Anda di halaman 1dari 21

LEMBARAN PERTAMA

DISCLAIMER

SELURUH NAMA, KARAKTER, TEMPAT, DAN KEJADIAN DI DALAM


CERITA INI ADALAH FIKTIF. TIDAK TERJADI DI DUNIA NYATA.
HARAP BIJAK DALAM MENYIKAPI. APABILA TERDAPAT KESAMAAN
TOKOH ATAU PERISTIWA MAKA ITU HANYA KEBETULAN SEMATA,
TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN. CERITA INI DIBUAT UNTUK
KEPENTINGAN PUBLIKASI, HIBURAN DAN PEMBELAJARAN SEMATA.

•••

CAST

•••

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan rela


berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa.
Tanah air Indonesia.”
Hamdi Ar Rayyan

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan membaktikan


hidup saya guna perikemanusiaan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender,
politik dan kedudukan sosial.”
Anita Cendana

•••

CREDIT

Segala bentuk gambar, gif, serta ilustrasi yang


dibagikan dalam di dalam cerita bukan milik saya, saya
hanya meminjam. Thanks to the owner/company
[01] Prolog

"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita


adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah
kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan."

.
.

"Berlarilah ke arah angin berhembus Azarine."

•••

"Kenapa tidak mau lepas!"

Keluh seorang perempuan bernama Anita Cendana. Dia


mencoba memutuskan tali tambang yang mengikat
pergelangan tangan serta tubuhnya di kursi kayu. Dia
telah disekap, dikurung dalam rumah gubuk di pedalaman
hutan.

Anita mendongakkan kepala. Dari genting yang berlubang,


bulan menampakkan diri, sedangkan udara malam
menyelinap masuk melalui dinding yang rapuh dan
berlumut.

"Cepat! Ayo cepat."

Dia menyemangati diri saat berusaha memutuskan tali


tambang dengan pisau bedah kecil yang sempat dia
selundupkan.

"Cepat! sebelum mereka datang," tambahnya lagi.

Kedua mata bernetrakan coklat jernih itu menatap penuh


takut pada pintu, berharap para anggota kelompok
kriminal bersenjata yang menculiknya tidak memergoki
tindakannya untuk melepaskan diri.

"Tuhan Alam Semesta, tolonglah aku," serunya,


menyentak-nyentakkan tangan di kursi yang mengikat
tubuhnya.

Penampilan Anita sangat memprihatinkan.

Sudut bibirnya berdarah. Pipinya memar, sudah tak


terhitung berapa kali telapak tangan milik pria bernama
Beto Calvis menampar wajahnya. Orang itu sama sekali
bukanlah manusia.

"Berhasil! Berhasil!"

Anita menghela napas lega saat tali tambang terputus.


Untuk berjam-jam yang dia habiskan melepaskan diri, dia
menggoreskan banyak luka di pergelangan tangannya.

"Harus pergi sekarang," gumam Anita lagi. "Aku harus


melarikan diri."
Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah kayu ini
dijaga ketat. Di luar pintu, Anita yakin gerombolan itu
pasti menghadangnya. Hanya satu jalan keluar yaitu
memanjat dan keluar melalui atap berlubang.

Tanpa berpikir panjang. Anita menaiki tumpukan kayu dan


memanjat ke atap meskipun seng berkarat menggores
lengannya. Kerudung merah yang menutupi kepalanya
terjatuh ke pundak saat angin berhembus, memperlihatkan
tengkuk lehernya yang berhiaskan tato salib kecil
berwarna hitam.

Anita berhasil menaiki atap rumah kayu tempat dia


disekap. Kedua matanya dengan bebas leluasa menjelajahi
hutan yang menjadi markas persembunyian kelompok
kriminal bersenjata yang menculiknya dari Desa Baloko.

"Ayolah Anita! Kamu pasti bisa."

Sejenak Anita ragu untuk melompat dari atap, namun saat


dia mendengar pergerakan di dalam rumah dia tidak bisa
mengurungkan niatnya lagi.

"Tuhanku!"

Perempuan itu terjatuh di tumpukan daun kering.


Bibirnya melontarkan keluh sakit saat nyeri menjalari
pergelangan kaki.

"Jangan sekarang. Tidak ada waktu untuk sakit sekarang!


Aku harus pergi dari sini. Aku tidak mau mati di tangan
manusia bejat itu."

Anita memaksa tubuhnya berdiri dan berlari. Meskipun


kakinya yang terkilir menjadi penghambat, membuat
jalannya pincang.

"Desa Baloko! Desa Baloko pasti berada di bawah gunung,


aku harus turun sekarang."
Anita bicara sendiri. Hanya itu yang bisa memompa
semangatnya. Sesekali dia menoleh ke belakang karena
merasa ada yang mengikuti dan mengejarnya.

Dan benar!

Mereka akhirnya menyadari.

"MELARIKAN DIRI! PEREMPUAN ITU KABUR! DOKTER ITU!"

Teriakan keras memecah keheningan malam dan membuat


Anita semakin mempercepat larinya.

"Ah!"

Anita terjatuh tersungkur, kakinya tersandung batu,


kedua telapak tangannya langsung tergores oleh bebatuan
cadas dan mengeluarkan darah.

"DIA DI SANA! DIA LARI KESANA."

"KEJAR! JANGAN SAMPAI LEPAS."

"KALIAN TIDAK BECUS! BIAR SAYA SAJA YANG MENANGKAPNYA!"

Suara terakhir itu membuat Anita lekas berdiri lagi.


Sosok pria yang berjalan menghampiri menjadi mimpi
buruknya.

"Dia! Tidak, aku harus pergi. Aku harus pergi." Anita


menggelengkan kepala frustasi.

Dia berlari kembali, menuruni gunung dengan cepat,


melintasi pepohonan yang rantingnya terus menggores
tajam tubuhnya.

"Jangan lari Dokter! Menyerah saja. Tenang! Saya tidak


membunuh Anda," seru Beto Calvis.

Sosok pengejar, bernama Beto Calvis mengikuti Anita


berlari.
"Kembalilah pada Beto Calvis. Anda lebih aman bersama
saya. Di hutan ini, babi hutan saja bisa membunuh Anda.
Saya akan melindungi Anda," bujuknya.

"Beto Calvis bangsat!" Anita mengutuk.

Apa pemimpin kelompok kriminal bersenjata itu berpikir


Anita akan menyerahkan diri dengan mudah?

Apa Beto Calvis? Lelaki yang mengaku tidak memiliki


negara akan berpikir Anita ikut dengannya suka rela?

"Jangan harap!" sahut Anita keras dan semakin


memperlaju larinya. "Lebih baik saya mati daripada
harus ikut dengan Anda."

"Kalau begitu sangat disayangkan. Saya harus


melumpuhkan salah satu kaki Anda." Beto menyeringai,
dia mengarahkan pistol tanpa ragu. "Kaki cantik itu
tidak akan pernah bisa mengenakan sepatu merah lagi."

Suara letusan terdengar keras. Bergema. Membuat


penghuni hutan panik bahkan para kelelawar segera
terbang ke angkasa.

Anita terjatuh.

Dia terdiam sejenak. Tubuhnya merasa dingin, keringat


membasahi wajahnya. Dia segera menutup kedua telinga
saat lontaran peluru membelah langit malam. Berondolan
peluru yang tiada henti membuat Anita menelungkupkan
tubuhnya hingga kening menyentuh tanah.

Sumpah serapah menyahuti, teriakan amarah menyelingi.

"BANGSAT! DIA MENYUSUL KEMARI. DIA BERHASIL MENGEJAR


KITA," teriak Beto Calvis.

Kemudian tubuh Anita ditarik paksa, sangat kuat


sehingga membuat kedua kakinya menginjak tanah lagi.
Dan di bawah sinar rembulan yang menjadi satu-satu
penerang, dia melihat sepasang bola mata yang balas
menatapnya.

"Letnan Hamdi?"

Anita berkata tidak percaya. Ternyata lelaki itu


menyusulnya. Mengejar Anita ke pedalaman hutan untuk
menyelamatkannya.

Hamdi lekas menarik Anita ke belakang tubuhnya seraya


berjalan mundur, sedangkan tangan kanannya memegang
pistol masih mengarah pada Beto Calvis. Lelaki itu
menjadi temeng, melindungi Anita dari lontaran peluru.

"Azarine..."

Hamdi memanggil Anita dengan nama Islamnya. Nama


pemberian dari lelaki yang telah tiada dan membawa
Anita untuk menyembah Allah.

"Pada hitungan ketiga! Lari," ucap Hamdi tegas.

Tidak terdengar gentar sedikit pun dari suara Hamdi.


Walaupun dia menghadapi kelompok orang yang mengaku
tidak memiliki tanah kelahiran. Dari orang-orang yang
mengaku telah terusir dari dua negara.

"Ke arah angin berhembus kamu mengerti maksud saya,


'kan?"

Hamdi menoleh dan memberikan seulas senyuman pada


Anita, seperti biasa dia terlihat congkak.

"Dan jangan terharu! Karena setelah ini kamu harus


membayarnya, menikah dengan saya," ucap Hamdi seraya
tertawa kecil.

"Menurut saya itu setimpal dengan apa yang saya lakukan


hari ini. Mempertaruhkan nyawa saya untuk menyelamatkan
kamu."
Hamdi mengalihkan pandangannya kembali. Senyum itu
meluntur dan tergantikan ekspresi dingin. "Dan saya
tidak menerima penolakan sama sekali!"

Genggaman Hamdi di tangan Anita semakin erat saat Beto


Calvis menampakkan sosoknya di balik kabut. Dia
mengarahkan pistolnya.

"LETNAN HAMDI MATI!" raung Beto keras. Disertai suara


peluru dilontarkan menembus malam.
[02] Gasa Si Kuda Menyebalkan

"Dari bawah langit bumi Loro'sae kusampaikan salam"

•••

Anita Cendana terdampar di daerah terpencil di Nusa


Tenggara Timur. Sejauh mata memandang dia hanya melihat
tandus, gersang sedangkan matahari bersinar terik,
membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut sakit. Panas
langit dari bumi Loro’sae di musim kemarau, membuat
Anita terus mengipasi wajahnya dengan peta Atambua yang
tak sudah terbentuk lagi karena dijadikan kipas
dadakan.

Sesekali Anita menengadahkan wajah sedangkan telapak


tangan di atas pelipis, namun dia turunkan pandangan
dengan cepat karena sinar matahari menyilaukan mata.

“Panas banget,” keluh Anita, seraya menyeka keringat


yang menetes melalui dagu dengan punggung tangan.
“Lama-kelamaan gue bisa kena heat-stroke.”

Anita tidak tahu dia akan senekad ini. Dia menjauh dari
modernisasi perkotaan, mengucilkan diri ke sebuah desa
terpencil di Nusa Tenggara Timur, mengabdi sebagai
dokter relawan di daerah perbatasan antara dua negara
yaitu Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor
Leste.

“Bosan!” serunya kemudian.

Menunggu lama di depan gubuk tua, di mana dia baru saja


dihantar oleh truk pengangkat barang, dia mengeluarkan
ponsel dari saku jas putih kebanggaan. Berniat mengusir
suntuk dengan bermain game online.

Namun.

“Nggak ada sinyal.”

Anita menghela napas berat. Dia berdiri dan mengangkat


tinggi ponsel ke langit. Berharap menemukan jaringan—
paling tidak menambah satu bar sinyal namun sia-sia,
ponselnya tidak terkoneksi dengan internet.

Dia duduk kembali di atas koper hitam miliknya yang


dijadikan tempat duduk dan memilih membuka pesan
terakhir dari Halim Cendana. Pesan dari ayahnya yang
berada jauh di ibu kota Jakarta.

“Papa bisa mengirimkan helikopter kalau kamu nggak


nyaman di sana. Beritahu Papa dan Papa langsung
menjemput kamu.”

Ayahnya masih berusaha membujuk Anita untuk kembali


pulang ke Jakarta. Anita tidak lupa bagaimana reaksi
Halim Cendana; ayahnya saat dia mengutarakan
keinginannya menjadi dokter relawan.

“Apa? Kamu ingin menjadi dokter relawan di perbatasan?


Jangan konyol Anita! Itu tempat terpencil,” ucap Halim
saat mendengar keinginan Anita melepas pekerjaannya di
Jakarta dan memilih mengabdi sebagai dokter di
perbatasan.

“Aku tetap pergi Pah, aku sudah mengurus semuanya. Aku


sudah mendaftarkan diri di salah satu yayasan sosial.
Aku nggak bisa mundur.” Anita menjawab kala itu. Makan
malam yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi
dingin.

“Apa karena lelaki itu?” terka Halim. “Karena


Dirgantara?”
Nama Dirga membuat Anita kesulitan untuk menelan
makanan. Dia memilih berhenti dan meminum banyak air,
tiba-tiba saja tenggorokannya terasa amat perih.

“Sudah berlalu cukup lama Anita, seharusnya kamu


melepaskannya. Seharusnya kamu mengikhlaskan
kepergiannya,” nasihat Halim. “Sampai kapan kamu
terjebak di masa lalu, kamu hanya akan menyakiti diri
sendiri.”

“Karena itulah aku butuh pergi Pah!” Anita berkata


dengan suara gemetar. “Kalau aku tetap di sini, jujur
aku nggak bisa! Aku selalu melihatnya di mana-mana. Aku
selalu melihat Mas Dirga di depanku, selalu mendengar
suaranya, selalu melihat senyumnya.”

Anita menundukkan kepala, jangan sampai dia menangis


lagi! Sudah tak terhitung air mata yang dia tumpahkan
kepada lelaki yang meninggalkannya dengan cara yang
pedih.

“Aku bisa gila kalau terus seperti ini! Jadi, tolong


biarkan aku pergi Pah. Insya Allah.” Anita menambahkan
seraya menggenggam tangan ayahnya.

Halim mengerutkan kening, terkejut ketika mendengar


putrinya yang mengaku ateis tiba-tiba mengucapkan
lafadz Allah dengan lembut.

“Allah yang akan menjagaku, Insya Allah, Tuhan-nya Nabi


Muhammad yang akan menjagaku. Jadi tolong biarkan aku
pergi Pah.”

Dan setelah itu Halim tidak memperdebatkan lagi tentang


Anita menjadi dokter sukarelawan, Halim bahkan membantu
mengurus kepindahan Anita, memberikan bantuan dan juga
obat-obat medis agar Anita bisa melakukan tugas dengan
baik di perbatasan. Halim terketuk hatinya ketika
mendengar Anita menyebut nama Allah.
Tapi sepertinya Halim mulai mengkhawatirkannya kembali
dan meragukan keputusan Anita.

Anita mendengus.

“Nggak semudah itu, Pah. Anita Cendana nggak mengenal


kata menyerah. Nggak ada dalam kamus hidup Anita.”

Jari-jemari lentiknya segera bermain di layar ponsel,


mengetikkan pesan panjang sebagai balasan untuk Halim
Cendana. Namun beberapa detik kemudian. Anita menepuk
keningnya.

“Kan nggak ada sinyal! Begonya gue,” rutuknya pada diri


sendiri. Dan mengetuk-ngetuk ponselnya ke keningnya
sendiri. “Efek panas! Efek dehidrasi! Mulai deh
berhalusinasi.”

Anita Cendana benar-benar berada di daerah, di mana


jaringan telepon, listrik bahkan transportasi pun sulit
untuk didapat. Apa dia mulai menyesali keputusannya
sekarang?

“Enggak!” tepis Anita. Perempuan itu menepuk pipinya


berkali-kali. “Anita Cendana! Kuatkan diri lo. Bulatkan
tekad lo. Elo pasti bisa menjadi dokter di sini.”

Anita menyemangati diri ratusan kali. Dia tidak boleh


menyesali perjuangannya, mulai dari ibu kota Jakarta,
ke kota Atambua lalu ke Desa Baloko. Dia sudah menempuh
puluhan kilometer untuk sampai di rumah gubuk yang
sekarang dia jadikan halte menunggu.

“Desa Baloko,” ujar Anita seraya menggelar peta kembali


di atas tanah.

Kedua mata Anita beririskan coklat mengamati satu titik


yang bertuliskan ‘Baloko’, mengalihkan perhatiannya
sejenak dari cuaca panas. Dari kota Atambua, Anita
menempuh kurang lebih 30 kilometer dan untuk sampai ke
Desa Baloko dia harus menempuh 20 kilometer lagi.
Topografi daerah ini membuat perjalanan Anita penuh
perjuangan. Dia harus melalui perbukitan, sedangkan
jalan masih tidak tersentuh aspal, didominasi bebatuan
sehingga sulit dilalui oleh mobil ataupun motor.

“Dokter Anita Cendana?”

Sebuah suara mengalihkan perhatian Anita yang terlalu


berkonsentrasi mempelajari peta, dia mendongakkan
kepala dan akhirnya melihat modernisasi di depan mata,
membuat mulutnya sedikit menganga, padahal yang dia
lihat hanyalah jep terbuka kotor karena debu.

Dua orang lelaki turun. Mereka merapikan seragam


tentara sebentar lalu memberikan hormat dengan berdiri
tegap.

“Iya, saya Anita Cendana.”

Anita membenarkan. Dia berhadapan dengan seorang


tentara berkulit coklat sawo matang, namun memiliki
deretan gigi putih di balik senyum lebarnya.

“Saya Serda Fikri Sanjaya, tentara yang bertugas


menjemput dokter.” Si tentara berkulit sawo matang
memperkenalkan diri lalu menyambar koper Anita. “Koper
Dokter bukan? Biar saya muat ke mobil jep.”

Tentara satunya lagi mendekati. Senyumnya tidak


meluntur sejak pertama kali melihat Anita. Lelaki itu
bertubuh tinggi, kedua mata sedikit monolid sedangkan
hidungnya mancung.

“Dan perkenalkan nama saya Serda Muhammad Nicholas.


Anda bisa memanggil saya Serda Ikol.”

“Anita Cendana. Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya


Anita, segera menaiki mobil jep tanpa disuruh. “Ke Desa
Baloko butuh berapa jam untuk sampai?”
“Cuma beberapa jam Dokter,” sahut Fikri dan duduk di
bagian kemudi. Dia melirik Anita, terlihat memikirkan
sesuatu.

“Er, apa tidak nyaman buat Dokter?” tanya Fikri melihat


Anita duduk berjejal dengan koper. “Dokter bisa
melepaskan sepatu dan menggantinya dengan…”

Lelaki itu hendak mengambil sandal jepit di bawah


kolong kursi namun Anita segera melindungi kakinya.
Melindungi sepatu hak tinggi merah miliknya yang tak
tergantian. Meskipun dia sekarang berada di daerah
terpencil.

“Tidak perlu, terima kasih. Saya sudah cukup nyaman,”


tolak Anita dengan pandangan mengintimidasi.

“Baiklah. Saya cuma mencemaskan Dokter, soalnya Desa


Baloko memiliki jalan berbatu jadi sulit berjalan
dengan sepatu hak tinggi seperti…”

Fikri menelan bulat perkataannya sebelum bisa


menyelesaikannya, tatapan Anita membuatnya segera
beralih pada kemudi setir dan menyalakan mesin mobil. 

“Ikol cepatan naik! Komandan bakal marah kalau kita


datang terlambat,” desaknya pada Ikol yang segera naik,
berdiri dan berpegangan di belakang mobil jep—mengingat
mobil itu sudah dipenuhi koper Anita.

“Berangkat! Berangkat!” seru Ikol berteriak.

Mobil jep yang membawa Anita menuju Desa Baloko adalah


jep terbuka, tidak ada naungan sama sekali sehingga
mata langsung terterpa angin yang tidak berhenti
berhembus. Menghalau debu yang bertebrangan saat mobil
jep melintas jalan tak beraspal, Anita mengeluarkan
kerudung merah dari tas dan langsung dia kenakan untuk
menutupi kepala dan hidung sehingga hanya kedua matanya
bernetrakan coklat saja yang terlihat.
Untuk beberapa saat Anita terdiam, tertegun ketika
mobil jep melintasi padang sabana, walaupun dilanda
musim kemarau dan hijau reremputan mulai tergerus, dia
takjub dengan keindahan padang sabana di Nusa Tenggara
Timur. Langit biru luas tanpa batas sedangkan gunung
Lakaan, gunung tertinggi kedua di pulau Timor menambah
keindahan dari surga yang berada di tapal batas negeri.
Sedangkan kuda-kuda liar berlari berkelompok,
menggiringi kecepatan mobil jep yang membawa Anita ke
Desa Baloko. 

Namun perjalanan mereka berubah menjadi ekstrem


kemudian.

Saat mobil jep menanjaki bukit terjal dan padang sabana


mulai tidak terlihat lagi, hanya tandus dan gersang.
Terkadang mobil jep tidak dapat melaju, berlari di
tempat karena bebatuan sehingga Ikol harus turun untuk
mendorong mobil jep saat ban terjebak di lubang.

“Ada berapa dusun di desa Baloko?” tanya Anita ingin


tahu. Saat dia melihat mobil jep tentara lain melewati,
menyapa mereka dengan membunyikan klakson.

“Ada empat Dokter. Baloko Fatu, Nufeha, Rana Pundar dan


Wela Sada,” beritahu Ikol.

“Dan kalian menjaga di pos?” Anita bertanya lagi.

“Kami menjaga di Dusun Baloko Fatu.” Fikri kemudian


memberikan ekspresi sesal pada Anita. “Sangat
disayangkan Letnan Hamdi cukup sibuk, dia memeriksa
penampungan air jadi dia tidak bisa menjemput Dokter.”

Anita tidak peduli siapa yang menjemputnya, yang


terpenting adalah dia sampai ke Desa Baloko secepat
mungkin, ingin sekali dia berbaring, melentangkan
tubuhnya dan tidur. Yang terpenting adalah! Dia ingin
sekali mandi.
“Ah! Untuk Dokter Anita ketahui,” sela Ikol dari
belakang dengan suara keras. “Air bersih sangat minim
di Desa Baloko, para warga bahkan harus menempuh lima
belas kilometer untuk menuju mata air.”

“Lima belas kilometer?” Anita merasa kebahagiaannya


terenggut. Bayangan untuk merendam tubuhnya di air
dingin seketika sirna. “Bagaimana bisa?”

“Karena kanal masih dalam tahap pembangunan Dokter dan


kami juga masih menunggu kedatangan pipa dari kota
Atambua,” jawab Fikri. “Pipa-pipa itu nantinya akan
terhubung ke sumber mata air lalu mengairi dusun-dusun
yang sampai sekarang kesulitan air bersih.”

“Ah! Mereka membuat sambutan untuk Dokter,” seru Ikol


melambaikan tangannya kepada kerumunan orang.

Desa Baloko tampak jelas di depan mata. Banyak orang


menantikan kedatangan Anita.

“Kabar kedatangan Dokter membuat warga sangat senang,”


beber Fikri seraya melebarkan senyum. “Setelah beberapa
bulan tanpa tenaga medis. Akhirnya ada yayasan sosial
yang mengajukan seorang dokter. Apalagi ini juga
pertama kali….” Dia menghentikan mobil di pintu jalan
masuk.

Ikol melompat turun dari mobil jep. Langsung menurunkan


koper dan barang bawaan Anita, sembari dibantu oleh
penduduk desa Baloko.

“Pertama kali apa?” tanya Anita.

“Dokter perempuan pertama yang bertugas di sabuk merah,


perbatasan Indonesia-Timor Leste. Dokter pertama yang
menjadi…” Fikri tersenyum. “Menjadi bunga terindah di
Desa Baloko.”

Anita berdeham. Dia segera mengalihkan pandangannya


dari Fikri ke seorang lelaki bungkuk yang menghampiri.
Lelaki tua itu tersenyum lebar lalu mengalungkan kain
tenun di leher Anita, sebagai ucapan selamat datang di
Desa Baloko.

“Dokter Anita selamat datang di Desa Baloko. Saya tetua


adat Desa Baloko, Tuba.” Lelaki tua itu memperkenalkan
diri dan menjabat tangan Anita. “Saya berharap Dokter
Anita betah saat bertugas di Desa Baloko.”

“Terima kasih untuk sambutannya Bapak.” Anita menjabat


tangan Tuba dan membalas senyuman ramah penduduk desa.

“Seharusnya kalian tidak perlu menyambut kedatangan


saya. Kalian pasti sangat sibuk,” tambahnya penuh
sesal. Terutama setelah melihat banyak dari mereka
menyambut Anita dengan memikul karung jagung di bahu.

“Tidak, tidak. Kami harus tahu sopan santun Dokter. Di


sini. Di desa Baloko, kami menyambut ramah semua orang.
Kami anggap seperti keluarga. Dokter bisa tanya pada
Serda Ikol dan Fikri,” ujar Tuba kepada dua tentara
yang menganggukan kepala segera.

“Benar sekali!” Ikol mengiyakan. “Bapak Tuba membuat


kami nyaman tinggal di sini.”

“Dan perkenalkan ini adalah Kalere.” Tuba menarik


seorang gadis cantik dengan rambut keriting ke hadapan
Anita. “Dia cucu saya. Kalere membantu Dokter di klinik
nanti. Dokter sebelumnya sering meminta tolong pada
Kalere.”

Kalere memeluk Anita tanpa rasa canggung. “Selamat


datang Dokter Anita.” Dan memberikan rangkaian bunga.

“Terima kasih banyak.” Anita tersenyum senang. Merasa


nyaman dengan sikap ramah Kalere. “Untuk berikutnya
mohon bantuan dari Kalere. Saya tidak tahu banyak hal
tentang Desa Baloko.”
“Tentu saja Dokter,” kata Kalere menyanggupi. “Tenang
saja, saya akan menjadi pemandu Dokter di sini.”

“Ini kudanya Tetua,” sela seorang pemuda desa datang


sembari membawa kuda hitam. “Gasa siap mengawal Dokter
Anita mengeliling Desa Baloko.”

“Silakan Dokter Anita,” kata Tuba menuntun Anita,


menarik siku lengannya. “Silakan naik ke pelana Gasa.
Kuda yang paling dicintai di Desa Baloko. Ini sudah
menjadi salah satu tradisi kami menyambut para tamu.”

“Na-Naik kuda? Tu-tunggu Bapak. Saya tidak bisa naik


kuda,” timpal Anita takut.

Sekarang semua penduduk desa bertepuk tangan,


menyemangati Anita untuk menaiki si kuda bernama ‘Gasa’
untuk mengelilingi Desa Baloko. 

“Dokter tidak bisa menolak.” Ikol membisiki. “Kita


harus menghormati adat istiadat mereka.” 

“Ta-tapi saya tidak bisa naik kuda sama sekali. Tu-


tunggu izinkan saya berkenalan dengan Gasa terlebih
dahulu,” pinta Anita saat Kalere mendesaknya naik.

Anita berhadapan dengan Gasa dan memberikan senyum


canggung pada si kuda.

“Hai Gasa, saya Anita,” sapanya.

Gasa mendengkus dan membuang muka.

Yep!

Anggaplah kesan pertama tidak berjalan baik. Gasa terus


mengais-ngaiskan kakinya ke tanah, menandakan kalau dia
tidak menyukai Anita.

“Yakin dia jantan?” tanya Anita meragu. Karena biasanya


yang bersikap kasar padanya selama ini adalah kaum
perempuan.
“Jantan! Kuda pejantan terbaik,” sahut Tuba mengangguk
penuh keyakinan. “Sini biar saya bantu dokter naik ke
atas pelana.”

Anita meringis. Tuba berumur hampir 80 tahun, bagaimana


bisa dia membantunya menaiki ke atas pelana kuda? Yang
ada rematik yang diderita lelaki tua itu kumat. Anita
tahu! Karena Tuba mengandalkan tongkat untuk
membantunya berjalan.

“Ti-tidak saya bisa sendiri,” tolak Anita. “Daripada


gue membahayakan nyawa orang.” Dia menambahkan dengan
bergumam, hanya dia saja yang mendengar.

“Gasa, kita berteman oke? Cuma untuk hari ini, tolong


jadilah kuda yang baik,” mohon Anita. Dia mengelus
surai Gasa seraya memberikan senyum.

Namun Gasa memalingkan wajah. Mengabaikan Anita.


Sungguh sangat menyebalkan.

“Baiklah! Saya coba naik. Saya pernah melihatnya di


film-film, menunggangi kuda kelihatannya mudah,
lagipula waktu kecil aku juga pernah naik kuda poni,”
ujar Anita percaya diri.

“Tunggu! Biar saya yang bantu Dokter.” Fikri bergegas


maju ke depan, hendak menolong Anita. “Nanti dokter
jatuh, bukan seperti itu caranya. Gasa belum siap Dok!”

“Ya Tuhan Dokter Anita!”

Semua orang berteriak takut saat Anita naik ke atas


pelana namun Gasa si kuda pejantan ternyata belum siap.
Gasa mengelak dari Anita dan berlari pergi.

Yakinlah!

Bokong Anita menjadi korban pertama yang merasakan


sakit saat terhempas di jalan berbatu Desa Baloko.
Dalam hatinya dia mengutuk Fikri yang terlambat
menolongnya.
“Dasar lelaki nggak peka!” batinnya kesal.

“Oh!”

Anita berseru bingung. Dia yang tadi memejamkan mata


menunggu detik-detik dirinya terjatuh ke tanah tapi
merasa aneh saat ada yang menahan punggungnya,
sedangkan lengan kekar melingkar di pinggangnya. Anita
memberanikan diri membuka mata.

Dan…

Di bawah langit Desa Baloko Anita Cendana bertatapan


dengan seorang lelaki berseragam tentara. Wajah datar
tanpa ekspresi. Mirip Gasa! Si kuda pejantan
menyebalkan yang membuatnya terjungkal dari atas
pelana.

“Dapat!” ucap Hamdi, menangkap tubuh Anita sebelum


terjatuh ke tanah.

“Letnan Hamdi!” seru Ikol dan Fikri bersamaan seraya


tersenyum lebar.

Anda mungkin juga menyukai