Anda di halaman 1dari 5

Electric Kiss

“AYAH!! KAK ANNA LAGI MANJAT JENDELA SUPAYA BISA KABUR DARI RUMAH!!”

Araya, adik laki-laki Anna berteriak di ambang pintu kamar Anna ketika Anna sedang mengeringkan
rambutnya. Anna hampir mengarahkan hairdryer ke wajahnya karena terkejut oleh teriakan Araya.
Kemudian Anna sadar apa yang baru saja Araya teriakkan.

Tapi Araya segera berlari menuruni tangga, dua detik kemudian ayah muncul dan terengah-engah di
depan pintu seolah baru saja lari marathon, matanya mencari-cari dengan ingin tahu. Bahunya hanya
santai saat dia menemukan Anna yang cemberut.

“Si anak sial itu cuma bohong!” gerutu Anna.

“Ayah kira kamu beneran kabur,” keluh ayahnya.

Anna memutar matanya. “Kenapa aku harus kabur? Ayah ga lihat aku lagi keringin rambut? Lagian
kalo aku niat kabur, aku bakalan pilih hari-hari lain untuk kabur sebelum hari ini.

“Benar.” Ayah masuk ke kamar Anna, tentu saja Ayah tidak percaya ucapan Anna. Jadi Ayah berjalan
ke jendela, mungkin memastikan tidak ada tali untuk kabur, atau tangga.

Kemudian Ayah melihat langit-langit kamar Anna dengan tatapan menilai.

“Apa?” tanya Anna bete. “Apa Ayah lagi mikir kalau aku bisa saja bobol langit-langit kamar?”

Ada senyum malu-malu di wajahnya, yang mana berarti tebakan Anna kelewat benar. Di bawah
senyum malu-malunya, Ayah kemudian mengedikkan bahu. “Ya kamu bener.”

“Kenapa Ayah sampe mikir aku bakalan kabur di detik-detik terakhir?”

“Well, soalnya kamu bukan anak penurut,” ujar ayah. “Jadi, saat Ayah bilang kalau kamu sudah Ayah
daftarkan di SMA berasrama, Ayah lebih suka kalau kamu marah dan ngamuk, bukan patuh.”

“Meskipun aku marah dan ngamuk, keputusan Ayah tidak akan bisa diubah’kan?”

“Seenggaknya, kamu marah sedikit saja dong,” protes Ayah, Ayah bahkan setengah merengek seolah
tujuannya mengeluarkan banyak uang dan memasukkan Anna ke SMA berasrama hanya ingin melihat
xAnna marah dan ngamuk.

Anna mendengus, lalu melihat lagi ke kaca rias di depannya dan melanjutkan mengeringkan rambut
sebahunya. “Sana keluar,” gerutu Anna.

“Kalo begitu, Ayah sama Ibu tunggu di garasi, ya?” Ayah melihat seluruh kamar Anna yang sekarang
kosong, tangan Ayah melambai ke semua tempat. “Well, kamu bisa ucapin selamat tinggal buat kamar
kamu.”
Satu-satunya reaksi Anna adalah mengangkat dagunya ke cermin, mencari tahu apa lipgloss-nya
melewati garis bibir atau tidak. Detik selanjutnya, Anna hanya tahu dia sendirian di kamarnya yang
sudah kosong. Tidak ada poster Madonna atau poster diva dunia lainnya, Anna sudah membakarnya
ketika pesta kelulusan SMP bersamaan dengan persahabatannya yang hancur. Itu alasannya Anna
tidak menolak dimanapun Ayah mendaftarkan Anna sekalipun di sekolah berasrama.

Kalau saja Mei dan Hanna tidak sebrengsek itu menjadi mantan sahabat, Anna yakin keinginan Ayah
-dimana Anna seharusnya ngamuk dan marah- pasti terwujud. Anna akan marah karena ingin satu
sekolah dengan kedua mantan sahabatnya. Tapi sekarang, Anna bahkan tidak perduli sekalipun dia
dikirim ke pulau terpencil dan bersekolah di sekolah yang extreme, dimana dia pergi dan berangkat
sekolahnya hanya menggunakan sandal, melewati sungai, melewati samudra, Anna bahkan tidak
perduli lagi dimana dia akan berada.

Tapi, mencegah ketidakperduliannya terlihat, Anna memilih untuk segera mengakhiri acara
mengeringkan rambutnya yang sudah kering lima belas menit lalu.

Jadi Anna memasukkan alat-alat penunjang penampilannya ke dalam tas kecil, kemudian mengecek
penampilannya sebelum menjalani perjalanan panjang.

Dua minggu lalu, wajah yang menatap balik di cermin yang sama ini terlihat sombong, terliat seperti
ratu, terlihat segalanya. Tapi sekarang hanya ekspresi datar di wajahnya. Sebelum Anna mulai kesal
dengan penyebab kenapa wajahnya berubah, Anna memilih memakai tas punggungnya, dan pergi
meninggalkan kamarnya.

Sekolah berasrama akan menambah daftar penyebab wajah Anna berubah.

Tadinya Anna hanya berpikir sesederhana itu tanpa tahu seberapa besar ‘perubahan’ yang sedang
menunggunya.

Yang Anna ingat, sepanjang perjalanan itu, hanya ocehan Ibu yang mengingatkan Anna untuk
menjadi ranking satu setiap semester, kemudian dilanjut dengan mengomeli Araya yang sedang
bermain game, dan mencubit pahanya pelan.

“Jangan karena Ibu ga marahin kamu, kamu ga mau cape berpikir semester ini harus ranking bagus!”
ujarnya.

Araya berdesis, dia segera melihat Ibu. “Aduh, Mom, minggir tangannya deh. Mom tahu kan aku
benci belajar.”

“Liat, ‘kan?” tanya Ibu ke Ayah. “Dia mulai sok-sok gaul panggil Mom.”

Ayah dan Araya berbagi tatapan di spion tengah sebelum mulai mendengus geli, dan di dalam mobil
mulai berisik omelan Ibu. Anna tahu ini akan berakhir bagaimana, ibu akan mendapatkan pengabaian
total dari seluruh orang dalam mobil, dan meskipun begitu, dia takkan berhenti bicara. Anna segera
menjadi bagian dari orang-orang yang mengabaikan Ibu; dia memakai headset dan menyalakan
volume musik keras-keras.

Setengah jam dari perdebatan itu, mobil mulai memasuki kawasan jauh dari gedung-gedung pencakar
langit. Ada gapura bertuliskan ‘Area 08’ sebelum Ayah memasuki tempat yang mengingatkan Anna
pada kompleks perumahan yang aman, damai, tenang dan pokoknya hal-hal yang Anna pikir tempat
ini cocok untuk menenangkan diri.

Semua rumah punya tinggi sekitar dua lantai, semuanya menghadap jalan, dan di setiap rumah
memiliki pekarangan yang bersih sekali, dengan rumput yang serasi-bahkan model bangunannya
sangat serasi. Anna hampir mengumpat, apa-apaan kompleks rumah yang damai ini?

Sementara Anna protes melihat rumah-rumah damai itu, Anna akhirnya bisa melihat benteng tinggi,
setinggi lima meter mengelilingi sebuah tempat yang Anna tidak tahu. Ketika Anna melihat ke suatu
tempat, bahwa satu-satunya yang dijaga orang-orang yang rumahnya disini adalah sesuatu dibalik
benteng ini. Itu jelas sekali karena semua rumah mengelilingi benteng ini.

Anna segera merinding.

“Whoa,” Anna menghembuskan nafas yang telah ia tahan kemudian mencopot headsetnya. “Ayah
dimana ini?”

“Sekolah baru kamu.”

Anna jelas memasang wajah terhina. Ayah menghentikan mobil di depan gerbang penuh ancaman
benteng itu.

Araya merangkak ke jok depan, dia membaca sesuatu di pagarnya.

“SMA Wiraatmadja,” ujar Araya kemudian melirik Anna dengan ekspresi kasihan. “Bukannya itu
nama sekolah yang di brosur Kak Anna?”

Anna tidak bereaksi pada hal tersebut karena terlalu sibuk penasaran dengan apa yang di depannya
tapi perasaan merinding itu tidak hilang. Ayah pasti sakit kalau sekolahnya beneran disini, sekolah ini
tidak mirip sekolah, ini mirip penjara bawah umur.

Tapi, dengan santainya, Ayah mengeluarkan kepala dari jendela dan membunyikan klakson.

Anna bisa lihat satpam penjaganya, satpam menilai sesaat sebelum membuka gerbangnya yang
berbunyi kriat-kriut, Anna hanya bisa membayangkan bagaimana isinya-gerbangnya saja berbunyi
horror. Tidak ada hal lain yang Anna rasakan selain kebingungan dan rasa penasaran, tapi karena rasa
penasaran akan berujung pada kemarahan, Anna yakin dia sedang marah sekarang.
“Ini dia, kamu akan sekolah disini kurang lebih selama 3 tahun,” Ibu bernyanyi dengan riang.
“Tenang saja, kamu bakal pulang buat liburan semester, tapi di sinilah tempat dimana kamu bakal
tinggal lama.”

Anna melihat gedung sekolahnya kemudian bernapas lega karena besyukur, setidaknya, gedung
sekolah barunya bukan semacam kastil jaman dulu atau kastil Hongwarts.

Anda mungkin juga menyukai