Anda di halaman 1dari 30

Dan Akhirnya Istriku

Diam
Bab:

3
"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!"
ucap Rima tanpa mengalihkan
pandangan sedikitpun. Ia masih
menunggu apa yang akan dikatakan
pria di hadapannya itu. Apakah ia
akan berkata jujur atau kembali
bersandiwara.
"Jawab, Mas!"
Alan hanya mengangguk, ia tak lagi
bersandiwara.
"Bahkan setelah kita menikah?"
Alan kembali mengangguk.
Dada seketika begitu sesak, mulut
tak lagi dapat berkata. Rima
membuang pandangannya,
menyembunyikan mata yang mulai
memerah. Alan pun terlihat bingung,
ingin mendekat tapi seperti tertahan.
Hingga ... akhirnya Rima kembali
menegakkan pandangannya seraya
menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir
aku kuat, ternyata ini lebih sakit
daripada yang aku bayangkan.
Seharusnya tadi kamu bersandiwara
saja, aku rasa itu jauh lebih baik."
"Maaf," ucap Alan pelan dengan
segenap perasaan bersalah.
"Tak perlu minta maaf, bukan kamu
yang menyakitiku, aku hanya terluka
oleh pikiranku sendiri."
"Lalu setelah ini akan seperti apa
kita?" tanya Alan.
"Harus bertanya padaku? Bukankah
selama ini kamu yang membawaku?
Aku hanya memberi perasaan, bila di
awal tak dibalas, paling aku hanya
terluka sejenak, setelah itu selesai. Tapi
kamu yang membawaku sampai ke titik
ini, masih harus bertanya padaku."
Alan menggelengkan kepalanya pelan.
"Sebetulnya aku pun bisa dicintai
dengan sederhana, hanya karena aku
lahir dari orang kaya bukan berarti
hidupku kemewahan.
Tapi sejak awal pertemuan kita kamu
hanya memandang dari sisi buruk saja,
hingga akhirnya aku yang sadar, bila
aku tidak pernah dicintai."
"Tapi kamu wanita yang paling aku
pentingkan dan aku utamakan," jawab
Alan.
Rima menghela napas panjang,
dadanya begitu sesak. Ini adalah patah
hati terburuk dalam hidupnya.
"Terimakasih. Jawabanmu barusan,
semakin meyakinkan."
Rima beranjak dari ranjang, sekuat
tenaga ia berusaha agar pertahanan air
matanya tidak runtuh. Ia berjalan
dengan sedikit menunduk,  
menyembunyikan sakit yang tak dapat
disembunyikan lewat wajah.
Alan mengacak rambutnya dan terlihat
frustasi dengan situasi ini.
Ia juga merutukki diri yang tidak bisa
menyembunyikan itu dan harus berkata
jujur tentang perasaan yang sudah mati-
matian ia sembunyikan.
Ia mengejar istrinya, tapi langkah Rima
lebih cepat. Ia masuk ke sebuah kamar
lain dan menguncinya.
"Mari kita bicara, Rima. Semua tidak akan
selesai dengan cara seperti ini," ucap Alan
dari balik pintu. Rima sama sekali tidak
menjawab dan menikmati waktunya yang
sendirian di dalam kamar.
Dua hari mereka ada di atap yang
sama tanpa pertemuan. Hingga pagi
ini Rima keluar dengan pakaian yang
rapi.
"Mau kemana kamu?" tanya Alan
masih dengan nada dinginnya.
"Ke kantor," jawab Rima sambil duduk
dan mengambil roti bakar yang
dibuatkan ART.
"Ada apa? Tumben? Biasanya selalu
ogah-ogahan."
"Mulai hari ini aku akan bekerja,
mandiri dan independen."
Alan menatap istrinya heran dan tidak
melanjutkan ucapannya. Sikap manja,
ceria, dan sangat agresif seolah
seketika hilang dari seorang Rima.
Mereka pun pergi dalam satu mobil
yang sama, Rima masih diam dan
membuang muka menatap ke arah
jendela. Hingga keduanya tiba di
kantor.
"Rima? Kamu kembali ke kantor?" ucap
Gayatri menyambut dengan riang.
Rima mengangguk dan melihat ke
sekitar, tidak ada yang berubah,
Gayatri dan Alan berada dalam satu
ruangan. Dulu ia menganggap biasa,
tapi sekarang rasanya lain.
"Lihat aku, Rima. Aku kemarin beli
anting, dua pasang denganmu, cantik
tidak?" ucap Gayatri menunjuk anting
yang dipakainya. 
"Biasa saja! Tapi lumayan, sih," jawab
Rima.
Gayatri mengerucutkan bibirnya.
"Cantik begini, iya kan, Mas?" tanyanya
pada Alan.
Alan diam tak merespon, kemudian
duduk di kursinya. Sementara meja Rima
berdampingan dengan Gayatri. Mereka
pergi ke meja masing-masing, kemudian
Gayatri memberikan berkas pada Alan.
Terlihat Alan sedikit berbisik, membuat
Gayatri tersenyum kecil.
Rima memperhatikan dari jauh, ketika
Gayatri meninggalkan ruangan ia
beranjak dan mendekat pada suaminya.
"Kamu bilang apa pada Gayatri sampai ia
tersenyum, Mas?"
"Kenapa, Rima? Simpan cemburumu, ini
di kantor."
"Jawab jujur, aku tahu kamu bukan
seorang laki-laki pengecut."
Alan membawa dirinya bersandar pada
kursi, lalu menatap Rima pasrah.
"Katakan, Mas!"
"Tidak penting, Rima. Sudahlah."
"Iya apa?"
"Aku mengatakan ...." Pria itu nampak
ragu. Rima nyaris menyerah, yakin itu
adalah penambah kesakitan, namun ia
benar-benar ingin tahu.
BERSAMBUNG

Anda mungkin juga menyukai