Tak ada yang ingin membantuku berdiri. Dibanding menolong, merekam videoku jauh
lebih menarik sepertinya. Aku terus saja menangis tak karuan. Apa aku berhalusinasi? Ini sangat
berat untukku, bahkan aku bisa melihat sosoknya pada orang asing.
Aku menegarkan diri, berpikir bahwa mungkin lelaki tadi bukanlah Ry, keduanya hanya
mirip. Namun, ketika aku akan berdiri, seseorang datang menaruh sepasang high heels yang tadi
kutinggalkan asal entah di mana. Aku mendongak, mendapati lelaki itu ikut berjongkok di
depanku. Ia juga memakaikan plester pada jari kakiku yang lecet. Aku bahkan tidak menyadari
kalau kakiku lecet. Tapi ia...
Ucapannya membuat air mataku tumpah ruah. Bibirku bergetar, ingin mengatakan
sesuatu, tapi aku malah terus menangis. "Ry... huahh~"
"Sssttt, jangan menangis. Iya, ini aku. Kenapa kau masih mengingatku? Padahal malam
itu aku sudah menghapus semua ingatanmu."
"Hiks... bodoh, kau pikir kau siapa bisa menghapus ingatanku? Aku bahkan ingat
bagaimana aku menginjak ekormu saat pertama kali bertemu."
Tak ingin kehilangannya lagi, aku langsung membuka lebar tanganku. "Apa kau tidak
merindukan gadis primitifmu ini?"
Bibir Ry membentuk senyum, semula tipis, tapi akhirnya ia tersenyum lebar saat
menjatuhkan diri ke pelukanku. Pelukan yang sangat aku rindukan. Kupukuli dadanya sambil
menangis. "Bodoh, bodoh, bodoh!"
Aku tertawa sambil menangis saat Ry mengatakan itu. Dari sekian banyak hal pada diri
Ry, ucapan pedasnya memang yang paling kurindukan.
***
Aku membawa kabur Ry ke apartemenku. Sampai di sana, aku mengunci pintu dan
jendela. Saat Ry mau mencari udara segar pun kularang.
"Hu ugh! Nanti kabur." Aku menggeleng saat ia memohon ingin diizinkan keluar jendela.
"Oh hoo! Ayolah, ini kota besar, mana mungkin aku melompat dari gedung setinggi ini.
Apa kau waras?"
Kupaksa ia untuk membuka kausnya, Ry menolak awalnya. Sebenarnya ia bisa saja pakai
tenaganya untuk mendorongku, tapi Ry tidak melakukan itu. Bukankah itu artinya diam-diam ia
memang mau juga?
"Apa yang kau lakukan ini, hah? Gadis stres ini benar-benar. Apa kau begitu bernafsunya
padaku?" omelnya saat aku naik duduk di atas perutnya sementara Ry berbaring di ranjang.
Akhirnya aku berhasil membuka kaus Ry, bukan karena aku sedang ingin berbuat yang
anu-anu, tidak. Mataku justru kembali dibuat berkaca-kaca saat melihat kembali bekas luka di
dada sebelah kiri Ry. Luka yang ia ciptakan untuk menyelamatkanku. "Ry bodoh, kenapa kau
selalu melukai dirimu untukku, sih? Hiks... membuatku merasa jadi bebanmu saja."
"Memang beban," jawabnya santai seperti tidak ada dosa bilang begitu. "Tapi beban yang
aku undang sendiri."
Dalam posisi seperti ini, tiba-tiba saja aku iseng ingin menggodanya. "Ry."
"Apa?" Ry kelihatan panik saat aku nekat mengelus dadanya. Rupanya Ry tetap saja
seperti dulu, suka gugup, salting, dan malu.
"Bisakah kita... malam ini...." Kuturunkan tubuhku untuk membuatnya kian panik,
melihat wajah salting Ry bikin nagih soalnya.
"Oh hoo! Jauhkan benda kenyal ini dari wajahku!" Bukan main, mentalku tertekan saat
Ry mengatakan itu. Saat semua lelaki suka disodorkan belahan surga, Ry justru sebaliknya.
"Ry-ku memang anak yang manis, ya. Utuututuh~" ledekku sambil mengelus kepalanya.
Aku sudah masuk ke kamar mandi, sudah menutup pintu, tapi tak lama kepalaku kembali
muncul hanya untuk memastikan ia duduk tenang di ranjangku. "Apalagi ini?" Ry sudah jengkel.
"Sekalian saja kau rantai kaki dan tanganku di ranjang."
***
Ry menceritakan segalanya. "Malam itu, saat kau melompat ke air, tiba-tiba saja bulan
berhenti. Tidak berubah kembali jadi putih sepenuhnya. Sebelah bulan berwarna merah,
sebelahnya lagi putih."
"Maksudnya?"
"Harusnya pintu masuk menuju duniamu tertutup ketika bulan kembali berwarna putih,
tapi malam itu, bulan masih memiliki warna merah walau sedikit. Yang artinya pintu menuju
duniamu tidak tertutup sepenuhnya."
"Kata siapa? Kutukan itu memang memerlukan darah untuk ditumbalkan saat bulan darah
tiba, darahku sudah mengalir saat bulannya muncul. Ramalan tentang kutukan itu ternyata tidak
semuanya benar."
"Tadinya kupikir juga begitu, aku pasti mati saat menumbalkan diriku sendiri. Tapi, tahu
apa yang terjadi? Ternyata gagalnya bulan itu yang menjadi putih, membuatku tetap hidup. Tapi
sebagai gantinya, pedang kutukan yang selama ini aku bawa sejak lahir telah menancap
sepenuhnya dalam tubuhku."
Aku yang kaget langsung memegang dadanya. "Serius? Pedang itu ada di dadamu?"
tanyaku sekalian grepe-grepe.
"Pintu masuk ke dimensi lain itu ikut berhenti karena bulan yang berhenti. Aku masih
tetap bisa melewati dua dunia. Tapi tetap saja, tidak sembarang orang bisa melakukan itu.
Kekuatan sihir Lunar membantuku untuk bisa menembusnya." Ry juga bilang, ia datang ke
duniaku tiga tahun lalu, tidak lama, hanya datang beberapa hari untuk melihatku baik-baik saja.
Ry pikir, aku telah melupakan semua tentangnya. Ia bahkan mendatangi pantai yang sama
denganku, hanya saja kami tidak bertemu.
"Ry."
"Eumh?"
Aku tidur memeluk Ry sangat erat, takut lepas, takut ini hanya mimpi. Tapi esoknya saat
aku bangun, Ry sudah tak ada.
"RY!" teriakku heboh saat matahari belum terbit. Aku yang panik langsung membuka
pintu kamar mandi. Dan oh owhh! Aku tidak tahu kalau Ry sedang pipis. Bodohnya, bukan
langsung pergi, aku malah memelototi objek yang langka untuk disaksikan ini.
Aku tertawa malu, lalu pamit undur diri membanting pintu kamar mandi. Sesuai
permintaanku, hari ini kami pergi kencan. Dulu, Ry terus yang akan mengajakku kencan,
sekarang gantian, aku yang akan menunjukan duniaku padanya.
"Ry, pegang tanganku, nanti ilang," ucapku. Karena memakai topi dan masker, tak ada
yang mengenaliku. Sebenarnya memegang tangan Ry hanyalah akal-akalanku yang tidak suka
melihat banyak wanita yang melihat Ry. Serius, deh, semua mata mereka pasti tertuju ke Ry.
Kami pergi menonton bioskop. Di dalam sana, aku memperingati Ry untuk tidak kaget
karena film yang kami tonton sangatlah seram. Namun, dari awal sampai akhir film, justru
akulah yang heboh ketakutan. Kesempatan di bioskop tidak kusia-siakan. Pelan-pelan tapi pasti,
aku menyandarkan kepalaku di bahunya, meski dari pengalaman yang sudah-sudah sangat pahit,
kalau tidak ditoyor, Ry akan mengataiku. Tapi malam ini, Ry membiarkanku.
Sebelum pulang, kami mengambil foto dalam photoboth. Aku memakaikan Ry bando
telinga serigala. Lucu sekali. Saat foto itu keluar dari mesinnya, Ry kelihatan sangat senang.
"Boleh aku menyimpan yang ini?" tanyanya. Aku mengiyakan. Ia terus saja tersenyum melihat
foto itu. "Akan kutunjukkan pada anak kita nanti."
Eh? Kenapa bicaranya begitu? Seolah aku tidak akan bertemu dengan anak kami. Padahal
semalam sebelum tidur, Ry menceritakan banyak hal tentang anak kami. Betapa susahnya ia
merawat Shaka yang aktif memanjat pohon saat masih balita. Ry bilang Shaka seperti anak
kucing.
"Apanya?"
Lucu melihat Ry duduk memperhatikan berbagai hal di duniaku, ia nampak asing. Aku
pergi mengantre untuk mendapatkan burger Ry. Dengan hati riang, aku kembali ke tempatnya
tadi, tapi aku tak menemukannya lagi duduk di sana. Di tengah keramaian, aku mencarinya, tapi
tak juga kutemukan. Plastik makanan yang kupegang jatuh. Aku merasa telah dibohongi. Ia
bilang tidak akan pernah bermain petak umpet lagi denganku, tapi kenapa....
"Dorrr! Deluna!" Aku menoleh terkejut, menghapus air mataku saat melihat Ry
tersenyum lebar memegang sebuah gulali berukuran besar berbentuk awan di tangannya. "Lihat,
aku beli awan ini untukmu. Eh, kenapa kau malah menangis?" Ry membuka maskerku lalu
menyuapiku gulali itu.
"Ry, kau tidak akan pernah bermain petak umpet denganku lagi, kan?"
"Eumh, tidak lagi kali ini. Tapi Deluna, ada hal yang harus kukatakan padamu."
"Tentang?"
Ry memegang pipiku. "Apa pun yang akan kukatakan, jangan menangis, ya? Janji?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak janji. Apa itu?"
Ry menatap manik mataku. Meski bibirnya tersenyum, dalam mata itu ada luka yang
sangat dalam. "Tahun ini, bulan akan kembali putih seluruhnya, itu artinya bulan darah akan
selesai sepenuhnya. Aku...." Bahkan lelaki sekuatnya pun sulit untuk melanjutkan ucapannya.
"Itu tandanya pintu menuju dunia kita akan tertutup dan hanya akan terbuka ratusan tahun yang
akan datang. Tahun ini adalah tahun terakhirku untuk datang ke duniamu. Tidak, jangan
menangis, ya." Terlambat, aku keburu menangis. Ry mengusapnya, tapi itu tidak membantu
sama sekali.
"Lalu?" tanyaku dingin. "Kenapa kembali kalau kau datang untuk pergi?"
Di tengah keramaian orang yang tidak memedulikan kami, Ry mengatakan sesuatu yang
sangat melukai hatiku. "Aku tidak ingin lebih egois lagi, Deluna. Hanya bisa melihatmu bersinar
kembali seperti sediakala, itu sudah cukup. Aku tidak akan meminta yang lebih dari itu. Bagiku,
hanya dengan melihat senyummu sekali lagi saja itu cukup."
"Kapan waktunya?"
"Ya?"
"Besok malam. Setelah itu aku tidak akan kembali menemuimu. Aku harap kau hidup
terus seperti ini. Banyaklah tersenyum, ya?" Lelaki ini, bagaimana aku bisa terus tersenyum
kalau sumber senyumku itu ia?
Dalam kesesakanku, aku menarik senyum untuknya. "Kau bilang melihat senyumku saja
sudah cukup, bukan? Kalau begitu, lihat senyumku ini, lalu pergilah. Kembali ke duniamu dan
aku akan memulai hidupku seolah kita tak pernah bertemu. Kau bilang senyumku ini cukup, kan?
Kalau begitu—" Aku berjalan mundur menjauh darinya. "Jangan pernah datang membawa warna
dalam hidup seseorang jika pada akhirnya kau menumpahkan warna hitam di atasnya."
Namun, tidak denganku. Aku sadar, sejak awal kebahagiaanku bukanlah berada di
puncak karier ini. Untuk apa dikenal dan dicintai banyak orang jika orang yang kuanggap rumah
tak ada di sana?
Tanpa pikir panjang, siangnya aku membuat konferensi pers mengenai diriku yang akan
berhenti dari industri ini. Banyak yang tak percaya, termasuk Keanu yang takut kehilangan
pekerjaan. Namun, tenang saja, sebagai gantinya, aku memberikan semua isi tabunganku
padanya. Keanu tentu semakin tidak paham. Aku bilang aku akan pergi ke suatu tempat. Bukan
di Indonesia. Lalu Mama? Hubunganku tak pernah baik lagi dengannya. Suaminya dipenjara atas
kasus pelecehan seksual pada seorang model. Mama yang malu melarikan diri entah ke mana.
Ini belum terlambat, bukan? Aku turun dari taksi, lalu berlari ke pinggir laut yang selalu
ku datangi. Ini sudah jam sebelas malam lewat. Apa pintu itu sudah tertutup? Pantai begitu sepi,
hanya ada aku. Tak habis usaha, aku berlari menyusuri pantai, hingga akhirnya melihat lelaki
berpakaian serba putih di pinggir pantai.
Ia, Ry.
"Mencari resep krabby patty milik Tuan Crab. Tentu saja menyusulmu!" Kami berdiri
saling berhadapan. "Kenapa kau belum pergi, hah?"
"Kau benar, Deluna, aku terlalu naif saat mengatakan senyummu saja sudah cukup.
Padahal nyatanya aku ingin lebih dari senyummu."
"Maksudmu? Kau... Deluna, apa kau yakin? Lalu karier dan impianmu?"
"Karier dan impianku? Tadinya aku memang bermimpi jadi artis terkenal, itu mimpiku.
Namun, sejak bertemu denganmu, mimpiku telah berubah.” Kami bergandengan tangan. "Aku
ingin selalu di sisimu. Ah, ya, aku juga tidak sabar untuk melihat Luna dan Shaka. Bukankah aku
ibu yang egois karena meninggalkan mereka?"
Ry bercerita, meski ada Lunar yang merawat mereka sejak kecil, nyatanya, anak-anakku
paham bahwa Lunar bukan ibu mereka. Setiap malam mereka akan pergi melihat bulan jika
merindukanku. Ry tidak bisa mengajak mereka ke sini karena energi mereka yang lemah.
Aku memeluk Ry, sebelum akhirnya kami melompat bersama ke dalam air. Kuputuskan
untuk kembali ke dunia fantasi. Meninggalkan semua masa emasku di dunia nyata. Ups, dunia
fantasi yang kudatangi pun nyata. Orang hanya tidak percaya itu.
***
THE LAST
Hanya dalam sekejap, kami berteleportasi ke dunia yang dulu pernah kumasuki. Dengan
tubuh basah kuyup, aku memandang Somnium Terra dari kejauhan, melihat istana yang berdiri
di atas bukit sana.
Aku menaruh tangan di pinggang. "Kau pun sama. Sudah bertahan-tahun masih bermulut
kejam. Ckck, aku tidak tahu seperti apa kau mendidik Luna dan Shaka. Didikan militer
barangkali," sewotku.
"Oh, tentu. Jika mereka berani membantahku, akan kujewer kupingnya. Lalu Shaka?
Akan kugantung di ranting pohon."
"Ya menurutmu saja, bodoh," decaknya, lalu menepuk kepalaku. Ry melihat ke lautan di
belakang kami. Tempat di mana kami berpisah dulu. Malam ini, kami menyaksikan bulan
berubah putih seutuhnya. Pintu menuju ke duniaku sudah tertutup. Tapi tak apa, aku tak
menyesal dengan pilihan ini. Ry menunjuk ke atas batu karang. "Di situ, setiap malam anak kita
akan membawa lentera. Mereka datang karena berpikir kau akan kembali."
"Eumh, kau tidak tahu saja betapa pusingnya aku mengurus mereka, terlebih ketika
mereka lapar ingin susumu."
"Aku menyusui mereka," jawab Ry serius. Hampir aku percaya kalau ia tidak menyentil
keningku. "Apa menurutmu aku mengeluarkan air susu dari sini?"
"Ada di istana. Seminggu yang lalu, Ratu melahirkan keturunan penerus. Besok akan
diadakan pesta besar-besaran untuk calon penerus kerajaan. Luna dan Shaka sejak kemarin
bermain bersama pamannya."
"Yang paling tampan. Kau tahu siapa maksudku." Tanpa sebut nama, aku tahu yang Ry
maksud itu Luke.
Malamnya, kami tidur bersama. Tak sedikit pun aku ingin memejamkan mataku. Aku
duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Kemari, Ry," panggilku. Menepuk pahaku, Ry datang
walau agak malu. Ia membaringkan kepalanya di pahaku, sementara tanganku memberikan
elusan lembut. "Kau merindukan ini?"
"Eumh. Aku sangat merindukanmu, tak terhitung berapa malam yang kulewati hanya
untuk melihat bulan di luar sana, berharap keajaiban datang, hingga akhirnya berkat bantuan
Lunar, aku bisa menembus duniamu. Tapi tentu saja itu menyedot banyak energiku."
"Pasti sakit, ya? Setiap malam aku juga akan terbangun dan melihat bulan, memegang
perutku seperti ada yang hilang."
"Ya iyalah, memangnya siapa yang mau mengisinya, hah? Kau kira aku perempuan
apa?"
"Kalau perutmu kosong, berarti boleh kuisi? Mhh?" Pada saat seperti inilah, menampol
Ry adalah solusi terbaik.
***
Esoknya...
Selesai mandi, Ry memakaikanku mahkota yang selama ini ia simpan baik. Ia memegang
punggung tanganku, lalu seketika ukiran akar tanaman itu kembali muncul. "Ratuku telah
kembali," ucapnya, lalu mencium keningku cukup lama. Kukira hanya kening, tahunya di
belakang, ia sibuk raba-raba. "Habis melahirkan, tubuhmu boleh juga," ledeknya yang kubalas
dengan candaan serupa.
"Terlalu lama sendiri, rupanya itu-mu menjadi kering, ya? Ups, aku tak sengaja
melihatnya saat kau pipis kemarin."
Berdebat dengan Ry adalah yang terbaik. Kami keluar dari kastilnya untuk memuji
Somnium Terra. Jalanan sangat ramai, banyak kain warna-warni dan bubuk berbagai macam
warna di jalanan. Katanya ini memang seperti inilah pesta penyambutan bayi kerajaan.
"Sudah menikah, tapi belum punya anak. Lunar tidak suka anak kecil. Kupikir mereka
sengaja menundanya."
"Iya. Tadinya mereka ingin hidup jauh dari Somnium Terra, tapi sesuatu terjadi...." Ry
menghela napasnya. "Ayahku meninggal setahun yang lalu karena sakit, Theo dan Lunar tidak
punya pilihan selain menempati pavilun bekas Ibunya dulu."
"Begitu rupanya. Eh, bukankah kau bilang hari ini Ratu melahirkan, Ratu yang mana?"
"Kau akan tahu nanti. Nah, sekarang genggam tanganku," ujar Ry, mengulurkan
tangannya padaku. "Kenapa hanya diam?"
Aku tersenyum menyambutnya. Tangan ini... aku berjanji tak akan pernah kehilangannya
lagi, akan kugenggam tangan ini sampai nanti kami berpisah oleh kematian.
Kami memasuki wilayah istana. Para pelayan yang melihatku nampak kaget. Hingga
tibalah saatnya Ry mendorong sebuah pintu besar yang terbuat dari emas. Sangat banyak orang.
Dari sekian banyaknya orang yang hadir, kenapa harus Isabelle yang kulihat lebih dulu, sih?
Haish!
Dengan entengnya, ia berlari memeluk Ry. Sial, zaman sudah berlalu, tapi masih suka
menempel pada suamiku.
"Ry! Kau kembali dengan selamat! Kenapa lama sekali? Aku sangat merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu. Eh, kenapa berlari? Bukankah kau harus banyak istirahat?" Ry
juga pakai acara perhatian.
Isabelle yang melihatku malah sengaja makin menempel dengan Ry. "Ah, Ry-ku telah
kembali, senangnya." Ia menarik tangan Ry untuk ikut serta bersamanya. Aku menahan emosi,
meniupkan napasku saking kesalnya. Ketika Ry sedang pergi bersama Isabelle, tanpa sengaja
seorang bocah kecil datang menubruk kakiku. Aku yang sedang jengkel, langsung mengomeli
anak itu.
Bocah laki-laki berambut abu itu melongo melihatku, pipinya tembam dan merah. Tapi
ngomong-ngomong mukanya tidak asing, seperti pernah lihat.
"Enak saja bibimu! Wanita secantikku kau panggil bibi? Kau hanya masih terlalu kecil
untuk menilai pesonaku," ponggahku sambil kibas rambut cantik.
Seorang gadis kecil berambut hitam yang wajahnya sama persis dengan bocah tadi datang.
Ia mencubit pelan lengan bocah lelaki tadi.
"Shaka, tidak boleh begitu. Ayo, minta maaf, nanti kalau ibu tahu, dia pasti sedih."
Shaka?
Aku melihat bocah lelaki itu lebih seksama. Ahh! Itu ia, aku pernah melihatnya dulu di
lukisan Ry saat kecil!
"Eh, kenapa Bibi Lunar harus bertanya? Kami, kan, memang Luna dan Shaka," ucap
gadis kecil itu. Aku yang mengetahui itu langsung duduk berjongkok untuk menyamakan
tinggiku dengan mereka. Kupegangi pipi mereka berdua, tanpa sadar air mataku jatuh seketika
itu juga.
"I-ini bukan Bibi Lunar, ini ibu kalian. Apa Ayah tidak cerita bahwa Ibu terlihat mirip
dengan Bibi Lunar?" Keduanya saling pandang, bingung. Mungkin tak percaya. Aku paham itu.
Kutunjukkan ukiran tanaman di tanganku. "Lihat, ini tanda yang sama dengan yang ada di
punggung tangan kalian. Ini Ibu!"
Mereka kembali melihat satu sama lain. "IBUUUU!" Hingga akhirnya mereka kompak
memelukku. Terutama Shaka yang memelukku sangat barbar. Ia mendusel-duselkan kepalanya
di dadaku. Kukira kenapa ia mengendusi area dadaku, tahunya ia mencium sesuatu yang
membuatnya lapar.
"Mau susu!"
Kaget aku. Bisa-bisanya ia langsung minta itu, padahal aku sudah tiga tahun melahirkan,
bagaimana mungkin memberinya asi lagi?
"Tidak ada, Sayang. Nanti, ya, Ibu buatkan susu yang enak."
Luna yang mungkin greget langsung memukul lengan Shaka. "Tidak boleh begitu, Shaka.
Nanti Ibu takut."
Shaka tiba-tiba berubah menjadi serigala kecil dan berguling-guling di lantai. Astaga, aku
sampai kaget melihat itu. Kupikir semua orang yang melihatnya akan heboh, tapi mereka tetap
berlalu lalang seolah itu hal biasa.
"Ibu, Shaka memang begitu, dia suka berubah di mana pun dia mau. Hukum saja dia,
Bu."
Aku yang gemas melihat serigala kecilku berguling di lantai, langsung mengangkatnya.
Shaka berhenti bergerak, ia berubah jadi manusia lagi.
Aku menggeleng, lalu memborbardirnya dengan ciuman. "Anak Ibu yang lucu. Ayah
kalian saja, Ibu tidak takut kok."
"Ibu, Luna juga mau digendong," pinta Luna. Meski agak berat, aku akhirnya
mengangkat mereka berdua. Keduanya tak henti melihat wajahku.
Mereka menggeleng. "Ayah tidak bohong saat bercerita betapa cantiknya Ibu, apalagi
kalau Ibu terkena cahaya matahari."
Keduanya mengangguk. "Ayah bilang, Ibu adalah gadis tercantik yang pernah Ayah
temui."
"Ayah juga cerita pada kami, saat Ibu cuci wajah dan terkena pantulan cahaya matahari,
saat itu Ayah sangat terpesona."
Sebentar… kapan, ya, itu? Oh, aku ingat, saat kami menginap di rumah sewa, paginya
aku mencuci wajahku, aku Ry kedapatan sedang melihatku, tapi ia mengelak.
Kami menuju tempat khusus keluarga kerajaan berkumpul. Dua pengawal yang
melihatku langsung membukakan pintu yang terbuat dari emas itu. Begitu pintu terbuka, di
dalam sana, bukan hanya saudara Ry, ada Lunar, Violet, Narumi, dan Isabelle juga. Melihat
kedatanganku, mereka sangat terkejut. Terlebih Ben.
Yang menarik perhatianku adalah bayi yang Kairos gendong. Bayi siapa itu?
"Ry, bukankah kau keterlaluan? Aku menggendong dua anak kita sekaligus, tapi kau
malah lengket dengan wanita itu?" sinisku pada Isabelle. Seperti tak ada malu, Isabelle
bergelayut manja di lengan suamiku.
Tak tahan lagi dengan kelakuannya, akhirnya baru sekarang aku mengeluarkan unek-
unekku tak peduli jika banyak yang mendengarnya. "Sebenarnya apa masalahmu, hah? Kau pikir
karena kau tokoh utama di cerita ini, lalu kau bebas memeluk suami orang lain? Kalau kau
memang suka Ry sejak kecil, kenapa tidak dari dulu saja kau mengejarnya?!"
"Deluna," teguran Ry tidak aku hiraukan. Hingga akhirnya datang Kairos yang tengah
menggendong bayi.
"Tidak mau, sampai kapan pun, Ry punyaku!" balasnya, melipat tangan di depan dada.
Aku menurunkan Luna dan Shaka, bersiap untuk menjambaknya sampai botak, tapi
ucapan Kairos mengejutkanku. "Maaf jika Permaisuri-ku sudah lancang memeluk suamimu."
Sebentar, Permaisuri-ku katanya? Kulihat mahkota Raja yang sekarang dipakai Kairos,
lalu bayi yang ia gendong, apa itu artinya...
"Memangnya salah kalau aku memeluk kakakku?" ujar Isabelle yang lebih membuatku
shock. Ka-kakaknya katanya? Tidak, tidak mungkin!
"Isabelle, cukup. Jangan membuka semua kartuku," tegur Ry. Mulutku ternganga
mendengar itu, lalu apa itu artinya buku yang aku baca itu benar? Isabelle memang suka Kairos?
Isabelle mendekat ke Kairos seraya melihat bayi mereka. "Anak Ibu yang manis, coba
sini Ibu gendong, ya." Aku cengo menyaksikan itu. Lalu Ry memberitahu segala yang tidak aku
ketahui.
"Isabelle itu sangat menyukai Kakakku, Kairos sejak dulu, tapi ia menahan perasaannya
karena sadar dia juga manusia setengah serigala sepertiku," bisik Ry. Jadi, selama ini Isabelle
juga bangsa serigala? "Tolong maafkan dia, ya, dia memang manja padaku karena baginya hanya
aku yang dia punya dulu."
Itu artinya saat ia diminta untuk menikah dengan Theo, saat itu perasaannya terluka?
Sama sepertiku yang mengira Ry menyukainya.
"Hai, aku tak menyangka kita akan bertemu lagi!" sapa Luke ramah seperti biasanya.
Lalu Theo? Melihat kedatanganku, ia langsung membuang muka malu. Malulah, siapa suruh
dulu asal masuk-masuk ke kamarku.
"Selamat datang kembali. Aku sudah menduga kau akan memilih ke sini lagi. Omong-
omong, apa kau tidak ingin mengatakan terima kasih padaku yang telah merawat kedua bocah
nakal ini?"
Luna dan Shaka bersembunyi di belakang kakiku. "Kalau saja dia bukan anakmu, sudah
kukirim dia ke kastil terkutuk. Ck, inilah sebabnya aku tidak suka anak kecil."
Yang membuatku tak kalah kaget adalah fakta mengenai Violet yang sedang hamil besar.
"Apa kau jadi selir Theo?" tanyaku blak-blakan.
"Enak saja. Aku malu untuk mengakui ini, tapi lelaki di sampingku adalah Ayah dari bayi
di perutku." Aku melirik Luke yang tersenyum bangga, menunjuk perut Violet.
Kemudian Ben? Kisah cintanya dengan Narumi tak berjalan lancar sepertinya. Winter
dan Niel masih sama. Betah sendiri. Niel yang sibuk mengagumi dirinya sendiri, lalu Winter
yang fokus mengurus Moli, monyet estetik-nya. Winter yang memang dingin dan tersentuh
sementara Niel yang amat mencintai diri sendiri. Sampai wanita pun insecure mendekatinya.
Ternyata, isi novel dan realita ada yang sama. Tidak semuanya berbeda. Pantas saja
entitas itu bilang jangan percaya pada apa pun yang kau lihat karena mereka belum tentu nyata.
***
Anak-anakku tidak sedikit pun ingin jauh dariku. Kemana pun aku pergi, mereka ikut.
Menjemur pakaian pun, Shaka memegangi kakiku, takut aku pergi lagi.
Luna terlahir sebagai manusia seutuhnya, berbeda dengan Shaka yang sama seperti Ry.
Ketika bulan tiba, ia akan berubah menjadi anak serigala. Tak ingin ia merasakan hal yang sama
seperti ayahnya, aku akan memeluknya ketika ia berubah menjadi serigala, mengatakan padanya
bahwa ia tetaplah anakku yang lucu meski dalam wujud itu.
Luna dan Shaka berlarian di tempat jemuran. Sementara aku sibuk menggantung kain-
kain yang baru kucuci. Tiba-tiba saja Ry datang di hadapanku, ia menggeser kain putih yang aku
jemur. Anehnya, ia senyum-senyum sendiri dengan kedua tangannya yang ia sembunyikan di
belakang tubuhnya.
"Kenapa, Ry?"
"Itu, anu…." Ia menggaruk keningnya dengan telunjuk. "Di perjalanan tadi, aku tak
sengaja mencabut rumput ini, kau boleh membuangnya kalau mau." Ia mengeluarkan bunga
yang sudah diikat menjadi satu. Aku ingin tertawa melihat tingkah salting-nya.
"Kau suka sekali mencabut rumput di jalan, ya," ucapku seraya mencubit pelan
telinganya yang memerah kemudian mengambil bunga darinya.
"Kau suka?"
Aku mengangguk, mencium aroma wangi dari bunga. "Rumputnya?" Aku mengangkat
wajah menatapnya. Lucu sekali melihat Ry salting.
"Bukan rumput sialan ini, tapi aku suka kau, bodoh." Tanpa sadar, Ry mengepalkan
tangan senang. "Deluna."
"Ya?"
"Ada yang ingin kukatakan padamu, tapi aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi
pasang telingamu dengan benar."
Aku menutup mulut, ingin tertawa. Namun, tidak kulakukan. Aku justru menjinjit untuk
menggapai bibirnya. Di bawah mentari pagi, di antara kain-kain yang tertiup angin sejuk, kami
berciuman. Sebuah akhir yang jauh lebih indah dari yang kubayangkan.
***
Musim berganti, tahun berganti, anak-anak kami kian besar. Aku beruntung bisa
menyaksikan itu. Sekarang sudah musim dingin. Ah, ya, dunia ini berbeda dengan duniaku yang
hanya punya dua musim. Salju yang berbentuk seperti kapas memenuhi jendela kastil kami.
Saat sedang asyik merajut baju musim dingin untuk mereka, kedua anakku datang
memelukku dari depan.
Dari belakang, Ry datang memeluk leherku. Seraya mengucapkan kalimat ini, "Aku
kedinginan."
"Lalu?"
Tamat.