menjulur ke arahnya dari arah
surga yang tinggi, berkilatkilat dalam kegelapan yang sunyi, seolah-olah menakut-
nakuti mata manusia. Saat ia melihat benda itu, Kandata bertepuk kegirangan. Jika ia
bisa bergantung pada jaring itu dan memanjat setinggi mungkin maka ia bisa
membebaskan diri dari neraka. Jika semuanya berjalan lancar, ia bahkan bisa
mencapai surga. Itu berarti ia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah.
Secepat pikiran itu melintas di benaknya, diraihnya jaring itu dan digenggamnya erat-
erat dengan kedua tangannya. Ia mulai memanjat dengan segenap kemampuannya.
Bagi seorang mantan perampok ulung, pekerjaan semacam itu bukanlah hal asing.
Namun, tak seorang pun tahu berapa jarak antara neraka dan surga. Walaupun ia
telah berusaha sekuat tenaga, tidak mudah baginya meloloskan diri. Setelah memanjat
selama beberapa waktu akhirnya ia kelelahan dan tak mampu beranjak lebih tinggi
lagi, biarpun hanya seinci. Ia berhenti memanjat dan beristirahat, bergantung pada
jaring itu seraya memandang jauh ke bawah. Setelah memanjat setinggi itu Kolam
Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum hanya berpendar
samar-samar di bawahnya. Jika ia bisa memanjat lebih tinggi lagi, ia pasti akan
terbebas dari neraka. Dengan tangan tergantung pada jaring laba-laba, Kandata
tertawa dan berteriak nyaring, pertama kalinya setelah bertahun-tahun sejak ia
terpuruk di tempat itu. “Berhasil!” teriaknya. Namun, saat ia memandang ke bawah
jaring itu, dilihatnya para pendosa lainnya berduyun-duyun memanjat penuh semangat
mengikuti jejaknya, naik dan terus naik, bagaikan upacara para semut. Saat melihat
hal itu, Kandata terbelalak sejenak dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin
jaring laba-laba yang tipis itu dapat menahan beban sebanyak itu, sementara untuk
menahan beban tubuhnya sendiri pun nyaris putus? Jika jaring itu sampai putus, ia
akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik sejauh itu. Namun,
sementara itu, ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam
Darah dan memanjat sekuat tenaga. Jika ia tak melakukan sesuatu dengan cepat,
jaring itu pasti akan putus dan jatuh, pikirnya. Maka, Kandata menghardik dengan
suara lantang. “Hei, para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku! Siapa yang memberi
izin kalian naik? Turun! Turun!” Tepat pada saat itu, seutas jaring tipis yang sejauh ini
tak menunjukkan tanda-tanda akan putus itu tiba-tiba putus tepat di titik Kandata
tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, ia meluncur deras ke arah kegelapan,
terus melayang, berputar dan berputar. Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring
labalaba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilatkilat, tergantung di langit tak
berawan.

•••

BERDIRI DI tepi kolam teratai di surga, Sang Budha menatap dari dekat semua
kejadian tadi. Saat Kandata terpelanting bagai sebuah batu ke dasar Kolam Darah, dia
meninggalkan tempat itu dan berjalan dengan mimik muka sedih.
Tak diragukan lagi, hati dingin Kandata yang hanya ingin cari selamat sendiri dan
kejatuhan orang itu kembali ke neraka menyedihkan hati Sang Budha. Namun, bunga-
bunga teratai di kolam surga tak ambil peduli pada semua yang baru saja terjadi.
Bunga-bunga putih bak mutiara itu bergoyanggoyang di dekat kaki Sang Budha. Saat
mereka bergoyang perlahan, dari putik bunga berwarna keemasan di tengah-
tengahnya, meruap aroma memenuhi udara.
Saat itu hari telah menjelang siang di surga.•
RYUNOSUKE AKUTAGAWA (1892-1927) adalah pengarang terkemuka Jepang.
Karya legendarisnya, sebuah cerpen berjudul Rashomon, sukses difilmkan oleh
sutradara ternama Akira Kurosawa. Ia lahir di Tokyo dan kemudian meraih gelar
sarjana dalam bidang sastra Inggris. Sebelum men
jadi penulis sepenuh masa,
ia sempat berprofesi sebagai
guru. Karya-karya Akutagawa telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Akutagawa
yang tewas bunuh diri, kini diabadikan namanya sebagai hadiah sastra tahunan
paling bergengsi di
Jepang.
Cinta Tak Pernah Mati

Honoré de Balzac

“KESELURUHAN PERTUNJUKAN itu mengerikan!” jeritnya. Kami baru saja menyaksikan


pertunjukan binatang oleh Pak Martin. Ia ‘bekerja dengan dubuk’ dalam mempertontonkan
kebolehannya pada pertunjukan itu. “Bagaimana ia berpikir bisa menjinakkan binatang-
binatang itu sehingga ia yakin mereka mencintainya?” lanjutnya. Aku merasa harus
mengatakan sesuatu. “Apa yang sepertinya menjadi masalah bagimu sebenarnya sesuatu
yang sangat alamiah.” “Oh!” serunya tak percaya. Lalu dia tersenyum kepadaku. “Kau pikir
binatang-binatang itu tidak memiliki hasrat?” Aku bertanya kepadanya. “Sebenarnya justru
sebaliknya. Mereka memiliki perasaan-perasaan seperti kau dan aku.” Dia menatapku
seakan-akan dia tak bisa memercayaiku. “Bahkan,” lanjutku, “pertama kali aku melihat Pak
Martin, aku merasakan hal yang sama sepertimu. Aku bersikap sepertimu juga, tetapi
kemudian aku memandang ke sekelilingku. Aku mendapati diriku bersebelahan dengan
seorang tentara tua yang kaki kanannya telah diamputasi. Wajah tirusnya terlihat menarik.
Itu salah satu raut wajah yang tertulis dalam cerita tentang pertempuran-pertempuran
Napoleon. Dan lelaki tua itu memiliki tampang riang dan jujur yang selalu ingin kulihat. “Tak
diragukan lagi ia orang yang tidak mudah terkejut. Ia seperti jenis lelaki yang mampu
berdiri dan tertawa di tengah-tengah peperangan. Ia seperti salah satu dari sekian banyak
orang yang tidak membuang-buang waktu untuk berpikir terlalu banyak. Tahukah kau jenis
lelaki semacam itu? Ia tidak akan merasa takut untuk berteman dengan setan sekalipun.
“Seusai kami berdua menyaksikan pertunjukan Pak Martin, aku secara khusus menyatakan
keberanian si pelatih yang luar biasa melatih binatangbinatang itu. Si tentara tua itu
tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya merasa lebih tahu tentang sesuatu dan berkata,
‘Itu mudah dipahami.’ “‘Apa maksud Anda?’ tanyaku. ‘Maukah Anda berbaik hati
menjelaskannya kepadaku?’
“Kami berbincang-bincang selama beberapa menit dan saling memperkenalkan diri. Lalu
kami pergi untuk makan di restoran pertama yang kami temui. Sebagai makanan penutup,
kami memesan sebotol sampanye. Minuman itu membantu mencerahkan ingatan si tentara
tua. Saat ia menyelesaikan ceritanya, aku harus menyatakan bahwa ia benar. Seperti yang
diucapkannya, ‘Itu mudah dipahami.’”
Aku baru saja mengantarkan teman perempuanku hingga ke depan pintu rumahnya.
Sekarang dia memintaku untuk menceritakan kepadanya kisah itu. Dia menjanjikan banyak
hal yang membuatku menyetujui usulnya. Keesokan harinya, aku bercerita kepadanya
tentang kisah yang akan kuceritakan kepada Anda semua ini. Ada yang memberinya judul
“Seorang Lelaki Prancis di Mesir”.

•••

SAAT PERANG di daerah perbukitan Mesir, seorang tentara Prancis jatuh ke tangan tentara
Arab. Mereka membawanya ke tengah gurun pasir melalui beberapa air terjun Sungai Nil.
Para tentara Arab itu ingin segera pergi sejauhjauhnya dari pasukan Prancis. Untuk
melakukannya mereka memaksa barisannya bergerak lebih cepat, beristirahat hanya pada
malam hari. Mereka tidur di dalam tenda di sekitar sebuah sumur, dikelilingi pohon-pohon
kurma. Di bawah naungan pohonpohon ini, mereka telah menyembunyikan persediaan
perbekalan. Mereka sama sekali tak menduga bahwa tawanan mereka bisa melarikan diri
di gurun pasir. Karena itu, mereka hanya mengikat tangannya dan membiarkannya
sendirian. Setelah menyantap beberapa butir kurma dan mengurus kuda-kuda mereka,
pasukan Arab ini tidur. Tak lama kemudian, si tentara pemberani melihat kesempatan
bahwa musuh-musuhnya sudah tidak mengawasinya. Ia menggunakan giginya untuk mencuri
sebilah pedang. Lalu, ia menjepit pedang itu di antara kedua lututnya dan memotong tali
yang mengikat kuat pergelangan tangannya. Begitu tangannya terlepas, si tawanan
mengambil sepucuk senapan dan sebilah belati. Kemudian, ia mengambil sekantung kurma
kering, gandum dan beberapa butir peluru. Ia mengikatkan sebilah pedang di pinggangnya
dan melompat ke punggung salah seekor kuda. Dalam sekejap ia melesat menjauh. Ia
berkuda secepat yang ia mampu ke arah pasukan Prancis berada. Tentara itu sangat ingin
kembali ke pasukannya sehingga ia memacu kudanya terlalu kencang. Akhirnya hewan
malang itu roboh dan mati. Sekarang lelaki Prancis itu tinggal sendirian di gurun pasir yang
amat luas dan lengang. Selama beberapa waktu ia berjalan di hamparan pasir. Ia
membangkitkan seluruh nyalinya sebagai seorang tawanan yang melarikan diri. Namun,
pada akhirnya ia harus berhenti seiring tenggelamnya matahari. Ia menatap ke arah langit
malam yang indah. Untung saja ia telah sampai di sebuah bukit kecil dengan pepohonan
kurma di atasnya. Melihat dari kejauhan, kehijauan kurma-kurma itulah yang telah
memberikan sebersit harapan baginya meskipun ia kemudian merasa tidak cukup kuat
untuk terus berjalan. Ia begitu kelelahan sehingga terkapar di atas sebongkah batu besar.
Bongkahan batu itu berbentuk seperti selembar kasur tenda. Di situ ia tertidur pulas tanpa
sempat berpikir untuk menyembunyikan diri. Ia telah melakukan tindakan yang paling
berani dalam hidupnya walaupun pikiran terakhirnya itu menjadi salah satu penyesalan. Ia
kini merasa kecewa karena telah meninggalkan pasukan Arab yang menawannya. Kini saat
ia sendirian dan tanpa bantuan, kehidupan mereka sebagai kaum pengelana seakan-akan
mencemoohnya. Tentara itu terbangun oleh sinar matahari. Sinarnya yang terik jatuh tepat
di atas bongkahan batu dan membuatnya menjadi sangat panas. Ia telah bertindak sangat
tolol! Mengapa ia menggunakan bongkahan batu itu sebagai tempat tidur di tempat
pepohonan tak bisa memunculkan bayangan pagi hari? Sekarang ia menatap pepohonan itu
dan bergidik. Demi melakukan sesuatu yang harus dilakukannya, ia menghitung pohon-
pohon kurma itu. Lalu ia menatap sekelilingnya dan merasakan sapuan keputusasaan yang
mengerikan. Di belakangnya terbentang lautan pasir tanpa batas. Gurun pasir yang gelap
tampak terhampar lebih luas lagi dari yang bisa dilihatnya ke arah mana pun. Hamparan itu
berkilau seperti besi yang disorot seberkas cahaya menyilaukan.
Baginya saat itu gurun pasir telah menjelma seperti sebuah samudra yang terbuat dari
cermin. Atau seperti hamparan beberapa danau yang meleleh bersamaan dalam sebuah
cermin. Dan langit di atas gurun bercahaya dengan anehnya. Seolah-olah langit dan bumi
sedang terbakar.
Keheningan gurun pasir itu mengerikan, liar, dan menakutkan. Sekarang seluruh jagat
raya seakan tertutup untuknya dari segala sisi. Tak ada segugus awan pun di langit, tidak
ada seembus napas pun di udara. Cakrawala tampak seperti di tengah laut saat hari cerah.
Hanya ada segaris cahaya—lurus dan tak berampun bagaikan goresan sebilah pedang.
Tentara itu melingkarkan lengannya di sekeliling sebatang pohon kurma. Ia memeluknya
seakan batang itu adalah tubuh seorang sahabat. Di antara bayangan tipis yang ditimbulkan
pepohonan tinggi itu, ia menangis tersedu. Ia memikirkan pemandangan di belakangnya
dengan kesedihan yang mendalam. Lalu ia menjerit keras-keras untuk mengukur kesunyian.
Suaranya lenyap di kekosongan bukit. Hanya terdengar sayup-sayup dan tak bergema sama
sekali. Gema yang ia dengar hanyalah yang datang dari jantungnya sendiri. Sang tentara
saat itu baru berusia dua puluh dua tahun. Perlahan ia mengisi senapannya.
“Akan ada cukup waktu untuk itu,” ujarnya pada dirinya sendiri. Lalu ia meletakkan
senapannya di tanah. Mungkin hanya senapan itulah yang bisa membawa kedamaian
baginya. Memandangi gurun yang sunyi, si tentara memimpikan negeri asalnya. Dalam
angannya, ia menyenangi aroma selokan-selokan Paris. Ia mengingat kota-kota yang
dilewati pasukannya. Ia memikirkan wajah teman-teman sepasukannya. Detail terkecil dari
kehidupan masa lalunya muncul kembali dalam ingatannya. Ia bahkan mengingat batu-batu
di jalanan kampung halamannya tercinta. Ia membayangkan bahwa ia bisa melihatnya saat
itu di bawah kakinya. Lalu tiba-tiba ia terbangun dari angan-angannya. Ia mengetahui
bahwa semua itu hanyalah khayalannya—dan ia ketakutan karenanya. Untuk menggugah
diri sendiri, ia lari menuruni sisi lain bukit. Di sana ia menemukan sebuah gua. Di dalamnya,
ia menemukan sisa-sisa selembar permadani tua. Ada orang lain yang pernah tinggal di sini!
Dalam jarak tak begitu jauh, ia melihat beberapa pohon kurma yang berbuah lebat.
Perlahan-lahan keinginan untuk tetap hidup bangkit kembali di hatinya. Harapan menyeruak
dengan cepat. Ia memutuskan hidup lebih lama lagi untuk bisa mendengar kembali letusan-
letusan meriam. Saat ini pasukan Napoleon seakan sedang mengalahkan pasukan Arab.
Cita-cita ini memberinya kehidupan baru. Pohon kurma itu seolah merunduk karena
beratnya buah-buah matang yang menggantung. Ia menggoyangkan beberapa di antaranya
hingga berjatuhan. Ketika ia mencicipi buah-buah kurma itu, ia merasa yakin bahwa
seseorang telah memelihara pohonpohon kurma tersebut. Kenikmatan dan rasa segar buah
kurma itu yang membuktikannya. Pikirannya beralih seketika dari keputusasaan yang gelap
menjadi rasa senang yang wajar. Lagi-lagi tentara itu mendaki puncak bukit. Di sana ia
menghabiskan waktu seharian untuk memotong-motong sebatang pohon kurma. Selama ia
bekerja, ingatan yang samar membuatnya berpikir tentang binatang-binatang gurun. Ia
berpikir bahwa mereka bisa muncul untuk minum di mata air. Untuk melindungi dirinya dari
kedatangan mereka, ia menempatkan serupa pembatas antara dirinya dengan mata air.
Terlepas dari kerja keras dan ketakutannya, ia tidak mampu memotong batang kurma itu
menjadi bilah-bilah kecil. Ia hanya mampu menebangnya. Suara pohon yang roboh
terdengar hingga jauh dan bergema. Terdengar bagaikan sebuah tanda di kesunyian.
Sekarang si tentara menggigil. Ia merasa bahwa suara itu seperti tanda bahaya. Namun, ia
seperti seorang pewaris yang tidak akan berduka terlalu lama untuk kematian orangtuanya.
Dengan cepat ia mengoyak dedaunan dari pohon itu. Ia menggunakannya untuk membuat
kasur tempat alas tidur. Lalu, merasa kelelahan karena sudah bekerja keras dan panas yang
terlalu menyengat, ia tertidur lelap di bawah tirai-tirai merah guanya yang basah. Pada
tengah malam, kelelapan tidurnya terganggu. Ia terduduk tegak saat mendengar sebuah
suara aneh dan mengerikan. Namun, kini kesunyian di sekelilingnya terisi suara napas yang
terdengar ganjil. Ia yakin napas itu bukan berasal dari seorang manusia. Perasaan ngeri
yang amat kuat dalam dirinya diperburuk kegelapan, kesunyian, dan khayalannya sendiri.
Jantungnya terasa membeku di dalam tubuhnya. Tentara itu merasa rambutnya berdiri
meremang. Sambil menajamkan matanya sekuat yang ia mampu, ia memandang berkeliling.
Akhirnya, lewat bayang-bayang samar ia melihat sepasang sinar kuning. Pada mulanya, ia
menduga sinar-sinar itu hanyalah khayalannya saja. Namun, lambat laun ia mampu
mengenali dengan lebih jelas benda-benda di sekelilingnya. Sekarang ia dapat melihat
seekor binatang besar berbaring hanya berjarak dua langkah darinya. Apakah itu seekor
singa, harimau, atau buaya? Tentara itu bukan orang yang amat terpelajar. Ia tidak tahu
binatang jenis apakah itu. Itu justru membuatnya semakin ketakutan. Ketidaktahuannya
malah membuatnya membayangkan berbagai kengerian sekaligus. Sekarang ia merasakan
sebuah siksaan yang kejam. Tanpa berani bergerak, ia menghitung setiap kesempatan
dalam desahan napas binatang itu.
Semacam bebauan mengisi gua itu. Aroma itu seperti bau seekor rubah, tetapi lebih
menyengat. Saat si tentara membayangkannya, teror yang dirasakannya sampai ke
puncaknya. Ia tidak mampu lagi meragukan kenyataan bahwa sesosok teman yang
mengerikan berada sangat dekat dengannya. Sekarang baru disadarinya bahwa gua itu
sudah menjadi milik makhluk tersebut sebelum ia sendiri menemukannya.
Setelah beberapa lama kemudian cahaya bulan yang terang menerobos masuk ke dalam
gua. Saat itulah si tentara bisa melihat mantel bintik-bintik seekor macan—seekor macan
gurun.
Menggulungkan tubuhnya seperti seekor anjing besar, macan tutul itu terlelap. Matanya
terbuka beberapa saat dan kemudian menutup lagi. Wajahnya berbalik menghadap si lelaki.
Ribuan pikiran penuh kebingungan terlintas di benak si tentara. Pertama, ia berpikir untuk
membunuh binatang itu dengan sebutir peluru dari senapannya. Namun, ia melihat bahwa
saat itu jaraknya tidak cukup untuk melakukan bidikan jitu. Tembakannya tentu saja akan
meleset.
Namun, bagaimana jika binatang itu terbangun? Pikiran itu membuat lengan dan kakinya
kaku. Ia mendengarkan jantungnya sendiri berdegup di kesunyian. Ia mengutuk
dentumannya yang keras. Apa yang terjadi jika degup jantungnya mengusik binatang yang
tertidur itu? Ia tidak akan punya waktu untuk melarikan diri!
Dua kali ia meletakkan tangan di pegangan pedangnya. Haruskah ia menebas kepala
musuhnya itu? Namun sulitnya memenggal kepala berambut pendek dan kaku seperti itu
membuat si tentara membatalkan rencana nekatnya. Salah sedikit saja berarti kepastian
atas kematiannya. Ia berpikir akan lebih baik jika yang terjadi sebuah perkelahian
seimbang. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu hingga pagi. Namun, ternyata pagi
datang dengan cepat. Tak tersisa waktu lama baginya untuk menunggu. Tentara itu kini bisa
memandangi macan itu dengan jelas. Ia melihat hidung dan moncongnya yang belepotan
darah. “Dia telah mendapatkan makan malam yang nikmat,” pikirnya. Tidak terpikirkan
olehnya bahwa binatang itu mungkin saja telah berpesta dengan daging manusia. “Dia tidak
akan kelaparan saat terbangun nanti.” Macan itu seekor betina. Bulu-bulu di perut dan
panggulnya putih berkilauan. Bintik-bintik kecil membentuk gelang cantik mengelilingi
kakinya. Ekornya juga berwarna putih, tampak dihiasi cincin-cincin kehitaman. Bagian atas
tubuhnya berwarna kuning keemasan. Binatang itu tampak sangat anggun dan selembut
beludru. Bintik-bintik di tubuhnya menjadikannya amat berbeda dengan jenis kucing lainnya.
Binatang cantik itu tampak damai dan sekaligus menakutkan. Dia mendengkur dengan
anggun seperti seekor kucing yang terbaring di atas sofa. Cakar-cakarnya yang berlumuran
darah terjulur keluar. Raut wajahnya yang tegas dan terang, dihiasi kumis tipis. Kumis itu
secantik benang-benang perak. Jika macan itu berada dalam kurungan, tentara itu akan
mengagumi keanggunannya. Ia mungkin akan menikmati warna-warni cantik yang
menyelimutinya seperti penampilan seorang anggota keluarga kerajaan. Namun, ia terlalu
repot untuk merasakan apa pun, kecuali rasa takut. Meskipun terlelap, keberadaan sang
macan memang cukup menakutkan. Makhluk itu memunculkan efek-efek tertentu pada si
lelaki. Efek yang sama seperti sorot mata ular yang menatap burung bulbul. Sejenak
keberanian si tentara mulai rontok. Ia tidak akan begitu ketakutan jika ia harus berhadapan
dengan moncong meriam. Namun, sejenak sebersit pikiran berani memberi cahaya ke
dalam jiwanya. Pikiran ini menghentikan bulir-bulir keringat dingin yang mengucur di
keningnya. Layaknya orang-orang yang sedang menghadapi kematian, ia memutuskan untuk
menjalani nasibnya dengan penuh kehormatan hingga akhir. “Tentara Arab bisa saja telah
membunuhku,” pikirnya. Jadi bukankah itu sama saja berarti ia sudah mati? Sekarang ia
memutuskan untuk menunggu dengan berani—dan menggerakkan rasa ingin tahunya—
hingga macan itu terbangun. Ketika matahari menampakkan diri, macan itu sekonyong-
konyong membuka matanya. Dia me

rentangkan cakar-cakarnya dengan sekuat tenaga. Sepertinya dia meregangkan cakarnya


untuk menghilangkan pegal. Kemudian dia menguap, memperlihatkan taringnya. Lidahnya
yang terjulur keluar terlihat sekasar sebilah kikir. “Si mungil yang manis,” pikir si tentara,
mengawasi macan itu bergulung dengan lembut. Dia menjilati darah yang melumuri cakar
dan mulutnya lalu meregangkan kepala dengan sebuah gerakan halus dan indah. “Baiklah,
jalani semua rutinitas pagimu,” ujar si tentara pada dirinya sendiri. “Saat kau siap, kita akan
saling mengucapkan selamat pagi.” Lalu ia mengambil belati kecil dan pendek yang
dirampasnya dari tentara Arab. Seketika itu, macan itu memutar kepalanya menghadap si
lelaki. Dia menatap tentara itu tanpa bergerak sedikit pun. Pancaran mata macan betina itu
membuatnya bergidik, khususnya saat hewan itu mulai berjalan mendekatinya. Namun, si
tentara balas menatap sang macan dengan tatapan penuh kelembutan. Ia menatap ke dalam
matanya seperti sedang berharap ia mampu menghipnosis si macan. Tentara itu
membiarkan sang macan berjarak amat dekat dengannya. Lalu, dengan lembut ia
mengusapkan tangannya ke seluruh bagian tubuh si macan. Itulah saat-saat penuh cinta dan
kelembutan, seolah-olah lelaki itu sedang merangkul orang yang dicintainya. Ia menyentuh
sang macan betina dari kepala hingga ekornya, menggaruk lembut tulang belakang yang
membelah punggung kuningnya. Binatang itu menggoyangkan ekornya perlahan. Sorot
matanya meredup. Ketika si tentara mengeluselusnya untuk ketiga kalinya, dia mulai
mendengkur. Dengkuran ini sama sekali tak sama dengan dengkuran kucing rumahan.
Dengkurannya datang dari sebentuk kerongkongan yang kuat, menggema di dalam gua itu
seperti bunyi orgel di dalam gereja.
Lelaki itu paham benar pentingnya perilaku penyayangnya. Dengan cepat ia memberikan
macan itu perlakuan lebih. Ketika ia merasa yakin bahwa macan betina itu tidak akan
menyerangnya, ia beranjak untuk keluar dari gua. Macan betina itu membiarkannya lewat.
Namun, saat ia mencapai puncak bukit, ia melihat macan betina itu melompat maju di
belakangnya. Binatang besar itu berlari dengan ringan laksana burung gereja melompat-
lompat dari dahan ke dahan. Lalu, macan itu menggosokkan tubuhnya pada kaki-kaki si
tentara. Dia melengkungkan punggungnya seperti yang dilakukan semua jenis kucing. Lalu
dia menatap tamunya. Pijaran matanya tampak melembut sedikit. Aumannya menghasilkan
suara yang oleh sebagian orang akan dibandingkan dengan ungkapan salam sebuah
perjumpaan.

“Dia benar-benar suka dielus-elus,” ujar si tentara, tersenyum. Ia kemudian cukup berani
untuk bermain-main dengan telinga sang macan. Lalu, ia menggosok perutnya dan
menggaruk kepala besarnya sekuat-kuat

nya.
Ketika ia melihat bahwa macan betina itu menyukainya, ia menggelitik tulang kepala si
macan dengan ujung belatinya. Saat itu ia melakukannya seraya melihat momen yang tepat
untuk membunuh si betina. Namun, kerasnya tulang-tulang sang macan membuatnya gugup.
Ia tidak merasa yakin mampu menebas tulang-tulang yang keras itu. Ratu gurun itu bersikap
sangat anggun kepada budak barunya. Dia mengangkat kepalanya, meregangkan lehernya,
dan memperlihatkan rasa senangnya dengan tindak tanduknya yang tenang. Tibatiba saja si
tentara mengetahui bahwa hanya ada satu cara untuk membunuh tuan putri yang buas ini
dengan satu kali tebasan. Ia harus memenggal lehernya. Tentara itu mengangkat belatinya.
Namun, kemudian si macan betina membaringkan dirinya dengan anggun di kaki si tentara.
Dia menatap lelaki itu dengan tatapan lugu dan niat baik. Tentara malang itu menyantap
buah kurmanya, bersandar ke salah satu pohon kurma. Ia terus menatap ke arah gurun dan
macan betina itu berganti-ganti. Apa yang harus dilakukannya? Macan itu melihat ke arah
biji-biji kurma berjatuhan. Setiap kali si tentara itu melemparkan sebutir biji kurma, mata
macan betina itu berkilat menakutkan. Dia menatap lelaki itu dengan pandangan yang nyaris
penuh cinta. Ketika si tentara menyelesaikan santapannya, ia lalu meregangkan kakinya.
Macan betina itu menjilat sepatu bot si tentara dengan lidahnya yang kasar dan kuat.
Dengan sangat terampil dia menghapus semua kotoran yang terkumpul di celah-celahnya.
“Ah, tapi apa jadinya jika dia benar-benar kelaparan!” pikir si tentara. Ia menggigil
membayangkan kemungkinan itu. Namun, kemudian ia mulai mempelajari si macan. Dia
sudah pasti sesosok makhluk cantik di antara jenisnya. Ia menaksir macan betina itu
tingginya satu meter dan panjangnya satu setengah meter, tidak termasuk panjang ekornya.
Ekor yang kuat, bundar seperti sebuah tongkat pemukul, panjangnya hampir semeter juga.
Kepalanya, sebesar kepala seekor singa, memiliki bentuk aneh yang berkesan murni dan
lembut. Memang benar bahwa sebentuk kekejaman yang buas dari seekor macan tampak
juga di wajahnya. Namun, di wajah itu juga tampak sesuatu yang menyerupai raut seorang
perempuan cantik. Memang, ratu yang kesepian ini memiliki sesuatu di wajahnya seperti
seorang Nero si pemabuk. Dia telah memuaskan dirinya sendiri dengan darah—dan
sekarang dia ingin bermain-main. Tentara itu berusaha berjalan naik turun dan si macan
betina seolah-olah membiarkannya melakukan itu. Dia tampak cukup bahagia dengan hanya
mengikuti si lelaki lewat tatapan matanya. Tampaknya saat itu, dia agak mirip seekor anjing
yang setia daripada seekor kucing anggora besar. Dia mengawasi setiap gerakan yang
dibuat tuannya.
Ketika ia memandang berkeliling, si tentara melihat sisa-sisa kudanya di dekat mata air.
Macan itu telah menyeret tubuh kudanya sampai ke situ! Sekitar dua pertiga dari kuda
malang itu telah dimangsanya. Pemandangan tersebut membuat si tentara merasa sedikit
nyaman. Makanan si macan menjelaskan mengapa ia tidak melihat si macan betina itu
sebelumnya. Itu juga menjelaskan rasa hormat yang dimiliki si macan kepadanya ketika ia
tertidur. Ia menyadari bahwa ia telah sangat beruntung. Sekarang ia memiliki satu harapan
gila bahwa ia akan mampu menjinakkan macan betina itu. Sepanjang hari hal itulah yang
coba dilakukan si tentara, sedangkan macan betina itu tetap bersikap anggun. Ketika ia
berjalan kembali ke arah sang macan, ia merasakan kesenangan luar biasa demi melihat
goyangan ekor si betina. Lalu, tanpa rasa takut, ia duduk tepat di samping sang macan.
Mereka mulai bermain bersama. Ia memegangi cakar dan wajahnya, menarik telinganya,
dan memukul panggulnya yang hangat. Si macan membiarkannya melakukan apa pun yang
disukai lelaki itu. Ketika ia menepuk rambut di kaki si macan, dia dengan berhati-hati
menarik kuku-kukunya masuk. Sambil tetap menggenggam belatinya di salah satu tangan,
lelaki itu berpikir ia akan membenamkan belati itu ke perut si betina. Namun, ia merasa
ketakutan. Bisa saja macan itu menyerangnya sebagai perlawanan terakhir. Lagi pula, ia
merasakan semacam rasa segan yang berkembang di hatinya pada makhluk yang tak
mencelakainya itu. Betapa aneh! Di sini di gurun pasir tak berbatas, ia seakan menemukan
teman. Entah bagaimana macan itu membuatnya memikirkan jantung hatinya yang pertama.
Ia menjuluki gadis itu “Mignonne” yang berarti mungil dan lembut, si mungil tercinta.
Julukan itu sebuah gurauan antara mereka karena gadis itu selalu cemburuan. Saat
merajuk, dia terkadang mengancam si tentara dengan sebilah belati kecil. Saat ini cinta dan
ketakutan yang dimilikinya kepada si macan menyodorkan julukan yang sama. Tak lama
setelah ia mulai memanggil si macan dengan sebutan “Mignonne”, macan betina itu mulai
menjawab panggilan tersebut. Kala matahari terbenam, Mignonne mengaum dengan dalam
dan bernada sedih. “Dia telah dibesarkan dengan baik,” pikir si tentara. “Aku yakin dia
sedang mengucapkan doa-doanya!” Namun, gurauan ini hanya muncul ketika ia melihat
betapa damainya sang teman. “Mari, sayangku yang mungil. Aku akan membiarkanmu
terlelap lebih dulu,” katanya pada si betina. Namun, sesungguhnya ia sedang memikirkan
kekuatan tungkai-tungkainya sendiri. Ia berencana melarikan diri secepat mungkin setelah
macan betina itu tertidur pulas. Di tempat yang sangat jauh ia berharap dapat menemukan
tempat berlindung lainnya untuk

melewatkan malam.
Tentara itu menunggu. Ketika ia mendengar macan itu mendengkur, ia berjalan ke arah
Sungai Nil. Namun belum sampai satu kilometer ia pergi ketika didengarnya suara macan
itu berlari mengejarnya. Dia mengaum dengan tatapan mata seolah-olah sedang menangis
yang bahkan lebih menakutkan daripada geramannya. “Ah!” ujar lelaki itu. “Dia betul-betul
menyukaiku. Mungkin dia belum pernah bertemu manusia sebelumnya. Aku cukup
tersanjung mendapatkan cinta pertamanya.” Beberapa saat kemudian, tentara itu
terjerumus ke dalam pasir isap yang mengerikan. Tak mungkin menyelamatkan diri dari
lubang yang membenamkan ini. Merasa dirinya terjebak, ia memekik penuh rasa ngeri.
Macan itu menggigit bagian kerah baju si tentara dengan gigi-giginya. Lalu, seraya
melompat dengan kuat ke belakang, dia menarik lelaki itu keluar dari pusaran pasir itu
seperti sulap. “Ah, Mignonne!” seru si tentara, membelai punggung lembutnya. “Sekarang
kita akan terikat bersama sehidup semati!” Lalu ia kembali bersama macan betina itu ke
dalam gua. Sejak saat itu, gurun itu tidak lagi terasa begitu sunyi bagi si lelaki. Sekarang
ada sesosok makhluk yang bisa diajaknya bercakap-cakap. Perlahan-lahan macan betina itu
berhasil dijinakkannya. Bahkan dirinya sendiri tidak mampu menjelaskan hubungan

persahabatan mereka yang agak ganjil itu. Sekuat keinginan tentara itu untuk tetap terjaga,
secepat itu pula ia tertidur lelap. Ketika ia terbangun, ia tidak mendapati Mignonne. Ia
berjalan ke arah puncak bukit. Di kejauhan, ia bisa melihat macan betina itu melompat-
lompat ke arahnya. Saat dia tiba, lelaki itu melihat taring-taringnya berlumuran darah. Ia
membelai macan itu dengan penuh kasih sayang. Dengan dengkuran-dengkuran senang
macan itu menunjukkan betapa bahagianya dia melihat lelaki itu lagi. Matanya bergerak
menatap si tentara. Sepasang mata itu bahkan menjadi tampak lebih lembut daripada hari
sebelumnya. Sekarang ia berbicara pada macan itu layaknya ia berbicara pada seekor
binatang jinak. “Ah! Manis, kau benar-benar seorang gadis yang manis, ya? Lihatlah itu! Kita
jadi seperti dipasangkan, bukan? Nah, begitu, itu baru namanya kekasih!” Macan betina itu
membiarkan si tentara bermain-main dengannya seperti seekor anjing dengan tuannya. Dia
membiarkan tubuhnya digulingkan, ditindih, dan dipukuli. Dan terkadang dia sendiri akan
menempelkan cakarnya di tubuh lelaki itu secara bercanda dan bersahabat. Beberapa hari
terlewati dengan perilaku seperti ini. Persahabatan ini memungkinkan si tentara lebih
menghargai keindahan luar biasa gurun tersebut. Sekarang ia memiliki banyak persediaan
untuk dimakan dan sesosok makhluk hidup untuk menemaninya. Hidup jadi kembali menarik.
Suasana sunyi memungkinkan lelaki itu mengetahui semua rahasia sang macan betina. Itu
menyelimutinya dengan segala kesenangan si macan. Saat terbit dan tenggelamnya
matahari ia menemukan pemandangan-pemandangan yang tak diketahui dunia. Ia tergetar
dalam kesenangan saat mendengar desis kepak sayap burung di atas kepalanya. Burung-
burung yang melintas amat jarang!
Ia semakin menghargai pemandangan berupa gumpalan awan dan perubahan warnanya
yang beraneka rupa. Selama berjam-jam ia akan memandangi awan-awan itu membaur satu
sama lain. Pada malam hari ia mempelajari bagaimana bulan terlihat di atas hamparan
lautan pasir. Ia menyaksikan angin telah membuat gelombang-gelombang yang bergerak
cepat dan berubah-ubah. Terkadang pasirpasir yang berputar tampak seperti memerah dan
kabut kering melintasi daratan. Setiap malam ia akan menyambut semua itu dengan rasa
senang. Untuk kemudian ia menyaksikan gemerlap bintang-bintang dan mendengarkan
musik bayangan di langit.
Kesunyian juga mengajarkannya untuk menyingkap kekayaan mimpi-mimpinya. Ia
melewatkan seluruh waktunya untuk hampir tidak mengingat apa pun dan membandingkan
kehidupannya yang sekarang dengan masa lalunya.
Akhirnya ia menumbuhkan rasa senangnya kepada sang macan dengan penuh gairah—
semacam rasa cinta kasih. Seakan-akan itu amat penting dalam hidupnya.
Untuk beberapa alasan yang ia sendiri tak cukup paham, macan itu menghormati
kehidupan si lelaki. Ia mulai tidak merasa takut lagi terhadap macan betina itu yang tampak
begitu baik dan jinak. Tentara itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur.
Namun, itu adalah tidur seekor laba-laba di dalam jaringnya sendiri. Selalu ia awasi dari
dekat kemungkinan munculnya kesempatan baginya untuk melarikan diri. Jika terlihat
seseorang melewati garis yang dibuat cakrawala maka ia tak akan melewatkannya. Ia telah
memanfaatkan kausnya untuk dibuat bendera. Kaus itu digantung di ujung sebuah pohon
kurma yang daun-daunnya telah dirontokkannya. Ia menggunakan tongkat kecil untuk
membuat kaus itu tetap terbentang karena angin tidak selalu bertiup. Ia ingin merasa yakin
bahwa pelancong yang lewat akan melihat dengan jelas kaus itu. Berjam-jam sudah lewat
ketika ia mulai kehilangan harapan. Itulah saat ketika ia menghibur diri dengan si macan. Ia
telah belajar mendengarkan suara berbeda-beda yang keluar dari mulut macan betina itu.
Dan sekarang ia memahami semua ekspresi yang terpancar di matanya. Mignonne bahkan
tidak pernah marah ketika ia memegangi ekornya untuk menghitung cincin hitamnya. Cincin-
cincin itu berkilauan terkena sinar matahari seperti perhiasan. Amat menyenangkan
baginya mempelajari garis-garis anggun di tubuh macan betina itu. Namun, ketika macan itu
bermain, ia merasa lebih senang lagi memandanginya. Melihat betapa luar biasa ringan
gerakannya selalu membuatnya terheran-heran. Ia mengagumi cara macan itu melompat
dan mendaki, mencuci diri, dan menyuarakan dengkurannya. Ia bahkan sangat suka melihat
macan itu merunduk dan bersiap menerkam. Tanpa memedulikan apa yang sedang
dilakukannya, si macan akan menjawab jika dipanggil dengan sebutan “Mignonne”. Satu
hari, pada suatu siang yang terik, seekor burung besar terbang melintas di udara. Lelaki itu
meninggalkan macannya untuk memandangi tamu barunya. Namun, setelah menunggu
beberapa saat, Mignonne menggeram dalam. “Ya, Tuhan! Aku sungguh-sungguh yakin dia
sedang cemburu!” pikir si tentara. “Seolah-olah roh dari kekasih yang terdahulu telah
merasuki tubuh macan itu.” Elang itu menghilang di udara saat si tentara mengagumi
lengkungan tubuh si macan. Tampak sosok itu begitu muda dan bentuk tubuhnya yang
anggun! Dia tampak sangat cantik layaknya seorang perempuan! Bulu-bulu pirang di
punggungnya tumbuh subur dengan bintik-bintik putih samar di kakikakinya. Si lelaki dan
macan betina itu saling menatap penuh arti. Macan betina itu gemetar saat dia merasakan
temannya mengelus kepalanya. Matanya berpijar seperti halilintar. Lalu macan betina itu
mengatupkan kelopak matanya kuat-kuat. “Dia punya jiwa,” ujar si lelaki, menatap sang

macan. •••

“BAIKLAH,” KATA temanku, “terima kasih kau telah menceritakan kepadaku kisah itu.
Namun, apa yang akhirnya terjadi? Bagaimana akhir cerita dua sahabat ini?” “Ah, baiklah!”
kataku. “Kau tahu, cerita itu seharusnya berakhir layaknya semua cerita tentang gairah
yang luar biasa. Akhirnya ada sebuah kesalahpahaman. Untuk suatu alasan, salah satu dari
mereka mencurigai pihak lain atas sebuah pengkhianatan. Mereka tidak membicarakan hal
itu karena harga diri mereka. Mereka justru berkelahi dan akhirnya berpisah. Hanya
karena mereka berdua terlalu keras kepala untuk mau berkomunikasi!” “Ya, kadang-
kadang,” ucap temanku, “sepatah kata atau satu tatapan mata sudah cukup. Namun,
bagaimanapun kau harus melanjutkan cerita itu.” “Ini agak sulit, tetapi kau akan
memahaminya. Inilah yang dikatakan tentara tua itu kepadaku sambil minum sampanye. “Ia
berkata—‘Aku tak tahu apakah aku telah melukainya, tetapi dia kemudian berputar seakan
dia sedang marah. Dengan gigi-giginya yang tajam, dia menerkam kakiku. Gigitannya
sebenarnya lemah, seingatku. Namun aku terlalu takut dia akan melukaiku. Sejurus
kemudian aku menancapkan belatiku di kerongkongannya. Dia balik memutar tubuhnya
seraya menjeritkan sebuah auman yang membekukan jantungku. “‘Sementara dia terbaring
sekarat, aku melihat dia menatapku tanpa amarah. Aku akan memberikan apa pun di dunia
ini untuk menghidupkannya lagi, seakan-akan aku telah membunuh seorang manusia. Para
tentara yang berhasil menemukan dan menyelamatkanku mendapatiku bercucuran air
mata.’ “‘Nah,’ katanya, setelah beberapa saat terdiam, ‘sejak itu aku mengalami beberapa
peperangan. Aku telah berkelana ke seluruh penjuru dunia. Namun, aku tak pernah melihat
tempat mana pun yang seperti gurun itu. Ah, ya, tempat itu sangat indah!’ “‘Apa yang Anda
rasakan di sana?’ tanyaku kepadanya. “‘Oh, itu tak mungkin digambarkan, anak muda. Lagi
pula, aku tak selalu menyesali waktuku bersama pohon-pohon kurma dan macan betinaku.
Aku akan sangat sedih dan pilu sepanjang waktu jika aku melakukannya. Di gurun pasir itu,
kau tahu, di sana ada segalanya, sekaligus tak ada apa-apa.’ “‘Ya, tetapi jelaskanlah—’“‘Hm,’
jawabnya, dengan bahasa tubuh yang menunjukkan sikap tak sabar, ‘itu rahmat Tuhan tanpa
kemanusiaan.’”•
HONORÉ DE BALZAC (17991850), pengarang terkemuka Prancis abad kesembilan belas.
Karya utamanya adalah La Comédie humaine, kumpulan sembilan puluh satu novel pendek
yang mengisahkan sejarah sosial Prancis dari kacamatanya. Karya-karya Balzac
kerap bernuansa erotis, tetapi

tema utamanya sesungguhnya adalah efek buruk uang terhadap manusia. Dalam karya-
karyanya ia menggabungkan realisme dengan romantika dan melodrama. Ia lahir di Tours,
tetapi saat ia berusia 15 tahun keluarganya hijrah ke Paris. Balzac adalah seorang
perfeksionis. Ia menulis kembali karya-karyanya yang sudah selesai berulang-ulang untuk
mencapai kesempurnaan. Percetakan membebankan biaya yang sangat banyak kepadanya
karena membuat banyak perubahan. Namun, kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya itu
membuahkan karya yang luar biasa. Ia wafat pada usia 51 tahun, kesehatannya merosot
karena terlalu banyak bekerja. Selama dua puluh tahun Balzac bekerja tanpa henti
merampungkan La Comédie humaine. Ia menulis selama 16 jam sehari, terkadang tanpa
meninggalkan

kamarnya tiga hari berturut-turut.


Ayah dan Anak

Bjornstjerne Bjornson

LELAKI YANG diceritakan dalam kisah ini adalah seseorang


yang berpengaruh dan paling kaya di desanya. Namanya
Thord Overaas. Ia muncul di rumah pendeta pada suatu hari.
Tubuhnya tinggi dan ia tampak bersungguh-sungguh. “Aku
baru saja memiliki seorang putra,” katanya, “dan aku ingin
agar ia dipermandikan.” “Akan diberi nama apa dia?” “Finn—
seperti nama ayahku.” “Para saksinya?” Ia menyebut sederet
nama yang merupakan para tetangga terdekatnya di desa itu.
“Ada lagi yang lain?” tanya pendeta itu. Petani itu ragu
sejenak. “Aku ingin agar ia dipermandikan secara khusus,
seorang diri,” ujarnya.
“Dalam minggu ini?” “Sabtu depan, pukul dua belas siang.”
“Ada lagi yang ingin kau katakan?” tanya pendeta itu. “Tak
ada,” lalu ia menyentuh topinya, seolaholah akan pergi.
Pendeta itu bangkit berdiri. Ia menghampiri Thord,
memegang tangannya, dan menatap lekat tepat pada
matanya, “Tuhan menganugerahkan anak ini sebagai berkah
untukmu!” Suatu hari, enam belas tahun kemudian, Thord
berdiri sekali lagi di rumah pendeta itu. “Sungguh, kau
tampak awet muda, Thord,” kata pendeta saat melihat bahwa
tak ada yang berubah dalam penampilan Thord. “Itu karena
aku tak punya masalah,” jawab Thord. Pendeta itu tak
berkata apa-apa, tetapi kemudian ia bertanya, “Apa yang
membuatmu kemari malam ini?” “Aku datang sehubungan
dengan putraku yang akan mengikuti wisuda sekolah gereja
besok.” “Ia anak yang cerdas.” “Aku ingin tahu pada urutan
keberapa ia akan mendapat giliran berdiri di gereja besok.”
“Ia akan berdiri di sana pada urutan pertama.” “Aku kini
sudah mengetahuinya. Ini uang sepuluh dolar untuk Pak
Pendeta.” “Ada lagikah yang bisa kubantu?” tanya pendeta
itu.
“Tak ada.” Thord beranjak pergi. Delapan tahun telah
berlalu dan pada suatu hari terdengar suara ribut di luar
rumah pendeta ketika beberapa orang datang mendekat.
Thord berada paling depan, ia masuk pertama kali. Pendeta
menatapnya dan mengenalinya. “Kau tampak sehat, Thord,”
ujarnya. “Aku datang untuk mengumumkan pernikahan
putraku dengan Karen Storliden, anak perempuan Gudmund,
yang berdiri di sampingku.” “Ia akan menjadi gadis terkaya di
desa ini.” “Begitulah,” jawab petani itu seraya mengelus
rambutnya dengan sebelah tangan. Pendeta duduk berdiam
diri sejenak seraya berpikir lalu ia menuliskan nama-nama itu
dalam bukunya tanpa berkomentar dan mereka
menandatanganinya. Thord meletakkan uang tiga dolar di
atas meja. “Cukup satu dolar,” ujar pendeta. “Aku tahu, tetapi
ini adalah perkawinan putra tunggalku, aku ingin
melakukannya dengan istimewa.” Pendeta menerima uang
itu. “Ini kali ketiga kau datang untuk putramu, Thord.” “Kini
aku telah menyelesaikan tugasku,” ujar Thord. Ia lalu
berpamitan dan pergi ke luar. Orangorang itu perlahan-lahan
mengikutinya. Esok malamnya, sang ayah dan anaknya
berdayung melintasi danau menuju kediaman keluarga
Storliden untuk menyusun acara pernikahan.
“Penghalang ini tidak aman,” kata si anak dan berdiri untuk
meluruskan tempat duduknya. Pada saat bersamaan papan
tempatnya berpijak terlepas. Ia mencoba menjaga
keseimbangan, tetapi kemudian terjatuh ke danau diiringi
sebuah pekikan. “Berpeganglah pada dayung!” seru ayahnya.
Ia menjulurkan tubuhnya dan mengulurkan dayung. Namun,
ketika ia mencoba bergerak, tubuh pemuda itu mengejang
kaku. “Tunggu sebentar!” teriak sang ayah dan mulai
berdayung mendekati anaknya. Pemuda itu hanya mampu
menatap ayahnya dengan sebuah tatapan panjang lalu
perlahan-lahan tenggelam. Thord tak memercayai kenyataan
itu. Ia mencengkeram ujung perahu dan menatap titik tempat
anaknya tenggelam, seolah-olah ia yakin bahwa tubuh itu
akan kembali muncul di permukaan danau. Terlihat
gelembung-gelembung udara dan akhirnya lingkaran lebar
yang kemudian lenyap. Lalu, danau itu kembali tenang dan
berkilau seperti cermin. Selama tiga hari tiga malam orang-
orang melihat sang ayah berdayung mengelilingi tempat itu
tanpa makan dan tidur. Ia mencari mayat anaknya. Suatu pagi
pada hari keempat ia menemukannya lalu membopong mayat
itu ke bukit, ke ladangnya. Sekitar setahun setelah peristiwa
itu, pada suatu larut malam di musim gugur, sang pendeta
mendengar suara seseorang di luar rumahnya. Pendeta itu
membuka pintu, dilihatnya seorang lelaki bertubuh tinggi
kurus dengan sosok agak bungkuk dan rambut memutih.
Pendeta itu lama menatap sosok itu sebelum berhasil
mengenalinya. Ternyata Thord. “Apakah kau biasa pergi larut
malam?” tanya pendeta itu. “Ya, ini memang sudah larut
malam,” ujar Thord. Ia lalu duduk. Pendeta itu ikut duduk,
menunggu. Kesunyian yang panjang melingkupi mereka.
Akhirnya Thord berkata, “Aku punya sesuatu yang ingin
kudermakan kepada orang-orang miskin. Aku ingin
menjadikannya sedekah atas nama putraku.” Ia bangkit dan
menaruh sejumlah uang di atas meja kemudian duduk
kembali. Pendeta menghitungnya. “Ini banyak sekali.” “Itu
setengah dari harga ladangku. Aku menjualnya hari ini.”
Pendeta itu duduk berdiam diri cukup lama. Lalu ia bertanya
lembut, “Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Thord?”
“Sesuatu yang lebih baik.” Mereka duduk di sana untuk
beberapa saat. Thord dengan pandangan tertunduk dan sang
pendeta dengan sepasang mata terpaku pada lelaki tua itu.
Kemudian pendeta berkata dengan perlahan-lahan dan
lembut, “Kukira pada akhirnya putramu telah membawa
berkah sejati untukmu.”

“Ya, kukira memang begitu,” ucap Thord.


Ia menatap wajah pendeta itu, dua tetes air
mata berlinang membasahi pipinya.•
BJORNSTJERNE MARTINUS BJORNSON (1832-1910),
pemenang Hadiah Nobel Sastra 1903 asal Norwegia. Ia anak
seorang pastor. Saat bersekolah di Oslo, Henrik Ibsen yang
kemudian menjadi dramawan terkemuka dunia adalah salah
seorang kawan sekolahnya.

Karya-karya Bjornson meliputi

naskah drama, novel, cerpen, dan puisi. Saat masih


mahasiswa pada 1854 ia telah menulis kritik sastra untuk
koran Morgenbladet dan menulis cerpen untuk berbagai
koran lain. Dalam cerpen-cerpennya, ia banyak berkisah
tentang kehidupan para petani. Ia ikut serta dalam gerakan
teater modern Norwegia. Ia juga aktif berpolitik. Kumpulan
karya lengkapnya diterbitkan pada 1919 dalam sembilan jilid.
Varka Hanya Ingin Tidur Anton Chekhov

MALAM. VARKA, pengasuh kecil itu, seorang gadis berumur tiga belas, sedang
menggoyang-goyang ayunan tempat seorang bayi berbaring seraya bersenandung cukup
nyaring:

Tidurlah, tidur, bayiku sayang


Aku bernyanyi untukmu ...

Sebuah lentera hijau menyala. Terentang seutas tali dari ujung ke ujung ruangan. Di situ
tersampir pakaian bayi dan sebuah celana panjang hitam. Bayangan kehijauan membias di
langit-langit. Pakaian bayi dan celana panjang menampilkan bayangan memanjang di
perapian, di atas ayunan, dan pada tubuh Varka ... Saat lentera itu berkelip-kelip, bayangan
kehijauan dan bayang-bayang memanjang bagaikan hidup, bergerak-gerak, seperti tertiup
angin. Tercium aroma sup kubis dan bau toko sepatu. Bayi itu menangis. Lama sekali dia
meraungraung dan terus menangis. Dia terus saja menjeritjerit, tanpa ada yang tahu kapan
akan berhenti. Dan Varka mengantuk. Matanya bagaikan direkat oleh lem, kepalanya
tertunduk lemah, lehernya terasa sakit. Dia tak sanggup menggerakkan bulu mata atau
bibirnya. Dirasanya wajahnya mengering dan menjadi ringan, seolah-olah kepalanya
mengecil seukuran pentol korek api. “Tidurlah, tidur, bayiku sayang,” gumamnya, “aku
memasak bubur untukmu ...” Sebuah cerek terjerang di atas perapian. Melalui pintu di
ruang sebelah tampak pemilik sekaligus pelayan toko sepatu Afanasy sedang sibuk
mendengkur ... Ayunan bayi berderit perlahan, Varka bergumam—dan semua suara itu
berbaur dalam musik malam yang begitu manis didengar saat seseorang berbaring tenang
di atas ranjang. Namun kini musik itu terasa menggelisahkan dan menekan karena membuat
orang mengantuk, padahal Varka tak boleh tertidur. Jika Varka sampai—Tuhan melarang!—
jatuh tertidur, sepasang majikannya akan memukulnya. Lentera itu berkedip. Bias sinar
kehijauan dan bayangan memanjang bergerak-gerak, memaksa tampak di mata Varka yang
separuh terbuka. Dan dalam benaknya yang separuh sadar, membayang wujud-wujud kabur.
Dia melihat awan gelap berkejaran di angkasa dan menjerit-jerit seperti sesosok bayi.
Namun kemudian angin bertiup menyibak awan dan Varka melihat sebuah jalan panjang
yang lebar tertutup lumpur becek. Di sepanjang jalan memanjang deretan kendaraan,
sementara orang-orang dengan dompet terkepit di punggung mereka berlalu-lalang. Di
kedua tepi jalan dilihatnya hutan di sela-sela kabut dingin. Tiba-tiba orang-orang yang
mengepit dompet itu berjatuhan di tanah becek berlumpur. “Untuk apa kalian menjatuhkan
diri?” tanya Varka. “Untuk tidur!” jawab mereka. Dan mereka pun jatuh tertidur, tidur
dengan nyenyak, sementara burung-burung gagak bertengger di atas kabel telegraf,
menjerit-jerit seperti bayi, mencoba membangunkan mereka. “Tidurlah, tidur, bayiku
sayang, akan kunyanyikan lagu untukmu,” gumam Varka, dan kini ia melihat dirinya berada
dalam sebuah pondok gelap berdebu. Didengarnya mendiang ayahnya, Yefim Stepanov,
berguling-guling dari satu sisi ke sisi lain di lantai. Varka tak melihatnya, tetapi ia
mendengar rintihannya dan suaranya berguling-guling di lantai karena kesakitan.
“Keberaniannya telah musnah,” begitu yang pernah dikatakan ayahnya. Rasa sakit itu begitu
kejam sehingga ayahnya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya bisa mendengus
dan menggertakkan gigi seperti suara meng

geram.
Ibunya, Pelageya, berlari ke rumah majikannya untuk mengabarkan bahwa Yefim sedang
sekarat. Dia telah pergi begitu lama dan mestinya sudah kembali. Varka terjaga di atas
perapian dan mendengar erangan ayahnya. Lalu dia mendengar seseorang bergegas menuju
gubuk itu. Seorang dokter muda dari kota yang dikirim dari rumah besar yang kebetulan
sedang dia kunjungi. Dokter itu masuk ke dalam gubuk. Dia tak bisa melihat dalam
kegelapan, tetapi terdengar suara batuknya dan derak pintu. “Nyalakan lilin,” katanya.
Yefim menjawabnya dengan suara erangan. Pelageya bergegas menuju perapian dan
mencari korek api. Semenit berlalu dalam keheningan. Dokter itu menyadari ada korek api
di sakunya lalu menyalakannya sebatang. “Sebentar, Tuan. Sebentar,” ujar Pelageya. Ia
bergegas keluar dari gubuk itu dan tak berapa lama kemudian kembali dengan sebatang
lilin. Pipi Yefim bersemu kemerah-merahan dan matanya berkilat-kilat. Lirikannya terkesan
liar, seolaholah dia melihat jelas pemandangan di dalam gubuk dan dokter itu. “Ada apa? Apa
yang kau pikirkan?” ujar dokter itu sambil merebahkan Yefim ke ranjang. “Ah, apakah kau
telah menderitanya cukup lama?” “Apa? Sekarat, Tuan. Waktuku telah tiba ... Aku tak akan
lagi berkumpul dengan mereka yang hidup ...”
“Jangan membual! Kami akan menyembuhkanmu!” “Terserahlah, Tuan. Kami amat
berterima kasih ... Maut telah tiba. Inilah saatnya.” Dokter itu menghabiskan waktu
seperempat jam untuk memeriksa Yefim lalu dia bangkit dan berkata, “Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Kau mesti dikirim ke rumah sakit untuk dioperasi. Harus pergi sekarang juga!
Sudah hampir terlambat. Mereka sebentar lagi sudah tidur. Namun tak apa-apa, aku akan
memberimu surat pengantar. Kau dengar?” “Itu baik sekali, Tuan, tetapi dengan kendaraan
apa dia pergi?” ujar Pelageya. “Kami tak punya kuda.” “Tak masalah. Aku akan bilang
kepada majikanmu agar meminjamimu seekor kuda.” Dokter itu pergi membawa lilin yang
menyala. Lagi-lagi terdengar suara erangan. Setengah jam kemudian seseorang masuk ke
dalam gubuk. Sebuah kereta dikirim untuk membawa Yefim ke rumah sakit. Dia segera
bersiap dan berangkat ... Namun, kini pagi yang jernih dan terang telah menjelang.
Pelageya tak ada di rumah. Dia pergi ke rumah sakit untuk menengok Yefim. Entah di suatu
tempat terdengar suara tangis bayi dan Varka mendengar seseorang bernyanyi dengan
suaranya, “Tidurlah, tidur, bayiku sayang ... Akan kunyanyikan lagu untukmu.” Pelageya
telah kembali. Dia membuat tanda salib di dadanya dan berbisik, “Mereka membawanya
pada malam hari, tetapi menjelang pagi dia telah menyerahkan jiwanya kepada Tuhan ...
Kerajaan langit telah menerimanya dan kedamaian abadi kini bersamanya. Mereka bilang
dia terlambat dibawa ke rumah sakit. Mestinya dia pergi lebih awal ...”
Varka pergi ke jalan dan menangis di sana, tetapi tiba-tiba seseorang memukul belakang
kepalanya begitu keras sehingga wajahnya membentur sebatang pohon. Dia membuka
matanya dan melihat wajah majikannya, si tukang sepatu, berada tepat di depan mukanya.
“Apa yang kau lakukan, pelacur busuk?” bentaknya. “Anak itu menangis dan kamu malah
tidur!”
Dia menampar belakang telinga Varka. Varka menggoyangkan kepala lalu ia mengayun-
ayunkan ayunan bayi dan menyenandungkan lagu ninabobo. Bias sinar kehijauan dan
bayangan yang ditimbulkan oleh celana serta pakaian bayi bergoyang-goyang, mengangguk-
angguk kepadanya, dan dengan cepat memengaruhi pikirannya lagi. Kembali dia melihat
jalan raya yang tertutup oleh lumpur becek. Dilihatnya orang-orang yang membawa dompet
di punggung mereka. Bayangan-bayangan itu roboh lalu jatuh tertidur dengan cepat.
Melihat mereka, Varka merasa amat ingin tidur. Dia bersiap membaringkan diri dengan
nyaman, tetapi Pelageya ibunya berjalan di sisinya, mengajaknya segera bergegas. Mereka
cepat-cepat bergerak menuju kota untuk melihat-lihat keadaan.
“Beri kami sedekah, demi Tuhan!” ratap ibunya kepada orang-orang yang mereka temui.
“Tunjukkan kepada kami kasih Tuhan, kebaikan hati orang-orang yang lembut!” “Bawa bayi
itu kemari!” Sebuah suara yang amat dikenalnya terdengar. “Bawa bayi itu ke sini!” ulang
suara yang sama, kali ini dengan nada kasar dan marah. “Apakah kau tidur, gadis
brengsek?” Varka terlompat dan terengah-engah melihat berkeliling mencari tahu apa yang
terjadi: tak ada jalan raya, tak ada Pelageya, tak ada orang-orang yang mereka temui. Yang
ada hanyalah majikan perempuannya yang datang untuk menyusui bayi dan berdiri di tengah
ruangan. Saat perempuan gemuk berbahu lebar itu menggendong bayinya dan
menenangkannya, Varka berdiri melihatnya dan menunggu hingga selesai. Di luar jendela,
langit mulai membiru, bayang-bayang dan bias kehijauan di langit-langit ruangan tampak
memucat. Pagi sepertinya akan segera tiba. “Gendong dia,” kata majikan perempuannya
sambil mengancingkan baju di atas dadanya. “Dia menangis.” Varka mengambil bayi itu,
meletakkannya di ayunan, dan kembali mengayun-ayunkannya. Bias kehijauan dan bayang-
bayang itu perlahan sirna. Kini tak ada lagi yang memaksa matanya untuk melihat dan
membuat benaknya berawan. Namun, dia tetap saja mengantuk seperti sebelumnya.
Benarbenar mengantuk setengah mati! Varka menyandarkan kepalanya di ujung ayunan dan
mencoba menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya untuk mengatasi rasa kantuk, tetapi
matanya tetap terasa lengket dan kepalanya terasa berat. “Varka, nyalakan perapian!”
Didengarnya suara majikannya dari balik pintu. Sekarang waktunya untuk bangun dan
bekerja. Varka meninggalkan ayunan dan bergegas memotong kayu bakar. Dia merasa
senang. Saat dia bergerak dan melakukan sesuatu, rasa kantuk tak akan terasa seberat
apabila dia duduk. Varka membawa kayu-kayu itu, menyalakan perapian, dan merasakan
wajahnya yang kaku melembut kembali. Pikirannya terasa lebih jernih. “Varka, siapkan
samovar!” teriak majikannya. Varka menyiapkan samovar dan sebelum dia sempat
menyelesaikan pekerjaannya itu, didengarnya perintah baru, “Varka, bersihkan sepatu
tuanmu!” Varka duduk di atas lantai dan membersihkan sepatu karet itu. Dia
membayangkan betapa sedapnya jika dia menaruh kepalanya di dalam sebuah sepatu karet
yang besar dan dalam, lalu tidur sejenak di situ ... Dan tiba-tiba sepatu itu tumbuh,
membesar, memenuhi seluruh ruangan. Varka menjatuhkan sikat sepatu yang dipegangnya,
tetapi dia segera menggoyang-goyangkan kepalanya, membuka matanya lebar-lebar, lalu
mencoba melihat pada benda-benda lain yang ternyata tak tumbuh membesar dan bergerak
di depan matanya. “Varka, bersihkan tangga rumah di luar sana! Aku malu kepada para
pembeli yang datang kemari!” Varka membersihkan tangga rumah, menyapu dan
membersihkan kamar-kamar, lalu menyalakan perapian yang lain dan berlari ke toko. Ada
banyak pekerjaan menanti di situ, tak semenit pun ia bisa bebas. Namun, tiada yang lebih
berat daripada berdiri di tempat yang sama terus menerus di depan meja dapur sambil
mengupas kentang. Kepalanya roboh di atas meja, kentang-kentang itu menari-nari di depan
matanya, dan pisau terlepas dari genggamannya saat majikan perempuannya yang gemuk
marah dan berjalan di dekatnya dengan lengan baju tersingsing. Perempuan itu berbicara
dengan suara nyaring yang terdengar seperti dentang lonceng di telinga Varka. Cukup
menyiksa juga baginya saatsaat menunggu makan malam, mencuci, dan menjahit. Ada
beberapa saat ketika dia rindu untuk berbaring di lantai tanpa memedulikan apa pun, dan
tidur. Siang pun telah berlalu. Melihat pemandangan di luar jendela menjadi gelap, Varka
menekan kedua pipinya yang terasa bagaikan terbuat dari kayu, dan tersenyum, walaupun
dia tak tahu apa sebabnya. Bayang-bayang senja menyapu matanya sehingga sulit sekali
menjaganya untuk tetap terbuka dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk segera tidur.
Namun, pada petang harinya para tamu berdatangan. “Varka, hidangkan samovar!” teriak
majikannya. Samovar tinggal sedikit, dan sebelum para tamu meminum teh yang mereka
inginkan, Varka harus menghangatkannya lima kali. Setelah menghidangkan teh, Varka
berdiri selama sejam di pojok yang sama, menatap para tamu dan menunggu perintah.
“Varka, pergilah sebentar dan beli tiga botol bir!” Dia beranjak pergi dan mencoba berlari
secepat mungkin untuk mengusir rasa kantuk. “Varka, tuangkan vodka! Varka, di mana
pembuka tutup botol? Varka bersihkan ikan!” Namun, akhirnya tamu-tamu itu pergi,
lampulampu dimatikan, dan sang majikan beserta istrinya pergi tidur. “Varka, ninabobokan
bayi itu!” Dia mendengar perintah terakhir. Cerek terjerang di atas perapian. Bias
bayangbayang kehijauan di langit-langit dan bayangan celana panjang serta pakaian bayi
yang tergantung memaku pandangan Varka yang setengah terbuka, berkedip-kedip
kepadanya dan membayangi benaknya. “Tidurlah, tidur, bayiku sayang,” gumamnya
mencoba bersenandung, “akan kunyanyikan lagu untukmu.” Dan bayi itu menjerit, merobek-
robek suasana dengan tangisannya. Kembali Varka melihat jalan besar yang berlumpur,
orang-orang yang membawa dompet, Pelageya ibunya, Yefim ayahnya. Dia tahu semuanya,
dia mengenal semua orang itu. Namun, dalam separuh tertidur dia tak mampu mengerti
kekuatan yang mengekangnya, menahan tangan dan kakinya, memberati tubuhnya, dan
menghalanginya dari kehidupan nyata. Dia melihat berkeliling, mencari kekuatan yang bisa
membuatnya lari dari hal itu, tetapi tak ditemukannya. Akhirnya, dengan amat lelah, dia
mementangkan sepasang matanya, menatap cahaya kehijauan yang berkelip-kelip, dan
mendengarkan suara jeritan—menemukan musuh yang telah mengganggu hidupnya. Musuh
itu si bayi. Varka tertawa. Terasa aneh baginya karena gagal menemukan hal sesederhana
itu sebelumnya. Bias cahaya kehijauan, bayangan baju dan cerek di perapian tampak
tertawa dan keheranan pula akan hal itu. Halusinasi itu menguasai Varka. Dia bangkit dan
dengan senyum lebar di wajahnya, dengan mata tak berkedip, dia berjalan melintasi
ruangan. Dia merasa senang dan terpaku pada pikiran bahwa dia akan melepaskan diri dari
bayi yang telah mengekang tangan dan kakinya. Bunuh bayi itu, lalu tidur, tidur, tidur ...
Seraya tertawa dan mengedip-ngedipkan matanya, Varka menggoyang-goyangkan jemarinya
pada bias cahaya kehijauan. Dia mengendap-endap ke arah ayunan dan membekap bayi itu.
Ketika usai menuntaskan perlawanan si bayi, dengan cepat dibaringkannya tubuhnya di atas
lantai. Dia tertawa senang karena akan bisa tidur dengan leluasa. Sejenak kemudian Varka
telah tertidur pulas seperti orang mati.•
ANTON PAVLOVICH CHEKHOV (1860-1904), cerpenis dan dramawan terkemuka dunia
asal Rusia. Ia juga berprofesi sebagai dokter. “Sastra itu kekasihku, sedangkan dunia
kedokteran adalah istriku,” tulisnya suatu kali. Selain sejumlah besar cerita pendek yang
dikenal luas di berbagai belahan dunia, beberapa naskah

dramanya antara lain (dalam

terjemahan bahasa Inggris) The Bear (1888), The Marriage (1888), The Wedding (1889),
The Cherry Orchard (1896), dan Uncle Vanya

(1902). Dengan gaya khasnya yang memadukan naturalisme

dengan simbolisme, Chekhov melakukan revolusi bentuk cer

pen yang kemudian berpengaruh kuat kepada para cerpenis

setelahnya. Ia kerap mengangkat persoalan sederhana tentang

kehidupan sehari-hari, tetapi mengandung makna simbolis

yang dalam dan humor yang getir. Terkadang ia menutup cer

pennya dengan akhir mengejutkan.


Maling yang Jujur
Fyodor Dostoevsky

SUATU PAGI, saat aku hendak pergi bekerja, Agrafena masuk ke kamarku. Dia telah
menjadi juru masak dan pembantuku selama enam tahun. Selama itu, dia tak pernah berkata
kepadaku lebih dari dua atau tiga patah kata setiap hari. Dan katakata itu selalu tentang
makan malamku. Makanya, aku terkejut saat dia memulai sebuah percakapan. “Saya harus
bicara kepada Anda, Tuan,” ujarnya, “tentang kamar mungil itu. Saya kira Anda sebaiknya
menyewakannya.” “Kamar yang mana?” tanyaku. “Yang di dekat dapur, tentu saja.”
“Mengapa?” “Memangnya untuk apa orang-orang menyewakan kamar?” ujarnya. “Untuk
mendapat uang tambahan, tentu saja.”
“Lalu siapa yang akan menyewanya?” “Seorang pemondok. Memangnya siapa?”
“Bukankah tak ada cukup ruang di situ untuk menaruh kasur? Akan menjadi terlalu sempit.
Mungkinkah orang hidup di tempat yang sesempit itu?” tanyaku. “Ia tak akan hidup di situ!
Ia hanya membutuhkan sekadar tempat untuk tidur. Ia akan tinggal di kursi dekat jendela.”
“Kursi dekat jendela?” “Memangnya kenapa? Kursi di ruang tengah itu, tentu saja. Ia akan
duduk dekat jendela dan menjahit—atau melakukan hal-hal lain. Mungkin ia akan duduk di
kursi miliknya sendiri. Ia bahkan memiliki meja sendiri.” “Lalu, siapakah orangnya?”
“Seorang lelaki baik yang hanya tahu satu dua hal saja tentang dunia ini. Saya akan
memasak untuknya dan ia akan membayar 10 rubel uang perak setiap bulan untuk tinggal di
sini.” Akhirnya, setelah sekian banyak pertanyaan, aku tahu apa yang telah terjadi. Agrafena
telah bertemu dengan seorang lelaki tua. Entah bagaimana lelaki tua itu berbicara
kepadanya agar menerimanya sebagai pemondok. Kini aku tahu bahwa aku tak akan merasa
tenang. Sekali Agrafena memiliki gagasan, itu harus dilaksanakan. Kalau tidak, aku tahu
hidupku akan menjadi tidak menyenangkan. Aku ingat apa yang selalu terjadi pada masa
lalu. Apabila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan, Agrafena akan
merajuk. Dia akan bertingkah seperti itu hingga dua atau tiga minggu. Selama itu, makanan
yang disajikannya akan terasa tidak enak, cucian tak dikerjakan dengan baik, dan lantai
dibiarkan tetap kotor. Itulah alasanku menyetujui rencana barunya—demi ketenanganku
sendiri. Keesokan harinya si pemondok itu datang. Aku tidak merasa gusar atas kehadiran
orang lain di rumahku yang mungil. Aku malah merasa senang memiliki teman. Di atas
segalanya, hidupku amat sepi. Aku nyaris tak punya kawan dan jarang pergi ke luar rumah.
Setelah sepuluh tahun hidup seperti ini, sayangnya aku malah menjadi terbiasa. Namun,
sepuluh atau lima belas tahun lagi menjalani hidup seperti ini tampaknya tak menyenangkan.
Kehadiran satu orang lagi lelaki pendiam di rumah ini tampaknya adalah sebuah berkah.
Agrafena berkata apa adanya. Lelaki itu hanya tahu satu atau dua hal saja tentang dunia ini.
Aku bisa mengatakan hal itu segera setelah aku mengetahui bahwa ia seorang pensiunan
tentara. Astafi Ivanich, lelaki itu, adalah salah satu contoh serdadu yang lumayan baik. Kami
saling menyukai sejak mula. Yang terbaik darinya ia pandai bercerita. Ia menceritakan
segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Dalam kebosananku, seorang juru cerita semacam
itu adalah harta karun. Suatu kali, ia menceritakan kepadaku sebuah kisah yang tak akan
pernah kulupakan. Namun, sebelumnya, biarlah aku bercerita tentang sebuah peristiwa
yang membuatnya menceritakan kisah itu kepadaku.

•••

PADA SUATU hari aku tinggal sendirian di rumahku. Astafi dan Agrafena pergi untuk
sejumlah keperluan. Lalu tiba-tiba aku mendengar seseorang masuk. Kukira itu orang asing.
Saat aku keluar kamar menuju ruang tengah, aku melihat seorang lelaki bertubuh pendek
berdiri di sana. Walaupun di luar amat dingin, aku memperhatikan bahwa ia tak memakai
mantel. “Apa keperluanmu?” tanyaku. “Pegawai pemerintah bernama Alexandrov tinggal di
sini?” “Tak ada yang bernama Alexandrov di sini.” “Kata penjaga rumah ia tinggal di sini,”
ujar tamu itu. “Ia salah. Pergilah, kawan. Pergilah!” Tak lama setelah makan malam esok
harinya, aku mendengar langkah aneh lagi di ruang tengah. Ketika aku membuka pintu, aku
melihat tamu yang kemarin datang. Dengan tenangnya, di depan mataku, ia mengambil
mantel pendekku dari rak dekat pintu. Lalu, ia mengepitnya dan berlari keluar pintu
membawa mantel itu! Agrafena melihat semua ini dengan mulut ternganga. Dia begitu kaget
sehingga tak sempat berbuat apa pun untuk menyelamatkan mantelku. Namun, Astafi
segera mengejar maling itu. Sepuluh menit kemudian, dengan terengah-engah ia kembali
tanpa mantel itu. Ia bilang maling itu lenyap seakan-akan ditelan bumi. “Sayang sekali,
Astafi,” ujarku. “Aku berharap mantelku bisa kembali. Kalau tidak, maling itu akan
membuatku mengalami kesulitan.” Astafi tampak sangat gusar dengan apa yang telah
terjadi. Aku sendiri segera melupakan maling itu. Namun tampaknya Astafi tak bisa berhenti
memikirkan soal itu. Setiap saat, ia menghentikan apa yang tengah dikerjakannya. Sekali
lagi ia akan bercerita tentang bagaimana semua itu terjadi. Berkali-kali ia mencoba
menjelaskan di mana ia berdiri saat mantel itu dicuri dan bagaimana ia mencoba menangkap
si maling. Lalu sekali lagi ia akan kembali pada pekerjaannya hanya untuk melamun kembali
sejenak kemudian. Lalu aku melihat Astafi berbicara pada penjaga rumah. Ia memarahinya
karena tidak menjaga rumah dengan lebih baik. Ia juga memarahi Agrafena. Kemudian ia
mulai bekerja lagi. Aku mendengarnya berbicara sendiri beberapa lama. Ia terus bergumam
tentang bagaimana ia berdiri di sebelah sini dan aku berdiri di sana. Lalu ia terus berkata
tentang bagaimana mantel itu dicuri tepat di depan mata kami. Maling itu hanya berjarak
dua langkah! Dan mantel itu digondol langsung dari gantungannya! Dan seterusnya. “Kita
telah tertipu, Astafi,” kataku kepadanya pada suatu malam. Saat aku berbicara, aku
memberinya segelas teh. Aku berharap, karena aku sedang jenuh, agar ia bercerita lagi
tentang mantel yang hilang itu. Kini, semua itu mulai terdengar lucu bagiku. “Ya, kita ditipu,
Pak! Aku masih marah mengingatnya biarpun barang yang hilang itu bukan milikku. Kupikir
di dunia ini tak ada yang lebih rendah daripada maling. Seorang maling mencuri apa yang
didapat orang lain dengan kerja keras bermandi keringat. Ia benar-benar mencuri kerja
keras dan waktu Anda! Maling kotor! Membicarakannya membuatku merasa muak!
Memikirkan hal itu membuatku marah! Bagaimana Anda bisa tampak seperti tidak terlalu
menyesali soal itu?” “Oh, maafkan aku, Astafi. Aku lebih suka barangku terbakar daripada
dicuri oleh maling. Itu menggangguku.” “Ya, terasa mengganggu jika barang kita dicuri.
Namun tentu saja ada bermacam-macam maling. Aku, misalnya, suatu kali pernah bertemu
dengan seorang maling yang jujur.” “Bagaimana itu?” tanyaku. “Maling yang jujur?
Bagaimana mungkin seorang maling bersikap jujur, Astafi?” “Anda benar, Pak. Seorang
maling tidak bisa sungguh-sungguh menjadi seseorang yang jujur. Tidak mungkin ada hal
seperti itu. Aku hanya bermaksud mengatakan bahwa ia sepertinya orang yang jujur di
mataku—meskipun ia sudah mencuri. Aku sangat menyesalkannya.”
“Dan bagaimana itu bisa terjadi, Astafi?”
“Ini terjadi dua tahun yang lalu di sebuah kedai minum. Di sana aku bertemu dengan
seorang miskin, seorang lelaki pemurung bernama Emelian. Ia menceritakan kepadaku
bahwa suatu hari ia mendapatkan pekerjaan. Namun, ia kemudian kehilangan pekerjaannya
itu karena kebiasaannya minum-minum. Ia tampak amat menyedihkan! Ia mengenakan
pakaian yang sudah tidak layak dipakai lagi sejak lama. Saat itu, aku bahkan meragukan
apakah ia mengenakan kaus di balik mantelnya yang dekil atau tidak. Seluruh barang
miliknya sudah dijual untuk minuman keras.
“Akan tetapi ia tidak kasar. Oh, tidak! Ia seorang lelaki yang baik dan santun, sopan dan
lembut kepada semua orang. Ia tak pernah sekalipun meminta-minta. Yah, aku bisa melihat
tanpa harus bertanya kepadanya bahwa lelaki malang itu sedang sangat membutuhkan
minuman. Dan aku pun mentraktirnya satu kali minum. Lalu, jam demi jam berlalu, kami pun
menjadi semakin akrab.
“Aku sangat bahagia mengizinkannya menginap denganku malam itu. Lelaki itu tampaknya
baik dan aku tahu ia membutuhkan tempat bermalam. Ia masih menginap pada malam
kedua. Pada hari ketiga, ia tidak juga meninggalkan rumah. Ia duduk di tepi jendela di teras
rumah sepanjang hari. Tentu saja, ia menginap lagi. Yah, kupikir aku tidak akan bisa
mengusirnya sejak saat itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memberinya makan dan
tempat berteduh.
“Aku tak tahu harus melakukan apa lagi terhadapnya. Nuraniku tak membiarkanku
mengusirnya. Aku merasa amat kasihan kepadanya. Ia layaknya makhluk yang perlu
dikasihani. Dan ia tidak meminta apa pun. Ia hanya duduk tenang dan menatap mataku,
seperti seekor anjing kecil yang patuh. Begitulah akibat minuman pada seseorang.
“Beberapa kali terpikir olehku untuk menyuruhnya pergi. Lalu aku mencoba membayangkan
apa yang akan dilakukannya setelah aku memaksanya pergi. Aku bisa bayangkan betapa ia
akan menatapku dengan pilu, mengangkat bungkusan kecilnya, dan melangkah ke jalan
raya. Pada awalnya, tentu saja, ia akan membenahi mantel lusuhnya. Ia mungkin ingin
menyembunyikan bolong-bolong dan sobekannya. Lalu, ia akan membuka pintu dan pergi
dengan air mata berlinang. “Maka, aku tidak jadi menyuruhnya pergi. Namun tak lama
kemudian, aku kehilangan pekerjaan. Jadi, aku harus menemukan pondokan yang lebih
murah. Aku pindah ke sebuah kamar sewa di rumah seorang perempuan tua. Sudah tiba
waktunya bagi Emelian untuk pergi ke tempat lain. Di satu sisi, aku merasa senang terbebas
darinya. “Hari pertama setelah aku pindah, aku mengunjungi seorang teman. Ketika aku
kembali malam itu, siapakah menurut Anda yang kulihat ada di depan rumah? Itulah
Emelian, duduk di sana dengan bungkusan merah tergeletak di sampingnya. Ia mengenakan
mantel mungilnya yang tipis, tengah menantiku. Temanku yang tua dan malang itu telah
menguntitku! “Lenganku menggantung tanpa daya. Oh, pikirku, tiada yang bisa kulakukan.
Aku memikirkan soal itu dalam benakku. Hanya membutuhkan waktu sebentar bagiku untuk
memutuskan bahwa ia tak akan mendatangkan banyak masalah bagiku. Kamarku memang
kecil, tetapi kami bisa mengaturnya. “Tentu saja, ia harus diberi makan, tetapi itu tak akan
memakan banyak biaya. Aku memberinya sedikit roti pada pagi hari dan mungkin dengan
sedikit bawang agar rasanya lebih enak. Untuk makan siang, aku memberinya makanan
serupa. Pada malam hari, kami berdua kembali makan roti dan bawang—dan jika kami
beruntung, ditambah sup kubis. Aku sendiri tidak banyak makan. Emelian, yang peminum
itu, nyaris tak makan apa pun. Yang diinginkannya hanyalah vodka. “Ketika aku berpikir
untuk menyuruhnya tinggal, aku merasakan sebuah perasaan yang ganjil. Seakan-akan
kehidupan akan menjadi lebih sulit bagiku kini jika Emelian pergi. Maka, aku memutuskan
untuk bersikap seperti seorang ayah kepadanya. Entah bagaimana caranya, aku akan
membuatnya mandiri. Lalu, perlahan-lahan, aku akan memintanya berhenti minum-minum.
“Kupikir aku akan memulai dengan mengajarinya bekerja—tetapi tidak saat itu juga. Biarlah
ia bersenang-senang dahulu. Pada saat itu, aku akan

mencoba mencari tahu pekerjaan apakah yang akan ia senangi. Anda harus tahu, Pak,
seseorang harus memiliki sebuah keterpanggilan atas pekerjaan tertentu agar ia bisa
mengerjakannya dengan baik. Maka, aku mulai memperhatikannya, untuk mencari tahu apa
yang bisa ia lakukan. “Tak lama aku mencoba bercakap-cakap dengannya sedikit dan
memberinya nasihat yang akrab. Aku berkata, ‘Emelian, seharusnya kau menjaga dirimu
lebih baik. Kau seharusnya mencoba memperbaiki diri. Berhentilah minum-minum. Lihatlah
dirimu! Kau tampak kumuh. Bajumu mirip gombal. Belum cukup parahkah itu buatmu?’ “Ia
mendengarkanku dengan kepala tertunduk. Ia sudah sampai pada tahap ketika minuman
memengaruhi lidahnya. Ia tak bisa mengucapkan katakata tertentu. Jika aku berkata
kepadanya tentang mentimun, ia akan balik berkata kepadaku tentang kacang. Selama
beberapa waktu ia tampak menyimak. Lalu ia menghela napas dalam-dalam. “‘Apakah yang
membuatmu menghela napas seperti itu, Emelian?’ tanyaku. “‘Oh, tidak ada apa-apa,’ sahut
Emelian. ‘Hanya saja hari ini aku melihat dua perempuan bertengkar di jalanan. Salah
seorang dari mereka membalikkan keranjang berisi buah beri milik perempuan yang lainnya
dengan sengaja. Lalu perempuan yang kedua menginjak-injak buah beri itu.’ “‘Hm, lalu
memangnya ada apa dengan itu, Emelian?’ “‘Oh, tidak ada apa-apa, Astafi. Aku hanya ingin
menceritakannya kepadamu, itu saja.”
“‘Ah, Emelian!’ batinku. ‘Minuman telah benarbenar membuatmu kehilangan akal.’
“‘Dan ada hal lain yang terjadi hari ini,’ lanjut Emelian. ‘Seorang lelaki menjatuhkan uang
di Jalan Gorokhova—atau Jalan Sadova, ya? Lalu, seorang petani melihatnya menjatuhkan
uang itu dan berkata, “Ah, ini hari keberuntunganku!” Akan tetapi petani lain juga
melihatnya. Lelaki kedua berkata, “Tidak, Pak, ini hari keberuntunganku! Akulah yang
pertama melihatnya!”’
“‘Hm, Emelian?’
“‘Lalu kedua petani itu berkelahi. Polisi segera datang. Ia mengambil uang itu dan
mengembalikannya kepada pemiliknya. Lalu ia kembali menghampiri kedua petani itu. Ia
mengancam akan membawa mereka ke kantor polisi karena menganggu ketenteraman!’
“‘Ya—lalu ada apa dengan soal itu, Emelian? Maksudku, apa pentingnya cerita itu?’
“‘Yah, tak ada—tetapi orang-orang di jalanan tertawa terbahak-bahak karenanya.’
“‘Oh, Emelian, Emelian! Mengapa kau memedulikan apa yang dilakukan oleh orang-orang
di jalanan? Pikirkanlah dirimu sendiri, Emelian. Kau telah menjual jiwamu untuk minuman.
Padahal, apakah kau tahu sesuatu, Emelian?’
“‘Apa, Astafi?’
“‘Kau seharusnya mencari pekerjaan. Itu benar, kau tahu. Sudah ratusan kali kubilang
bahwa kau perlu mengasihani dirimu sendiri!’
“‘Lantas pekerjaan macam apakah yang menurutmu bisa aku dapatkan, Astafi? Aku benar-
benar tidak tahu pekerjaan apa yang bisa kulakukan. Di samping itu, kurasa tidak akan ada
orang yang mau memberiku pekerjaan.’ “‘Tidak sekarang, tentu saja. Saat ini tidak ada
seorang pun yang akan memberimu pekerjaan, Emelian! Kau ini seorang pemabuk!
Menurutmu mengapa kau sampai kehilangan pekerjaan terakhirmu?’ “Pembicaraan kami
tak membawa hasil. Begitu juga upayaku untuk mengubahnya. Emelian akan mencoba
menyimak perkataanku dengan sopan. Namun tak lama kemudian ia akan merasa bosan.
Begitu ia melihatku mulai marah, ia akan beranjak meninggalkanku dan pergi sepanjang
hari. Ketika ia pulang pada malam hari, ia akan benar-benar mabuk. Aku tak tahu dari mana
ia mendapat uang untuk membeli vodka. Mungkin ia ditraktir orang. Yang kutahu, aku tak
ada sangkut paut dengan itu. “Akhirnya aku merasa harus angkat bicara. ‘Kini, dengarlah,
Emelian,’ kataku, ‘kau harus berhenti minum. Lain kali jika kau pulang dalam keadaan
mabuk lagi, kau harus tidur di tangga. Aku tidak akan membukakan pintu untukmu!’ “Dua
hari berikutnya, ia tinggal di rumah. Ia paham bahwa aku bersungguh-sungguh dengan
perkataanku. Namun pada hari ketiga, ia pergi lagi. Aku duduk menunggunya, tetapi ia tak
juga pulang. Sejujurnya, aku juga merasa cemas. Aku kasihan kepadanya. ‘Apa yang telah
kulakukan kepadanya?’ pikirku. ‘Aku telah membuatnya takut. Ke manakah ia pergi?’ Saat
malam tiba, ia belum juga pulang. Pagi harinya aku pergi ke beranda. Di sana ia tidur di atas
tangga. Kepalanya terbaring di anak tangga bagian atas dan ia tertidur lelap di sana. Ia
pasti amat kedinginan. “‘Apa yang terjadi denganmu, Emelian? Tempat yang aneh untuk
tidur!’ “‘Aku tahu kau marah sekali kepadaku waktu itu, Astafi. Kau berjanji akan
membiarkanku tidur di atas tangga. Aku jadi tak berani masuk. Maka, aku tidur saja di sini.’
“Tentu saja aku sangat marah kepadanya saat itu. Pada saat yang sama aku juga merasa
kasihan kepadanya. ‘Kau harus mencari pekerjaan baru yang lebih baik daripada
mengawasi kapal terbang dari atas tangga!’ kataku. “‘Namun, pekerjaan macam apa yang
bisa kudapatkan, Astafi?’ tanyanya dengan suara bergetar. “‘Kau setidak-tidaknya bisa
belajar menjadi penjahit. Lihatlah mantelmu! Kau sepertinya sengaja membuatnya
berlubang-lubang. Kau juga seperti ingin menyapu lantai menggunakan mantelmu! Tidak
bisakah kau setidaknya mengambil sebuah jarum dan benang lalu menjahitnya hingga
mantel itu tampak pantas dipakai? Kau malah tidak peduli. Kau hanyalah seorang pemalas
tak berguna dan pemabuk!’ “Yah, dapatkah Anda memercayainya, Pak? Ia lalu mengambil
jarum dan benang. Aku sebetulnya tidak terlalu serius soal itu—tetapi ia jadi ketakutan. Ia
langsung melepaskan mantelnya dan duduk untuk menjahitnya. Tentu saja ia bahkan tidak
mampu memasukkan benang ke dalam jarum. Matanya amat merah dan dipenuhi air mata.
Tangannya bergetar hebat! Ia terus mencoba, tetapi benang itu tidak juga bisa masuk ke
dalam ujung jarum. Ia membasahi ujung benang itu, menggulungnya di antara jari jemarinya,
dan meluruskannya. Namun, itu sama sekali tidak berguna. Akhirnya ia menyerah dan
menatapku.
“‘Nah, Emelian,’ kataku, ‘jika ada seseorang yang melihatmu seperti ini, kau akan mati
karena malu! Aku hanya mengatakan hal itu karena kesal. Aku tidak bermaksud
membuatmu berusaha melakukan sesuatu yang tak bisa kau lakukan. Sekarang, biarkan
saja itu. Lupakanlah soal jahit menjahit. Hanya saja, cobalah untuk menghindari masalah!
Dan demi kebaikanmu sendiri, jangan tidur di lantai lagi. Jika kau melakukannya, kau
mempermalukan aku di depan tetangga-tetanggaku!’
“‘Lalu, apa yang harus kulakukan, Astafi? Aku tahu diriku ini seorang pemabuk dan tak
cocok untuk pekerjaan apa pun. Yang bisa kulakukan hanyalah membuatmu, satu-satunya
temanku, marahmarah. Aku hanyalah pembuat masalah.’
“Lalu tiba-tiba bibirnya yang membiru gemetar. Air mata mengalir di pipinya yang pucat
dan ia menangis tersedu-sedu. Emelian yang malang! Aku merasa seolah-olah seseorang
menusuk jantungku dengan sebilah pisau.
“‘Emelian,’ kataku kepada diriku sendiri, ‘aku tak pernah menganggapmu seperti itu.
Siapa sangka kau memiliki perasaan yang amat halus?’ Lalu aku berpikir, ‘Sayangnya tiada
gunanya mencoba membantumu. Aku sebaiknya berhenti melakukan sesuatu kepadamu.
Pergilah! Lakukanlah apa yang kau sukai.’ “Tetapi mengapa aku harus berpanjang-panjang
soal itu? Semua itu hanyalah menghabiskan katakata belaka. Maksudku, aku akan
memberikan segala yang kupunya jika tidak satu pun di antaranya sungguh-sungguh pernah
terjadi! “Saat itu, Pak, aku memiliki celana untuk menunggang kuda berwarna biru.
Bahannya dari kualitas terbaik. Celana itu dipesan oleh seorang lelaki desa yang datang ke
kota kami. Saat aku selesai membuatnya, ia akan mengambilnya. Sayangnya, ia bilang
celana itu terlalu ketat. Maka aku menyimpannya. “Kurasa celana itu masih layak dipakai.
Kainnya bagus. Aku bisa menjualnya seharga 15 rubel atau lebih—hanya untuk bahannya.
Jika tidak, aku pun masih bisa membuatnya menjadi celana yang lain. Aku masih punya sisa
kain untuk dibuat rompi bagiku sendiri. Untuk seorang lelaki miskin sepertiku, Pak, setiap
sen harus diperhitungkan. “Pada saat itu aku memperhatikan bahwa Emelian telah tiga hari
tidak minum-minum. Aku berpikir mungkin ia tak punya uang atau ia sudah berhenti minum.
Aku tak tahan untuk tak merasa kasihan kepadanya. Ia tampak begitu menyedihkan dan
menderita dalam segala hal. “Kini aku akan menyingkat cerita ini. Pada suatu malam aku
menemukan Emelian duduk di depan jendela. Aku tak terkejut melihat ia sedang mabuk.
Aha, pikirku, kini kau melakukannya lagi! “Lalu aku pergi untuk mengambil sesuatu dari
koper tempatku menyimpan pakaian. Ketika aku membukanya, ternyata celana biruku itu
telah hilang. Aku mencari-carinya, tetapi tak juga ketemu. Saat itu, seakan-akan ada sesuatu
yang menusuk jantungku! Aku bergegas menemui perempuan tua pemilik rumah untuk
menanyakan kepadanya apakah dia mengambil celana itu. “‘Oh, untuk apa celana biru
seperti itu bagiku? Aku tak mungkin memakainya. Aku sendiri kehilangan rok kemarin. Aku
tak tahu ada di mana barang itu.’ “‘Apakah ada orang lain di sini?’ tanyaku. “‘Tak ada,’
katanya. ‘Aku ada di sini sepanjang waktu. Temanmu pergi sebentar tadi lalu kembali lagi.
Itu dia. Mengapa tak kau tanyakan saja kepadanya?’ “Lalu aku menanyai Emelian. ‘Katakan
sejujurnya, Emelian,’ kataku, ‘apakah kau mengambil celana biruku dari dalam koper? Kau
ingat celana itu, bukan? Celana yang kubuat untuk lelaki dari desa.’ “‘Tidak, Astafi,’
katanya, ‘aku tak mengambil
“‘Apa yang terjadi pada celana itu?’ pikirku. Aku mencarinya lagi, tetapi tak ketemu juga.
Sepanjang waktu, Emelian hanya duduk-duduk saja di kursi depan jendela. Tiba-tiba aku
meliriknya. “Ah, baiklah,’ pikirku. Wajahku memerah dan aku mulai murka. Tiba-tiba
pandangan mataku bersitatap dengan matanya. “‘Tidak, Astafi,’ katanya. ‘Aku tak
mengambil celana itu. Aku tahu kau mengira akulah yang mengambilnya, padahal aku tak
pernah menyentuhnya.’ “‘Lalu, di manakah celana itu?’ “‘Aku tak tahu. Aku tak melihatnya.’
“‘Kalau begitu, apa yang menurutmu telah terjadi? Apakah menurutmu celana itu bisa
berjalan sendiri?’ “‘Mungkin saja, Astafi. Yang kutahu, aku tak menyentuhnya.’ “Aku tak bisa
lagi berkata apa-apa. Aku mengunci koperku dan pergi ke jendela. Lalu aku menyalakan
lampu dan mulai bekerja. Aku sedang membuat sebuah rompi. Seorang pegawai pemerintah
yang tinggal di lantai bawah telah memesannya. Namun aku terbakar oleh amarah. Lebih
mudah bagiku jika celana yang hilang itu terbakar menjadi abu. “Emelian pasti bisa
menerka betapa marahnya aku. Selalu begitu, Pak—bila seseorang merasa bersalah. Orang
seperti itu bisa mencium adanya masalah, seperti burung bisa menerka akan datangnya
badai. Sekonyong-konyong ia bangkit dan pergi ke tempat tidur. Ia mulai mencari-cari
sesuatu di lantai. Ia terus berkata, ‘Tak ada di sini, tak ada di sini. Di mana celana itu
berada?’ Lalu, percaya atau tidak, ia merangkak di bawah ranjang dengan bertumpu pada
tangan dan lututnya! “‘Mengapa kau merayap di bawah ranjang, Emelian?’ tanyaku. “‘Aku
sedang mencari celana itu, Astafi,’ terdengar suara Emelian dari bawah ranjang. ‘Mungkin
ada di bawah sini.’ “‘Mengapa kau bersusah payah untuk orang sepertiku? Kau mengotori
lututmu dengan sia-sia.’ “‘Mengapa, Astafi?’ katanya. ‘Aku tak keberatan. Aku hanya
berpikir kalau kita mencarinya lebih lama, siapa tahu celana itu akan ketemu.’ “‘Oh, begitu,
ya?’ ujarku. ‘Dengarkan aku sebentar, Emelian.’ “‘Ada apa, Astafi?’ “‘Apakah kau yakin kau
tidak mencurinya—seperti yang dilakukan oleh maling? Inikah ucapan terima kasihmu atas
semua yang telah kulakukan untukmu?’ Aku sangat marah melihatnya merangkak di kolong
ranjang untuk mencari sesuatu yang ia tahu persis tak akan ada di sana. “‘Tidak, Astafi.’
Cukup lama ia merangkak di kolong ranjang. Lalu ia merayap keluar, wajahnya jadi seputih
kain kafan. Ia berdiri di depanku—sekarang pun aku merasa tengah melihatnya—tampak
mengerikan. “Lalu, dengan terbata-bata, ia berkata, ‘Tidak, Astafi. Aku tidak mengambil
celanamu.’
“Seluruh tubuhnya gemetar, jarinya menunjuk dadanya. Suaranya bergetar sehingga
membuatku merasa tidak nyaman. Aku hanya duduk di sana seolah-olah aku terpaku di kursi
itu. “‘Baiklah,’ sahutku pada akhirnya. ‘Emelian, maafkan aku. Tampaknya aku salah
menuduhmu. Soal celana itu—aku tak peduli celana itu hilang. Kita bisa hidup tanpanya.
Syukurlah, kita masih punya tangan. Kita tak perlu mencuri atau mengemis. Kita bisa
mencari nafkah.’ “Emelian mendengarkanku. Dalam diam ia terus berdiri di depanku
beberapa waktu. Lalu ia duduk dan terus berdiam diri hingga sepanjang malam. Ia masih
duduk saat aku beranjak tidur. Saat aku bangun pada pagi harinya, kulihat ia tidur di lantai.
Ia berselimut mantelnya yang compang-camping. Malam itu ia merasa terlalu terhina untuk
tidur bersamaku di atas tempat tidur. “Begitulah, Pak, sejak hari itu aku tak menyukai orang
itu. Sejujurnya, aku bahkan jadi membencinya selama beberapa hari setelahnya. Aku
merasa seakan-akan putraku sendiri telah merampokku atau melakukan sesuatu yang amat
buruk kepadaku. “Hingga dua minggu kemudian, Emelian selalu pergi untuk minum-minum
setiap hari. Ia mabuk dari pagi hingga malam. Selama dua minggu itu ia tak mengucapkan
sepatah kata pun kepadaku. “Kurasa ia merasa amat tidak enak—atau ia sedang mencoba
menghibur diri. Namun pada akhirnya ia berhenti minum-minum. Kurasa ia sudah kehabisan
uang. Ia lalu duduk-duduk di muka jendela. Aku ingat ia duduk di sana selama tiga hari tanpa
berkata apa pun. “Lalu pada suatu hari kulihat ia menangis. Betapa hebat ia menangis!
Banjir air mata mengalir dari matanya. Begitulah, sangat tak menyenangkan melihat
seorang lelaki menangis. Lebih parah lagi bila lelaki itu setua Emelian. Kesedihan dan
keputusasaannya terlihat menyakitkan. “‘Ada apa, Emelian?’ tanyaku. “Ia mulai gemetar. Itu
kali pertama aku berbicara lagi kepadanya setelah berminggu-minggu. “‘Tak apa-apa,
Astafi.’ “‘Dengar, Emelian, kau harus tabah. Lupakan soal celana itu.’ Aku kembali merasa
menyesal untuknya. “‘Oh, bukan soal itu, Astafi. Aku sedih bukan karena soal celana itu. Aku
hanya berpikir seharusnya aku mencari pekerjaan.’ “‘Pekerjaan macam apa, Emelian?’ “‘Oh,
apa saja. Mungkin aku bisa menemukan pekerjaan seperti yang dulu kulakukan. Aku tak
ingin membebanimu, Astafi. Mungkin bila aku mendapat pekerjaan, aku bisa membayar
segala pemberianmu.’ “‘Jangan berkata bodoh, Emelian. Anggaplah kau telah melakukan
sesuatu yang tak seharusnya kau lakukan. Lalu, apa masalahnya? Itu sudah usai.
Lupakanlah! Mari kita jalani segalanya seperti biasa—seolah-olah tak ada yang pernah
terjadi.’
“‘Tidak, Astafi. Aku tahu kau masih gusar soal itu. Padahal aku tak pernah menyentuh
celanamu.’ “‘Yah, terserah kaulah, Emelian!’ “‘Tidak, Astafi. Aku tahu aku tak bisa lagi
tinggal di sini. Kini aku harus pergi.’ Lalu ia bangkit dan menyampirkan mantelnya di
bahunya. “‘Kau mau pergi ke mana?’ tanyaku. ‘Pikirkan soal itu. Apa yang kau lakukan? Kau
bahkan tak punya pekerjaan.’ “‘Selamat tinggal, Astafi. Jangan cegah aku.’ Sekali lagi ia
mulai menangis. ‘Kini saatnya aku pergi darimu. Kau tak lagi sama.’ “‘Apa maksudmu? Aku
masih sama. Kau akan mati seperti bocah tak berdaya jika kau hidup sendirian.’ “‘Tidak,
Astafi, kau telah berubah. Setiap kali kau pergi, kau mengunci kopermu. Aku melihatnya dan
itu membuatku menangis. Tidak, lebih baik aku pergi. Maafkan aku bila aku telah
melakukan sesuatu yang membuatmu tidak senang selama kita hidup bersama.’ “Begitulah,
ia pergi pada hari itu juga. Aku menunggunya sepanjang malam. Sayangnya ia tak kembali.
Juga tak ada tanda-tanda kehadirannya pada keesokan harinya dan hari berikutnya. Aku
begitu cemas sehingga tak bisa makan, minum atau tidur. Kesedihan yang tak terkira telah
mencengkeram hatiku. “Pada hari keempat, aku mulai mencarinya. Aku pergi ke bar di
sekitar tempat itu. Namun tak seorang pun melihatnya. Aku mulai berpikir janganjangan ia
mati di tepi pagar rumah orang saat ia mabuk. Akhirnya, aku pulang. Saat itu aku merasa
setengah mati. “Pagi-pagi buta pada hari kelima, kudengar pintu terkuak. Aku melihat
Emelian beranjak masuk. Wajahnya bernoda kebiruan dan rambutnya penuh lumpur.
Tampaknya ia telah tidur di tepi jalan. Ia menjadi makin kurus. Ia melepaskan mantel
bututnya dan duduk di sampingku. “Aku amat senang berjumpa dengannya, tetapi sekaligus
sedih. Ia tampak lebih buruk daripada sebelumnya. Aku berpikir jika aku telah melakukan
kesalahan—lebih baik aku mati daripada harus kembali. Namun Emelian telah kembali.
Tentu saja, hatiku nyaris serasa remuk melihatnya dalam keadaan seperti itu. Aku mulai
mengajaknya bicara dengan ramah dan mencoba menghiburnya. “‘Emelian, aku senang kau
pulang. Jika kau baru datang beberapa saat lagi, mungkin aku sudah pergi. Aku akan pergi
mencarimu. Apakah kau sudah makan?’ “‘Ya, terima kasih, Astafi,’ katanya. ‘Aku sudah
makan.’ “‘Ayolah—benarkah? Ini, kawan, sup kubis sisa kemarin. Rasanya enak dan ada
daging di dalamnya. Ini ada juga roti dan bawang. Ayo, makanlah,’ kataku. ‘Ini bagus
buatmu.’ “Aku memberikannya kepadanya dan ia memakannya dengan lahap. Aku tahu ia
belum makan sejak tiga hari lalu. Rupanya rasa laparlah yang mendorongnya kembali
kepadaku! Aku merasa kasihan kepada kawanku ini. Hatiku diliputi rasa iba saat aku
menatapnya. “Aku berkata kepada diri sendiri, ‘Aku akan membawakannya vodka agar ia
senang. Kuakhiri saja urusan yang dulu itu. Aku tak punya masalah lagi dengan kawanku
yang malang ini.’ Aku bergegas pergi ke bar dan kembali dengan membawa vodka. “‘Ini,
Emelian,’ ujarku, ‘ayo kita minum untuk kesehatan kita. Hari ini hari raya! Ayolah. Ini baik
bagimu.’ “Ia mengulurkan tangannya dan aku memberinya segelas minuman. Ia
mengambilnya dan mencoba mendekatkannya pada bibirnya, tetapi ia menumpahkan vodka
itu ke lengan bajunya. Akhirnya, ia berhasil mendekatkan gelas itu ke bibirnya. Namun tiba-
tiba ia meletakkannya di atas meja. “‘Mengapa kau tak minum, Emelian?’ “‘Astafi, kurasa
aku tak akan minum lagi.’ “‘Kau akan berhenti minum untuk selamanya, Emelian? Atau
hanya hari ini?’ “Ia tak menjawab. Sejenak kemudian aku melihat ia menyandarkan kepala
di lengannya. Aku bertanya kepadanya, ‘Ada apa, Emelian? Apakah kau sakit?’ “‘Ya, Astafi.
Kurasa aku sakit.’ “Aku memapahnya ke tempat tidur dan segera kutahu bahwa ia memang
sakit. Kepalanya panas dan ia gemetar karena demam. Aku duduk di dekatnya sepanjang
hari. Menjelang malam, ia makin parah. Aku membuatkannya makanan dari daging sapi,
mentega, dan bawang. Aku menambahinya dengan sedikit roti. Lalu aku berkata kepadanya,
“Makanlah. Ini akan membuatmu agak baikan!’ “Ia malah hanya menggelengkan kepala.
‘Tidak, Astafi,’ ujarnya. ‘Jika kau tak keberatan, aku tak akan makan malam.’ “Lalu aku
membuatkannya teh, tetapi ia juga tak mau meminumnya. Pada pagi ketiga, aku menemui
seorang dokter yang kukenal. Dr. Kostopravov pernah merawatku sebelumnya. Ia datang ke
kamarku untuk memeriksa Emelian. Sesudahnya, ia hanya berkata singkat. “‘Tak ada
gunanya memanggilku,’ ujar dokter itu. ‘Ia sudah terlalu parah. Namun Anda bisa
memberinya obat yang akan kutuliskan resepnya.’ Aku tak pernah memberinya obat itu. Aku
tahu dokter itu pun merasa bahwa sudah tak ada gunanya memberinya obat. Lalu tibalah
hari kelima. “Emelian terbaring sekarat di hadapanku. Aku duduk dekat jendela
menggenggam pekerjaanku. Pemilik rumah sedang menyalakan kompor. Tiada seorang pun
di antara kami yang berbicara. Hatiku hancur melihat lelaki yang telah dirusak oleh
minuman keras ini. Aku merasa seakan-akan putraku sendiri yang akan mati. Aku tahu
Emelian terusmenerus menatapku sepanjang hari. Ia diam saja, tetapi aku merasa bahwa ia
ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Ia tampak sedang mengumpulkan keberanian untuk
melakukannya. “Akhirnya aku mendekat kepadanya. Tampak kepedihan di matanya! Saat ia
melihatku menatapnya, ia menundukkan pandangan matanya. “‘Aku ingin bertanya, Astafi.’
Ia memulai. “‘Ada apa, Emelian?’ tanyaku. “‘Jika kau membawa mantelku ke tukang loak,
kira-kira akan laku berapa?’ “‘Aku tak tahu. Mungkin tak banyak. Barangkali tiga rubel.’
Aku mengatakan itu hanya untuk menghiburnya. Aku tahu aku hanya akan ditertawakan bila
hendak menjual mantel butut itu. “‘Astafi, menurutku kau bisa mendapat lebih banyak.
Mantel ini terbuat dari kain yang bagus. Tentu saja mereka akan memberimu lebih dari tiga
rubel untuk bahan sebagus ini, bukan?’ “‘Emelian, jika kau ingin menjualnya, tentu kau boleh
mengajukan harga terlebih dulu.’ “Emelian terdiam sejenak. Lalu ia memanggilku lagi.
“‘Astafi!’ “‘Ada apa, Emelian?’ “‘Juallah mantelku kalau aku mati. Jangan kuburkan aku
dengan pakaian itu. Aku akan baikbaik saja tanpanya. Mantel itu terbuat dari bahan yang
bagus. Cukup layak dijual. Kau bisa mendapat beberapa rubel.’ “Aku tak bisa mengatakan
betapa sedih aku mendengarnya. Aku tahu ajalnya sudah dekat. Kami terdiam kembali.
Sekitar sejam berlalu. Ketika aku menatapnya, kulihat ia masih memandangku. Namun
begitu kami bertemu pandang, ia menundukkan mata. “‘Apakah kau mau minum, Emelian?’
tanyaku. “‘Ya, terima kasih, Astafi.’ “Aku memberinya minum dan ia meminumnya. “‘Ada lagi
yang kau mau, Emelian?’ “‘Tidak, Astafi. Aku tak mau apa pun. Hanya saja—” “‘Apa?’ “‘Kau
tahu.’ “‘Apa yang kau mau, Emelian?’ “‘Celana itu, Astafi. Akulah yang mengambilnya.’ “‘Aku
yakin Tuhan akan mengampunimu, Emelian. Kau akan pergi dengan damai,’ ujarku. “Aku
merasa tenggorokanku tercekat. Aku bisa merasakan mataku berkaca-kaca. Aku
memalingkan pandangan sejenak. “‘Astafi—’“Aku menoleh dan melihat ia hendak berkata
lagi. Ia mencoba duduk tegak dan bibirnya bergerak-gerak. Lalu tiba-tiba ia menatapku
dengan mata terbelalak. Aku melihat wajahnya makin memucat. Ia seakan-akan hendak
mengerut. Sejenak kemudian kepalanya terkulai dan ia mengembuskan napas terakhir. Lalu
ia pun menyerahkan jiwanya ke haribaan Tuhan.”•
FYODOR DOSTOEVSKY (1821-1881), pengarang terkemuka Rusia. Ia dilahirkan di Moskow
sebagai putra seorang bekas dokter militer yang bekerja di sebuah rumah sakit untuk orang
miskin. Pada umur tujuh belas ia masuk Sekolah Teknik Militer di St. Petersburg.

Namun, ia tak sungguh-sung

guh tertarik pada kerja teknik. Setelah lulus, ia keluar dari dinas militer dan mengabdikan
hidupnya untuk sastra. Pada 1846, novel pertamanya, Orang-orang yang Malang, meraih
sukses. Tiga tahun berikutnya, ia telah menulis novel lain dan selusin cerpen. Lalu terjadilah
bencana. Pada umur dua puluh tujuh ia diseret ke pengadilan dan dihukum mati karena
bergabung dengan sebuah kelompok sosialis yang merupakan gerakan terlarang di Rusia
pada masa itu. Pada saat terakhir vonis itu diubah menjadi hukuman kerja paksa di Siberia.
Setelah empat tahun menjalani hukuman, ia dipaksa bergabung dengan militer. Pada 1859 ia
menerima amnesti penuh dan kembali ke St. Petersburg. Ia pun mulai menulis lagi. Namun,
masa sulit menimpanya. Terjerat utang, Dostoevsky kabur ke luar negeri selama tujuh
tahun. Pada masa ini ia hidup melarat, tetapi justru merupakan saat produktif bagi penulisan
karya sastranya. Saat kembali ke Rusia pada 1837, ia sudah terkenal di dunia. Atas
kemampuannya menukik hingga ke dalam batin tokoh-tokohnya dan kemahirannya dalam
menulis, Dostoevsky dianggap sebagai salah seorang sastrawan paling ter

kemuka dalam sejarah.


Kebajikan
John Galsworthy

HAROLD MELLESH bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan asuransi kecelakaan.


Suatu hari pekerjaannya membawanya pada sebuah sidang polisi untuk menyelesaikan
kasus sebuah mobil yang mengalami tabrakan. Ia pun berdiri di sana menyaksikan
penegakan hukum. Sepasang matanya berwarna biru dan mirip mata bayi. Hari ini sepasang
mata itu terbuka lebar. Wajahnya berkerut sehingga membuat rambutnya yang ikal
bergerak-gerak. Tangannya memegang erat topi jerami yang digenggamnya di dada. Harold
Mellesh baru saja melihat empat perempuan jalanan digiring ke depan sidang. Yang tiga
orang dihukum bui. Yang seorang lagi didenda. Perempuan yang terakhir menarik
perhatiannya. Mungkin dia lebih cantik daripada yang lain. Yang pasti dia lebih muda dan dia
menangis. “Pertama kali kau dibawa ke sini—denda dua pound sepuluh shilling.” “Tetapi
saya tak punya uang, Pak.” “Baiklah—kurungan empat belas hari.” Air mata melelehi bedak
di wajahnya. Dia mengeluarkan bunyi sedu sedan yang aneh. Tangisan itu membuat Mellesh
yang masih muda serasa meledak seperti sebuah cerek hendak mendidih. Ia menyentuh
seorang petugas berlengan baju biru di depannya. “Ini,” katanya. “Saya akan membayar
dendanya.” Ia merasakan tatapan polisi itu yang memandangnya seperti seekor kutu.
“Teman Anda?” “Bukan.” “Jangan, kalau begitu. Dia akan kembali lagi kemari bulan ini
juga.” Perempuan itu melintas. Ia melihat perempuan itu menahan tangisnya. “Saya tak
peduli. Saya akan

membayarnya,” ujarnya. Polisi itu menatapnya dengan dingin. “Ikut saya, kalau begitu.”
Mellesh mengikutinya keluar. “Ini,” kata polisi itu pada penjaga yang bertugas mengawal
gadis itu. “Tuan ini akan membayar dendanya.”
Gadis itu tampak bingung. Pipi Mellesh merona merah. Ia mengeluarkan uangnya dan
baru sadar bahwa ia hanya punya uang dua pound lima belas shilling. Ia memberikan uang
yang dua pound sepuluh shilling. “Astaga!” pikirnya. “Apa yang akan dikatakan Alice nanti?”
Ia mendengar gadis itu mendesah lega, “Oh! Terima kasih!” Polisi itu bergumam, “Buang-
buang uang! Akan tetapi itu perbuatan baik.” Mellesh kemudian beranjak ke jalan.
Perasaannya tadi serasa hangat setelah memberikan dua pound sepuluh shilling. Kini ia
merasa kedinginan dan pusing. Seolah-olah kebajikan yang baru dilakukannya tak berbekas
lagi. Lalu terdengar sebuah suara di belakangnya, “Terima kasih banyak. Anda tadi baik
sekali.” Ia mengangkat topinya dan berdiri menyamping agar gadis itu bisa lewat. Gadis itu
menyodorkan sehelai kartu nama padanya. “Kapan pun Anda lewat, mampirlah. Saya amat
berterima kasih.” “Tidak apa-apa!” Senyumnya sama bingungnya dengan senyum gadis itu.
Namun, kini ia harus kembali ke kantornya. Ia berbalik dan bergegas berjalan. Sepanjang
hari ia merasa tak menentu. Apakah ia telah berbuat bodoh? Apakah ia seorang pahlawan?
Terkadang ia berpikir, “Mereka berlaku seperti binatang terhadap gadis itu!” Dan
terkadang ia berpikir, “Aku tak tahu. Kurasa polisi memang seharusnya melakukan sesuatu
soal itu.” Ia mencoba untuk tidak memikirkan Alice. Bagaimana ia akan menerangkan
kepada istrinya tentang lenyapnya uang dua pound sepuluh shilling itu? Ia tahu Alice telah
menghitung uang itu. Malam itu ia sampai di rumah setengah tujuh, seperti biasa. Rumahnya
kelabu, mungil dan hanya memiliki sedikit halaman rumput di sekelilingnya. Istrinya baru
saja menidurkan bayi perempuan mereka di ranjangnya. Kini dia tengah duduk di kursi,
menjahit lubang di kaus kakinya. Dia menatapnya saat ia masuk. Saat menatapnya, Mellesh
memperhatikan dengan kaget betapa kening istrinya begitu berkerut seperti lutut. “Ada
yang salah dengan caramu memakai kaos kaki, Harold,” ujarnya. “Hanya ini yang bisa
kulakukan untuk menjahitnya.” Sepasang matanya berwarna biru terang dan bulat seperti
piring. Suaranya datar. Dia baru saja menunjukkan sedikit perasaannya. Dia adalah anak
seorang petani dan Mellesh dijodohkan dengannya pada sebuah hari libur. Kini ia
memperhatikan betapa pucat istrinya, biarpun ia sendiri agak pucat karena pekerjaan di
kantor dan pengaruh cuaca panas. “Hawanya panas sekali, ya?” ujar sang istri. “Terkadang
aku berharap tidak punya bayi. Bayi membuatmu terikat pada malam hari. Aku merindukan
liburan.”
Mellesh, yang jangkung dan kurus, menunduk untuk mencium kening istrinya. Bagaimana
caranya memberi tahu istrinya itu betapa ia telah mengacaukan rencana liburan mereka?
Kini ia melihat betapa ia telah melakukan sesuatu yang parah. Mungkin ... Oh! Pasti ia akan
mengerti bagaimana ia harus melakukan apa yang telah ia lakukan. Ia tak tega membiarkan
gadis itu dipenjara hanya karena dia tak punya uang beberapa pound. Namun, ia tak
menyebut-nyebut soal gadis itu hingga mereka selesai makan malam. “Aku agak gusar pagi
tadi, Alice,” ujarnya tibatiba. “Aku harus pergi ke sidang polisi untuk menyelesaikan soal
tabrakan mobil yang kuceritakan kepadamu. Setelahnya, aku melihat mereka menyeret
perempuan jalanan dari Piccadilly. Cara mereka memperlakukan perempuan-perempuan itu
membuatku muak.” Istrinya mengangkat wajah menatapnya. Wajahnya polos seperti wajah
seorang bocah. “Mengapa? Apa yang mereka lakukan kepada perempuan-perempuan itu?
“Memenjarakan mereka hanya karena berbicara kepada para lelaki di jalanan.” “Kurasa
perempuan-perempuan itu berbuat tidak baik.” Nada suara istrinya mengganggu Mellesh.
Namun, ia melanjutkan dengan berani. “Mereka berbicara kepada perempuan-perem

puan itu seolah-olah mereka adalah kotoran.”


“Hmm—apakah mereka tidak begitu?” “Oh, mungkin mereka terlalu bebas, tetapi begitu
juga para lelaki.” “Para lelaki tak akan berbuat tidak senonoh kepada mereka jika bukan
karena perempuan-perempuan itu yang menggoda.” “Kurasa itu sebuah lingkaran setan.”
Lalu ia menambahkan, “Satu dua orang di antara mereka berwajah cantik.” Istrinya
tersenyum. Senyuman yang tampak melecehkan. “Mereka memperlakukan yang cantik
dengan lebih baik, bukan?” Lalu ia membeberkannya. “Salah seorang gadis itu masih amat
muda. Dia belum pernah disidang sebelumnya. Mereka akan menjebloskannya ke penjara
hanya karena dia tak punya uang. Aku tak tega. Aku membayari dendanya.” Wajah Mellesh
berkeringat. Wajah istrinya merah padam. “Kau membayarinya? Berapa?” Ia hampir saja
berbohong dengan mengatakan, “Sepuluh shilling.” Namun sesuatu dalam lubuk hatinya
mendorongnya untuk berkata jujur. “Dua pound sepuluh shilling,” ujarnya. Lalu ia berpikir
dengan sedih, “Oh, betapa bodohnya aku!” Ia berharap Alice tidak terbengong-bengong
dengan mulut terbuka seperti itu. Itu membuatnya tampak konyol! Lalu tiba-tiba wajah Alice
menjadi hampa. Mellesh merasa bersalah dan malu—seolaholah ia baru saja memukulnya.
“Aku minta maaf, Alice,” bisiknya. “Aku tidak bermaksud begitu. Dia—dia menangis.” “Tentu
saja dia menangis! Kau bodoh sekali, Harold!” Mellesh bangkit. Ia merasa amat gusar.
“Lalu, apa yang akan kaulakukan?” tanyanya. “Aku? Biarkan saja dia dengan masalahnya
sendiri, tentu saja. Itu bukan masalahmu.” Alice juga bangkit. Mellesh menjambak
rambutnya sendiri. Dalam benaknya ia bisa melihat wajah gadis itu—air matanya berlinang,
tampak bingung dan amat cantik. Ia bisa mendengar suaranya yang lembut dan penuh
terima kasih. Istrinya membalikkan badan. Nah, kan! Mellesh diam sejenak. Baiklah! Tak
diragukan lagi ia telah menjadi penyebabnya. “Aku berani bilang bahwa aku memang
bodoh,” gumamnya, “tetapi aku berharap kau mau mengerti! Kau tak bisa membayangkan
bagaimana perasaanku saat dia menangis. Coba kalau kau ada di tempatnya!” Dari kibasan
kepala istrinya, Mellesh tahu bahwa ia telah salah bicara. “Oh! Jadi itu yang kau pikirkan
tentang aku!” ujarnya. Ia menyentuh bahu istrinya. “Tentu saja tidak, Alice. Jangan konyol!”
Alice menampik tangan suaminya. “Uang siapa itu? Kini bayiku dan aku tak bisa berlibur.
Dan itu hanya karena kau melihat seorang perempuan murahan menangis.”
Sebelum Harold sempat menjawabnya, Alice telah berlalu. Ia memiliki firasat jelek bahwa
ia telah melakukan sesuatu yang amat salah. Ia telah menyerahkan biaya liburan istrinya
kepada orang lain! Memberikan liburan istrinya kepada seorang perempuan jalanan!
Namun, itu liburannya juga. Lagi pula, ia yang telah bekerja untuk mendapatkan uang itu! Ia
tidak pernah berniat memberikannya kepada perempuan asing itu. Ia tidak punya alasan
untuk melakukannya! Bagaimana jika ia meletakkan uang itu di piring sedekah di gereja?
Apakah Alice akan semarah itu—meskipun itu uang liburan mereka? Ia tidak melihat ada
bedanya.
Mellesh terduduk dan meletakkan sikunya di atas lutut. Ia menatap bunga-bungaan di
karpet. Mereka masih berutang untuk karpet itu. Semua perasaan yang muncul dalam hati
orang-orang yang tinggal bersama—saat mereka tidak sependapat—berputar-putar di
kepalanya yang berambut keriting. Matanya memancarkan perasaan-perasaannya, seperti
pikiran seorang bayi. Mereka telah memperlakukan perempuan-perempuan malang itu
seperti najis! Kalau saja perempuan itu tidak menangis! Namun perempuan itu tidak berniat
menangis. Ia dapat mengetahui hal itu dari suara tangisannya. Dan siapakah hakim itu
sebenarnya? Orang macam apa yang memperlakukan perempuan itu sedemikian buruk?
Alice seharusnya tidak ... Tiba-tiba ia memikirkan Alice lagi, membungkuk untuk
memperbaiki kaus kakinya. Dia pucat dan lelah karena kepanasan. Sepanjang hari dia
melakukan banyak hal untuknya dan bayi mereka. Dan ia telah memusnahkan liburan Alice!
Tidak hanya soal itu. Ah, ia menyesali apa yang telah dilakukannya. Ia harus segera
membereskannya dan mencoba berdamai. Ia akan menjual sepedanya. Bagaimanapun Alice
harus mendapatkan kembali liburannya. Ah, ya—mereka semua sudah seharusnya
mendapatkan itu.
Ia membuka pintu dan memasang telinga. Ru
mah mungil itu sangat sunyi. Suara yang terdengar hanya yang berasal dari luar rumah. Ia
mendengar bus-bus yang melintasi jalan di depan rumahnya dan anak-anak kecil bermain-
main di depan pintu. Alice pasti sedang berada di kamar tidur dengan bayinya!
Mellesh melangkahi anak tangga—anak tangga yang telah dibersihkan dan putih. Tangga
itu membutuhkan selembar karpet dan cat baru. Oh! Masih banyak lagi yang diinginkan
Alice. Kau tidak bisa mendapatkan segalanya sekaligus dengan empat pound sepuluh shilling
seminggu! Namun Alice harus mengingat benda-benda yang diinginkan Harold juga—ya,
sayang sekali. Dan ia tidak pernah berpikir untuk mendapatkannya. Pintu kamar tidur itu
terkunci. Ia menggerakkan gerendelnya. Lalu Alice tiba-tiba membuka pintu dan berdiri
menghadap Harold di atas pijakan mungil.
“Aku tidak menginginkanmu di atas sini.” “Lihatlah ini, Alice. Pijakan ini lapuk.” Alice
melangkah turun dari pijakan itu dan menutup pintu di belakangnya. “Itu dia! Kau turunlah
lagi. Aku tidak menginginkanmu. Apa kau pikir aku percaya—tentang perempuan yang
menangis? Aku akan malu sekali jika aku jadi kau!” Malu! Ia mungkin telah berlaku terlalu
lembut hati. Namun mengapa ia harus malu? “Kau pikir aku tidak tahu apa yang disukai
para lelaki?” lanjutnya. “Kau bisa kembali kepada perempuan busukmu itu, jika dia memang
cantik!” Alice berdiri tegak dan kaku di depan pintu. Semburat merah padam tampak di
pipinya. Dia tampak sangat yakin kepada dirinya sendiri bahwa dia hampir saja membuat
Harold merasa seperti seorang penjahat. “Alice! Demi Tuhan! Kau pasti sudah gila! Aku
tidak melakukan sesuatu yang salah!” “Tetapi kau ingin melakukannya. Teruskan saja! Aku
tidak menginginkanmu!” Ia terjajar demi melihat tajamnya tatapan mata biru Alice dan
kekuatan suaranya. Kalimat getir yang keluar dari mulutnya membuat Harold merasa—yah,
ia ternyata tidak mengetahui apa pun. Ia bersandar di dinding. “Oh, terkutuklah aku!”
Hanya itu yang bisa diucapkannya. “Apakah kau ingin mengatakan bahwa dia tidak
mengajakmu ke kamarnya?”
Kedua telapak tangannya menjadi basah. Kartu nama perempuan itu ada di sakunya!
“Baiklah, jika kau tak mau bicara. Aku tidak tahan lagi. Apa yang kau pikir tentang diriku?
Memberikan uang anakmu sendiri kepada seorang perempuan murahan dari jalanan! Kau
berutang semua itu kepada kami—itu kenyataannya. Pergilah kau! Jangan berdiri di situ!”
Ia merasakan keinginan yang muncul tiba-tiba untuk menampar mulut Alice. Mulut itu
terlihat sangat pahit. “Baiklah.” Ia berkata perlahan, “sekarang aku paham.”
Namun apakah yang sebenarnya ia pahami? Bahwa Alice ternyata keras dan kaku, dan
bersikap tajam kepada orang lain?

“Aku kira—aku pikir kau mungkin—” ujarnya lirih. “Ah!” seru Alice. Suaranya terdengar
sangat jelek dan membuat Harold berbalik menuruni tangga. “Kau telah mengubur kami.
Kau setan putih!” jeritnya. Pintu terdengar dikunci sebelum Harold sempat membalas kata-
kata anehnya. Ia mendengar anak kunci diputar. Idiot! Pijakan kecil itu tampak terlalu kecil
untuk menahan perasaan-perasaannya. Akankah ia mengucapkan sepatah kata kepada Alice
jika ia telah melakukan sesuatu yang salah dengan perempuan itu? Mengapa? Ia bahkan tak
terpikir untuk melakukan apa pun! Kebingungan, Harold menuruni anak tangga dengan
berlari. Ia menarik topi jeraminya dari rak dan pergi ke luar. Jalanan berbau aroma kodok
London, ikan goreng, bensin, dan orang-orang nista yang kepanasan. Merasa sangat susah,
ia terus melangkah. Matanya tampak sangat sedih. Jadi, inilah sebenarnya perempuan yang
telah dinikahinya—inilah! Ini seperti menikahi aparat pengadilan! Manusia seharusnya
memiliki rasa percaya. Lalu apa gunanya bersikap baik hati dan jujur jika inilah yang
diterima seorang lelaki karenanya? “Tuan, bagian belakang Anda terlihat putih. Biarkan
saya membersihkannya.” Ia berdiri tegak, merasa sangat kebingungan. Seorang lelaki tinggi
besar dan ramah menyapu bagian belakangnya naik turun dengan sebuah tangan besarnya
yang datar. Setan putih! Ia pasti telah bersandar di dinding yang tersapu warna putih di
tangga. Gelembung kemarahan naik ke ujung bibirnya. Baiklah kalau demikian! Ia
merasakan sakunya berisi kartu nama si gadis. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan kenyataan bahwa
ia tidak perlu mencarinya. Ia ingat alamat itu. Tidak terlalu jauh, hanya sisi lain dari Jalan
Euston. Apakah ia telah berusaha mencari kartu itu tanpa menyadari keberadaannya? Ia
tidak yakin. Namun, ia tak sadar bahwa ia sedang berencana membalas Alice! Mellesh
sampai di Jalan Euston. Saat menyeberanginya, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh,
kelemahan yang menyenangkan di kedua kakinya. Kini ia sadar bahwa ia sedang memulai
sesuatu yang salah. Ia bukan akan mengunjungi perempuan itu hanya untuk membalas
istrinya, tetapi karena ia mengharapkan sesuatu! Itu sesuatu yang buruk. Buruk! Itu akan
menempatkan Alice di pihak yang benar! Ia berdiri tegak di sebuah sudut taman dengan
bertumpu pada pagar besi. Ia bersandar pada salah satu bagian pagar itu. Matanya
mencari-cari pepohonan. Ia selalu bersikap jujur kepada istrinya. Itu gagasan istrinya yang
masuk ke dalam kepalanya. Dan bahkan kakinya yang terasa lemah itu pun sepertinya
mengakui bahwa dalam beberapa hal Alice memang benar. Harold Mellesh tidak yakin
harus melakukan apa. Ia seakan-akan sedang berada dalam sidang polisi. Tanpa Alice, tanpa
sidang polisi, di manakah ia akan berada? Di manakah setiap orang akan berada? Tanpa
kebajikan? Sepenuhnya tanpa kebajikan! Seekor burung di taman bernyanyi. “Kapan pun
Anda lewat, mampirlah. Saya akan senang sekali menjumpai Anda,” ujar gadis itu. Suaranya
terdengar jujur, sangat berterima kasih. Dan perempuan itu terlihat—tak lebih buruk dari
orang lain! Kalau saja Alice melihat dari sudut pandangnya! Ia tak akan pernah memikirkan
itu lagi. Begitulah, kecuali kalau—yah! Keraguan itu membuat kakinya melangkah ke depan.
Ia lelaki yang telah beristri. Itulah keadaannya. Namun ia melihat ke seberang, ke arah
nomornomor rumah. Ya, itu dia—nomor 27! Sebuah beranda yang dipenuhi bunga-bunga
menyapu wajahnya. Aroma harum membuatnya terkenang pada hari pernikahannya dengan
Alice. Alice yang sebenarnya—bukan Alice yang tadi berdiri di atas pijakan!
Begitu ia melihat lebih dekat ke arah rumah kumuh itu, tiba-tiba ia merasakan hawa panas
menerpa sekujur tubuhnya. Andaikan ia masuk ke sana, apa yang akan dipikirkan gadis itu?
Bahwa ia berencana meminta balas jasa atas denda yang tadi dibayarkannya. Namun,
bukan itu saja ... Oh, tidak! Ia bukan lelaki semacam itu! Ia memalingkan wajahnya dan
berjalan, bergegas menjauh. Lelampuan di atas bioskop menyala. Hanya ada segelintir
mobil di jalanan. Orang-orang terlihat berjalan perlahan-lahan. Harold Mellesh mendatangi
taman dan duduk di atas sebuah bangku. Dalam keremangan senja, lampu-lampu jalan dan
lelampuan bioskop yang mengelilinginya lama kelamaan menjadi kian terang. Seraya duduk
di situ, ia memikirkan betapa menyedihkannya hidup ini. Ada banyak hal yang terjadi—tetapi
seseorang hanya mendapatkan sedikit saja dari sesuatu!
Harold Mellesh mengingat bayangan-bayangan kejadian yang dialaminya sepanjang hari,
kemudian ia memikirkan tentang rumah dan Alice. Itulah hidup! Yah, tidak begitu buruk
ketika Alice bersikap manis kepadanya. Namun, oh, apa yang hilang! Buku-buku tentang
kepulauan di Laut Selatan—tempat orang-orang, pemandangan, suara-suara, wewangian,
seluruh dunia! Empat pound sepuluh shilling seminggu, seorang istri, seorang bayi! Yah, kau
tak akan dapat memiliki hidup dengan kedua cara itu! Namun apakah ia memiliki salah satu
di antaranya? Tidak, dengan Alice berdiri di atas pijakan! Ah, Alice yang malang!
Kegembiraan sulit dirasakannya karena dia kehilangan uang liburannya! Namun seharusnya
dia memberi Harold kesempatan untuk mengatakan bahwa ia akan menjual sepedanya. Atau
itu hanyalah mimpi buruk? Apakah ia benar-benar pernah berada di sidang polisi? Apakah ia
pernah melihat mereka mengirimkan gadis-gadis itu ke penjara? Dan tidakkah gadis-gadis
itu juga seperti dirinya—orang-orang yang telah kehilangan banyak hal? Polisi akan
menangkapi mereka kembali malam ini. Betapa bodohnya ia telah membayar denda itu!
“Sungguh senang aku tidak telanjur masuk ke rumah gadis itu,” pikirnya. “Aku akan merasa
seperti seonggok sampah masyarakat!” Itulah satusatunya pikiran baik tentang hal ini:
bayangan wajahnya ketika gadis itu berkata, “Oh, terima kasih!” Bahkan saat ini, mengingat
bayangan itu memberinya perasaan hangat. Namun kemudian, perasaan itu juga berubah
menjadi dingin. Tak ada yang pantas untuk itu! Saat ia selesai duduk-duduk di situ, ia harus
pulang! Jika Alice menduganya telah berbuat serong—apa yang akan dia pikirkan ketika
Harold kembali? Yah, itu dia! Susu telah tumpah, tetapi ia memang berharap Alice tidak
memiliki kebajikan semacam itu terhadap si gadis. Langit makin kelam, lelampuan tampak
makin terang dan putih. Hamparan bunga-bunga di taman seperti terpotong dan kaku
layaknya tata panggung. Ia harus kembali dan menghadapinya! Tak ada gunanya merasa
cemas! Harold Mellesh bangkit dari bangku dan menyalami dirinya sendiri. Berbalik ke
arah lampulampu di perbukitan, sepasang matanya terpentang lebar, jujur dan baik seperti
sepasang mata bayi.•
JOHN GALSWORTHY (18671933), pengarang Inggris, pemenang Hadiah Nobel Sastra
1932. Ia menulis novel, cerpen, dan lakon. Dilahirkan dalam sebuah keluarga kelas
menengah Inggris, ia bersekolah di sekolah-sekolah terbaik di Inggris dan kemudian
kuliah di fakultas hukum untuk menja
di pengacara. Namun, ilmu
hukum ternyata bukan bi
dangnya. Mengetahui bahwa ia tak menikmati pekerjaannya sebagai pengacara, ayahnya
mendorongnya untuk melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam salah satu
perjalanannya ia bertemu dengan penulis terkenal Joseph Conrad. Pertemuan ini
mengawali persahabatan mereka yang berumur panjang
sekaligus menandai permulaan ketertarikan Galsworthy untuk
merintis karier di bidang sastra. Karya-karya Galsworthy sebagian besar merupakan kritik
terhadap kelas sosialnya sendiri. Ia memang selalu merupakan seorang pemberontak kelas
wahid. Pada 1918, ia ditawari gelar kebangsawanan oleh keluarga kerajaan, tetapi ia
menolaknya. Karya terkenalnya adalah

The Forsyte Saga, serangkaian novel tentang sebuah keluarga

Inggris.
Tamu Pernikahan
O. Henry

ANDY DONOVAN selalu makan malam di rumah kos tempat ia


menyewa sebuah kamar. Rumah itu terletak di Second Avenue.
Suatu petang, pada saat makan ia berjumpa dengan penghuni
baru, seorang gadis belia: Nona Conway. Nona Conway bertubuh
mungil dan pendiam. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna
cokelat. Sepertinya dia tak menaruh perhatian selain pada makan
malamnya. Dan tampaknya, makan malamnya pun tak terlalu
menarik baginya. Dia menatap Andy sekilas saat berkenalan lalu
melanjutkan lagi makan malamnya. Andy memiliki seulas senyum
yang disenangi oleh setiap orang. Ia tersenyum kepada nona itu
dan selebihnya tak terlalu ambil peduli kepadanya.
Dua minggu kemudian, Andy duduk-duduk di beranda rumah
menikmati kesejukan udara senja. Ia mendengar sebuah gerakan
di belakangnya. Dipalingkannya kepalanya dan sejenak
tatapannya terpaku. Nona Conway muncul dari balik pintu
mengenakan gaun lembut berwarna hitam kelam. Topinya pun
hitam. Dia memakai sarung tangan hitam yang menutupi kedua
tangannya. Tiada warna lain yang melekat di tubuhnya. Semuanya
serba hitam. Seorang kerabatnya tampaknya telah meninggal
dunia. Andy merasa pasti akan hal itu. Rambut lebatnya yang
keemasan tergerai di belakang leher nona itu. Sebenarnya,
wajahnya tak terlalu cantik. Namun, sepasang mata kelabu yang
lebar membuat wajah itu tampak indah. Gadis itu memandang
langit dengan tatapan penuh kesedihan. Ah, bayangkanlah:
pakaian serba hitam, rambut keemasan, dan tatapan sedih yang
menerawang jauh ... Andy tiba-tiba jatuh simpati kepada nona itu.
Ia bangkit. “Senja yang indah, Nona Conway,” sapanya. “Hanya
hati yang tenang yang bisa menikmatinya,” ujar si nona. Dia
menarik napas dalam-dalam. “Kuharap tak ada seorang pun di
antara keluarga Anda yang baru meninggal dunia ...” “Maut telah
digariskan,” kata Nona Conway, “bukan keluargaku, melainkan
seseorang yang ... Ah, tak sepantasnya saya menceritakan
kesusahan saya kepada Anda, Tuan Donovan.”
“Mengapa tidak? Siapa tahu saya bisa meringankannya.” Nona
Conway menyunggingkan seulas senyum tipis. Dan, oh, wajahnya
jadi tampak lebih sedih dibandingkan dengan ketika tak
tersenyum. “Tertawalah. Dan dunia akan ikut tertawa,” kata
gadis itu. “Dunia tak akan tertarik pada kesedihan. Saya telah
belajar tentang itu, Tuan Donovan. Saya tak punya kawan di kota
ini, tetapi Anda telah berbaik hati kepada saya. Terima kasih.”
Lelaki itu tak bisa berbuat apa-apa. “Sendirian di New York
bukanlah hal yang mudah,” kata Andy, “tetapi jika New York telah
menjadi akrab, semuanya akan terasa bersahabat. Bagaimana
jika kita berjalan-jalan di taman? Mungkin akan lebih baik bagi
Anda.” “Terima kasih. Saya akan menyukainya, tetapi saya tak
ingin kesedihan saya membuat Anda ikut sedih.” Mereka pergi
melintasi gerbang taman dan duduk di sebuah bangku yang sepi.
“Kami akan segera menikah,” kata Nona Conway. “Dia seorang
bangsawan sejati. Dia memiliki tanah dan rumah besar di Italia.
Count Fernando Mazzini nama lengkapnya. Ayah saya tak
menyetujui rencana pernikahan kami. Kami lalu nekat akan kawin
lari, tetapi ayah saya berhasil mencegahnya. Saya takut mereka
akan berkelahi. “Untunglah, akhirnya ayah saya menyetujui
pernikahan kami. Fernando pergi ke Italia untuk mempersiapkan
segala sesuatunya. Ayah saya amat bangga. Fernando ingin
memberi saya beberapa ribu dolar untuk membeli baju pengantin,
tetapi ayah saya tak mengizinkan. Ketika Fernando telah
berangkat, saya pergi ke kota ini dan bekerja di sebuah toko.
“Tiga hari yang lalu saya menerima surat dari Italia. Katanya,
Fernando dibunuh orang. Itulah sebabnya saya memakai pakaian
hitam. Hati saya telah mati bersama Fernando. Saya tak bisa
jatuh cinta lagi kepada orang lain. Ah, saya telah merepotkan
Anda dengan cerita ini. Lebih baik kita kembali ke rumah ...” Saat
gadis itu bercerita kepadanya bahwa hatinya telah mati, Andy
ingin membuatnya hidup kembali. “Saya turut bersedih ...” kata
Andy. “Tidak, kita belum akan pulang. Jangan bilang Anda tak
punya kawan di kota ini, Nona Conway. Sayalah kawan Anda.
Percayalah.” “Saya menyimpan sebuah foto,” kata gadis itu. “Saya
menyimpannya dalam liontin yang tergantung di leher saya.
Sebelumnya, saya tak pernah memperlihatkannya kepada siapa
pun, tetapi kini saya ingin menunjukkannya kepada Anda, Tuan
Donovan. Saya percaya Anda mau menjadi seorang teman sejati.”
Andy melihat dengan penuh minat pada foto itu. Count Mazzini
memang tampan. Wajahnya menunjukkan watak seorang lelaki
yang kuat dan tampak bahagia. Seorang lelaki yang berbakat me

mimpin.
“Saya punya foto yang lebih besar di kamar,” kata Nona
Conway. “Kalau kita pulang, akan saya tunjukkan kepada Anda.
Saya tak punya sesuatu yang lain yang dapat membuat saya
terkenang kepada Fernando. Namun dia akan selalu hidup di hati
ini. Saya bersungguh-sungguh.” Andy memutuskan untuk merebut
tempat istimewa di hati gadis itu. Ia yakin tak bakal gagal. Ia
akan bersikap ramah. Ia akan selalu tersenyum untuk gadis itu.
Ketika mereka kembali ke rumah, nona itu berlari ke kamarnya
dan mengambil foto kekasihnya yang berukuran lebih besar. Andy
menatap foto itu. Tak seorang pun bisa menebak apa yang
tebersit di benaknya. “Dia memberikannya pada malam sebelum
berangkat ke Italia,” kata Nona Conway. “Pria yang gagah,” kata
Andy Donovan hangat. “Nona Conway, maukah Anda pergi ke
Pulau Coney bersama saya minggu depan?” Sebulan kemudian
mereka mengumumkan kepada penghuni lain di rumah itu bahwa
mereka akan segera menikah. Biarpun begitu, Nona Conway
tetap saja berpakaian hitam-hitam. Seminggu kemudian sepasang
kekasih itu duduk berduaan di atas bangku taman. Andy Donovan
tampak murung sepanjang hari. Ia begitu pendiam malam itu
sehingga Nona Conway merasa perlu bertanya kepadanya. “Ada
apa, Andy?”
“Tak ada apa-apa, Maggie.” “Kamu tak pernah seperti ini
sebelumnya. Ada apa?” “Tak ada apa-apa, Maggie.” “Kamu
bohong. Berceritalah kepadaku. Apakah ada perempuan lain?
Kenapa kamu tak pergi saja kepadanya?” “Baik, baiklah ... Aku
akan bercerita,” kata Andy bijak pada akhirnya, “tetapi aku yakin
kamu tak akan mengerti. Kamu pernah dengar tentang Mike
Sullivan? Orang-orang memanggilnya ‘Big Mike’ Sullivan.” “Aku
tak kenal kepadanya,” jawab Maggie. “Siapa dia?” “Dia orang
paling penting di New York. Jika kamu menghinanya, jutaan orang
akan siap membelanya. Big Mike itu kawanku. Dibandingkan
dengan dia, aku hanyalah orang kecil, tetapi Big Mike baik
kepadaku. Dia tak membeda-bedakan kawan. Aku bertemu
dengannya secara kebetulan hari ini. Dia mendatangi dan
menyalamiku. Aku bilang kepadanya bahwa aku akan menikah
dua minggu lagi. ‘Andy,’ katanya, ‘aku akan datang ke pestamu.’
Itu yang dikatakannya kepadaku dan dia selalu menepati kata-
katanya. “Kamu tak akan mengerti Maggie, tetapi aku mau Big
Mike hadir di pesta kita. Itu akan membuatku amat bangga.”
“Lalu kenapa kamu tak menyuruhnya datang?” ujar Maggie.
“Ada satu alasan kenapa aku tak bisa melakukannya,” kata Andy
dengan sedih. “Jangan memaksaku mengatakannya.” “Lalu
kenapa kamu tak mau tersenyum kepadaku hari ini?” kata
Maggie. “Maggie,” kata Andy setelah beberapa saat, “apakah
kamu mencintaiku sehebat kamu mencintai Count Mazzini?” Andy
menunggu cukup lama, tetapi Maggie tak juga menjawab
pertanyaannya. Tiba-tiba, gadis itu menjatuhkan kepalanya di
bahu Andy dan mulai menangis. Maggie mencengkeram tangan
lelaki itu, air mata membasahi gaun hitamnya. “Maggie,” ujar
Andy lupa pada masalahnya. “Kamu kenapa?” “Andy,” kata
Maggie. “Aku telah berbohong kepadamu. Count Mazzini
hanyalah karanganku. Tak pernah ada lelaki yang mencintaiku
sebelumnya. Gadis-gadis lain punya seseorang yang mencintai
mereka, tetapi aku tidak. Dan Andy, kamu tahu kan, aku tampak
cantik dengan baju hitam. Jadi, kubeli foto itu di sebuah toko dan
kukarang kisah tentang Count itu. Aku bilang kepadamu bahwa
dia sudah mati karena aku ingin memakai baju berwarna hitam.
Aku tak pernah mencintai orang lain selain kamu. Itulah
kenyataan yang sesungguhnya.” Andy tetap di tempatnya.
Tangannya memeluk gadis itu agar lebih dekat kepadanya.
Maggie menatap lelaki itu dan melihat seulas senyum
mengembang di bibirnya.
“Kamu ... kamu masih mencintaiku, Andy?” “Tentu saja,” jawab
Andy. “Kamu membuat semua masalahku beres, Maggie. Dasar
gadis pintar!” “Andy,” kata Maggie setelah terdiam sejenak,
“kamu dulu percaya ceritaku tentang Count Mazzini?” “Tidak,
tidak terlalu,” jawab Andy. “Sebetulnya foto yang kamu simpan di
dalam liontin itu foto kawanku, Big Mike Sullivan.”•
O. HENRY (1896-1910), cerpenis terkemuka Amerika Serikat.
Nama aslinya William Sydney Porter. Konon, nama samarannya
itu berasal dari nama seorang sipir penjara yang dikenalnya
saat ia menjadi orang kurungan, Orrin Henry. Mantan
narapidana
untuk kasus perampokan bank
ini diakui sebagai cerpenis terkemuka dunia. Namanya
diabadikan sebagai penghargaan tahunan paling bergengsi
untuk cerpen terbaik di Amerika Serikat, O. Henry Award.
Karya-karyanya kebanyakan mengangkat tema keseharian,
terkadang penuh humor atau bernuansa satir, dan kerap ditutup
dengan akhir mengejutkan. Sebelum masuk penjara, ia pernah
bekerja sebagai wartawan dan pegawai bank. Setelah
dibebaskan pada 1901, setidaknya ia menulis cerpen seminggu
sekali untuk koran World yang terbit di New York. Kumpulan
cerpennya antara lain The Heart of the West (1907) dan The
Gentle Grafter (1908).
Ibunda

James Joyce

PAK HOLOHAN mondar-mandir menyusuri jalanan kota Dublin selama hampir sebulan. Ia
sedang menyusun serangkaian konser. Sebelah kakinya cacat sehingga teman-temannya
memanggilnya Holohan si Pelompat. Ia terus berjalan hilir mudik. Pada jam tertentu ia
berdiri di pojok jalan, berpikir, dan membuat catatan. Tangan dan sakunya penuh dengan
sobekan kertas kotor. Namun pada akhirnya selalu Bu Kearney yang menyusun semuanya.
Nona Devlin menjadi Bu Kearney secara tak disangka-sangka. Dia pernah bersekolah di
biara terkemuka. Di sana dia belajar bahasa Prancis dan musik. Sikapnya memang kaku
dari sananya, membuatnya hanya punya sedikit teman di sekolah. Saat dia telah cukup umur
untuk menikah, dia dikirim ke banyak rumah. Di sana permainan piano dan tingkahnya yang
pendiam kerap dikagumi. Dia duduk di tengah lingkaran para pengagumnya, menanti
tawaran untuk membina kehidupan yang cemerlang. Namun para lelaki muda yang
dijumpainya tak melakukannya. Mereka hanya bersikap biasa-biasa saja dan dia pun tak
berusaha mendorong mereka. Namun kemudian, sebelum orang-orang mulai berbicara, dia
mengejutkan semua orang dengan menikahi Pak Kearney. Lelaki itu seorang pembuat sepatu
yang jauh lebih tua darinya. Percakapan Pak Kearney tampaknya dilakukan oleh janggut
cokelatnya yang lebat. Ia hanya berbicara tentang hal-hal serius dan itu pun tidak sering.
Namun, setelah setahun menikah, Bu Kearney toh tidak merasa tak senang hati. Dia
memutuskan bahwa lebih mudah hidup bersama seorang lelaki seserius itu daripada dengan
seseorang yang romantis. Namun dia sendiri tak pernah meninggalkan gagasan-gagasan
romantiknya. Dia seorang istri yang baik dan dia mengurus suaminya dengan baik. Pak
Kearney ayah panutan bagi kedua anak gadis mereka. Ia mengirim si sulung, Kathleen, ke
sebuah sekolah biara yang bagus untuk belajar bahasa Prancis dan musik di sana.
Setelahnya, ia membiayai sekolah putrinya di Akademi. Setiap bulan Juli Bu Kearney
menceritakan rencana-rencananya kepada sejumlah teman. “Suamiku yang baik mengajak
kami ke pantai selama beberapa minggu.” Jika bukan ke pantai, mereka pergi ke
pegunungan atau tempat-tempat wisata lainnya.
Sudah sejak lama nama Nona Kathleen Kearney sering terdengar diucapkan orang. Orang
bilang dia gadis baik yang pandai main piano. Selain itu, dia dan ibunya pendukung gerakan
penggunaan bahasa rakyat Irlandia. Bersama banyak orang, mereka berpikir bahwa orang-
orang Irlandia seharusnya berbicara bahasa Irlandia sebaik mereka menggunakan bahasa
Inggris. Ibunya memastikan bahwa gadis itu telah mendapat pelajaran bahasa Irlandia
dengan baik. Bu Kearney tidak terkejut ketika Pak Holohan menghubunginya. Lelaki itu
minta izin agar putrinya ikut bermain pada serangkaian konser yang dipentaskan oleh
kelompoknya. Ia sekretaris Erie Abu, sebuah kelompok berbahasa Irlandia. Ia berkata
bahwa empat konser besar akan dipentaskan di Ruang Konser Kuno. Bu Kearney mengajak
Pak Holohan ke ruang tamunya. Dia menyuguhkan anggur dan kue-kue. Dengan sepenuh
hati dia membicarakan proyek itu. Akhirnya sebuah kontrak disepakati untuk Kathleen.
Disebutkan bahwa dia akan menerima delapan guinea atas jasanya. Dia akan bermain piano
untuk mengiringi para penyanyi dalam empat konser besar. Pak Holohan tidak tahu banyak
tentang perencanaan konser. Bu Kearney membantunya. Dia punya siasat. Dia tahu
bagaimana menulis iklan. Dia bisa menyusun daftar acara. Dia tahu penyanyi yang
bagaimana yang harus ditulis dengan huruf kapital dan yang mana yang harus ditulis dengan
huruf kecil. Dia tahu bahwa penyanyi tenor utama tak akan suka bila tampil sesudah acara
banyolan Pak Meade. Dia menyisipkan lagu-lagu yang kurang populer di antara lagu-lagu
lama yang disukai. Ini akan membuat para penonton tetap senang. Setiap hari Pak Holohan
menemuinya. Ia selalu membutuhkan saran Bu Kearney. Dan Bu Kearney selalu ramah dan
bersungguh-sungguh membantunya. Segalanya berjalan lancar. Bu Kearney membeli kain
satin merah jambu yang indah untuk bahan pakaian Kathleen. Harganya agak mahal.
Namun ada saat-saat ketika membelanjakan sedikit uang bisa dimaklumi. Dia membeli
selusin tiket untuk konser terakhir dan mengirimkannya kepada temantemannya. Dia tak
melupakan apa pun. Berterima kasihlah atas usahanya, segala yang harus dilakukan sudah
dilakukannya. Konser-konser itu akan dipentaskan pada hari Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Bu Kearney tiba di ruang konser lebih awal pada hari Rabu. Dia tidak suka dengan apa yang
dilihatnya. Sejumlah pemuda beremblem biru muda berdiri di sekitar ruangan. Tak seorang
pun di antara mereka mengenakan pakaian resmi untuk acara malam hari. Bu Kearney
memandang berkeliling ruangan konser. Dia melihat orang-orang hanya berdiri. Ruang
konser itu kosong. Dia bertanya-tanya apakah dia salah waktu. Tidak, ini sudah pukul
delapan kurang dua puluh menit. Di ruang ganti dia bertemu dengan Pak Fitzpatrick,
pengurus kelompok itu juga. Dia tersenyum dan berjabat tangan. Ia lelaki bertubuh mungil
dengan wajah pucat yang tengah memegang secarik daftar acara. Saat berbicara dengan Bu
Kearney, lelaki itu menggigit ujung kertasnya hingga hancur. Namun tampaknya ia
seseorang yang bisa menelan kekecewaan dengan enteng. Setiap beberapa saat Pak
Holohan muncul di kamar ganti. Ia membawa laporan dari tempat penjualan tiket. Para
penyanyi bercakap-cakap di antara mereka dengan gugup. Mereka melirik cermin dan
menyiapkan partitur musik mereka. Ketika waktu hampir menunjukkan pukul setengah
sembilan, orang-orang di ruangan konser mulai gelisah. Mereka ingin hiburan. Pak
Fitzpatrick masuk dan tersenyum hampa. “Yah, saya kira kita sebaiknya membuka acara

sekarang,” ujarnya. Bu Kearney menatapnya dingin. “Apakah kau siap, Sayang?” ujarnya
kepada putrinya. Dia bertanya kepada Pak Holohan apa arti semua ini. Mengapa hanya ada
sedikit penonton? Pak Holohan sendiri tidak mengerti. Ia bilang mungkin panitia membuat
kesalahan. Mungkin empat konser terlalu banyak. “Dan para penyanyi itu!” ujar Bu
Kearney. “Tentu saja mereka melakukan yang terbaik, sayangnya mereka tidak terlalu
bagus.” Pak Holohan harus mengakui bahwa sebagian besar penyanyi yang akan tampil
memang tidak terlalu bagus. Maka, panitia, ujarnya, mengambil sebuah keputusan. Mereka
memutuskan tiga konser awal dilakukan sesuka mereka. Namun semua yang terbaik
disimpan untuk Sabtu malam. Bu Kearney tak berkata sepatah pun. Penampilan yang buruk
diiringi oleh penampilan buruk lainnya. Penonton yang tak seberapa banyak makin
berkurang. Dia mulai menyesal telah membelanjakan uangnya untuk konser semacam ini.
Namun dia tetap membisu dan menanti bagaimana akhir semua ini. Akhirnya konser usai.
Sudah nyaris pukul sepuluh. Semua orang meninggalkan ruangan konser dan segera pulang.
Pada Kamis malam lebih banyak yang menghadiri konser. Namun, para penonton tampaknya
tidak terlalu menyimak. Mereka bertingkah seolaholah konser itu peragaan busana. Pak
Fitzpatrick tampak asyik sendiri. Ia tak memperhatikan bahwa Bu Kearney tengah
menatapnya dengan marah. Ia berdiri di tepi panggung. Berkali-kali ia mengeluarkan
kepalanya dan tertawa-tawa dengan dua temannya yang ada di balkon. Pada malam itu Bu
Kearney tahu bahwa konser hari Jumat dibatalkan. Panitia akan menata ruangan untuk
persiapan pentas pada Sabtu malam. Saat mendengar hal itu, dia menatap Pak Holohan. Dia
memberhentikan lelaki itu saat ia akan mengambil segelas limun untuk seorang gadis. Dia
bertanya apakah kabar itu benar. Ya, memang benar. “Namun, tentu saja itu tak mengubah
kontrak,” ujar Bu Kearney. “Kontrak itu untuk empat konser.” Pak Holohan tampak tergesa-
gesa. Ia minta agar Bu Kearney berbicara kepada Pak Fitzpatrick. Bu Kearney kini merasa
cemas. Dia menemui Pak Fitzpatrick dan mengingatkannya bahwa putrinya telah
menandatangani kontrak untuk empat konser. Tentu saja, dia harus menerima seluruh
bayaran yang telah disepakati. Bukan masalah apakah kelompok itu jadi mementaskan
empat konser atau tidak. Pak Fitzpatrick sepertinya tak menangkap maksudnya. Ia tak bisa
memastikan. Ia bilang bahwa ia akan membicarakannya dengan panitia. Kemarahan Bu
Kearney mulai meluap. Dia berusaha menahan diri untuk tak bertanya, “Jadi, siapakah
sebenarnya panitia itu?” Dia tahu pertanyaan itu terlalu kasar. Maka, dia berdiam diri. Pada
Jumat pagi bocah-bocah kecil dikerahkan ke seluruh Dublin. Mereka membagikan sebundel
selebaran. Pengumuman khusus juga muncul di koran sore. Mereka mengingatkan para
pencinta musik tentang sajian istimewa bagi mereka pada Sabtu malam. Bu Kearney merasa
lebih nyaman. Namun, dia tetap berbicara kepada suaminya tentang ketakutan-
ketakutannya. Suaminya mendengarkan dengan saksama dan berjanji akan pergi dengannya
pada Sabtu malam. Dia setuju. Dia menghormati suaminya dengan cara yang sama seperti
dia menghormati Kantor Pos. Keduanya sama-sama besar, aman, dan pasti. Dia tahu betapa
sedikit bakat suaminya, tetapi dia menghargai nilainya sebagai kehadiran seorang lelaki
yang kuat. Dia senang suaminya mau datang bersamanya. Dalam benaknya, segala
kecemasannya sirna. Malam konser besar itu pun tiba. Bu Kearney berangkat bersama
suami dan putrinya. Mereka tiba di ruangan konser empat puluh lima menit lebih awal.
Sayangnya, malam itu hujan turun. Bu Kearney menitipkan pakaian dan partitur musik
anaknya di tangan suaminya. Dia lalu pergi mencari Pak Holohan atau Pak Fitzpatrick,
tetapi dia tak dapat menemukan mereka. Dia bertanya kepada para penjaga di manakah dia
bisa menemui salah satu anggota panitia. Setelah banyak kesulitan, seorang penjaga
mempertemukannya dengan seorang perempuan bertubuh mungil bernama Nona Beirne.
Bu Kearney menjelaskan kepadanya bahwa dia ingin bertemu dengan salah seorang
sekretaris. Nona Beirne menunggu mereka beberapa saat. Dia bertanya apakah ada yang
bisa dia bantu. Bu Kearney menatap wajah tua yang mungil itu. Raut wajah perempuan itu
penuh kepercayaan dan semangat. “Tidak, terima kasih,” ujar Bu Kearney. Nona Beirne
berharap akan ada banyak penonton. Dia menatap hujan. Jalanan yang basah segera
menghapus semangat dari wajahnya. Lalu dia menarik napas. “Ah, kami telah melakukan
yang terbaik. Tuhan tahu itu,” ujarnya. Bu Kearney kembali ke ruang ganti. Para penyanyi
sudah datang. Penyanyi bas dan penyanyi tenor kedua telah masuk ke ruang ganti. Penyanyi
bas, Bung Duggan, adalah seorang lelaki muda bertubuh ramping dan berkumis hitam. Dia
putra seorang pegawai di sebuah kantor pemerintah. Sebagai seorang pemuda, dia mampu
menyanyikan nada-nada rendah yang bergema di ruangan besar itu. Dia telah berhasil
mencapai karier sebagai seorang penyanyi papan atas. Dan dia telah bernyanyi dalam opera
besar. Dia berpenampilan kalem dan tak banyak bicara. Selain itu, dia tak pernah minum
sesuatu yang lebih keras daripada susu. Pak Bell, penyanyi tenor kedua, adalah seorang
lelaki mungil berambut lurus. Setiap tahun ia ikut kontes musik. Pada kesempatan keempat,
ia berhasil memenangi medali perunggu. Ia sangat gugup dan cemburu kepada para
penyanyi tenor lainnya. Lelaki mungil ini menyembunyikan kecemburuannya yang gugup itu
dengan gumaman ramah. Namun, ia ingin orang-orang tahu betapa menyakitkan konser itu
baginya. Maka, saat ia melihat Bung Duggan, ia mendekatinya dan bertanya, “Apakah Anda
juga ikut konser ini?” “Ya,” sahut Bung Duggan. Pak Bell menertawakan penderitaan
temannya itu. Ia mengulurkan tangannya dan berkata, “Ayo, salaman!” Bu Kearney
mengintip dari ujung layar untuk mengetahui pemandangan di ruang konser. Tempat duduk
terisi dengan cepat. Saat dia kembali, dia berbicara secara pribadi dengan suaminya.
Mereka melirik Kathleen berkali-kali saat dia berdiri dan mengobrol dengan salah seorang
temannya. Itu Nona Healy, penyanyi kontralto. Lalu, seorang perempuan tak dikenal
berwajah pucat berjalan melintasi ruangan. Kedua gadis itu melirik perempuan yang baru
datang dengan tatapan ingin tahu. Sehelai gaun biru muda melekat ketat di tubuh kurusnya.
Seseorang berkata bahwa dia Bu Glynn, penyanyi sopran. “Aku penasaran, di mana mereka
menemukannya ya?” ujar Kathleen kepada Nona Healy. “Aku yakin belum pernah
mendengar tentangnya.” Nona Healy tersenyum. Kemudian Pak Holohan tertatih-tatih
masuk ke ruang ganti. Kedua gadis bertanya kepadanya tentang perempuan tak dikenal itu.
Pak Holohan berkata bahwa perempuan itu Bu Glynn dari London. Bu Glynn berdiri di pojok
ruangan. Dia memegang segulung partitur musik dengan kaku di depan dadanya yang kurus.
Suara ribut di ruang konser bertambah nyaring. Penyanyi tenor pertama dan penyanyi
bariton datang bersamaan. Mereka berpakaian bagus. Bu Kearney berpikir mereka
menambahkan hawa kemakmuran pada kelompok itu. Dia membawa putrinya mendekati
mereka dan bercakap-cakap dengan riang. Dia ingin memberi kesan baik kepada mereka.
Namun, saat dia berusaha bersikap sopan, sepasang matanya melirik Pak Holohan. Secepat
yang dia mampu, diikutinya lelaki itu. “Pak Holohan, saya ingin berbicara dengan Anda
sebentar,” ujarnya.
Mereka beranjak ke tempat yang lebih tenang. Bu Kearney bertanya kepadanya kapankah
putrinya akan menerima honornya. Pak Holohan berkata bahwa itu urusan Pak Fitzpatrick.
Bu Kearney mengatakan bahwa dia tak berurusan dengan Pak Fitzpatrick. Putrinya telah
menandatangani kontrak dan dia harus dibayar. Pak Holohan berkilah bahwa itu bukan
urusannya. “Mengapa itu bukan urusan Anda?” tanya Bu Kearney. “Bukankah Anda sendiri
yang membawakannya kontrak itu? Lagi pula, kalaupun itu bukan urusan Anda, itu tetap
urusan saya. Dan saya bersungguh-sungguh!” “Saya kira sebaiknya Anda mengatakannya
langsung kepada Pak Fitzpatrick,” ujar Pak Holohan. “Saya tidak ada urusan dengan Pak
Fitzpatrick,” ulang Bu Kearney. “Saya punya kontrak dan saya ingin itu dipenuhi.” Saat dia
kembali ke ruang ganti, pipi Bu Kearney merona merah. Ruangan itu begitu ramai. Dua
lelaki bermantel mengambil tempat dekat perapian. Mereka mengobrol dengan Nona Healy
dan penyanyi bariton. Mereka wartawan. Salah seorang dari Freeman dan yang satunya
lagi Pak O’Madden Burke. Wartawan Freeman datang untuk mengatakan bahwa ia tak bisa
menunggu hingga konser itu dimulai. Ia harus meliput sebuah acara pidato di Mansion
House. Katanya mereka sebenarnya menugaskannya meliput konser itu. Ia lelaki berambut
kelabu dengan sikap berhati-hati. “O’Madden Burke akan menuliskannya,” jelasnya kepada
Pak Holohan. “Saya jamin beritanya akan dimuat.” “Terima kasih banyak, Pak Hendrick,”
ujar Pak Holohan. “Saya tahu, Anda pasti datang. Tidakkah Anda memerlukan sesuatu
sebelum pergi?” “Oh, boleh,” sahut Pak Hendrick. Kedua lelaki itu pergi melalui sebuah
tangga temaram menuju sebuah ruangan yang tenang. Seorang penjaga membukakan botol
minuman untuk beberapa lelaki yang ada di situ. Salah satunya Pak O’Madden Burke yang
menemukan ruangan itu secara naluriah. Ia lelaki separuh baya yang berpembawaan
tenang. Saat bersantai, ia bertumpu pada sebuah payung sutra yang besar. Ia penulis yang
disegani. Saat Pak Holohan sibuk menghibur para wartawan di lantai atas, Bu Kearney
berbicara kepada suaminya. Dia begitu bersemangat sehingga suaminya harus
menyuruhnya merendahkan suara. Percakapan orang lain yang juga sedang menunggu di
ruang ganti menjadi agak tegang. Pak Bell, yang harus tampil pertama kali, siap berdiri
dengan partitur musiknya. Namun sang pengiring tak membuat isyarat apa pun. Jelas ada
sesuatu yang salah. Pak Kearney menatapnya langsung. Ia mengusap-usap janggutnya
sementara Bu Kearney berbicara lembut ke telinga putrinya. Bunyi tepuk tangan dan derap
kaki terdengar di ruang konser. Penyanyi tenor pertama dan penyanyi bariton serta Nona
Healy berdiri bersamaan. Mereka menanti dengan diam, tetapi Pak Bell tampak amat gusar.
Ia takut penonton mengira pertunjukan sengaja ditunda karena pengisi acara terlambat
datang. Pak Holohan dan Pak O’Madden Burke masuk ke ruangan itu. Sejenak Pak Holohan
memperhatikan keadaan yang senyap. Ia mendekati Bu Kearney dan berbicara kepadanya.
Keributan di ruang konser makin hingar. Pak Holohan memerah wajahnya. Suaranya
meninggi. Namun, Bu Kearney menyela, “Dia tidak akan tampil! Dia harus menerima uang
delapan guinea miliknya!” Pak Holohan menunjuk ke ruang konser dengan putus asa. Kini
para penonton sudah sangat ribut. Ia menatap Pak Kearney dan Kathleen seakan-akan
memohon. Namun, Pak Kearney terus saja mengusap-usap janggutnya. Kathleen menunduk,
menatap sepasang sepatu barunya. Itu bukan salahnya. Bu Kearney mengulangi, “Dia tak
akan tampil tanpa uangnya.” Pak Holohan beranjak keluar dengan ragu. Ruangan itu jadi
sunyi. Saat kesunyian kian menyiksa, Nona Healy berbicara kepada penyanyi bariton,
“Apakah Anda bertemu dengan Bu Pat Campbell minggu ini?” Penyanyi bariton tidak
berjumpa dengannya, tetapi ia menjawab bahwa perempuan itu sehatsehat saja. Percakapan
tak berlanjut. Penyanyi tenor pertama menundukkan kepala. Ia mulai menghitung lingkaran
rantai emas yang melingkari pinggangnya. Ia tersenyum dan bersenandung untuk dirinya
sendiri. Dari waktu ke waktu orang-orang melirik Bu Kearney. Gumam keributan di ruang
konser kini menjadi teriakan. Pak Fitzpatrick menyerbu masuk ke ruang ganti. Dengan
terengah-engah, Pak Holohan mengikuti di belakangnya. Pak Fitzpatrick menggenggam
sejumlah uang kertas. Ia memberikan empat lembar ke tangan Bu Kearney. Ia hendak
mengambil yang separuh lagi. Bu Kearney berkata, “Ini cuma empat shilling.” Namun,
Kathleen segera merapikan roknya dan berkata, “Sekarang, Pak Bell.” Lelaki itu gemetar
seperti daun kering. Penyanyi dan sang pengiring keluar bersamaan. Keributan di ruang
konser lenyap. Diam sejenak. Lalu terdengar alunan piano. Kecuali saat giliran Bu Glynn
tampil, bagian pertama konser itu berjalan sangat sukses. Perempuan malang itu
menyanyikan Killarney dengan suara merintih. Dia tampak seakan-akan ditarik dari sebuah
lemari panggung yang sudah kuno. Beberapa penonton menertawakan ratapan nada-nada
tingginya. Penyanyi tenor pertama dan penyanyi kontralto, untungnya, menyelamatkan
pertunjukan. Lalu Kathleen memainkan sejumlah lagu Irlandia yang mendapatkan sambutan
meriah. Bagian pertama konser itu ditutup dengan sebuah pidato patriotik. Orang-orang
bertepuk tangan dengan nyaring. Ketika itu usai, orang-orang pergi untuk rehat. Mereka
tampak puas. Pada saat itu ruang ganti menjadi sarang keramaian. Di salah satu pojok
tampak Pak Holohan, Pak Fitzpatrick, Nona Beirne, dua penjaga, penyanyi bariton, dan
penyanyi bas. Pak O’Madden Burke bersama mereka. Ia bilang bahwa itu skandal,
pertunjukan terburuk yang pernah dilihatnya. Setelah ini, karier musik Nona Kathleen
Kearney di Dublin akan berakhir, ujarnya. Lalu penyanyi bariton bertanya apa pendapatnya
mengenai peranan Bu Kearney. Namun Pak O’Madden Burke tak mau menjawab. Ia sudah
menerima upahnya dan ingin berdamai dengan semua orang. Ia hanya bilang bahwa Bu
Kearney seharusnya lebih mempertimbangkan para penyanyi. Para penjaga dan para
sekretaris berdebat dengan nyaring mengenai apa yang harus mereka lakukan. “Saya harus
mengatakan bahwa saya sepakat dengan Nona Beirne,” ujar Pak O’Madden Burke. “Gadis
itu tak perlu dibayar.” Di sudut lain ruangan itu ada Bu Kearney dan suaminya. Duduk
bersama mereka Pak Bell, Nona Healy, dan gadis yang tadi membacakan pidato patriotik.
Bu Kearney mengatakan bahwa cara panitia memperlakukan mereka adalah skandal. Dia
telah bersusah payah dan mengeluarkan banyak biaya. Akan tetapi beginilah balasannya!
Tampaknya panitia berpikir mereka hanya berurusan dengan seorang gadis hijau. Mereka
pikir mereka bisa dengan mudah menyingkirkannya. Namun Bu Kearney akan menunjukkan
bahwa mereka salah. Mereka tak akan berani memperlakukan seorang lelaki dengan cara
seperti itu! Dia akan melihat bahwa putrinya mendapatkan haknya. Dia tak mau ditipu. Jika
mereka tak membayarnya sesuai kontrak, dia akan membuat seluruh Dublin ribut. Tentu
saja dia merasa tidak enak kepada para penyanyi. Namun apa lagi yang bisa dilakukannya?
Dia berpaling kepada penyanyi tenor kedua. Ia setuju bahwa Bu Kearney diperlakukan tidak
baik. Lalu dia menoleh kepada Nona Healy. Nona Healy lebih sepakat dengan kelompok
yang berlawanan. Namun dia tak ingin mengatakannya karena dia teman baik Kathleen.
Keluarga Kearney sering mengundangnya ke rumah mereka. Pada saat jeda, Pak Fitzpatrick
dan Pak Holohan menghampiri Bu Kearney. Mereka bilang bahwa sisa honor akan dibayar
kemudian. Dia akan mendapatkan uangnya setelah panitia melakukan rapat Selasa depan.
Mereka juga mengatakan bahwa putrinya harus tampil pada konser bagian kedua. Jika
tidak, panitia akan menganggap bahwa kontrak dibatalkan. Dalam hal itu mereka tak akan
membayar sama sekali. “Saya tidak peduli,” ujar Bu Kearney dengan marah. “Putri saya
memiliki kontrak. Dia akan mendapatkan setiap sen uangnya dan dia tak akan menginjakkan
kakinya di panggung itu.” “Saya terkejut atas sikap Anda, Bu Kearney,” ujar Pak Holohan.
“Saya tak pernah mengira Anda akan memperlakukan kami seperti ini.” “Dan apa yang telah
Anda lakukan kepada saya?” sahut Bu Kearney.
Wajahnya memerah karena marah. Dia seakanakan hendak menyerang seseorang dengan
tangannya. “Saya hanya menuntut hak saya,” kata Bu Kearney tajam. “Seharusnya Anda
memiliki tenggang rasa,” kata Pak Holohan. “Oh, begitukah?” ujar Bu Kearney. “Padahal,
ketika saya bertanya kapan putri saya akan dibayar, saya tidak mendapat jawaban yang
beradab.” Lalu ia menggoyangkan kepalanya dan menatap pak Holohan penuh amarah.
“Tadinya, saya kira Anda perempuan terhormat!” teriak Pak Holohan. Ia pergi dengan
cepat. Setelah semua itu, semua orang memusuhi Bu Kearney. Mereka setuju dengan
keputusan panitia. Pucat karena amarah, Bu Kearney berdiri di muka pintu, berdebat
dengan suami dan putrinya. Dia menunggu hingga saat konser bagian kedua dimulai,
berharap panitia akan mendatanginya. Namun, Nona Healy telah menyetujui bahwa dia
akan mengiringi sisa konser itu. Bu Kearney harus menepi untuk memberi jalan penyanyi
bariton dan pengiringnya lewat. Sejenak dia berdiri termangu. Dia tampak seperti sesosok
patung batu yang sedang marah. Ketika nada pertama lagu yang dimainkan menerpa
telinganya, dia menarik mantel putrinya. Kepada suaminya dia berkata, “Panggil taksi!” Pak
Kearney langsung bergegas. Bu Kearney membalutkan mantel ke tubuh putrinya dan
mengikuti suaminya. Saat melintasi pintu, dia berhenti. Seraya melotot ke wajah Pak
Holohan, dia berkata, “Saya masih ada urusan dengan Anda!” “Sebaliknya saya sudah tidak
ada urusan dengan Anda!” balas Pak Holohan. Kathleen mengikuti langkah ibunya dengan
enggan. Pak Holohan beranjak meninggalkan ruangan itu. Ia merasa kulitnya seakan
terbakar. “Dia perempuan yang menyenangkan!” ujarnya mencemooh. “Ya, tentu saja dia
perempuan yang menyenangkan!” “Kau sudah melakukan yang sepatutnya, Holohan,” ujar
Pak O’Madden Burke seraya bertumpu pada payungnya.•
JAMES JOYCE (1882-1941), pengarang terkemuka dunia, pelopor prosa modern.
Sastrawan kelahiran Irlandia ini mengembangkan teknik menulis yang kemudian dikenal
sebagai stream of consciousness dan mengilhami banyak pengarang dari generasi berikut
nya. Pada 1902, saat ia menye
lesaikan kuliah, Joyce sudah memikirkan ia akan merantau dan menjadi penulis. Ia pergi
meninggalkan Irlandia untuk selamanya dua tahun kemudian. Namun, meski ia
mengasingkan
diri dari negeri kelahirannya, ia selalu menulis tentang Dublin.

Dalam cerita-ceritanya, ia menggunakan kota itu sebagai model skala kecil bagi dunia. Joyce
mengalami hidup yang sulit. Bertahun-tahun ia memoles karya-karyanya. Novel terkenalnya,
Ulysses (1922), membutuhkan waktu tujuh tahun untuk diselesaikan. Finnegan’s Wake
(1939) belum tuntas dalam waktu tujuh belas tahun. Saat akhirnya diterbitkan, kedua buku
itu dicekal oleh lembaga sensor dan disalahpahami banyak orang. Bisa dibilang, ia nyaris tak
mendapat keuntungan material apa pun dari tulisan-tulisannya hingga saat-saat terakhir
hidupnya. Ulysses abadi hingga kini dan dinyatakan sebagai novel terbaik di dunia dalam
berbagai versi pengumpulan pendapat pada akhir abad kedua puluh, antara lain yang
diselenggarakan oleh The

Modern Library.
Hantu Mantan Kekasih
Rudyard Kipling

DALAM BANYAK hal India tidak lebih baik daripada Inggris. Namun satu hal, di India orang
saling mengenal dengan baik. Setelah mengabdi selama lima tahun sebagai pegawai negeri,
seorang lelaki mengenal—atau setidak-tidaknya mengetahui—sekitar 200 atau 300 orang
Inggris di provinsinya. Dalam sepuluh tahun lelaki itu akan mengenal dua kali jumlah itu.
Setelah 20 tahun, ia pasti mengetahui sesuatu tentang setiap orang Inggris di seluruh
kerajaan. Nyatanya, ia bisa berjalan-jalan ke mana pun dan di mana pun tanpa harus
membayar hotel. Semua rumah membuka pintu untuknya. Dunia yang sempit ini sangat baik
dan ramah. Saya akan memberi contoh. Seorang lelaki bernama Rickett dari Kamartha
tinggal bersama seorang lelaki bernama Polder di Kumaon kurang lebih 15 tahun lalu. Ia
berniat tinggal selama dua malam, tetapi kemudian ia sakit. Selama enam minggu ia tinggal
di rumah Polder. Kenyataannya, ia bahkan hampir mati di kamar tidur Polder. Sebelum
akhirnya meninggalkan rumah itu, Rickett membuat satu masalah besar bagi rumah tangga
Polder. Sejak saat itu, Polder menganggap Rickett tanggung jawabnya. Setiap tahun ia
mengirimkan sebungkus kado untuk keluarga Rickett. Begitulah. Bahkan orang yang tidak
menyukai Anda pun akan menjaga Anda. Mereka akan bekerja membanting tulang untuk
Anda jika Anda jatuh sakit atau bermasalah serius. Heatherlegh adalah seorang dokter
Inggris baik hati yang tinggal di India. Ia memberikan anjurananjuran yang hampir sama
kepada semua pasiennya. “Berbaringlah, perlahan, dan tetaplah tenang,” adalah kalimat
yang selalu dikatakannya. Dokter Heatherlegh yakin bahwa kebanyakan orang tewas
karena kerja yang berlebihan. Ia berkata bahwa kerja berlebihanlah yang menewaskan
Tuan Pansay. Pansay meninggal dunia dalam perawatannya sekitar tiga tahun lalu.
Heatherlegh menertawakan pendapat saya bahwa ada yang retak di kepala Pansay.
Memang, saya juga berkata bahwa ada sesuatu yang datang dari dunia kegelapan yang
masuk lewat retakan tersebut dan menewaskannya. “Pansay sebenarnya hanya lepas dari
penangan

an,” ujar Dokter Heatherlegh. “Ia mungkin bisa saja berkelakuan buruk terhadap Nyonya
Wessington. Namun saya percaya bahwa terlalu banyak bekerjalah yang merobohkannya. Ia
sudah keterlaluan untuk sebuah percintaan biasa. Ia sudah bertunangan dengan Nona
Mannering dan perempuan itu kemudian memutuskan pertunangan tersebut. Lalu ia jadi
terserang demam dan semua hal-hal mustahil berbau hantu itu pun muncul. Namun yang
jelas, bekerja berlebihanlah yang mengawali penyakitnya. Akhirnya, itu menewaskannya.
Namun, sesungguhnya kesalahan sistemlah yang menuntut satu orang mengerjakan
pekerjaan untuk dua setengah orang.” Saya tidak memercayai ini. Dulu saya berolahraga
dengan Pansay sesekali. Lelaki itu akan bercerita dengan suara lirih dan datar tentang arak-
arakan yang selalu melewati kaki ranjangnya. Saya pernah menganjurkannya untuk
menuliskan semua yang dilihatnya, dari permulaan hingga akhir. Saya pikir itu akan
menenangkan pikirannya dan kemudian menempatkan ketakutan-ketakutannya dalam
bentuk tulisan. Ia sudah terserang demam tinggi saat akhirnya menulis. Dan—betapa sedih
untuk diungkapkan—kata-kata yang ditulisnya tidak menenangkannya sama sekali. Namun,
ketika ia diberi tahu untuk cukup sehat dulu sebelum kembali bekerja, ia tidak
melakukannya. Pansay seakan-akan menginginkan kematian. Pada saat-saat terakhirnya ia
berkata bahwa perempuan itu terus menghantuinya. Saya mendapatkan tulisan-tulisannya
sebelum ia meninggal dunia. Inilah kisahnya, tertanggal tahun 1885, tepat saat ia
menuliskannya.

•••
DOKTERKU MEMBERITAHUKU bahwa aku membutuhkan istirahat dan perubahan udara.
Aku mungkin saja sudah mendapatkan kedua hal itu jauh sebelumnya. Aku harus beristirahat
dari apa pun yang tidak dapat membangunkanku—dan perubahan udara di tempat yang jauh
melampaui dunia ini. Sementara itu, aku berencana untuk diam di tempat ini. Melawan
perintah-perintah dokterku, aku akan mengatakan pada dunia apa yang telah menimpaku.
Kau pasti akan belajar untuk dirimu sendiri apa yang menjadi penyebab sakitku. Lalu kau
dapat memutuskan untuk dirimu sendiri apakah mungkin seseorang di bumi ini pernah
merasakan hal yang lebih menyakitkan daripada yang kurasakan sekarang ini. Aku
mengungkapkan hal ini kepadamu saat ini layaknya orang yang telah divonis mati. Kau harus
mendengarkan ceritaku, seliar apa pun isinya. Namun aku yakin kau tak mungkin
memercayainya. Dua bulan lalu, aku akan menjuluki siapa pun yang datang dengan kisah
seperti ini dengan sebutan gila atau pemabuk. Namun, dua bulan yang lalu aku adalah lelaki
paling bahagia di India. Sekarang tidak ada seorang pun yang lebih menyedihkan dariku.
Aku dan dokterku, hanya kami berdua saja yang tahu tentang hal ini. Ia menerangkan bahwa
otakku, perut, dan mataku semuanya dalam keadaan sakit. Menurutnya, inilah yang
membuatku berkhayal macam-macam. Berkhayal? Tentu saja, aku menyebutnya orang
bodoh. Namun, kau akan memutuskan sendiri untuk dirimu sendiri tentang itu. Tiga tahun
lalu adalah saat keberuntunganku—lebih tepatnya kesialanku—untuk berlayar ke Bombay
selepas liburan. Di atas kapal aku bertemu seorang perempuan bernama Agnes Wessington.
Dia istri seorang tentara. Sebelum perjalanan berakhir, kami berdua—dia dan aku—benar-
benar jatuh cinta dan tergila-gila satu sama lain. Dalam masalah hati, selalu ada satu pihak
yang memberi cinta dan pihak lain yang menerimanya. Sejak hari pertama perjumpaan
kami, aku melihat cinta Agnes kepadaku lebih besar daripada apa yang kumiliki. Apakah
kemudian dia menyadari hal itu, aku tak tahu. Setelah beberapa lama hal itu menjadi sangat
jelas bagi kami berdua. Kapal kami tiba di Bombay musim semi tahun itu. Kami pergi
mengikuti jalan kami masing-masing dan tak bertemu lagi hingga tiga atau empat bulan
berikutnya. Lalu bisnis membawaku ke Simla. Rasa cintanya kepadaku menuntunnya untuk
mengikutiku ke tempat itu. Kami menghabiskan semusim bersama di Simla. Di sanalah api
cintaku mulai padam bersamaan dengan tutup tahun. Aku tidak membuat alasan apa pun,
tidak juga menyatakan penyesalanku atas hal itu. Memang benar Nyonya Wessington sudah
memberiku terlalu banyak. Dia bersiap menyerahkan segalanya untukku. Namun, pada
Agustus 1882 aku berkata kepadanya bahwa aku sudah bosan dengan kehadiran dan
suaranya. Kini, 99 dari 100 orang perempuan akan merasa bosan kepadaku sebosan aku
kepada mereka. Dan 75 dari 100 di antaranya akan membalas perbuatanku dengan
mengalihkan perhatian mereka kepada lelaki lain. Nyonya Wessington adalah perempuan
keseratus, dan dia tidak melakukan kedua hal itu. Aku harus benar-benar menjelaskan
keinginanku untuk berhenti menemuinya. Aku melakukannya, bahkan sesungguhnya agak
terlalu kejam saat melakukannya. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan untuk
menghentikan perhatiannya kepadaku. “Jack, sayangku!” tangisnya selalu. “Aku yakin ini
sesuatu yang salah, sangat salah. Kita akan berteman baik lagi suatu hari. Ayolah maafkan
aku, Jack sayang ...” Memaafkannya? Akulah yang justru sudah melakukan kesalahan. Aku
tahu itu. Namun, perasaanku kepadanya sudah berubah dari kasihan menjadi bosan, lalu
menjadi benci yang mendalam. Dan dengan kebencian seperti itu di dalam hatiku, musim
semi 1882 pun berakhir sudah. Tahun berikutnya kami bertemu lagi di Simla. Sekali lagi dia
menunjukkan wajah merana yang sama. Dia kembali meratap-ratap membujukku untuk bisa
bersatu lagi dengannya. Dan aku juga kembali merasakan kebencian yang sama kepadanya
di setiap ruas tulang tubuhku. Beberapa kali aku tidak bisa menghindar berjumpa
dengannya hanya berdua. Pada setiap perjumpaan kata-kata yang diucapkannya selalu
sama. Selalu ada tangisan bodohnya tentang semua “kesalahan” ini. Masih juga dia
menyatakan keinginannya agar kami bisa kembali “berteman”. Aku mungkin saja telah
menyaksikan apa yang terjadi, apakah aku cukup peduli untuk melihatnya dengan lebih
dekat. Aku mungkin juga telah menyadari bahwa hanya harapan saja yang membuatnya
tetap bertahan hidup. Dia menjadi semakin pucat dan kurus setiap bulannya. Tentu saja kau
akan sepakat bahwa tingkah lakunya bisa mendorong siapa pun untuk marah. Itu tidak
pantas dilakukan dan kekanak-kanakan. Aku yakin dialah yang seharusnya paling
disalahkan. Namun nyatanya, beberapa waktu di kegelapan malam saat aku terserang
demam, aku meragukan hal itu. Lalu aku mulai berpikir bahwa aku bisa saja berlaku lebih
baik kepadanya. Sayangnya, apa yang bisa kulakukan saat itu? Aku tak sanggup untuk terus
menerus berpura-pura tetap mencintainya, padahal tidak—ah, sanggupkah aku? Lagi pula,
itu tidak adil bagi kami berdua. Tahun lalu kami bertemu kembali. Sama saja dengan
sebelumnya. Masih ada ratapan yang sama dan jawaban-jawaban pendek yang sama. Aku
berusaha membuatnya sadar bahwa kami tidak akan pernah bisa bersatu lagi. Dan setelah
semusim ber

lalu, kami jadi jarang bertemu.


Ketika kupikir ini sudah berakhir diam-diam di ruang kesakitanku, musim semi 1884
terasa bagaikan sebuah mimpi buruk. Entah bagaimana musim ini terisi oleh cahaya
sekaligus kegelapan. Aku mengingat acara jalan-jalanku bersama si mungil Kitty Mannering.
Aku memikirkan saat-saat kami berkuda berdua, saat aku menyatakan cintaku kepadanya.
Aku selalu ingin mendengar jawabanjawaban manisnya. Namun, berkali-kali sebuah
angkong berwarna kuning melintasi kami. Keempat lelaki yang menarik angkong itu
berpakaian hitam putih. Dan di dalam angkong aku selalu menangkap sekilas wajah putih—
dan lambaian tangan Nyonya Wessington. Aku mencintai Kitty Mannering. Aku
sungguhsungguh mencintainya. Dan rasa cintaku kepadanya semakin tumbuh bersamaan
dengan kian berkobarnya kebencianku kepada Agnes Wessington. Bulan Agustus, Kitty dan
aku bertunangan dan berencana akan menikah. Hari berikutnya aku berpapasan dengan
angkong Nyonya Wessington di jalan pulang. Aku merasa agak kasihan kepadanya sehingga
aku memutuskan untuk berhenti dan mengatakan segalanya kepadanya. Namun ternyata dia
sudah mengetahui hal itu. “Jadi, kudengar kau bertunangan, Jack sayang!” Dia menyapaku.
“Aku yakin itu sebuah kesalahan fatal. Kau akan lihat! Suatu hari kita akan kembali menjadi
teman baik seperti dulu.”
Aku sadar sakarang bahwa aku sudah berlaku kejam kepadanya. Jawabanku mungkin
akan melukai seorang lelaki tangguh sekalipun. Yang pasti, itu akan melukai perempuan
sekarat di depanku seperti ayunan sebuah cambuk. “Ayolah, maafkan aku Jack,” ratapnya.
“Aku tidak bermaksud membuatmu marah, tetapi, memang begitulah yang sesungguhnya!”
Nyonya Wessington terpuruk sepenuhnya. Aku berbalik dan meninggalkannya untuk
melanjutkan perjalananku dalam damai. Untuk beberapa saat, aku merasa seperti seekor
anjing yang kejam. Namun, ketika kupalingkan muka ke belakang, aku melihat dia sudah
membelokkan angkongnya. Kurasa, dia akhirnya paham juga—memahami apa yang
kumaksud. Kejadiannya seperti sebuah lukisan di pikiranku. Aku bisa melihat hujan yang
menyapu langit, kegelapan, pepohonan pinus yang basah, jalanan berlumpur, dan tebing
yang hitam. Berlawanan dengan latar yang muram, berdiri pelayan-pelayan berpakaian
hitam putih dan angkong kuning itu. Di dalamnya aku bisa melihat kepala keemasan Nyonya
Wessington tertunduk. Dia sedang menggenggam sapu tangan di tangan kirinya dan
bersandar di bantal-bantal angkong itu. Aku membelokkan kudaku selangkah dan pergi
menjauh. Seketika kupikir aku mendengar seseorang berteriak “Jack!”, tetapi itu mungkin
hanyalah angan-anganku saja. Aku tidak berpaling ke belakang lagi.
Sepuluh menit kemudian aku berpapasan dengan Kitty di atas kudanya. Hanya dengan
memikirkan betapa bahagianya berkuda berdua dengannya, aku dengan mudah melupakan
semua yang terjadi saat bertemu dengan angkong itu. Seminggu kemudian Nyonya
Wessington sakit dan meninggal dunia. Seakan sebuah beban berat terangkat dari hidupku.
Aku menjalani semuanya dan sungguh-sungguh berbahagia saat itu. Tak sampai tiga bulan,
aku sudah melupakan semua hal tentang dia. Hanya ketika aku tak sengaja menemukan
surat-surat lamanya, aku jadi teringat masa lalu. Pada bulan Januari aku menemukan surat-
suratnya yang tersisa dan membakar semuanya. Pada permulaan April 1885, aku kembali ke
Simla. Segera Kitty dan aku berbicara dan berjalan layaknya sepasang kekasih yang tengah
kasmaran. Kami memutuskan untuk menikah pada akhir Juni. Mencintai Kitty seperti yang
kulakukan akan membuatmu paham bahwa aku merasa sebagai lelaki paling bahagia di
India. Empat belas hari yang luar biasa menyenangkan berlalu dengan cepat. Lalu, pada 15
April, aku menyatakan kepada Kitty bahwa dia harus memiliki sebentuk cincin. Kami
langsung pergi ke pedagang perhiasan untuk mendapatkan cincin yang pas untuknya. Ingat
—meskipun dokterku mungkin tidak akan sepakat—bahwa aku saat itu berada dalam kondisi
kesehatan yang prima. Pikiran dan jiwaku sehat. Aku bersama Kitty memasuki toko
perhiasan dan membeli sebentuk cincin yang dihiasi dua butir berlian. Lalu kami berkuda
melewati jembatan. Sementara kudaku berhati-hati melangkah melewati jalanan yang
rapuh, Kitty malah asyik tertawa-tawa dan mengobrol di sampingku. Jalanan itu padat,
tetapi kemudian aku menjadi waspada karena seseorang memanggil namaku dari jauh. Aku
terkejut karena merasa aku pernah mendengar suara itu sebelumnya, tetapi aku tidak bisa
mengingat kapan dan di mana. Akhirnya aku menyimpulkan itu hanyalah sebuah gumaman di
telingaku saja. Namun, kemudian sesuatu yang aneh tertangkap mataku. Ada empat lelaki
berpakaian hitam putih menarik sebuah angkong kuning. Tidak mungkin bagiku menjelaskan
bagaimana kenangan-kenangan buruk membanjiri pikiranku saat itu. Untuk beberapa saat
aku berpikir aku sendirilah yang mempekerjakan lelaki-lelaki itu dan menarik mantel hitam
putih mereka dari belakang. “Kitty!” teriakku. “Mereka orang-orang upahan Nyonya
Wessington yang malang! Aku penasaran siapakah yang mempekerjakan mereka sekarang?”
Kitty mengenal Nyonya Wessington secara selintas semusim yang lalu. Dia selalu berminat
terhadap perempuan yang penyakitan. “Apa? Mana?” tanyanya. “Aku tidak melihat mereka
di mana pun.” Padahal, saat dia berbicara, kudanya bergerak lurus tepat di hadapan
angkong itu. Aku merasakan saat-saat yang menakutkan untuk kemudian meneriakkan kata-
kata peringatan kepadanya. Dalam ketakutanku, Kitty dan kudanya berjalan menembus
keempat lelaki dan angkong itu seolah-olah mereka udara tipis! “Mengapa, ada masalah
apa?” teriak Kitty. “Apa yang membuatmu berteriak begitu bodoh, Jack? Jika kau berpikir
aku tidak bisa menunggang kuda ... Nah!” Kitty melesat, kepalanya yang mungil bergerak di
udara. Dia menderapkan kudanya kencangkencang. Dia berpikir aku akan mengikutinya.
Ada masalah apa? Apakah aku gila atau mabuk—atau Simla telah dihantui setan? Aku
menarik tali kekang kudaku dan berputar. Angkong itu juga telah berbalik. Sekarang
angkong itu menghadap ke arahku, dekat gagang besi jembatan itu. “Jack! Jack sayang!”
(Tidak ada kesalahan pada kata-kata itu kali ini yang berbunyi di kepalaku seolah-olah suara
itu berteriak di telingaku.) “Ini kesalahan fatal, aku yakin. Ayolah, maafkan aku, Jack. Mari
berteman baik lagi.” Penutup bagian atas angkong telah terbuka ke belakang. Di dalamnya
duduk Nyonya Wessington. Sapu tangannya ada di tangannya dan kepalanya yang keemasan
tampak tertunduk dalam. Aku menatap nanar; tak tahu berapa lama aku seperti itu sebelum
kemudian aku bergerak. Lalu kupacu kudaku dan melesat pergi. Setengah pingsan, aku
terhuyung memasuki sebuah kedai. Di sana ada dua atau tiga pasangan yang sedang
bercengke

rama mengelilingi meja. Pembicaraan mereka membuatku merasa lebih baik sehingga aku
kemudian bergabung dengan mereka. Tak lama kemudian aku sudah asyik mengobrol dan
tertawa-tawa. Namun, wajahku, saat kulirik bayanganku sendiri di sebuah cermin, tampak
sepucat mayat. Tiga dari empat lelaki itu memperhatikan tampang anehku. Aku merasa
mereka berpikir bahwa aku sudah terlalu banyak minum. Aku mungkin baru bercakap-
cakap selama sepuluh menit meskipun terasa bagai selamanya buatku. Kemudian kudengar
suara lugas Kitty di luar. Dia sedang menanyakan keberadaanku. Beberapa menit kemudian
dia memasuki kedai. Aku tahu dia akan sangat marah kepadaku karena meninggalkannya
begitu saja. Namun, sesuatu di wajahku menunda kemarahannya. “Kenapa, Jack,” jeritnya.
“Apa yang telah kau lakukan? Apa yang terjadi? Apakah kau sakit?” Aku harus berdusta. Aku
berkata bahwa sinar matahari telah menjadi terlalu panas untukku. Padahal, saat itu hari
menjelang pukul lima sore dalam bulan April yang selalu berawan. Matahari tersembunyi
sepanjang hari. Aku menyadari kekeliruan itu begitu aku selesai mengatakan dustaku. Aku
membuntuti Kitty yang dengan kesal keluar dari kedai itu. Lalu aku menaiki kudaku dan
bergegas ke hotel, meninggalkan Kitty pulang sendirian. Di dalam kamarku aku terduduk
dan mencoba untuk memikirkan kembali semuanya dengan tenang. Di sinilah aku, Jack
Pansay, seorang lelaki berpendidikan, pada tahun 1885. Aku merasa sehat jiwa dan raga.
Namun, aku baru saja dipisahkan dari sisi kekasihku oleh sesosok hantu. Seorang
perempuan yang telah mati dan dikuburkan delapan bulan yang lalu tengah memburuku. Ini
fakta. Saat Kitty dan aku meninggalkan toko perhiasan, tidak ada yang lebih terlupakan oleh
pikiranku selain Nyonya Wessington. Tidak ada yang luar biasa dengan jalan yang kami lalui.
Saat itu siang bolong. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang. Dan kemudian, di
sanalah seraut wajah dari dalam kubur memperlihatkan dirinya kepadaku. Harapan
pertamaku, mungkin saja ada perempuan lain yang rupanya mirip dengan Nyonya
Wessington. Bisa saja perempuan ini telah mempekerjakan orang-orang dan angkong yang
sama. Namun harapan itu sirna mengingat kuda Kitty yang mampu menembus angkong itu.
Berulang-ulang aku mengulang runtutan kejadian itu di pikiranku. Dan berulang-ulang juga
aku harus menyerah. Aku tidak mungkin mampu menjelaskan kejadian itu. Aku berpikir
untuk memberi tahu Kitty segalanya dan memohon kepadanya untuk menikah denganku saat
itu juga. Berdua kami akan mengalahkan angkong hantu dan pengendaranya! Namun
kemudian aku mendebat diriku sendiri. “Pastinya bayangan angkong itu sendiri saja cukup
untuk membuktikan bahwa itu bukan hantu. Seandainya aku memang menyaksikan hantu
seorang perempuan yang sudah mati—lalu bagaimana dengan para lelaki berbalut pakaian
hitam putih itu? Keseluruhan kejadian itu musykil! Bayangkan, hantu keempat lelaki itu!”
Pagi berikutnya aku mengirimkan secarik surat untuk Kitty. Aku menuliskan penyesalanku
atas perilaku aneh yang kubuat sehari sebelumnya. Aku juga menjelaskan bahwa aku
merasa agak sakit. Kitty memercayai ceritaku. Siang itu juga kami berkuda keluar dengan
bayang-bayang sebuah dusta pertama di antara kami. Tidak ada yang bisa
menggembirakannya, kecuali berkuda di tempat aku biasanya bertemu Nyonya Wessington.
Aku mencoba mengusulkan jalanan lain, tetapi dia masih kesal kepadaku dan agak terluka.
Jadi, aku mengalah dan kami pun berkuda berduaan. Awalnya kami berkuda perlahan, tetapi
kemudian kuda-kuda kami berpacu cepat. Jantungku berdegup lebih kencang begitu kami
mendekati puncak sebuah bukit. Sepanjang siang itu pikiranku dipenuhi Nyonya Wessington.
Setiap inci jalanan yang kami lalui mengingatkanku pada masa lalu saat aku dan Nyonya
Wessington bercakap-cakap dan berjalan-jalan. Bebatuan yang kulihat juga dipenuhi
kenangan-kenangan itu. Pepohonan pinus bernyanyi di atas sana. Kucuran air hujan di
sungai-sungai kecil seolah menertawakan cerita itu. Semilir angin di telingaku
memperdengarkan kisah itu keras-keras. Lalu, di tengah jalan, horor itu sedang
menungguku. Tidak ada angkong lainnya yang kulihat. Hanya keempat lelaki berpakaian
hitam putih, angkong berwarna kuning, dan kepala keemasan seorang perempuan di
dalamnya. Semuanya muncul setelah kutinggalkan mereka semua delapan setengah bulan
yang lalu! Sejenak kupikir Kitty juga pasti sedang menyaksikan apa yang kulihat. Namun
kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian, “Tidak ada satu sosok pun yang kelihatan!
Ayo, Jack, aku mengajakmu balapan.” Kudanya melesat ke depan dan kudaku membuntuti
tepat di belakangnya. Dalam setengah menit kami jadi berjarak sekitar 50 meter dari
angkong itu. Aku memperlambat laju kudaku dan bersandar sedikit ke belakang. Angkong
itu tepat berada di tengah jalan! Sekali lagi, kuda Kitty lewat tepat di tengahnya. Kudaku
mengikutinya. “Jack! Jack sayang! Ayolah, maafkan

aku,” terdengar suara ratapan di telingaku. “Ini kesalahan, sebuah kesalahan fatal.” Aku
menghunjam-hunjamkan tumitku ke perut kudaku. Namun, saat aku melihat ke belakang,
angkong itu masih saja menunggu di balik sisi bukit yang kelabu. Kemudian embusan angin
menyadarkanku untuk bisa berkata-kata lagi. Kitty menggoda sikapku yang selalu terdiam
sepanjang perjalanan. Aku berniat makan malam dengan keluarga Kitty malam itu. Masih
cukup waktu bagiku untuk pulang dan berdandan. Di jalan pulang aku mendengar dua orang
lelaki bercakap-cakap berdua di tengah keremangan senja. “Aneh sekali,” ujar salah
seorang dari mereka, “seluruh tanda-tanda keberadaannya menghilang dengan sempurna.
Anda tahu, istri saya sangat menyukai perempuan itu. Saya sendiri tidak bisa melihat apa
pun dari perempuan tua itu. Namun istri saya meminta saya membelikannya sebuah
angkong tua sekaligus dengan pelayan-pelayannya, jika mereka memang dijual juga. Lelaki
yang menyewakan angkong itu kepadanya menceritakan sebuah kisah aneh kepada saya. Ia
mengatakan bahwa keempat pelayan itu—mereka empat bersaudara—tewas karena
penyakit demam. Katanya ia telah merusak angkong itu dengan tangannya sendiri. Ia
menyatakan kepada saya bahwa ia tidak akan pernah menggunakan angkong bekas
perempuan yang sudah mati. Itu akan merusak keberuntungannya. Pikiran yang aneh
bukan? Bayangkan, si mungil Nyonya Wessington yang malang merusak keberuntungan
semua orang, kecuali dirinya sendiri!” Mendengarkan kata-kata ini, aku tertawa terbahak-
bahak. Tawaku itu mengejutkan diriku sendiri. Jadi ternyata mereka memang hantu-hantu
berangkong! Berapa Nyonya Wessington membayar pelayan-pelayannya di dunia lain?
Kapan saja jam kerja mereka? Ke mana mereka pergi? Kemudian, seolah sebagai jawaban
dari pertanyaan terakhirku, aku melihat sesuatu yang menyeramkan menghalangi jalanku di
tengah suasana temaram. Orang-orang mati itu melaju cepat dan berjalan memotong
sehingga tak diketahui yang lainnya. Aku tertawa terbahak-bahak untuk beberapa detik.
Lalu aku menghentikan tawaku karena aku cemas jangan-jangan aku menjadi gila. Aku
teringat bahwa aku menghentikan kudaku tepat di bagian kepala angkong itu. Di situ aku
menyapa Nyonya Wessington dengan sopan dan mengucapkan selamat malam. Balasannya
adalah jawaban yang amat kukenal baik. Aku mendengarkannya hingga selesai. Lalu aku
balas menjawabnya bahwa aku sudah mendengar semua itu sebelumnya dan penasaran
apakah masih ada hal lain yang ingin dikatakannya. Sesosok setan laknat yang lebih kuat
dari diriku pasti telah menguasai ragaku malam itu. Aku sadar bahwa aku telah berbicara
selama lima menit kepada sesuatu di depanku. “Gila barangkali. Atau mungkin mabuk. Max,
bantulah ia pulang ke rumah.” Itu pasti bukan suara Nyonya Wessington! Memang bukan.
Dua lelaki di jalan itu telah mendengarku berbicara pada udara kosong. Mereka kemudian
berbelok untuk mengurusku. Mereka sepertinya berpikir bahwa aku dalam kondisi sangat
mabuk dan mereka orang-orang yang sangat baik. Aku berterima kasih kepada mereka dan
bergegas pulang ke hotel. Di sana aku berganti pakaian dan terlambat sepuluh menit tiba di
rumah keluarga Mannering. Selama makan malam itu aku berbicara dengan suara pelan
kepada kekasihku. Tiba-tiba saja aku memperhatikan seorang lelaki pendek berjanggut
merah di ujung meja. Ia sedang menceritakan perjumpaannya dengan seorang lelaki gila
malam itu. Beberapa kalimat kemudian, aku paham bahwa ia sedang membicarakanku. Ia
telah menyaksikan apa yang baru saja terjadi setengah jam lalu. Di tengah cerita ia melihat
berkeliling. Ketika ia memandang ke arahku, ia berhenti bercerita. Setelah beberapa lama,
lelaki berjanggut merah itu berkata bahwa ia telah “lupa kelanjutannya”. Aku diamdiam
berterima kasih kepadanya dari lubuk hati yang paling dalam dan melanjutkan menyantap
ikanku. Akhirnya, makan malam itu berakhir sudah. Aku meninggalkan Kitty, merasa pasti
sepasti hidupku bahwa hantu itu akan menungguku di luar pintu. Lelaki berjanggut merah,
yang telah diperkenalkan kepadaku sebagai Dokter Heatherlegh dari Simla,
menghentikanku. Ia menawarkan diri untuk menemaniku pulang. Aku berterima kasih
kepadanya. Ketakutanku amatlah nyata. Angkong itu menunggu di jalan dengan menyalakan
lampu depannya. Lelaki berjanggut merah itu tepat mengarah padanya. “Pansay, apa yang
menjadi masalah Anda saat kita bertemu petang tadi?” Aku menjawab sebelum aku sempat
berpikir. “Itu!” ujarku, menunjuk angkong itu. “Itu hanya berarti bahwa Anda mabuk atau
Anda memiliki penglihatan yang buruk. Sekarang Anda tidak minum terlalu banyak. Saya
melihatnya saat makan malam tadi. Jadi, Anda tidak mungkin mabuk. Tidak ada apa pun di
arah yang Anda tunjuk. Namun, Anda gemetaran seperti seekor kuda poni yang ketakutan.
Pasti ada masalah dengan penglihatan Anda. Mari ikut ke rumah saya.” Alih-alih menunggu
kami berdua, angkong itu malah menjaga jarak sekitar 20 meter di depan. Sepanjang jalan
berkuda di kegelapan malam, aku mengatakan kepada dokter itu hampir sebanyak yang
kuceritakan di sini. “Pulanglah dan kerjakan apa yang saya anjurkan kepada Anda, anak
muda,” ujarnya. “Saya akan menyembuhkan Anda. Namun, biarlah ini menjadi pelajaran
bagi Anda! Kendalikan perempuan dengan baik dan jauhi makanan berat sampai hari
kematianmu.” Angkong itu tetap ada di depan kami. Temanku yang berjanggut merah itu
seakan menikmati ceritaku tentang keberadaan angkong itu. “Kedua mata Anda, Pansay.
Mata, otak, dan perut. Otak Anda terlalu egois, perut Anda terlalu lemah, dan mata Anda
terlalu tegang. Yang Anda butuhkan hanyalah sebutir pil hati. Mulai saat ini, saya akan
menangani keseluruhan pengobatan medis Anda! Kasus Anda terlalu menarik untuk
dilewatkan begitu saja.” Setelah beberapa saat kemudian, angkong itu sampai di ujung
sebuah jalan buntu di bawah tebing yang sangat curam. Aku juga berhenti untuk
menjelaskan alasanku. Heatherlegh ingin terus maju. Lalu tiba-tiba ia berteriak, “Tuhanku!
Ya, ampun! Apakah itu?” Tiba-tiba saja sebuah suara gemuruh dan gumpalan awan debu
yang membutakan mata tampak di depan kami. Kemudian sekitar 10 meter sisi tebing itu
luruh berjatuhan ke jalanan di bawahnya! Kedua kuda kami berdiri terpaku, berkeringat
ketakutan. Akhirnya, longsor tanah dan batu itu berhenti. Sang dokter berbisik, “Bung, jika
kita tetap melaju ke arah depan, kita akan berada di kedalaman tiga meter, kuburan kita
sendiri. Mari lekas pulang, Pansay, dan bersyukurlah kepada Tuhan.” Kami mengambil jalan
lain dan tiba di rumah Dokter Heatherlegh tepat setelah tengah malam. Ia mulai bekerja
menyembuhkanku saat itu juga. Selama seminggu aku tidak pernah beranjak dari
pengawasannya. Beberapa kali dalam seminggu itu aku bersyukur atas nasib baikku yang
telah dipertemukan dengan Heatherlegh. Ia dokter terhebat dan terbaik di Simla. Hari
berganti hari, jiwaku semakin ringan. Dan dari hari ke hari, aku rela memercayai gagasan
Heatherlegh tentang mata, otak dan perutku. Aku menulis surat kepada Kitty, menjelaskan
bahwa mata kakiku terkilir karena jatuh dari kuda. Ini, tulisku, telah membuatku tidak bisa
keluar rumah untuk beberapa hari. Aku berjanji akan segera

menemuinya.
Rencana Heatherlegh sebenarnya sederhana, yaitu berbutir-butir pil hati, mandi air
dingin, dan olahraga berat. Pada akhir minggu, ia menengokku. Ia bahkan memberiku
serangkaian pantangan tentang makanan dan keharusan berolahraga. Lalu, secepat ia
memutuskan untuk mengurusi aku, Heatherlegh juga segera menyuruhku pergi. Berikut ini
kata-kata perpisahannya, “Bung, pikiran Anda baik-baik saja, seperti juga tubuh Anda.
Sekarang, kemasi barangbarang Anda dari rumah ini. Pergilah ke Nona Kitty.” Aku
berusaha mengungkapkan rasa terima kasihku lewat kata-kata, tetapi ia memotongku,
“Jangan berpikir saya melakukan semua ini karena saya menyukai Anda. Saya tahu Anda
bertingkah agak buruk pada masa lalu Anda. Namun, semuanya sama saja, Anda sebuah
kasus yang tidak biasa.” Lalu, katanya seraya mendorong tanganku ke belakang, “Tidak!
Tidak perlu ada pembayaran. Ayolah ... Sebenarnya, saya yang justru akan membayar Anda
jika Anda melihat keanehan itu lagi!” Setengah jam kemudian aku berada di ruang tamu
keluarga Mannering bersama Kitty. Aku dimabukkan oleh perasaan bahagia. Entah
bagaimana aku merasa yakin bahwa aku tidak akan bermasalah dengan angkong hantu itu
lagi. Aku merasa sangat yakin soal itu sehingga aku mengajak Kitty keluar untuk berkuda
denganku.
Tak pernah aku sedemikian penuh tenaga dan bersemangat! Aku tak pernah sebahagia
siang itu, tanggal 30 April. Kitty amat senang dengan perubahan suasana hatiku. Kami
meninggalkan rumah keluarga Mannering bersama-sama seraya tertawa dan bercakap-
cakap. Aku ingin segera berkuda dan membuktikan bahwa hantu itu sudah pergi. Semua
kuda terasa sangat lamban hari itu. Kitty terheranheran melihat semangatku yang
menggebu. “Mengapa, Jack?” teriaknya. “Kau bersikap seperti anak kecil. Apa yang sedang
kau lakukan?” “Lakukan?” jawabku. “Tak ada yang kulakukan, Sayang. Hanya saja jika kau
tak melakukan apa pun selama seminggu, kecuali berbaring di tempat tidur, kau akan sama
bersemangatnya seperti aku.” Kata-kata itu meluncur dari mulutku sebelum kami mengitari
sudut berikutnya. Di sanalah di tengah jalan, berdiri angkong kuning itu dan Nyonya
Wessington. Aku menarik tali kekang kudaku. Aku menatapnya dan menggosok-gosok
mataku. Lalu aku percaya bahwa aku harus mengatakan sesuatu. Beberapa saat kemudian,
aku sadar bahwa akulah yang terbaring dengan wajah menghadap tanah. Kitty berlutut di
atasku dengan air mata bercucuran. “Sudah pergikah benda itu?” Aku terengah. Kitty hanya
menangis dengan suara lebih keras. “Apa yang sudah pergi, Jack? Apa arti semua ini? Pasti
ada kesalahan, Jack. Sebuah kesalahan yang fatal!” Kata-kata terakhirnya membuatku
bangkit. Aku lalu berteriak seperti orang gila. “Ya, ini kesalahan,” ulangku. “Sebuah
kesalahan fatal. Kemari dan lihatlah itu.” Aku ingat kemudian aku menyeret lengan Kitty
sepanjang jalan sampai ke tempat angkong itu berdiri. Aku memohon kepadanya untuk
berbicara pada angkong itu. Aku memintanya untuk memberi tahu hantu itu bahwa kami
akan segera menikah—dan tak ada satu kematian atau neraka pun yang dapat memutuskan
ikatan di antara kami. Dalam keadaan terteror, aku memberi tahu angkong itu bahwa hal ini
menyiksaku. Selama aku berbicara, aku sadar bahwa aku seharusnya memberi tahu Kitty
keseluruhan kisahku dan Nyonya Wessington. Aku melihat wajahnya memutih dan matanya
mendelik. “Terima kasih, Tuan Pansay,” ujarnya. “Ini sudah cukup.” Saat Kitty berlari ke
pelana kudanya, aku berusaha menahannya. Aku memohon kepadanya untuk mendengarkan
aku sepenuhnya dan memaafkanku. Jawabannya bagiku adalah lecutan cambuk kudanya
yang menggores wajahku dari mulut hingga mata. Lalu dia menambahkan satu dua kata
perpisahan yang hingga kini tak akan pernah bisa kutuliskan. Akhirnya Kitty mengetahui
keseluruhan kisahku. Aku terhuyung mundur ke samping angkong. Wajahku terluka dan
berdarah. Lecutan cambuk itu telah menciptakan sebuah tanda biru terang di pipiku. Tak
ada lagi harga diriku yang tersisa. Kemudian, Dokter Heatherlegh, yang pasti tadi
membuntutiku dan Kitty, muncul. “Dokter,” kataku, menunjuk ke arah wajahku, “di sinilah
ucapan perpisahan Nona Mannering untukku. Aku sudah mendapatkan bayarannya
sekarang.” Mimik muka dokter itu, bahkan dalam kesedihanku yang dalam, membuatku
tertawa. “Saya merasa yakin sekali—” Ia memulai ucapannya. “Jangan bodoh,” bisikku.
“Saya baru saja kehilangan kebahagiaan hidup saya. Lebih baik Anda membawa saya
pulang.” Begitu aku mengucapkan kata-kata itu, angkong itu langsung lenyap. Aku tidak
ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Jalanan seakan bergelombang bagaikan ombak dan
kegelapan menimpaku. Tujuh hari kemudian, tanggal 7 Mei, aku terbangun dan sadar bahwa
aku sedang terbaring di kamar Heatherlegh. Aku merasa selemah seorang anak kecil.
Heatherlegh mengawasiku dari belakang kertas-kertas di meja kerjanya. Kata pertamanya
bukan sambutan selamat datang, melainkan, “Saya sudah terlalu lelah untuk mengurusi
Anda.” “Ini surat-surat Anda. Nona Kitty telah mengembalikan semuanya. Dan ini sebuah
bungkusan yang sepertinya berisi cincin. Ini datang bersama sepucuk surat dari ayah Nona
Kitty. Pria tua yang terhormat itu tidak senang kepada Anda.” “Dan Kitty?” Aku bertanya
lirih. “Anda pasti telah berbicara kepadanya tentang rahasia buruk masa lalu Anda sebelum
saya tiba. Dia menulis bahwa seorang lelaki yang bisa memperlakukan perempuan seperti
yang Anda lakukan kepada Nyonya Wessington pantas untuk bunuh diri. Kitty seorang
perempuan yang keras kepala. Dia berkata dia akan mati sebelum sempat berbicara kepada
Anda lagi.” Aku mengerang dan membalikkan badanku. “Sekarang Anda memiliki pilihan-
pilihan, Kawan. Pertunangan Anda telah dibatalkan. Keluarga Mannering tidak ingin terlalu
kasar kepada Anda. Kita sebut saja pertunangan Anda dibatalkan karena Anda seorang
pemabuk—atau karena Anda mengidap penyakit saraf? “Maaf saya tidak bisa menawarkan
alasan yang lebih baik, kecuali jika Anda lebih senang saya menyebut Anda gila. Katakan
saja dan saya akan mengatakan kepada mereka bahwa ini akibat gangguan saraf. Saat ini
seluruh kota mengetahui kejadian yang Anda timbulkan di jalanan. Marilah! Saya akan
memberi Anda waktu lima menit untuk memikirkannya.” Selama waktu lima menit itu, aku
merasa seakan-akan tengah merangkak melewati lubang yang paling gelap. Semuanya
pilihan buruk bagiku. Lalu aku mendengar diriku memberi jawaban dengan suara yang tidak
bisa kukenali lagi sebagai suaraku. “Katakan saja kepada mereka saraf saya terganggu,
Dokter Heatherlegh. Dan sampaikan rasa cinta saya. Sekarang biarkan saya tidur lebih
lama lagi.” Selama berjam-jam aku gelisah dan membolakbalikkan badan di tempat tidur.
Satu persatu, aku merunut kembali semua hal yang telah terjadi pada bulan-bulan
sebelumnya. “Aku kan berada di Simla.” Aku terus mengatakan hal itu kepada diriku sendiri.
“Aku, Jack Pansay, dan aku sedang berada di Simla. Tidak ada hantu di sini. Kenapa Agnes
tidak membiarkanku saja? Aku tidak pernah melukainya. Seandainya saja dia yang
meninggalkanku dalam keadaan patah hati, aku tidak akan pernah kembali dengan niat
membunuhnya! Mengapa aku tidak ditinggalkan sendirian saja—ditinggalkan dan dibiarkan
berbahagia?” Saat itu siang bolong ketika aku pertama kali terbangun. Padahal, matahari
sebenarnya sudah rendah di langit sebelum aku tidur—terlalu letih untuk merasakan
kesakitan yang lebih jauh. Hari berikutnya aku tidak bisa beranjak dari tempat tidurku.
Pada pagi hari Dokter Heatherlegh berkata kepadaku bahwa sepucuk surat balasan telah
datang dari Tuan Mannering. Berita tentang penyakitku telah menyebar ke seluruh penjuru
Simla. Semua orang merasa kasihan kepadaku.
“Itu lebih daripada yang Anda pantas dapatkan.” Ia mengakhirinya dengan manis. “Namun
hanya Tuhan yang tahu betapa Anda telah melalui masa-masa yang berat. Biarkanlah! Kita
akan menyembuhkan Anda.” Aku menggeleng. “Anda sudah sangat baik kepada saya,”
ujarku. “Saya seharusnya tidak lagi merepotkan Anda.” Dalam hatiku aku tahu bahwa tidak
ada yang bisa dilakukan Heatherlegh untuk menolongku. Kurasakan suatu kemarahan
berbaur dengan keputusasaan menghadapi semua ini. Lagi pula, pasti ada ribuan lelaki lain
yang tidak lebih baik dariku. Hukuman mereka setidaknya hanya akan mereka terima
setelah mati! Aku merasa ini tidak adil karena aku sendirian yang harus menanggung nasib
seburuk ini. Lalu tiba-tiba saja aku merasa bahwa angkong itu dan aku sajalah yang nyata di
dunia ini. Sepertinya Kitty juga hantu. Sepertinya keluarga Mannering, Dokter Heatherlegh,
serta para lelaki dan perempuan yang kukenal semuanya hanyalah hantu. Aku tersiksa dan
gelisah selama tujuh hari. Lalu, tubuhku menjadi lebih kuat dan semakin kuat. Akhirnya
cermin di kamar tidurku menunjukkan bahwa aku sudah seperti lelaki pada umumnya lagi.
Aku bisa kembali pada keseharianku lagi. Agak aneh memang karena raut wajahku tidak
menunjukkan tanda-tanda pergulatan yang sudah kulalui. Agak pucat, tetapi sudah tak
tampak lagi mimik ngeri. Aneh rasanya karena aku tidak melihat sedikit pun bekas-bekas
penyakit yang hampir saja menelan jiwaku. Aku kemudian memang tidak menemukan apa
pun. Tanggal 15 Mei aku meninggalkan rumah Dokter Heatherlegh. Saat itu pukul sebelas
pagi. Aku pergi ke sebuah tempat minum. Di sana kutemukan bahwa semua orang
mengetahui kisahku sebagaimana yang dikatakan Heatherlegh. Mereka bersikap baik
kepadaku. Namun, aku menyadari sesuatu yang lain dengan sangat jelas. Sepanjang sisa
hayatku, aku akan terpisahkan dari teman-temanku. Aku menyantap makan siangku di
tempat itu dan kemudian berkeliling menyusuri jalanan dengan harapan berjumpa Kitty.
Tidak lama kemudian si angkong kuning bergabung denganku. Aku mendengar suara
Nyonya Wessington di sampingku. Aku telah menunggu kesempatan itu sejak aku keluar dari
rumah Dokter Heatherlegh. Keterkejutanku hanyalah pada lamanya waktu yang diperlukan.
Dalam keheningan, angkong hantu dan aku berjalan bersisian sepanjang jalan. Mendekati
sebuah toko, Kitty dan seorang lelaki berkuda melintasi kami. Dari bahasa tubuh yang dia
berikan, aku mungkin hanyalah seekor anjing di tengah jalan. Maka, Kitty bersama
temannya—dan aku bersama hantu mantan kekasihku—berjalan menyusuri jalanan
berpasang-pasangan. Jalanan sudah tersiram air. Udara dipenuhi guyuran hujan yang indah.
Dua atau tiga kali, aku berkata pada diriku sendiri, “Aku Jack Pansay dari Simla! Simla
yang biasa-biasa saja! Aku tidak boleh melupakan itu. Aku tidak boleh melupakan itu.” Lalu
aku mencoba untuk memikirkan beberapa obrolan yang tadi kudengar atau harga seekor
kuda milik seseorang, dan apa pun yang memang biasa terdengar di tempattempat umum.
Aku bahkan mengulang-ulang skema perkalian dengan cepat—untuk memastikan bahwa
diriku tidak gila. Itu sepertinya membuatku merasa lebih baik. Dan untuk satu waktu, itu
menghalangiku dari mendengar suara Nyonya Wessington.
Ketika Kitty dan lelaki itu mulai memacu kuda mereka, aku ditinggalkan bersama Nyonya
Wessington. “Agnes,” kataku, “maukah kau menarik ke belakang atap angkongmu dan
mengatakan padaku apa arti semua ini?” Atap penutup itu terbuka perlahan. Aku sedang
berhadap-hadapan dengan mantan kekasihku yang telah mati dan sudah dikuburkan. Dia
mengenakan pakaian yang kulihat terakhir kalinya saat dia masih hidup. Tangan kanannya
memegang sehelai sapu tangan mungil dan kotak kartu nama yang juga mungil berada di
tangan kirinya. Aku mencoba menguatkan diri sendiri.
“Agnes,” kataku lagi, “tolong katakan kepadaku apa arti semua ini.” Nyonya Wessington
mencondongkan badannya ke depan. Dia memberikan gerakan memutar kepala yang aneh
dan sebelumnya kukenal betul. Lalu dia berbicara.
Kisahku ini sudah menjadi sangat sulit untuk diterima. Aku paham bahwa tidak seorang
pun—bahkan tidak juga Kitty, kepada siapa aku menuliskan semua ini—yang akan
memercayaiku. Namun, aku harus menuntaskan kisahku ini demi diriku sendiri. Nyonya
Wessington berbicara dan aku berjalan dengannya selayaknya aku berjalan bersisian
dengan angkong seorang perempuan yang masih hidup. Aku seperti sedang bergerak di
sebuah dunia hantu. Kami berdua bergabung dengan keramaian orangorang yang lalu lalang
di jalanan. Saat kulihat mereka, sepertinya mereka itu bayangan-bayangan yang terbelah
saat ditembus angkong yang melewatinya. Apa yang kami bicarakan selama acara berjalan-
jalan yang aneh itu, aku tak bisa—sebenarnya tidak berani—menceritakannya. Itu obrolan
yang buruk. Dalam satu dan lain hal bahkan sangat sulit dijelaskan. Itu momen yang luar
biasa. Mungkinkah itu terjadi? Apakah aku berniat untuk memenangkan—selama beberapa
detik saja—perempuan yang sudah kubunuh dengan kekejamanku sendiri? Aku berjumpa
dengan Kitty di jalan pulang. Dia hanyalah sesosok bayangan di antara bayangan-bayangan
yang lain. Aku tidak mampu menjelaskan apa yang kemudian terjadi selama dua minggu
berikutnya. Kisahku tidak akan ada akhirnya dan mungkin akan membosankan. Namun, pagi
berganti pagi dan dari malam ke malam angkong hantu itu dan aku berkeliling Simla
bersama-sama. Ke mana pun aku pergi, keempat pelayan berpakaian hitam putih
mengikutiku. Aku menjumpai mereka di luar teater dan di luar tempat minum. Mereka
menungguku untuk menampakkan diri, bahkan di siang bolong sekalipun saat aku keluar
rumah. Angkong itu tampak nyata dalam segala hal, kecuali bahwa mereka tidak diikuti oleh
bayangan. Lebih dari satu kali aku harus menghentikan diriku sendiri agar tak
memperingatkan seseorang yang melaju ke arah angkong itu dari arah berlawanan. Lebih
dari satu kali aku berjalan bersisian di jalanan, dalam obrolan mendalam bersama Nyonya
Wessington, yang mengejutkan semua orang yang melewatiku. Tak lama kemudian aku
paham bahwa orangorang tak lagi memercayai cerita tentang “gangguan saraf”-ku. Mereka
menyebutku orang gila. Namun aku tidak mengubah apa pun dalam hidupku. Aku menjumpai
teman-temanku. Aku berkuda berkeliling sebebas biasanya. Aku selalu ingin berada di
tengah banyak orang sepanjang waktu. Aku sangat ingin berada di dunia nyata meski pada
saat yang sama, aku merasa agak tidak bahagia bila berjauhan dari hantu perempuan itu
untuk waktu lama. Sangat tidak mungkin menjelaskan suasana hatiku dari tanggal 15 Mei
hingga hari ini. Penampakan angkong itu telah merasukiku dengan perasaan-perasaan yang
berbeda. Terkadang aku merasakan kengerian dan ketakutan yang membabi buta. Dan
terkadang aku akan merasakan suatu perasaan menyenangkan yang agak ganjil. Aku berani
untuk tak meninggalkan Simla meski aku tahu bahwa keberadaanku di sana akan
membunuhku. Aku paham bahwa aku memang ditakdirkan untuk mati pelan-pelan dan
sedikit demi sedikit setiap hari. Aku mengawasi Kitty. Namun aku sama sekali tidak
keberatan melihatnya berjalan-jalan keluar dengan lelaki lain. Dia telah pergi dari hidupku
seperti juga aku telah keluar dari hidupnya. Dari hari ke hari aku berkeliling dengan Nyonya
Wessington—nyaris dalam keadaan berbahagia. Pada malam hari aku mengemis kepada
Tuhan agar mengembalikanku pada kehidupan yang kukenal sebelumnya. Dan selalu aku
merasakan rasa penasaran yang menjemukan bahwa apa yang tampak dan tak tampak
seharusnya bisa hidup berdampingan di dunia ini untuk mengusir sesosok jiwa yang malang
ke kuburnya. Tanggal 27 Agustus. Heatherlegh tidak beranjak dari sisiku. Baru saja
kemarin ia mengatakan kepadaku agar aku meminta cuti sakit. Bayangkan—cuti sakit untuk
melarikan diri dari sesosok hantu! Bayangkan lagi, mengusir lima sosok hantu dan sebuah
angkong hantu dengan bepergian ke Inggris! Usulan Heatherlegh membuatku tertawa
terbahakbahak. Aku berkata kepadanya bahwa aku akan menanti saat-saat terakhirku di
Simla. Dan aku yakin bahwa saat-saat terakhirku tidak akan lama lagi. Percayalah
kepadaku, ini semakin menakutkan bagiku daripada kata-kata apa pun yang dapat
kukatakan. Setiap malam aku mencemaskan bagaimana tepatnya aku akan menghadapi
kematian.
Apakah aku akan tewas di tempat tidurku dalam damai, sebagaimana layaknya seorang
lelaki Inggris terhormat meninggal dunia? Atau, saat untuk terakhir kalinya berjalan-jalan,
apakah jiwaku akan tercerabut dari diriku? Apakah aku akan berada selamanya di tengah
teror hantu-hantu itu? Haruskah aku mencintai Agnes sekali lagi di alam baka? Atau
mungkinkah aku membencinya sekaligus terikat di sisinya untuk selamanya? Seiring
berjalannya waktu, aku semakin takut pada roh-roh dari alam kubur.
Mati tanpa menyempurnakan setengah bagian hidupmu itu mengerikan. Dan lebih
mengerikan lagi menunggu saat-saat akhir tanpa mengetahui kepastiannya. Betapa
malangnya aku—setidak-tidaknya untuk apa yang kalian sebut dengan kegilaan! Aku tahu
kalian tak akan pernah memercayai apa yang kutuliskan di sini. Layaknya seorang lelaki
yang terbunuh oleh kekuatan dari kegelapan, itulah aku.
Berbuat adillah dan berbelas kasihanlah. Layaknya seorang perempuan yang terbunuh
oleh seorang lelaki, aku telah membunuh Nyonya Wessington. Dan bagian terakhir dari
hukumanku telah menjemputku sekarang.•
RUDYARD KIPLING (18671933), sastrawan Inggris paling terkemuka pada zamannya,
pemenang Hadiah Nobel Sastra 1907. Di Indonesia, Kipling terutama dikenal melalui cerita
anak-anak dan dongeng fabel, tetapi ia sesungguhnya adalah seorang novelis dan cerpenis
yang cemerlang dan produktif. Ia putra pasangan Inggris yang lahir di Bombay

(kini Mumbai), India. Saat berumur enam tahun, Rudyard muda

dibawa pulang kampung ke Inggris. Kipling kembali ke India

saat berumur 17 tahun. Ia terpesona pada eksotisme India dan

kehidupan militer. Saat itulah ia mulai menulis cerita-cerita

penuh warna dan puisi-puisi yang kemudian membesarkan

namanya. Buku-buku populer untuk anak-anak ditulisnya saat

empat tahun tinggal di Amerika, antara lain The Jungle Book (1894), Captain Courageous
(1897), Kim (1901), dan Just So

Stories (1902).
Bekas Luka

W. Somerset Maugham

BEKAS LUKA itulah yang pertama kali membuatku menandainya. Bekas luka
yang panjang, lebar dan kemerah-merahan, tepat di atas tulang pipinya. Itu
pasti gara-gara sebuah luka parah yang sulit disembuhkan, dan aku
bertanya-tanya apa yang menyebabkannya. Hal seperti itu memang agak di
luar dugaan bila melihat wajahnya yang bulat, gemuk dan lucu. Dia memiliki
perawakan yang kecil dan agak berbeda dari kebanyakan orang, dan
ekspresinya tampak agak kaku. Lelaki itu sepertinya termasuk bertenaga
cukup kuat di antara orangorang dengan tinggi rata-rata sepertinya. Aku tak
pernah melihatnya berpakaian lain selain setelan lusuh berwarna abu-abu,
sehelai kemeja berwarna kecokelatan, dan sebuah topi sombrero. Dia amat
jauh dari bersih. Biasanya dia datang ke Palace Hotel di Guatemala City
setiap hari pada jam minum koktail dan berkeliling dengan malasmalasan di
seputar bar untuk menawarkan tiket lotre yang dijualnya. Jika itu caranya
mencari nafkah, ia pasti miskin sebab aku tak pernah melihat seorang pun
yang mau membeli. Namun terkadang aku melihatnya ditawari minuman. Dia
tak pernah menolak. Lelaki itu berjalan di antara meja-meja dengan
semacam gerakan kaki yang menandakan bahwa dia terbiasa berjalan kaki
menempuh jarak jauh, berhenti di tiap-tiap meja, dan dengan seulas senyum
tipis disebutkannya nomor lotre yang akan dijualnya. Kemudian, saat dia tak
dipedulikan, dengan senyuman yang sama dia berlalu. Kukira dia juga
penggemar berat minuman keras.
Aku sedang berdiri di bar suatu petang bersama seorang kenalan saat
lelaki dengan bekas luka di wajahnya itu datang. Aku menggeleng mungkin
untuk yang kedua puluh kalinya ketika dia menawarkan tiket lotre kepadaku
untuk kesekian kalinya sejak dia datang. Namun, temanku menganggukkan
kepala kepadanya.
“Que tal, General? Apa kabar?”
“Tidak terlalu buruk. Tak satu pun bisnisku yang benar-benar berhasil,
mungkin malah akan jadi lebih parah.”
“Anda mau minum apa, Jenderal?”
“Brendi.”
Lelaki itu bersulang lalu meminum minumannya hingga tandas dan
meletakkan gelas di atas meja bar. Dia menggangguk kepada kenalanku.
“Gracias. Hasta luego. Terima kasih. Sampai jumpa.” Lalu dia berbalik dan
menawarkan tiketnya kepada beberapa orang yang berdiri di dekat kami.
“Siapakah temanmu tadi?” tanyaku. “Ada bekas luka mengerikan di
wajahnya.” “Bekas luka itu tak membuat wajahnya jadi lebih ganteng,
bukan? Dia seorang pelarian dari Nikaragua. Dia memang bandit, tetapi
tidak jahat. Aku sesekali memberinya beberapa peso. Dia bekas jenderal
yang memberontak di negaranya. Jika saja dia tak kehabisan peluru hingga
terpaksa menyerah kepada pemerintah, bisa jadi saat ini dia menjabat
sebagai Menteri Urusan Perang Nikaragua alih-alih jadi penjual tiket lotre di
sini. Mereka menangkapnya bersama beberapa anak buahnya dan
memvonisnya dengan hukuman mati. Dia lalu dipenjarakan untuk dieksekusi
pada subuh esok harinya. Malam itu mereka lewatkan di penjara, semua ada
lima orang, menghabiskan waktu dengan bermain poker. Dia bernasib amat
sial dalam permainan itu. Saat fajar menyingsing dan para tentara datang ke
sel untuk membawa mereka ke tempat eksekusi, dia telah mengalami
kekalahan amat banyak, lebih banyak daripada yang bisa dialami seorang
lelaki waras sepanjang hidupnya. “Mereka dibawa ke halaman penjara dan
diperintahkan berdiri di dekat dinding. Mereka berlima, saling bersisian,
berhadapan dengan regu tembak. Suasana hening mencekam, tetapi
eksekusi belum juga dilakukan. Kawan kita bertanya kepada perwira regu
tembak mengapa mereka masih dibiarkan menunggu. Perwira itu berkata
bahwa jenderal mereka ingin menghadiri eksekusi dan mereka sedang
menunggu kedatangannya. “‘Kalau begitu aku masih punya kesempatan
untuk merokok,’ kata kawan kita itu. “Dia baru saja menyalakan rokoknya
saat sang jenderal—namanya San Ignacio, aku tak tahu apakah kau pernah
menjumpainya—tiba di halaman penjara diiringi oleh ajudannya. Formalitas
seperti biasanya dilakukan dan San Ignacio bertanya kepada para terhukum
apakah mereka punya permintaan terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan.
Empat di antara lima orang itu menggelengkan kepala, tetapi kawan kita
angkat bicara. “‘Ya, aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada istriku.’
“‘Bueno,’ kata jenderal itu. ‘Baiklah, aku tak keberatan. Di mana istrimu
berada?’ “‘Dia menunggu di depan pintu penjara.’ “‘Itu tak akan menunda
waktu sampai lima menit.’ “‘Tampaknya begitu, Senor General,’ kata kawan
kita. “‘Pisahkan dia.’ “Dua tentara melakukan perintah itu, sementara para
pemberontak yang akan dihukum digiring ke sebuah sudut. Perwira regu
tembak memberi perintah untuk menembak kepada anak buahnya dengan
anggukan kepala dari sang jenderal. Suara tembakan terdengar beruntun
dan keempat orang itu pun tersungkur mencium bumi. Perwira regu tembak
menghampiri mereka dan mengosongkan peluru pistolnya kepada seseorang
yang masih hidup. Sementara itu, kawan kita menghabiskan rokoknya, lalu
membuang puntungnya. “Ada sedikit keributan di pintu penjara. Seorang
perempuan memasuki halaman penjara dengan langkah-langkah cepat dan
kemudian tangan dan jantungnya seakan-akan berhenti bergerak tibatiba.
Dia menjerit dan dengan kedua tangan terkembang berlari ke depan.
“‘Caramba!’ seru Jenderal San Ignacio. “Perempuan itu berpakaian serba
hitam dengan sehelai kerudung menutupi rambutnya, wajahnya begitu pucat
seperti mayat. Dia perempuan muda bertubuh ramping dengan tinggi sedang
dan sepasang mata lebar. Namun mata itu tersaput kesedihan yang dalam.
Rasa kesepiannya tergambar dalam caranya berlari, dengan bibir sedikit
terbuka dan kepedihan tercermin dalam wajah cantiknya. Rasa terkejut
mencekam para tentara yang menatap ke arahnya. “Kawan kita,
pemberontak itu, maju satu dua langkah untuk menyongsong istrinya.
Kemudian, perempuan itu menjatuhkan diri ke pelukannya dan dengan
sebuah teriakan penuh kerinduan, lelaki itu mencium bibir istrinya. Pada saat
bersamaan ia menarik sebilah belati dari balik kemejanya yang compang-
camping—aku tak tahu bagaimana dia bisa menyembunyikannya—dan
menghunjamkannya tepat ke leher perempuan itu. Darah membanjir dari
urat nadi yang terputus dan menodai kemejanya. Lalu dia kembali memeluk
perempuan itu dengan kedua belah tangannya dan mencium bibirnya. “Itu
terjadi begitu cepat sehingga orang-orang tak sempat mencegahnya, tetapi
teriakan ngeri sempat terlontar dari mulut mereka. Mereka segera
menghambur ke depan dan membekuknya. Tentaratentara itu lalu
melonggarkan pegangannya pada lelaki pemberontak. Tubuh si perempuan
muda nyaris tersungkur apabila ajudan sang jenderal tak segera meraihnya.
Mereka membaringkan tubuh perempuan itu di atas tanah dikelilingi oleh
para tentara yang mencoba memeriksanya. Sejenak kemudian ajudan
jenderal bangkit dari samping tubuh perempuan itu. “‘Dia mati,’ bisiknya.
“Pemberontak itu membuat tanda salib di dadanya. “‘Mengapa kau
melakukannya?’ tanya sang jenderal. “‘Karena aku mencintainya.’ “Orang-
orang menarik napas panjang dan menatap dengan pandangan aneh kepada
si pembunuh. Jenderal San Ignacio menatap lelaki itu sejenak dalam hening.
“‘Sebuah tindakan yang gagah berani,’ katanya pada akhirnya. ‘Aku tak bisa
menghukum mati orang ini. Antarkan dia pergi dengan mobilku. Senor, aku
menawari Anda kehormatan antar sesama lelaki pemberani.’
“Ajudan sang jenderal menepuk bahu lelaki pemberontak itu dan tanpa
sepatah kata pun lelaki itu meninggalkan sang jenderal dan ajudannya
menuju mobil yang telah menunggu.” Temanku berhenti bercerita dan
sejenak suasana hening terasa. Temanku itu seorang Guatemala dan
berbicara kepadaku dalam bahasa Spanyol. Namun sungguh, gayanya
bercerita dalam bahasa itu amat cocok dengan kisahnya. “Lalu, dari mana
bekas luka itu berasal?” tanyaku akhirnya. “Oh, itu gara-gara sebuah botol
yang pecah saat aku membukanya. Sebotol minuman jahe ...”•
W. SOMERSET MAUGHAM (1874-1965) adalah pengarang Inggris
terkemuka. Ia memutuskan untuk keluar dari fakultas kedokteran sebuah
universitas di London setelah novel pertamanya mencetak sukses.
Maugham dikenal dunia terutama lewat novel semi
autobiografinya, Of Human
Bondage (1915), dan cerpencerpennya. Novel terpentingnya yang
bercerita tentang pencarian seorang muda akan Tuhan dan keyakinan
hidup, The Razor’s Edge, terbit pada 1944. Banyak cerpennya berkisah
tentang pengalamannya mengelilingi berbagai belahan dunia.
Senyum Schopenhauer
Guy de Maupassant

LELAKI ITU sedang menjelang saat kematiannya. Penyakit paru-paru telah menggerogoti
tubuhnya. Setiap pukul dua siang, aku biasanya melihatnya di bawah jendela hotel sedang
memandang ke arah laut yang tenang. Selama beberapa saat dia tampak tak bergerak,
menikmati kehangatan sinar matahari dan menatap penuh kesedihan ke Laut Mediterania
yang membentang luas. Kadang-kadang dia akan menoleh ke arah puncak gunung yang
terhampar di belakang. Kemudian dengan gerakan sangat lambat dia akan menyilangkan
kakinya, sepasang kaki yang sangat kurus, sehingga tampak bagai dua potong tulang yang
dibalut oleh celana kedodoran. Setelah itu dia akan membuka sebuah buku, selalu buku

yang sama. Dia akan melanjutkan duduk di situ, hampir tanpa bergerak, membaca dengan
sangat tekun, sehingga mata dan pikirannya seperti terpaku pada buku itu. Sekujur
tubuhnya yang ringkih tampak seperti sedang membaca, jiwanya seakan-akan terkubur di
dalam buku itu. Dia akan benar-benar terserap ke dalam buku itu sampai udara menjadi
makin dingin dan membuatnya terbatuk-batuk kecil. Ketika hal ini terjadi, dia akan bangkit
dan masuk ke dalam hotel. Dia seorang Jerman bertubuh tinggi dengan janggut pirang
memenuhi dagu. Biasanya dia makan di dalam kamarnya dan tak pernah bercakap-cakap
dengan siapa pun. Aku tertarik kepadanya karena semacam rasa ingin tahu yang aneh dan
pada suatu hari, ketika dia sedang membaca, aku duduk di sebelahnya membaca sebuah
buku puisi Musset. Dia tiba-tiba bertanya dalam bahasa Inggris yang sangat baik, “Apakah
Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?” Aku berkata kepadanya bahwa aku tak mengerti satu
patah kata pun dalam bahasa itu. “Oh, sayang sekali,” katanya. “Sejak kita jumpa, saya ingin
meminjami dan menunjukkan kepada Anda sebuah harta karun—buku yang saya pegang ini.”
“Buku apa itu?” “Ini salinan karya guru saya, Schopenhauer, dengan catatan yang dibuat
dengan tulisan tangannya. Anda dapat melihat bahwa dia mengisi seluruh pinggiran halaman
buku ini dengan catatannya.”
Aku mengambil buku itu dan melihat pada deretan kalimat yang tak dapat kupahami satu
kata pun. Aku mencoba membayangkan bahwa katakata itu menunjukkan pikiran-pikiran
abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.
Aku tiba-tiba teringat sebuah kalimat dari puisi Musset:

Apakah kau tidur dalam damai, Voltaire,


dan apakah senyummu masih melayang-
layang mengitari tulang belulangmu?

Aku tak dapat membandingkan pikiran-pikiran kekanak-kanakan Voltaire dengan ironi


Schopenhauer, filsuf Jerman yang pengaruhnya tak pernah pupus. Dia telah dikecewakan
oleh iman, harapan, dan khayalan. Dia telah menghancurkan keinginan, membunuh rasa
percaya diri, memusnahkan cinta, menghancurleburkan pemujaan terhadap wanita, mem
bakar ilusi-ilusi kemanusiaan, dan membangun tonggak-tonggak keraguan bahwa dunia tak
pernah bisa dikenali. Olok-oloknya telah merambah segala hal dan mengosongkan semua hal
dari makna. “Jadi Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?” tanyaku kepada orang
Jerman itu. Dia tersenyum sedih dan menjawab, “Sampai saat dia wafat.” Lalu, dia pun mulai
bercerita kepadaku tentang sang filsuf, menyebutkan kesan supranatural aneh yang
dirasakan setiap orang yang bertemu dengannya.
Dia bercerita kepadaku tentang tanya jawab yang dilakukan sang penentang pemujaan
patung berhala itu dengan seorang politisi Prancis, seorang pendukung republik yang ingin
menjumpainya dan menemukan dia sedang duduk di antara murid-muridnya tengah
bercerita tentang ide-ide dan ajaranajarannya. Schopenhauer menatap datar si politisi dan
menyunggingkan senyumnya yang khas. Beberapa saat kemudian orang Prancis itu
berteriak dan berlalu, menjadi panik dan ketakutan, “Aku telah menghabiskan waktu sejam
dengan iblis!” Orang Jerman itu menambahkan, “Anda tahu, Tuan? Dia sungguh-sungguh
memiliki seulas senyum mengerikan yang membuat kami takut, bahkan setelah dia
meninggal. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yang pernah didengar oleh beberapa
orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda.” Dan dengan suara letih dia mulai
bercerita diselingi oleh suara batuknya yang nyaring ...

•••

SCHOPENHAUER BARU saja meninggal dan kami memutuskan untuk menjaga mayatnya
hingga esok pagi. Dia terbaring di atas sebuah ranjang besar. Dua batang lilin dinyalakan di
atas meja di samping tempat tidurnya. Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba
untuk menjaga mayat itu. Kedua teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di
kaki ranjang. Ekspresi wajah mayat itu datar, tetapi dia masih tetap tersenyum, seakan-akan
dia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami
hampir mengira dia akan membuka matanya, bergerak, dan berbicara. Pikiran-pikirannya
terasa melingkupi kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini setelah dia mati,
kekuatan spiritualnya terasa lebih mencengkeram kami daripada sebelumnya. Kekuatan
pikirannya yang dahsyat terasa misterius. Tubuh manusia bisa musnah, tetapi jiwanya tidak.
Dan saya yakin, Tuan, selama malam pertama setelah jantung mereka berhenti berdetak,
mereka menjadi sangat menakutkan. Dengan suara lirih kami mulai bercakap-cakap,
mengingat-ingat katakatanya, kebijaksanaan-kebijaksanaannya yang terasa bagaikan
cahaya penerang kegelapan. “Aku merasa dia akan berbicara,” kata teman saya. Kami
memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan
seulas senyum aneh. Kami merasa tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami seakan
hendak pingsan. “Aku tak tahu apa yang terjadi denganku,” saya bilang, “tetapi aku merasa
tidak sehat.” Kami mencium bau tidak sedap meruap dari mayat itu. Teman saya berkata
bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah dan saya setuju.
Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi. Saya duduk
cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat
yang terbujur di atasnya dengan jelas diterangi cahaya lilin. Namun, roh Schopenhauer
masih menghantui kami. Kami merasa jiwanya kini telah terbebaskan dari tubuhnya dan
segenap kekuatannya menyelubungi kami. Tiba-tiba, kami mengalami suatu kengerian.
Sebuah suara misterius terdengar dari ruangan tempat mayat itu terbaring. Kami segera
memandang ke arah suara itu berasal. Dan kami melihatnya, Tuan ... Kami berdua melihat
dengan jelas sebuah benda berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur, jatuh di atas
karpet, dan menghilang di bawah sebuah kursi. Kami melompat tanpa sempat berpikir,
dihantui perasaan ngeri, siap untuk berlari ketakutan. Kami saling berpandangan. Wajah
kami begitu pucat dan jantung kami berdetak sangat cepat seakan-akan kami dapat
melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya yang pertama berkata-kata.
“Apakah kamu melihatnya?” “Ya, aku melihatnya.” “Apakah menurutmu ia masih hidup?”
“Bagaimana mungkin? Tubuhnya sudah membeku.” “Apa yang harus kita lakukan?”
Temanku menjawab dengan agak ragu-ragu, “Kita harus memeriksanya.” Saya membawa
lilin dan berjalan mendahului, melihat berputar pada ruang tidur, tetapi tak ada sesuatu pun
yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang lalu berhenti, dicekam oleh rasa heran dan
ngeri: Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menjadi mengerikan dengan
bibir menyeringai dan pipinya tampak menjadi cekung. Saya berkata gugup, “Dia tidak
mati!” Saya merasa sesak dan berdiri di sana menatap kepadanya dengan begitu takut
seolah-olah sedang melihat hantu. Teman saya mengambil lilin yang lain dan tanpa berkata
apa pun dia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi
dekat ranjang, sesuatu berwarna putih tergeletak di atas karpet berwarna gelap ...
Ternyata benda misterius itu gigi palsu Schopenhauer yang tergeletak menganga, seakan-
akan siap menerkam! Rupanya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya,
menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya. Pengalaman malam itu sungguh
menakutkan,

Tuan ...

•••

KINI MATAHARI telah condong ke barat, ham

pir menyentuh permukaan laut. Orang Jerman yang berpenyakit paru-paru itu bangkit dari
duduknya, memberi salam sekilas kepadaku, lalu masuk ke dalam hotel.•

GUY DE MAUPASSANT (1850-1893), pengarang terkemuka Prancis, salah seorang empu


cerpen terkemuka dunia yang amat produktif. Murid novelis terkemuka Gustave Flaubert ini
juga menulis novel, lakon, dan laporan jurnalistik. Ia banyak menulis ten

tang orang-orang jelata dan

kisah-kisah menarik mengenai hal-hal sederhana dalam hidup sehari-hari. Salah satu tema
menarik baginya adalah tentang pelacur. Dalam cerpen “Boule de Suif” (1880), ia menulis
tentang seorang pelacur patriotik. Sementara, dalam “Bed 29” (1884), ia kembali
mendapuk seorang pelacur sebagai protagonis melalui tokoh Irma yang terkena sipilis dan
menolak berobat lalu memutuskan untuk menularkan penyakit kelaminnya itu kepada
sebanyak-banyaknya serdadu musuh. Maupassant sendiri mengidap sipilis dalam kehidupan
nyata yang membuatnya menjadi terganggu jiwanya, bahkan sempat mencoba bunuh diri. Ia
mati di sebuah rumah sakit jiwa di Paris setelah lama menderita penyakit kelamin,
meninggalkan sekitar 300 cerpen, 6 novel, dan sejumlah naskah drama sebagai sum

bangsihnya bagi khazanah sastra dunia.


Kucing Hitam
Edgar Allan Poe

AKU TAK berharap seorang pun akan memercayai kisah fantastis yang akan kuceritakan
ini. Aku harus jadi gila dulu untuk berharap agar orang memercayai ceritaku. Aku
sendiri sulit memercayainya—walau kulihat segala yang terjadi. Namun, aku tidak gila—
dan kutahu ini bukan mimpi. Besok aku akan mati. Kini aku ingin meringankan beban
jiwaku. Aku ingin menceritakan serangkaian kejadian biasa kepada dunia. Aku mau
melakukannya dengan cara yang terang dan jelas, tanpa komentar. Kejadian-kejadian ini
membuatku ngeri—membuatku merasa tersiksa—dan menghancurkanku. Namun, aku
tak akan mencoba menjelaskan kejadiankejadian itu. Bagiku, mereka hanya
menyebabkan rasa takut. Setelah aku mati, mungkin seseorang akan dapat menemukan
alasan untuk segala yang terjadi. Atau mungkin orang lain akan melihat bahwa kejadian-
kejadian itu tak lebih daripada serangkaian hubungan sebab-akibat yang bersifat
alamiah. Sejak bayi, aku dikenal bertingkah manis dan baik hati. Kenyataannya, teman-
temanku menjadikannya bahan gurauan. Aku sangat menyukai binatang dan orangtuaku
mengizinkanku memeliharanya. Saat aku benar-benar merasa bahagia adalah ketika
aku memberi makan dan bermain dengan mereka. Sifat ini tumbuh makin kuat ketika
aku dewasa. Waktu aku telah menjadi seorang lelaki dewasa, kecintaanku terhadap
binatang peliharaan menjadi salah satu sumber kesenanganku. Aku tak perlu
menerangkan soal ini kepada siapa pun yang mencintai seekor anjing pintar yang setia.
Ada sesuatu di dalam cinta yang tulus pada seekor binatang yang meresap langsung di
hati seseorang. Aku kawin muda dan merasa bahagia saat tahu istriku memiliki sifat
yang sama denganku. Ketika ia melihat betapa aku menyukai binatang peliharaan, ia
memelihara banyak binatang dari jenis terbaik. Kami punya burung-burung, cukup
banyak ikan mas, seekor anjing, kelinci-kelinci, seekor monyet mungil, dan seekor
kucing. Kucing ini amat besar dan indah. Warnanya hitam legam dan amat pintar. Istriku
yang pertama kali menyadari betapa pintar kucing itu. Agak bertakhayul, ia bilang
kepadaku bahwa dongeng kuno mengatakan bahwa kucing hitam biasanya memiliki
kekuatan sihir. Tentu saja ia tak sungguh-sungguh soal ini. Aku menyebutkan hal ini
karena tiba-tiba saja aku ingat. Kucing itu bernama Pluto. Ia binatang peliharaan
kegemaranku dan teman bermain buatku. Aku sendiri yang memberinya makan dan ia
membuntutiku ke mana pun aku pergi di dalam rumah. Ia bahkan selalu mencoba
mengikutiku apabila aku hendak pergi ke luar rumah. Hubungan kami yang seperti itu
tidak berubah selama beberapa tahun. Sampai kemudian perilaku dan sifatku
memburuk. Ini karena aku mulai terlalu banyak minum. Hari ke hari, aku semakin sulit
untuk ditemani. Aku tidak lagi peduli perasaan orang lain. Aku bahkan mengucapkan
kata-kata kasar kepada istriku. Puncaknya, aku menjadi kejam terhadapnya. Hewan-
hewan peliharaanku tentu saja ikut menderita. Aku tidak hanya menelantarkan mereka,
tetapi juga memperlakukan mereka dengan amat kasar. Aku masih cukup peduli pada
Pluto untuk tidak mengasarinya. Namun aku tak peduli lagi jika aku melakukannya pada
kelinci, monyet ataupun anjing yang menggangguku. Penyakitku semakin parah. Lagi
pula, adakah penyakit yang lebih parah daripada kecanduan alkohol? Akhirnya, aku
bahkan mulai mengasari Pluto yang kini telah semakin tua. Suatu malam, aku pulang
dalam keadaan mabuk dan membayangkan kucing itu seperti sedang menghindar dariku.
Ketika kudekati, ia jadi amat ketakutan. Kucing itu menggigit tanganku dan
meninggalkan luka bekas cakaran. Aku sangat marah sampai-sampai tak bisa lagi
kukenali diriku sendiri. Sepertinya jiwaku yang asli meninggalkan tubuhku dan sesosok
setan durjana mengambil alih tubuhku. Aku mengambil pisau saku dari kantong rompiku
dan menghunusnya. Lalu aku mencekik hewan malang itu dan mencungkil salah satu
bola matanya! Aku malu, terbakar, dan gemetar mengingat kekejian itu. Aku baru sadar
pagi harinya. Pengaruh alkohol telah lenyap. Namun aku merasakan sesuatu—separuh
takut dan separuh menyesal—atas apa yang telah kulakukan. Pada akhirnya yang terasa
hanyalah sebuah perasaan lemah. Jiwaku menjadi tak tersentuh. Kembali aku mulai
minum. Dengan segera ingatan tentang perbuatanku larut dalam anggur. Pada saat itu
Pluto mulai sembuh. Rongga matanya yang bolong tampak mengerikan, tetapi ia tak
kelihatan kesakitan. Kucing itu berkeliaran dalam rumah seperti biasa, tetapi ia selalu
kabur apabila aku mendekat. Tentu saja ia takut kepadaku. Pada mulanya aku merasa
sedih karena binatang yang tadinya mencintaiku jadi membenciku. Namun, rasa sedih
itu segera berubah menjadi sebal. Dan kemudian malah berubah menjadi sebuah niat
jahat. Niat jahat itu tak bisa kita pahami. Namun aku yakin itu ada pada setiap hati
manusia. Ia memberi arah pada sifat manusia. Siapakah yang tak pernah melakukan
sesuatu yang jahat atau bodoh—bukan karena alasan lain selain karena ia tahu bahwa ia
tak boleh melakukannya? Tidakkah kita semua memiliki sebuah hasrat untuk melanggar
aturan hanya karena itu aturan? Niat jahat ini muncul sebagai kejatuhan akhirku. Inilah
kerinduan jiwaku yang tiada berakhir untuk berbuat salah hanya karena ingin berbuat
salah. Sifat jahat dalam diriku membuatku ingin melukai kucing itu lebih parah lagi.
Suatu pagi, dengan darah dingin kuselipkan jerat mengelilingi leher kucing itu. Lalu aku
menggantungnya di dahan sebuah pohon. Aku melakukannya dengan air mata mengalir.
Saat melakukannya aku merasa bersalah dalam hati. Ia kugantung karena aku tahu
bahwa kucing itu pernah mencintaiku. Aku melakukannya justru karena kucing itu tak
memberiku alasan untuk melukainya. Kulakukan perbuatan itu karena aku tahu bahwa
dengan melakukannya aku telah berbuat dosa. Aku tahu bahwa itu sebuah dosa besar
yang tak terampuni. Malam itu aku terjaga karena suara kobaran api. Kelambu di
sekeliling ranjangku adalah lidah api. Seluruh rumah menyala! Dengan susah payah,
istriku, seorang pembantu rumah tangga, dan aku berhasil keluar dari rumah itu.
Sebelum malam berakhir seluruh rumah itu telah hangus terbakar. Semua hartaku
musnah. Aku merasa putus asa. Aku mencoba untuk tidak berkata bahwa akulah yang
telah menyebabkan kebakaran itu terjadi. Tidak! Aku hanya mengatakan bahwa segala
sesuatu terjadi karena harus terjadi. Esok hari setelah kejadian itu, aku melihat-lihat
puing rumahku. Semuanya musnah kecuali sebuah dinding. Dinding itu masih berdiri
tegak di tempat yang sebelumnya merupakan bagian tengah rumah. Kepala tempat
tidurku berhadapan dengan dinding itu. Aku teringat dinding ini baru ditembok ulang.
Mungkin itulah yang menyelamatkannya. Kerumunan orang mengelilingi dinding itu. Aku
bisa mendengar beberapa orang berkata, “Aneh!” Yang lainnya menimpali, “Luar biasa!”
Saat aku mendekat, kulihat gambar seekor kucing raksasa di atas dinding. Seakan-akan
gambar itu dipahat di sana. Ada seutas tali menjerat leher kucing itu. Saat aku pertama
melihatnya, aku merasa amat ketakutan. Lalu aku teringat bahwa kucing itu telah
kugantung di sebuah kebun dekat rumahku. Saat kebakaran mulai terjadi sekumpulan
orang berkerumun di kebun. Seseorang pasti melihat kucing itu, memotong tali yang
mengikatnya ke pohon, dan melemparkannya melalui jendela kamarku. Mungkin mereka
melakukannya untuk membangunkanku. Robohnya dinding lain mungkin menindih
bangkai kucing itu ke dinding yang baru ditembok ulang. Lalu, api yang berkobar, entah
bagaimana, menghasilkan akibat aneh pada dinding. Walaupun aku bisa menjelaskan apa
yang telah terjadi, toh itu tetap saja menakutkan. Selama berbulan-bulan aku tak dapat
melupakan pemandangan sosok seekor kucing di atas dinding. Aku merasa menyesal,
tetapi itu bukan penyesalan yang sungguh-sungguh. Aku merindukan binatang itu dan
mulai mencari-cari kucing lain yang mirip dengan si hitam manis Pluto. Suatu malam aku
pergi ke sebuah bar. Aku melihat sesosok benda hitam di sudut ruangan. Karena aku
tahu apa itu, aku mendekat untuk melihatnya dengan lebih jelas. Itu seekor kucing hitam
yang sangat besar. Kucing itu seukuran Pluto dan amat mirip dengannya dalam segala
hal, kecuali satu: Pluto tak memiliki bulu putih di bagian mana pun tubuhnya. Kucing
yang ini memiliki sekelompok bulu putih di dadanya. Saat kusentuh, kucing itu melonjak
girang. Ia mengeong nyaring, menggosok-gosokkan tubuhnya pada tanganku dan tampak
amat senang. Tampaknya inilah kucing yang kucari. Aku menawarkan diri untuk
membelinya kepada pemilik bar. Namun, katanya ia tak pernah melihat kucing itu
sebelumnya. Aku terus bermain dengan kucing itu hingga aku hendak pulang. Saat aku
akan pergi, kucing itu seperti ingin mengikutiku. Aku membiarkannya berbuat begitu.
Aku membungkuk dan bermain dengannya sambil kami berjalan. Ketika kami tiba di
rumah, ia tampak cocok di tempat itu. Sejak awal, ia langsung disukai oleh istriku. Aku
sendiri, segera menjadi tidak suka pada kucing itu. Ini berlawanan dengan apa yang
kuharapkan. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana atau mengapa, tetapi rasa senang
kucing itu kepadaku membuatku jijik dan merasa terganggu. Perlahanlahan perasaan ini
berubah menjadi kebencian. Aku menghindari binatang itu. Hanya rasa malu atas apa
yang telah kulakukan terhadap Pluto yang mencegahku melukai kucing itu. Selama
beberapa minggu aku tak melakukan apa pun yang membahayakannya. Namun,
perlahan-lahan aku mulai melihat kucing itu dengan penuh kebencian. Jika kucing itu
masuk ke kamarku, aku segera pergi, seakan-akan aku tengah menghindari sebuah
penyakit berbahaya. Mungkin aku lupa mengatakan tentang hal aneh yang kemudian
kusadari terjadi esok pagi setelah kucing itu kubawa ke rumah. Saat itu, ketika kulihat
kucing itu, ia ternyata kehilangan sebelah matanya seperti Pluto. Kenyataan ini,
bagaimanapun, justru membuat istriku semakin mencintainya. Makin kubenci kucing itu
ia justru makin suka kepadaku. Kucing itu membuntutiku ke mana pun aku pergi. Saat
aku duduk, ia akan merunduk di bawah kursiku atau melompat ke pangkuanku. Jika aku
bangkit dan berjalan, ia akan menyelinap di antara kakiku dan mengikutiku. Terkadang
ia mencakar bajuku lalu memanjat ke dadaku. Sering kali aku ingin memusnahkan
kucing itu dengan sekali gebuk. Namun, aku berhasil menahan diri karena satu hal—aku
malu atas apa yang pernah kulakukan terhadap Pluto. Namun, alasan sesungguhnya
adalah karena ternyata aku takut kepada kucing itu. Bukan bahaya fisik yang kutakuti,
tetapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku nyaris malu mengakuinya bahkan
hingga saat aku duduk di dalam sel penjara. Rasa ngeri dan takut yang dibangkitkan
kucing itu terhadap diriku disebabkan oleh bulu-bulu putih di badannya. Bulu-bulu putih
inilah satu-satunya perbedaan antara kucing ini dengan kucing yang pernah kubunuh.
Saat pertama aku melihat kucing itu, tanda ini tidak menyerupai sesuatu. Namun
perlahan-lahan, bentuk itu makin jelas. Kini ia tampak seperti sebuah benda yang
membuatku bergidik hanya karena menyebutnya. Tanda putih itu membentuk sesuatu
yang menakutkan: tiang gantungan! Ya, tempat penggantungan! Oh, tempat kejahatan
yang mengerikan, tempat penuh kesakitan dan maut! Karena tanda yang menakutkan
ini, aku kini menderita. Andai saja aku berani, akan kuenyahkan kucing itu. Siang dan
malam aku tidak bisa beristirahat. Siang hari, kucing itu tak mau meninggalkanku
sendirian sekejap pun. Pada malam hari, aku bermimpi buruk yang membuatku terjaga
setiap jam. Setiap kali terbangun, kurasakan napas kucing itu di wajahku. Kemudian aku
tahu bahwa kucing itu menindih dadaku! Kini aku mulai dihantui pikiran jahat. Aku jadi
membenci segala hal dan semua orang. Istriku yang malang menderita karena suasana
hatiku yang buruk walaupun dia tak pernah mengeluh. Suatu hari istriku mengikutiku ke
ruang bawah tanah rumah kami. Saat kami berjalan, kucing itu ikut menuruni tangga.
Aku nyaris terjerembab karena ia menyelinap di sela kakiku. Ini membuatku murka,
membikin aku lupa pada rasa takut yang hingga saat itu mencegahku bertindak lebih
jauh. Tanpa pikir panjang, kuangkat sebilah kapak dan kulayangkan ke arah kucing itu.
Serangan ini pasti akan langsung membunuhnya jika tepat mengenai sasaran. Namun,
istriku menghentikanku sebelum aku berhasil mengayunkan tangan. Aku menjadi makin
murka. Aku melepaskan diri dari cekalan istriku dan menancapkan kapak itu di
kepalanya! Istriku langsung tewas tanpa sempat menjerit. Aku tahu aku harus
melakukan sesuatu untuk menyembunyikan mayatnya. Aku tak mungkin membawanya
ke luar rumah, siang atau malam. Itu terlalu berbahaya karena bisa saja terlihat oleh
para tetangga. Gagasan-gagasan lain melintas di benakku. Salah satunya adalah
membakar mayat itu. Atau menguburnya di lantai ruang bawah tanah. Aku juga terpikir
untuk membuangnya ke sumur yang terletak di halaman rumah. Sempat terlintas pula
untuk membungkusnya di dalam sebuah kotak, seolah

olah dia semacam barang dagangan. Lalu aku akan menyuruh pelayanku untuk
membawanya ke luar rumah. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemboknya di ruang
bawah tanah. Ruang bawah tanah itu cukup cocok untuk tujuan tersebut. Dindingnya
rapuh dan belum lama ini dilapisi kembali dengan semen kasar. Kelembapan udara
mencegah adonan semen itu mengeras. Lagi pula, salah satu dinding itu memiliki bagian
yang dulunya perapian. Perapian itu diratakan sehingga tampak seperti bagian lain
ruang bawah tanah itu. Aku tahu cukup mudah membongkar lapisan batu bata yang
menyusun dindingnya. Lalu aku akan melekatkan mayat itu di dalamnya dan
menemboknya kembali. Tak seorang pun akan tahu perbedaannya. Aku menggunakan
sebuah linggis untuk membongkar lapisan batu bata. Lalu, dengan hati-hati aku
meletakkan mayat itu dekat dinding bagian dalam perapian. Mengembalikan lapisan
batu bata itu ke tempat semula, itu soal gampang. Kemudian dengan cermat kutembok
kembali lapisan batu bata itu. Saat aku selesai, aku melangkah mundur untuk melihat
hasil karyaku. Dinding itu tampak sempurna. Tak seorang pun akan merasa terganggu
olehnya. Lalu aku mencari-cari si kucing pembuat onar. Aku ingin membunuhnya. Jika
aku melihatnya saat itu, tak diragukan lagi apa yang akan kulakukan padanya. Namun
binatang itu seakan-akan bersembunyi di suatu tempat. Ia pasti ketakutan oleh
amukanku. Aku tak bisa menemukannya di mana pun. Dan ia tak juga muncul sepanjang
malam. Akibatnya, setidak-tidaknya untuk semalam, aku bisa tidur lelap. Itu malam
damai pertamaku sejak kucing itu kubawa pulang ke rumah. Hari kedua dan ketiga
berlalu dan kucing itu belum muncul juga. Betapa bahagia hatiku! Pikiran tentang apa
yang telah kulakukan kepada istriku hanya sedikit menggangguku. Beberapa orang
bertanya tentangnya, tetapi aku mengarang cerita untuk menjelaskan soal itu.
Penyelidikan sempat dilakukan polisi terkait hilangnya istriku, tetapi tentu saja tak
ditemukan apa pun. Kini aku menatap kebahagiaan masa depanku dengan pasti. Pada
hari keempat, polisi datang lagi ke rumahku. Mereka kembali menyelidiki tempat tinggal
kami, kali ini termasuk lantai dan ruang bawah tanah. Mereka tak menyisakan satu
sudut pun tanpa mereka sentuh. Akhirnya, mereka turun ke ruang bawah tanah. Aku tak
merasa gugup. Jantungku berdetak tenang seakan-akan sedang tidur dan bermimpi
indah. Aku berjalan mondar-mandir di ruang bawah tanah, bersedekap. Akhirnya polisi-
polisi itu bersiap untuk pergi. Saat mereka pergi aku berbicara kepada mereka,
kebahagiaan yang kurasakan dalam hatiku terlalu kuat untuk ditahan. “Tuan-Tuan, aku
senang bisa membantu. Aku berharap kalian diberkati kesehatan. Rumah ini dibangun
dengan sangat rapi. Tidakkah kalian setuju?” kataku (aku tak tahu mengapa aku terus
saja berbicara, seolah-olah aku tak bisa menahan diri). “Dinding ini sangat kokoh,”
ujarku. Aku memegang sebatang tongkat di tanganku yang kugunakan untuk memukul-
mukul dinding itu. Aku melakukannya tepat pada bagian dinding tempatku
menyembunyikan mayat istriku!
Segera setelah suara ribut karena aku memukulmukul dinding lenyap dalam
kesunyian, sebuah suara terdengar dari dalam dinding. Itu suara tangisan. Pada mulanya
lirih dan lembut, seperti isakan seorang anak kecil. Namun suara itu dengan cepat
menjadi sebuah jeritan panjang yang nyaring. Itu bukan suara manusia. Itu lolongan,
separuh ketakutan dan separuh penuh kemenangan. Tampak bodoh untuk mengatakan
apa yang sedang kupikirkan. Nyaris terengah-engah, aku terjerembab ke dinding yang
berlawanan. Sejenak para polisi itu terdiam di tangga, membeku ketakutan. Saat
berikutnya selusin tangan kekar merobohkan dinding itu. Dinding itu runtuh dengan
mudah. Mayat istriku yang sudah mulai membusuk terbaring di sana, di hadapan para
polisi itu. Di dekat kepalanya, duduk seekor kucing hitam yang memandang pada kami
dengan matanya yang tinggal sebelah. Kucing itulah yang telah membuatku membunuh
istriku dan kemudian membawaku ke tiang gantungan. Rupanya, tanpa sengaja aku telah
menembok monster itu di dalam kuburan istriku.•
Perkawinan
August Strindberg

PEREMPUAN ITU melihat dengan jengkel kepada gadis-


gadis yang berubah hanya menjadi para pengurus rumah
tangga bagi para suami mereka setelah perkawinan. Maka
dia belajar melakukan sebuah bisnis yang bisa membuatnya
tetap merasa hidup jika dia sudah menikah. Dia merintis
usaha kembang tiruan.
Lelaki itu menyesali bahwa para gadis cenderung
menunggu datangnya seorang suami yang akan mencukupi
segala kebutuhan hidup mereka. Ia ingin menikahi seorang
perempuan mandiri yang bisa mencari uang sendiri,
semacam perempuan yang sejajar dengannya dan bisa
menjadi teman sepanjang hidupnya, bukan sebagai seorang
pengurus rumah tangga.
Takdir membuat mereka bertemu. Lelaki itu seorang
seniman dan perempuan itu, seperti yang telah kusebutkan,
perajin kembang tiruan. Mereka berdua tinggal di Paris pada
saat memiliki gagasan semacam itu. Mereka memiliki gaya
perkawinan yang unik. Mereka menyewa tiga ruangan di
Passy. Kamar tengah digunakan sebagai studio, kamar di
sebelah kanan adalah kamar si suami dan yang di sebelah
kiri milik si istri. Setiap kamar dilengkapi tempat tidur lebar.
Mereka melakukannya karena masingmasing merasa tak
nyaman mesti berpakaian atau melepas baju di satu ruangan.
Jadi lebih baik mereka memiliki kamar terpisah dan studio
itu merupakan tempat netral untuk bertemu. Mereka tak
memerlukan pembantu rumah tangga. Mereka memasak
sendiri dan sesekali mempekerjakan seorang perempuan tua
untuk bersih-bersih pada pagi dan sore hari. “Bagaimana
jika kalian punya anak?” tanya orang-orang yang ragu. “Tak
akan ada anak!” Semua berjalan lancar. Si suami pergi ke
pasar setiap pagi dan memasak. Lalu ia membuat kopi. Si
istri merapikan tempat tidur dan menata kamar. Lalu mereka
duduk berdua di studio dan mulai bekerja. Jika mereka
merasa lelah bekerja, mereka akan mengobrol, saling
memberi saran, tertawa-tawa, dan bergembira.
Pukul dua belas siang si suami akan menyalakan kompor
dan si istri menyiapkan sayuran. Si suami lalu memasak
daging, sementara si istri pergi ke toko bahan makanan, lalu
menata meja. Suaminya yang bertugas mencuci piring
setelah makan. Tentu saja mereka saling mencintai
sebagaimana halnya sepasang suami istri. Mereka saling
mengucapkan selamat malam lalu pergi ke kamar masing-
masing, tetapi tanpa mengunci pintu. Pada pagi hari mereka
terjaga di kamar masing-masing. Lalu, si suami akan
mengetuk kamar istrinya. “Selamat pagi, Manisku, apa
kabarmu hari ini?” “Baik, Sayang. Kamu?’’ Pertemuan
mereka saat sarapan selalu bagaikan sebuah pengalaman
baru yang tak pernah membosankan. Mereka sering pergi
bersama pada malam hari dan menjumpai teman-teman
mereka. Si istri tak keberatan dengan bau asap tembakau.
Semua orang berkata bahwa perkawinan mereka ideal. Tak
seorang pun pernah tahu ada pasangan lain yang lebih
berbahagia daripada mereka. Namun, orangtua si istri yang
masih muda itu, yang tinggal cukup jauh dari tempat tinggal
mereka, selalu menulis surat dan menanyakan
pertanyaanpertanyaan yang tak menyenangkan. Mereka
merindukan cucu. Louisa mesti ingat bahwa lembaga
perkawinan ada untuk mengasihi anak-anak yang dilahirkan
di dalamnya, bukan untuk kesenangan

orangtua. Louisa menganggap bahwa model perkawinan


semacam itu sudah kuno. Mama bertanya apakah dia tak
memikirkan bahwa gagasan-gagasan baru semacam itu bisa
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan? Louisa tak pernah
memandangnya begitu dan dia tak tertarik atas pertanyaan
semacam itu. Dia dan suaminya merasa cukup bahagia.
Mereka adalah sepasang suami-istri paling berbahagia di
mata dunia dan itu membuat dunia cemburu. Hidup ini amat
menyenangkan. Tak satu pun di antara mereka menjadi
majikan bagi yang lainnya dan mereka saling berbagi
penghasilan. Terkadang si suami mendapat penghasilan lebih
banyak, terkadang malah si istri, tetapi pada akhirnya
mereka berdua menyumbang jumlah yang setara untuk
tabungan mereka. Kemudian tibalah saat ulang tahun sang
istri! Ia terbangun pada pagi hari, perempuan tua yang biasa
membersihkan kamar masuk membawa seikat kembang dan
secarik kertas yang digambari bungabunga. Kertas itu berisi
sebuah tulisan: “Untuk istriku, dari suaminya yang berharap
dia berbahagia hari ini dan memohon kesediaannya
menemani suaminya pada acara sarapan istimewa—
sekarang juga.” Dia mengetuk kamar suaminya dan masuk.
Lalu mereka sarapan berdua sambil duduk-duduk di atas
ranjang yang lebar—ranjang si suami. Dan perempuan yang
bertugas membersihkan rumah pun mengerjakan semua
pekerjaan yang ada pada hari itu. Sebuah hari ulang tahun
yang manis!
Kebahagiaan mereka tak pernah pudar. Semua itu
berlangsung selama dua tahun. Bagaimanapun, sering kali
seorang peramal salah menebak. Setelah dua tahun berlalu,
si istri yang masih muda itu jatuh sakit. Tampaknya dia
terkena racun yang mungkin tercampur dalam zat kimia
yang ada pada pelapis dinding kamar. Suaminya mengira dia
terserang semacam kuman. Namun sesuatu yang aneh
terjadi. Sesuatu yang tak semestinya. Tubuh si istri semakin
membengkak. Apakah dia terserang tumor? Ya, suaminya
amat cemas. Si istri kemudian datang kepada seorang dokter
dan pulang ke rumah dengan berurai air mata. Ada sesuatu
yang tumbuh di dalam tubuhnya. Sesuatu yang pada suatu
hari kelak akan melihat cahaya matahari. Si suami hanya
bisa menangis. Lalu ia pergi kepada teman-temannya dan
membual tentang hal itu. Si istri masih juga menangis. Apa
jadinya kini? Dia tak akan lagi bisa mencari uang dan
terpaksa hidup bergantung kepada suaminya. Dan mereka
harus memiliki seorang pembantu! Uh, pembantupembantu
yang menyebalkan itu! Segala kehati-hatian mereka,
kewaspadaan mereka, telah kandas membentur karang
tanpa dapat dielakkan. Namun sang ibu mertua menulis
surat dengan amat bersemangat dan kembali mengulang-
ulang bahwa perkawinan adalah lembaga yang diciptakan
Tuhan untuk melindungi anak-anak, kesenangan para
orangtua hanya mendapat bagian sedikit saja. Hugo berkata
kepada istrinya agar melupakan kenyataan bahwa kini dia
tak lagi bisa menghasilkan uang. Bukankah dia telah
melakukan tugasnya dengan menjadi ibu bagi bayi itu?
Bukankah hal itu sama baiknya dengan menghasilkan uang?
Uang adalah hasil kerja. Dengan menjadi seorang ibu, dia
telah melunasi bagiannya secara penuh.
Memakan waktu lama bagi si istri untuk bisa menerima
kenyataan bahwa kini dia mesti bergantung kepada
suaminya. Namun, saat bayi itu lahir, dia melupakan semua
itu. Dia tetaplah istri dan teman bagi suaminya seperti dulu,
dengan tambahan kini dia juga menjadi ibu bagi anak
mereka. Dan, suaminya menganggap bahwa hal itu ternyata
lebih baik daripada apa pun di dunia ini.•
AUGUST STRINDBERG (18491912) dikenal sebagai
pengarang dan dramawan terkemuka dunia. Sastrawan
asal Swedia ini menikah berkali-kali, tetapi kehidupan
perkawinannya tak bahagia. Hal itu dituangkannya dalam
berbagai karyanya, terutama naskah
naskah dramanya. Ia juga me
nulis sebuah autobiografi, Inferno (1897).
Kesetiaan
Rabindranath Tagore

GOURI ADALAH anak kesayangan orangtuanya. Ia cantik


dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Suaminya,
Paresh, dengan usahanya yang keras berhasil melepaskan
diri dari kehidupannya yang miskin. Selama ia hidup miskin,
orangtua Gouri menjaga putri mereka di rumah keluarga
mereka, tak mau menyerahkan gadis itu pada keinginan
pribadinya. Saat Gouri akhirnya pergi ke rumah suaminya, ia
tak lagi muda. Dan Paresh tak pernah merasa puas bahwa
perempuan itu telah menjadi miliknya. Paresh kini seorang
pengacara di sebuah kota kecil di daerah barat kota. Ia tak
punya sahabat dekat. Yang ada dalam pikirannya hanyalah
istrinya. Begitu dalamnya perasaan itu sehingga terkadang ia
pulang sebelum sidang pengadilan dimulai. Pada awalnya
Gouri tak paham mengapa suaminya pulang begitu tiba-tiba.
Terkadang, Paresh memecat salah seorang jongosnya tanpa
alasan; tak satu pun yang pernah memuaskannya dalam
waktu lama. Terutama jika Gouri bermaksud
mempertahankan jongos itu karena amat berguna, ia pasti
akan segera dipecat. Gouri merasa jengkel dengan hal ini,
tetapi kekesalannya hanya membuat tingkah suaminya
semakin aneh. Paresh, yang tak mampu menahan diri lebih
lama, mulai diam-diam menanyai pembantu perempuannya
tentang tingkah laku sang istri. Semua itu sampai ke telinga
istrinya. Gouri perempuan yang tak banyak bicara, tetapi
harga dirinya yang terhina atas hal ini membuatnya bagai
singa betina terluka. Tertuduh yang murka ini mengoyak
bagai sebilah pedang, menghancurkan dinding kasih di
antara mereka. Paresh, begitu tahu istrinya menyadari
alasan sang suami mencurigainya, tak lagi merasakan
kelembutan di wajah Gouri. Dan semakin istrinya
mendiamkannya, semakin berkobar api cemburu membakar
dirinya. Gagal meraih kebahagiaan dalam perkawinan, Gouri
yang tak memiliki anak mencoba menghibur diri. Ia menjadi
murid spiritual Paramananda, seorang biksu muda di sebuah
kuil. Secara resmi, Gouri berbaiat kepadanya dan meminta
sang guru menerangkan Bhagawadgita kepadanya. Segenap
perhatian seorang perempuan tercurah di kaki guru

muda itu.
Tak seorang pun meragukan kemurnian watak
Paramananda. Semua orang memujanya. Dan karena Paresh
tak berani mencurigai lelaki itu, kecemburuannya
menggerogoti hatinya bagai sebuah penyakit kanker yang
tersembunyi. Suatu hari persoalan sepele membuat racun itu
membeludak. Paresh menuduh Paramananda seorang
munafik di depan istrinya dan berkata, “Sanggupkah kau
bersumpah bahwa kau tak jatuh cinta kepada burung bangau
yang berpura-pura menjadi pertapa ini?” Mendengar
tuduhan itu Gouri tersentak bagai seekor ular yang diserang.
Ia berkata pahit, “Lalu kenapa kalau memang benar begitu?”
Paresh yang marah meninggalkan istrinya menuju gedung
pengadilan, dikuncinya pintu rumah dari luar. Namun, Gouri
berhasil membobol pintu dan pergi meninggalkan rumah.
Paramananda sedang menekuni naskah-naskah dalam
kamarnya yang sepi pada siang yang sunyi itu. Tiba-tiba saja,
bagai gelegar petir siang bolong di langit tak berawan, Gouri
muncul. “Sedang apa kau di sini?” tanya sang guru dengan
terkejut. “Selamatkanlah aku dari petaka rumah tanggaku
dan izinkanlah aku mengabdikan diri di telapak kakimu,
Guru.” Dengan tegas, Paramananda menyuruh Gouri pulang.
Namun, aku tak yakin apakah lelaki itu masih bisa
menyelesaikan pembacaan naskahnya dengan tenang.
Paresh yang menemukan pintu terbuka saat pulang ke
rumahnya, bertanya, “Siapa yang tadi datang kemari?” “Tak
seorang pun!” jawab istrinya. “Akulah yang tadi pergi ke
rumah Guru.” “Kenapa?” Wajah Paresh memucat lalu
memerah seketika. “Karena aku ingin.” Sejak hari itu Paresh
memerintahkan seorang penjaga mengawal rumahnya dan
tingkah lakunya semakin aneh sehingga kisah
kecemburuannya menyebar ke seluruh kota. Kabar tentang
tuduhan memalukan yang menimpa muridnya mengganggu
meditasi Paramananda. Ia bisa saja meninggalkan tempat itu,
tetapi ia tak bisa mengubah ikrarnya hanya karena seorang
perempuan yang menderita. Siapa yang bisa bercerita
bagaimana akhirnya pertapa yang malang itu bisa melewati
saat-saat sulit yang menggelisahkan? Pada suatu hari Gouri
yang terpingit mendapati sepucuk surat untuknya. “Anakku,
memang benar bahwa banyak perempuan suci telah
meninggalkan bumi untuk mengabdikan diri mereka kepada
Tuhan. Seandainya cobaan dunia membuat pikiranmu beralih
dari Tuhan, aku akan bersamamu sebagai pertolongan
Tuhan. Jika kau bersedia, temui aku di kebunmu esok hari
pukul dua siang.” Gouri menyembunyikan surat itu di balik
gulungan rambutnya. Siang esok harinya ketika ia menyisir
rambutnya sebelum mandi, disadarinya surat itu telah
lenyap. Mungkin jatuh di atas ranjang dan ditemukan
suaminya, pikirnya. Seketika ia merasakan semacam kilatan
rasa senang saat berpikir bahwa itu akan membuat
suaminya murka. Dengan langkah ringan ia buru-buru
menuju kamar suaminya. Ternyata, lelaki itu terbujur kaku di
atas lantai, sepasang matanya terbeliak dan buih keluar dari
mulutnya. Gouri melepaskan surat itu dari genggaman
suaminya dan segera memanggil dokter. Dokter berkata
bahwa lelaki itu terserang ayan. Si pasien telah mati
sebelum ia datang. Pada hari itu, Paresh memiliki janji
penting di luar rumahnya. Paramananda mengetahuinya dan
memanfaatkannya untuk menemui Gouri di belakang
suaminya. Ah, betapa dalam biksu itu telah terperosok dalam
lembah kehinaan! Ketika dari jendela Gouri yang telah
menjadi janda melihat gurunya mengendap-endap seperti
seorang pencuri di tepi kolam, ia langsung menundukkan
matanya. Dan pada saat itu pula ia menyadari betapa dalam
ia telah terperosok dalam jurang kenistaan. Guru yang
lancung itu memanggil, “Gouri.” “Aku di sini,” jawab Gouri.
Ketika kawan-kawan Paresh mendengar kabar tentang
kematiannya dan datang untuk penghormatan terakhir,
mereka menemukan tubuh Gouri yang tak bernyawa
tergeletak di samping suaminya. Ia telah meracuni dirinya
sendiri. Semua orang mengagumi kesetiaan yang ditunjukkan
oleh perempuan itu. Sebuah kesetiaan yang benar-benar
jarang ditemukan di zaman bobrok seperti saat ini.•
RABINDRANATH TAGORE (1861-1941), sastrawan India
peraih Hadiah Nobel Sastra 1913. Ia tercatat sebagai
orang Asia pertama yang pernah meraih hadiah prestisius
itu. Ia menulis cerpen, novel, esai dan sajak dalam bahasa
Bengali. Tagore juga merupakan
figur yang amat berpengaruh
dalam kebudayaan India pada masanya dan dihormati
secara luas dalam peta sastra dunia.
Kebahagiaan
Leo Tolstoy

DI UFA hiduplah seorang petani bernama Ilyas. Ayahnya meninggal dunia


ketika Ilyas baru setahun menikah, dan meninggalkan untuknya sedikit
warisan. Tujuh ekor kuda betina, dua ekor sapi, dan dua puluh ekor
kambing adalah seluruh kekayaannya. Namun, Ilyas seorang petani ulet.
Lambat laun hartanya mulai bertambah. Ia dan istrinya bekerja dari
fajar hingga senja hari, bangun lebih awal dan tidur lebih lambat
daripada orang lain. Setiap tahun ia bertambah kaya. Ilyas hidup
makmur selama tiga puluh lima tahun dan mendapatkan banyak sekali
keberuntungan. Kini ia telah memiliki dua ratus ekor kuda, seratus lima
puluh ekor sapi, dan seribu ekor kambing. Buruh-buruh lelaki
menggembalakan ternaknya, sementara itu buruh-buruh perempuan
memerah susu kuda dan sapi untuk dibuat minuman kumiss, mentega,
dan keju. Singkatnya, Ilyas memiliki segalanya dan itu membuat iri
banyak orang. Mereka berkata, “Ilyas lelaki yang beruntung. Ia memiliki
segalanya.” Ilyas mencoba bergaul dengan banyak orang. Banyak tamu
datang mengunjunginya dari jauh. Ia menyambut mereka dengan baik
dan menyuguhkan makanan dan minuman. Berapa pun yang datang,
selalu ada kumiss, teh, dan gulai daging kambing bagi semuanya. Begitu
para tamu tiba, satu atau dua ekor kambing disembelih. Jika yang datang
cukup banyak, seekor kudalah yang disuguhkan. Ilyas memiliki dua anak
lelaki dan seorang anak perempuan. Semuanya telah menikah. Ketika
Ilyas masih miskin, anak-anak lelakinya membantunya bekerja
mengawasi ternak, tetapi setelah mereka kaya anak-anaknya mulai
berbuat semaunya. Bahkan, salah satunya mulai mabuk-mabukan. Anak
sulungnya tewas dalam sebuah perkelahian. Anaknya yang lain menikahi
seorang perempuan yang sombong dan mulai membangkang kepada
ayahnya. Akhirnya ia diusir dari rumah keluarganya. Ilyas kemudian
memberinya sebuah rumah dan sebagian ternaknya. Sejak peristiwa itu
kesehatannya memburuk. Selain itu, kambing-kambingnya diserang
penyakit dan banyak yang mati. Paceklik membuat keadaan makin
parah. Ternaknya banyak yang mati kelaparan. Kemujurannya telah
berakhir. Kian lama ia kian miskin. Pada usia tujuh puluh tahun, Ilyas
terpaksa menjual semua harta miliknya, termasuk ternaknya. Ia betul-
betul telah terpuruk dalam jurang kepapaan. Tiada yang tersisa pada
masa tuanya sehingga ia dan istrinya harus hidup menumpang dan
bekerja untuk orang lain. Ilyas teringat akan masa jayanya ketika ia
masih memiliki pakaian yang indah: mantel tebal, topi kulit, dan sepatu
bot. Begitu juga dengan istrinya, Sham-Semagi, yang kini telah menjadi
seorang nenek-nenek. Kini anak lelakinya telah pergi jauh ke kota lain
dan anak perempuannya sudah meninggal dunia. Tiada lagi yang
menolong mereka. Seorang tetangga, Muhammadsyah, jatuh iba kepada
mereka. Muhammadsyah sendiri bukanlah orang kaya, tetapi ia hidup
berkecukupan dan berwatak baik. Ia teringat akan kebaikan-kebaikan
Ilyas pada masa lalu dan ingin membantunya. “Tinggallah bersamaku,
Ilyas. Bawalah istrimu serta. Bekerjalah di kebun melonku pada musim
panas dan rawatlah ternakku pada musim dingin. Sham-Semagi bisa
memerah susu kuda dan membuat kumiss. Aku akan mencukupi sandang
pangan kalian. Jika kalian perlu sesuatu, bilanglah kepadaku dan aku
akan memenuhinya bila aku mampu,” katanya kepada Ilyas. Ilyas
berterima kasih atas tawaran tetangganya itu. Ia dan istrinya kemudian
tinggal dan bekerja di rumah Muhammadsyah. Pada mulanya terasa sulit,
tetapi lama kelamaan mereka menjadi terbiasa menjalaninya.
Muhammadsyah merasa beruntung dengan kehadiran kedua orang tua
ini. Mereka tahu apa yang harus dilakukan dan rajin bekerja. Walaupun
demikian, terkadang Muhammadsyah merasa ikut bersedih atas
kemalangan yang menimpa mereka. Pada suatu hari ada banyak tamu di
rumah Muhammadsyah. Mereka datang dari jauh. Di antara mereka ada
seorang mullah—pemuka agama. Muhammadsyah menyuruh untuk
memotong seekor kambing. Ilyas menguliti dan memasaknya lalu
menyuguhkannya untuk para tamu. Para tamu itu menyantap suguhan itu
sambil minum teh dan menikmati kumiss. Saat mereka tengah asyik
duduk dan berbincang-bincang akrab dengan tuan rumah sambil
menyantap hidangan, Ilyas yang baru selesai dengan pekerjaannya,
berjalan melintasi pintu. Muhammadsyah melihatnya lalu berkata
kepada salah seorang tamunya, “Apakah Anda melihat orang tua tadi?”
“Ya,” jawabnya. “Memangnya kenapa?” “Dulu ia orang terkaya di daerah
ini, namanya Ilyas. Pernahkah Anda mendengar namanya?” “Saya belum
pernah melihatnya sebelum ini, tetapi namanya cukup terkenal.” “Kini ia
jatuh miskin dan tinggal di sini bersama istrinya. Mereka bekerja untuk
saya.” Tamu itu terkejut. Ia kagum dan heran, lalu berkata, “Ternyata
memang benar. Hidup itu seperti roda, kadang di atas dan kadang di
bawah. Pasti ia sangat sedih sekarang ...” “Siapa yang tahu? Ia hidup
tenang, damai, dan bekerja dengan baik.” “Bolehkah saya bercakap-
cakap dengannya? Saya ingin bertanya tentang kehidupannya.” “Oh,
tentu saja,” jawab tuan rumah. Ia lalu berteriak memanggil, “Kakek,
kemarilah. Panggil istrimu dan mari kita minum kumiss bersama-sama.”
Ilyas pun datang bersama istrinya. Ia menyalami mereka dan duduk di
pojok dekat pintu. Istrinya duduk di dekatnya, di belakang tirai. Mereka
bersulang lalu minum kumiss bersama-sama. “Pasti menyedihkan begimu
saat terkenang pada masa lalumu dan betapa malangnya nasibmu seka
rang,” ujar seorang tamu. Ilyas tersenyum dan berkata, “Jika aku
berkata kepada kalian tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan,
kalian mungkin tak akan percaya. Lebih baik bertanyalah kepada istriku.
Ia seorang perempuan, apa yang ada di hatinya itu pulalah yang keluar
dari lidahnya. Ia akan berkata jujur.” Tamu itu bertanya ke balik tirai,
“Baiklah. Berceritalah kepadaku tentang kebahagiaan masa lalumu dan
kemalanganmu kini.” Dan Sham-Semagi berkata dari balik tirai, “Selama
lima puluh tahun kami mencari kebahagiaan dan gagal menemukannya.
Kini, pada tahun kedua kami di sini, ketika kami tak punya apa-apa dan
hidup sebagai orang upahan, kami justru menemukan kebahagiaan sejati
dan tak memerlukan apa pun lagi.” Tamu-tamu itu keheranan, begitu
juga dengan Muhammadsyah. Ia bahkan bangkit dari duduknya dan
membuka tirai untuk memandang perempuan tua itu. Di sana Sham-
Semagi berdiri dengan seulas senyum tersungging di bibirnya dan
menatap suaminya yang juga sedang tersenyum. Perempuan itu berkata
lagi, “Aku berkata benar dan tidak sedang bergurau. Kami
mendambakan kebahagiaan selama setengah abad. Waktu kami kaya
raya, kami tak menemukannya. Kini kami telah menemukannya.”
“Lantas, apa yang sesungguhnya membuatmu bahagia sekarang?”
“Ketika kami kaya raya, kami tak pernah merasakan kedamaian: tak ada
waktu untuk bercakapcakap, merenung tentang jiwa kami, atau berdoa
kepada Tuhan. Kami punya banyak kecemasan. Jika kedatangan tamu,
kami cemas tak bisa menjamu mereka dengan baik. Kami cemas tak
memperlakukan pekerja-pekerja kami dengan benar. Kami takut
berdosa. Jika hendak tidur, kami cemas jangan-jangan ternak kami
dimakan binatang buas. Tidur kami jadi tidak nyenyak. Kecemasan yang
satu berganti dengan kecemasan yang lain. Kami jadi sering berselisih
paham. Suamiku berpendapat begini dan aku berpendapat begitu. Itu
dosa. Kami hidup bergelimang kecemasan dan dosa yang membuat kami
tak pernah bahagia.”
“Lalu sekarang?” “Kini kami bangun pagi bersama dan berbicara dari
hati ke hati dengan penuh cinta dan kedamaian. Kami tak pernah lagi
bertengkar, tak ada lagi yang perlu dicemaskan. Kami hanya perlu
melayani majikan kami dengan baik. Kami bekerja keras semampu kami
dan itu membuat majikan kami menyayangi kami. Setelah usai bekerja,
tersedia makanan dan kumiss. Jika kami kedinginan, ada selimut dan
pendiangan yang akan menghangatkan tubuh kami. Ada banyak waktu
untuk bercakap-cakap, merenung tentang jiwa kami, dan berdoa kepada
Tuhan. Kami akhirnya menemukan kebahagiaan setelah lima puluh tahun
mencarinya.” Tamu-tamu itu tertawa. Melihat mereka tertawa, Ilyas
menyela, “Jangan tertawa, Kawan. Ini bukan lelucon. Inilah kehidupan.
Kami dulu begitu bodoh dan menangis ketika kehilangan kekayaan,
tetapi kini Tuhan telah membukakan kebenaran bagi kami. Kami
menceritakannya kepada kalian bukan sebagai lelucon, melainkan untuk
kebaikan kalian sendiri.” Dan sang mullah di antara mereka pun berkata,
“Betapa bijak perkataan itu. Semua yang dikatakan oleh Ilyas benar
adanya dan tertulis di dalam kitab suci.” Mereka berhenti tertawa dan
mulai berpikir.•
LEO TOLSTOY (1828-1910) dikenal sebagai sastrawan Rusia terbesar
dan berpengaruh luas dalam peta sastra dunia. Ia juga seorang pemikir
sosial dan moral terkemuka pada masanya. Karya-karyanya yang
bercorak realis dan bernuansa religius sarat dengan perenungan moral
dan filsafat, seperti tampak dalam cerpen

yang terdapat dalam buku ini.

Saat wafat, ia mewariskan dua novel besar yang dikenang du

nia hingga kini, Perang dan Damai (1863) serta Anna Karenina

(1873).
Keberuntungan
Mark Twain

ADA SEBUAH pesta di London untuk menghormati perwira militer


paling terkenal di Inggris saat ini: Letnan Jenderal Lord Arthur
Scoresby. Sebuah nama yang memesona! Ia duduk di sana. Kudengar
namanya ribuan kali sejak tiga puluh tahun silam. Ia tampak jujur dan
rendah hati, dan sepertinya tidak sadar akan kebesaran namanya. Ia
tidak menyadari tatapan ratusan pasang mata dan luapan rasa cinta
yang tertuju kepadanya.
Pendeta di sebelah kiriku adalah kenalan lamaku. Sebelum menjadi
pendeta, ia menghabiskan separuh umurnya sebagai instruktur sekolah
militer di Woolwich. Sesaat kulihat kilatan aneh di matanya. Ia berbisik
kepadaku tentang sang pahlawan yang tengah dirayakan, “Asal tahu
saja, dia sesungguhnya sangat tolol.”
Perkataannya mengejutkanku. Jika dia berbicara tentang Napoleon
atau Socrates, tentu aku tak akan seheran ini. Aku tahu betul bahwa
pendeta ini jujur dan bukan tipe orang yang suka bergunjing. Kini aku
mulai percaya bahwa dunia telah salah menilai pahlawan ini: ia tolol.
Aku jadi penasaran ingin mengetahui kisah Pak Pendeta secara lebih
lengkap.
Beberapa hari kemudian kesempatan itu datang. Sang pendeta
bercerita kepadaku:
Sekitar empat puluh tahun silam aku adalah instruktur akademi
militer di Woolwich. Aku hadir ketika Scoresby muda mengikuti ujian.
Hampir semua yang ada di kelas dapat menjawab pertanyaan dengan
baik, kecuali dia. Dia tak tahu apa-apa sama sekali. Dia tampak baik,
manis, dan menyenangkan, tetapi kebodohannya benar-benar
menakjubkan. Aku berkata kepada diriku sendiri: jika dia datang
kembali untuk mengikuti ujian, dia tentu akan gagal, jadi aku harus
membantunya untuk menghindarkannya dari kehancuran. Ternyata dia
tahu sedikit tentang sejarah Julius Caesar meskipun dia tidak tahu apa
pun selain itu. Aku mengajarinya berulang-ulang tentang berbagai hal
dan melatihnya habis-habisan. Ketika tiba waktu ujian, sebuah
keajaiban terjadi—kecelakaan sejarah yang tampaknya tidak akan
terjadi dua kali dalam seabad. Dia hanya ditanyai sedikit pertanyaan
yang kebetulan semuanya pernah kuajarkan kepadanya pada saat
latihan!
Itulah dia. Sepanjang pendidikan aku membantunya seperti seorang
ibu menolong anaknya yang menangis ketakutan dan dia selalu
diselamatkan oleh keajaiban. Hal lain yang akan membunuhnya adalah
matematika. Aku mencoba memperlambat kematiannya. Kulatih dia
dengan keras dengan pertanyaanpertanyaan yang mungkin akan
diajukan oleh para penguji. Lagi-lagi dia mujur, dia lulus dengan angka
terbaik! Dan itu membuatnya memperoleh penghargaan. Tidur? Aku
tak punya waktu untuk tidur selama seminggu. Rasa bersalah
menyiksaku setiap saat. Aku merasa berbuat bodoh dengan melakukan
kebaikan yang mungkin akan membunuh seorang anak muda yang
malang. Aku tak bisa membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan
terjadi. Satu hal mungkin saja terjadi: kariernya hancur berantakan
pada kesempatan pertama. Perang Krimea baru saja pecah. Aku
menantikan sebuah bencana yang tampaknya akan terjadi. Dan
bencana itu pun terjadilah ... Dia ditunjuk memimpin sebuah resimen
dalam pertempuran! Aku tak mau membayangkan apa yang akan
terjadi. Kupikir rambutku akan segera memutih memikirkan hal ini.
Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku bertanggung jawab
terhadap negara atas hal ini dan oleh karenanya aku harus pergi
bersamanya untuk melindungi negara dari kebodohannya semampuku.
Maka, aku pun bergabung dengan pasukan itu menuju medan
pertempuran. Dan di sana, oh, Tuhan, sungguh mengerikan! Mengapa
dia selalu melakukan kesalahan? Anehnya, tak seorang pun menyadari
kesalahan-kesalahannya. Setiap orang berbaik sangka kepadanya.
Mereka menganggap hal-hal bodoh yang dilakukannya sebagai inisiatif
jenius. Kesalahan-kesalahan yang dia lakukan cukup untuk membuat
seorang lelaki menangis, tetapi justru merekalah yang membuatku
menangis. Dan satu hal yang membuatku selalu takjub adalah
kenyataan bahwa setiap kesalahan baru yang dilakukannya justru di
mata mereka tampak sebagai sebuah keberanian yang membuat
reputasinya semakin harum! Dia terus bertempur selangkah demi
selangkah melampaui mayat kawan dan lawan hingga akhirnya, di saat
pertempuran semakin memanas, kolonel kami gugur. Dan yang
membuatku amat terkejut, Scoresby-lah yang ditugaskan untuk
menggantikannya! Pertempuran semakin dahsyat. Resimen kami
menempati posisi strategis. Sebuah kesalahan pasti akan sangat fatal
akibatnya. Pada saat yang genting ini, kebodohan abadi yang melekat
kepadanya kembali muncul. Dia memerintahkan resimennya
meninggalkan tempat dan menyerbu sebuah bukit yang dikuasai oleh
musuh! “Inilah saatnya!” ratapku dalam hati. “Inilah akhir segalanya.”
Kami bergerak ke bukit tersebut sebelum ide gila ini dapat
dihentikan. Dan apakah yang kami temukan? Seluruh pasukan
cadangan musuh! Apa yang terjadi kemudian? Kami diserang? Mungkin
itu yang akan terjadi dalam sembilan puluh sembilan dari seratus
kasus. Namun tidak, pasukan musuh mengira tidak mungkin hanya satu
resimen yang menyerbu mereka pada saat itu. Mereka pikir yang
menyerbu adalah seluruh tentara Inggris dan mereka telah terkepung,
jadi mereka lari tunggang langgang kebingungan! Tak ada hal paling
menakjubkan yang pernah terjadi seperti pada saat itu. Kekalahan yang
seharusnya terjadi berbalik menjadi kemenangan gemilang! Marsekal
Canrobert tampak gembira sekali. Ia menyalami Scoresby dan
memeluknya eraterat. Kemudian, ia menugaskan Scoresby untuk
memimpin seluruh pasukan!
Scoresby kemudian dikenal sebagai genius militer yang luar biasa
dan kejayaannya tak pernah pudar. Dia kembali dari medan tempur
sebagai pahlawan. Orang-orang membicarakan “kehebatannya”
dengan antusias.
Dia sebetulnya anak yang baik dan menyenangkan, dia juga bukan
seseorang yang suka berpurapura, tetapi masalahnya adalah dia tak
pernah tahu saat yang tepat untuk bertindak. Hari demi hari, tahun
demi tahun, dengan keberuntungan yang mengherankan dia menapaki
kariernya. Dia kini dikenal sebagai serdadu paling cemerlang dalam
peperangan. Ya, begitulah, hal terbaik yang terjadi di dunia adalah jika
seseorang dilahirkan dengan nasib mujur. Sekali lagi kukatakan,
sesungguhnya Scoresby

itu benar-benar tolol!•


MARK TWAIN (1835-1910), nama samaran Samuel Clemens,
pengarang terkemuka Amerika Serikat. Karya-karya klasiknya
antara lain Tom Sawyer (1876) dan Huckleberry Finn (1884). Selain
kedua novel tersebut, Twain menulis cerpencerpen dan sejumlah esai
dengan teknik yang khas. Ia
adalah pengarang legendaris kesayangan rakyat Amerika. Pada
tahun-tahun terakhir hidupnya ia hanya sedikit menulis karena
waktunya tersita untuk peran barunya sebagai seorang selebritas. Ia
kerap diundang berbicara di muka umum dan dikenang orang dengan
setelan putih-putihnya yang legen
daris.
Sepatu Bot
Émile Zola

PEREMPUAN ITU masih terbaring di tempat tidur, setengah telanjang.


Seulas senyum tersungging di bibirnya, kepalanya terbenam di atas
bantal dan matanya masih tampak terpejam. Sebelah lengannya
tersembunyi di balik rambutnya, yang sebelah lagi terjulur di ujung
ranjang. Sang bangsawan, dalam baju tidurnya, berdiri di depan sebuah
jendela dan menyibak tirai hingga terbuka lebar. Ia mengisap sebatang
cerutu dan tampak terserap dalam arus pikirannya sendiri. Perempuan
itu baru genap dua puluh tahun kemarin, tetapi tampak seperti seorang
gadis remaja berusia enam belas. Rambutnya bagaikan mahkota
terindah dari surga para bidadari, sebuah mahkota cokelat keemasan,
lembut dan kuat seperti surai kuda, tetapi berkilau-kilau laksana sutra.
Rambut itu bergulung di sekitar lehernya. Di bawah rambut ikal itu
tersembul kulit leher yang lembut dan putih, bahu pualam, dan
sepasang payudara yang padat. Lehernya yang jenjang begitu
menggoda, mengintip malu-malu dari balik helai-helai rambutnya yang
kemerahan. Gairah terbangkit apabila mata memandang leher yang
berkilau lembut itu. Keliaran dan kekanak-kanakan, serta keberanian
dan kepolosan berbaur. Menggoda hasrat untuk mengecup. Cantikkah
dia? Sulit diungkapkan. Wajahnya tersembunyi oleh rambut yang lebat.
Perempuan itu memiliki wajah datar, sepasang mata kelabu yang agak
sipit, hidung mancung, dan mulut lebar dengan bibir kemerahan.
Bagaimana yang lainnya? Kita tak bisa membahas lekuk liku tubuhnya.
Itu akan meracuni kita pada pandangan pertama, seperti segelas
anggur yang memabukkan. Yang bisa kita lihat hanyalah bayangan
serba putih di tengah nyala api kemerahan, serta seulas senyum yang
membakar hasrat berahi. Sepasang matanya bagaikan kilatan perak
cahaya mentari. Ia membuatmu berpaling dan tahutahu kau telah
terperangkap memandangi seluruh kesempurnaannya satu demi satu.
Tinggi badannya sedang-sedang saja. Ia bergerak perlahan-lahan saat
berjalan. Kaki dan lengannya seperti milik seorang gadis kecil. Seluruh
tubuhnya mencerminkan gairah yang menyala-nyala. Sebelah
lengannya yang telanjang, berkilau menggetarkan perasaan. Ia
bagaikan ratu malam, ratu cinta yang berakhir dalam sehari.
Perempuan itu bertumpu pada lengan kirinya yang tersandar. Ia hendak
bangkit. Sejenak ia membuka kelopak matanya untuk membiasakan diri
pada silau cahaya siang hari dan menatap kelambu biru pucat. Ia
telentang menindih bantal. Tubuhnya menggeliat, putih dan diam.
Daging kemerahan tersembul di sana sini saat gaun tidurnya
tersingkap. Tak ada yang lebih indah daripada ranjang ini dengan
perempuan itu terbaring di atasnya. Kamar itu bercat biru lembut.
Warna dan aromanya menyegarkan. Udara begitu dingin. Tirai
bergantung pada kisi-kisi yang diam. Karpet terbentang di atas lantai,
bisu dan tuli. Kesunyian ini, kelembutan cahaya ini, kemisteriusan
bayangan ini, kemurnian perabotan ini—semua mengingatkan kita
kepada sesosok dewi yang menyatu dengan segala bakat dan
keanggunan seorang seniman dan putri bangsawan. Pastilah
perempuan itu terkadang berendam dalam air susu. Kulitnya yang
lembut menandakan kenyamanan hidup. Amat menyenangkan apabila
jiwanya juga semurni tubuhnya. Sang bangsawan telah selesai
mengisap cerutu. Perhatiannya kini tertarik oleh seekor kuda yang
terjatuh di kejauhan. Mereka mencoba membuat kuda itu tegak
kembali di atas kaki-kakinya. Binatang malang itu terpeleset dan tulang
rusuknya mungkin ada yang patah.
Di belakangnya, di atas ranjang yang wangi, makhluk indah itu
sedang bangun dari tidurnya dengan perlahan-lahan. Kini perempuan
itu membuka matanya lebar-lebar, tetapi masih tak bergerak.
Ingatannya telah sadar, tetapi tubuhnya masih tertidur. Ia sedang
melamun. Sepasang matanya yang terpentang lebar terpaku pada tirai.
Ia terserap dalam lamunannya, lalu teringat akan sesuatu. Mendadak ia
melompat ke atas karpet. Ia menyibakkan rambutnya yang
bergelombang bagai lidah api di atas bahunya yang seputih salju. Ia
mengenakan baju tidur yang terbuat dari beludru biru. Disilangkannya
lengannya di atas dada dengan gaya yang anggun dan tanpa suara ia
menghilang di balik pintu. Sang bangsawan melemparkan cerutunya
dengan helaan napas penuh kepuasan. Kuda itu telah bangkit berdiri.
Deraan cambuk memaksa binatang malang itu tegak. Ia memalingkan
wajah dan menatap ranjang yang kosong. Ia memandangnya sejenak
lalu kembali bermalas-malasan, duduk merenungi tirai berwarna biru
pucat. Bangsawan itu masih merenungi tirai. Ia menghitung uang yang
telah dikeluarkannya untuk memperindah kamar ini. Kini tangannya
terjulur ke atas tempat tidur. Terasa hangat. Dilihatnya sehelai rambut
keemasan yang berkilau di atas permukaan bantal yang putih. Ia
berpikir tentang perempuan itu. Lalu dua hal muncul serentak dalam
benaknya: perempuan itu dan kamarnya. Ia menyandingkan keindahan
perempuan itu dan kecantikan perabotan di kamar ini. Semuanya
terasa selaras. Tiba-tiba saja bangsawan itu teringat pada sepatu
botnya. Ingatan tentang sepatu bot itu menyerap seluruh perhatiannya.
Ia teringat bahwa selama tiga bulan belakangan ini setiap pagi saat ia
keluar dari kamar dilihatnya sepatu bot itu telah dibersihkan dan
disemir hingga berkilat. Kamar ini memang luar biasa. Dan perempuan
itu begitu sederhana. Bangsawan itu kembali menatap tirai berwarna
biru pucat lalu melirik sehelai rambut keemasan di atas seprai. Ia
memuji-muji dirinya sendiri yang telah menghabiskan enam ratus ribu
franc untuk menghias kamar ini. Ia bangkit. Kini ia sendirian. Ia
teringat bahwa dirinya selalu ditinggalkan sendirian setiap pagi sekitar
seperempat jam. Lalu, tanpa didorong oleh rasa ingin tahu, hanya
sekadar iseng, ia membuka pintu dan keluar dari kamar itu. Sang
bangsawan melintasi sebuah ruangan yang panjang tanpa berpapasan
dengan seorang pun. Namun saat hendak kembali ke kamar, ia
mendengar suara di kamar mandi. Mengira bahwa itu pembantunya, ia
berharap dapat bertanya tentang keberadaan kekasih gelapnya. Ia
membuka pintu dan melongokkan kepala. Kamar mandi itu sempit dan
bercat kuning. Di sebuah sudut tersimpan sapu dan sikat. Udara begitu
lembap dan dingin. Di tengahnya, dengan posisi berjongkok
membelakangi pintu, tampak seorang perempuan cantik berambut
keemasan. Di sebelah kanannya tergeletak kotak semir dan sikat
sepatu yang kelihatannya baru dipakai, bulu-bulunya kaku dan lembap.
Di sebelah kirinya terdapat sebuah sepatu bot, berkilat seperti cermin,
sebuah karya indah dalam bidang seni semir-menyemir. Di sekitar
perempuan itu terserak kotoran dan debu dari sepatu. Juga terdapat
sebilah pisau yang digunakan untuk mencungkil lumpur kering dari
lekukan sol sepatu. Perempuan itu memegang sebuah sepatu. Sebelah
tangannya yang lain masuk ke dalam lubang sepatu. Jari jemarinya
yang mungil memegang sikat dengan bulu-bulu yang panjang dan kaku.
Ia sedang menggosok sepatu itu. Tetes keringat berjatuhan di atas pipi
dan bahu perempuan itu. Sesekali ia mengibaskan luruhan rambut yang
jatuh menutupi matanya. Dada dan lengannya ternodai bintik-bintik
kehitaman, seperti bintang kelam yang menyebar di atas kulit yang
putih mulus. Ia menggigit bibir, matanya basah, dan kemudian ia
tersenyum. Ia menggosok sepatu bot itu dengan penuh sukacita, lebih
tampak seperti mengelus-elusnya. Ia terserap dalam pekerjaannya dan
larut dalam kesenangan tanpa batas. Tubuhnya bergoyang-goyang oleh
gerakan cepat berirama. Melalui celah jendela secercah cahaya lembut
menyinarinya, mengilaukan rambutnya dan membuat kulitnya yang
putih kemerah-merahan bersinarsinar. Ia tampak bahagia. Ia adalah
anak perempuan ayahnya, anak sejati ibunya. Setiap pagi saat bangun
tidur ia sering melamunkan masa kanak-kanaknya yang dihabiskan di
sebuah loteng kumuh, di antara sepatu-sepatu tua. Ia memimpikan
semua itu dan sebuah gairah liar membuatnya ingin melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan masa itu, bahkan biarpun itu hanyalah
membersihkan sepasang sepatu bot. Ia memiliki semacam rasa senang
saat menyemir sepatu, seperti halnya perempuan-perempuan lain
memiliki kegairahan terhadap bunga-bunga. Inilah rahasia pribadinya,
sesuatu yang sebenarnya membuatnya malu, sekaligus merasakan
kesenangan yang aneh. Dan begitulah, setiap pagi ia menyelinap dari
kamarnya yang mewah untuk mencungkili sol sepatu dengan ujung
jemarinya yang putih lentik dan menyerahkan kelembutan seorang
perempuan dalam pekerjaan kotor menyemir sepatu bot. Sang
bangsawan menyentuh bahu perempuan itu sekilas. Sang gadis
mengangkat wajahnya dengan terkejut saat lelaki itu merebut sepatu
bot di tangannya dan menaruhnya di atas lantai dengan kasar. Lelaki itu
lalu menamparnya dan pergi tanpa sepatah kata pun. Siang harinya
perempuan itu menulis surat untuk kekasih gelapnya. Ia menuntut uang
sebesar seratus ribu franc. Sang bangsawan menjawab bahwa ia tidak
merasa berutang sebesar itu kepadanya. Menyemir sepatu hanya
memakan biaya dua puluh lima sen sehari atau dua puluh tiga franc
selama tiga bulan. Siang itu juga sang bangsawan mengirimkan kepada
mantan kekasih gelapnya itu uang sebesar dua puluh tiga franc melalui
seorang jongos.•
ÉMILE ZOLA (1840-1902), sastrawan terkemuka Prancis. Ia dikenal
sebagai empu naturalisme dalam sejarah sastra dunia. Novel-novelnya
seperti Theresa Raquin (1867), Nana (1881), dan Germinal (1885)
sempat menggemparkan khalayak pada masanya. Selain menulis novel,
ia juga meng

hasilkan sejumlah cerpen dan

esai, antara lain sebuah esai


protes terkenal berjudul “J’accuse!” (“Aku Menuduh!”). Dalam esai
berupa surat terbuka kepada Presiden Prancis yang dimuat oleh surat
kabar L’aurore pada 1898 itu, ia membela Albert Dreyfuss, seorang
perwira Prancis keturunan Yahudi yang dituduh sebagai mata-mata
Jerman tanpa bukti jelas oleh penguasa. Kelak Dreyfuss terbukti tidak
bersalah. Esai itu membuat Zola berurusan dengan tangan besi
penguasa. Zola kemudian menulis kisah fiksi mengenai kasus itu dalam
novelnya, Vérité (1903). Zola wafat karena keracunan karbon
monoksida secara tak sengaja pada 1902. Jalanan Paris dipenuhi
barisan ribuan orang yang berkabung ketika peti matinya diarak
melintasi kota. Saat itu ia telah dikenal luas sebagai pahlawan
orangorang tak bersalah, pembela keadilan, dan pelindung orangorang
tertindas. Dalam sebuah eulogi untuknya, penulis terkemuka Anatole
France menyatakan bahwa Zola adalah “penjaga

kesadaran umat manusia”.

Anda mungkin juga menyukai