Anda di halaman 1dari 436
Bab | Florencia 29 dan belum pernah pacaran satu kalipun. Terdengar aneh bin ajaib, terutama di zaman sekarang yang anak SD aja sudah panggil ayah-bunda dengan pacarnya. Apakah manusia model seperti ini sudah punah? Tentu saja belum. Apakah mereka tidak menarik jadi tidak laku? Belum tentu. Apakah mereka tukang PHP? Bisa jadi. Tokoh utama di cerita ini, Florencia, berusia 29 tahun, salah satu owner merangkap pastry chef Bloom Cafe, Kafe yang baru buka selama 3 tahun tapi sudah cukup memiliki nama sebagai salah satu tempat nongkrong yang hits di Jakarta, dan tiramisu yang terkenal enak banget. Florencia cantik, dengan tubuh tinggi semampai dan cenderung kurus, padahal hobi utama gadis itu adalah makan dan tidur. Dan inilah kisahnya. Kisah ini dimulai di sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan. Matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya di bumi, saat terdengar kegaduhan di dapur. Suara mixer bercampur dengan alunan merdu suara Meghan Trainor dari tape di salah satu pojok ruangan. “I see the magazines working that Photoshop. We know that shit ain't real. Come on now, make it stop. If you got beauty beauty just raise 'em up ‘Cause every inch of you is perfect from the bottom to the top..” Flo menggoyangkan pinggulnya sesekali —sambil bersenandung di balik masker wajahnya. Flo tidak berani mengambil risiko dan membiarkan ludahnya menyiprati adonan yang ia kerjakan. Memikirkannya saja Flo sudah merasa jijik. Begitu adonan sudah masuk ke dalam oven, Flo merendam peralatan yang akan dicuci dengan air panas dan mengecek ponselnya. Flo membaca pesan yang masuk lima menit yang lalu dari maminya tercinta. Mami : Call me when you read this. Flo menghela nafas pelan dan menelepon nomor maminya. Tanpa menunggu lama, telepon Flo diangkat. “Pagi, Sayang. Mami enggak menyangka kamu sudah bangun. Habis bikin kue?” “Pagi, Mi. Iya. Kenapa, Mi?” “Mau ngingetin aja, nanti siang makan di rumah kan?” Flo menarik nafas panjang. Hari ini ya... Sial. “Tya, Mi.” “Nginep juga? Jadi hari minggu kita bisa ibadah bareng.” “Oke, Mi.” “Miss you so much, Honey. See you soon..” “See you soon, Mi..” Flo mematikan ponselnya dan menghela nafas pelan. Flo menyayangi keluarganya, itu pasti. Tapi Flo menyadari kalau tekanan itu semakin kentara. Tekanan apa lagi kalau bukan soal menikah? Mami dan Papinya, ralat, maminya saja, papinya enggak ikut-ikutan, sudah mulai memberi kode-kode keras untuknya, sehingga dia, yang biasanya paling tidak peka saja mengerti apa keinginan wanita yang melahirkannya itu. Flo anak tertua dari lima bersaudara. Keempat adiknya — tiga pria dan satu wanita — jelas belum bisa diharapkan untuk memberi orangtuanya cucu. Si kembar baru 24 tahun dan baru merintis karir mereka — salah satunya bahkan masih melanjutkan studinya, adik ceweknya baru 19 tahun, dan yang bungsu bahkan masih SMA. Alasan itulah yang menyebabkan Flo keluar dari rumah dan memilih tinggal sendiri di apartemen. Flo merasa sesak dengan tuntutan tidak kasat mata tersebut. Kadang Flo bahkan 2-Florencia berpikir, kenapa dia tidak terlahir menjadi pria saja? Kalau dia pria, single sampai 35 tahun juga tidak apa-apa. Sudahlah, batin Flo pasrah. Pokoknya siap-siap aja nanti dan jangan sampai emosi. Ini hanya akan jadi another shit day, kata Flo berusaha menenangkan diri sendiri. Yah, gue bisa. Flo perlahan tersenyum, berusaha menyemangati diri sendiri. Flo mengeluarkan kue dari oven dan menaruhnya di atas meja. Sembari menyiapkan adonan untuk hiasan, Flo kembali bersenandung mengikuti suara Demi Lovato yang saat ini mengalun dari speaker tape — nya. “Let it go... Let it go...” ek Flo membuka pintu dan meletakkan cake yang dipanggangnya tadi pagi di atas meja. “Pagi, Santi. Tolong pajang di display ya,” kata Flo. Asisten dapur, Santi, mengangguk dan bergegas melakukan apa yang diperintahkan Flo, sementara Flo berjalan lurus menuju loker karyawan untuk mengganti pakaian. Setelah berganti pakaian dengan seragam chef dan menggelung rambutnya ke puncak kepala, Flo kembali ke dapur dan menyapa chef yang lain. “Pagi, Mas Dani, Ryon,” sapa Flo. Mas Dani, Head Chef Bloom Cafe hanya bergumam pelan di balik masker tanpa mengalihkan pandangan dari rak berisi segala macam bumbu dan rempah-rempah yang digunakan untuk memasak yang sedang dia cek. Sebenarnya Mas Dani sudah berusia nyaris 50 tahun dan merupakan junior maminya Flo saat sekolah dulu, tapi tidak ada satupun yang cukup sopan untuk memanggilnya Om, dan Mas Dani cukup santai ketika semua memanggilnya Mas. Lebih berasa muda, katanya. Tampangnya pun tidak tampak seperti 50 tahun. Kalau istilahnya, Mas Dani itu ahjussi rasa oppa. Masih ganteng dan keren. Ryon, Chef yang satu lagi duduk di salah satu bangku sambil menyesap kopi pahitnya, ritual setiap pagi sebelum mulai bekerja. Usianya sudah kepala tiga, namun belum menikah. Alasannya karena pacarnya masih kuliah, jadi nikahnya nanti saja. Contoh konkret yang bikin Flo iri setengah mati dengan laki-laki. Mereka bisa punya pacar yang jauh lebih Risaya Nisa - 3 muda dan tidak usah buru-buru menikah, sementara perempuan? Bah. Berani kayak begitu, Flo bisa dipecat dari KK karena bikin malu, pacari berondong yang kelewat berondong. Lagipula, Flo tidak mau. Soalnya kalau beda 10 tahun kan berarti pas Flo dapat haid pertamanya, si berondong baru lahir dong. Membayangkannya saja sudah cukup membuat Flo jijik. Santi, gadis berusia 20 tahun, adalah asisten dapur yang kerjaannya beres-beres dapur, cuci-cuci, potong-potong, dan akhir-akhir ini mulai dipercaya untuk finishing touch segala jenis appetizer hasil karya Mas Dani dan Ryon. Meski hanya lulusan SMA, Santi pintar dan cekatan. Hampir dua tahun bekerja di sini, Santi nyaris tidak pernah melakukan kesalahan berarti, sehingga Mas Dani, Ryon, maupun Flo senang mengajari Santi macam-macam. Kesalahan paling besar yang pernah dia lakukan hanya terjebak pesona Hendra. “Flo, my Baby..” Flo menoleh dan mendapati Hendra tersenyum ke arahnya sambil menyodorkan secangkir teh. Flo mendengus pelan, tapi tangannya bergerak untuk meraih cangkir yang disodorkan Hendra. “Don't babe me. Jijik, Hen,” kata Flo datar, dan Hendra terkekeh pelan. Hendra, salah satu sahabat Flo, salah satu pemilik Bloom Cafe dan peracik kopi paling jago yang kafe ini punya, adalah penjahat kelamin kelas kakap. Didukung wajahnya yang blasteran Korea dan tinggi badan di atas rata-rata membuat gadis-gadis muda pada umumnya kesulitan menolak pesonanya. Karena saking seringnya tidur dengan perempuan yang tidak dikenal, Hendra selalu memanggil wanita partner tidurnya dengan sebutan ‘Babe' atau 'Baby' demi menghindari kesalahan pemanggilan nama. Mengerti kan, kenapa Flo jijik dengan panggilan itu? “Th, Bang Hendra kok bisa ya nongol di kafe sabtu pagi begini? Biasanya juga masih teler di pelukan Bunga? Atau Jasmine? Atau mungkin Mawar?” celetuk Santi sinis. 4—Florencia “Santi pagi-pagi belajar nama-nama bunga ya? Mending hafalin nama-nama bumbu aja deh, lebih berguna,” sahut Hendra kalem, mengabaikan sindiran Santi. Hendra pernah mendekati Santi saat Santi baru mulai bekerja di Bloom Cafe, dan mereka berdua nyaris berkencan. Tapi sejak Santi tahu kelakuan bejat Hendra yang selalu mendekati hampir semua manusia berjenis kelamin perempuan di sekitarnya, hubungan Santi dan Hendra berubah jadi anjing dan kucing. Tiada hari tanpa mendengar mereka saling cela seperti ini. Santi baru akan membuka mulut membalas Hendra, tapi dipotong oleh Ryon. “Santi sayang, tolong siapkan bahan buat soup of the day ya,” kata Ryon sambil menghabiskan kopinya yang mulai dingin dalam sekali teguk. Wajah Santi memerah, lalu Santi beringsut pergi untuk melakukan perintah Ryon. Hendra mendengus pelan. “Dipanggil Sayang sama Ryon jadi kucing jinak begitu. Sama gue kayak kucing liar. Dasar cewek,” gumam Hendra. “Bukannya lo doyan yang kayak kucing liar?” ledek Flo dengan suara pelan, supaya tidak terdengar yang lain. “Suka, kalau bisa diajak naik ranjang. Atau naik meja cukup kok,” celetuk Hendra. “Dasar sinting. Otak lo fix sudah pindah ke selangkangan.” “Biar. Yang penting enak.” “Anjir sinting banget lo,” umpat Flo dan Hendra hanya terkekeh pelan. Flo menyesap tehnya lalu Hendra mengambil tempat di sebelahnya, meninggalkan wajah konyolnya dan menatap Flo dengan serius. “Sudah goal ya, Flo. Mereka sudah terima harga dari kita, dan syuting pertama hari rabu ini. Kita tetap bisa buka separuh kafe karena mereka perlu pelanggan lain juga.” “Oke deh.” “Mereka juga minta tolong kita ajari aktor dan aktrisnya supaya lebih natural di dapur. Bagaimana menurut lo?” “Gue sih enggak masalah. Kita bicarakan ke Mas Dani dulu aja kali ya.” Risaya Nisa - 5 “Oke deh.” Sebuah novel akan dijadikan film, dan salah satu tempat syutingnya adalah Bloom Cafe. Flo tadinya ingin menolak, tapi menurut Hendra itu bagus untuk marketing mereka juga. Akhirnya Flo mengalah dan membiarkan Hendra yang bernegosiasi. “Flo, lo pasti enggak menyangka siapa yang jadi artisnya.” “Siapa?” tanya Flo. Flo tidak tertarik, sungguh. Flo hanya bertanya karena Hendra ingin Flo bertanya. “Olivia Barata dan Theo Harsyah.” “Oh, Oliv adiknya Leon?” Flo menyebut nama salah satu sahabat mereka dan Hendra mengangguk. “Yup. Dan Theo Harsyah.” “Huh?” “Lo enggak tahu Theo Harsyah? Dia itu aktor yang menang award-” Ucapan Hendra terhenti saat melihat raut wajah Flo yang kebingungan. “Ah, nevermind. Susah ngomong sama cewek yang cuma ngefans sama cowok enggak nyata yang cuma ada di dalam buku.” “Kampret lo. Gue ngefans sama orang nyata juga kali.” “Siapa? Jangan bilang lo masih suka sama Nick Carter sampai sekarang.” “Memang masih.” Hendra langsung tertawa. “Gila lo, setia amat sama backstreet boys.” “Bodo amat. Memangnya kayak lo, setia sama satu cewek aja enggak bisa sampai sekarang?” Wajah Hendra langsung berubah masam. “Kampret.” 6—Florencia Bab 2 Nikah oh Nikah Flo memarkirkan Civic-nya di sebelah Terrios milik Papi dan melangkah keluar menuju pintu utama kediaman keluarga Detama. Sebelum masuk, Flo menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. “Ok, gue siap,” gumam Flo, menenangkan dirinya. Baru setelah itu dia membuka pintu rumah dan masuk. Flo berjalan lurus menuju dapur dan meletakkan kotak yang dibawanya di dalam kulkas. “Hai, Bik Sari,” sapa Flo. Bik Sari, perempuan berusia di penghujung kepala empat mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat majikan mudanya yang datang. “Non,” sapa Bik Sari. “Bik, nanti pas semua selesai makan, tolong keluarkan kuenya ya. Thank you,” pinta Flo yang dijawab dengan anggukan oleh Bik Sari. Flo berbasa basi sebentar dengan Bik Sari, lalu berjalan menuju meja makan. Di sekeliling meja makan, sudah ada Mami dan Papinya, adik kembarnya, dan si bungsu yang masih SMA. Adik perempuannya saat ini masih kuliah di California. “Mi, Pi,” sapa Flo pelan, lalu mengambil tempat di antara Papi dan si bungsu. “Macet?” tanya Papi, dan Flo mengangguk. “Biasa, putaran balik depan Permata Hijau macet, Pi.” “Oh.” “Karena sudah lengkap, ayo kita mulai makannya,” kata Mami, lalu Papi memimpin mereka dalam doa makan lalu mereka mulai makan siang. Flo memperhatikan kalau makanan hari ini adalah menu kesukaan seisi rumah. Ada udang goreng telur asin, pari bakar, cumi goreng tepung, dan tumis kangkung. Mami pasti sangat Risaya Nisa -7 menantikan makan siang ini, karena semua anggota keluarga sibuk dari senin sampai sabtu, sehingga jarang bertemu. Papi menanyakan kedua adik kembar Flo mengenai pekerjaan dan studi mereka, lalu sekolah si bungsu. Terakhir, Papi menanyai Flo. “Flo, bagaimana kafe?” tanya Papi. “Oke, Pi. Makin rame. Aku dan Hendra berencana merenovasinya supaya bisa menampung lebih banyak orang,” jawab Flo. Papi mengangguk-angguk. “Ah, Papi tanyanya kafe melulu. Tanyanya kapan Flo bawa calonnya ke rumah dong,” keluh Mami pelan. Deg. “Mi..” tegur Papi, tahu kalau ini adalah topik sensitif untuk putri sulung mereka. Tapi bukan Mami namanya kalau semudah itu menyerah. “Tni serius, Flo. Kamu tidak pernah mengenalkan pria manapun pada Mami dan Papi..” “Kan aku sudah kenalin empat pria,” jawab Flo enteng, walaupun jantungnya sudah berdegup kencang. Flo membenci keadaan ini. “Hendra, Terry, Felix, dan Leon itu sahabat kamu, Flo. Beda.” “Yang penting jenis kelaminnya laki-laki kan?” “Kamu tahu yang Mami maksud bukan itu. Ayolah, Flo. Kamu itu perempuan dan sudah 29 tahun!” Flo memutar bola matanya. Kalau dia tidak ingat mereka adalah orang tuanya, mungkin Flo sudah kabur secepat kilat ke kamarnya. “Mi, kalau aku ketemu yang cocok, pasti aku kenalin ke Mami Papi kok.” “Tapi kapan, Flo?? Kamu sudah ngomong seperti itu sejak 5 tahun yang lalu!” “Mi, tenang...” kata Papi berusaha menenangkan Mami, sementara ketiga adik Flo hanya diam. Si kembar Ricky dan Ronny hanya saling melempar pandang, sementara si bungsu Freddy memainkan sendoknya tanpa berniat melanjutkan suapannya. 8—Florencia Flo menghela nafas pelan. Selera makannya menghilang seketika. Flo muak mendengar kaset lama diputar terus menerus seperti ini. “Tya.. Aku tenang kok..” jawab Mami ketus, lalu kembali menatap Flo. “Mami akan bantu kamu menemukan yang cocok, karena Mami tidak mau menunggu kamu mencari sendiri lagi,” putus Mami. Flo membelalak kaget dan langsung melompat berdiri. “Apa?! Tidak!” “Flo, duduk,” perintah Papi tajam, dan Flo kembali duduk. Papi menatap Mami datar dan bertanya, “Kamu serius?” “Ya. Aku berencana untuk mempertemukan Flo dengan anaknya temanku.” “Mami ada-ada aja deh. Sekarang kan bukan jaman Siti Nurbaya,” sahut Ricky, salah satu si kembar yang lahir lebih dulu. “Kalau Flo belum mau nikah, jangan dipaksa, Mi. Nanti Flo malah enggak bahagia,” lanjut Ronny, adik kembar Ricky. “Kenalan dulu, bukan Mami langsung paksa nikah besok kok,” jawab Mami sewot. “Siapa tahu cocok, kan? Daripada sekarang, cici kalian enggak kelihatan niat sama sekali. Tiap hari hanya sibuk sama pekerjaannya. Pulang aja jarang.” Lalu Mami kembali menatap putri sulungnya. “Mami enggak mau negosiasi lagi. Kalau kamu enggak bisa cari sendiri, Mami yang cariin.” Flo menatap maminya dengan pandangan kesal, namun akhirnya dia menghela nafas panjang. “Terserah Mami aja. Toh, pada akhirnya, keputusan di tanganku, kan? Mami bisa paksa aku ketemu anak teman Mami, tapi Mami enggak akan pernah bisa paksa aku menikah kalau aku enggak mau.” Flo langsung berdiri. “Terima kasih untuk makan siangnya. Aku sudah kenyang. Oh ya, aku bawa almond cheesecake favorit Papi. Jangan lupa dimakan. Sorry, aku harus balik lagi ke kafe, lagi rame, weekend soalnya,” kata Flo datar, sebelum akhirnya melangkah keluar dari rumah, mengabaikan panggilan Mami Risaya Nisa -9 dan Papinya, dan melarikan mobilnya meninggalkan rumah keluarganya. Di dalam mobil, Flo sudah mengucapkan berbagai jenis sumpah serapah yang tertahan di mulutnya karena masih berusaha menghormati sang ibu. Namun sekarang, saat tidak ada orang di sekitarnya, Flo melepaskan semua rasa frustasinya. Jadi itu tujuan Mami menyuruhnya datang ke rumah hari ini?? Mau membuatnya kencan buta dengan anak teman Mami yang rata-rata sosialita itu?? HELL NO!! Flo memang terlahir di keluarga yang cukup berada. Papi Flo, Oliver Detama, adalah pemilik banyak kapal sekaligus perusahaan ekspedisi antar pulau. Mami Flo, Nana Detama, adalah pemilik butik khusus kalangan atas. Tapi Flo dan adik- adiknya diajarkan untuk hidup low-profile. Itu sebabnya Flo tidak begitu menyukai teman-teman Maminya yang rata-rata kaya itu. Satu-satunya keluarga kaya yang Flo sukai hanya keluarga Barata, dan saat ini Flo melarikan mobilnya menuju rumah Leon dan Nina Barata, sepasang suami istri sahabat Flo. ke “Lo sinting sih, Flo,’ omel Nina sambil mengelus perutnya yang membesar. Nina berperawakan mungil dan berkulit putih. Didukung dengan mata yang bulat dan rambut hitam legam lurus sebahu, penampilan Nina seperti boneka Jepang. Tapi kelakuannya berbanding terbalik dengan penampilannya. Nina adalah orang yang jujur, sehingga kadangkala terkesan kasar dan tidak tahu sopan santun. “Menurut gue sih wajar aja kalo nyokap lo panik karena lo belum punya pacar sampai sekarang. Lo kan sudah tua. Dua sembilan, lho.. Gue pas dua sembilan, anak gue hampir tiga,” kata Nina lagi. Flo langsung menoyor kepala sahabat yang seumuran dengannya itu dengan kesal. “SEKARANG lo dua sembilan, Monyet..” “Wah, mulut dijaga dong, tar anak gue belajar mengumpat dari dalam kandungan, berabe gue,” omel Nina galak. Flo langsung tertawa. “Lagipula siapa suruh lo nikah muda?” 10-Florencia “Bodo amat. Yang penting enak,” jawab Nina ngasal, yang membuat Flo kembali menoyor kepala Nina. “Dasar mesum.” “Biar. Sudah halal ini. Lo beneran enggak mau buru-buru nikah? Enak tho..” “Kalo gue bisa dapat laki kayak laki lo, yang super setia, enggak posesif gila-gilaan tapi cinta mati sama gue kayak si Leon cinta mati sama lo, gue mau nikah,” jawab Flo enteng. Nina berjengit ngeri. “No! Jangan laki gue, Kampret!” “Lo sendiri juga mengumpat, monyet!! Siapa juga yang mau sama laki lo!! Jelas-jelas dia cinta mati sama lo gitu lho.” “Habisnya lo kalo mengobrol sama dia suka panggil sayang-sayang gitu...” kata Nina merajuk. Flo geleng-geleng kepala melihat Nina yang cemburu enggak jelas begini. “Nina Sayang, kayaknya lo lupa deh kalau gue begitu ke semua orang. SEMUA. Oke? Jangan mulai aneh-aneh deh. Orang terakhir yang bisa lo curigai adalah laki lo sendiri,” kata Flo. Nina merengut. “Gue kira lo bakal bilang diri lo, bukan laki gue..” Lalu keduanya saling bertatapan dan tertawa bersamaan. Entah apa yang mereka tertawakan. Mereka berhenti tertawa beberapa saat kemudian, lalu Nina kembali memasang wajah seriusnya. “Tapi seriusan, Flo...” “Mending lo enggak usah mengulang kata-kata nyokap gue deh,” potong Flo datar. “Enough is enough.” “Tapi-” “Nina...” Nina menghela nafas panjang. “Kenapa sih lo kekeuh enggak mau pacaran??” “Karena cowok itu menjijikkan. Kalau bukan PK, pasti posesif mampus, atau gay, atau tukang ngatur, mau menang sendiri, dan mereka makhluk jorok. Najis.” “Mereka bukan makhluk jorok, Flo. Lo yang kelewat bersih..” “Apapun itu, tapi gue enggak tahan harus berhubungan dengan satu makhluk seperti itu.” Risaya Nisa - 11

Anda mungkin juga menyukai