Anda di halaman 1dari 308

Not Until VIOLITA

Not

VIOLITA
Ketika disuruh menjemput keponakan Oom Ben di
bandara, Dio, Aga, Nathan, dan Stevan nggak pernah

Until
mengira bakal berkenalan dengan cewek superdingin
seperti Nana. Meski mereka berempat dikenal sebagai
cowok idola di sekolah, ternyata reputasi itu sama sekali
nggak berpengaruh terhadap Nana.
Sikap dingin Nana sempat membuat Dio kesal. Aga
juga semakin penasaran pada cewek itu. Dan, ketika

Not Until
akhirnya masa lalu Nana terkuak, kedua cowok itu mulai
bersimpati dan menaruh hati pada Nana. Namun, siapa
yang berhasil mencairkan sikap dingin Nana dan merebut
hati gadis itu?

Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com

not until.indd 1 6/2/14 2:34 PM


Not Until_Teenlit.indd 1 6/3/2014 4:04:50 PM
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men-
jual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Not Until_Teenlit.indd 2 6/3/2014 4:04:50 PM


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta

Not Until_Teenlit.indd 3 6/3/2014 4:04:50 PM


NOT UNTIL
oleh Violita

GM 312 01 14 0043

© Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270

Editor: Irna Permanasari


Desain Cover: Yogei Noojin

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978-602-03-0612-4

304 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Not Until_Teenlit.indd 4 6/3/2014 4:04:50 PM


Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah


dengan mewujudkan mimpi ini.
Kepada kedua orangtua, Mama dan Papa, serta kedua kakak
yang selalu memberikan kasih sayang yang sempurna.
Kepada sahabat yang selalu membimbing dan mendengarkan
keluh kesahku. Semoga kalian tidak bosan dengan celotehanku.
Kepada Mbak Anastasia, Mbak Vera, dan tim Gramedia Pustaka
Utama yang paling berperan dalam penerbitan novel ini. Terima
kasih, Gramedia!!!
Kepada pembaca dan penikmat novel, selamat membaca novel
perdana ini. Ini bukan kisah klasik, tetapi hanya kisah biasa yang
memberikan pemahaman lain tentang arti kehidupan.

Thank you...
Happy reading!

Not Until_Teenlit.indd 5 6/3/2014 4:04:50 PM


Not Until_Teenlit.indd 6 6/3/2014 4:04:50 PM
Prolog

Y
ANG membuatnya tak makin sedih hanyalah sisa-sisa
puing kesabaran. Raganya lelah menangis. Matanya
sembap dengan garis hitam melingkarinya. Betapa besar
kesedihan yang ditanggungnya. Menjalani hidup kini
menjadi satu-satunya hal yang membuat tubuhnya gemetar
ketakutan.
Kehilangan orang yang paling dia sayangi membuat kakinya
seakan lumpuh. Rasanya ia ingin mati saja, menyusul orang-orang
tersayang secepatnya. Tak perlu susah payah memikirkan hari
esok.
Dia belum jadi apa-apa, masih jauh dari sukses, bahkan masih
berseragam putih abu-abu. Namun, kenyataan pahit silih berganti
menghampiri. Ayahnya, satu-satunya orangtua yang dia miliki sejak
kecil, dikabarkan meninggal.
Saat mendarat, roda pesawat yang ditumpangi ayahnya terge-

Not Until_Teenlit.indd 7 6/3/2014 4:04:50 PM


lincir, lalu begitu saja mematahkan bagian tengah badan pesawat
hingga tak berbentuk. Beruntung hanya ada dua korban. Sayangnya
itu bukan keberuntungan Livia.
Kecelakaan itu malapetaka baginya: ayahnya menjadi satu dari
dua korban bernasib malang itu. Meninggal di tempat. Sedangkan
korban lain koma di rumah sakit di kotanya.
Dan sekarang dia benar-benar takut menjalani kehidupan sen-
dirian. Tanpa sandaran. Meskipun selama ini ayahnya hanya me-
luangkan Sabtu atau Minggu untuknya, ia tak khawatir. Setidaknya
ia masih bisa bersandar. Dia tak punya ibu sejak kecil. Kelahirannya
seakan menjadi kesialan bagi ibunya. Dia tak pernah diajari rasanya
mempunyai ibu. Namun, ada hal-hal yang membuatnya masih ber-
syukur. Walaupun bukan ibu kandung, dia sempat merasakan kasih
sayang ibu, meskipun hanya sebentar. Dan kini perempuan yang
menjadi ibu tirinya itu terbaring, mempertahankan nyawa di rumah
sakit. Ya, ibu tirinyalah korban yang satunya, selain ayahnya.
Dia terus menangis. Kepedihannya tak terbayarkan apa pun.
Dia kecewa campur menyesal karena tak berada di sisi kedua
orangtuanya saat mereka mengalami kemalangan itu.
”Livia.” Suara lembut memanggil namanya.
Livia buru-buru menghapus air mata yang sedari tadi mengalir,
kemudian menoleh ke arah pintu. Sejak tadi dia hanya memandang
nanar ke hamparan taman yang terlihat dari jendela kamar.
Orang yang memanggilnya masuk dengan tenang ke kamar Livia.
Nana namanya. Dia baru saja datang dari London dan matanya tak
kalah sembap dengan mata Livia. Dia merasakan sakit yang sama,
meski kejadian seperti ini pernah menghampiri hidupnya. Waktu
mengalami pertama kali Nana rasanya tak bisa bernapas. Ternyata
kejadian pertama itu membuatnya tahan banting saat menghadapi
kemalangan kali ini.

Not Until_Teenlit.indd 8 6/3/2014 4:04:50 PM


Nana saudara tiri Livia. Gadis itu berjalan mendekat. Ketika ia
merentangkan lengan ingin memeluknya, Livia menggeser badan,
tanda penolakan. Tatapan Livia kosong. Bibir mungilnya bergerak.
”Keluarlah. Aku pengin sendirian,” ucap Livia lemah. Selemah
raganya saat itu.
Mata bulat Nana membesar, kaget dengan usiran saudarinya.
Dia tahu Livia masih terbawa emosi. Makanya ia memilih diam,
hanya menatap Livia dengan kecewa. Livia saudara yang paling
mengerti dirinya. Namun, sekarang gadis itu menolak dirinya.
”Keluar!” Livia menghardik, seolah kehilangan akal sehat. Sung-
guh, ia membentak tanpa penyesalan. Nadanya yang cukup keras
langsung menggema ke seluruh kamar. Saat sampai ke telinga Na-
na, hardikan itu terasa seperti tumbukan yang menyakiti hatinya.
”Maaf,” ujar Nana, tak tahu harus mengatakan apa. Karena pernah
merasakan kesedihan yang sama, dia beranggapan Livia memang
perlu waktu untuk menyendiri, sama seperti dirinya saat itu.
Dengan langkah enggan, Nana berbalik dan bersiap mening-
galkan Livia sendirian. Walaupun dalam hati dia tak ingin melaku-
kannya. Dia ingin menemani Livia. Dia ingin Livia membagi kese-
dihannya. Namun...
”Pembawa sial!”
Ucapan itu membuat Nana kembali berbalik. Suasana rumah
yang ramai membuatnya tak begitu mendengar ucapan yang baru
saja dilontarkan Livia. Ia menahan kakinya, rasa ragu menyelimuti.
Pembawa sialkah dia? Benarkah itu anggapan saudarinya seperti
itu?
”Apa?” ucap Nana, mencoba meyakinkan pendengarannya.
”Pembawa sial! Kalau bokap gue nggak ke London nyusul lo,
semua ini nggak akan terjadi!” cecar Livia membabi buta. Kali itu
terdengar jelas di telinga Nana.

Not Until_Teenlit.indd 9 6/3/2014 4:04:50 PM


Nana mengepal untuk menahan emosi yang menjalar naik. Dia
mengerti emosi Livia sedang tak menentu sehingga mudah saja
bagi gadis itu melantur. Tubuh Nana bergetar hebat.
Benar, kalau orangtua mereka tak mengunjunginya, bencana
itu tak akan terjadi. Benar. Itu memang kesalahan dirinya. Jika saja
dia tak merengek mengatakan rindu kepada kedua orangtua
mereka, malapeteka ini tak akan terjadi.
”Kalau lo bener-bener menyesal, angkat kaki dari rumah gue!
Nggak ada tempat buat lo di sini. Pembawa sial!”
Tangan Nana mengepal erat, tak kuat mendengar cercaan yang
dilontarkan padanya. Pikirannya seketika berubah. Kecelakaan itu
kan takdir. Jika ada yang ingin kamu salahkan, salahkan takdir!
Bukan diriku.
”Bokap lo meninggal karena lo, kan?” Gumpalan emosi yang
begitu kuat ingin meledak membuat Livia tak menemukan kata
yang pantas untuk dilontarkan. Citranya sebagai gadis lembut di
mata semua orang berubah seketika.
Ucapan Livia sungguh menyakiti Nana. Bahkan sekujur tubuh
Nana bergetar hebat. Relung hatinya tertusuk tuduhan keji itu dan
terluka. Selama ini begitukah anggapan semua orang kepada
dirinya?
Sejak datang Nana bertekad bersikap tenang, tetapi ucapan
Livia yang tak diduganya membuat gadis itu mau tak mau
memuntahkan emosi. ”Gue akan angkat kaki dari rumah ini,” ucap
Nana tegas, tak tahan dengan tatapan keji yang dilemparkan Livia,
ditambah dengan emosi yang menguasainya. Dia merasa ter-
hina.
Nana mengembuskan napas berat, mencoba menahan sakit
yang baru saja dia terima. Penghinaan membuat dia bicara pan-
jang.

10

Not Until_Teenlit.indd 10 6/3/2014 4:04:50 PM


Masih dengan mengepal, Nana menatap Livia tajam. ”Dan se-
karang gue menyesal, menyetujui nyokap gue menikah lagi be-
berapa tahun lalu. Gue pikir selama ini lo yang paling ngerti gue.
Sejak umur lima tahun kita sahabatan, dan lima tahun kita sau-
daraan. Nggak ada penolakan dari kita saat orangtua kita me-
mutuskan hidup bersama menjadi keluarga. Gue pikir kita bisa
melengkapi satu sama lain. Tapi gue salah, tabiat lo baru kelihatan
sekarang. Ternyata lo cuma serigala busuk yang menyamar jadi
kucing manis. Kata-kata lo bener-bener kayak ular haus mangsa,”
cecar Nana, balas menghina bercampur kiasan.
Gadis itu segera berlalu, amarahnya makin meledak jika ber-
tahan di situ. Bandung ternyata tidak cocok untuknya. Bandung
menyimpan sejuta air mata. Bandung memendam luka yang ingin
dia lupakan.

Pembawa sial.
Nana melangkah gontai ke luar kamar Livia, menuju kamarnya
sendiri. Dia membuka pintu kamar dengan lemas.
Livia keterlaluan!
”Bunga…” panggil Nana. Tapi tak menemukan adiknya di sana.
Nana memucat. Bunga tidak ada. Di luar kamar pun dia tak
menemukan batang hidung adiknya. Tiba-tiba firasat buruk
menyergap sanubarinya. Nana takut luar biasa.
”Nana...”
Nana menoleh.
Wanita tinggi dengan wajah tegas berdiri di belakang Nana.
Tante Marina, adik ayah tirinya. Sejak dulu dia tak begitu suka
Tante Marina, yang meliriknya tajam, sama seperti yang diper-
lihatkan Livia tadi.

11

Not Until_Teenlit.indd 11 6/3/2014 4:04:50 PM


”Tante,” Nana menyapa.
”Keluar kamu!” ucap Tante Marina keras. ”Keluar kamu, gembel!”
Nana terkejut, tetapi tak mengambil hati terhadap ucapan
tersebut. Pikirannya hanya diisi pertanyaan: di mana Bunga, adik
semata wayangnya, berada.
”Bunga di mana? Bunga di mana, Tante?!” ucap Nana setengah
teriak, efek tekanan hebat yang diberikan keluarga tirinya. Air mata
mengalir di pipinya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di wajah Nana, membuatnya terduduk
di lantai. Bukan nyeri hati saja yang dia rasakan, melainkan nyeri
fisik. Ia meringis, menatap sendu tante tirinya.
”Kenapa kamu selalu membawa sial bagi orang-orang di se-
kelilingmu, Nana?!” bentak Tante Marina.
Nana menangis.
”Kamu membuatku kehilangan kakak yang tak pernah tergan-
tikan. Kamu selalu membawa sial, Nana!” cecar Tante Marina ber-
tubi-tubi, tak peduli dengan wajah Nana yang masih memerah
karena tamparannya.
Perempuan itu menatap Nana angkuh. Kakinya bergerak men-
dekati Nana, kemudian mengangkat dagu gadis itu dengan tangan
kanan. Ia melemparkan senyum bengis. ”Kamu ingin tahu apa yang
terjadi dengan adikmu, heh, pembawa sial?”
Nana membelalak. Wajah tantenya mengabur karena air mata
yang tergenang. Ia balas menatap Tante Marina dengan pandangan
menuntut.
”Kamar jenazah rumah sakit Permata. Sekarang pergi kamu dari
rumah ini!!” bentak Tante Marina. Dengan cepat ia mengambil
koper Nana yang belum sempat dibongkar dan mendorongnya
kasar ke arah Nana.

12

Not Until_Teenlit.indd 12 6/3/2014 4:04:50 PM


Nana merasakan sakit yang luar biasa saat koper itu membentur
samping badannya. Dia hanya bisa melanjutkan tangis.

Nana menyeret kaki meninggalkan kamar rumah sakit. Air mata


masih mengalir. Tubuhnya tak keruan. Sakit yang dia rasakan tak
bisa ditahan lagi. Saat kekuatannya mencapai titik terlemah,
tubuhnya melorot hingga ia terduduk di lantai rumah sakit.
”Adikmu, Bunga, mengalami depresi yang sangat luar biasa.
Depresi yang dia alami membuatnya suka menyakiti diri sendiri.
Akibat perbuatannya, adikmu mengalami luka dalam dan kami
tidak bisa menyelamatkannya.”
Nana nyaris pingsan saat menerima kabar tersebut. Kenapa
kemalangan terus mendatanginya? Tapi dia bukan gadis lemah.
Dalam sisa-sisa kesadarannya ia bertanya kepada dokter, ”Bisakah
saya membawa jenazah adik saya, Dok?”
Dokter itu menggeleng. ”Kamu harus membayar biaya adminis-
trasinya dulu, Dik.”
Nana tertegun. Ia hanya punya dua lembar lima puluh ribuan
serta beberapa euro, tentu saja tak bisa menutup biaya administrasi
Bunga.
Nana terdiam. Dia sebatang kara karena dibuang keluarga tiri-
nya. Ia menelungkup di kedua tangan. Tangisnya kembali pecah.
Tuhan… aku tak sanggup menanggung beban seberat ini, ratap
Nana dalam hati.

13

Not Until_Teenlit.indd 13 6/3/2014 4:04:50 PM


1

I
t has already began.
SEPOI angin menerpa wajah ketika Nana membuka kaca
jendela mobil yang ia tumpangi. Udara kota ini begitu
menyejukkan. Kota ini satu-satunya tempat kembali setelah
dia merantau. Kota yang membangun dirinya menjadi seperti ini.
Kota yang bahkan tak pernah ia mimpikan akan dibencinya.
Sekarang hal yang begitu disukainya berbalik menjadi yang paling
dihindarinya.
Nana meninggalkan Bandung dua jam lalu. Air mata mengalir
sepanjang perjalanan. Semuanya sudah diurus. Mulai dari kepin-
dahan rumah sakit tempat mamanya dirawat. Hanna, mamanya,
koma akibat kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa hari lalu,
yang merenggut nyawa papa tirinya. Ibunda yang begitu dia
sayangi kini hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

14

Not Until_Teenlit.indd 14 6/3/2014 4:04:50 PM


Adik satu-satunya meninggal akibat depresi berat, membuat
Nana sangat putus asa. Ia tak sanggup menghadapi cobaan yang
datang beruntun.
Nana menghela napas berat. Di depannya terdapat deretan
bangunan tinggi khas metropolitan. Bukan pemandangan asing
baginya. Keraguan muncul: bisakah dia menjalani hidup dengan
normal mulai sekarang?
Sebenarnya bagi Nina tinggal sendirian mudah saja. Dia terbiasa,
bahkan sangat terbiasa. Dia tak merasakan kehangatan keluarga
sejak mamanya memutuskan menikah lagi dengan duda, sahabat
papanya. Dan yang lebih penting anaknya sahabat karib Nana.
Kehangatan keluarga itu sirna seiring bergulirnya waktu. Yang
sekarang tersisa, puing-puing reruntuhan saja. Namun...
Pembawa sial.
Begitukah diri Nana selama ini? Apakah kehadirannya membawa
sial bagi orang-orang di sekitarnya?
Nana menepuk dada keras. Ngilu yang tergores di hatinya tak
bisa dan tak akan pernah bisa hilang, dia jamin itu. Air matanya
tak bisa keluar karena terus menangis. Jika masih menangis,
mungkin matanya akan mengeluarkan darah. Namun dia tak peduli
lagi, biar saja, biar buta sekalian! Hingga dia tak perlu melihat
semua itu.
Nana masih menatap ke luar jendela. Ia tak punya apa-apa lagi
sekarang. Adiknya, Bunga, baru saja menyusul Papa. Hanya tersisa
Mama yang masih jauh dari kesembuhan. Ah, mampukah ia me-
lewati beban berat itu?
Drrrttt… drrrttt…
Getaran ponsel membuat Nana mengerjap, tersadar dari la-
munan panjang. Ia menatap layar ponsel, tertera jelas nama Ben.
Cepat-cepat ia menerima panggilan telepon itu.

15

Not Until_Teenlit.indd 15 6/3/2014 4:04:50 PM


Ben adik Papa. Oom yang masih melajang itu baru menamatkan
pascasarjana di London. Ia baru tahu oomnya juga menuntut ilmu
di negeri yang sama dengannya saat tak sengaja bertemu
dengannya beberapa tahun lalu. Itulah awal mereka berhubungan
kembali. Sejak menikah dengan Hadi, papa tirinya, mamanya
melarang Nana berhubungan dengan keluarga Papa. Ia tak pernah
diberi jawaban jelas. Mamanya hanya mengatakan bahwa dia sedih
kalau Nana terus menanyakan keluarga almarhum Papa dan
sebaiknya menerima keluarga barunya.
Tapi Oom Ben menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi saat
keduanya berjumpa di London. Nana perlahan melanggar pesan
mamanya. Diam-diam ia menyimpan nomor ponsel Oom Ben dan
sepakat mengatur pertemuan lebih sering.
Kebenaran cerita dan ucapan Oom Ben terbukti: Nana dibuang
keluarga tirinya tepat setelah upacara pemakaman papa tirinya.
Oom Ben menjadi satu-satunya harapan Nana bergantung.
Terlebih dia tak punya uang sama sekali. Tabungannya diblokir,
padahal itu uang beasiswa yang Nana terima saat sekolah di
London. Nana selalu ingat bagaimana kebaikan Oom Ben dalam
membantunya membayarkan biaya administrasi rumah sakit Bunga
dan mengatur segalanya beberapa hari lalu.
Selain itu, saat menerima kabar tentang kecelakaan pesawat
orangtuanya, ia langsung meminta Oom Ben membantu mengurus
kepindahannya dari high school-nya di London. Namun, kini ia
menyesali keputusan itu. Nana menghela napas ketika mengingat
kejadian menyakitkan itu. Dadanya sesak, rasanya oksigen yang
memenuhi paru-parunya berubah menjadi butiran pasir yang me-
nyesakkan.
”Oom Ben? Nana nggak jadi pindah ke Bandung,” terang Nana
spontan.

16

Not Until_Teenlit.indd 16 6/3/2014 4:04:50 PM


Terdengar Oom Ben mengucapkan sesuatu dari seberang sana.
Nana mencengkeram ujung bajunya keras. Dia butuh waktu untuk
menenangkan diri, mungkin lebih lama daripada prediksinya.

Bali
Nana menatap kosong ke depan. Bali bukan tempat yang adem
seperti Bandung, namun entah kenapa Nana tenang di sini. Tinggal
tiga minggu di Bali membuatnya betah dan bisa menerima apa
yang telah terjadi. Di samping itu, ia mengurus Mama yang tengah
melewati perawatan alternatif dan medis secara bersamaan. Sejauh
itu ia merasa baik-baik saja karena keberadaan Oma yang selalu
menemani. Opa sudah mendahului mereka.
”Mamamu bakalan lama sekali baru bisa sembuh dari koma.”
Nana menoleh, mendapati Oma yang sudah berumur lebih dari
enam puluh duduk di sampingnya. Entah sejak kapan Oma berada
di sana. Yang ia tahu, dari sorot matanya, Oma juga merasakan
kesedihan yang sama: merindukan sosok orang yang dicintai.
”Bunga…” ucapan Nana terpotong. Rasanya ia ingin mati saja,
sesak di hatinya masih belum kunjung hilang. Yah, manusia mana
yang bisa menerima kenyataan sepahit dirinya? Ia bukan gadis
tegar yang hanya menangis sehari kemudian bisa bangkit kembali.
Ia hanya gadis lemah yang tak bisa menerima kenyataan.
”Nana... adikmu sudah tenang di sana, Nak.”
Nana menggeleng. ”Bunga depresi, Oma... Aku... Kenapa Mama
nggak pernah cerita padaku?” ujarnya menyesali. Bulir-bulir air
mata kembali terjatuh.
Oma membelai-belai kepala Nana dengan lembut. Wanita tua
itu tersenyum lembut, menenangkan. ”Mama nggak mau mem-
bebanimu, Nana.”

1

Not Until_Teenlit.indd 17 6/3/2014 4:04:50 PM


Nana menggeleng, tidak terima. ”Mereka mengaturnya dengan
mulus.” Suaranya bergetar.
Gadis itu menghapus air mata. Ini tak bisa dibiarkan, dia harus
bangkit. Harus. Bagaimanapun caranya. Penjelasan Oom Ben
beberapa minggu lalu mulai membuka matanya.
Dulu, saat di London, Oom Ben hanya sedikit menceritakan ke-
napa perusahaan keluarga mereka menghilang begitu saja,
gedungnya terbakar dan menewaskan beberapa karyawan. Setelah
itu, tak ada lagi kabar perusahaan Kelana.
”Aku nggak akan membiarkan mereka bertindak semaunya,
Oma. Aku janji, sebelum Mama sadarkan diri, akan kubuat keluarga
Natara hancur,” ucap Nana bersungguh-sungguh. Kilatan matanya
menjelaskan kesanggupan ucapannya. Hukum alam masih berlaku
sampai kapan pun.
Oma hanya diam, sambil terus mengusap kepala Nana. ”Jangan
gegabah, Nak. Lebih baik kamu di sini bersama Oma. Biarlah Oom
Ben yang mengurus segala sesuatunya di Jakarta. Kamu sekolah
saja.”
Nana tertegun. Itu bukan pertama kali dia diajak tinggal di
rumah Oma. Namun, semuanya harus bisa dikembalikan seperti
semula. Apa yang menjadi haknya harus kembali padanya. Ke-
jahatan yang mereka lakukan harus berbalik kepada mereka.
Nana tersenyum terpaksa. ”Nggak bisa, Oma. Aku harus ke
Jakarta,” jawabnya singkat. Kegundahannya tampak.
”Oma mengkhawatirkanmu, Nak,” ucap Oma terang.
Nana mengangguk, setetes air mata keluar. Akhir minggu ini dia
harus meninggalkan Bali. Kedatangannya ke pulau itu hanya karena
mamanya. Ia sengaja memindahkan Mama ke kota kelahirannya. Ia
yakin mamanya akan baik-baik saja di sini. Di Bandung ada terlalu
banyak orang jahat, yang bisa setiap saat menyakiti Mama.

1

Not Until_Teenlit.indd 18 6/3/2014 4:04:50 PM


”Jangan terlalu banyak menangis, Nana,” pinta Oma.
Nana mengangguk.
Pembawa sial.
Seumur hidup Nana tak akan melupakan kata-kata itu.
”Seperti apa pun keadaan yang akan kamu lalui, jangan
selesaikan dengan emosi. Lihat, seperti apa dirimu jadinya: suka
melamun dan menangis. Kamu tidak seperti yang mereka katakan.
Buktikan, Na, buktikan kamu bisa bangkit. Kamu bukan gadis lemah
yang goyah karena kecaman mereka.” Oma mengusap lengan
Nana pelan, membuat gadis itu mengangkat wajah.
Nana menatap mata Oma dengan sayu. Benar, dia gadis yang
kuat. Dia mampu melewati itu semua. Dia akan buktikan pada
semua orang bahwa dirinya membanggakan.
Begitu saja air mata Nana berhenti. Tekanan dan kelemahan
batin membuatnya terpuruk terlalu lama.
Kini saatnya Nana bangkit. Tapi sungguh, dia tak akan melu-
pakan saat-saat terakhirnya di Bandung.
Pandangan Nana mengeras. Dia sungguh akan mampu men-
jalani itu semua.

Bagi sebagian orang mengalami perubahan besar terasa sulit.


Tekanan yang terlalu besar menimbulkan perasaan lelah. Namun
begitu timbul kemauan besar, kita bisa menjadi tonggak untuk
melanjutkan hidup. Takut menghadapi keadaan tidak lagi menjadi
hambatan. Semuanya bisa dilakukan begitu saja. Mengalir. Gadis
yang bahkan belum menginjak usia tujuh belas, sanggupkah
bersikap setangguh itu?
Tujuh belas tahun adalah masa labil remaja. Bagaimana bisa dia
diberikan tanggung jawab begitu besar?

1

Not Until_Teenlit.indd 19 6/3/2014 4:04:50 PM


Nana memakai sunglasses. Dia menyusuri bandara Soekarno-
Hatta. Sudah dua jam berlalu sejak keberangkatannya dari bandara
Ngurah Rai, Bali.
Ini hidup baru Nana. Dan dia harus bisa melewatinya.
Nana tertegun saat melihat wallpaper ponselnya: dirinya, Mama,
Papa, dan Bunga terlihat begitu bahagia. Kalau saja waktu bisa
diulang, dia akan berusaha mengumpulkan kebahagiaan yang
mungkin takkan pernah lagi dia raih.
Sebenarnya bagaimana keadaan Papa dan keluarga barunya
lima tahun itu? Well, Nana tak terlalu ambil pusing. Penolakan
keluarga tirinya menyakiti hati. Ia sulit melupakan tatapan men-
jijikkan Tante Marina. Panggilan ”gembel” yang dia lontarkam,
seperti orang tak berpendidikan saja. Ia menggeleng pelan. Dia
harus menyingkirkan segala hal yang mengganggu pikirannya.
Life must go on. You have to move on!
Gadis itu berada di antrean pengambilan bagasi. Begitu berhasil
menemukan dua koper besarnya, Nana langsung menariknya
cepat. Baru selangkah Nana berjalan, ponsel dalam kantong jaket
berdering keras. Nama Oom Ben terlihat di layar ponsel.
Nana berikrar dalam hati, tidak ada yang boleh mengetahui
masa lalunya sekarang. Siapa pun. Cukup dia dan orang-orang
yang terlibat. Masa lalu menjadi pil pahit yang tak ingin dia telan
lagi.
Nana menghela napas. ”Ya, Oom?” jawabnya ramah, mencoba
bersikap seperti biasa.
Terdengar tawa khas pamannya dari seberang sana. ”Kamu
terdengar bahagia, Na, beda dengan beberapa hari lalu.”
Nana tersenyum kecil. ”Ada apa?” Suaranya kembali seperti
kemarin-kemarin.
Oom Ben menghela napas panjang. ”Sikap dinginmu datang

20

Not Until_Teenlit.indd 20 6/3/2014 4:04:50 PM


kembali. Bagaimana bisa kamu jadi moody seperti itu? Oom cuma
mau nanya, kamu mau tinggal di apartemen atau rumah? Oom
rasa kamu cocok tinggal di apartemen, mengingat kamu terbiasa
di asrama putri saat di London. Bagaimana?”
Nana menerawang. Dia tak punya tempat tinggal di ibu kota.
Dia tak ingin tinggal di apartemen. Suasana sunyi bisa membuat
keadaannya tambah buruk. Namun saat mengingat ukuran rumah
yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, dia merasa getir.
Kesepiankah dia nanti?
Pro dan kontra berebutan mengisi pikiran Nana. Setelah menim-
bang cepat, ia membulatkan tekad. ”Nana tinggal di rumah aja,
Oom. Lagian kan Papa udah beli rumah di sini. Udah lama, kan?
Nana tinggal di sana aja.”
”Tapi, Na…” Oom Ben terdengar protes.
”I’m okay. Oom nggak usah khawatir.” Nana tahu Oom Ben
begitu mengkhawatirkannya.
”Baiklah, Na, jemputanmu datang sebentar lagi. Kamu nggak
apa-apa kan nunggu sebentar? Mereka bilang, jalan tol macet.”
Nana mengernyitkan dahi. ”Mereka?” tanyanya bingung.
Oom Ben terkekeh. ”Lihat saja siapa yang akan menjemput-
mu.”
Tuuuttt...
Sambungan telepon terputus. Alis Nana bertaut. Mereka? Berapa
banyak sih orang yang akan menjemput gue?

Tiiinnn… Tiiinnn...
Aga menekan keras-keras klason mobil. Sudah lima belas menit
mobilnya tak maju-maju. Bisa-bisanya jalanan tol macet saat dia
menjemput keponakan bosnya.

21

Not Until_Teenlit.indd 21 6/3/2014 4:04:50 PM


”Heh, lo sabar dong! Di depan ada kecelakaan,” ujar Stevan
yang duduk di kursi belakang dengan wajah masam.
Aga berbalik sebentar, menjawab, ”Gue udah sabar kali, Van,
mobilnya aja nih yang nggak mau woles, mau maju terus.”
Plakkkk...! Kardus tisu setengah penuh dilemparkan ke arah
pengemudi.
”Yang driver siapa?” balas Nathan yang duduk di kiri Aga.
”Oke, oke, gue cukup sabar ya. Kalau aja Bos Ben bukan teman
baik kita, mana mau gue dijadiin sopir kayak gini?” cerocos Aga
spontan.
”Ambil hikmahnya aja kali, Ga. Lo ngomooongg... terus dari tadi,
nggak berhenti-berhenti. Makin lama makin mirip cewek!” timpal
Nathan jengah.
Pengemudi BMW hitam pekat itu mendelik. ”Duh, please ya.
Hikmah apa yang bisa diambil dari pekerjaan sopir?”
Kali ini jitakan mendarat di kepala Aga. ”Dasar orang kaya, som-
bongnya minta ampun!”
Aga meringis kesal. ”Ah, lo berdua, ceramahin gue mulu dari
tadi. Woles woi!” Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah.
Dua teman Aga hanya saling lirik dan tersenyum miring. Terbiasa
dengan sifat Aga yang seperti itu.
Satu jam kemudian BMW Aga memasuki kawasan bandara
Soekarno-Hatta. Ketiga pemuda itu mencari ke sana-kemari.
”Ag...” sapa salah satu dari mereka.
”Panggil gue Ga,” protes Aga.
”Iya, bawel. Lo tahu dia di terminal mana?”
Aga berpikir sebentar, kedua alisnya naik-turun. ”Terminal?
Terminal apa ya? Terminal yang biasanya kita datangi emang
terminal apa?” ujar pemuda itu dengan tampang polos.
”Demit! Itu terminal internasional, stupid! Jelas-jelas dia dari

22

Not Until_Teenlit.indd 22 6/3/2014 4:04:50 PM


Bali. Namanya… siapa kemarin? Nana? Yes. Viona,” timpal Stevan
geram.
Aga hanya menaikkan sebelah alis. ”Dia pakai baju apa ya kata
Bos Ben? Mana gue nggak punya nomor handphone-nya,” gu-
mamnya, seperti bertanya pada diri sendiri.
Nathan dan Stevan sontak saling pandang, kemudian menatap
Aga dengan tatapan yang sulit didefinisikan. ”Jadi lo nggak tahu
dia pakai baju warna apa?!” ucap mereka hampir bersamaan
dengan suara setengah berteriak sehingga mengejutkan orang-
orang di sekitar mereka.

Nana menatap jam tangan. Sudah lewat satu jam setelah dia
menerima telepon Oom Ben tadi. Ke mana sih orang-orang itu?
Nana merutuk kesal.
Gadis itu berdiri dari duduk. Satu-satunya tempat yang dia
tumpangi untuk menunggu jemputan adalah tempat makan siap
saji.
Nana melangkah ke luar, mendorong dua koper besar dengan
kesal. Dia tak pernah membayangkan hari pertamanya di ibu kota
menyusahkan.
Ting! Dicari… Nona Nana, dari penerbangan Bali-Jakarta. Mohon
Nona Nana segera ke pintu masuk terminal 1B.
Nana menoleh ke sumber suara saat namanya disebut.
Kemudian ia berpikir, berapa banyak nama Nana yang dimiliki
orang-orang di bumi? Apakah panggilan itu untuknya? Panggilan
itu kembali terdengar, seolah menjawab pertanyaannya.
Ting! Harap Nona Viona Aphrodita Kelana alias Nana segera
menuju terminal 1B.
Kali itu Nana benar-benar yakin orang yang dimaksud adalah

23

Not Until_Teenlit.indd 23 6/3/2014 4:04:50 PM


dirinya. Dia menebak dalam hati bahwa orang yang menunggunya
itu adalah penjemputnya.
Mantap Nana melangkah menuju pintu keberangkatan terminal
1B. Ia memutar bola mata saat sampai, mendapati beberapa
pemuda yang mengenakan kemeja kasual dan kets warna senada
sedang celingak-celinguk. Sepertinya mereka mencari seseorang.
Nana melangkah mendekati petugas bandara yang ada bersama
para pemuda itu. ”Saya Viona Aphrodita,” ucapnya datar.
Si petugas bandara tersenyum, kemudian berpaling kepada
ketiga pemuda tersebut. Dugaan Nana benar: merekalah yang
disuruh Oom Ben menjemputnya.
Setelah petugas itu selesai berbicara, dengan cepat ketiga
pemuda itu mendekati Nana. ”Jadi lo Nana? Lo bener Viona Aphro-
dita? Akhirnyaaa... kami nemuin lo juga.”
Nana menatap pemuda comel tersebut dengan ekspresi datar.
Ia tak mengerti, bagaimana mungkin ada manusia semacam itu.
Sudah jelas dunia tahu ketiganya tak menemukannya, tapi Nana-
lah yang menemukan mereka. Ah, sudahlah.
Pemuda itu menyodorkan tangan, membuat Nana mengerutkan
dahi. ”Gue Aga, yang disuruh Bos Ben jemput lo,” ucapnya riang.
Nana rada membungkuk ke arah Nathan dan Stevan, kemudian
menatap Aga. ”Thanks,” ucapnya tanpa membalas jabatan Aga,
kembali mengedarkan pandangan kepada dua pemuda lainnya.
Aga berpikir dalam diam. Gadis ini sama sekali tidak menunjukkan
perubahan ekspresi di wajahnya. Pandangan datar dan membuat
orang jengkel, khususnya dirinya.
Nathan tersenyum canggung. ”Gue Nathan.”
Lalu diiringi suara Stevan, ”Gue Stevan.”
Hanya ada anggukan kecil dari kepala gadis itu sebagai res-
pons.

24

Not Until_Teenlit.indd 24 6/3/2014 4:04:50 PM


Aga masih diam. Dia mengalihkan pandangan ke arah Stevan
dan Nathan yang mengedarkan pandangan ke mana-mana. Mereka
pasti ingin tertawa, tebak Aga.
Sialan cewek ini, umpat Aga dalam hati sambil menatap Nana.
”Yuk, gue anter ke rumah lo,” ucapnya seraya membalikkan badan,
bersiap pergi.
Nana mengalihkan pandangan yang berarti ”bantuin bawa koper
gue” ke arah Nathan dan Stevan, yang beruntung ditangkap cepat
kedua cowok itu.
”Sini, biar kami aja yang bawain,” ucap Stevan berbasa-basi.
Gadis itu mengangguk mantap, kemudian mengikuti langkah
Aga yang sudah jauh di depan. Stevan dan Nathan hanya melongo
melihat tingkah gadis tersebut.
”Lo yakin dia cewek normal?” ucap Nathan terlihat frustrasi.
Stevan menaikkan bahu. ”Gue nggak tahu, Than.”

Mobil yang ditumpangi keempat remaja itu bergerak cepat mem-


belah jalan. Nana menatap jalanan. Aga yang berada di belakang
setir sesekali melihatnya dari kaca spion, lalu menoleh ke arah
Stevan dan Nathan, yang juga terlihat mencuri-curi pandang pada
Nana.
”Stev, kemarin gue dapet lokasi motret yang bagus,” ujar Nathan
sambil menoleh ke belakang, memecah keheningan.
Stevan memajukan badan. ”Oh, yang lo SMS-in gue itu?”
Aga nyeletuk, ”Kemarin gue juga beli majalah Otomotif. Eh, tahu
nggak, keluaran…” Aga menghentikan ucapannya saat melihat
Nana menoleh sedikit ke arahnya.
”Na, lo nggak bosen? Lo mau denger musik? Gue puterin musik,
ya?” Aga menawarkan dengan antusias.

25

Not Until_Teenlit.indd 25 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana hanya diam.
Nathan dan Stevan tampak menunggu jawaban Nana.
”Sorry… gue boleh minta ketenangan?” ucap Nana dingin.
Stevan, Nathan, dan Aga spontan berpandangan.
Aga hanya mengembuskan napas kesal. ”Pedess... pedess…”
rutuknya enteng, yang langsung mengundang cengiran Nathan
dan Stevan. Mereka menahan tawa sambil menatap kasihan pada
Aga.
Nana fokus pada jalanan, seakan tak mendengar celotehan Aga
barusan. Yang dia tahu, dia harus memulai hidup baru di kota itu.
Dan dia harus benar-benar fokus. Semua harus berubah, sesuai
kemauannya. Sudah cukup dunia memorakporandakan hidup-
nya.

26

Not Until_Teenlit.indd 26 6/3/2014 4:04:51 PM


2

B
MW Aga memasuki kawasan perumahan di Jakarta
Selatan. Nana mengedarkan pandangan ke daerah
tersebut. Ia melirik ketiga pemuda yang menjemputnya
itu dengan aneh. Mereka benar-benar diam sejak ia
meminta ketenangan.
Namun, Nana tak begitu memusingkan lagi apa yang terjadi
dengannya tadi atau kemarin. Yang paling penting adalah bagai-
mana dia menjalani hidup selanjutnya. Melangkah dengan kedua
kakinya yang sempat ”lumpuh”.
Mobil itu berhenti di depan rumah yang tak begitu dikenal
Nana. Perasaan aneh menyelinap ke hatinya, ia yakin pernah ke
sini, tetapi entah kapan. Mungkin sudah begitu lama. Entahlah. Ia
masih belum mampu memanggil kembali memorinya.
Setelah mesin mobil mati, Nana segera turun dari mobil. Di

2

Not Until_Teenlit.indd 27 6/3/2014 4:04:51 PM


depan pintu terlihat Oom Ben yang langsung tersenyum lebar
sambil merentangkan lengannya lebar-lebar.
”Welcome home, Nana,” ucap Oom Ben nyaring.
Nana berjalan perlahan, kemudian memeluk Oom Ben.”Makasih,
Oom.” Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, ia melepas
pelukan.
Oom Ben mengangguk. Senyumnya masih penuh. Ia melihat
puas pada Aga, Stevan, dan Nathan yang mengangkat koper besar
Nana. ”Bagaimana? Nggak macem-macem kan sama keponakan
saya?” komentar Oom Ben ringan, yang justru membuat ketiga
pemuda itu berhenti seketika. Napas mereka terasa tercekat
mendengar komentar tersebut.
What?
Mereka membelalak. Bagaimana mungkin Bos Ben menganggap
mereka akan menggoda keponakannya yang menurut mereka
sedikit weird itu?! Sepertinya Bos Ben perlu memeriksakan ke-
adaannya ke dokter jiwa.
Aga menatap Bos Ben dengan malas. Setelah memastikan Nana
sudah berjalan ke dalam rumah, pemuda itu buru-buru mengham-
piri si Bos dan berbisik, ”Bos….”
Bos Ben menoleh.
”…yakin dia nggak weird?!” ucap Aga lancang.
Bos Ben menatap Aga tidak percaya. ”Jaga ucapanmu!”
Aga menghela napas, lalu menceritakan apa yang terjadi kepada
mereka beberapa jam terakhir, termasuk tentang keanehan Nana
yang terus-terusan menatap kosong ke arah jalanan.
Bos Ben hanya tersenyum tipis dan menepuk punggung Aga
perlahan. Pria itu masuk ke rumah tanpa menjelaskan apa-apa,
membuat Aga semakin yakin bahwa memang ada sesuatu yang
terjadi pada gadis cantik itu.

2

Not Until_Teenlit.indd 28 6/3/2014 4:04:51 PM


Apa? Cantik? Sepertinya bukan Bos Ben saja yang harus
memeriksakan kondisi kejiwaannya. Aga pun begitu.

Nana menatap foto keluarganya lekat-lekat. Foto itu dipajang di


ruang tamu dengan bingkai besar. Di samping foto keluarga
usang tersebut ada beberapa foto masa kecilnya, Mama, dan
juga Papa.
Nana menatap sendu ke arah kedua orangtuanya yang terlihat
bahagia di salah satu kumpulan foto itu. Ia tahu, latar belakang
foto itu Gedung Sate di Bandung. Kata Mama, di sanalah kencan
pertama orangtuanya dimulai. Mengingat semua itu, hati Nana
seperti dihantam keras. Sesak. Tak ada yang mampu menjelaskan
perasaannya. Dia begitu merindukan keluarganya. Semuanya.
”Nana, you’ve to be strong.” Suara Oom Ben terdengar.
Nana menghela napas berat. Itu memang saat untuk menun-
jukkan kekuatannya. Menjawab ucapan Oom Ben tersebut, Nana
hanya mengangguk kecil, lalu memutuskan menuju kamarnya, di
lantai dua rumah berasitektur minimalis itu.
Namun, tiba-tiba Nana menghentikan langkah, teringat sesuatu.
Matanya menangkap tiga pemuda yang menjemputnya tadi ber-
jalan tergopoh-gopoh membawa dua koper besar. Ia berbalik,
meraih kedua koper itu dengan sigap, membuat Nathan dan
Stevan terkejut.
Oom Ben berjalan mendekati mereka. ”Kalian sudah kenalan?
Mereka juga akan menjadi temanmu di sekolah.”
Nana menatap Oom Ben tak percaya. Dia mengangguk. Tak
berapa lama kemudian gadis berambut lurus panjang itu mem-
balikkan badan dan kerepotan membawa koper ke kamar.
”Oom?” ucap Nana saat berada di loteng.

2

Not Until_Teenlit.indd 29 6/3/2014 4:04:51 PM


Oom Ben menghentikan pembicaraannya dengan Aga, Nathan,
dan Stevan, menengadah, dan memandang keponakannya. ”Ada
apa?”
Nana menggigit bibir. ”Apa aku... di sini bakalan bener-bener
tinggal sendirian?” ucapnya ragu.
Oom Ben tersenyum, menggeleng. ”Tidak. Kamu tahu kan siapa
yang bekerja di rumahmu yang dulu di Bandung? Nah, mereka
akan bekerja di sini.”
Nana tersenyum lega, mengangguk tanda paham, kemudian
hilang dari pandangan Oom Ben. Langsung ke kamar. Sebenarnya
dia tak begitu ingat wajah pekerja di rumahnya yang dulu. Sudah
berapa tahun berlalu sejak dia meninggalkan kediamannya di
Bandung?
Melihat situasi tadi, Aga menyenggol lengan Bos Ben pelan.
”Bos, dia kenapa sih?” tanyanya penasaran.
Bos Ben menggeleng mantap. ”Bukan urusanmu!”
Aga melengos kecewa, terlalu ingin tahu sisi kehidupan Nana
yang sebenarnya. Pemuda itu melihat ke arah foto keluarga gadis
itu. Terlihat Nana masih kecil sekali, mungkin berumur tujuh tahun.
”Iya kali, bukan urusan gue, ya,” gumamnya.
Nathan dan Stevan tak ambil pusing. Mereka membantu Bos
Ben mengurus berbagai perlengkapan rumah Nana.
Aga merutuki nasib. Bener-bener gue jadi pekerja kasar saat ini,
batinnya, lalu bergabung dengan Bos Ben dan kedua temannya.
Nana mengamati aktivitas keempat pria itu dari balkon. Dari
kamarnya bisa terlihat jelas teras maupun halaman rumahnya. Dia
menghela napas. Besok dia mulai belajar di sekolah baru.

***

30

Not Until_Teenlit.indd 30 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana mengamati penampilannya. Seragam Bizzarre International
High School—atau biasa disebut BIHS—adalah blazer biru donker
dan rok di atas lutut, dengan kemeja krem menempel rapi di
badan, mengingatkan ia pada sekolah sebelumnya. Dulu seragam-
nya juga berwarna sama. Ia menghela napas. Sebaiknya ia segera
melupakan kenangan masa lalunya.
Nana menatap dirinya di cermin. Tebersit pertanyaan: bagaimana
kabar saudarinya? Apakah dia sudah sekolah seperti yang Nana
lakukan saat itu? Tapi, ia segera menepis pertanyaan itu sebisa
mungkin. Wajahnya kembali mengeras. Ia tak boleh memakukan
dirinya pada lubang hitam yang diberikan keluarga tirinya itu. Dia
membiarkan keegoisan menguasai dirinya, tak membiarkan satu
celah pun dikuasai hati nuraninya.
Nana keluar kamar. Sesaat mengamati rumah yang semalaman
dia huni itu dengan cermat. Memang harus ada sedikit renovasi.
Tapi, ia tak perlu melakukannya terburu-buru. Hidup pasti berjalan
juga bukan? Dia bebas melakukan semuanya pelan-pelan.
Nana baru sadar, sekolahnya masuk pukul 08.00 WIB. Buru-buru
dia menyambar tas dan keluar rumah, menyusuri jalanan perumah-
an. Sampai di ujung jalan, ia berharap segera menemukan taksi,
karena tadi menolak ajakan Oom Ben untuk pergi ke sekolah ber-
sama.
Oom Ben tidak tinggal di rumah Nana, memilih tetap tinggal
di rumahnya yang lebih dekat dengan kantor perusahaan Kelana,
yang berganti nama menjadi Kailana.
Ah, taksinya datang!

***

31

Not Until_Teenlit.indd 31 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana masuk ke sekolah baru setelah membayar ongkos taksi
sesuai argo. Di gerbang ia menatap gedung sekolah, menarik
napas lega. Ada replika bundaran HI di depan gedung sekolah.
Terkesan replika itu dibuat untuk menunjukkan ciri khas Indonesia
di sekolah internasional itu.
Sebisa mungkin Nana melangkah dengan normal, tak ada aksi
buku terjatuh atau tabrak-menabrak yang berujung jatuh cinta
dan membawa sejuta kebahagiaan ala sinetron.
Cih… kebahagiaan? Apa kau benar-benar yakin adanya hal itu?
Mungkinkah kebahagiaan terwujud dari kesedihan mendalam?
Buru-buru gadis itu mengusir pikiran ngawurnya, memasuki
gedung tersebut dengan santai. Beberapa siswa-siswi menatapnya
dengan raut aneh. Wajar saja, dia kan murid baru.
Nana diberitahu bahwa kelasnya ada di lantai tiga. Sebenarnya
dia tak usah repot-repot menaiki tangga karena tersedia lift. Na-
mun, baiklah, Nana bukan manusia Indonesia yang senang ber-
manja-manja.
”Asyik... idola kita datang!”
Tertegun Nana mendengar hal itu. Dengan cepat ia berhenti,
kemudian menatap kedua siswi yang ada di depannya. Ia turut
melihat apa yang sedang disaksikan kedua murid itu.
Well, ia penasaran dengan ”idola” yang mereka maksud.
Nana menyipit. Terlihat empat siswa masuk dengan posisi dua
di depan dan dua di belakang. Ia menautkan alis. Jadi mereka
yang ditunggu cewek-cewek itu? Nana memutar bola mata. Tidak
penting.
Nana kembali melihat ke arah empat pemuda yang berjalan ke
tangga. Oh! Astaga!
Jangan bilang tiga di antaranya adalah tiga kancil yang
menjemput Nana kemarin. Sungguh ia tak habis pikir. Bagaimana

32

Not Until_Teenlit.indd 32 6/3/2014 4:04:51 PM


bisa mereka memosisikan diri sebagai idola di sekolah itu? Oh
God, c’mon. Apa semua orang di sini buta?
Nana menilik mereka dengan prihatin. Huh! Apa mereka
semacam F4 yang ada di Boys Before Flower, serial drama Korea
yang benar-benar melejit itu? Begini-begini ia juga pernah me-
nonton serial drama Korea. Apakah di Indonesia, seperti ini wujud-
nya? Lalu siapa yang akan menjadi Geum Jan Di, gadis beruntung
yang berhasil mendapatkan hati Goo Jun Pyeo? Ahh… dia bisa gila
jika terus memikirkan hal ini.
Nana melanjutkan perjalanan menuju kelas. Dia bakal jadi tidak
waras jika berlama-lama di situ dan mengikuti tingkah para siswi.
Alis Nana semakin bertaut saat kedua murid di depannya itu
terburu-buru mengejar keempat cowok tadi, dengan mengatakan:
”Ntar makan siang bareng yuk.”
Ihhh… Nana memutar bola mata, kemudian berbalik. Lebih baik
dia mencari kelasnya dan duduk manis di bangku barunya.
”Na.”
Nana menengok ke belakang. Memangnya ada yang kenal dia?
Dia mengerjap saat melihat empat idola itu mendekatinya. Dua
siswi yang tadi melihatnya curiga. Nana kembali memutar bola
mata.
”Lo udah tahu kelas lo di mana?” tanya Stevan yang sekarang
berjalan mendekati Nana.
Nana menggeleng sekilas. Ia memang tidak tahu letak kelas-
nya.
”Lo sama kami satu kelas. Ya udah, samaan aja jalan ke kelas-
nya.”
Nana mengangguk, mengikuti keempat orang itu dengan malas.
Oh? Jangan bilang dia yang akan menjadi Geum Jan Di dalam
serial itu! Nana benar-benar ingin tertawa.

33

Not Until_Teenlit.indd 33 6/3/2014 4:04:51 PM


Sampai di kelas, Nana langsung duduk di kursi yang ditunjukkan
Aga, seakan tak punya kepemilikan. Dia melirik sekilas ke arah
empat cowok yang berbincang seru itu. Hah… baiklah, Nana, kamu
datang ke kota ini bukan untuk main-main, apalagi mencari cinta
sejati. Kamu datang ke kota ini untuk bekerja. Bekerja! tukasnya
dalam hati.
Nana mengalihkan perhatian pada siswi yang memperhatikannya.
Ia tersenyum masam, kemudian mengambil earphone dan mende-
ngarkan musik. Sesaat ia menoleh karena merasa ada yang mem-
perhatikannya. Tak ada siapa pun. Dia yakin dirinya sedang diamati,
entah oleh siapa.

”Jadi... kenapa kalian berlagak kayak idola di sekolah ini?” Nana


mengeluarkan suara. Jelas-jelas dia risi pada tatapan para siswi
di sekolah. Headline sekolah mengabarkan anak baru dekat de-
ngan empat idola mereka. Ia geli mendengarnya.
Aga, Stevan, dan Nathan hampir tersedak mendengar ucapan
itu. Nana mengatakan berapa kata? Oh God, terima kasih sudah
mengembalikan gadis bengis itu menjadi manis.
Nana memandang ketiga pemuda itu tajam, meminta jawaban
atas pertanyaannya tadi.
”Kami nggak minta, semuanya ngalir gitu aja,” jawab Aga per-
caya diri.
Nana langsung mengernyit. Baiklah, memang lebih baik dia
menyantap makanan daripada membahas keidolaan pemuda-
pemuda di depannya itu. Ia menyesal menanyakan hal yang tak
ada hubungannya dengannya. Kenapa harus mencampuri urusan
orang?
Terlebih tadi Nana tak sengaja mendengar percakapan beberapa

34

Not Until_Teenlit.indd 34 6/3/2014 4:04:51 PM


anak bahwa keempat cowok itu menjadi idola, selain karena ke-
tampanannya—yang menurut Nana biasa saja—juga pernah
membuat harum nama sekolah melalui prestasi masing-masing.
Lalu? Untuk apa pula dia memikirkan hal itu. Bodoh, cerca Nana
pada diri sendiri.
Tetapi tetap saja Nana melirik sekilas. Rasa-rasanya satu dari
keempat cowok itu belum dia kenal. Dari semua nama yang
dibisikkan siswi-siswi, Dio-lah yang belum dikenalnya. Dan pastinya
cowok yang berada persis di depannya itu Dio.
Diova Esa Putra. Nana begitu saja menyebut nama panjang si
cowok dalam hati. Tanpa sadar dia langsung menyelipkan nama
baru itu dalam sudut ingatannya.
”Gue kaget lho, Na, pas tahu lo hafal nama kita bertiga. Mmm…
secara lo kan kemarin...” Ucapan Nathan menggantung. Ia melirik
ke arah Aga dan Stevan yang menatapnya tajam. Sesungguhnya
dia juga takut salah bicara, bisa-bisa tatapan kosong kemarin itu
kembali menghiasi wajah Nana.
Nana menyeruput air kemasan dingin sebagai penutup kegiatan
makan. Seolah Nathan tak mengatakan apa-apa, ia berdiri dan
menatap keempat cowok itu bergantian. ”Well, thanks ajakan
makannya. Gue ke kelas dulu.”
Nana meninggalkan keempat cowok yang memandangnya ter-
paku. Sebagai murid baru ia jelas jauh dari kategori ramah. Tapi
mau diapakan?
Tahu-tahu ada cewek berlari cepat melewati Nana, membuat
perhatian Nana yang terfokus pada jalan menjadi pecah pada si
cewek. Oh, ternyata cewek itu langsung bergabung di meja tempat
Nana makan tadi. Tubuhnya tinggi semampai dengan riasan wajah
tipis. Dia duduk di samping Dio dan terlihat akrab dengan keempat
cowok idola itu.

35

Not Until_Teenlit.indd 35 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana berbalik kembali. Untuk apa dia peduli?
Stevan menangkap pemandangan itu, kemudian menyenggol
lengan Aga, membuatnya terkesiap dan mengalihkan pandangan
dari tamu baru mereka. ”Gue nggak tahu cara berteman yang baik
sama dia,” ucap Stevan.
Aga menggeleng tidak jelas. ”Siapa? Nana? Gue juga nggak
tahu caranya sabar menghadapi dia setelah kenalan.”
Dio yang lagi mendengarkan celotehan cewek yang baru
bergabung dengan mereka kini menatap tiga sahabatnya dengan
pandangan meremehkan. ”Katanya lo semua cowok ganteng nan
friendly. Apa buktinya?”
Setika ketiga cowok itu memandang Dio.
”Dia bikin gue penasaran,” terang Aga.
”Gue tahu dia sebenernya baik,” komentar Stevan.
Nathan menengok dan bertanya ke Dio. ”Elo?”
Dio mengangkat bahu dan mencibir. ”Gue nggak terlalu pengin
berurusan sama dia!” Lalu ia mengalihkan pandangan pada cewek
di sebelahnya, yang menatap mereka bingung.
”Yo, ntar temenin aku ke toko buku ya,” ucap gadis manis itu.
Dio hanya mengangguk sekilas, lalu beralih pada makanannya
yang masih tersisa. Cewek di sampingnya itu berdiri, lalu pergi
begitu saja, merasa urusannya sudah selesai.
Aga dan Stevan berpandangan, merasa aneh dengan sikap Dio
yang tak kunjung tegas pada masalah hatinya. Katanya putus, kok
masih jalan bareng, pikir mereka diam-diam
Nathan menoleh ke arah Dio. ”Kenapa lo nggak ikut kemarin?”
tanyanya penasaran.
Dio menyipit. ”Lo pikir, mobil lo segede truk? Kalau gue ikut,
itu cewek lo taruh di mana?” Suara beratnya terdengar menggelegar
tak ramah.

36

Not Until_Teenlit.indd 36 6/3/2014 4:04:51 PM


***

Nana menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Beberapa jam


berada di sekolah itu, dia belum juga menemukan seorang pun
yang layak disebut teman. Dia memang berteman dengan empat
cowok itu. Setidaknya dia juga harus memiliki teman perempuan
yang bisa sedikit nyambung saat mengobrol. Itu jauh lebih seru
daripada keempat cowok tadi, kan?
Teman?
Nana menelan ludah. Sepertinya ia sudah lupa cara berteman.
Dia tak yakin orang-orang di depannya itu memang baik. Di dunia
tak ada yang namanya sahabat, vonisnya masa bodoh.
Mendadak Nana merasakan rindu yang luar biasa pada kedua
orangtuanya. Ia menunduk, menahan gejolak yang terasa. Gejolak
emosi yang pedih. Semua yang dilihatnya meremang, mengabur
begitu saja.
”Nana? Na?”
Nana mengangkat wajah ketika panggilan itu memenuhi te-
linganya. Ia tersadar dari kepahitan. Ada cewek berdiri di depannya,
tersenyum.
Nana mengernyit.
”Lo kenapa?” tanya cewek itu.
Nana menggeleng lemah.
”Kita belum kenalan, kan? Gue Karisa,” ujar siswi itu lagi, sambil
menyodorkan tangan.
Nana membalas jabatan itu ramah. ”Nana,” ucapnya.
Karisa mengangguk. ”Kalau butuh apa-apa, lo bilang gue aja.
Pasti susah ya menyesuaikan lingkungan Indonesia?”
Nana tersenyum tipis. ”No. Gue besar di Indonesia kok.”

3

Not Until_Teenlit.indd 37 6/3/2014 4:04:51 PM


Karisa mengangguk-angguk canggung. ”Oh,” jawabnya seada-
nya.
Nana hanya tersenyum masam menanggapi respons Karisa. Ia
mengalihkan pandangan saat empat cowok yang tadi makan
bersamanya masuk ke kelas. Sesaat kemudian ia melengos sambil
memutar bola mata. Masih belum bisa menerima posisi empat
kancil itu sebagai idola.
”Lo kenapa, Na?” tanya Karisa dengan pertanyaan yang sama
lagi.
”Lo nggak mengidolakan salah satu dari mereka, kan?”
Tawa Karisa menyembur saat mendengar pertanyaan tersebut.
”Na, gue tahu mereka dari zaman apa gitu. Gue kenal Stevan sejak
dia masih ingusan,” jelasnya di sela tawa.
Nana tersenyum menanggapi. ”Akhirnya, ada juga orang yang
satu pandangan sama gue.”
Dio berpaling dan mendapati anak baru itu tengah tersenyum.
Pemandangan itu membuatnya sedikit tersentak. Sejak kapan gadis
itu bisa tersenyum?
”Lo lagi liat apa, Yo?” tanya Stevan yang aneh melihat ekspresi
bingung Dio.
Dio menggeleng. ”Nggak. Bukan apa-apa.” Kemudian ia melem-
par pandangan ke arah lapangan futsal yang terlihat jelas dari
jendela kelas. Pikirannya melayang saat melihat seorang cewek
berjalan bersama beberapa temannya. Gadis yang begitu dikenal-
nya, yang bisa membuat hatinya seketika bergemuruh.
Aga terkekeh. ”Ya udah sih, Yo, lo balikan aja kali sama dia.”
Dio menoleh, menatap Aga dengan pandangan tak suka. ”Dia
gue anggap sebagai adik gue sendiri.” Jawaban yang memberi
penekanan bahwa ”antara kami sudah tak ada hubungan cinta
lagi”.

3

Not Until_Teenlit.indd 38 6/3/2014 4:04:51 PM


Nathan tertawa. ”Kalau gitu, lo sister-complex dong, suka sama
adik sendiri!”
Dio memukul lengan Nathan dengan tinjunya. ”Sialan lo!”
Stevan ikut memperhatikan gadis yang ditatap teman-temannya.
”Nggak ada salahnya lo kasih dia second chance.”
Dio hanya menghela napas. Tak berani menanggapi. Baiklah,
kisah cinta pertamanya yang bodoh, pikirnya. Ia kembali mem-
perhatikan gadis itu.
Nana melamun saat melihat empat idola sekolah memperhatikan
sesuatu di luar jendela. Beberapa detik ia langsung tersadar. Su-
dahlah, jangan berpikiran ke mana-mana. Dia harus menyelesaikan
studi secepatnya dan memikirkan cara yang tepat untuk memba-
laskan semuanya kepada keluarga Natara, pikirnya. Menolak segala
penasaran yang tak mampu dia jelaskan.

Satu bulan hidup di BIHS membuat Nana frustrasi. Itu kedua


kalinya kursi dan mejanya basah tanpa sebab dan waktunya selalu
sama: saat dia kembali dari kantin. Nana meremas ujung seragam
dengan garang. Siapa yang mengerjainya?
Ditambah lagi hari itu bertepatan dengan kematian ayah
kandungnya beberapa tahun lalu. Perkembangan kondisi mamanya
tidak ada kemajuan—Nana mendapat telepon tadi malam. Ingin
melarikan diri saja sesegera mungkin, andai ia bisa. Entah ke
mana.
Pembawa sial.
Nana ingin meluapkan kekesalan yang bercampur sedih dan
kecewa. Hal tak menyenangkan itu membuat ia tak kuat menahan
emosi negatifnya lebih lama lagi.

3

Not Until_Teenlit.indd 39 6/3/2014 4:04:51 PM


”Na?” Karisa menatap Nana prihatin saat gadis itu melihat kursi
dan mejanya.
Nana mengembuskan napas. Huh, ini bukan sekolah elite
semacam di sinetron, kan? Yang setiap muridnya bebas berlaku
anarkis.
”Lo ada tisu?” tanya Nana pada Karisa.
Karisa segera mengeluarkan tisu dari tas.
Nana yakin seyakin-yakinnya, itu semua akibat ia diantar pulang
idola-idola sekolah itu kemarin. Persis seperti kejadian beberapa
hari lalu.
Setelah mengelap kursi dan meja, Nana mendatangi empat
pemuda yang sedang bercanda di sudut kelas. Ia tak habis pikir,
bagaimana bisa mereka mendapatkan fans yang terlalu anarkis
seperti yang menerornya sekarang?
Ketiganya bukan sedang bercanda. Ternyata mereka sedang
melihat Dio yang membuat—entahlah, Nana tak bisa mengatakan
bentuk pastinya—sesuatu seperti karikatur, tapi rapi dan bagus.
Terbawa emosi, gadis itu melempar tisu basah bekas mengelap
air di kursi dan mejanya begitu saja ke karikatur tersebut. ”Nih!
Kerjaan fans kalian!”
Serempak keempat cowok itu menoleh ke arah Nana. Karisa
yang berada tepat di belakang Nana menutup mulut.
Nana seperti tak sadar melakukan hal buruk itu.
”Na!”
”Lo nggak berhak ngancurin gambar Dio, Na,” protes Stevan
cepat tanggap.
Seisi kelas merubungi lokasi perseteruan sengit itu.
Nana melipat kedua tangan di depan dada. ”Peduli amat!”
katanya dengan nada melecehkan.
BRAKKK...

40

Not Until_Teenlit.indd 40 6/3/2014 4:04:51 PM


Dio menggebrak meja. Mata tajamnya mengarah ke Nana,
ganas.
Nana kaget saat mendapati Dio begitu marah. Apa yang dia
lakukan tadi salah?
”LO TAHU SEBERAPA KERAS GUE BUAT KARYA ITU, HAH?!”
Bentakan Dio menggelegar ke seluruh ruangan kelas. Dadanya
bergerak naik-turun dengan cepat. Emosinya tak terkendali. Dia
selalu seperti itu, labil jika menyangkut masalah hatinya.
Nana mundur selangkah, tak menyangka apa yang dilakukannya
membuat Dio marah. ”So-sorry,” ucapnya tergagap.
”Lo diajarin etika nggak sih sama orangtua lo? Gue yakin mereka
nyesel ngelahirin lo. Mati aja lo! Go to hell!” sembur Dio bertubi-
tubi, walaupun nada bicaranya tak sekeras tadi.
Tetap saja makian Dio membuat Nana bungkam. Orangtua?
Menyesal.
Pembawa sial.
Nana menatap kosong ke depan, seakan terhipnotis ucapan
kasar Dio. Apa katanya tadi? Orangtua? Dia tak pernah diajarkan
etika? Papanya memang meninggal saat dia masih kecil, saat masih
butuh kasih sayang ayah. Mamanya menjadi sibuk saat itu juga,
menikah lagi beberapa tahun kemudian. Lalu keluarga kecil itu
hancur berantakan saat mama dan papa tirinya mengunjunginya
ke London.
Dio benar. Mamanya memang harus menyesal karena melahirkan-
nya.
Dio benar. Seharusnya memang dia saja yang mati.
Dio benar. Semua orang benar. Dia memang pembawa sial.
Karisa mengguncang tubuh Nana yang menegang, beberapa
kali. Dia memanggil nama temannya itu. Nana benar-benar hilang
kesadaran.

41

Not Until_Teenlit.indd 41 6/3/2014 4:04:51 PM


Stevan, Aga, dan Nathan terperangah melihat Nana yang amat
tegang.
Dio menghela napas. Dengan gerakan cepat ia keluar kelas,
masih dengan penuh emosi. Kakinya menendang apa saja yang
ia anggap menghalanginya. Dia bersusah payah membuat karikatur
tersebut, dan sekarang? Lihatlah akibat ulah gadis tak berperasaan
itu!
Ketiga cowok itu masih berdiri di depan Nana, menunggu reaksi
gadis tersebut. Semua orang di kelas menahan napas. Tatapan
Nana kosong ke depan.
Setelah beberapa saat, gadis itu tersenyum lemah, menatap
Karisa yang mengguncang tubuhnya kuat.
”Nana!”
Nana tersenyum, namun pikirannya tak bisa diajak kompromi.
Tahu-tahu dengan cepat Nana berlari, mengambil tas, dan meng-
hilang di balik pintu.
Setelah itu tak ada teman sekolah yang tahu kondisi Nana.

42

Not Until_Teenlit.indd 42 6/3/2014 4:04:51 PM


3

D
IO mengepal keras saat melihat Nana pergi begitu
saja meninggalkan kelas. Dia sangat kesal. Kenapa sih
gadis itu harus cari masalah dengannya?
Dan benar, kehidupan bukan sinetron, yang bisa
memaafkan begitu saja. Ada beberapa hal di dunia yang sulit
dimaafkan, seperti kejadian tadi.
Dio menatap langit, terlihat jelas bayangan Acha, cinta perta-
manya, terlukis di sana. ”Seharusnya itu hadiah ulang tahunmu
yang paling spesial, Cha. Seharusnya,” ucapnya lirih.
Terbayang olehnya kenangan indah bersama gadis itu, dan
kembali hatinya tertohok. Kenangan bisa menyakiti kapan saja.
Andai itu tidak terjadi, pasti sampai saat ini mereka tetap baik-baik
saja. Dio tak perlu memutuskan hubungan mereka dan mereka
berdua bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

43

Not Until_Teenlit.indd 43 6/3/2014 4:04:51 PM


Andai saja, ulang Dio dalam hati. Lantas kenapa setiap peng-
andaian itu terlalu menyakitkan saat diingat? Terlalu sakit untuk
disimpan sebagai angan-angan?
Dio menikmati sentuhan angin di rambutnya, seolah menyerukan
untuk tak menyelesaikan masalah dengan emosi. Bagian luar
gedung olahraga memang tempat favoritnya saat ingin menenang-
kan pikiran. Hanya tiga temannya dan Acha yang tahu kebiasaan
itu.
Dio menatap langit dalam-dalam. Dia menyukai langit. Entah
karena apa.
Cowok itu menghabiskan jam pelajaran yang tersisa dengan
tidur di sana, tak peduli kondisi gadis yang tadi dicacinya. Dia tak
peduli. Oh, bahkan sangat tidak peduli. Apa gadis itu benar-benar
ingin mati atau tidak, dia juga tak peduli.
Dio terbangun dari tidur beberapa jam kemudian oleh getar
ponsel. Nama Ben tertera jelas di sana.
”Halo, Oom?” ucap Dio malas-malasan.
Suara derap kaki berlari datang dari arah tangga. Dio segera
berdiri dan mendapati ketiga temannya yang dengan panik
menghampiri.
”APA?”
Keempat cowok itu langsung berlari menuruni tangga. Tidak
peduli tatapan sinis guru olahraga. Satu hal yang mereka pikirkan
saat itu, yaitu gadis yang tiba-tiba terlihat sangat lemah, gadis
yang seperti hilang kesadaran saat menerima cacian Dio.
Nana!

Ben duduk lemas. Lelaki itu menatap lantai, lemah. Ia sama sekali
tak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, pelayan di rumah Nana

44

Not Until_Teenlit.indd 44 6/3/2014 4:04:51 PM


meneleponnya panik. Tentu saja dia langsung menghubungi
empat siswa yang dia kenal baik itu untuk meminta penjelasan.
Keempat cowok tersebut berlari menuju Bos Ben yang masih
duduk lemas di sofa.
Ben segera berdiri. Bukan, bukan untuk menemui empat
pemuda yang baru datang itu. Namun karena mendengar pintu
kamar Nana terbuka dan dokter keluar.
Ben merasakan tubuhnya tegang dan wajahnya pucat pasi.
”Terlambat semenit, dia benar-benar sudah tidak ada,” komentar
dokter itu pelan. Ia sedikit lega karena berhasil menyelamatkan
nyawa manusia.
Ben terdiam kaku. Rasanya kakinya tak kuat menopang tubuh-
nya. Nana, kenapa kamu harus melakukan hal bodoh seperti itu
sih? batinnya penuh sesal.
Ben memang tak pernah membayangkan seperti apa derita
yang ditanggung keponakannya selama itu. Di matanya Nana
terlihat lebih kuat semakin hari, tapi ternyata beban yang dia
tanggung terlalu berat. Beban yang seharunya belum ditanggung
anak seumurnya. Ah, mengapa dia bisa sebuta dan sealpa itu? Ben
bertanya-tanya dalam hati.
”Dia sudah sadar, Dok,” lapor suster yang baru keluar dari kamar
Nana.
Dokter itu mengernyitkan dahi. ”Kenapa bisa secepat itu?” ujar
Dokter, terdengar kaget. Ia kembali masuk ke kamar Nana dan
pintu ditutup.
Ben hanya diam. Menatap kosong ke arah empat remaja yang
menjadi teman baiknya itu.
”Dia...” ucap Ben menggantung, ”keponakan saya satu-satunya.
Dia... kalau saja tak terselamatkan, saya benar-benar merasa

45

Not Until_Teenlit.indd 45 6/3/2014 4:04:51 PM


bersalah pada Faisal,” lanjutnya sambil memandang foto Nana
sekeluarga.
Para cowok itu sontak saling pandang.
Tunggu, hanya ada Aga, Nathan, dan Stevan. Ke mana Dio? Di
mana pemuda yang semestinya bertanggung jawab atas masalah
ini? Di mana pemuda yang membuat Nana bunuh diri?
Dokter keluar dari kamar Nana. Dari raut wajahnya, ia tak sete-
gang seperti saat pertama tadi. Terlihat jelas bahwa keadaan Nana
membaik.
”Dia sudah siuman. Jahitan di pergelangan tangannya masih
rentan. Jadi tolong diwasi agar dia tak merabanya. Oh ya, Ben, dia
stres berat. Tolong jaga pola makannya juga.”
Ben mengangguk dan membiarkan dokter keluarga itu berlalu.
Pelan-pelan Ben memasuki kamar Nana dan menemukan gadis
itu sedang menatap kosong ke arah jendela.
Menyadari keberadaan orang lain, Nana menengok, tersenyum
miris. ”Kenapa aku diselamatkan?” ujarnya lemah. Wajahnya terlihat
sangat pucat, antara menahan lelah, menahan sakit, dan kecewa
atas kejadian itu.
Oom Ben menahan air mata yang akan keluar. Pertanyaan Nana
menggambarkan betapa frustrasi keponakannya itu menjalani
hidup.
”Kenapa aku masih hidup setelah sekian lama aku mikirin untuk
melakukan ini? Kenapa?” tanya Nana lemah, suaranya serak. Ia
kehabisan tenaga. Bibirnya putih dan kering.
Oom Ben membelai rambut Nana lembut. ”Karena Tuhan tahu
kamu bisa menghadapinya.”
Nana menatap Oom Ben. ”Tapi aku nggak kuat lagi, Oom. Aku
udah coba, tapi nggak bisa.”
Oom Ben membelai rambut Nana, tersenyum. Matanya basah.

46

Not Until_Teenlit.indd 46 6/3/2014 4:04:51 PM


”Kamu spesial. Kamu terlalu berharga untuk meninggalkan dunia.
Oom mohon, sampai waktunya tiba, kamu harus terus bertahan.
Kamu nggak boleh melakukan hal ini lagi.”
Nana terdiam.
”Papamu… mamamu… selalu melakukan yang terbaik untukmu
dan juga Bunga, Na. Mereka ingin kamu bahagia di masa depan,
Na. Walaupun mereka udah nggak ada di sampingmu, tetaplah
buat mereka dan Oom bangga.”
Nana melirik pergelangan tangan kiri yang kini dibalut per-
ban.
Entahlah. Dia tak tahu apakah dia merasa menyesal melakukan
ini atau tidak. Dia menyerah.

Dio sungguh menyesal. Dia tak pernah berpikir bahwa ucapannya


tadi akan begitu menyakiti Nana. Dia memang merasa aneh saat
tahu gadis itu pindah sendirian ke kota ini tanpa keluarga. Tapi
ia tak menyangka caci maki yang membawa-bawa nama orangtua
bisa mendorong orang lain bunuh diri.
Pemuda itu terlihat panik. Sangat panik, hingga keringatnya
terus bercucuran di pelipis. Dia seakan tersangka utama kejadian
itu.
Dio berdiri saat melihat Bos Ben dan ketiga temannya turun
dari kamar Nana. Ia tak berani menemui gadis itu, sekalipun hanya
untuk minta maaf.
”Saya ada urusan di kantor. Kalian tolong jagain Nana sampai
saya kembali,” perintah Bos Ben terdengar lemas. Bos Ben menatap
para cowok remaja itu dengan kecewa. Menurut Ben, tak ada yang
pantas disalahkan selain mereka berempat. Toh Bos Ben memang
menugaskan mereka untuk menjaga Nana di sekolah.

4

Not Until_Teenlit.indd 47 6/3/2014 4:04:51 PM


Stevan mengempaskan tubuh di sofa. ”Gue nggak habis pikir
dia bisa melakukan hal sebodoh itu.” Ucapannya membuat ketiga
temannya kompak mendelik padanya.
Nathan mengangguk setuju. ”Apa kita harus melakukan sesuatu
supaya dia nggak mengulanginya?”
Aga mengangkat bahu. ”Nana cewek paling sadis yang pernah
kita temui.”
Stevan menerawang. ”Gue jadi kasian sama dia.”
Dio memilih diam, tak punya kata-kata untuk diucapkan.
Mengapa dia merasa begitu bersalah pada gadis itu?
”It was not your fault, Yo. Kata Bos Ben, dia memang lagi labil.”
Aga menepuk punggung Dio, memahami perasaan bersalah teman-
nya, serta ingin mengeluarkannya dari perasaan bersalah itu.
Dio mengangkat bahu. Entahlah. Sepertinya mulai sekarang dia
harus tahu dan peduli pada keadaan batin Nana. Terkadang waktu
membawa kita ke dalam masalah yang berat, batinnya.

Malam memanggil, namun Dio masih belum beranjak dari sofa


ruang tamu rumah Nana. Perasaan bersalah masih membayangi.
Ia juga merasa rumah besar itu kosong dan dingin. Baik sebe-
lumnya maupun saat Nana menempatinya. Tetap sama: hampa
dan tak memberi kehangatan.
Dengan gamang kaki cowok itu menaiki satu per satu anak
tangga, mencoba melihat keadaan Nana.
Dio terdiam. Mungkin Nana sedang istirahat karena sudah
setengah jam berlalu sejak Stevan dan pelayan di rumah itu turun
dengan piring yang nasinya sudah dimakan habis. Dio menekan
hendel, kemudian mendorong pintu jati kayu itu pelan-pelan. Dia
tak ingin gadis itu sampai terbangun karena kehadirannya.

4

Not Until_Teenlit.indd 48 6/3/2014 4:04:51 PM


Dio memandang kamar Nana. Besar dengan kasur king size di
sudut. Ada meja belajar dan lemari buku kecil yang menghadap
jendela. Wallpaper-nya unik, juga terkesan feminin.
Dio bernapas lega saat mendapati Nana pulas. Dia menatap
Nana dalam-dalam, terlihat keringat meluncur dari pelipis Nana.
Kesakitankah gadis itu? Atau dia mengalami mimpi buruk?
”Na, lama-lama lo bikin gue penasaran, tahu nggak?” gumam
Dio sambil mengeluarkan saputangan, kemudian mengelap ke-
ringat dingin yang membasahi wajah Nana.
”Kenapa sih lo harus melakukan hal gila kayak tadi dan membuat
gue merasa sebegini bersalah?” bisik Dio, kembali mengelap
keringat Nana dengan hati-hati.
”Seberapa besar masalah lo? Sampai-sampai lo nekat mengakhiri
hidup?”
Tentu saja tak ada jawaban karena gadis di hadapan Dio tetap
pulas.
”Kenapa lo tertutup? Seandainya lo terbuka sedikit… mungkin
luka hati lo nggak akan sebegini parah kali, Na.”
Sekali lagi mata Dio mengelilingi kamar Nana. ”Seharusnya lo
bersyukur atas apa yang lo miliki saat ini.”
Dio mengusap puncak kepala Nana. ”Sweet dream, dan besok
lo harus bener-bener bangkit. Jangan bikin gue merasa bersalah
terus.”
Dio berjalan menuju pintu kamar Nana. Dia juga perlu istirahat.
Nana membuka mata saat mendengar decitan pintu tertutup.
Gue nggak bermaksud ngebuat lo merasa bersalah, batinnya.
Pening mulai terasa. Nana menekan kepalanya dengan tangan
kanan. Gue hanya menyerah, terlalu lelah menghadapi ini semua,
ucapnya dalam hati. Ia memandang lampu, dan perasaan sakit itu
datang lagi.

4

Not Until_Teenlit.indd 49 6/3/2014 4:04:51 PM


***

Nana bangun subuh sekali. Dia ingin buang air kecil, tetapi tak
tahu harus meminta tolong siapa. Bibi dan sopir di rumahnya
pasti masih pulas. Ia tak ingin merepotkan mereka. Jadilah dia
memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri.
Sampai di kamar mandi dekat kamar, Nana lupa closet-nya
rusak. Ia mendengus kesal karena harus pergi ke toilet di bawah.
Saat melewati ruang tengah, ia terdiam karena mendapati Dio
tertidur nyenyak di sofa. Dia yakin Oom Ben menginap di kamar
tamu, lantas kenapa Dio masih berada di sini? Bukankah yang lain
sudah pulang?
Merasa bersalahkah Dio? tanya Nana dalam hati.
Nana melihat selimut Dio tersingkap. Dengan satu gerakan ia
merapikannya. Setelahnya Nana meringis menahan sakit. Perge-
langan tangannya kan baru dijahit. Itu pula yang membuat diam-
diam dia merasa bersalah melibatkan pemuda itu dalam hidupnya.
Dia tak ingin Dio terlibat, tapi entah kenapa… momennya begitu
pas saat Dio mencacinya di kelas.
”Mau ke mana lo?”
Nana terkesiap, mata hitamnya spontan terbelalak. Didapatinya
dua mata bening Dio menatap aneh ke arahnya dengan tajam.
Gadis itu menyembunyikan ketergagapannya dengan gelengan
singkat. ”Kamar mandi.”
Dio yang tidur di sofa ruang tengah langsung duduk, tetap
menantang ke manik mata Nana yang masih menatapnya. ”Kenapa
nggak bangunin gue aja tadi?”
Nana menggeleng. ”Gue nggak pengin lo merasa bersalah. Ini
semua bukan salah lo.”

50

Not Until_Teenlit.indd 50 6/3/2014 4:04:51 PM


”Masalah kemarin... sorry,” ucap Dio pelan, namun sungguh-
sungguh.
Nana berjalan membelakangi Dio, tak berniat menanggapi
ucapan pemuda tersebut.
Dio terpana melihat gadis itu berjalan begitu saja. Dia tetap
gadis dingin seperti biasa, pikirnya. Baiklah, cukup, hari itu sudah
beratus kali dia memikirkan Nana.

Kursi Nana masih kosong. Ini hari kedua. Karisa mengkhawatirkan


keadaan teman barunya itu. Terlebih lagi, kemarin Dio juga tidak
masuk sekolah. Sebenarnya ada apa di antara mereka?
Karisa melayangkan pandangan ke arah tiga cowok yang terlihat
diam sejak kemarin. Pandangannya terpaku pada sosok pemuda
yang begitu dikenalnya. Tak ada salahnya mencoba, bukan? yakin-
nya dalam hati.
Keyakinan itu mendorong Karisa melangkah mendekati Stevan,
Aga, dan Nathan. Ah, lagian kenapa juga mesti takut? Dia kan
bukan mau mencari gara-gara dengan mereka, terang Karisa dalam
hati. Lagi-lagi untuk memantapkan hati.
Stevan yang pertama kali menyadari kehadiran Karisa. Pemuda
itu menoleh, menatap gadis yang sudah lama tak berbicara
dengannya itu dengan sungkan.
”Stev, gue boleh tanya, keadaan Nana gimana?” sapa Karisa,
terdengar khawatir.
Aga dan Nathan menoleh, menatap Karisa sebentar, kemudian
memandang Stevan.
Stevan hanya mengangkat bahu, tak mengatakan sepatah kata
pun.
Karisa mencelos. Dia berdecak pelan, kemudian berbalik, dan

51

Not Until_Teenlit.indd 51 6/3/2014 4:04:51 PM


berlalu dari hadapan tiga pemuda itu begitu saja, tanpa meng-
ucapkan permisi atau semacamnya.
Keputusan Karisa untuk berhubungan dengan ketiga cowok itu
sepertinya salah. Idola mana yang mau menanggapi ucapanku?
ujarnya dalam hati karena kesal.
”DIO!”
Karisa berpaling saat mendengar teriakan dari belakang. Ia
melihat Dio memasuki kelas dengan santai. Tak terlihat sedikit pun
ekspresi penyesalan dalam raut wajahnya.
Dio menghampiri ketiga temannya, kemudian membisikkan
sesuatu.
Karisa tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan juga tidak mau
tahu. Yang dia pedulikan, bagaimana keadaan Nana sekarang. Oh,
sejak kapan dia memperhatikan Nana sampai sebegitunya?

Nana memainkan rambut pelan. Sudah dua hari dia tak sekolah.
Pikirannya melayang pada hari kemarin. Sepertinya Dio merasa
bersalah padanya hingga bisa-bisanya memutuskan tidak sekolah
demi mengurusi Nana seharian.
Gadis itu tersenyum simpul. Ada beberapa kejadian lucu yang
tak bisa dilupakannya. Seperti saat Dio menyuapinya, padahal, ya…
yang terluka kan tangan kirinya.
Nana tertegun. Seharusnya dia tak merusak karikatur Dio
dengan tisu basah. Dia juga merasa bersalah. Sungguh. Namun ia
tak berniat membahasnya. Dia tak peduli karikatur itu untuk siapa,
dan kenapa Dio bisa sebegitu marah padanya.
Ponsel berbunyi. Nana menatap layar ponsel. Terlihat jelas nama
Dio di sana. Gadis itu tersenyum lagi. ”Iya,” jawabnya dingin.
”Lo udah makan?”

52

Not Until_Teenlit.indd 52 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana mengangguk. ”Mmm…”
”Besok lo mau sekolah?”
”Mmm…”
”Gue lagi di jalan ke rumah lo.”
”Mmm…”
”Kenapa dari tadi mmm mulu sih?”
”Yo?”
”Ya?”
”Gue mau ke perusahaan Oom Ben. Lo mau nganterin gue?”
”Oke.”
Tuuuttt…
Sambungan telepon terputus.
Nana beranjak dari tempat tidur, memperhatikan penampilannya.
Tak apa-apa pemuda itu datang lagi ke sini. Lagi pula, ia juga
butuh seseorang untuk mengantarnya ke kantor Oom Ben, kan?
Setelah memastikan penampilannya tak terlalu buruk, Nana
mengambil tas tangan kecil, kemudian meninggalkan kamar.
Pergelangan tangannya masih sakit, sungguh. Dan entah
kenapa, Nana menyesali perbuatannya.

Dio datang tak lama kemudian, masih berseragam BIHS lengkap.


Nana yang menunggunya di ruang tamu langsung berdiri, siap
berjalan ke arahnya.
”Gue nggak ditawarin minum dulu nih?” sungut Dio, kesal
karena Nana terlihat menjadikannya sopir pribadi saat mendapati
gadis itu langsung berdiri dan bersiap meninggalkan rumah.
”Lo bisa ambil sendiri, kan?” jawab Nana singkat, melewati
cowok itu, kemudian berdiri di depan mobil Dio.
Dio mendelik. Dia memang kehausan. Dengan langkah cepat

53

Not Until_Teenlit.indd 53 6/3/2014 4:04:51 PM


ia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Dia bertemu Bi
Inem yang sedang menyetrika. Dio tersenyum kecil pada pelayan
Nana. Beres minum ia keluar, menghampiri Nana.
Nana diam saja sambil memandangi Dio. Saat pemuda itu
mengangguk, dia bergegas membuka pintu dan duduk di bangku
sebelah kemudi. Dia menikmati perjalanannya. Lagu You Belong
with Me dari Taylor Swift mengalun indah di mobil.

If you could see


That I’m the one
Who understands you
Been here all along
So why can’t you see
You belong with me
You belong with me

Tak ada yang berniat membuka percakapan. Keduanya memilih


larut dalam pikiran masing-masing.
Mobil Dio memasuki parkiran gedung pencakar langit di
kawasan Sudirman, Jakarta. Nana turun dengan cepat saat mesin
mobil dimatikan.
Dio hanya menggeleng pelan, gadis itu masih saja terburu-
buru.
”Jangan buru-buru kali, Na. Bos Ben juga lagi meeting sama
klien,” ucap Dio menerangkan, ingat pesan singkat yang dikirim
Bos Ben untuknya semalam.
Nana menghentikan langkah lalu membalikkan badan. ”Apa?”
”Bos Ben meeting sampai sore. Yah, paling lo bisa ketemu dia
pas istirahat atau dua jam lagi. Emangnya ada urusan penting?”
Nana memutar bola mata. Kekesalan terlihat jelas dari binar

54

Not Until_Teenlit.indd 54 6/3/2014 4:04:51 PM


matanya. Kenapa Dio tidak memberitahunya sejak awal dan malah
membuatnya menunggu?
”Ada urusan apa sih sampai lo buru-buru gitu?”
Nana menaikkan alis. ”Penting tahu!” jawabnya lantang.
Dio terkekeh pelan, menghampiri Nana. Dia mengacak rambut
Nana, kemudian tersenyum manis. ”Elo ya, dikasih perhatian malah
balasnya kayak gitu.”
Nana menepis kasar tangan Dio yang memainkan rambutnya.
”Kenapa sih lo dari kemarin ngacak-acak rambut gue terus?” Dia
menatap Dio dengan tidak suka.
Dio tertawa. Baru kali itu dia merasa Nana begitu lucu. ”Elo juga
kenapa sih sejak awal datang ke sini marah-marah mulu?” balas-
nya.
Nana melipat tangan di depan dada. ”Bukan urusan lo!”
Dio menyandar di badan mobil. ”Emang bukan urusan gue.”
Nana melihat Dio dengan ekor mata. Sudahlah, dia tak ingin
melanjutkan perdebatan itu. Ia memandang ke depan, melihat
bangunan kokoh yang menjadi sandaran keluarga papanya sejak
dulu.
Papa. Bunga. Mama.
Nana merasakan rindu yang luar biasa pada keluarganya. Ter-
tegun, benar-benar tertegun sampai akhirnya dia sadar akan satu
hal.
Dio memperhatikan Nana yang menjauh darinya. Gadis itu
tampak menghubungi seseorang lewat ponsel. Penasaran, Dio
mendekati Nana, berdiri beberapa langkah di belakang.
”Ma, Nana kangen.”
Dio terdiam saat mendengar suara lirih Nana yang menyiratkan
kerinduan tertahan. Ia urung menegur Nana, memilih kembali
bersandar di badan mobil. Nana sedang menelepon mamanyakah?

55

Not Until_Teenlit.indd 55 6/3/2014 4:04:51 PM


Lalu, kenapa Nana menjadi begitu rapuh saat Dio menyebut
orangtuanya?
Dio mengacak rambut, bingung. Dia memang tak tahu apa-apa
tentang gadis ini. Namun, entah kenapa, timbul keinginan untuk
menjaga Nana. Menjaga gadis yang begitu rapuh itu.
Nana menghampiri Dio dan seketika lamunan pemuda itu buyar.
Ia hanya memandangi Nana yang matanya sedikit sayu dan merah.
Ah, dia menahan tangisan?
”Nelepon siapa? Mama lo?” tanya Dio penasaran.
Nana berdiri di samping Dio, mengangguk.
”Terus Mama lo bilang apa? Dia nggak ke sini?”
Nana tersenyum sedih. ”Mama gue.... koma.”
Dio terdiam saat mendengar informasi itu. Ia menatap wajah
Nana yang ekspresinya datar. Satu kenyataan terbuka. Ia menilik,
memperhatikan wajah Nana. Gadis itu....
”Nana! Dio!”
Nana melambai ke arah Oom Ben yang menghampiri mereka.
Dio memilih menunggu Nana di mobil. Tak lama kemudian dia
menerima SMS Nana.

From : Nana
Bisa tungguin gue bentar?

Dio mengangguk, tak membalas pesan singkat itu. Dia tertidur


di mobil selagi gadis itu membicarakan urusannya dengan Bos
Ben. Dia mulai menuruti permintaan Nana, tanpa dia sadari.

Nana terdiam saat membaca laporan perusahaan yang diberikan

56

Not Until_Teenlit.indd 56 6/3/2014 4:04:51 PM


Oom Ben. Dia bisa membaca laporan semacam itu sejak dua
tahun lalu. Tapi ini? Apa-apaan?
”Oom nggak nyangka, banyak orang seperti itu di dunia,” ucap
Oom Ben menggeleng-geleng.
Nana ikut menggeleng, tetapi dengan ekspresi yang berlawanan
dari pamannya: tak percaya pada fakta yang tertulis di kertas yang
sedang dipegangnya. Ini baru bulan kedua dan semua yang dulu-
nya kacau tersusun rapi kembali. Ia memandang Oom Ben sekilas,
ingin berterima kasih pada pamannya. Tanpa tangan dingin dan
kerja keras Oom Ben mana bisa perusahaan berjalan semulus
itu!
Oom Ben beranjak dari sofa di hadapan Nana, menuju meja
kerja. Setelah mengambil map ia kembali mendekati gadis itu.
”Ini…?” Nana mencoba menebak-nebak saat menerima map
tersebut.
”Yang diberikan rumah sakit mengenai visum Bunga, serta foto
memar biru di sekujur tubuhnya,” Oom Ben menyodorkan laporan
lain, ”ini laporan yang harus kamu baca.”
Nana mengambil laporan itu, kemudian membacanya dengan
teliti. Ia terbelalak seketika. Laporan itu… tidak mungkin! Benarkah
keluarganya seperti itu selama dia di London?
Nana tersenyum sinis. Terdiam cukup lama. ”Sebenarnya aku
udah duga. Bahkan sebelum aku dipindahin ke London.”
Ben mengernyitkan dahi. ”Kita belum punya bukti, Nana. Dan
soal papamu, Oom belum bisa menemukan video itu. Tapi ke-
mungkinan besar disimpan karyawan kepercayaannya.”
Nana membisikkan sesuatu kepada Oom Ben. Mata besar lelaki
itu langsung membulat, seolah menemukan sesuatu yang tak
pernah terpikirkan olehnya.
”Apa itu yang akan kamu lakukan, Nana?”

5

Not Until_Teenlit.indd 57 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana menatap Oom Ben lamat-lamat. Meyakinkan diri bahwa
itu keputusan terbaiknya. Ia menghela napas. Oomnya mende-
ngarkan dengan saksama. Dia tak bisa membantah: Nana memang
mewarisi seluruh sifat ayahnya. Tentu saja ia bangga, karena gadis
itu bisa melakukan hal yang sangat bijak, sekalipun usianya belum
dewasa.
Nana masih menatap Oom Ben. ”Mereka harus tahu… rasanya
kehilangan. Keluarga Natara.” Ada kebencian mendalam di sorot
matanya. Ia tampak seperti harimau kehausan yang akan melakukan
apa saja demi memperoleh air.
Oom Ben terkesiap, sadar ada yang harus diketahui Nana. ”Na,
ini soal Livia.”
Mata Nana membulat seketika. Darahnya mulai mendidih.

5

Not Until_Teenlit.indd 58 6/3/2014 4:04:51 PM


4

D
IO membuka mata saat menyadari ada orang yang
mengetuk-ngetuk kaca mobil. Melihat Nana dengan
tatapan ganasnya membuat ia langsung membuka
pintu. Tunggu dulu, sejak kapan dia menjadi sopir
pribadi Nana?
Nana masuk ke mobil dengan kesal. Dia mengempaskan tubuh,
melempar pandangan ke luar, seolah menyalahkan Dio.
”Sorry, Na, gue nggak denger,” ucap Dio merasa bersalah.
Nana berpaling. ”Gue setengah jam tahu nungguin lo di luar,”
ucapnya marah.
Dio mengernyit. Kenapa pula Nana marah-marah? Bukankah
Dio pemilik mobilnya? Lalu kenapa pula dia harus menuruti perin-
tah Nana?
”Sorry deh,” ucap Dio sekali lagi, memilih mengalah.

5

Not Until_Teenlit.indd 59 6/3/2014 4:04:51 PM


Namun gadis itu malah terus menatap ke depan, memikirkan
sesuatu.
Dio menghela napas. Kenapa hidup gadis itu terlalu banyak
beban sehingga malah menyakiti dirinya sendiri?
Nana berpaling, menatap Dio. ”Kok belum jalan?”
Dio menginjak pedal gas dengan tenang. Hening. Tak ada yang
memulai percakapan di antara mereka. Sesekali ia melirik Nana.
Gadis itu terus memandang ke depan.
”Tadi lo ngomongin apa sama Oom Ben?” tanya Dio memulai
percakapan.
Nana mendelik, menatap Dio sebentar, lalu mengalihkan pan-
dangan ke lampu jalanan, tak berniat menjawab.
Dio mengembuskan napas kesal. Rasanya dia telanjur sabar
menghadapi gadis dingin di sebelahnya.
”Gue cuma nanya. Kayaknya lo tersiksa banget setelah ngomong
sama Oom Ben. Apa itu salah?”
Nana tetap menatap lampu jalanan. Ia hanya mengangkat bahu.
Mulutnya terkunci.
”Kalau ada masalah, yah lo cerita bisa kali, Na. Ada gue, ada
Aga, Nathan, Stevan. Ada juga kan temen cewek lo. Karisa. Lo ja-
ngan simpen sendiri dong,” lanjut Dio.
Mobil Dio berhenti saat sadar ujung mobilnya hampir mengenai
mobil di depannya.
”Macet kayaknya,” gumam Dio menyadari antrean mobil terlihat
sangat panjang.
Nana hanya melirik sekilas ke arah Dio, lalu fokus lagi menatap
ke depan. Dia tak ingin menanggapi berbagai ucapan Dio. Dia
hanya ingin... menyendiri.
”Na, gue ngomong dari tadi ditanggepin dong. Berasa ngomong
sama patung.”

60

Not Until_Teenlit.indd 60 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana mendelik. ”Lo pernah ngomong sama patung?”
Dio berdecak. ”Tumben lo nanya gue.”
Bukan saatnya berdebat. Nana melirik Dio. Cowok itu terlihat
kesal. Dia lucu juga, pikir Nana sambil diam-diam mengamati wajah
Dio yang begitu sempurna.
Nana berdeham saat tersadar dari kekagumannya. Belum saat-
nya dia memikirkan hal-hal seperti itu. Dia harus fokus pada
tujuannya sekarang.
”Tangan lo udah baikan?” tanya Dio lembut.
Nana mengangguk.
”Lo mau makan di mana? Di rumah atau sama gue di luar?”
Nana mengangkat bahu. ”Terserah lo aja.”
Dio bingung menghadapi gadis manis di sampingnya itu. Ia
tahu setiap orang punya masalah masing-masing. Namun, tak
bisakah gadis itu bersikap normal selayaknya manusia? Kenapa
dia terus-terusan seperti boneka hidup? Bahkan dia tak bersosiali-
sasi, tak mencari teman.
”Lo aneh banget, tahu nggak sih?” ucap Dio.
Nana hanya diam, menatap ke luar jendela. Tak ingin menang-
gapi. Dia tak terlalu peduli anggapan Dio terhadapnya. Biar aja
aku aneh, jawabnya dalam hati. Setiap manusia juga pernah aneh,
kan? Lalu kenapa pemuda itu terus mencecarnya?
Dio mengempaskan punggungnya. Menyerah. Dia tak bisa me-
nanggapi Nana dengan kesabaran lagi. Kalau memang Nana
inginnya begitu, terserah.
Dio melirik Nana sekilas. Pandangan seperti itu lagi. Pandangan
kosong bercampur luka. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Apa
mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang sedang koma? Dio
menghela napas berat.
Nana terus memandangi jalanan dengan nanar. Apa yang

61

Not Until_Teenlit.indd 61 6/3/2014 4:04:51 PM


disampaikan Oom Ben tadi benar-benar mengganggu pikirannya.
Dia pikir selama ini baik baik saja, tapi ternyata banyak hal yang
terjadi di luar dugaan.
Pembawa sial.
Nana meremas ujung bajunya kuat-kuat. Dia terluka. Dia terluka
saat kata-kata itu terlontar. Bahkan sampai mati pun dia terluka
oleh kata-kata itu.
Pembawa sial.
Nana menutup mata, menggigit bibir bawah keras. Tidak! Dia
bukan pembawa sial. Dia tak bisa disalahkan atas kematian dua
ayahnya. Itu takdir. Toh kalau papa tirinya tidak mengunjunginya
ke London, karena takdir, tetap akan meninggal. Jadi bukan dia
yang harus disalahkan.
Kenapa? Kenapa beban itu terlalu berat untuk dipikul Nana?
Nana membuka mata pelan saat menyadari ada yang meng-
genggam tangan kanannya. Ia menoleh dan mendapati Dio mena-
tapnya cemas. Gadis itu mengerjap, kemudian menarik tangannya
pelan.
”Lo kenapa?” ujar Dio lirih, seperti berbisik.
Nana tertegun. Kenapa nada bicara pemuda di depannya seolah
menjelaskan dia ikut terluka?
”Pergelangan tangan lo sakit lagi?”
Pembawa sial.
Nana menggeleng cepat. ”Gue bukan pembawa sial,” ucapnya
lirih. Keringat dingin meluncur di pelipis.
Dio termangu. Ada apa dengan Nana? Dia kan tak mengatakan
bahwa gadis itu pembawa sial. Lalu kenapa? Apa emosi gadis itu
sedemikian kacaunya hingga dia meracau?
Dio tersenyum. ”Kalau lo capek, kita pulang aja yuk.”
Nana tak menggubris ucapan Dio. Dia menyandar dan kembali

62

Not Until_Teenlit.indd 62 6/3/2014 4:04:51 PM


menoleh ke samping, melihat jalanan kota yang semakin ramai.
Dia... bukan pembawa sial. Dia sungguh bisa membuktikannya.

Dio terdiam. Ucapan Nana membuat pikirannya kacau. Semakin


dekat dengan gadis itu membuatnya semakin masuk ke dunia
Nana. Dia semakin ingin melindungi Nana. Walaupun Nana terus
memblokade orang-orang di sekitarnya.
Tatapan Nana yang terlihat terluka dan ucapannya yang mengan-
dung kepedihan menyita pikiran Dio.
Dio menggeleng pelan. Tidak. Dia tidak bisa tidak ikut campur.
Bahkan mungkin hanya dia yang tahu kondisi psikis gadis itu.
”Dio!”
Dio menengok kaget.
Aga menghampirinya dari arah kanan, kemudian dengan sukses
menoyor kepala Dio. Kesal karena tahu sedang main basket tapi
Dio malah sibuk memperhatikan gadis dingin keponakan Bos Ben
yang ada di tepi lapangan.
”What’s going on? Kenapa lo suka perhatiin Nana akhir-akhir
ini? Udah bisa move on?” Aga langsung menimbuni Dio dengan
beberapa pertanyaan.
Dio merasa jengah. ”Maksud lo apa?!”
Aga terkekeh, hanya bercanda. Hanya mengetes apa yang sebe-
narnya terjadi antara dua manusia itu. Aga yakin sifat Nana yang
selalu diam dijiplak sukses oleh Dio. Dio jarang menanggapi per-
tanyaan dengan jawaban yang nadanya supernyolot kayak baru-
san.
”Just kidding. Lo nggak tahu gue lagi kesal? Gue oper bola
malah lo diam aja. Lama-lama lo mirip Nana, tahu nggak?”
Dio balas menjitak kepala Aga. ”Asal ngomong lo!”

63

Not Until_Teenlit.indd 63 6/3/2014 4:04:51 PM


”Woi... kenapa malah ngobrol lo berdua? Ayo main lagi.” Stevan
melintas di hadapan mereka. Pemuda itu terlarut dengan permain-
annya, sementara dua teman satu timnya malah tidak fokus.
Dio mendapatkan operan bola. Pemuda itu dengan santainya
men-dribble dan semua siswi yang melihat permainan itu langsung
menahan napas. Tahu dong Dio siapa? Iya, dia idola satu BIHS!
Nana yang sejak tadi asyik membaca buku manajemen bisnis
di tepi lapangan bersama Karisa malah terganggu dengan pekikan
tertahan orang-orang di sekelilingnya. Dia mengarahkan pandang-
an ke lapangan dan mendapati Dio sedang men-dribble bola de-
ngan lincah.
Well, seperti itukah pesona Dio? Nana membatin sinis. Sungguh,
sedikit pun dia tak tertarik. Daya pikat buku di depannya lebih
kuat daripada pesona Dio.
Bruuukkk!
”Auu…” ringis Nana tertahan sambil mengusap kaki kanannya
yang terkena lemparan bola.
Karisa langsung mengalihkan pandangan ke lapangan basket.
Terlihat Dio berlari menghampiri mereka. Karisa yakin bola itu
sengaja dilempar ke arahnya dan Nana. ”Sengaja banget Dio lem-
par bola ke arah lo, Na,” komentarnya.
Nana mengangkat kepala, melihat Dio yang ada di depannya.
Sebelah alis Nana terangkat, menatap Dio kesal. Tak bisakah sehari
saja pemuda itu tak mengganggu hidupnya?
”Lo sih seenaknya baca buku di dekat lapangan basket. Apa lo
nggak tahu siapa yang lagi main di lapangan?” ucap Dio jeng-
kel.
Nana menutup buku, kesal. Tidak. Dia bukan tak mau menanggapi
ucapan Dio yang mengganggunya itu. Tapi seluruh pandangan di
lapangan yang tertuju pada Nana membuat gadis itu bungkam.

64

Not Until_Teenlit.indd 64 6/3/2014 4:04:51 PM


Dio mengambil bola dari dekat kaki Nana, kemudian berbalik
setelah mengucapkan sesuatu yang membuat Karisa langsung
menutup mulut. ”Kalau gue lagi main, lo harus perhatiin gue.”
Tak ada reaksi apa-apa dari Nana setelah Dio mengucapkan
hal tersebut. Ia hanya menatap punggung Dio dan terus menatapi
pemuda itu yang langsung bermain kembali. Tentu saja dengan
pandangan kesal yang tak terkira.
Karisa melongo tak percaya. Ia menyenggol lengan Nana pelan.
”Lo sama Dio ada apa?”
Nana mengernyit. Apa maksud pertanyaan Karisa? Tak pernah
ada momen spesial yang dilaluinya bersama Dio.”Gue nggak ada
apa-apa sama dia,” terang Nana tegas, matanya masih fokus ke
lapangan, memandangi anak-anak BIHS yang semangat mempe-
rebutkan bundar oranye.
Karisa menggeleng. ”Lo jujur aja deh sama gue, Na.”
Nana melirik Karisa, tersenyum manis. ”Lo cemburu?”
Karisa terpaku saat melihat senyum tulus Nana. Tumben Nana
peduli dan responsif padaku, batin Karisa heran, namun senang.
Karisa tertawa pelan. Sama halnya dengan teman lain, dia me-
rasa ada yang aneh dalam diri Nana. Seperti luka yang ditutupinya.
Tak sadar dia memperhatikan pergelangan tangan Nana yang ada
bekas jahitan. Karisa memandang miris.
Nana menyadari ada yang aneh dengan pandangan Karisa.
Gadis itu menyenggol Karisa. ”Beneran lo cemburu?”
Karisa menggeleng. ”Kalau sama gue sih… pesona Dio nggak
terlalu ngena,” terangnya jujur. ”Lo kali yang cemburu,” lanjutnya
diiringi derai tawa.
Nana mengangkat bahu. ”Gue belum pernah cemburu karena
cowok.” Ucapan Nana mengalir begitu saja. Matanya fokus lagi
ke arah Dio yang kini tengah men-shoot bola di arena 3 poin.

65

Not Until_Teenlit.indd 65 6/3/2014 4:04:51 PM


Masuk!
Terdengar sorakan di seluruh lapangan. Permainan langsung
selesai. Nana mengangguk pelan. Berhasil terhipnotis pesona Dio
yang menunjukkan skill-nya dalam bermain basket.
Karisa masih termenung. Yang tadi diucapkan Nana benar-benar
serius nggak sih? Dia bertanya-tanya dalam hati. Apa Nana belum
pernah jatuh cinta? Kenapa bisa begitu?
”Na, lo sama Karisa nggak nyoba pergi main gitu? Shopping,
misalnya.”
Karisa kaget saat mendengar ucapan tersebut. Itu jelas-jelas
suara berat Dio. Dia menoleh. Benar saja. Dio ada di samping
Nana, minum air kemasan.
Nana menoleh sekilas ke arah Karisa, lalu berbalik memandang
Dio, menggeleng. Dia memang tak punya rencana apa-apa dengan
Karisa. Bahkan dia tak pernah memikirkan hal itu. Dan tentu saja,
itu bukan hal penting untuknya.
”Kalau gue temenin kalian jalan-jalan, gimana?”
Karisa hanya diam. Kalaupun dia mau, belum tentu Nana mau.
Dia takut menghadapi kenyataan bahwa selama ini hanya dia yang
menganggap Nana sebagai temannya. Sedangkan Nana? Bisa saja
ia tak menganggap Karisa siapa-siapa!
”Kalian maunya pergi ke mana?” berondong Dio.
Stevan datang dan mengambil tempat di sebelah Karisa.
Karisa menoleh sekilas, lalu menunjuk Dio dengan dagunya.
Stevan menatap Dio tak mengerti.
”Gue ikut, ya?” Aga bergabung dan langsung dengan polos
menyatakan keikutsertaannya.
Nana, Dio, Karisa, dan Stevan tercengang. Memangnya mereka
mau ke mana? Bukankah hanya jalan-jalan ke mal atau…
”Emang lo mesti ikut!” ujar Dio mantap.

66

Not Until_Teenlit.indd 66 6/3/2014 4:04:51 PM


Aga menatap Dio antusias. ”Ke mana?”
Dio tampak berpikir, wajahnya berubah serius. Benar juga,
sebenarnya mau ke mana mereka? Setelah berpikir beberapa detik,
sebelah alisnya terangkat, dan dia tersenyum jail. ”Nganterin lo
ke neraka.”
”Buwaahahaha…!” spontan Stevan dan Karisa terbahak-bahak.
Dio juga tertawa setelah mengatakan hal tersebut.
”Ngasal!” ucap Aga tak terima.
”Hahaha… bercanda kali. Mana mungkin juga gue mau nganterin
lo ke neraka!”
Aga nyengir, langsung memberi bogem mentah ke lengan Dio.
”Sumpah ya. Lo ngeselin banget hari ini!” Aga memandang Karisa
dan Stevan yang masih tertawa kompak.
Nana? Gadis itu hanya tersenyum tak jelas.
”Ada apa nih?” Nathan muncul. Memandang bingung pada
Karisa dan Stevan yang masih tertawa.
”Itu… si Dio mau nganter Aga ke neraka. Hahaha…” ucap Ste-
van.
Aga masih kesal. Mungkin kesalnya berlipat ganda. ”Bully aja
terusss… bully,” ucapnya lantang.
Nathan hanya tertawa mendengar itu semua.
”Gue serius nih, kita mau ke mana?” Aga bertanya.
”Pergi?” tanya Nathan tak mengerti.
Yang lain mengangguk.
Dio mengacak rambut. Kenapa semua ikut sih? Padahal ren-
cananya dia hanya bertiga dengan Nana dan Karisa.
”Weekend ini?” tanya Nathan masih tetap tak paham.
Stevan tersenyum cerah, seperti mendapatkan ilham yang tak
ternilai harganya. ”Jalan-jalan ke Kawah Putih, terus ke Bandung.
Gimana?” usulnya.

6

Not Until_Teenlit.indd 67 6/3/2014 4:04:51 PM


”Gue setuju!” ucap Aga lantang dan bersemangat.
Nana berpikir. Bandung? Tangannya terasa dingin. Ada sakit
yang mengentak-entak di hati saat dia mendengar kota tersebut.
Bandung memang kota kelahirannya. Wajahnya berubah muram.
Dia benci Bandung, ah bukan… dia hanya benci segala kemalangan
yang terjadi di kota itu yang menimpa dirinya. Dia membencinya
dan tak ingin membangunkan lagi kenangan pahit yang terkubur
dalam.
Kenangan menyakitkan yang bisa membuat Nana jatuh lemah.
Kenangan yang sepatutnya tak disenggol lagi, apalagi sengaja
dijemput.
Nana menunduk dalam, memegang erat-erat buku, kemudian
berdiri, mengagetkan semua orang. ”Gue nggak ikut,” ucapnya
dingin. Dia berjalan menjauhi teman-temannya. Dia tak mendengar
apa-apa lagi setelah itu. Bahkan dia tak mendengar seruan Aga
yang menyuruhnya kembali.
Nana tak ingin mengunjungi kota kelahirannya. Sungguh.
Karisa diam, hatinya terasa sakit. Apa Nana tak ingin berteman
dengannya?
”Keterlaluan!” Karisa melirik Dio yang emosinya memuncak
seketika.
Entah mengapa Karisa justru tersenyum. ”Mungkin… Nana
belum mau temenan sama gue.”
Dio berlari, lalu menahan tangan kanan Nana dari belakang.
Sementara itu Stevan berusaha menghibur Karisa. ”Dari pertama
kali datang, Nana memang kayak gitu kok. Gue harap lo maklum
sama sifatnya yang egois.”
Karisa melirik Stevan yang berada di sampingnya. ”Butuh waktu
lama untuk bisa masuk ke kehidupan Nana.”

6

Not Until_Teenlit.indd 68 6/3/2014 4:04:51 PM


***

Nana berhenti saat ada yang menahannya dari belakang, spontan


berbalik. Ia menarik kasar tangannya. ”Apa?” ucapnya menan-
tang.
”Ada apa sih, Na? Acara ini direncanain buat lo dan Karisa. Lo
nggak tahu gimana perasaan dia sekarang? Lo kenapa sih?”
Nana berbalik, berniat melarikan diri. Tidak, dia tak melarikan
diri, hanya menghindar. Dia tak berniat bersenang-senang.
Nana berhenti saat Dio menghalangi langkahnya.
”Lo liat Karisa sekarang? Lo liat dia! Dia sedih, Na. Selama ini
lo cuma sesekali nanggepin dia. Liat dia sekarang! Jangan ego-
is!”
Nana menatap Dio tajam. ”Kenapa lo… kalian… begitu ngurusin
hidup gue sih?” ucap gadis itu.
”Karena kita teman. Dan kami nggak mau liat lo hidup dalam
keterpurukan!” bentak Dio lantang, membuat semua orang di
lapangan basket mengalihkan pandangan ke arah mereka.
Nana mengalihkan pandangan. ”Teman?” ujarnya lemah. Seke-
tika kenangan persahabatannya dengan Livia berputar seperti film.
”Teman?” ulang Nana sekali lagi.
Pembawa sial.
Nana merasakan rintihan dalam hatinya. Hatinya sakit. Dia sakit
saat mendengar ucapan itu. Dia sakit saat tahu sahabat satu-satunya
menganggapnya sebagai pembawa sial. Dia sakit disalahkan.
”Kalau teman, nggak akan menyakiti, kan?” tanya Nana pelan,
nyaris berbisik.
Dio mundur beberapa langkah. Tertegun melihat Nana yang
seperti kehilangan kesadaran. Rupanya selain soal keluarga, Nana

6

Not Until_Teenlit.indd 69 6/3/2014 4:04:51 PM


juga rapuh soal teman. Sebanyak apa? Sebanyak apa beban yang
ditanggung gadis itu?
”Ya, teman pasti nggak akan menyakiti,” Dio mengulangi kalimat
Nana.
Nana memaksa tersenyum. ”Ya… seharusnya teman nggak akan
menyakiti,” tegasnya.
”Nana?” panggil Dio.
Nana tak mendengarnya.
”Seharusnya... seharusnya gue nggak terlibat dalam kehidupan
kalian sehingga kalian nggak perlu nganggep gue teman,” ucap
Nana, kemudian berlari meninggalkan Dio yang mematung.
Sudah dua kali. Sudah dua kali Dio membuat Nana menjadi
seperti itu.
Dio terpaku. Kenapa ucapannya seolah menyakiti Nana? Mem-
buat gadis itu seperti hilang kesadaran? Kenapa dia merasa ber-
salah pada Nana? Sekaligus merasa ingin menghiburnya?

0

Not Until_Teenlit.indd 70 6/3/2014 4:04:51 PM


5

J
AM pelajaran berakhir lima menit lalu. Karisa diam, melirik
Nana yang sedang memasukkan alat tulis ke tas, kemudian
bersiap keluar kelas. Karisa berjalan takut-takut ke arah
Nana.
”Nana, maafin gue ya.”
Dio, Nathan, Stevan, dan Aga yang masih berada di dalam kelas
langsung mengalihkan pandangan ke arah Karisa dan Nana.
Nana menatap Karisa. Ada perasaan bersalah di hatinya. Dia
tak ingin menyakiti orang lain. Entahlah, semua terasa lebih berat
jika ada orang masuk ke hidupnya. Nana melirik Dio sekilas, yang
menatapnya tak jelas.
Nana menyodorkan tangan. ”I’m sorry,” ucapnya tegas dengan
aksen Inggris kental.
Karisa memeluk Nana. Nana membalas pelukannya hangat.

1

Not Until_Teenlit.indd 71 6/3/2014 4:04:51 PM


Haruskah? Haruskah dia menerima Karisa sebagai temannya? Atau
dia minta saja Karisa menjauh agar tak terluka.
Karisa melepas pelukannya, kemudian tersenyum senang. ”Kita
bener-bener teman kan, Na?”
Nana mengangguk. ”Sorry for ignoring you.”
Aga dan Stevan sontak saling pandang, kemudian mengembuskan
napas lega. Mereka ikut tersenyum melihat kedua gadis itu. Begitu
juga Nathan.
Mereka berjalan menuju pintu kelas, meninggalkan Dio yang
masih mengemasi barang-barang.
”Sa, lo mau pulang bareng gue?” tawar Stevan.
Karisa hanya mengangguk, mengikuti langkah Stevan, Aga, dan
Nathan.
”Gue duluan ya, Na.”
Nana mengangguk, melambai pada Karisa. Setelah itu ia meng-
edarkan pandangan ke seluruh kelas. Hanya tertinggal dia dan Dio.
Dan sepertinya dia harus segera melarikan diri dari pemuda itu.
Saat Nana berada di pintu, suara Dio terdengar menggelegar
di telinganya. Begitu menusuk sehingga dia berhenti.
”Akting lo bagus!” ucap Dio seolah memuji. Ia tahu apa yang
dilakukan Nana tadi tak benar-benar tulus dari hatinya.

Nana duduk menempelkan punggung ke sandaran kursi. Dia


berhadapan dengan Dio, yang terlihat begitu garang. Ia memilih
diam, tahu Dio marah kepadanya.
Memangnya Nana harus berbuat apa sih? Apa dia harus memo-
hon agar Dio tidak marah kepadanya? Eh, apa? Apa otaknya mulai
gila?

2

Not Until_Teenlit.indd 72 6/3/2014 4:04:51 PM


”Kalau bersikap kayak gitu terus, lo bisa menyakiti orang lain!”
Nana tersenyum saat pelayan kafe mengantar latte. Ia menghirup
aroma latte, merasa puas, lalu meminumnya perlahan.
Nana menatap Dio dari balik cangkir. Setelah isinya tinggal
separuh, ia meletakkan cangkir itu di tatakannya.
”Kalau sekadar mengakui dia sebagai teman tapi nggak mem-
perlakukan sebagai teman, lo sama aja menyakitinya.”
Bungkamnya Nana membuat Dio ragu apakah gadis itu menyi-
mak ucapannya atau tidak.
Nana membuang pandangan ke luar kafe. Hujan turun deras.
Ia menarik napas panjang, seolah mengisi dadanya dengan udara
bersih yang dibawa hujan yang selalu turun beberapa sore itu.
”Lo denger gue nggak sih?”
Nana berpaling, kembali menatap Dio yang duduk tenang di
depannya. Begitu tenangnya wajah tampan Dio hingga seolah tak
terjadi apa-apa di antara mereka.
”Sejak kapan sih lo sok sibuk ngurusin gue?” cecar Nana tajam,
jengah dengan kehadiran Dio yang mengganggu.
Memang aneh, Nana tak mampu menolak kehadiran Dio setelah
dia melakukan percobaan bunuh diri. Dio terlihat menempel di
sampingnya. Seharusnya Nana mengusir atau berbuat sesuatu
yang membuat Dio menjauh. Namun sejujurnya, dia menikmatinya,
entah kenapa.
”Egois,” ucap Dio penuh penekanan.
”This is me,” jawab Nana cepat. Kemudian diam.
Dio menghela napas berat. Ada tekanan di dalam dirinya saat
bersama gadis itu, sekaligus ada sesuatu yang menyuruhnya agar
dia menemani Nana. Aneh. Dua perasaan bertentangan yang mun-
cul bersamaan. ”Apa nggak ada celah buat gue masuk ke kehi-
dupan lo?”

3

Not Until_Teenlit.indd 73 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana yang sedang memainkan ponsel langsung mengangkat
wajah, menatap Dio. Ada kesungguhan di dalam kata-katanya.
Apa yang membuat Dio ingin masuk ke hidupnya?
”Gue tahu ini bodoh. Gue yakin lo nggak akan membiarkan
siapa pun mencampuri urusan lo. Tapi apa lo tahu rasanya melihat
orang yang menatap dengan sorot terluka? Apa lo tahu rasanya
saat kata-kata lo ternyata membuat orang lain terpuruk hingga
nekat mencelakai dirinya sendiri?”
Yang terdengar hanya musik kafe.
”Gue pengin ngelindungin lo, Na. Ngelindungin lo dari beban
berat yang lo tanggung. Yang sampai sekarang gue nggak tahu
apa itu.”
Tubuh Nana terasa memanas. Ada kesungguhan di mata Dio.
Bahkan ada kejujuran yang terpancar.
Nana menunduk, tak bisa menjawab. Badannya terasa panas-
dingin dan sepertinya itu bukan waktu yang tepat untuk memba-
lasnya dengan kata-kata pedas.

Nana bangun pagi-pagi sekali. Tadi malam dia memutuskan untuk


ikut acara jalan-jalan ramai-ramai. Alasan keempat cowok itu:
untuk mengakrabkan Nana dan Karisa. Padahal Nana tahu, mereka
hanya cari alasan agar dia ikut. Karisa jelas ikut. Dan telah dipasti-
kan setelah menjemput Nana, mereka akan menjemput Karisa di
rumahnya.
Nana mengembuskan napas. Bandung tak sesempit BIHS, kan,
yang bisa setiap saat bertemu kenalannya?
Sedikit lewat jam tujuh pagi terlihat Freed Dio yang berkapasitas
enam orang terparkir mulus di depan rumah Nana.

4

Not Until_Teenlit.indd 74 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana bersiap keluar saat Oom Ben menahannya dengan berkata,
”Nggak apa-apa kamu pergi ke Bandung?”
Oom Ben memutuskan pindah ke rumah Nana. Ada beberapa
hal yang harus diurusnya dengan Nana, sekaligus menjaga agar
keponakannya itu tak berbuat hal yang tak semestinya lagi. Ke-
jadian tempo hari cukup membuatnya syok.
Nana mengangguk pelan. Rasanya tidak akan apa-apa, dia
mencoba meyakinkan diri. ”No problem, Oom,” jawabnya singkat.
Ia melihat Dio menunggunya di pagar. Nana menghampiri pemuda
itu cepat, kemudian keduanya masuk ke mobil.
Dari dalam rumah, Ben memperhatikan, ada yang berbeda de-
ngan kedua remaja itu. Mereka terlihat… cocok satu sama lain. Ia
menarik napas panjang. Apakah kehadiran Dio bisa pelan-pelan
menghapus yang luka di dalam diri Nana? Tapi bagaimana jika
justru Nana dilukai Dio?
Ben memijit dahi. Oh, memikirkan semua itu membuatnya pu-
sing.

Nana tersenyum miring ketika Dio mengacak pelan rambutnya.


Mereka dalam perjalanan ke rumah Aga, setelah itu ke rumah
Stevan dan Nathan, dan yang terakhir ke rumah Karisa yang ja-
raknya paling jauh.
”Lo pernah ke Kawah Putih?” tanya Dio, memecah kehening-
an.
Nana mengangguk. Memorinya mengabur. Saat itu dia kelas
lima SD dan mengunjungi Kawah Putih untuk penelitian tentang…
ah… Nana tak ingat. Sudah lama sekali.
”Oh… sama.”
Nana mengangkat alis. Kenapa sepertinya Dio kehabisan topik

5

Not Until_Teenlit.indd 75 6/3/2014 4:04:51 PM


untuk dibicarakan dengannya? Dan kenapa tiba-tiba Nana merasa
terganggu saat Dio diam? Nana mengatur posisi duduk. Kenapa
jalanan menuju rumah Aga begitu banyak lampu merah?
Nana memainkan ujung baju kaus. Baru pertama kali dia merasa
secanggung itu. Dia melirik Dio sesekali. Cowok itu fokus melihat
jalanan. Nana menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya
pelan-pelan.
Nana mengalihkan pandangan dari Dio.
”Na, ke Holland Bakery dulu ya. Gue belum sarapan nih,” ujar
Dio, menoleh ke arah Nana, kemudian menatap jalanan.
Nana mengangguk cepat. Menurut saja. Lagi pula, dia menikmati
kebersamaannya dengan Dio. Eh, jangan bilang Nana mulai mem-
buka hati untuk Dio ya.
Lamunan Nana terhenti saat dering ponsel berbunyi.
Oma. Ia buru-buru menjawab.
Mobil Dio terparkir rapi di Holland Bakery. Nana mengikuti
langkah Dio yang keluar dari mobil sambil terus berbicara di
ponsel.
Di dalam toko roti Nana memilih berdiri di pojok, menyimak
ucapan Oma sambil melihat Dio yang sedang memilih roti. Ia
menahan napas saat menanyakan kondisi ibundanya kepada Oma.
Bagaimana Mama? Kenapa Mama belum juga sadar dari komanya?
Sudah bulan keberapa ini?
Ucapan Oma membuat kebahagiaan Nana membuncah. Ia
mengepal, menahan kuat-kuat agar tak berteriak.
”Nana, tadi pihak rumah sakit menelpon. Ada tanda-tanda
ibumu sadar, Na. Kemarin jari-jari Mama bergerak-gerak.”
Nana tak bisa membendung air mata saat Oma mengatakan
itu. Mamanya akan sadar dari tidur panjangnya. Apakah Nana
masih bisa mendapatkan kasih sayang ibu setelah itu? Hatinya

6

Not Until_Teenlit.indd 76 6/3/2014 4:04:51 PM


bertanya-tanya. Dia bahagia mendengar kabar yang disampaikan
Oma.
Penantiannya selama hampir setengah tahun akan terjawab.
Selama itukah dia menjalani kehidupan barunya? Selama itukah
dia menantikan mamanya kembali?
Dio yang baru keluar dari Holland Bakery memandang Nana
yang terlihat aneh. Tubuhnya menegang saat melihat Nana tak
bergerak. Ada apa lagi dengan Nana?
Dio berlari, menghampiri Nana yang sekarang berdiri kaku di
dekat mobilnya. Memastikan tak ada yang salah dengan keadaan
gadis tersebut.
Oh, ayolah… hari ini waktunya bersenang-senang. Jangan ada
lagi yang mengganggu pikiran Nana, pinta Dio dalam hati.
”Na,” panggil Dio pelan.
Tak ada jawaban.
Namun saat Dio menepuk bahu Nana pelan, gadis itu berbalik,
tersenyum lebar, dan… seluruh kesadaran Dio terbang. Kantong
plastik Holland Bakery jatuh seketika karena Nana memeluknya
erat.
Jantung Dio berdebar keras. Oke, baiklah. Dia hanya kaget dan…
bayangan wajah Nana yang tersenyum lebar mengisi pikirannya.
”Mama, Yo, Mama bisa gerakin tangannya,” ucap Nana setengah
menjerit. Ia benar-benar terlihat bahagia. Mata gadis itu berkaca-
kaca, tapi penuh cahaya kehidupan. Mata itu tak lagi menyimpan
duka.
Nana menyadari ada sesuatu di kakinya. Ia melepaskan pelukan,
kemudian menunduk. Ya ampun! Kantong plastik roti yang baru
dibeli Dio. Buru-buru ia mengambilnya.
Dio terdiam. Kemampuannya berbicara lenyap. Ia menatap Nana
sambil bertanya-tanya soal perasaannya yang tak keruan itu.



Not Until_Teenlit.indd 77 6/3/2014 4:04:51 PM


Ketika Nana memeluknya tadi, ada semburan rasa senang yang
tak bisa ditahannya. Perutnya seperti melepaskan ribuan kupu-
kupu. Hatinya membuncah riang. Dio terus menatap wajah Nana
yang gembira.
Itu pertama kalinya Dio melihat Nana bahagia.

”Lho? Kalian udah ngumpul aja di sini?” Dio terkaget saat melihat
Aga, Nathan, Stevan, dan Karisa berada di teras rumah Aga. Me-
reka berempat sepertinya siap pergi.
Aga berdecak pelan. ”Lo lama banget, tahu nggak?”
Dio mengacak rambut, kemudian tersenyum lebar. ”Tadi gue
makan dulu di jalan. Sorry…” Dio memandang Karisa. ”Eh… lo kok
bisa tahu rumah Aga, Sa?”
Nana yang ada di belakang Dio hanya diam melihat teman-te-
man yang kesal dengan keterlambatan mereka.
Dio melirik Nana sekilas, sepertinya sikap gadis itu kembali se-
perti semula. Tidak apalah, daripada membuatku kesulitan berna-
pas, pikir Dio. Bayangan Nana tersenyum lebar melintas di ke-
palanya.
Karisa tertawa mendengar pertanyaan Dio. ”Gue dijemput Ste-
van. Kenapa emang?” tanyanya balik.
Dio memandang Stevan penuh tanda tanya. ”Kalian lagi nge-
date, ya?” tanyanya, membuat Stevan dan Karisa saling pandang
dan kemudian menatap Dio dengan pandangan tak mengerti.
”Lho? Lo lagi curhat ya? Bukannya yang lagi pendekatan itu lo
sama Nana?” balas Stevan sok tenang.
Darah Nana berdesir saat mendengar namanya disebut Ste-
van.
Dio langsung melirik ke belakang, tapi Nana malah mengalihkan



Not Until_Teenlit.indd 78 6/3/2014 4:04:51 PM


pandangannya ke taman bunga di bagian depan rumah Aga,
pura-pura tidak peduli.
Stevan terkekeh pelan saat melihat Dio salah tingkah. Dia paling
mengenal Dio dan tahu apa yang terjadi di antara kedua temannya
itu.
”Deket bukan berarti lagi pendekatan,” sanggah Dio cepat.
Stevan berdecak ringan. ”Terserah lo deh mau jelasinnya gima-
na.”

Perjalanan menuju Kawah Putih termasuk panjang. Nana dan


Karisa kelelahan hingga tertidur. Aga asik bermain PSP, sedangkan
Nathan memejamkan mata sambil mendengarkan musik.
”Bensin lo mepet nih. Nanti setelah Pertamina depan, gue aja
yang nyetir,” tawar Stevan yang duduk di sebelah bangku kemu-
di.
Dio hanya manggut-manggut. Menjadi sopir perjalanan ini dan
suasana mobil yang sepi lantaran tidak ada yang berani mengobrol
karena trauma pada kesan pertama Nana yang bilang dengan
juteknya ”boleh gue minta ketenangan” membuat Dio mengantuk.
Dia suka mengobrol saat melakukan perjalanan. Namun saat dia
membuka mulut beberapa jam lalu, Aga dengan polos mengi-
riminya pesan singkat:

Jangan ribut. Nana suka ketenangan.

Sekarang, selagi Nana tidur, Dio meminta Stevan menjelaskan


apa yang sebenarnya terjadi saat mereka menjemput Nana di
bandara beberapa bulan lalu. Stevan menceritakan dari awal



Not Until_Teenlit.indd 79 6/3/2014 4:04:51 PM


sampai akhir dengan ekspresi yang… bisa membuat orang terba-
hak. Tentu saja tawa Dio disetel pada volume kecil.
Karisa terbangun karena mencium bau bensin. Gadis itu mem-
buka mata lebar-lebar. Dia menengok ke belakang, melihat Nathan
dan Aga asyik dengan aktivitasnya masing-masing.
”Lo udah bangun, Sa?” sapa Stevan.
Karisa hanya mengangguk, kemudian memandang Stevan ragu.
”Gue pengin ke toilet bentar ya, Van. Tungguin gue.”
Tentu saja Karisa pasti ditunggui. Mana mungkin mereka melan-
jutkan perjalanan tanpa Karisa. Kalaupun mereka akan pergi tanpa
Karisa, Stevan-lah yang pertama kali protes. Ups, Stevan tertegun,
sadar akan sesuatu. Mmm…
Ide melintas di otak Stevan. Ia tersenyum saat melihat Karisa
berjalan mendekati mereka. ”Lo nggak ngantuk, Yo? Masih dua
jam lagi lho sampainya. Lo duduk di tengah aja deh sama Nana,
biar Karisa nemenin gue di depan.”
Dio memang lelah dan mengantuk. Dengan cepat dia membuka
pintu, turun, lalu membuka pintu tengah, duduk di samping Nana,
langsung menyandar dan memejamkan mata.
Ketika kembali Karisa tertegun karena kursinya diduduki Dio. Ia
menatap Stevan dengan bingung. Stevan terkekeh pelan dan
membukakan pintu depan untuknya.
Sebenarnya… ada apa sih? Karisa bertanya-tanya dalam hati.

Nathan dan Aga yang duduk di paling belakang masih terus


menahan cekikikan. Mereka berusaha tidak membangunkan dua
teman mereka di depan.
Stevan yang mengendarai mobil ingin menyemburkan tawa.
”Ntar kalau Nana marah gimana?” Karisa menyesali perbuatannya.

0

Not Until_Teenlit.indd 80 6/3/2014 4:04:51 PM


Dipegangnya hasil foto kamera Polaroid yang dibawa Stevan,
mengibas-ngibasnya ke arah belakang.
Stevan menggeleng. ”Yaela, Sa, kita kan nggak akan nunjukin
ke Nana. Kita cuma mau ngeliatin ke Dio. Hahaha…” Stevan kele-
pasan tertawa keras.
Dan ternyata sukses membangunkan Nana. Gadis itu merasa
kepalanya berat. Oh! Apakah dia tidur sebegitu lamanya hingga
membuat kepalanya...
Apa? Nana langsung menoleh ke samping.
Sejak kapan dia tidur di bahu Dio dan Dio menumpukan ke-
palanya di kepala Nana?
”Baru bangun, Na?” ujar Stevan menahan tawa, melirik Nana
dari kaca spion.
”Hahaha…” Aga dan Nathan tak tahan lagi. Tawa mereka meledak
seketika dan sukses membuat Nana menunduk, menahan malu.
Baiklah, itu pertama kali Nana benar-benar malu. Tadi seingatnya
yang duduk di sebelahnya adalah Karisa. Dan? Ah… kenapa Karisa
berada di depan?
Nana menyikut Dio pelan. ”Dio… kepala lo berat banget sih.”
Dia menyikut Dio hingga membuat cowok itu menggerakkan
kepala.
”Nggak bakal bangun kali, Na. Dio kan kebo,” komentar Nathan
sambil terkikik dari belakang.
Nana menggeser duduknya pelan, memberi ruang di antar
dirinya dan Dio.
Nathan dan Aga masih memperhatikan dari belakang.
Nana menghela napas, kemudian memfokuskan mata ke arah
tulisan ”Kawah Putih” yang terpampang besar-besar di depan
sana.
***

1

Not Until_Teenlit.indd 81 6/3/2014 4:04:51 PM


”Sampai jugaaaaaa...” Karisa berteriak sambil merentangkan le-
ngan.
Nana berdiri di samping Karisa. Dia menutup mata, kemudian
menghirup napas dalam-dalam, menikmati udara segar. Tempat
wisata itu tidak jauh berubah rupanya.
Udara siang itu begitu cerah. Memang paling indah datang ke
Kawah Putih saat hari cerah. Tak ada kabut. Keenam remaja itu
menyusuri tangga untuk mencapai Kawah Putih. Nana beberapa
kali menghirup napas dan terus mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
”Kalau udah sampai di bawah, jangan dalam-dalam hirup napas-
nya. Yang ada ntar lo malah hirup belerang.”
Nana menoleh ke samping. Dio berjalan beriringan. Nana meng-
alihkan pandangan ke depan, terlihat Aga, Karisa, Stevan, dan
Nathan berjalan jauh di depan. Ia menggeleng pelan. Sepertinya
mereka sengaja membuat Nana terus-terusan bersama Dio.
”Dio… Nana… sini kami foto,” ujar Karisa melambai-lambai dari
atas.
Nana mengangguk, mempercepat jalannya.
Klik.
Nathan segera mengambil SLR dan melihat hasilnya. Foto yang
dapat menjelaskan segalanya. Stevan dan Aga menghampiri
Nathan, ikut melihat hasil foto tersebut. Di foto terlihat betapa
Nana tersenyum lebar. Gadis itu benar-benar cantik.
”Ini… mata gue nggak salah, kan?” ucap Aga sambil mengucek-
ngucek mata.
”Gilaa… gue baru sadar pesona Dio segitu parahnya,” kagum
Stevan.
Nathan dan Aga spontan tertawa.

2

Not Until_Teenlit.indd 82 6/3/2014 4:04:51 PM


Dio yang menyadari keusilan teman-temannya bergegas meng-
hampiri mereka.
Nathan segera mengambil posisi. ”Mmm, Karisa, Nana, latarnya
bagus, kalian nggak mau foto berdua?”
Satu foto lagi. Dan kali itu Nana hanya tersenyum manis.
Aga menyenggol lengan Dio dengan sikunya. ”Na… kita foto
berdua yuk,” ujarnya bersiap lari menuju Karisa dan Nana.
Dio melotot ke arah Aga. Apa maksudnya? Dia langsung me-
natap Nana dengan pandangan ”Jangan-mau-Na”. Nana yang tak
bisa mengartikan tatapan Dio, malah mengangguk.
”Ah, sial, gue kecolongan,” rutuk Dio sambil mengacak ram-
but.
Stevan yang mendengar itu nyengir. ”Tinggal foto lagi aja kali,
Yo. Ribet banget sih hidup lo.”
Dio mengernyit. Sejak bangun tadi, dia mencium sesuatu yang
tak beres di antara teman-temannya. Mereka kompak melirik-lirik
Dio, kemudian tertawa, seolah menggoda. Dio melihat sesuatu
menyembul di kantong belakang celana Nathan.
Dengan cepat Dio mengambil kertas itu. Ternganga. Astaga!
Itu kan fotonya bersama Nana saat di mobil dan dengan posisi
kepala mereka saling menumpu.
Stevan yang berada di belakang Dio langsung tertawa melihat
Dio menatap fotonya lekat-lekat. Saat sadar Nana menatap aneh
ke arah mereka, Stevan menahan tawa.
Wajah Dio berubah menjadi merah padam dan masam.

Mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam di Kawah Putih.


Setelah puas menikmati keindahan alam yang unik dan segar itu,
enam remaja tadi melanjutkan perjalanan ke Bandung.

3

Not Until_Teenlit.indd 83 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana memasuki kota kelahirannya dengan nanar. Bandung
punya sejuta kenangan untuknya, sejuta kebahagiaan, sejuta kepa-
hitan.
Nana begitu hafal jalanan yang dia lalui saat itu. Dia tak akan
bisa melupakan, di kota itu… semuanya terbentuk.
Saking dingin dan lapar, mereka memutuskan makan di restoran
siap saji. Nana pernah mengunjungi restoran pilihan teman-
temannya itu. Tanpa ada yang menyuruh, Nana langsung berjalan
menuju tempat duduk kosong favoritnya. Dia bersama Livia sering
ke situ dulu. Dan selalu duduk di tempat itu. Nana menutup mata
saat duduk di meja bernomor 12. Kenangan muncul tanpa diun-
dang.
”Kenapa milih duduknya jauh amat sih?” Sehabis bertanya begitu
Dio terpana menatap pemandangan di luar restoran. Jalanan dan
lampu-lampu kendaraan bermotor membuat tempat duduk itu
terasa strategis karena semua terlihat memesona. Juga deretan
rumah penduduk yang memancarkan cahaya. Tentu saja semuanya
terlihat jelas mengingat lokasi restoran tersebut lebih tinggi dari-
pada jalan raya. ”Pilihan lo oke juga, Na.”
Nana melempar pandangan ”makanya-jangan-protes-dulu”
pada Dio.
Aga berdecak kagum. ”Gue pernah sih ke sini, tapi nggak tahu
ada tempat duduk sestrategis ini,” komentarnya sambil mengambil
tempat di depan Nana.
Nana mengangkat alis. ”Lo pernah tinggal di sini?” tanyanya.
”Lho? Emangnya lo nggak tahu?” Aga balas bertanya.
Nana menggeleng.
”Gue SMP di sini, Na,” ucap Aga seraya membuka buku me-
nu.
Sedangkan Nana hanya manggut-manggut. ”Gue ke toilet dulu

4

Not Until_Teenlit.indd 84 6/3/2014 4:04:51 PM


ya.” Ia beranjak, berjalan santai menuju toilet. Benar, semua yang
dia lalui di situ memberi kenangan tersendiri. Mana mungkin dia
tak tahu tempat duduk strategis kesukaan saudara tirinya dulu?
Nana menghela napas. Berusaha mengusir kenangan yang tak
ingin diingatnya.
”Eh, lo liat-liat dong kalau jalan. Baju gue jadi ketumpahan
nih.”
Nana menghentikan langkah saat mendengar pertengkaran
kecil di depannya. Rasanya ia mengenal suara tadi. Ia mengangkat
kepala dengan cepat dan memandang punggung orang yang
memarahi pelayan restoran itu.
Orang tersebut berbalik dan spontan membelalak.
Nana yang tak kalah kaget menantang mata tersebut dingin.
”Nana.”
”Livia.”
Dua saudara tiri kembali bertemu.

5

Not Until_Teenlit.indd 85 6/3/2014 4:04:51 PM


6

N
ANA masih memilih bungkam. Bahkan hingga bebe-
rapa hari berlalu sejak pertemuan singkatnya dengan
Livia, dia masih memilih tak banyak bicara. Pikirannya
meracau tidak jelas sejak pertemuan itu, terbagi-bagi,
dan dia tak bisa mengatasinya satu per satu. Ya, ia membenci
pertemuan singkat itu. Dia membencinya hingga benar-benar kesal
saat memikirkannya.
Sungguh, Nana merasa sedang mempertaruhkan harga diri-
nya.
Dia membenci Livia yang menghancurkan kepercayaannya.
Menyakitkan.
”Kenapa lo belum makan?”
Nana menoleh ke kanan, terlihat Dio melahap burger isi keju
dan mayones dengan daging sapi panggang.

6

Not Until_Teenlit.indd 86 6/3/2014 4:04:51 PM


Lagi-lagi Nana menghela napas.
”Wajah lo mendung lagi. Mirip langit musim dingin,” tutur Dio
di sela-sela makan.
Nana menautkan kedua alis, tak mengerti.
Dio dengan santai menyeruput jus jeruk, melirik Nana yang masih
terpaku. ”Walaupun ada matahari, hawanya masih dingin.”
Nana berdecak. ”Gue nggak ngerti.”
Dio tersenyum. ”Cuma pencinta langit kayak gue yang nger-
ti.”
Nana diam. Mereka hanya makan berdua. Iya, akhir-akhir itu
mereka merasa dikucilkan Aga, Nathan, Stevan, dan Karisa. Entah
apa tujuan sikap teman-teman mereka itu. Nana tidak mengerti.
Sejatinya apa yang Nana alami bukanlah apa yang dia prediksi.
Dia sedikit kewalahan, benar. Ditambah lagi dengan perasaan baru,
ah perasaan yang baru muncul dari hatinya pada pemuda di
sampingnya itu.
Nana tak ingin menyimpulkan lebih awal. Dia tak mengerti
kondisi badannya yang aneh saat bersentuhan dengan Dio. Oh,
tidak. Itu bukan semacam genggaman atau pelukan. Kadang kala,
saat Nana berjalan, kulitnya dan kulit Dio tak sengaja bersentuhan.
Dan itu memberikan efek khusus pada dirinya.
Nana menggeleng. Tujuannya datang ke Jakarta bukanlah untuk
mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Dia harus
secepatnya belajar secara otodidak mengenai perusahan dan bis-
nis. Setelah itu dia akan melancarkan rencananya untuk.... Ah, se-
pertinya dia harus belajar lebih jahat sedikit lagi. Agar nanti saat
tiba waktunya, dia tak kewalahan.
Nana harus mematikan perasaan bersalah.
Nana mengangkat alis saat melihat Deva berlari terburu-buru
ke arah mereka. Bahkan belum sempat mengatur napas, Deva



Not Until_Teenlit.indd 87 6/3/2014 4:04:51 PM


berkata tersengal-sengal, ”Yo, A-Acha jatuh pas main basket, di
ruang kesehatan sekarang.”
Seketika burger di mulut Dio langsung tertelan, membuat pemu-
da itu tersedak, dan mencari air.
Nana langsung menyodorkan air kemasan yang memang ada
di sebelah kirinya. Ia tertegun. Acha? Jatuh?
”Serius lo?!” teriak Dio, berdiri seketika, membuat Nana menge-
jang karena kaget.
Deva hanya mengangguk, lalu berbalik arah, sangat khawatir,
diiringi langkah Dio yang ikut meninggalkan kantin.
Diam-diam Nana menatap punggung Dio yang menjauh. Ada
yang mengentak di hatinya. Saat nama Acha disebut, Nana merasa
dirinya langsung dilupakan Dio.
Ah, itu bukan cemburu, tapi sakit hati. Nana menggeleng. Dia
tak harus sakit hati, kan?
Memangnya kenapa kalau Dio menganggap Acha yang sedang
luka sebagai prioritasnya?
Tak ada yang salah, kan?
Tapi kenapa Nana ingin menangis?

Aga mematikan lagu yang diputar melalui headset saat melihat


Nana berjalan murung. Aga bukan orang yang mengerti emosi.
Tapi untuk orang seperti Nana, perubahan signifikan itu terlalu
tampak, sehingga mudah dimengerti siapa pun.
Nana bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaan.
Walaupun cenderung tak menanggapi, Aga yakin Nana tak pandai
berbohong. Saat ke Kawah Putih beberapa hari lalu, walaupun
tanpa emosi suka, raut wajah Nana begitu cerah. Menggambarkan
dia bahagia. Saat dulu Dio membentak Nana, raut wajah gadis itu



Not Until_Teenlit.indd 88 6/3/2014 4:04:51 PM


berubah mendung. Begitu mendungnya, namun ia tak menyangka
gadis itu nekat melakukan percobaan bunuh diri.
Apakah Nana sedih sekarang? Aga bertanya-tanya. Saking
sibuknya memikirkan Nana, dia tak sadar gadis yang dipikirkannya
itu hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Nana menatap Aga dengan aneh, seolah Aga spesies yang baru
ditemukan. Gadis itu terlihat bingung, bukan karena tersedot
ketampanan Aga. Pikirannya memang kacau sejak tadi.
”Mendung ya?”
Nana spontan menengadah, melihat langit. Dia mengernyit saat
mendapati langit cerah-cerah saja.
Tanggapan Nana membuat Aga spontan tertawa. ”Bukan langit-
nya, tapi lo.” Ucapan itu membuat Nana menatapnya tak mengerti.
Aga berdiri di samping Na”na, tertawa lebih keras, seolah baru
saja menemukan kebahagiaan. ”Lo lagi mendung banget ya? Ke-
liatan banget awan-awan hitam menyelimuti wajah lo.”
Nana menggeleng, tak berniat menanggapi ucapan Aga. Ia tak
ingin perasaannya yang tak keruan malah semakin membuat
runyam keadaan.
”Beda banget warna wajah lo dengan saat kita pergi ke Kawah
Putih.”
Nana berjalan pelan. Terserah saja Aga mau komentar apa, dia
tak ingin menjawabnya. Lagi pula, ia tak mengerti hal yang Aga
bicarakan. Mungkin tepatnya: Nana tak mau mengerti.
Aga menyusul Nana. ”Lo mirip banget sama langit saat musim
dingin deh, Na.”
Nana menoleh. Ucapan Aga membuatnya teringat sesuatu.
Membangkitkan sesuatu yang berusaha dia kubur dalam sudut
pikirannya.



Not Until_Teenlit.indd 89 6/3/2014 4:04:51 PM


”Wajah lo datar dan sering mendung. Tapi saat wajah lo cerah,
entah kenapa, membuat orang-orang di sekeliling lo bahagia.”
Nana hanya diam. Musim dingin ya? Seketika wajah Dio me-
ngambang dalam pikirannya, membuat hatinya berdesir. Tadi
pemuda itu juga mengumpamakan dia dengan musim dingin.
Aga dan Nana menyusuri jalan menuju kelas dalam diam.
Setelah mengeluarkan terlalu banyak komentar, Aga memilih
diam.
Tanpa mereka sadari, Dio berjalan di belakang mereka, bersama
dengan pikiran kacau yang dibawanya dari UKS. Tadi saat Dio
masuk, wajah Acha masih pucat dan terlihat menahan sakit.
Tubuhnya lemas. Tentu saja Dio panik. Bagaimana mungkin tidak
khawatir saat terjadi sesuatu pada orang yang dia sayangi? Dio
tersadar dari lamunannya saat suara lembut Nana memenuhi
gendang telinganya.
”Aga,” panggil Nana, terdengar Dio, ”Mendung nggak berarti
mau hujan, kan?”
Aga hanya mengangguk.
”Begitu juga manusia. Kalau wajahnya muram, belum tentu dia
lagi sedih. Dan... sejujurnya gue nggak terlalu suka langit musim
dingin.”
Aga tertegun mendengar penuturan gadis dingin itu.
Nana masuk ke kelas duluan, meninggalkan dua pemuda yang
terdiam karena kata-katanya.
Dio mengangkat alis, posisinya masih di belakang Aga. Satu
pertanyaan mengusik pikirannya, menyingkirkan segala kekhawatir-
an yang berkecamuk dalam dirinya: Sejak kapan Nana dan Aga
dekat?

***

0

Not Until_Teenlit.indd 90 6/3/2014 4:04:51 PM


Nana memandang Dio tidak suka. Sehabis ditinggal di kantin
begitu saja, entah kenapa dia ingin marah-marah pada cowok
itu. Tak peduli Dio mengerti atau tidak. Dia hanya ingin menun-
jukkan bahwa dirinya kesal, dan sebaiknya mereka tak bertemu
dulu.
Kesal? Kesal yang tak beralasan!
Selesai pelajaran Dio menghampiri Nana. Membuat Nana kaget,
namun memilih membuang wajah ke arah lain.
”Lo marah sama gue?” tanya Dio to the point. Membuat anak-
anak di kelas mengalihkan pandangan ke arah mereka, merasa
terhipnotis dengan suara lantang Dio.
Nana tetap membuang muka. Sebisa mungkin dia menutup
telinga rapat-rapat agar tak mendengar penuturan Dio selanjutnya.
Dia tak tahu kenapa dia kesal. Saat melihat wajah Dio, darahnya
langsung naik ke puncak kepala.
”Ya udah, kalau lo nggak mau ngomong sama gue lagi. Gue ke
UKS liat keadaan Acha dulu.”
Ucapan Dio membuat Nana berdiri sambil menyandang tas.
”Bukan urusan gue!” balas gadis itu sengit sambil berjalan menuju
pintu kelas.
Aga, Stevan, dan Nathan langsung menghampiri Dio yang masih
terpana akan perubahan sikap Nana beberapa jam itu.
”Lagi PMS kali,” bela Aga berusaha netral. Tangan Aga berada
di bahu Dio.
Mendengar suara lantang Aga dari belakangnya membuat Dio
kehilangan kendali. ”Ah, berisik!” Ia berjalan ke luar kelas dengan
kaki yang sengaja dientak-entakkan.
Aga termenung. Kenapa hari ini semua orang hobinya marah-
marah? ”Gue nggak tahu hari ini Hari Marah Sedunia,” ucap Aga
menggeleng-geleng tak paham.

1

Not Until_Teenlit.indd 91 6/3/2014 4:04:51 PM


Nathan dan Stevan menjitak kepala Aga pelan. ”Berisik!” ucap
keduanya bersamaan, menirukan gaya ucapan Dio tadi.

Dio mendorong pintu UKS dengan sedikit kasar. Bunyi decitan


keras membuat orang di dalam ruangan tersebut langsung me-
noleh ke arahnya karena kaget. Baru saja masuk selangkah, pe-
muda itu membulatkan mata tatkala pandangannya tertancap
pada mata pelangi itu.
Ah, mata pelangi?
Dio tak tahu sejak kapan dia mulai menyebutnya mata pelangi.
Hari itu, ya… saat mereka berlibur bersama, Dio melihat jelas di
mata Nana ada pelangi. Warna-warni itu terpancar indah saat
gadis itu bahagia.
Sayangnya mata itu kembali tertutup mendung. Dio merasa pan-
dangan Nana seperti hujan. Badai bahkan. Dingin dan mengerikan.
Nana mengalihkan pandangan ke arah Dio, melirik Acha seben-
tar, kemudian mundur beberapa langkah. Nana membungkuk
cepat, lalu segera meninggalkan dua orang tersebut tanpa meman-
dang keduanya.
Dio berpikir, apa yang dua gadis tak saling mengenal itu
bicarakan?
Saat Dio melangkah ke dalam, Acha menyambutnya dengan
senyuman manis. Senyum yang dulu membuat Dio bahagia, tapi
sekarang kebal rasa, tak merasakan apa-apa lagi. Senyum yang
dulu membuatnya rindu berlarut-larut, sekarang tak berarti lagi.
Semua berubah begitu cepat hingga tak menyisakan bekas.
Sampai-sampai Dio sendiri tak menyadari bahwa perubahan itu
begitu besar.
Dio mengusap tangan Acha, tersenyum membalas senyuman

2

Not Until_Teenlit.indd 92 6/3/2014 4:04:51 PM


gadis itu. Yang Dio tidak tahu, senyumnya masih bisa menggerakkan
partikel-partikel hati Acha untuk bergerak lebih cepat. Senyumnya
masih menawarkan kebahagiaan tersendiri bagi yang menikmati,
walaupun yang terjadi pada diri Dio justru sebaliknya.
”Udah nggak apa-apa?” tanya Dio, menandakan kekhawatiran.
Acha mengangguk layaknya anak kecil. Anak kecil yang mencari
perlindungan untuk berteduh.
”Kamu bakalan tepatin janjimu buat jagain aku, kan?” tanya
Acha.
Dio terdiam, tubuhnya kaku. Dia tak mampu menjawab. Bahkan
untuk satu huruf pun. Ia menghela napas panjang, kemudian
menatap gadis di depannya. Bibirnya terkunci rapat. Wajah gadis
lain melintas cepat di kepalanya.
Kenapa Dio menghadapi dilema? Sejak awal, bukankah dia
memang hanya menginginkan gadis di depannya ini? Selama
bertahun-tahun dia menjalani kasih bersama Acha. Bukankah dia
hanya menginginkan Acha?
Lalu apa arti Nana? Apakah hanya sebagai pelampiasan?
Dio membantah dua bisikan yang terus menggema di otaknya.
Tidak. Dia tidak menjadikan siapa pun sebagai pelampiasan. Dia
tak menjadikan siapa pun berharap kepadanya. Tapi kenapa dia
menjadi bingung saat Acha menanyakan hal itu?
Dio mengalihkan pandangan kepada Acha. Gadis itu masih
menunggu jawaban. Dia harus mengambil keputusan dengan
cepat. Perasaan itu tak boleh terus dibiarkan membelenggu hingga
ke dasar jurang.
Dio memantapkan hati, kemudian mengangguk. Senyuman Acha
melebar seketika.
Tanpa sadar Dio berjanji kepada anak kecil. Dia tak tahu, apa
jadinya jika dia melanggar janji itu suatu saat nanti.

3

Not Until_Teenlit.indd 93 6/3/2014 4:04:52 PM


***

Nana memainkan ujung jari. Itu minggu kedua dia tak berhubungan
dengan Dio. Mereka tak bertegur sapa, tak saling berkomunikasi,
dan juga tak saling menatap lagi.
Dia tak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Semua mengalir
begitu saja. Tindakannya yang menolak kehadiran Dio diperkuat
dengan tingkah Dio, yang sepertinya menolak kehadirannya juga.
Mereka saling menjauh.
Tak biasanya Dio langsung mengalihkan mata saat Nana menoleh
ke arahnya. Dan Nana tak begitu peduli—mungkin karena dirinya
juga bertekad kuat untuk lari dari kejaran Dio. Sekarang dia tak
perlu kerepotan berlari karena pemuda itu lebih dulu berhenti.
Entah angin apa yang bertiup ke arahnya, Nana merasa kehi-
langan. Ia baru pertama kali merasakan hal itu. Perasaan tidak
suka timbul saat melihat Acha berada di depannya ketika jam
makan siang, juga saat Dio mengacak rambut Acha pelan. Pe-
mandangan itu begitu memuakkan.
Mungkinkah Nana hanya pelarian kala kerumitan melanda
hubungan dua orang itu?
Benarkah?
Nana menggeleng pelan, mencoba tak peduli. Dia tak ingin
keadaan menjadi lebih rumit. Dia membenci air mata. Air mata
adalah tanda kelemahan, yang dulu sempat dia tumpahkan ber-
hari-hari kepada orang yang tak pantas disebut manusia. Sungguh
dia membenci air mata, air mata siapa pun itu, temasuk linangan
air mata Acha saat bertemu dengannya dua minggu lalu di UKS.
Nana gamang. Itu baru pertama kali, sejak Fanny mengatakan
bahwa Acha ingin berbicara dengannya di UKS. Ia menggigit bibir

4

Not Until_Teenlit.indd 94 6/3/2014 4:04:52 PM


bawah, kemudian tangannya mendorong pintu UKS dengan cepat.
Menampilkan sosok Acha yang tertidur lemah di sana.
Nana tak memungkiri gadis itu manis, bahkan lebih manis
daripada dirinya. Garis wajahnya menampilkan kelembutan,
berbeda dengan dirinya yang selalu menampilkan ekspresi keras.
Tinggi semampai, dagu tak begitu runcing, bibir mungil, dan hidung
mancung yang dimiliki gadis itu membuatnya betah membandingkan
dirinya dengan Acha.
Kenapa Nana jadi seperti itu sih? Membandingkan dirinya
dengan gadis lain!
Acha membuka mata pelan. Saat mata Acha bertemu dengan
matanya, Nana tersenyum masam, dan berdiri kaku di tempatnya,
tak berniat mendekat.
Tatapan Nana berubah saat Acha menampakkan wajah serius.
Dalam hati ia mengakui keberanian gadis itu untuk memanggil
dirinya ke UKS.
Nana menyipit, membalas sorot mata Acha yang mengeras.
Membuktikan bahwa sebenarnya dia rival.
Rival?
Untuk apa?
Nana berpikir keras, namun tak berhasil menemukan sesuatu.
Acha menangis. Setitik air mata keluar dari pelupuk, kemudian
berlanjut hingga pipinya basah.
Nana mundur selangkah. Bayangan Livia yang menangis
menguasai penglihatannya. Dia masih mengingat bagaimana
saudarinya itu menangis, kemudian tanpa ragu mengusirnya.
Nana menggeleng. Tak seharusnya kenangan itu membuatnya
trauma. Ya, ada rasa sakit saat Nana mengingat Livia. Yang tak
bisa ia jelaskan. Yang membuatnya mengepal, yang sakitnya sampai
pada aliran darah.

5

Not Until_Teenlit.indd 95 6/3/2014 4:04:52 PM


Acha yang terisak membuka mulut. Dia tahu Nana tegang,
terlihat dari pancaran matanya. ”Gue sama Dio… saling suka, sejak
awal kami ketemu, kelas 8 SMP.”
Nana tetap tenang. Membiarkan Acha melanjutkan ucapannya.
Dia sebenarnya kaget saat bayangan Livia dengan semua keluarga
gadis itu mendadak menyergap.
Pikiran Nana tak fokus.
”Na.”
Ada yang memanggil namanya. Na… Na… Pembawa sial.
Nana mundur beberapa langkah. Tidak!
”Nana…”
Nana mengerjap, melihat Acha yang menatapnya bingung. Nana
menghela napas pelan. Pikirannya kacau. Suhu tubuhnya meningkat,
jantungnya berdetak cepat, dan darahnya mendidih.
”Lo ngerti, kan? Kebersamaan lo sama Dio cuma bikin lo sakit
hati. Dia jadiin lo pelarian atas masalahnya sama gue.”
Nana mengangkat alis. Tertohok. Kenyataan macam apa itu? Ia
jelas tak bisa menerima ucapan Acha. Memangnya gadis itu siapa?
Cih. Dia tak berhak lagi mengurusi pemuda itu. Dan satu lagi, dia
tak berhak mengurusi Nana. Hati Nana terasa sakit.
Nana mencoba berpikir. Hatinya ngilu karena ucapan Acha.
Namun, dia mencoba menyangkal. Ia menantang mata Acha kuat-
kuat setelah mendapatkan kata-kata yang pas untuk gadis itu.
”Cuma itu yang pengin lo omongin?” ucapnya telak.
Acha tersentak. Kaget campur kecewa. Penuturannya yang
sepanjang itu, bahkan beberan kisahnya dengan Dio hanya dibalas
satu kalimat itu?
Nana berjalan mendekati Acha. Tatapannya tak fokus. Pikirannya
terbagi-bagi. Dia tak ingin berada di ruangan itu. Sungguh. ”Gue
nggak ada apa-apa sama cowok lo,” terang Nana, jelas-jelas ada

6

Not Until_Teenlit.indd 96 6/3/2014 4:04:52 PM


nada penyindiran. ”Gue nggak rugi kalau nggak tahu kisah lo sama
cowok lo.” Nana menajamkan pandangannya. ”Dan apa yang lo
omongin tadi, sama sekali nggak ada hubungannya sama gue.”
Acha tepekur saat mendengar kalimat yang begitu sinis keluar
dari mulut Nana. Pantas saja empat pemuda idola itu mau menuruti
perkataan Nana.
Jadi seperti itukah gadis ini? Dia benar-benar dingin tanpa hati.
Apa yang membuatnya seperti itu?
”Lo bisa kan jauhin Dio?” Dan inilah inti segala ucapan
panjang lebar Acha. Ceklek.
Nana dan Acha sama-sama menengok ke arah pintu. Tampak
sosok yang sedang dibicarakan masuk. Nana menatap Acha dingin,
kemudian mengangguk.

Nana menarik napas panjang mengingat kejadian itu. Bukankah


dia yang menyetujui bahwa dia akan pergi dari pemuda itu?
Lantas kenapa saat ini dia...
Ponsel Nana berdering keras. Dari nadanya Nana yakin satu
pesan singkat masuk. Tanpa pikir panjang ia menyambar ponsel,
kemudian membuka pesan tersebut.
Nana membelalak. APA?
Pesan itu nyata dan Oom Ben yang mengirimnya.
Nana menarik napas panjang karena sulit mengontrol detak
jantungnya yang berlarian. Rasa sakit yang datang diteruskan
jantung ke semua pembuluh darah.
Sialan! rutuknya sambil mencengkeram ponsel.



Not Until_Teenlit.indd 97 6/3/2014 4:04:52 PM




N
ANA menunduk dalam-dalam. Sepi yang ia rasakan
semakin menjadi-jadi, walaupun Stevan, Nathan, Aga,
dan Karisa selalu ada untuknya—menemaninya ke
mana pun, walaupun dia tak pernah minta. Ia merasa
hari-harinya kosong.
Ini baru permulaan liburan akhir tahun pelajaran. Karisa sibuk
dengan kegiatan OSIS. Aga dan Stevan juga begitu. Menurut de-
sas-desus, kedua cowok itu mempersiapkan strategi untuk meng-
gaet adik kelas dengan wajah dan sikap yang berbanding lurus.
Mereka terburu-buru ingin mengakhiri status jomblo.
Lain dengan Nathan dan Dio yang sedang sibuk mempersiapkan
pertandingan futsal antarsekolah. Sejak mereka berdua ditakdirkan
sebagai duo tak terkalahkan dalam pertandingan futsal maupun
basket, mereka diembani tugas dari yayasan untuk memenangi



Not Until_Teenlit.indd 98 6/3/2014 4:04:52 PM


setiap perlombaan. Walaupun status mereka kemarin sebagai siswa
kelas 11.
Kali itu mereka berlima mengajak Nana main ke sekolah.
Padahal Nana malas dan ingin fokus pada hal-hal yang seharusnya
dia urus. Perusahaan.
Nana membayangkan, bagaimana akhir tahun sekaligus menjadi
akhir kebahagiaannya. Ia bisa mengingat semua yang telah ia
lalui.
Nana mengembuskan napas, pasrah. Jika bukan karena pesan
singkat yang dikirim Karisa untuknya, dia tak akan mau repot-repot
menghabiskan sehari liburannya untuk datang ke sini.

Sender: Karisa
Katanya lo BT? Ke sini yuk, gw sm anak2 ntar ada acara
makan malam brg di kafe depan. Rencananya sh mau jmpt lo,
tapi kami masih sbuk. Kalau smpai lo blm dtg nanti, gw
ngambek.

Seriuskah Karisa mengikrarkan diri jadi teman? Lalu haruskah


Nana percaya? Kenyataannya, dia masih gamang untuk kembali
memercayai teman atau sahabat.
Mereka, lima temannya itu, selalu ada untuk Nana selama enam
bulan ini, bahkan rela menahan emosi kala tak dipedulikannya.
Bukan itu saja. Mereka masih mau menerimanya, mengajaknya ke
kafe, juga mengabarinya berbagai informasi.
Seperti itukah bentuk pertemanan? Lalu seperti apakah wujud
persahabatan?
Nana sama sekali tidak ingin tahu, juga tak ingin melebih-lebih-
kan. Kenyataannya mereka hanya menghabiskan waktu bersama,
bukan berjanji untuk menjadi sahabat. Selalu ada bagi yang lain,



Not Until_Teenlit.indd 99 6/3/2014 4:04:52 PM


baik pada saat dibutuhkan maupun tak dibutuhkan, itukah yang
dinamakan sahabat?
Nana bingung, tapi harus menjalani hari sebagaimana semes-
tinya, menjalani alur yang seharusnya ia lalui. Mengalir mengikuti
alur kehidupan seperti ikan di dalam sungai. Ia yakin, pertanyaan
yang terlontar dari otaknya pelan-pelan akan dijawab waktu dan
kenyataan.
Sebelumnya Nana hanya punya seorang sahabat, yang sampai
sekarang belum ada penggantinya. Mungkin suatu hari nanti,
tempat kosong orang tersebut akan diisi oleh lima teman di
sekolah barunya itu.
Bukankah tak ada yang namanya mantan sahabat? Lalu kenapa
sahabat bisa berubah menjadi musuh?
Nana menggeleng pelan, menyangkal pikiran bodoh yang
merasukinya. Ia melirik jam tangan. Astaga! Ia datang lebih awal
dari perjanjian. Dua jam lebih awal.
Nana menjadi bingung sendiri. Terlebih lagi, kakinya menuntun-
nya ke ruang olahraga yang berada di tingkat paling tinggi di
sekolahnya. Ia tak tahu apa yang membawanya ke pinggir gedung
olahraga, berjalan begitu saja tanpa berpikir.
Nana tak berniat bunuh diri lagi, kan?
Nana berbalik, berniat untuk menyusul Karisa yang pasti berada
di ruang OSIS untuk mempersiapkan MOS dengan kawan-
kawannya. Tapi sesuatu membuatnya berhenti melangkah.
Dengan gerakan cepat Nana berjalan menuju pagar pembatas
ruang olahraga. Langit sangat biru, tak ada awan hitam sedikit
pun. Awan cerah mengumpul di tepi.
Ini belum senja, baru pukul empat lewat beberapa menit. Em-
busan angin mengurai rambut Nana hingga beterbangan kecil,
membuatnya nyaman.

100

Not Until_Teenlit.indd 100 6/3/2014 4:04:52 PM


Gadis itu bertanya-tanya, kapan terakhir kali dia merasakan
suasana senyaman itu?
Nana merentangkan kedua tangan. Embusan angin semakin
kencang. Ia berjinjit sedikit.
”NANA!!”
Seseorang menghardiknya keras.

Dio mengelap keringat yang terus meluncur akibat latihan futsal.


Ia bermain tiga pertandingan yang membuatnya kelaparan. Dia
ingat Aga, Karisa, Stevan, dan Nathan akan membuat acara ma-
kan-makan sore itu.
Capeknya luar biasa. Setelah memberesi handuk, Dio segera
membawa tas beranjak dari lapangan futsal indoor di lantai dua.
Lapangan futsal outdoor sedang direnovasi. Entah apa yang
direnovasi, Dio tak terlalu memikirkan. Yang dia tahu anggotanya
tidak boleh berlatih di sana selama sebulan itu.
Ckckck… kenapa renovasi harus sebegitu lama?
”Yo, mau ke mana lo?”
Dio berbalik, melihat Nathan mengikat tali sepatunya, tak jauh
dari tempatnya berdiri.
Dio melambai. ”Jam enam gue ada di tempat parkir, sekarang
mau tidur dulu,” jawabnya, yang dibalas anggukan Nathan.
Dio tak menggunakan fasilitas lift untuk mencapai puncak ter-
tinggi gedung sekolah. Dia memilih menaiki tangga. Besok failed
anniversary-nya bersama Acha. Tak terasa sudah setahun dia dan
gadis itu tak berhubungan khusus lagi.
Dio masih mengingat jelas bagaimana dia meminta Acha
menjadi pacarnya. Bagaimana dia dan Acha melewati masa transisi.

101

Not Until_Teenlit.indd 101 6/3/2014 4:04:52 PM


Dan… dan bagaimana Acha selingkuh, tapi dia masih bisa memaaf-
kannya.
Sampai sekarang gadis itu masih ada dalam pikirannya. Cinta
pertamanya.
Tapi bagi sebagian orang, mengingat cinta pertama hanya
sekadar tanda terima kasih pada si mantan karena telah meng-
ajarkan cinta. Bahkan menurut sebagian orang, cinta pertama tak
perlu terlalu diperjuangkan.
Begitulah pikiran Dio. Masih labil. Dia belum bisa kembali ke
pangkuan gadis itu.
Hatinya masih belum menerima diduakan. Tapi dia juga tak bisa
hidup tanpa kabar dari Acha. Egoiskah dia? Membiarkan Acha
menangis terus-terusan di depannya?
Bayangan Acha mengabur seketika saat mata Dio menangkap
sesuatu.
”NANA!!” hardik Dio keras saat mendapati gadis itu merentang-
kan tangan lebar-lebar, seperti berniat menjatuhkan diri dari ke-
tinggian gedung.

Nana menurunkan lengan. Tubuhnya mengejang karena teriakan


keras tadi. Namun dia tak berniat berbalik, terlalu hafal dengan
si pemilik suara itu. Ya, dia terlalu hafal. Ditatapnya pagar pembatas
yang berada tepat di hadapannya dengan nanar. Reaksi macam
apa yang dikeluarkan tubuhnya saat ini? Perasaan perih yang
ingin dimuntahkan.
Dio berlari menuju Nana, lalu menarik napas lega karena bayang-
annya tak terjadi. Gadis itu terpaku, menatap lurus ke depan, tak
berniat sedikit pun melihat ke arah Dio.

102

Not Until_Teenlit.indd 102 6/3/2014 4:04:52 PM


Dio tersenyum lega, dan berjanji takkan pernah membiarkan
Nana berbuat semaunya lagi.
Dio menoyor pelan puncak kepala Nana dua kali saat berdiri
di sampingnya. Arah pandang kedua remaja itu berbeda. Dio
bersandar di pagar pembatas.
Hati Nana berdesir. Sudah berapa lama dia tak berada sedekat
itu dengan Dio?
Dio melipat tangan, melirik Nana. ”Mau berbuat nekat lagi?”
ujarnya sinis.
Nana mengernyit. Apa?
”Lo mau terjun dari sini?”
Nana melirik Dio, tak mengerti. Oh! Ia paham. Bodoh, teriaknya
dalam hati, mana mungkin aku melompati pagar setinggi ini?
Cowok ini kebanyakan berkhayal.
Dio menarik napas panjang, merapal setiap kata yang ingin
dilontarkannya, yang ternyata malah keluar sebagai kata-kata
bernada keras. ”Lo udah bosen hidup?! Kapan sih lo menghargai
hidup? Seharusnya lo merasa beruntung karena masih hidup!
Banyak orang di luar sana yang pengin hidup! Lo malah...”
Dio menghentikan ucapannya saat Nana sedikit mundur dan
menatapnya. Gadis itu tersenyum meremehkan.”Lo... nggak lagi
khawatirin gue, kan?”
Telak. Nana mengucapkan kalimat yang membuat ucapan Dio
mati. Mati kutu, tepatnya. Pemuda itu tak mampu menjawab. Dio
berpikir keras, kenapa gadis ini begitu jujur? Bicara langsung dan
apa adanya. Lalu kenapa pula dia gugup?
”Iya, Bos Ben khawatir lo kenapa-napa. Karisa, Nathan, Aga,
Stevan khawatir dan...” Dio berusaha melanjutkan kata-katanya.
Nana berbalik, bersandar di pagar pembatas gedung itu, ber-
sebelahan dengan Dio. Kesal karena Dio bersikap seolah-olah tak

103

Not Until_Teenlit.indd 103 6/3/2014 4:04:52 PM


terjadi apa-apa di antara mereka. Kesal karena Dio menjauhi dan
mendekati dirinya sesukanya.
”Gue lagi bicarain lo! Gue tahu mereka khawatirin gue. Lo nggak
denger? Gue nanya sama lo! Bukan sama mereka. Lo khawatirin
gue, kan?”
Nana menahan tawa saat melihat semburat merah mengalir di
telinga Dio. Pemuda itu tak bisa menyangkal lebih lama lagi. Ia
merasa menang.
Dio merasakan darahnya mendidih. Rasanya sudah lama sekali
ia tak berkomunikasi dengan Nana, tepatnya pasca kejadian itu.
Jujur dia begitu merindukan Nana. Kalau saja diizinkan, dia ingin
memeluk tubuh mungil itu dengan sekuat tenaga. Lalu meneriakkan
kata rindu.
Apa?
Dio menghela napas, kemudian mengacak rambut Nana pelan.
Dia tak bisa membohongi diri lagi. Ah, dia jengah membohongi
diri sendiri di depan gadis itu. Toh seberapa pun dia mengelak,
Nana gadis serbatahu yang tak bisa dibodohi.
”Iya. Puas lo?”
Nana menengok ke lain arah. Dadanya panas. Ia ingin berteriak.
Tanpa sadar, senyum manis terukir di wajahnya. Ia menarik napas,
kemudian menantang manik mata Dio. Ekspresinya kembali datar.
Apa yang membuatnya berubah saat dekat dengan pemuda itu?
”Tadi gue nggak berniat bunuh diri kok.”
Dio menelan ludah. Dua kali. Dua kali ia salah sangka terhadap
gadis itu. ”Terus?”
”Cuma menikmati ketenangan.” Mmm… jawaban sekenanya.
Nana tersenyum. ”Mana mungkin gue bisa lompatin pagar setinggi
ini? Stupid!” Ia menahan tawa yang akan meledak karena melihat
ekspresi Dio.

104

Not Until_Teenlit.indd 104 6/3/2014 4:04:52 PM


Dio menghela napas. Lega. Ternyata dugaannya salah. Syukurlah.
Bagaimana bisa ia membayangkan gadis semanis Nana tak
bernyawa? Pasti dia menjadi gila seketika.
Apa? Apa tadi Dio mengikrarkan bahwa dia tak ingin kehilangan
Nana?
Dio meraih tangan kiri Nana. Bekas jahitan masih terlihat jelas
di sana. ”Yang ini saja bekasnya belum hilang. Jangan pernah lagi
bikin bekas lainnya. Bikin gue khawatir!”
Nana terdiam. Dia tahu ada kesungguhan dalam kata-kata Dio.
Bahkan pemuda itu selalu terlihat serius di depannya. Nana
menggigit bibir bawah. Bimbang.
Ada yang ingin dibuktikan, tapi bagaimana caranya? Ada yang
tak bisa dijelaskan. Karena itulah timbul kebimbangan, sulit
dibuktikan.
Nana berada di situ. Di situasi bimbang.
Jauhi Dio.
Pembawa sial.
Selalu. Kata-kata itu selalu terdengar di telinga saat dia melihat
Dio. Kata-kata itulah yang mendorongnya untuk menjauhi Dio.
Dia tak ingin Dio memasuki hidupnya, walaupun merindukan
cowok itu.
Dio menatap wajah Nana yang diam dan mengeras. Ada yang
dipendamnya.
Andai saja dia bisa jadi tumpuan gadis itu.
”Langitnya bagus, tapi bukan lo. Masih ingat kan, gue pernah
bilang bahwa lo langit musim dingin?”
Nana mendelik. Tergetar. Ia bertanya dalam hati, tak bolehkah
dia egois untuk sekali saja? Tak bolehkah dia menikmati saat ini
untuk dirinya sendiri? Semua yang terpendam tak mampu dia
tahan lagi.

105

Not Until_Teenlit.indd 105 6/3/2014 4:04:52 PM


”Kalau gitu, lo langit musim semi,” cetus Nana.
Dio mengangkat sebelah alis.
”Karena kehadiran lo bikin semua yang ada di sekeliling lo
bahagia,” ucap Nana pada akhirnya.
Dio tersenyum mendengar penuturan tersebut. Hatinya terasa
panas dan jantungnya berdebar-debar. Apa tadi… Nana memujinya?
Ada yang membuncah dalam dadanya. Dia tak bisa lagi
menyembunyikan perasaan. Dorongan untuk merengkuh gadis itu
ke pelukannya tak bisa lebih lama lagi menyiksanya.
Seharusnya mereka sama-sama tak membohongi diri.
Dengan gerakan cepat, Dio menarik tangan Nana, kemudian
memeluk gadis itu erat. Dio membenamkan kepala di bahu Nana.
Darahnya mengalir cepat saat dia menghirup aroma stroberi
sampo Nana.
Nana tersentak saat mendapati dirinya dalam pelukan Dio.
Begitu erat. Dadanya menempel di dada Dio hingga dia bisa me-
rasakan detak keras jantung pemuda itu. Dengan cepat Nana
menundukkan wajah. Dia tak ingin Dio melihat semburat merah
yang menjalari pipinya.
Dio membiarkan angin mewarnai sorenya bersama Nana, angin
yang mengantar perasaannya.
Tanpa sadar, atau entah memang itu keinginan sejak lama, Dio
mengutarakan, ”Gue kangen sama lo.”
Nana diam, hanya menikmati paduan rasa yang baru pertama
kali dia rasakan ini. Paduan yang membuatnya tersenyum. Gejolak
emosi yang orang sebut cinta.
Eh? Sudahkah hati dingin Nana mencair pelan-pelan?

***

106

Not Until_Teenlit.indd 106 6/3/2014 4:04:52 PM


Tak ada yang banyak berubah sejak kejadian sore itu. Malamnya,
enam sekawan itu makan bersama di lantai paling atas pusat per-
belanjaan ternama di Jakarta. Nana dan Dio lebih banyak diam-
diaman. Sama seperti sebelumnya, mengingkari apa yang telah
terjadi. Padahal langit dan angin tak bisa lagi mereka bohongi.
Namun, Karisa menangkap ada yang berbeda. Nana dengan
cepat menyambar kursi di sebelahnya dan Dio hampir beradu
mulut dengan Aga karena ingin duduk di sebelah Nana. Oh baiklah,
Aga memilih duduk di sana karena di depannya terlihat jelas view
jalanan Jakarta yang benderang di sekitar mal tersebut. Namun
Dio? Apa yang membuatnya ngotot sekali ingin duduk di sana?
”Duduk di sembarang tempat juga sama aja kali, Ga,” cetus Dio
saat Aga belum juga mau mengalah.
”Lo kalau mau deket Nana bilang aja deh,” sungut Aga. Dia
kesal karena Dio seenaknya mengambil tempatnya, padahal sudah
menjelaskan panjang lebar dalam perjalanan ke sini. ”Entar, awas
aja kalau ada yang berani ngambil tempat yang view-nya langsung
ke jalan. Janji?”
Mereka mengangguk. Aga bisa mengingat jelas itu semua.
Stevan dan Nathan terbahak-bahak.
”Woi, Ga, lo nggak malu sama Karisa? Tingkah lo sama kayak
perawan, tahu nggak?” ceramah Nathan di sela tawa.
Aga memajukan bibir. ”What the hell are you talkin’ about?”
Stevan dan Nathan kembali tertawa.
”Ya ampun, Sa, kamu dapet temen yang manja sama kayak
kamu tuh,” tanggap Stevan, lalu menyeruput lemon tea yang sudah
datang.
Semua orang, termasuk Nana, menatap ke arah Stevan. Tam-
paknya pemuda itu tak menyadari ucapannya. Karisa manja? Me-

10

Not Until_Teenlit.indd 107 6/3/2014 4:04:52 PM


manggil Karisa dengan sebutan ”kamu”? Mmm… Ada sesuatu yang
terjadi di antara Stevan dan Karisa, tentu saja.
”KAMU?!” teriak ketiga pemuda itu bersamaan.
Nana memiringkan wajah ke arah Karisa. Bibirnya jelas meng-
ucapkan kata ”kamu” meskipun tanpa suara, bertanya-tanya pada
Karisa.
Aga langsung melirik ke arah Karisa dengan penuh curiga. ”Lo
berdua... ada apa-apanya, ya?”
Nathan yang duduk di sebelah Stevan menyenggol sikut Stevan
tiga kali. ”Heh, sejak kapan lo ngomong pake kamu-kamuan, hah?”
Dio menatap Stevan, juga tak percaya. ”Ngaku aja kalian udah
jadian.”
Aga dan Nathan mengangguk jelas.
”Lo semua curigaan aja sih? Gue sama Karisa cuma temenan
kok.”
Karisa tertawa menanggapi sikap Nathan, Aga, dan Dio. ”Gue
masih mikir kali jadian sama playboy kampung kayak dia,” ucap
Karisa melihat ke arah Stevan dengan ekor mata.
Stevan merengut tak terima. ”Gue juga masih mikir kali jadian
sama cewek cengeng kayak lo.”
Karisa menyeruput jus jeruk. ”Oh, ya udah,” tanggapnya tak
peduli.
Nathan, Dio, dan Aga hanya senyum-senyum sendiri melihat
kejadian tersebut.
”Jadi juga lo berdua lama-lama,” ucap Aga.
Nathan dan Dio mengangguk setuju sambil tersenyum penuh
arti.

Nana merapikan seragam. Itu hari pertama menjadi siswa kelas

10

Not Until_Teenlit.indd 108 6/3/2014 4:04:52 PM


12. Lalu…? pikir Nana. Bukankah semakin cepat dia menamatkan
sekolah, semakin mudah membuat kongsi-kongsi itu jatuh dan
hancur?
Nana menuruni tangga dengan anggun. Ia terbelalak ketika ada
pemuda yang... duduk di meja makan bersama Oom Ben. Sejak
insiden beberapa bulan lalu itu, Oom Ben memutuskan pindah
total ke rumah Nana. Dia tak ingin keponakan satu-satunya itu
terluka lebih parah lagi.
Nana duduk di samping Oom Ben, di depan Dio. Baru saja dia
ingin menyantap roti selai kacang yang dibuatkan Bi Inem, oomnya
membisikinya sesuatu yang mampu membuat Nana melupakan
rasa laparnya.
Apa? Gadis itu tegang.
Dio terus menyantap sarapan. Jarak rumahnya dengan rumah
Nana memang dekat, hanya beda gang, sehingga membuatnya
cepat sampai jika ada apa-apa dengan gadis itu.
Pandangan Nana yang berubah mengeras saat mendengar
bisikan Bos Ben membuat Dio penasaran. Dia tahu, banyak rahasia
yang disembunyikan Bos Ben dan Nana.
Nana berdeham pelan saat melihat pandangan Dio yang menun-
tut penjelasan.
”Oom, boleh nanti malam aku liat laporan...” Ucapan Nana
menggantung, melirik Dio.
Oom Ben mengangguk. ”Jangan buru-buru,” ucapnya, lalu
meminum latte hangatnya pelan, ”kalau kamu masih terbawa
emosi, semua yang sudah terencana akan berantakan.”
Nana menelan ludah saat dapat nasihat pagi dari Oom Ben.
”Lalu?”
”Kamu pikirkan caranya bisa menang tanpa main belakang, di
meja perjudian itu,” ucap Oom Ben lantang.

10

Not Until_Teenlit.indd 109 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana menganga.
Begitu menyelesaikan sarapan, Oom Ben berdiri, mengelus
puncak kepala Nana. ”Kamu tahu kan, Oom akan membantumu,
bagaimanapun kondisimu. Jadi jangan gegabah.”
Gadis itu hanya terdiam, melihat punggung Oom Ben yang
berjalan menjauh. Tatapannya kosong. Benar. Dia tak boleh lagi
terbawa emosi.
Dio yang tak tahu apa-apa hanya memilih diam. Termasuk saat
melihat Nana menghela napas berat, seperti ada sesuatu yang
perlu diselesaikan gadis itu dalam waktu dekat.
Entahlah, biarkan Nana mengurusnya sendiri. Dia yakin Nana
tahu apa yang akan dia lakukan.

”Lo lagi nggak punya selera humor ya, Na?” ucap Aga yang je-
ngah karena sejak tadi Nana hanya diam, seperti memikirkan
sesuatu.
Nana memutar bola mata, melempar pandangan aneh kepada
Aga. ”Sejak kapan gue punya selera humor?” balasnya sengit.
Aga keki sendiri. Kalau saja Dio tak menitip gadis itu kepadanya
karena ada keperluan lomba futsal, dia akan langsung ke ruang
OSIS atau berdiri di lapangan untuk memberikan orientasi kepada
anak kelas 10.
Aga berhenti saat mendapati Nana tak ada di sampingnya. Dia
menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu berhenti berjalan,
hanya memandang lurus ke depan.
”Na, ayo!” ajak Aga dari tempatnya berdiri.
Nana melirik Aga. Sepertinya gue harus melancarkan aksi lebih
awal...

110

Not Until_Teenlit.indd 110 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana berjalan tenang. Saat melewati Aga, gadis itu berkata,
”Gue mau pipis. Lo langsung ke ruang OSIS aja.”
Aga mengerutkan kening. ”Tapi Dio nyuruh gue nemenin lo
sampai kelas.”
Nana mendelik. ”Halooo? Gue bukan anak kecil lagi atau lo mau
ikut gue ke toilet?” Wajahnya berubah keras, kemudian berjalan
menjauhi Aga.
Aga mengacak rambut, kewalahan menghadapi sikap Nana yang
berubah-ubah.

Nana memasuki toilet dengan tenang. Dirapikan rambutnya di


depan kaca. Ia menahan napas, melihat toilet yang hanya satu
dan tertutup. Tak beberapa lama kemudian, pintu itu berdecit
terbuka.
”Elo...,” ucap gadis yang baru keluar itu tertahan, langsung
berhenti, menahan emosi. ”Kenapa lo di sini?!” ucapnya lantang.
Suaranya bergetar hebat.
Bukan itu saja. Nana menangkap tubuh orang tersebut juga
bergetar. Nana menunduk dalam.
Gadis itu langsung mencekal tangan Nana, membuat Nana
hampir menjerit karena kesakitan. ”Jangan sampai ada yang tahu
soal kita. Gue... gue benci banget sama lo, Na!” desisnya tajam.
Lalu ia pun pergi dari hadapan Nana.
Nana mengangkat tangan yang dicekal tadi. Senyuman yang
sulit diartikan tergambar di wajah manisnya.
Nana menatap lagi tangannya, geram. Permainan ini dimulai,
batinnya benci.
Dia masih bisa mengingat isi pesan Oom Ben beberapa waktu
lalu.

111

Not Until_Teenlit.indd 111 6/3/2014 4:04:52 PM


Sender: Oom Ben
Livia’s coming soon.

Pesan yang bisa membangkitkan Nana dari keterpurukannya


selama itu.
Pembawa sial.
Kita akan lihat, siapa yang akan mengalami lebih banyak
kesialan.

112

Not Until_Teenlit.indd 112 6/3/2014 4:04:52 PM




D
IO menggeser sedikit tubuhnya. Badannya lemas se-
habis membaca pesan singkat dari gadis yang pernah
menawan hatinya.
Dio menghela napas berat. Sulit dipercaya getaran
hatinya tidak tertuju lagi pada Acha. Gadis yang dulu mati-matian
dia pertahankan. Gadis yang dulu dia pikir dia akan mati kalau
mereka tak bersama. Namun, semua itu terasa hambar saat hatinya
berganti arah. Hati yang mencari kebahagiaan baru setelah lama
tersakiti.
Acha mengatakan liburannya begitu menyenangkan dan akan
pulang dua minggu lagi. Padahal hari pertama sekolah sudah
dimulai.
Kadang Dio menyayangkan, terlalu cepat hatinya memutuskan
sesuatu. Dia merasa jatuh cinta lagi. Kali itu asmaranya bukan

113

Not Until_Teenlit.indd 113 6/3/2014 4:04:52 PM


hanya menggetarkan hati, melainkan juga sekujur tubuhnya. Ya,
ia jatuh cinta pada gadis dingin itu.
Kini seluruh pikirannya tertuju pada Nana. Dio ingin sekali
melihat senyum gadis itu. Senyum yang hanya keluar sesekali.
Senyum kebahagiaan Nana.
Entah kenapa Dio ingin berada di samping Nana selamanya.
Dia tak tahu sejak kapan hatinya berlabuh ke hati Nana, pelabuhan
yang ia sendiri tidak menyangka mampu ia taklukkan.
Tapi Dio yakin, hatinya tak berlabuh pada orang yang salah.
Akhir-akhir itu Nana semakin menawan. Kadang gadis itu men-
jauh, membuat jarak di antara mereka terasa lapang dan dalam.
Tapi, Dio pejuang. Ia berjuang untuk mendapatkan gadisnya.
Dio mengacak rambut. Galau. Andai saja ia tak berjanji pada
Acha untuk tak mendekati gadis itu lagi. Semuanya pasti tak
serumit sekarang.

Seperti biasa BIHS terlihat begitu ramai saat empat pemuda itu
masuk. Pandangan kagum kebanyakan berasal dari murid kelas
10, yang baru saja dinobatkan sebagai anggota BIHS.
Nathan berbisik pelan kepada Stevan. ”Pesona gue belum luntur
ternyata,” pujinya pada diri sendiri.
Stevan hanya tertawa, kemudian merangkul bahu Nathan. ”Lo
jadi deketin Vanya, anak kelas 10 itu?” tanyanya setengah berbi-
sik.
Dio dan Aga hanya menggeleng-geleng saat dua temannya itu
membicarakan gadis cantik, padahal keduanya sama-sama belum
mau melepaskan status jomblo yang sudah mereka sandang lebih
dari dua tahun.
Dio berhenti saat menyadari Aga tak lagi berdiri di sampingnya,

114

Not Until_Teenlit.indd 114 6/3/2014 4:04:52 PM


menengok ke belakang. Merasa ada keanehan, Stevan dan Nathan
turut melihat ke arah Dio.
Dio mengernyit sambil mendekati Aga yang masih berdiri di
belakangnya. ”Kenapa lo?”
Aga terlihat kaget oleh sapaan Dio. Dengan tegas ia menggeleng.
”Nggak apa-apa,” ucapnya rada aneh.
Dio menajamkan tatapannya, curiga. ”Lo nggak nyembunyiin
sesuatu, kan?”
Aga tertawa, kemudian melayangkan tinju ringan ke perut Dio,
yang tidak sakit tentunya. ”Gue cuma lagi liat Nana tuh.” Aga
menunjuk sembarangan.
Dio memfokuskan pandangan pada arah yang Aga tunjuk.
Benar, gadis itu sedang memainkan ponsel sambil menyandar ke
tembok. Terlihat begitu serius.
”Lo suka sama Nana?” selidik Dio. Wajahnya menampakkan
ketidaksukaan.
”Ckckck…” Aga berdecak tak santai.

Nana melihat ponsel. Matanya terus menyusuri layar ponsel yang


bergerak, mencari sesuatu. Ia tersenyum hambar, berhasil
menemukan sesuatu yang dia cari.
Nana berbalik, berniat kembali ke kelas. Yang ia cari sudah ia
dapatkan, dan sepertinya pemuda itu sudah sampai di sekolah.
Namun tepat saat Nana berbalik, seseorang menabraknya
hingga membuat lututnya mencium lantai yang dingin. Ia meringis
kesakitan.
Hati Nana jengkel. Saat melihat pemilik sepatu yang sengaja
mengadangnya itu, Nana meringis.
”Maaf, nggak sengaja,” ucap orang itu.

115

Not Until_Teenlit.indd 115 6/3/2014 4:04:52 PM


Sebenarnya Nana ingin mencakar, kalau saja tak ingat bahwa
ada hal lebih penting yang harus ia lakukan.
Nana berdiri beberapa detik kemudian, memandang lemah,
seolah ada luka yang dipendamnya saat melihat wajah orang
itu.
”Jangan masang tampang sok bersalah deh. Eh, tapi lo memang
pantas sih merasa bersalah.”
Nana mematung. Dia ingin memukul orang itu.
Pembawa sial.
Badan Nana bergetar. Ia tersenyum sinis. ”Bukannya lo yang
bilang bahwa kita nggak usah saling kenal, Livia?”
Sorot mata kedua gadis itu menajam. Ada kebencian satu sama
lain.
Nana ingin melangkah pergi saat Livia mendorongnya, membuat
bekas jahitan di tangannya robek, tergesek tepian tempat duduk
besi yang tajam.
Nana meringis, menahan sakit. Dulu ia kehilangan kesadaran
sehingga sarafnya tak mampu lagi merasakan sakit.
Livia mengentakkan kaki. ”Gue benci lo, pembawa sial!” Lalu
dia setengah berlari meninggalkan Nana, yang mulai berkeringat
dingin karena menahan sakit di tangannya.
Nana tetap berdiri di tempat. Kakinya tidak kuat berjalan.
Badannya kaku karena menahan sakit. Keringat dingin mengalir
di tubuhnya.
Darah mulai mengalir deras dari pembuluh darah di tangan-
nya.
Jangan. Aku tak boleh mati sekarang, pinta Nana dalam kesa-
kitan.
Saat hampir kehilangan kesadaran, Nana merasakan seseorang
membantunya berjalan. Tangan kokoh dan aroma maskulin yang

116

Not Until_Teenlit.indd 116 6/3/2014 4:04:52 PM


begitu dikenalnya. Kemudian ia tak merasakan apa-apa lagi. Pan-
dangannya mengabur, dan seketika semuanya menjadi gelap.

Dio melirik jam tangan. Lima menit lagi guru masuk ke kelas,
tapi Nana belum juga menampakkan diri. Karisa yang sibuk
dengan kegiatan OSIS baru saja memasuki kelas.
Dio berlari menghampiri Karisa. ”Lo nggak sama Nana?”
Karisa menggeleng bingung. ”Nggak. Gue kan dari ruang OSIS,”
jawabnya datar.
Dio menghela napas. Perasaannya tidak enak. Dia tak suka
merasakan ini: perasaan tiba-tiba takut kehilangan Nana.
Aga menghampiri Dio. ”Coba lo cek di tempat gue liat dia tadi
deh.”
Tanpa menjawab Dio segera berlari meninggalkan kelas. Dia
melirik para guru yang bersiap memasuki kelas.
Baiklah. Siapa yang tidak sadar bahwa Diova Esa jatuh cinta
pada Viona Aphrodita?
Dio menuruni tangga. Matanya memperluas jangkauan. Tak
ada. Gadis itu tak ada di situ. Dio berlari, tetap mencari. Tepat di
posisi dia melihat Nana tadi, gadis itu berdiri kaku. Tangannya
terjatuh di sampingnya. Dio menyipit, ada sesuatu yang keluar
dari tangan kiri Nana. Ya ampun! Darah. Darah yang mengalir
deras.

Nana membuka mata pelan, menatap ke langit-langit. Ruangan


serbaputih itu dikenali Nana. Nana ingin memperbaiki posisi tidur.
Saat badannya menyenggol tangan kiri, nadinya berdenyut dan
rasa sakit menyengat. Jadi seperti itukah sakit yang seharusnya

11

Not Until_Teenlit.indd 117 6/3/2014 4:04:52 PM


ia rasakan dulu? Sakitnya luar biasa. Bahkan Nana tak mampu
menggerakkan tangan kirinya.
Nana melirik tangannya. Aneh. Bagaimana bisa bekas jahitan
yang sudah berbulan-bulan terbuka kembali? Seperti sakit hati
saja. Luka lama yang kembali melebar, nyeri yang dihasilkannya
pun luar biasa. Livia harus mendapatkan balasan yang setimpal.
Dio mengerjap. Astaga. Dia tertidur. Matanya menelusuri ruang-
an. Dia mendapati Nana yang kesusahan untuk duduk. Wajahnya
menegang. Dio bangkit, berlari, kemudian membantu gadis itu
duduk dengan menegakkan kepala ranjang rumah sakit.
Menyadari Dio kesusahan mengatur napas, Nana pelan-pelan
tersenyum.
Napas Dio masih memburu. Bangun tidur dalam kondisi cemas
tak keruan, kemudian berlari walaupun tak lebih dari dua meter,
membuat jantungnya bekerja ekstra.
Jantungnya tetap berdetak abnormal saat Dio merasakan jemari
tangan Nana menyentil puncak hidungnya. Gadis itu tersenyum.
Hah? Bahagiakah dia karena gagal mengakhiri hidup?
”Kenapa sih jahitannya basah? Bukannya udah berbulan-bulan
ya?” ucap Nana mengangkat tangan kirinya yang diperban.
Dio mengacak rambut Nana pelan. Tentu saja jahitan itu bisa
terbuka. Tak sadarkah gadis itu dulu menyilet tangannya terlalu
dalam? Hingga membuat nadinya hampir putus? Dan tadi, bu-
kannya tangannya terluka kembali?
”Kenapa? Kenapa tadi lo tersenyum? Lo bahagia karena nggak
jadi mati? Oh, gue lupa ngasih tahu bahwa luka kali ini nggak
sampai nadi. Yah, palingan nggak lama lagi tangan kiri lo bisa
kembali sensitif.”
Nana mengangguk-angguk, tak berniat menanggapi ucapan
Dio. Yang harus dia lakukan adalah menyembunyikan detak

11

Not Until_Teenlit.indd 118 6/3/2014 4:04:52 PM


jantungnya yang berlompatan. Bila Nana tetap menatap mata
elang Dio, tubuhnya bisa-bisa terbakar.
Diam-diam Dio juga merasakan hal serupa. Kecanggungan Nana
menular padanya. Bukan. Bukan karena Nana terlalu dingin. Tapi
entah kenapa, ada yang berbeda.
Dio menghela napas panjang. ”Lo nggak tahu sih gue sampai
pengin mati pas liat lo nggak sadar tadi,” ucapnya tiba-tiba.
Nana membelalak. Kaget. Hei, bukankah ini terlalu cepat? Terlalu
cepat bagi Dio untuk menumpahkan isi hatinya. Ucapan Dio mem-
buat Nana salah tingkah hingga ia memilih menunduk.
”Maaf…”
Apa?
Dio tersenyum lebar mendengar kata paling krusial itu keluar
dari mulut Nana. Kok bisa ya Nana minta maaf? Sepanjang dirinya
berada di samping Nana, tak sekali pun dia mendengar Nana
meminta maaf. Oh ya, Nana memang jarang mengatakan ”maaf”,
lebih sering mengatakan ”sorry” dengan aksen Inggris-nya.
Makanya begitu mendengar Nana mengatakan ”maaf” dengan
tulus seperti itu, Dio melambung. Betul kan firasatnya tadi, ada
yang berbeda dari Nana.
”Na, lo ngomong apa?” ucap Dio untuk meyakinkan diri sendiri.
Nana mengangkat wajah, menampilkan ekspresi tak suka. Dio
diberi hati malah minta jantung, putusnya. Ia melempar pandangan
sinis kepada Dio, yang saat itu tersenyum penuh arti.
”Gue kaget aja. Ah udahlah, lo mau apel?” tawar Dio menunjuk
keranjang buah yang terletak di meja kecil di samping ranjang
Nana.
Nana hanya mengangguk.
Dio langsung mengambilkan apel, lalu berjalan ke wastafel untuk
mencucinya.

11

Not Until_Teenlit.indd 119 6/3/2014 4:04:52 PM


”Yo?” panggil Nana dengan suara yang bisa membuat Dio
melayang ke langit. ”Gue suka perhatian lo,” ucap Nana dengan
segenap keberanian yang datangnya entah dari mana. Pipinya
jangan tanya warnanya. Bersemu merah!
Dio terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Ia melayang dan…
bahagia. Dia tak pernah sebahagia itu sebelumnya.
Kedua tangan kokoh Dio lantas menarik tubuh Nana, memeluk
erat. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
Rasain detak jantung gue, Na, pinta Dio dalam hati.
Nana mengusap punggung Dio sambil tersenyum. Ada yang
membuncah dalam hatinya hingga pipinya merona, menahan
kebahagiannya. Ah, apa lagi yang mesti mereka sembunyikan?
”Kalau gitu, gue akan selalu ngasih lo perhatian setiap hari se-
hingga lo terus-terusan suka sama gue.”
Nana tersenyum mendengar niat Dio. Dia ingin menikmati
kebersamaannya berdua pemuda itu. Dia ingin menuruti bimbingan
hatinya.
Lalu setelah semua itu, masih bisakah keduanya membohongi
diri? Sanggupkah keduanya menutupi perasaan yang sudah terlalu
tampak? Cinta datang tidak mengenal waktu. Cinta datang tiba-
tiba dan saat kau merasakan kedatangannya, berjuanglah. Berjuang
mempertahankan orang yang kamu cintai.
”Dio kamu sud—”
Dio melepas pelukannya, menatap ke sumber suara.
Nana juga menengok. Keduanya merasakan pipinya memanas
saat mendapati Oom Ben berdiri membawa kantong plastik
hitam.
”Apa saya mengganggu kalian?” ucap Oom Ben, yang jelas-jelas
merusak suasana.
Dio segera turun dari posisi duduknya di ranjang Nana, men-

120

Not Until_Teenlit.indd 120 6/3/2014 4:04:52 PM


dekati Oom Ben, kemudian mengambil kantong plastik hitam
tersebut. Pemuda itu menggeleng. ”Ganggu apaan, Oom?” balas-
nya tergagap campur salah tingkah.
Oom Ben hanya tertawa, kemudian menyuruh Dio keluar dengan
gerakan kepalanya.
Dengan gerakan cepat Dio langsung berada di mulut pintu dan
bergegas keluar.
Oom Ben mendekati Nana yang jelas salah tingkah. Matanya
menyelidik tajam. ”Jatuh cinta, hmm?”
Nana mendelik ke arah Oom Ben, menggeleng. ”Kami nggak
seperti yang Oom pikirkan kok.”
Oom Ben mengusap kepala Nana. ”Siapa pun tahu, akhir-akhir
ini kamu begitu dekat dengan Dio. Kamu masih mau menyang-
kal?”
Nana memutar bola mata. ”Oom!” ucapnya tertahan.
”Well... Oom nggak akan bahas itu lagi, tapi kagum sama dia
karena bisa menawan hatimu.”
Nana diam dan menampilkan ekspresi tidak suka, ekspresi yang
merupakan topeng salah tingkahnya. Kenapa dia terus-terusan
mengenakan topeng? Padahal wujud aslinya hampir ketahuan.
Oom Ben melirik tangan Nana yang diperban. ”Kenapa itu bisa
terjadi?”
Wajah Nana mengeras. ”Dia... yang melakukannya,” ucapnya
kembali ingat bagaimana Livia mendorong tubuhnya tadi.
Lelaki itu menatap Nana, tak percaya. Bukankah gadis itu baru
pindah ke Jakarta kurang dari empat hari lalu? Secepat itukah?
Oom Ben menggeleng-geleng, ekspresinya tak dapat ditebak.
”Kurang ajar!”
Nana hanya diam dan menatap Oom Ben.
”Lalu sekarang kamu akan berbuat apa?”

121

Not Until_Teenlit.indd 121 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana mengangkat wajah. ”Dia harus dapat balasan atas semua
perbuatannya!”
Ya, hukum karma berlaku sampai akhir hayat. Hukum balas-
membalas, hukum alam yang tak dapat diganggu gugat. Dan Nana
ikut bermain untuk mempercepat terjadinya hukum karma.
”Balasan yang setimpal!” ucap Nana tajam. Bagaimanapun Nana
harus menetralisir hatinya. Dia tak mau semua rencana menjadi
berantakan gara-gara luapan hati yang tak terkontrol.

122

Not Until_Teenlit.indd 122 6/3/2014 4:04:52 PM




R
INTIK hujan kembali menyapa kota ini. Merintik di
tengah belantara kemarau panjang yang enggan
beranjak. Rintik hujan meniupkan kesejukan di dunia
yang jarang terasa akhir-akhir itu.
Nana merasa ada yang aneh pada hujan kali ini. Awannya
terlihat begitu muram, walau tak henti-hentinya menumpahkan
air.
”Selalu ada beban yang ditanggung sendiri.”
Nana mengerjap, terbangun dari lamunan panjang. Dio
mengklakson mobil di depannya, memintanya beranjak.
Jakarta, biasalah macet. Apalagi jam pulang kantor seperti itu,
jalanannya bisa lebih penuh daripada pasir di pantai.
”Kalau gini bisa kejebak dua sampai tiga jam nih,” gerutu Dio
kesal.

123

Not Until_Teenlit.indd 123 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana hanya menggeleng-geleng. Sejak tadi, hampir satu jam,
pemuda di sebelahnya itu tak terus saja menggerutu. Mengeluarkan
segala macam umpatan, yang sampai dia ulang berkali-kali.
Kehabisan stok umpatan tampaknya.
”Mana gue ada janji jam sembilan. Sial!” gerutu Dio lagi.
Nana mengernyit, lama-lama ikutan kesal melihat Dio berulah
seperti itu. ”Ck! Lo bisa nggak sih nggak ngeluh? Iya, gue tahu lo
ada janji jam sembilan. Gue tahu macetnya nggak akan berakhir
dua-tiga jam. Gue bosen denger rutukan lo, tahu nggak? Tadi juga
gue bilang, jangan lewat jalan sini, tapi lo tetap milih, kan? Ya, ini
semua juga salah lo!” ucap Nana panjang lebar, yang akhirnya
menyalahkan Dio. Rasanya baru kali ini dia mengeluarkan kata
sepanjang itu, selama lebih dari enam bulan.
Dio mengangkat alis. ”Kenapa lo jadi nyalahin gue sih?”
Nana berdecak tak suka. ”Yah emang salah lo!”
”Terserah!” tanggap Dio cepat. Kesal. Sekalinya Nana menge-
luarkan kata-kata, justru menyalahkannya.
”Dia yang salah, dia juga yang marah. Manusia zaman sekarang,”
ucap Nana mirip gerutuan. Matanya menerawang ke luar jendela
mobil. Lebih baik dia menikmati awan yang berarak dan bersiap
mengeluarkan kandungan air yang menjadi bebannya daripada
mendengarkan segala macam sumpah serapah dari mulut Dio.
Tapi, mmm... tanpa Nana sadari, kehadiran pemuda di samping-
nya membuat pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Tanpa dia
sadari, beban di pikirannya sedikit menghilang.
Braaak!
Nana kaget mendengar suara pintu mobil yang ditutup kasar.
Diliriknya Dio yang terengah-engah. Rambut dan bajunya basah.
Nana mengernyit, kapan pemuda itu keluar? Ia sama sekali tak
menyadarinya.

124

Not Until_Teenlit.indd 124 6/3/2014 4:04:52 PM


”Sial!” rutuk Dio.
Nana mengangkat alis. ”Kenapa lagi sih?” ucapnya jengah.
Dio mengacak rambut yang basah, dan gerakannya itu membuat
getaran halus di hati Nana. Gadis itu terpana. Dio tak menyadari
dirinya dipandangi tanpa bernapas oleh gadis di sampingnya.
”Di depan banjir, parah banget. Nggak bisa gerak sedikit pun.
Padahal hujannya juga baru sebentar. Tapi iya sih, deres ba-
nget!”
Nana tersadar dari keterpanaannya, buru-buru mengalihkan
pandangan, sebisa mungkin tidak menatap mata Dio. Bisa-bisa dia
tak menginjak tanah lagi. Melayang terbius pesona cowok itu.
Jantung Nana berdebar keras, membuat ia yakin seluruh dunia
akan tahu jika berada di dekatnya.
Kenapa pemuda itu begitu memesonanya?
Dio melirik Nana dengan tatapan tak mengerti. Tiba-tiba saja
Nana mengalihkan pandangan ke arah lain saat dia sedang ber-
bicara. Ada apa lagi? Ada masalah apa lagi yang membuat gadis
itu merasa terganggu?
Tidakkah Dio tahu sesungguhnya dialah yang menyebabkan
masalah dalam diri gadis itu, hingga ia kesulitan mengatur debar
jantungnya sendiri.
Nana menarik napas panjang. Sekarang, setelah sekian lama
terjebak macet dan hujan, dia baru sadar bahwa kelamaan di mobil
berdua Dio adalah kesalahan besar!
Nana memberanikan diri menoleh, bertumbukan dengan mata
Dio yang masih mengepungnya, menyebabkan dia tak bisa mela-
rikan pandangan ke mana-mana.
Tahu-tahu saja pemuda itu menggenggam tangan kanan Nana
kuat-kuat. ”Lo kenapa? Jangan bikin gue khawatir.”

125

Not Until_Teenlit.indd 125 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana menghela napas. Elo. Elo, Dio, batinnya menyalahkan Dio,
tapi mulutnya terkunci.
”Lo nggak mau cerita sama gue?”
Nana menggeleng. Tetap memilih diam. Dia harus menetralisir
perasaannya. Nana yakin seribu kali yakin, berada di samping Dio
membuatnya kesusahan mempertahankan deru jantungnya yang
seakan ingin meledak.
Nana tersenyum tak ramah. ”Apa sih lo? Sok perhatian!”
ketusnya, yang tak lain adalah bentuk pelarian dirinya agar bisa
beralih dari mata yang mampu menghipnotisnya itu.
”Gue memang selalu perhatian sama lo. Lo-nya aja yang nggak
pernah sadar,” Dio membela diri. ”Eh, Na, lo nggak pernah pacaran
ya?” tanya Dio tiba-tiba.
Nana menerawang. Seingatnya dia tidak pernah menjatuhkan
diri dalam ikatan dengan lelaki mana pun. Dia menggeleng.
Dio terbelalak, tak percaya. ”Serius? Cewek London nggak
pernah pacaran?”
Nana mengembuskan napas kesal. ”Denger ya, Tuan Diova, di
sana gue hidup di asrama putri. Dan gue nggak terlalu berminat
pacaran dengan western boy. I prefer oriental. Lebih perfect.”
Dio menganga tak percaya. ”Berarti gue perfect dong?” ucapnya
polos.
Nana tertawa. ”Kepedean lo ternyata hiper ya?”
Dio menganga lagi. Bukan karena jawaban Nana melenyapkan
gelembung-gelembung harapannya, tapi apa tadi? Gadis itu ter-
tawa!
”Lo ketawa, Na!”
Nana mengernyit. Hah?
”Dan gue suka lo ketawa,” ucap Dio jujur, membuat Nana kem-
bali tak menginjak tanah.

126

Not Until_Teenlit.indd 126 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana menunduk, senyum simpul menghiasi wajah cantiknya.
Dan itu pertama kali dia membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam.
Jatuh pada mata yang tak pernah dia prediksikan pesonanya. Dia
sudah jatuh cinta terlalu dalam.
Dio mengusap pelan pipi Nana yang merona, tak menyangka,
bahwa memenangkan hati gadis itu bisa semulus ini.
Nana menepis tangan Dio kasar. ”Mobilnya udah bisa jalan.
Cepetan!” seru Nana lantang.
Dio kaget, kemudian menatap Nana yang menunduk. Dio
terkekeh pelan. ”Lo salah tingkah,” ucapnya mengagetkan Nana.
Nana membuang muka. ”Sok tahu lo!”
Dio kembali tertawa. ”Atau lo baru sadar bahwa lo udah jatuh
cinta sama gue?”
Nana melengos. Pede sekali.

Nana mengangkat tangan kirinya yang masih diperban. Dia


bersama Karisa berjalan sedikit di belakang empat cowok keren
BIHS. Bagi Nana, cowok-cowok itu hanya menang dalam hal
tampang, kenapa murid-murid BIHS memperlakukan mereka
seperti raja? Mestinya yang namanya siswa semua sama saja,
kan? Lalu kenapa sistem kasta masih berlaku di sekolah yang
katanya internasional itu?
Karisa menggandeng Nana, membuat gadis itu kaget dan me-
liriknya sekilas.
Karisa terkikik geli. ”Kemarin lo sama Dio ngapain, hayooo?”
godanya pada Nana.
Nana menarik napas panjang. Kenapa sih semua orang bersikap
berlebihan? Sejak pagi Karisa, Stevan, Aga, dan Nathan menanyakan
hal yang sama padanya.

12

Not Until_Teenlit.indd 127 6/3/2014 4:04:52 PM


”Kemarin kan gue pulang dari rumah sakit, yah nggak ngapa-
ngapainlah.” Memang tak ada kejadian yang berarti bagi Nana
kemarin. Dia hanya terjebak macet, dan... oh!
”Tatapan kalian itu lho, Na. Mmm... Tahu nggak, lo berhasil bikin
Dio move on dari Acha?”
Nana merasa sesak saat Karisa menyebut nama itu. Nana
memang egois. Dia tak ingin nama gadis masa lalu Dio disebut
di depannya.
Nana menggeleng. ”Gue sama dia nggak seperti yang kalian
pikirin.”
Karisa tertawa. ”Well, kalian bakalan melangkah seperti yang
kami pikirin.”
Nana mengangkat bahu. ”Terserah lo,” ucapnya mengalah.
Pada tahu nggak sih, belum ada kata sakral yang keluar dari
mulut Dio padanya? Belum ada status yang jelas. Oh, melangkah
seperti apa yang dipikirkan teman-temannya itu?
Nana berhenti saat melihat Livia datang dari arah berlawanan.
Tatapan Nana mengeras. Tatapan mengepung langkah Livia yang
belum disadari gadis itu.
Nana mengeluarkan ponsel.

To: Oom Ben


Oom, Nana belum ingin buru-buru karena kita masih punya
waktu tahunan untuk menghancurkan mereka.

”Na...”
Nana menoleh ke arah Karisa. ”Apa?”
”Kenapa berhenti?”
Nana menggeleng. Dia harus mengatur semuanya agar tidak
runyam. Jangan sampai melibatkan teman-teman dekatnya.

12

Not Until_Teenlit.indd 128 6/3/2014 4:04:52 PM


***

Keenam temanan itu segera mencari tempat duduk paling strategis


di kantin. Tumben-tumbennya kantin penuh, padahal belum jam
istirahat.
Nana memilih duduk di samping Dio saat mereka berhasil
mendapat tempat duduk, yang langsung membuat keempat
temannya setengah gila karena senyum-senyum sendiri.
Dio sendiri tak mengacuhkan teman-temannya, tak mau peduli
lebih tepatnya, walaupun Nathan berdeham keras tiga kali dari
tadi.
”Lo kenapa, Than?” tanya Stevan, juga menahan tawa.
Nathan mengangkat bahu. ”Kenapa ya tenggorokan gue jadi
gatel gini?”
Aga melengos. ”Tenggorokan lo yang gatel atau mata lo yang
gatel?” ujarnya menimpali.
Nathan dan Stevan terbahak. ”Dua-duanya,” ucap mereka spon-
tan.
Karisa yang berada di sebelah Aga ikut tertawa. Nana melirik
ke arah Karisa dengan kesal. Kenapa sih Dio tak menanggapi itu
semua?
”Iri aja lo!” ucap Dio sambil menyeruput jus jeruk.
Nana menunduk, ingin menyembunyikan raut wajahnya yang
merona, sambil memainkan sepatu. Ia menoleh ke Dio saat merasa
tangannya yang tertumpu pada kursi disentuh.
Dio tersenyum lebar pada Nana. ”Lo belum makan dari tadi
pagi. Cepetan makan,” kata Dio dengan nada lembut, yang
membuat Nana melambung.
Nana mengangguk saja. Entah sejak kapan dia mulai menuruti
anjuran Dio.

12

Not Until_Teenlit.indd 129 6/3/2014 4:04:52 PM


***

Dio melirik Nana sekilas. Rasa bosan mulai mekar dalam dirinya.
Bagaimana tidak? Sejak setengah jam lalu Dio hanya berdiam
diri sambil duduk manis di samping Nana yang membaca buku.
Dio sempat melirik judulnya tadi. Itu semcacam buku untuk peng-
usaha, berbahasa Inggris.
Dio tersenyum saat mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bisa
membuat Nana mengalihkan perhatian padanya. Ia memiringkan
posisi duduknya, kemudian memajukan badannya, menatap wajah
Nana yang sedang serius. Lama sekali Dio menahan badan sampai
Nana mengalihkan perhatian padanya.
Nana menoleh pada Dio. Jantungnya berdebar keras saat Dio
berada di posisi itu. Tadi dia memang meminta Dio menemaninya
ke taman. Pemuda itu mengangguk saja tanpa tahu diajak Nana
ke taman belakang sekolah untuk menemaninya baca buku.
”Apa sih, Yo?” tanya Nana ketus. Ia menunduk, pura-pura mem-
baca buku saat menyadari pipinya merona.
”Nggak enak banget sih dianggurin,” ucap Dio lantang dengan
nada menyedihkan, seolah membuat diri terlihat semakin mem-
prihatinkan. Dia mengembalikan posisi badannya ke semula, duduk
di samping Nana.
Nana menatap Dio sekilas. Perasaan bersalah mulai menyapa.
Terlebih melihat Dio memasang tampang pilu. Sepertinya pemuda
itu terjebak di dalam lubang hitam yang sangat lama. ”Aku kan
lagi baca,” jawab Nana pelan, mencoba memberi pengertian.
Saat itu jam kosong. Siapa juga yang tak mau memanfaatkan
jam kosong? Nana memanfaatkannya dengan membaca, demi
mendalami perusahaan keluarga papanya.
Dio membelalak. Apa tadi?! Aku? Sejak kapan Nana memakai

130

Not Until_Teenlit.indd 130 6/3/2014 4:04:52 PM


aku-kamu dalam percakapan mereka? Itu baru pertama kali dia
mendengar Nana mengatakan ”aku” selain kepada Oom Ben.
Dio tersenyum manis ke arah Nana. Saat mengacak rambut
gadis itu, ada perasaan nyaman yang luar biasa, hingga dia tak
ingin melepaskan sentuhannya. Jantungnya berdebar keras.
Nana merengut saat Dio mengacak rambutnya. Bukan karena
Dio mengacak rambutnya, tapi karena ada perasaan lain yang
merasuki sanubarinya, perasaan yang tak bisa dia jelaskan dengan
kata-kata.
Perasaan aneh yang hanya muncul saat dia berada di dekat
Dio.
Nana berdeham. Sadar akan satu hal: dia tak boleh mendekati
Dio, sesuai janjinya kepada Acha. Ia mengalihkan pandangan,
menatap lurus ke depan. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa Acha
menangis di depannya, seolah Nana telah merebut mainan paling
berharga miliknya.
Dio sadar akan perubahan sikap Nana. Ada sesuatu yang
dipikirkan Nana.
”Na, kenapa sih? Nggak suka gue di sini?”
Nana mengalihkan pandangan pada Dio. Pemuda itu mena-
tapnya dalam, membekap Nana dalam tatapannya hingga Nana
tak bisa mengalihkan pandangan.
”Lo lagi mimpi ya? Jelas-jelas gue yang ngajak lo ke sini tadi,”
ucap Nana gelisah, menahan hawa panas dari dalam dirinya gara-
gara tatapan Dio.
Dio terkekeh pelan. ”Gue bosen, Nanaaaaa...”
Nana mengangguk-angguk, kemudian menutup buku. Dia
menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari Dio, membentuk
jarak di antara mereka. Nana tahu, sedikit lagi dia berada dalam

131

Not Until_Teenlit.indd 131 6/3/2014 4:04:52 PM


jarak sedekat itu dengan Dio, hatinya akan menggembung dan
meledak, persis balon gas kena panas.
Dio mengernyit. ”Na, ngapain sih jauh-jauhan? Kayak musuhan
aja,” tegur Dio tak suka, menarik lengan Nana, menyuruh Nana
mendekat.
Nana yang merasakan sengatan dalam dirinya menurut saja.
Sensasi aneh itu datang lagi. Nana tertegun. Apa dia benar-benar
menyukai Dio?
Dio menggeser duduknya pelan, kemudian memiringkan kepala,
bersandar di bahu Nana, membuat gadis itu membeku, tak mampu
bergerak, bahkan berhenti bernapas.
Nana merasakan debaran jantungnya semakin keras. Dia
berusaha menarik bahunya, tapi kepala Dio terus menahan.
”Yo, jangan manja deh,” ucap Nana, ”Acha nggak suka kita
deket.”
Dio menarik kepalanya, menatap Nana dengan pandangan tidak
suka.
Nana menggigit bagian dalam bibirnya. Apa dia sudah membuat
Dio marah?
”Apa dia punya hak larang-larang kamu?” tanya Dio.
Nana mengernyit. ”Dio! Dia masih ada rasa sama kamu!” ucap-
nya keras. Mencoba membuka mata Dio pada kenyataan yang
ada.
Dio kaget. Ucapan Nana yang blakblakan itu membangunkannya.
Dia tahu Acha masih mengharapkannya.
Dio menatap kosong. Terbayang olehnya saat dia memergoki
Acha berselingkuh dengan Kelvin. Hatinya perih.
”Gue sama dia udah berakhir. Perasaan gue sama dia udah
nggak ada sejak dia selingkuh,” ucap Dio pelan.
Nana tak berkomentar. Dia pernah mendengarnya, dulu Dio

132

Not Until_Teenlit.indd 132 6/3/2014 4:04:52 PM


sangat menyayangi Acha tapi sayangnya gadis itu malah meng-
khianati kepercayaan Dio.
Omong-omong soal mengkhianati kepercayaan, Nana tahu
benar rasanya dikhianati.
Dio menoleh, kemudian tersenyum pada Nana. Sadar bahwa
dia menyebabkan kecanggungan itu. Ia menghela napas. ”Dulu
gue sama Acha bener-bener deket. Sampai gue mengira dia adalah
segalanya.” Dio tersenyum miris membayangkan hal tersebut.
Nana memilih diam, tak tahu maksud Dio menceritakan hal itu.
Namun pandangan pemuda itu... tatapan lembutnya... Darah Nana
berdesir. Entah kenapa, dia tak suka Dio menceritakan tentang
Acha terang-terangan.
”Bahkan setelah tahu dia selingkuh, gue masih tetap pacaran
sama dia, masih menyayangi dia. Sampai detik ini pun gue masih
mau menyayangi dia,” ucap Dio lirih.
Nana tertegun mendengarnya. Dio jelas-jelas mengatakan bah-
wa dia menyayangi Acha. Lalu kenapa dia masih merasakan jan-
tungnya berdebar keras saat menyadari hal itu? Bersikaplah masa
bodoh, Nana, pintanya dalam hati.
”Sekarang gue sadar dia bukan lagi kebahagiaan gue.” Dio
menatap Nana. ”Kebahagiaan gue, sekarang ada di depan mata
gue.”
Nana terperangah mendapatkan pernyataan tersebut. Baru saja
dia menekankan bahwa apa yang dia rasakan sudah tak boleh
diteruskan. Lagi-lagi pemuda itu membuatnya melambung. Ia
berusaha menghindari tatapan Dio, takut tak bisa mengendalikan
diri.
Dio menggenggam tangan Nana erat. ”Aku sayang kamu. Kamu
juga... merasakan hal yang sama, kan?”
Nana terperangkap dalam beningnya mata Dio. Ia kehilangan

133

Not Until_Teenlit.indd 133 6/3/2014 4:04:52 PM


kemampuan bicara, lidahnya kelu. Dadanya sesak, lupa caranya
menghirup oksigen.

Sender: Dio
Already in parking area.

Nana mengembuskan napas berat. Dia menutup tumpukan laporan


perusahaan beberapa tahun yang tadi diberikan Oom Ben. Nana
ke kantor oomnya secara rutin, memelajari banyak hal.
”Sudah dijemput?” tanya Oom Ben dari meja kerja.
Nana mengangguk datar. Oom Ben sudah tahu hubungannya
dengan Dio.
”Aku pulang dulu ya, Oom,” pamit Nana, beranjak mengambil
tas yang tergeletak sembarangan di meja.
Oom Ben dengan cepat menghampiri Nana. Di tangannya ada
berkas kuning. ”Ini kamu pelajari. Oom dapat dari website Na-
tara.”
Nana mengangguk, kemudian berjalan menuju pintu. Ia melang-
kah menuju lift dengan cepat, tak mau membuat Dio menunggu
terlalu lama.
Dio berdiri tak jauh dari mobil. Sedang menimbang-nimbang
untuk menghampiri ruangan Oom Ben untuk menjemput Nana
yang tak kunjung datang dan tak membalas pesan singkatnya.
Namun saat melihat Nana tak jauh di depannya, ia menghela
napas lega.
Dio melihat di tangan Nana ada berkas-berkas perusahaan.
Meskipun tidak tahu tujuan Nana yang seperti terburu-buru masuk
ke dunia bisnis, dia tak pernah bertanya, memilih mengikuti saja
alurnya bersama gadis itu. Dio tahu Nana tak suka dipaksa.

134

Not Until_Teenlit.indd 134 6/3/2014 4:04:52 PM


”Bukan cuma sekolah yang punya PR,” ucap Dio sambil melirik
ke berkas yang dibawa Nana.
Nana segera menjejalkan berkas tersebut ke tas. ”Aku kan
bilang, nggak usah jemput, Yo,” ucap Nana.
Dio mengangguk-angguk, tahu Nana tak ingin dia menjemputnya
dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun melihat kondisi Nana
yang selalu pulang larut, bahkan hingga jam sepuluh malam seperti
saat itu, membuat Dio berpikir dua kali.
Dio tersenyum. ”Aku sukarela kok, Na. Catet ya, suka dan rela,”
ucapnya yang membuat Nana memutar bola mata.
Dio membukakan pintu bagi Nana, menimbulkan getaran halus
dalam hati Nana. Sesaat kemudian Dio berada di depan kemudi
dan mereka mulai membelah jalanan Jakarta.
Nana menelan ludah, mengamati lampu jalanan yang menerangi
langit. Dia sudah maju sejauh itu, dan tak mungkin mundur. Ia
menghela napas. Kesedihan kembali datang dan menghantui. Dia
kesepian, merindukan kehangatan keluarga. Keluarga Natara me-
mang tak bisa diampuni.
Nana mengatupkan bibir. Pernyataan bahwa Dio menyayanginya
mengganggu pikirannya. Lelaki itu... ah!
”Ngapain liatin aku segitunya sih?”
Nana tertegun, lalu tersenyum. ”Kukira kamu marah.”
”Marah?”
Nana mengangguk, memang menyangka Dio marah karena tak
membalas pesan singkatnya.
”Udah makan?” Dio mengalihkan topik.
Nana menggeleng, baru sadar belum mengisi perut.
”Selalu kayak gitu. Kalau telat makan, siapa yang sakit? Siapa
yang repot?”

135

Not Until_Teenlit.indd 135 6/3/2014 4:04:52 PM


”Kenapa jadi marah-marah sih?” balas Nana ketus, pandangannya
dialihkan ke jalanan.
Dio menatap Nana. ”Aku marah buat siapa, Na?” ucapnya,
nadanya diperhalus agar ketegangan di antara mereka mereda.
”Nanti aku makan,” balas Nana, terdengar tak suka.
Dio tersenyum, sebelah tangannya mengusap puncak kepala
Nana, tak ingin gadis itu marah.
Nana melirik Dio. Ia tak bisa melupakan ekspresi sedih Dio saat
menceritakan hubungannya dan Acha tadi siang. Diam-diam hati
Nana berdenyut ngilu.
”Kenapa harus datang ke kantor? Apa nggak bisa dipelajari di
rumah aja?” tutur Dio, menghentikan mobil karena lampu me-
rah.
Nana menggeleng.
Dio mendesah, ternyata Nana belum juga membuka diri untuk-
nya.
”Yo?”
Dio bergeming.
Nana memiringkan badan, menatap Dio dengan pandangan
sayang, seolah lupa bahwa dia dan pemuda itu hampir berse-
teru.
”Kamu sama Oom Ben... kalian... kenapa bisa deket banget?”
Sebenarnya Nana sudah lama penasaran perihal ini.
Dio mengangkat alis, mencoba mengingat pertemuan singkat
dengan Oom Ben lebih dari dua tahun lalu. Ia tersenyum. ”Biliar.”
Nana terdiam.
”Kami kenal karena biliar. Waktu itu, dua bulan sebelum masuk
SMA, aku, Stevan, Aga, dan Nathan sering main di tempat yang
sama. Kami tahu siapa Bos Ben. Dia yang paling jago di tempat

136

Not Until_Teenlit.indd 136 6/3/2014 4:04:52 PM


itu. Waktu itu dia nantangin kami berempat tanding, yang menang
boleh main gratis.”
Dio melirik Nana, menginjak pedal gas karena lampu merah
berubah menjadi kuning dan hijau. ”Hasilnya draw. Bos Ben
ngusulin main sekali lagi. Tapi kami nolak. Sejak itu aku dan Stevan
kenal sama Nathan dan Aga. Kami sama-sama tahu kami pelanggan
di tempat itu, tapi belum pernah kenalan.”
Nana manggut-manggut mendengar cerita tersebut. ”Jadi kalian
kenal karena pamanku?”
Dio tersenyum, kemudian mengangguk. ”Pas SMA ternyata kami
sekelas. Dan terus sama-sama sampai sekarang.”
Nana tertegun saat mobil Dio berhenti. Dia melihat sekeliling.
Ini lingkungan rumahnya.
Hah? Cepat sekali mereka tiba?
Dio mengacak rambut Nana. ”Sudah sampai, Nona,” kata Dio
dengan nada dibuat-buat.
Nana tersenyum kecil, mencubit pipi Dio gemas, kemudian turun
sambil berucap, ”Makasih ya.”

13

Not Until_Teenlit.indd 137 6/3/2014 4:04:52 PM


10

S
ENGATAN udara Jakarta membuat Nana ingin mandi.
Benar, ozon atmosfer menipis, apalagi setelah dia mera-
sakan sinar matahari yang menyengat jaraknya hanya
sejengkal.
Nana mengeluarkan buku tulis merah, kemudian mengipas-
ngipaskannya tepat di depan muka. Dia menunggu Dio sejak satu
jam lalu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang
hidungnya.
Huh!
Sejak kapan Nana sering mengomel seperti itu?
Nana menoleh ke kiri saat mendengar suara mesin mobil melaju
ke arahnya. Dia hafal suara mesin itu sehingga tanpa menoleh
pun perkiraannya tepat seratus persen. Di sekolah itu memang
hanya Dio yang memiliki mobil Audy.

13

Not Until_Teenlit.indd 138 6/3/2014 4:04:52 PM


Dio menghentikan mobil di depan Nana. Dengan gerakan cepat
dia keluar dari mobil, kemudian menatap Nana dengan perasaan
bersalah. Kedua tangannya disatukan, kemudian dia letakkan tepat
di depan wajah. ”Sorry, Na,” ucap Dio sungguh-sungguh.
Nana hanya menatap dingin, tersenyum kecil, lalu mengalihkan
pandangan ke segala arah. Yang penting tidak tertumpu pada
mata Dio.
”Na,” panggil Dio.
”Ya udah, jalan aja yuk,” jawab Nana pelan.
Nana tahu pemuda di sampingnya itu merasa bersalah, tapi
juga tak menutupi kenyataan bahwa dia kesal. Iya dia kesal karena
Dio selalu menomorduakannya gara-gara kecintaannya pada futsal.
Apa dia tak cukup menarik? Huh!
Dio menghela napas, kemudian menginjak pedal gas mobil.
Sesekali dia melirik ke arah Nana yang masih terlihat kesal. Bahkan
setelah lima menit perjalanan, Nana masih enggan memalingkan
muka untuk menghadap ke arahnya.
Sebenarnya... ada apa dengan Nana? Kenapa akhir-akhir ini Dio
merasa Nana sedikit manja padanya?
”Nggg... apa mau makan dulu sebelum pulang?”
Dio mendapat jawaban berupa anggukan. Si gadis tak menoleh
sedikit pun.
Rupanya Nana lebih tertarik dengan pemandangan yang tak
diduganya di kiri jalan. Livia terlihat berdiri, mungkin menunggu
seseorang. Pandangan Nana mengeras. Ia membelai tangan kirinya
yang masih diperban. Dia harus mengambil langkah cepat untuk
menghancurkan Livia dan dayang-dayang berupa oom dan tante-
nya.
”Na...”
Kalau saja semuanya tak terjadi, Nana tak akan setega itu ke-

13

Not Until_Teenlit.indd 139 6/3/2014 4:04:52 PM


pada sahabatnya sendiri. Sahabat? Cih! Sahabat harusnya saling
percaya, bukan malah saling menuduh. Tanpa sadar Nana terus
menatap Livia dari kaca spion mobil. Bahkan gadis itu tak men-
dengar Dio yang sudah memanggilnya lebih dari tiga kali.
”Nana...”
Nana tersentak. Kembali ke dunia nyata lagi. Ia menoleh, kemu-
dian menatap Dio yang sempat menengok ke arahnya. Tatapan
pemuda itu menyelidik, seolah ada yang salah dalam dirinya. Eh?
Apa? Bukannya dia sedang marahan dengan pemuda itu?
”Gue minta maaf, bener-bener minta maaf. Lo jangan kayak gini
dong!” pinta Dio.
Nana ingin tertawa mengingat Dio jarang menampilkan ekspresi
semacam itu kepada orang lain. Tiba-tiba ide jail untuk mengerjai
Dio tercetus begitu saja.
Nana mendesah berat, kemudian mengalihkan pandangan ke
arah lain.
”Na...”
”APA?” seru Nana keras.
Dio spontan menoleh ke arah Nana yang sepertinya gerah
dipanggil terus-menerus. Tanpa mengurangi konsentrasi, tangan
kiri Dio menggenggam tangan Nana.
Nana kaget bukan main karena merasakan darahnya mendesir
hebat saat tangan Dio menggenggam tangannya. Dengan spontan
ia menarik tangan, kemudian menoleh tidak percaya ke arah
Dio.
”Apa sih, pegang-pegang sembarangan?!” sungut Nana kesal.
Dio mengangkat alis. Dia mengurangi kecepatan mobil karena
di depan lampu menyala merah. Dia harus mencari cara agar Nana
tidak marah.

140

Not Until_Teenlit.indd 140 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana melirik Dio. Sepertinya pemuda itu kehabisan akal. Apa
hanya segitu perjuangannya?
Nana kembali berpikir, sejak kapan dia mulai mengharap
perhatian Dio? Sejak kapan perasaan asing itu muncul?
”Udahlah, Na. Jangan cemburu sama bola dong, please...”
Nana mengangkat alis. Cemburu? Bola? Jangan harap.
”Siapa yang cemburu?”
Dio mencondongkan badan ke arah Nana, kemudian tersenyum
manis. ”Lo. Kenapa lo manja banget sama gue sih?”
Apa?
Nana mendorong tubuh Dio hingga terdengar bunyi ”buk”
karena badan Dio membentur kaca jendela. Spontan pemuda itu
mengaduh pelan.
”Nggak usah ngomong yang nggak-nggak deh,” tanggap Nana,
berusaha menormalkan detakan jantungnya yang semakin parah
karena senyuman Dio tadi.
Nana tak habis pikir, sejak kapan senyum itu dapat meluluh-
lantakkan hatinya seperti ini?
”Lo... salah tingkah,” ucap Dio tertawa renyah. Sangat renyah
hingga membuat telinga Nana mencandu mendengar tawa itu.
Nana mengerjap, tersadar. Dengan cepat dia membuang napas
kesal. Cemburu? Salah tingkah? Siapa? Dia? Tidak sama sekali!

”Bangun, Nana sayang.”


”Kalau Nana nggak bangun, Mama sama Papa nggak mau ne-
menin Nana main lagi.”
”Nana.”
Nana mengerjap. Terbangun dari tidur. Akhir-akhir itu dia sering
memimpikan mama dan papanya. Bukan, itu bukan seperti mimpi.

141

Not Until_Teenlit.indd 141 6/3/2014 4:04:52 PM


Memori Nana hanya menampilkan apa yang pernah ia alami
bersama kedua orangtuanya.
Nana merindukan sentuhan kasih sayang orangtuanya. Sung-
guh.
Nana menyatukan tangan. Kenapa? Kenapa waktu begitu cepat
memisahkan dia dari orang-orang yang dia sayangi?
Kenapa?
Pembawa sial.
Nana menutup mata saat sakit itu mulai terasa lagi. Hatinya
bak diiris pisau tajam. Kenapa dia tak diperlakukan adil?
Air mulai mengalir dari kedua mata Nana yang tertutup. Semua
yang pernah ia alami membuatnya mati rasa. Bahkan ia bingung
saat sadar dirinya tidak terbaring di kasur.
Wuss...
Bunyi deburan ombak.
Nana membuka mata. Astaga. Di mana ini?
Mata Nana mencari ke sana kemari saat tak menemukan se-
orang pun di sekitarnya. Ia mengerjap ketika samar-samar terlihat
orang duduk menghadap pantai, tak jauh dari mobil tempatnya
berada.
Nana turun dari mobil dengan membanting pintu. Membuat
orang yang tertangkap matanya tadi menoleh ke arahnya. Orang
itu malah tersenyum dan melambaikan tangan, mengajak Nana
mendekat.
Nana duduk di pembatas jalan dan pantai. Hatinya resah karena
mimpinya tadi.
”Gue pikir lo bakal marah-marah karena gue nggak bilang-
bilang dulu bawa lo ke sini. Tapi tenang aja, gue udah izin sama
Bos Ben dan dia dengan senang hati memperbolehkan.” Dio
mengusap rambut Nana lembut.

142

Not Until_Teenlit.indd 142 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana tak menggubris. Tak mendengar, tepatnya. Pikirannya
terpecah hingga membuat indra pendengarannya tak bekerja.
Nana tak ingin menjadi lemah. Tapi di situlah Nana berada, di
titik terlemahnya. Dia tak bisa berbohong bahwa dia sanggup
menahan semua itu. Dia bukan gadis kuat yang bisa membohongi
perasaan. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa Nana sadari.
Dio kaget bukan main saat melihat Nana menangis dalam diam.
Apa yang membuat gadis itu menangis?
Dio menggeser duduknya, memperpendek jarak di antara
mereka. Tangannya melingkari tubuh Nana, menyandarkan kepala
Nana di dada bidangnya, memeluk gadis itu dari samping.
Dio hanya berharap Nana bisa menghentikan tangisnya.
”Kenapa... kenapa lo belum juga membagi kesedihan lo sama
orang lain? Kenapa lo masih simpen sendiri? Gue ada di sini, Na,
buat lo. Kenapa lo belum juga menyadarinya?”
Nana termangu saat mendengar keluhan Dio, tetapi tetap
menatap pantai pada pagi itu dengan nanar. Detik berikutnya ia
menegakkan tubuh, melebarkan jarak dengan Dio.
Tangan kanan Nana mengusap pelan matanya yang mulai beng-
kak. ”Lo tahu kan, Yo, gue yatim.”
Dio mengangguk pelan.
”Gue nggak punya ayah saat berumur sepuluh tahun,” tutur
Nana, ”tapi masih ingat kenapa Papa meninggal.”
Nana tersenyum pedih. ”Papa meninggal saat mau menjemput
gue di sekolah. Waktu itu hujan deras banget. Papa telepon ke
sekolah dan bilang supaya gue nunggu di sekolah. Gue nangis
karena temen-temen udah pulang semuanya, tinggal beberapa
guru. Gue takut. Gue terus merengek, padahal Papa bilang, hujan-
nya menghalangi penghilatan Papa saat nyetir.”
Nana menghirup udara dalam-dalam.

143

Not Until_Teenlit.indd 143 6/3/2014 4:04:52 PM


”Papa akhirnya setuju untuk menjemput gue. Gue langsung
berhenti nangis dan nunggu di dekat gerbang sekolah, di tempat
satpam. Waktu itu masih gerimis, tapi langit udah menurunkan
awan-awan kelamnya. Dan udah ada cahaya matahari, meskipun
masih hujan.”
Nana berusaha menahan bulir-bulir air mata supaya tidak turun
lagi.
”Satu jam gue nunggu, Papa belum juga datang. Bahkan cuaca
yang sempat panas ngasih tanda mau hujan kembali. Akhirnya
papa sahabat gue yang menjemput gue.”
Nana menghela napas berat.
”Mobil Papa nabrak pohon karena jalanan licin. Papa meninggal
seketika.”
Nana menunduk.
”Para guru di sekolah nyalahin gue. Kalau aja gue nggak me-
rengek minta jemput, kecelakaan itu nggak bakalan terjadi. Gue
syok karena temen-temen bilang, gara-gara sifat gue yang manja,
gue kehilangan Papa.”
”Itu takdir, Na.”
Nana mengangguk beberapa kali. ”Gue sadar itu takdir, tapi
teman-teman nggak ada yang mau ngedeketin gue saat itu. Gue
bener-bener kesepian. Papa baik banget, banyak orang yang kenal,
dan banyak orang yang menyayangkan kematiannya.”
Dio bungkam.
”Gue sadar posisi gue. Gue lebih banyak diam akhirnya. Iya,
diam membuat keadaan terasa lebih baik.”
Dio mengusap punggung Nana pelan, kehabisan kata-kata.
”Setahun kemudian Mama memutuskan menikah lagi. Jelas gue
nggak terima. Tapi gue bisa apa? Semua orang nyalahin gue.
Termasuk ucapan papa tiri gue waktu itu.”

144

Not Until_Teenlit.indd 144 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana tersenyum sinis. ”Saat marah, dia keceplosan bilang, ’Kamu
mau protes apa, Nana? Apa kamu lupa sama kesalahanmu yang
membuat sedih semua orang?’ Jelas kesalahan itu mengarah pada
kematian Papa yang disebabkan rengekan gue. Gue terus-terusan
nyalahin diri gue sejak itu.”
Air muka Nana mengeras. ”Akhirnya gue tahu kematian Papa
bukan kesalahan gue. Kematian Papa nggak wajar.”
Dio menatap Nana terkejut. ”Maksudnya?”
Nana menatap ke arah laut. ”Rem mobil Papa blong dan tercium
kalium sianida di mobilnya. Oom Ben yang bilang sama gue saat
kami bertemu di London.”
Nana tersadar sudah bicara terlalu banyak. Ia melirik Dio. Tidak.
Dia tak akan melibatkan siapa-siapa dalam rencananya, termasuk
Dio, orang yang saat itu paling berarti baginya. Dia tak akan
membiarkan Dio terlibat dan celaka.
Gadis itu memandang Dio, tersenyum manis. ”Makasih ya, lo
orang pertama yang tahu soal masa lalu gue.”
Dio mengusap pelan pipi Nana. ”Makasih udah percaya sama
gue.” Dengan satu gerakan cepat Dio menarik Nana ke dalam
pelukannya.
Nana hanya terdiam. Ya, dia tak akan membiarkan orang lain
mengetahui lebih jauh. Dia tak akan melibatkan siapa-siapa.
Sesaat kemudian Nana tersentak saat menyadari apa yang
berada di belakang Dio. Bunga yang sudah lama tidak ia lihat.
”Dandelion.”
Dio melepas pelukannya, teringat tujuannya membawa Nana
ke pantai utara Jawa Barat itu.
”Ini kan tanaman liar, kenapa bisa ada di pot gini sih?” sungut
Nana kala meraih pot yang disodorkan Dio.
Dio hanya tersenyum. ”Sebelum dia mati,” Dio membuka plastik,

145

Not Until_Teenlit.indd 145 6/3/2014 4:04:52 PM


lalu memetik dandelion, dan memberikannya pada Nana, ”make
a wish.”
Ucapan Dio menggerakkan saraf senyum Nana. Sepenuh hati
Nana meniup dandelion. Dengan bantuan angin laut yang cukup
kencang, helai demi helai bunga dandelion beterbangan, seolah
senang dipermainkan angin.
Nana tersenyum senang mengamatinya. ”Kenapa cuma satu
tangkai?”
Dio tersenyum. ”Karena gue tahu, yang lo pengin bukan mawar,
tapi bunga itu.”
Nana terbelalak. ”Dari mana lo tahu?”
Dio mengetuk-ngetuk kepala dengan telunjuk. ”Think.”
Nana diam. Bukan itu jawaban yang dia minta.
”Bos Ben yang bilang. Katanya, gue harus bikin lo seneng hari
ini.”
Nana mengernyit. ”Kenapa?”
Dio mengangkat bahu.
Suasana hening. Dio maupun Nana tak tahu harus mengatakan
apa. Mereka sesekali mencuri pandang, canggung dengan keadaan
seperti itu.
”Lo mau dibilang mirip dandelion, Na?”
Nana menoleh ke arah Dio, seketika menggeleng. ”Gue bukan
tipe manusia yang nerima aja dipermainkan orang lain. Kayak
dandelion yang dipermainkan angin. Selama masih bisa memper-
juangkan nasib, gue akan berusaha terus, nggak seperti dandelion
yang pasrah aja diterbangkan angin.”
”Hah?”
Nana tersenyum. ”Gue lebih mirip mawar daripada dande-
lion.”
Dio mengangkat alis. ”Cantik, tapi berduri.”

146

Not Until_Teenlit.indd 146 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana menahan senyum. ”Gue anggap itu pujian,” ucapnya,
kemudian berdiri.
Dio menatap Nana penuh tanda tanya. ”Ke mana?”
”C’mon. Katanya lo mau bikin gue seneng seharian ini?”

Aga mulai gelisah saat Dio dan Nana belum juga tampak di
sekolah. Kemarin keduanya bolos bersama. Sekarang mereka akan
bolos lagi? Aga benar-benar tak habis pikir. Sebenarnya ada
hubungan apa di antara mereka berdua?
”Mereka ke mana sih? Lima menit lagi bel nih,” ucap Karisa yang
juga gelisah menunggu Nana. Dia takut temannya itu kenapa-napa
lagi.
”Nana nggak apa-apa, Sa. Jangan parno deh,” ucap Stevan yang
duduk di depannya menenangkan. Dia mengusap pelan tangan
Karisa, mau tak mau menimbulkan senyuman di wajah Karisa.
Aga menyenggol bahu Nathan saat melihat pemandangan di
depannya. Nathan hanya tertawa, kemudian membisikkan sesuatu
kepada Aga. Mereka berbisik-bisik satu sama lain.
Stevan yang mendapati pemandangan itu langsung melempar
tatapan tajam kepada dua temannya. Dia menjauhkan diri dari
Karisa, kemudian menghampiri dua temannya. ”Lo berdua lagi
ngomongin apa?”
Nathan dan Aga langsung bungkam begitu mendapati Stevan
di depan mereka. Keduanya spontan terkikik geli. ”Lo sama Karisa
jadian setelah nge-date kemarin, kan?” tebak Nathan seketika.
Stevan baru saja akan membuka mulut, tapi suara Karisa keburu
memenuhi pendengarannya.
”Nana!” teriak gadis itu.

14

Not Until_Teenlit.indd 147 6/3/2014 4:04:52 PM


Dari arah gedung utama terlihat Nana dan Dio yang datang
bersama.
Karisa langsung menghampiri Nana. ”Kemarin lo ke mana aja?”
Nana menatap Dio yang berjalan di depannya sebentar.
Keduanya malah melempar pandangan ke arah lain bersama-
sama.
”Gue ada urusan kemarin,” jawab Nana seadanya.
Nana kembali melirik Dio, yang terlihat terlibat pembicaraan
serius dengan Aga, Nathan, dan Stevan. Ia masih mengingat jelas
bagaimana pemuda itu marah kepadanya tadi pagi saat menjem-
putnya.

Nana makan roti panggang dengan lahap. Dia memang kelaparan


setelah diculik seharian kemarin dan baru sadar tak mandi seharian
kemarin.
”Pagi. Udah mandi belum lo?”
Nana hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan makan
roti.
”Lo kayak bunglon, tahu nggak, Na? Dikit-dikit berubah, dikit-
dikit berubah.”
Nana menganga karena rotinya disambar Dio.
Nana mendelik. ”Bisa kan lo ambil di sana,” tunjuknya pada
piring roti bakar di depan Nana.
”Yah… gue maunya yang ada bekas tangan lo, gimana dong?”
ucap Dio menggoda Nana.
Nana mengerjap, kemudian mengambil tas. ”Ayo berangkat!”
Dio mencibir. ”Dasar Princess Bunglon!”
Nana menghentikan langkah, menatap Dio datar. ”Lo bilang gue
apa?”

14

Not Until_Teenlit.indd 148 6/3/2014 4:04:52 PM


”Princess Bunglon.”
Nana menyikut perut Dio dengan kasar, lalu pergi begitu saja,
tidak memedulikan erangan Dio yang kesakitan di belakangnya.

Dan setelah itu Dio tak mengajak Nana bicara sepanjang perja-
lanan. Bukankah dia yang salah? Dio sendiri yang memberikan
gelar tak diinginkan kepada Nana. Lalu kenapa pula dia yang
marah?
Nana hanya memandang datar ke arah Dio, kemudian kembali
memandang Karisa.
”Yakin lo nggak ke mana-mana sama Dio?”
Nana menggeleng. ”Lo sendiri… ke mana aja sama Stevan kema-
rin?” balas Nana, yang spontan membuat wajah Karisa memerah
karena malu. ”Kenapa kalian belum masuk kelas?” ucap Nana
mengalihkan pembicaraan.
Karisa mencelos. ”Nungguin kalian lah!”
Nana kaget. ”Lo kenapa, Sa?”
Karisa menggeleng. ”Nggak apa-apa.”
Terlihat Aga yang melambaikan tangan ke arah mereka, menyu-
ruh mendekat.
Karisa langsung mengangguk, kemudian menarik tangan Nana
agar berjalan karena bel sudah berbunyi.
Stevan dan Karisa terlihat asyik berbicara berdua sepanjang
perjalanan ke kelas. Aga, Dio, dan Nathan entah membicarakan
apa, sampai-sampai mereka meninggalkan Nana berjalan sendiri-
an.
Saat Nana akan masuk ke kelas...
Byuuur...
Nana segera menyingkir dari air yang mendadak tumpah di

14

Not Until_Teenlit.indd 149 6/3/2014 4:04:52 PM


dekatnya. Jantungnya berdegup kencang. Karena teman-temannya
jauh di depannya maka tak tahu insiden tersebut.
Nana meringis. Tangan kirinya yang masih diperban dan terkena
air tadi terasa panas. Kulit di sekitarnya memerah.
Nana berjongkok. Ia mencelupkan ujung telunjuknya ke tum-
pahan air yang menggenang di lantai. Berasap. Spontan ia menarik
tangannya. Astaga! Air panas!
Satu nama langsung tercetus di pikiran Nana.

150

Not Until_Teenlit.indd 150 6/3/2014 4:04:52 PM


11


A
PA?!”
Oom Ben geram saat melihat bagian tangan kiri
Nana yang tak tertutup perban masih kemerahan.
Itu karena cipratan air panas yang tadi disiramkan
seseorang.
”Kurang ajar!” Oom Ben marah sekaligus tak tega keponakannya
menjadi korban. Mereka harus bertindak cepat. Mereka perlu
segera menyusun strategi untuk menghancurkan mantan keluarga
Nana.
”Seharusnya kamu langsung memberitahu Oom, Nana!”
Rencana paling baru tersusun dalam otak Nana. Ya, dia masih
ingat soal undangan dengan nama perusahaan Namajaya.
Oom Ben memandang Nana tak mengerti. Gadis itu fokus pada
pikirannya sendiri. Tapi ia tak akan mengganggu Nana. Gadis itu

151

Not Until_Teenlit.indd 151 6/3/2014 4:04:52 PM


terlalu pintar, dan Oom Ben menyadari itu saat dia menceritakan
peristiwa yang sebenarnya terjadi pada ayah kandungnya.
”Oom,” panggil Nana.
Oom Ben menoleh, melihat mata Nana berbinar, ingin menyam-
paikan sesuatu.
”Tender di Bogor, aku ikut ya?” ucap Nana. ”Sudah saatnya kita
say hi sama mereka.”
Oom Ben tersenyum lebar. Ya, inilah momen yang selama ini
ditunggunya: Nana membuka gerbang perang.
”Kamu yakin?” ucap Oom Ben memastikan.
Nana mengangguk mantap. ”Mereka harus tahu bagaimana
nyawa dibalas nyawa.”
Walaupun sudah bertahun-tahun perusahaan ini Ben kelola
dengan baik, ia tak berniat mengambil jatah Nana. Dia tak akan
pernah melupakan kakak kandungnya yang diperlakukan tidak adil
oleh keluarga barunya.
Nana mengingat sesuatu. ”Oom?”
”Ada apa, Nana?”
”Mmm...” Nana ragu. ”Kenapa...” Ah, kenapa dia malah gugup?
”Kenapa Oom ngizinin Dio ngajak aku pergi pagi itu?”
Oom Ben menyipit, mencoba mengingat-ingat kejadian itu. ”Dia
bilang dia mau bikin kamu senang karena baru aja keluar dari
rumah sakit.”
Kenapa jawaban Oom Ben berbeda dengan ucapan Dio?
”Bukannya Oom yang nyuruh dia supaya bawa aku?”
Oom Ben menautkan alis, tak mengerti tuduhan Nana. Rasanya
dia tak pernah berbicara seperti itu. Subuh itu, saat Ben baru saja
pulang dari kantor, Dio sudah ada di teras rumahnya. Pemuda itu
minta izin untuk mengajak Nana jalan-jalan seharian dan membe-

152

Not Until_Teenlit.indd 152 6/3/2014 4:04:52 PM


rikan suprise. Dio sempat menanyakan bunga kesukaan Nana. Ben
hanya mengangguk karena sangat mengantuk. Tapi kenapa...
”Ah, iya ya? Oom lupa,” ralat Oom Ben, berbohong.
Nana mencium gelagat aneh pada Oom Ben. Dia yakin ada
yang Oom Ben sembunyikan darinya. Kenapa harus disembunyi-
kan?
”Yang penting hari itu kamu bahagia kan, Nana? Dia benar-
benar sayang sama kamu.”
Nana tertunduk malu.
”Dan kamu juga, kan?”
Nana mengangkat wajah dan melihat Oom Ben yang tersenyum
menggoda. Wajahnya terasa panas. Setelah beberapa detik, Nana
kembali menunduk, menghitung luas ubin di situ. Dia mendadak
merasa bodoh.
”Tapi, Nana, Oom harap kamu tidak melupakan alasanmu da-
tang ke Jakarta. Kalau ingin menang, kamu harus fokus. Singkirkan
penghalangmu.”

Dio menatap ragu ke arah Nana. Sejak kemarin dia belum bertegur
sapa dengan Nana, walaupun mereka pulang bersama. Kemarin,
saat menjemput Nana dari kantor, gadis itu diam seribu bahasa.
Bahkan saat turun dari mobil Dio pun, Nana membuka pintu de-
ngan cepat lalu berjalan begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah
kata.
Dan di sekolah ada saja alasan yang membuat Dio kesal. Kenapa
parkir harus dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari kelas
mereka? Membuat dia dan Nana harus lebih lama berjalan dalam
diam. Dio tidak tahu apa yang dipikirkan Nana.

153

Not Until_Teenlit.indd 153 6/3/2014 4:04:52 PM


Nana berhenti, menoleh ke samping, dan melihat Dio melakukan
gerakan yang sama. Pandangan mereka bertemu. Nana merasa
detak jantungnya memburu.
”Gue ke toilet dulu. Lo nggak usah nungguin,” ucap Nana ketus,
lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dio mencibir. ”Siapa yang mau nungguin lo? Bunglon!” balasnya
sengit, kemudian melangkah mendahului Nana. Lho kenapa
mereka malah bertengkar secara terang-terangan seperti itu?
Nana menatap punggung Dio, merasa tak percaya. Juga kesal.
Ya, sebenarnya dia hanya kesal kepada Dio yang tak mau mengerti
dirinya. Sejak kemarin pemuda itu terus-terusan memandangnya
aneh, seolah dia binatang yang siap dimangsa.
Terserah. Gue nggak peduli, ujar Nana dalam hati.
Gadis itu melangkah cepat ke toilet. Dia yakin melihat siluet itu
masuk ke sana. Ia membuka pintu toilet hati-hati. Memperhatikan
dirinya di cermin yang cukup besar sambil menunggu seseorang
keluar dari bilik toilet.
Nana memutar badan tepat saat pintu kamar kecil itu terbuka.
Ia tak pernah salah prediksi. Ia memandang tajam ke arah orang
tersebut. Lalu detik berikutnya ia tersenyum sinis saat Livia terlihat
gugup di depannya. Sewaktu gadis itu mengalihkan pandangan
sambil berjalan ke arah pintu keluar toilet, dengan cepat Nana
mengangkat kaki hingga membuat tubuh Livia jatuh seketika.
”Sudah selesai main-mainnya, Tuan Putri Livia?” desis Nana
tajam. Ia membungkuk, mendekati Livia yang terduduk kesakitan.
Tatapannya ganas dan menyakitkan.
Nana menjambak rambut Livia keras ke belakang, membuat
gadis itu memekik dan menengadah seketika. ”Kalau gue ngomong
lihat dong!”

154

Not Until_Teenlit.indd 154 6/3/2014 4:04:52 PM


Livia tak bisa berkata apa-apa. Nana begitu menakutkan.
Sorotan tajam kedua mata gadis itu seperti siap menerkam. Livia
belum pernah merasa setakut itu.
Nana mengertakkan gigi, berusaha keras mengendalikan emosi.
Semuanya: Papa, Bunga, Mama.
Setelahnya, Nana menarik napas dalam-dalam, meregangkan
tangan, membuat jambakan pada rambut Livia berkurang.
Gara-gara keluarga Livia!
Masih dalam posisi berdiri, Nana menatap wajah Livia lekat-
lekat. Emosinya memuncak, darahnya mendidih. Ia ingat lontaran
kata-kata gadis itu.
Buk...
Tendangan sepatu keras Nana berhasil memerahpadamkan
wajah Livia. Wajah gadis itu hampir saja mencium lantai karena
tidak kuasa menahan badannya.
”Ahhh!” Livia menjerit tertahan, memegang pipi kiri yang
ditendang Nana. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ia kesakitan.
Juga ketakutan.
”Itu cuma secuil dari apa yang lo lakukan ke gue. YOU STARTED
THE GAME!” ucap Nana tajam sambil berjalan ke pintu.
Livia meringis. ”Pembawa sial!”
Nana berhenti. Tidak. Dia tak akan selemah itu untuk luluh
gara-gara sumpah serapah andalan Livia. Tidak akan!
Nana berani bersumpah, dia tak pernah membenci orang seda-
lam kebenciannya pada keluarga tirinya. Amat sangat membenci-
nya.

Nana memainkan jemari, gelisah. Pikirannya kacau saat melihat


empat cowok populer itu mulai dikerubungi adik kelas. Apa sih

155

Not Until_Teenlit.indd 155 6/3/2014 4:04:52 PM


pesona keempat pemuda itu hingga membuat mereka begitu
disukai?
Nana merasa sesak saat melihat tangan seseorang mengusap
puncak kepala seorang cewek.
”Kenapa lo mandangin kami kayak gitu?”
Nana kaget dan menoleh ke samping. Lho? Sejak kapan Aga
berada di sampingnya? ”Bukannya lo di sana?” tunjuk Nana ke
arah Stevan, Nathan, dan Dio.
”Gue baru sedetik duduk di sini.”
Nana menganga.
”Gue capek berdiri. Gue bilang aja bahwa gue mau nemenin lo.
Eh, fans-fans gue malah pindah ke Nathan dan Dio. ”
Nana hanya tersenyum kecil menanggapi penjelasan Aga. ”Ya
udah, balik lagi aja ke sana. Fans lo bakalan ngerubungi lo lagi.”
Aga memandang Nana. ”Gue capek. Masa lo nggak denger
gue?”
Nana mendengus. ”Lo mau bilang, gue budek gitu?”
Aga menyibak rambut Nana gemas. ”Lo sendiri yang ngomong
gitu lho,” ucapnya sambil tertawa.
Nana merapikan rambut sambil memandang Aga. ”Liat tuh, fans
lo pada cemburu sama gue. Nanti gue diteror lagi, kayak waktu
itu.”
Aga tertawa. ”Eh? Gue udah ngasih pencerahan sama fans gue
supaya nggak terlalu fanatik. Ya... lo kan tahu gue idola yang baik.”
Nana ternganga, tetapi sedetik kemudian tersenyum lebar
karena Aga tertawa di sampingnya. ”Ya ya ya, terserah lo deh,”
ujar Nana.
Aga dan Nana berpaling ke arah Nathan dan Stevan yang
meninggalkan kerumunan dan berjalan mendekati mereka. Nana
tersenyum pada dua pemuda itu.

156

Not Until_Teenlit.indd 156 6/3/2014 4:04:52 PM


”Berduaan mulu lo. Eh, Karisa mana?” ucap Stevan. Matanya
mencari keberadaan gadis itu.
Nathan menyikut Stevan. ”Pacaran mulu lo sama Karisa.”
Stevan mendelik. ”Emang salah gue nanyain dia?” Teman-te-
mannya itu senang melebih-lebihkan hubungan mereka.
Aga tertawa mendengar ucapan Stevan. ”Semua orang juga
tahu lo lagi pedekate sama Karisa!”
Stevan menoyor Aga. ”Sok tau lu!” ucapnya, meskipun hatinya
mengakui kebenaran ucapan Aga.
Nana tersenyum mendengar percakapan teman-temannya.
Mereka selalu seperti itu. Bertengkar dan berdebat. Bukankah se-
perti itu persahabatan yang sebenarnya? Bertengkar tapi tetap
saling menjaga, berdebat tapi tetap saling memahami.
Nana kaget saat menyadari Dio duduk di sampingnya. Ia me-
mandang pemuda itu sekilas, kemudian menyimak kembali perde-
batan antara Aga dan Stevan.
Nana mengernyit saat tubuh Dio menjauhinya. Pemuda itu
berjalan menjauh, menerima panggilan telepon. Gaya bicara Dio
memang aneh, setengah berbisik-bisik, membuat Nana penasaran
ingin mengetahui orang di seberang sana.
”Gue ke kelas dulu deh, males ngomong sama banci.”
Nana menatap punggung Aga yang berjalan menuju pintu
keluar ruang olahraga. Aga marah? Nana mengalihkan pandangan
pada Stevan dan Nathan.
Nathan tersenyum. ”Udah biasa kali, Na, dia marah-marah. Ntar
juga baikan lagi kok,” jawab Nathan tenang.
Stevan mengangguk menyetujui.
Nana tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
”Kami nyusul Aga dulu ya, Na.”
Nana mengangguk. Sesaat kemudian ia melangkah, ingin pergi

15

Not Until_Teenlit.indd 157 6/3/2014 4:04:52 PM


juga. Matanya menyapu seluruh isi lapangan, terpaku pada Dio
yang masih menempelkan ponsel di telinganya.
Nana mendengus, perlahan mendekati Dio, bermaksud meng-
ajak ke kelas bersama. Namun baru saja dia akan menepuk pundak
Dio yang lebih tinggi darinya, napas Nana tercekat, tubuhnya
menegang.
”Iya, Cha, aku juga kangen sama kamu... makanya cepetan balik
ke sini.”
Nana terdiam. Ada yang mendenyut di hatinya, rasa nyeri
mengentak-entak, entah apa sebutannya. Yang dia tahu, dia hanya
butuh kesendirian.
Nana memutar badan, berjalan menjauh. Dia sudah tak peduli
lagi.

Nana membuka mata perlahan. Penat. Setelah mendengar ucapan


Dio tadi, dia malas bertemu orang lain. Karena itu dia memutuskan
untuk menghabiskan seluruh jam pelajaran di perpustakaan.
Nana memijit kepalanya yang terasa nyeri. Mood-nya hancur.
Memangnya selama ini dia mempunyai mood yang baik? Ia meng-
geleng. Kehadiran pemuda itu mengacaubalaukan kehidupannya.
Dan sialnya lagi, Nana tak bisa menolak.
Buku ensiklopedia yang menutupi wajah Nana, diletakkan,
ditutup, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya.
Nana melangkah ke luar perpustakaan, tersenyum canggung
saat penjaga perpustakaan melirik ke arahnya. Dia sudah empat
jam di situ, dan pasti penjaga itu menyadari kehadirannya.
Adakah orang yang bisa membuatnya merasa lebih baik se-
karang?
Nana berjalan menuju kelas dengan lemas. Sekolah sudah

15

Not Until_Teenlit.indd 158 6/3/2014 4:04:52 PM


berakhir satu jam lalu dan dia melewatkan empat mata pelajaran
dengan tertidur di perpustakaan.
Kakinya berhenti saat sadar siapa yang berjalan di depannya.
Livia dengan tumpukan buku. Gadis itu memang lebih suka
membawa tas kecil yang hanya bisa dimasukkan buku berukuran
kecil dan bukan buku cetaknya yang tebal. Nana tersenyum, ingin
bermain-main dengan saudara tirinya itu.
Dengan mantap Nana berjalan mendekat, bermaksud menabrak
gadis itu dari belakang. Namun Livia keburu ditabrak duluan oleh
seseorang yang berjalan di depannya. Nana tak begitu peduli itu
siapa. Yang jelas ia harus berterima kasih karena tak perlu repot-
repot menabrak gadis itu.
Nana masih terdiam di tempatnya. Buku Livia jatuh dan gadis
itu langsung memungutinya satu per satu. Nana tetap bergeming
saat melihat buku bersampul biru luput dari pandangan Livia.
Gadis itu sibuk berbicara dengan orang yang menabraknya.
Tak ingin membuang kesempatan, Nana berjalan mendekat,
menendang dengan kasar buku yang luput dari Livia, kemudian
menatap gadis itu tajam.
Livia terdiam, membalas tatapan Nana, kemudian berlalu begitu
saja. Begitu juga dengan orang yang menabraknya.
Nana mengambil buku bersampul biru tersebut. Dia yakin itu
buku penting, apalagi ada kunci berkode yang membuat orang
lain tak bisa membukanya.
Nana tersadar. Astaga, itu diary!

Nana menyimpan buku bersampul biru milik Livia ke tasnya. Dan


benar saja, sekolah sudah bubar. Ke mana teman-temannya?

15

Not Until_Teenlit.indd 159 6/3/2014 4:04:52 PM


Ah, Karisa kan sedang sibuk dengan kegiatan OSIS. Mungkin
gadis itu berada di ruang OSIS bersama Aga dan Stevan.
Nathan dan... Dio?
Nana merasakan perutnya mulas saat mengingat nama Dio.
Masa bodoh. Dia sudah tak peduli dengan pemuda itu lagi
”Akhirnya... lo datang juga ke kelas.”
Nana merasakan bulunya meremang saat mendengar suara
tersebut. Ia tidak berniat menengok ke sumber suara. Well,
mengingat namanya saja perut Nana mual, apalagi melihat wajah
orang itu, mungkin bisa membuatnya muntah.
”Lo masih marah sama gue?” Dio mendekati Nana, berdiri di
belakang gadis itu.
Nana diam, tahu posisi Dio, namun tak berniat memutar badan-
nya satu senti pun.
”Masa cuma gara-gara gue bilang lo bunglon, lo langsung kayak
gini?” sesal Dio. Tak biasanya Nana mengabaikannya.
Nana mengambil tas, lalu berbalik sambil menunduk, menggeser
tubuh Dio dengan sikunya agar menjauh, dan bersiap melangkah.
Namun tangannya keburu ditangkap Dio.
Jangan kira gadis itu tidak berontak hingga terlepas dari
cengkraman Dio. Ia menatap Dio sekilas, kemudian berjalan cepat
dari hadapan pemuda itu.
Namun Nana harus mengurungkan niatnya, karena Dio berlari
dan keburu menutup pintu kelas. Ia menahan pintu dengan
menyandarkan badannya.
Merasa keduluan, Nana diam, tak berniat memandang Dio.
Merasa lelah, akhirnya dia duduk di bangku deretan depan.
Sungguh, dia lelah dengan sikap abu-abu pemuda itu kepadanya.
Bagaimana bisa cowok itu mengumbar perasaan sayangnya kepada
dua gadis sekaligus?

160

Not Until_Teenlit.indd 160 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana tak marah, hanya kesal kepada diri sendiri yang takluk
pada Dio. Balasannya? Pemuda itu masih mengharapkan kehadiran
gadis lain.
Dio menarik kursi dan duduk di hadapan Nana. Tangannya
dimasukkan ke saku celana, mengambil sesuatu.
Nana terbelalak. Saputangannya. Bagaimana bisa?
”Punya lo, kan?”
Nana memeriksa saku roknya. Benar. Tak ada saputangan di
dalam sana. Kapan saputangan itu ditemukan Dio?
”Gue temuin di lapangan basket indoor, tepat di belakang posisi
gue nelepon tadi,” tutur Dio tenang, seolah menjawab pikiran
Nana.
Dengan kasar Nana mengambil saputangan itu. Dia peduli
apa?
”Gue tahu lo tadi ada di belakang gue,” ucap Dio lagi.
Nana memberanikan diri memandang mata Dio. Mata itu, mata
yang sempat menenangkannya. Dia memasang ekspresi diam dan
kosong, tak tahu harus berbuat apa. Terlebih hatinya terasa nyeri
saat melihat mata itu.
Nana mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dio memberanikan diri menggenggam tangan Nana. ”Lo nggak
lagi patah hati kan, Na?”
Nana mendelik tajam. Jika bisa dia akan memukul Dio sampai
babak belur, dia akan menendang Dio karena memainkan perasa-
annya. Nyatanya dia tetap diam dan membeku, seolah terhipnotis
mata Dio, lagi.
Memainkan perasaan?
Sejak kapan dia memiliki perasaan pada Dio? Perasaan apa yang
dipermainkan Dio?

161

Not Until_Teenlit.indd 161 6/3/2014 4:04:53 PM


”Lo nggak perlu cemburu dan memang sebenernya nggak ada
yang perlu lo cemburuin.”
Nana terpaku mendengar kalimat tegas Dio. Apa maksudnya?
Apa Dio ingin mempermainkan perasaannya lagi?

Dio merasakan sesuatu bergetar dalam sakunya. Dia mengeluarkan


ponsel dan melirik nama yang muncul. Acha.
Dio mendengus kesal. Dia berdiri, kemudian menerima telepon
dari Acha, dan berjalan menjauhi tempat teman-temannya berde-
bat.
”Halo, Cha?”
”Dio... aku kangen.”
Dio mengernyit. ”Cha...”
Acha terdengar tertawa. ”Aku cuma pengin bilang bahwa aku
balik seminggu lagi.”
Dio tersenyum miris. ”Oke.”
”Kamu nggak mau ngomong sesuatu, Yo?”
Alis dio terangkat, berpikir.
”Males ngomong sama banci.” Ucapan Aga yang begitu keras
membuat Dio terkejut dan membalikkan badan. Ia melihat Aga
berjalan ke luar, disusul Nathan dan Stevan.
Lho? Kenapa mereka tak mengajaknya pergi juga?
Dio tersenyum. ”Aga lagi marah. Aku tutup dulu ya teleponnya.”
Dan sambungan terputus. Dio baru saja akan menurunkan ponsel
dari telinganya kalau saja tak mendengar langkah di belakangnya.
Jantungnya berdetak tak keruan, dan dia yakin Nana akan
mendekatinya. Muncul akal bulus untuk mengetahui perasaan Nana
yang sebenarnya. Dio tersenyum lebar, kemudian berbicara sen-
diri.

162

Not Until_Teenlit.indd 162 6/3/2014 4:04:53 PM


”Iya, Cha, aku juga kangen sama kamu, makanya kamu cepetan
balik ke sini.”
Sehabis mengucapkan kalimat sandiwara itu, Dio meminta maaf
di dalam hati. Dia hanya ingin tahu, seberapa penting arti dirinya
bagi Nana. Tanpa tahu hati gadis itu luluh lantak di belakang
sana.
Nana membelalak setelah Dio selesai menceritakan isi percakap-
annya dengan Acha. Dia ditipu?
Dio tertawa bahagia, menyentuh kedua pipi Nana dengan kedua
tangan. ”Gue bukan playboy yang mengumbar gitu aja perasaan
gue ke lebih dari satu cewek.”
Nana merasakan pipinya memanas, segera menepis tangan Dio,
kemudian dengan cepat berdiri. Dio melakukan hal yang sama.
”Tuh... lo marah-marah lagi. Kapan sih, Na, lo nyadar gue cuma
sayang sama lo?” ucap Dio tulus, menatap Nana yang membela-
kanginya. ”Marah lo bikin gue sakit jiwa, tahu nggak?”
Gombal! Nana tetap mempertahankan egonya. Namun saat Dio
berbalik menghadapnya, pertahanan Nana runtuh.
”Gue sayang sama lo”
Sekali lagi.
Nana tersenyum lebar saat merasakan Dio merengkuh tubuhnya
erat. Ia membalas pelukan itu dengan hangat. Air mata bahagia
meluruh. Perasaannya senang, ingin tersenyum sepanjang waktu.
Itukah yang disebut bahagia? Merasa ingin bersama orang yang
kita sayangi selamanya?
Nana tersentak saat merasakan cubitan halus Dio di pipinya.
”Jangan pernah berduaan lagi sama cowok selain gue. Gue
cemburu, Na.”
Dalam hati Nana menyetujui pernyataan tersebut.

163

Not Until_Teenlit.indd 163 6/3/2014 4:04:53 PM


12

D
IO menatap wajah Nana yang ketiduran di ruangan
Bos Ben. Seperti biasa dia menjemput gadis itu di
kantor setelah lewat jam sembilan malam. Tadi Bos
Ben mengatakan untuk langsung saja ke ruangannya
karena Nana ketiduran, sedangkan dia sendiri masih ada urusan
lain di ruang kerja anak buahnya.
Wajah Nana yang tertidur menyiratkan rasa lelah. Dio sadar
Nana memang banyak pikiran. Jadwalnya menemui Oom Ben di
perusahaan diperketat sehingga Nana baru keluar dari kantor
tersebut setelah jam sepuluh malam. Tentu saja, dia selalu mene-
mani Nana.
Kedekatannya dengan Nana membuat Dio penasaran dengan
apa yang sebenarnya direncanakan Bos Ben bersama keponakannya
itu. Bukankah mempelajari perusahaan bisa pelan-pelan dan nanti?
Tapi kedua orang itu terlihat terburu-buru.

164

Not Until_Teenlit.indd 164 6/3/2014 4:04:53 PM


Dio duduk di sebelah sofa tempat tidur Nana. Wajah Nana yang
seperti anak kecil tanpa dosa membuat Dio terharu. Dia membelai
lembut rambut Nana, kemudian menyusuri lekuk wajah yang
diciptakan Yang Mahasempurna dengan indah.
Wajah Nana memang tak ada kebarat-baratannya, hidungnya
tak terlalu mancung, matanya tak besar tapi bukan sipit, bibir Nana
yang mungil selalu tampil pink alamiah. Pipinya pun pink tanpa
polesan apa pun. Segar. Dan menawan.
Dorongan sayang yang begitu besar membuat Dio mendekatkan
wajah ke wajah Nana, mencium lembut pipi gadis kecintaannya
itu.
Darah Dio mengalir sangat cepat.
Hanya beberapa detik.
Dio menjauhkan wajah dari pipi Nana. Tersenyum bahagia. Pelan
dia mengguncang bahu Nana, tak ingin gadis itu bangun dengan
terkejut.
Pelan-pelan mata gadis itu terbuka. Juga senyumnya merekah
begitu saja. Mmm... malam yang manis.

Nana panik saat menyadari dia tak membawa ponsel ke sekolah.


Padahal biasanya dia tak bisa melupakan benda yang merupakan
kebutuhannya itu. Ia menghela napas, mencoba bersikap wajar.
Baiklah, tersisa lima jam lagi sebelum jam pelajaran berakhir.
Semoga saja tak ada informasi yang berarti.
Nana memijit kepalanya. Pusing. Beberapa hari itu dia sibuk
menyiapkan laporan untuk dipresentasikan agar perusahaannya
bisa mengalahkan perusahaan Natara. Sungguh, Nana sudah tak
sabar lagi berhadapan dengan mantan keluarganya itu.
”Na.”

165

Not Until_Teenlit.indd 165 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana menoleh, mendapati Karisa yang memandangnya cemas.
Nana mengerutkan dahi, meminta jawaban kenapa Karisa me-
manggilnya. Dia lelah, bahkan untuk bicara pendek sekalipun.
”Wajah lo pucet. Lo istirahat aja ya di UKS,” ujar Karisa, terdengar
meminta.
Nana menggeleng. Dia tidak apa-apa, badannya hanya capek
dan tak lebih daripada itu. Otaknya masih berfungsi untuk
menerima pelajaran. Lagi pula, dia lagi malas bolos.

”Karisa bener, lo seharusnya istirahat, Na.”


Dio dan kawan-kawan ada di depannya. Entah berapa lama
Nana termenung. Saat dia tersadar, posisi duduk Karisa yang tadi
persis di depannya sudah digantikan Dio. Karisa mengambil
bangku lain di samping Nana.
”Gue nggak apa-apa,” jawab Nana pelan. Benci karena semua
orang tengah menatap prihatin ke arahnya.
”Lo belum sarapan, tadi malam juga nggak makan. Gue nggak
mau tahu, sekarang lo harus istirahat.”
Sesaat Nana ingin membantah Dio, tapi kemudian mengurung-
kannya. Dia lelah dan malas berdebat. ”Gue nggak apa-apa. Lo
jangan kayak nenek-nenek deh.”
Dio berdecak. ”Gue kayak nenek-nenek juga demi lo kali!”
Nana memutar bola mata. ”Mana handphone lo?” Ia menadahkan
tangan kanan, menyorongnya ke Dio.
Dio dan Aga spontan saling pandang, begitu juga Nathan dan
Stevan.
Tanpa pikir panjang Dio mengeluarkan ponsel, memberikan
pada Nana. ”Buat apa?”

166

Not Until_Teenlit.indd 166 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana mencubit pipi Dio, menampilkan ekspresi senang. ”Gue
pinjem ya, sehari aja. Handphone gue ketinggalan di rumah.”
Dio tertawa sembari mengacak rambut Nana gemas. ”Gue kira
lo mau ngaduin gue ke Bos Ben gara-gara gue ngomelin lo.”
Stevan mengernyit. ”Kalian berdua pacaran?”
Nana melempar pandangan tak mengerti ke arah Stevan, setelah
itu melirik Dio. Dia memasukkan ponsel Dio ke tas. Tanpa tahu
Stevan, Karisa, Aga, dan Nathan tengah menunggu jawaban
mereka berdua.
”Udah deh, bubar, gue nggak apa-apa,” Nana mengusir
seenaknya. Baru saja dia menyelesaikan ucapannya, terasa ponsel
Dio bergetar.
Nana memandang punggung Dio yang berjalan menuju tempat
duduknya sendiri. Karisa juga kembali berada di tempatnya.
Nana memberanikan diri mengeluarkan ponsel tersebut.
Membuka pesan singkat yang baru saja masuk.

Sender: Acha
Aku udh pulang. Skrg lagi di kelas. Nnti ketemu di lapangan
basket indoor. Miss You :*

Nana merasakan dadanya memanas seketika, kembali meman-


dang Dio yang kini memandang bingung ke arahnya. Nana ter-
senyum kikuk. Entah keberanian dari mana, dia mulai menggerakkan
jari, menghapus pesan tersebut.
Nana tak ingin ada yang mengganggu mereka lagi.

”Tadi ada SMS nggak?”


Nana menatap ragu ke arah Dio. Ia menjawab dengan tautan

16

Not Until_Teenlit.indd 167 6/3/2014 4:04:53 PM


alis, seakan tak mengerti. Lalu ia mengeluarkan ponsel Dio dari
tas, menyerahkan kepada pemiliknya. Pertanyaan Dio itu membuat
darahnya mengalir deras ke puncak kepala, lalu lepas dalam bentuk
emosi. Diam-diam ia ingin menutupi perbuatannya tadi.
”Cek aja sendiri,” jawab Nana dingin. Ia merutuki kebodohannya,
kenapa dia tak punya kemampuan berbohong pada pemuda
itu?
Dio mengacak rambut Nana. ”Aku kan cuma nanya, kenapa
jawabnya gitu sih?”
Aku? Entah kenapa sejak kapan panggilan manis itu terbiasa
keluar dari mulut Dio maupun Nana saat mereka hanya berdua.
Nana menggeleng. ”Capek.”
Dio menautkan alis. Alasan capek tak cukup mendukung sikap
dingin Nana. ”Gue ada salah sama lo?”
Nana kaget, menatap Dio yang terlihat menyelidikinya. Ia meng-
hela napas. ”Aku pernah janji sama Acha untuk nggak ngedeketin
kamu.”
Hening.
”Aku bukan pelarianmu kan, Yo?” tanya Nana menuntut kepas-
tian.
Dio tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat Nana me-
nanyakan hal tersebut. Selama itu ia tak pernah menganggap Nana
sebagai pengisi kekosongan saat tak ada Acha.
Nana ingin egois, tak ingin Dio membagi perhatiannya kepada
siapa pun, apalagi gadis masa lalunya itu.
”Bimbang?” Nada suara Nana tak terdengar seperti orang yang
bertanya, begitu gamblang dan seakan menertawakan diri sen-
diri.
Dio menatap Nana. Ada apa dengan Nana? Kenapa tiba-tiba
dia membahas Acha dan melontarkan kata-kata semacam itu?

16

Not Until_Teenlit.indd 168 6/3/2014 4:04:53 PM


Dio mengulurkan tangan, menggenggam tangan Nana lembut.
”Kamu ngomong apa sih? Kelelahan ya? Aku antar pulang?”
Nana menggeleng. Kecewa dengan sikap Dio. Seharusnya dia
sadar sejak awal bahwa Dio tak bisa menetapkan hati di antara
dua pilihan.
Dio kaget saat ponselnya bergetar.

Sender: Acha
Km di mana?

Nana melirik Dio sekilas. Hatinya berdenyut pedih saat melihat


kebimbangan melingkupi wajah Dio. Dia tahu pengirim pesan itu.
Dia begitu tahu siapa yang dapat mengambil pemuda itu
darinya.
Mengambil? Sejak kapan dia mengikrarkan bahwa Dio hanya
miliknya?
Nana menghela napas lagi, kemudian tersenyum miris, ”Lapang-
an basket indoor. Gue nggak tahu dia menunggu lo berapa lama.
Mungkin... udah satu jam dari tadi.”
Tersentak mendengar ucapan Nana, posisi duduk Dio berubah
menjadi berdiri seketika. Entah memang sedang bimbang atau
sekadar dorongan hati, Dio berlari meninggalkan Nana, menuju
masa lalu yang kembali menjemputnya.
Nana merasakan puluhan belati menusuk hatinya. Lebih pedih
daripada saat mendengar Dio mengatakan agar cepat pulang
kepada Acha. Lebih perih daripada apa pun.
Tidak. Dia tak akan patah hati segampang itu.
Ia menatap kepergian Dio dengan nanar. Kehadiran Acha
memang membuatnya tersisih. Bahkan Nana bisa memprediksi,

16

Not Until_Teenlit.indd 169 6/3/2014 4:04:53 PM


suatu saat Dio benar-benar pergi dari dirinya. Entah kapan itu
akan terjadi.
Nana kembali bertanya pada dirinya sendiri, aku bukan pelarian-
nya, kan?

Sikap gamang Dio membuat Nana kehilangan mood habis-habisan


sepanjang hari. Dia tak pulang bersama Dio. Dia memutuskan
untuk pulang duluan, diantar Aga. Sekarang dia tengah berkutat
di ruang Oom Ben bersama pamannya itu.
Gadis itu tak ingin memikirkan Dio dan segala kebimbangannya.
Urusan cinta tak boleh mengganggu konsentrasi dalam menjalan-
kan hal yang seharusnya dia lakukan.
Seharusnya?
Nana menatap jenuh ke arah tumpukan laporan di depannya.
Dia muak.
”Na, kamu jenuh?”
Nana menatap Oom Ben yang hari itu bersikap seperti peramal,
bisa menangkap keanehan gerak-geriknya. Dia menggeleng pelan.
Sial, kenapa aku terus-terusan memikirkan Dio sih? Kenapa pula
pemuda itu tidak menghubungiku dari tadi? Sibuk pacaran?
Amarah terus menguasai Nana sepanjang hari. Bahkan tidur
pun tak akan membuatnya merasa lebih enak.
”Kamu lagi ada masalah?”
Nana menatap Oom Ben datar. ”Masalahku ada pada keluarga
Natara, Oom,” ucapnya gamblang, berusaha menutupi keresahan
hati yang betah singgah. Lalu ia buru-buru menyibukkan diri
dengan membaca laporan.
”Bukan masalah itu, Nana. Masalah hatimu. Kamu seperti
jengkel. Atau terguncang?”

10

Not Until_Teenlit.indd 170 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana mencelos. Dia tak terguncang. Dia hanya ingin marah.
Entah pada siapa. Tiba-tiba Nana membanting laporan di
tangannya sekuat tenaga. ”Oom, I’ve had enough!” serunya
frustrasi.
Oom Ben tersenyum lega lantaran sejak tadi pun mengerti
keadaan Nana yang sebenarnya. ”Kamu selesaikan dulu masalah
hatimu, lalu baru fokus ke sini lagi. Kamu bekerja terlalu keras
akhir-akhir ini. Oom bisa melakukan ini sendiri.”
”Oom akan menghancurkan mereka, kan?” tanya Nana, seolah
meminta jaminan.
Oom Ben tertawa renyah. ”Of course. Mereka harus membayar
apa yang telah mereka perbuat, Nana.”
Nana menarik napas. ”Nana yakin yang melumeri rokok Papa
dan stir mobil dengan kalium sianida itu Papa Livia, Oom.”
Oom Ben menerawang, sendu. ”Ya... kasusnya sudah bertahun-
tahun tidak diangkat. Kita harus bergerak cepat dan teliti.”
Nana mengangguk. ”Depresi yang dialami Bunga dan yang
membuat memarnya...” Ucapannya terputus, teringat sesuatu.
Tak ada yang berkata-kata.
”Oom!” teriak Nana mengejutkan Oom Ben. ”Sidik jari orang
itu pasti ada di sana, Oom!” Nana berpikir keras, mencoba meng-
ingat foto Bunga yang pernah dikirim Mama melalui e-mail.
”Di mana?”
”Di barang-barang kesayangan Bunga!”
Dahi Ben langsung berkerut, berpikir keras.
”Kita harus ke Bandung!”

Matahari belum sampai ke peristirahatannya. Sore masih terang.


Nana dan Oom Ben segera melaju ke Bandung. Mereka tak

11

Not Until_Teenlit.indd 171 6/3/2014 4:04:53 PM


membiarkan waktu menguasai dan membuat mereka tertikam lagi.
Sore itu juga mereka niatkan mengambil tas kesayangan Bunga
yang diduga meninggalkan jejak kejahatan keluarga Natara.
Nana meremas perutnya yang terasa nyeri. Dia belum makan
sejak tadi, sejak kemarin malah. Dia melirik Oom Ben yang fokus
menyetir. Dia tak akan menyusahkan Oom Ben.
Lebih baik Nana memejamkan mata. Dia tak akan menyerah
hanya karena sakit perut. Mereka sudah hampir sampai di Bandung
dan dia malah kesakitan? Oh, tidak!
Oom Ben menepi, lalu menghentikan mobil di depan minimarket.
Nana kebingungan, terus meremas perutnya yang semakin
nyeri.
Tak berapa lama Oom Ben kembali menuju mobil sambil
menenteng kantong plastik putih. Lelaki itu masuk ke mobil,
memberikan kantong tersebut kepada keponakannya. ”Sebentar
lagi kita ketemu keluarga Natara. Masa kamu tampil dalam
keadaan sakit perut begitu?”
Nana tersenyum lega, mensyukuri hari itu oomnya tetap berlaku
sebagai peramal, tahu kebutuhan perutnya yang memang menjerit
nyaring.
Dengan lahap Nana memakan roti dan meneguk minuman
kaleng bernutrisi untuk mengisi perut. Jantungnya berdebar keras
saat terang lampu jalanan Bandung terasa memantulkan kenangan
yang tak bisa dia singkirkan.
Tubuh Nana menegang saat mobil Oom Ben memasuki
kompleks perumahan yang terlalu dikenalnya. Kediaman Natara.
Kediaman keluarga yang pernah menendangnya.
Nana menahan napas.
Oom Ben menghentikan mobil sejajar pagar kediaman Natara.
”Kamu bisa melakukannya?”

12

Not Until_Teenlit.indd 172 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana mengangguk. Oom Ben memang tak boleh terlihat
sekarang. Dia harus menghadapi keluarga Natara sendirian. Nana
menggigit bibir bawah, kegamangan muncul lebih cepat daripada
keberaniannya.
Nana memperhatikan mobil yang memasuki kediaman tersebut.
Oom Joen dan Tante Marina. Mereka baru pulang kantor.
Nana menarik napas panjang, lalu turun dari mobil tanpa
mengatakan apa pun. Dia berjalan mantap, bahkan pandangannya
mengeras saat satpam rumah Natara terkejut melihat kedatangannya
yang tiba-tiba.
Nana mengamati Oom Joen dan Tante Marina yang tengah
keluar dari mobil. Dia masuk dengan wajah dingin, menyusul
mantan paman dan bibinya tersebut.
Tante Marina mundur beberapa langkah saat menyadari ada
Nana di belakangnya. Tubuhnya membeku seketika. Berani-
beraninya anak itu datang kemari lagi.
”Pergi kamu, anak sial! Rumahku akan kotor jika diinjakmu!”
bentak Tante Marina spontan. Tangannya terangkat, bersiap me-
nampar Nana.
Nana tersenyum sinis. ”Gue cuma butuh barang-barang Bunga
yang ketinggalan setahun lalu.”
Tante Marina tak dapat menahan guncangan dalam dirinya,
langsung menampar Nana dengan sekali gerakan, membuat gadis
itu tersungkur. Jejak merah membekas pipinya. Nana sulit menjaga
keseimbangan emosinya. Traumanya juga mencuat kembali. Tidak!
Dia tak akan selemah itu.
”Pergi kamu, gembel!”
Nana mengangkat sudut bibir, tersenyum sinis. Dia berdiri
dengan sisa-sia kemampuannya, menantang Tante Marina. ”Cepat

13

Not Until_Teenlit.indd 173 6/3/2014 4:04:53 PM


kasih gue barang-barang Bunga!” Ia memutar badan, bergegas
memasuki rumah, langsung ke loteng, ke kamar Bunga.
Jantung Nana berdetak kencang saat melewati kamarnya dan
kamar Livia. Dia pernah menjadi bagian rumah itu.
Masih sama. Hanya saja kamar itu tak terawat.
Nana memberanikan diri mengambil tas dan baju-baju Bunga.
Juga perlengkapan sekolah adiknya dan segala sesuatu yang bisa
dijadikan bukti. Ada rol besi yang tergeletak di bawah tempat
tidur, dengan cepat dia mengambilnya, dan… terbelalak saat
melihat bercak seperti darah di tengah rol tersebut. Amarah Nana
memuncak, tapi dia mati-matian berusaha meredamnya. Seperti
apa Bunga disiksa di dalam rumah mewah berhawa neraka itu?
Dia bergidik.
Nana berbalik. Tante Marina, Oom Joen, dan para pembantu di
rumah itu tengah memandangnya jijik. Dia tak peduli. Cepat atau
lambat semua kejahatan akan terbukti dan efeknya berbalik,
menerkam keluarga itu.
Nana membawa barang-barang tersebut dengan tas besar milik
Bunga. ”Gue akan balik lagi mengambil sisa-sisa barang Bunga.
Jadi gue harap kalian bisa membereskannya dengan baik.”
Tante Marina maju, menamparnya sekali lagi. ”Cepat keluar!”
Nana tersenyum sinis, berlari secepat mungkin, keluar dari
kediaman Natara.
Tante Marina seakan tersadar. Gerak-gerik Nana… Tak ada tangis
pada anak itu saat dia menampar membuatnya yakin dengan
analisisnya. Ia mengambil telepon. ”Cepat kejar Nana!” perintahnya
lantang pada beberapa satpam yang menunggu di teras. Ia sendiri
langsung terduduk karena menyesal terlambat menyadari itu
semua.

14

Not Until_Teenlit.indd 174 6/3/2014 4:04:53 PM


Marina yakin Nana akan membalas semua perlakuan dirinya
dan keluarganya.
Joen melirik Marina, bingung.
”Cepat katakan pada Livia untuk berhati-hati mulai sekarang.
Urus semuanya, kita pindah ke Jakarta besok!”

Nana mengusap sudut bibirnya. Berdarah.


”Sebelum mereka menyadari sesuatu, sebaiknya Oom ngebut
dan ambil jalan memutar, jangan lewat jalan biasa,” ucap Nana
terengah-engah dan sulit karena bibirnya perih. Dia memandang
ke arah spion.
Oom Ben mengangguk, melajukan mobil dengan kecepatan
tinggi.
Nana mengalihkan pandangan dari kaca spion, memperhatikan
barang-barang Bunga yang sekarang ada di pangkuannya. Rasanya
dia ingin menangis, saat sadar dirinya tak punya saudara kandung
lagi.
”Nana.”
Nana melihat ke spion. ”Dua mobil di belakang kita adalah
suruhan keluarga Natara.”
Oom Ben terkejut, menengok kaca spion. Benar. Dua mobil itu
mengikuti mereka.
Nana menahan napas. ”Mereka udah tahu aku mau membalas
semuanya.”
Oom Ben melirik Nana beberapa saat.
”Kalau ketangkap, kita mati!” ucap Nana. Ia menatap Oom Ben.
”Orang pertama yang harus disingkirkan adalah Tante Marina, otak
semua ini,” tegas Nana.
Oom Ben memutar balik mobil, kemudian menghilang seiring

15

Not Until_Teenlit.indd 175 6/3/2014 4:04:53 PM


dengan memerahnya lampu jalan. Dia menghela napas lega saat
melihat dua mobil itu terjebak lampu merah sehingga tidak
mengikuti mereka lagi.
Nana masih memperhatikan kaca spion dengan tajam. ”Oom
selidiki penyelewengan dana yang ada di Banten agar kita tidak
kalah sama mereka.”
Oom Ben menatap Nana tak percaya. ”Tapi, Na…”
”Karena aku punya firasat. Yang membuat Bunga depresi adalah
Tante Marina, bukan Hadi Natara.”
Nana menutup mata sejenak. Setelah sekian lama, baru kali itu
Nana berani menyebut nama papa tirinya.
Nana bersumpah sekali lagi, akan membalas semua ini.

16

Not Until_Teenlit.indd 176 6/3/2014 4:04:53 PM


13


N
ANA!”
Nana kaget setengah mati. Suara nyaring Karisa
menggema di ruangan, membuat anak sekelas
menengok ke arahnya. Nana mengangkat wajah-
nya yang menunduk, lalu memaksa tersenyum.
Nana mendapati Dio di pojok ruangan. Tadi pagi dia tak
dijemput pemuda itu. Dia beralasan menggunakan mobilnya mulai
hari itu sehingga Dio tak perlu repot-repot lagi menjemputnya
setiap hari.
Oom Ben sempat mengompres pipi Nana yang sekarang tampak
lebam. Nana harus memperketat pengawasan pada Livia, tak boleh
lengah pada keluarga Natara.
”Lo habis ditonjok siapa?” Calvin, ketua kelas, bertanya dari
ujung sana.

1

Not Until_Teenlit.indd 177 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana tahu apa yang diperhatikan teman-temannya. Pipinya
yang memerah dan lebam di sudut bibir. Itu akibat perbuatan
kasar Tante Marina.
Tiba-tiba Nana merasa tangannya ditarik, diajak ke luar kelas.
Tangan kokoh yang membuat hatinya berdesir. Nana berjalan
menunduk. Syal yang dia gunakan hari itu ditutupkan ke depan
pipi sehingga dia terlihat sedang sakit gigi.
Dio meregangkan pegangannya pada tangan Nana, mengajak
duduk di kantin yang saat itu sepi karena jam pelajaran sedang
berlangsung.
Dio mengamati wajah Nana. Apa yang terjadi pada gadis itu
kemarin? Kenapa tiba-tiba pagi itu wajahnya lebam?
”Lo ngapain kemarin?”
Nana membiarkan syalnya terjatuh, agar Dio mengamati wajah-
nya yang memar.
”Kamu habis ngapain sih?” Kali ini suara Dio terdengar lebih
lembut. Dia menyentuh dagu Nana, mengangkat wajah gadis yang
masih diam itu dengan lembut, menggerakkan ke kanan dan ke
kiri, memastikan tak ada lagi luka di wajh Nana.
Nana menahan tangan Dio yang mengangkat dagunya, malas
berbicara, apalagi harus menjelaskan kisah panjangnya pada Dio.
Toh dia juga sudah bertekad, tak akan melibatkan siapa pun dalam
masalahnya.
Sekilas Nana menangkap Livia yang mengamatinya dari ke-
jauhan. Dia menoleh secara mendadak, menatap tajam ke arah
gadis itu. Livia langsung menunduk dan pergi. Entah apa yang
akan dilakukan gadis itu padanya.
”Na, jawab dong!”
Nana memutar bola mata, jengah karena sikap Dio yang mulai
membuat kupu-kupu dalam hatinya kembali beterbangan. Kemarin

1

Not Until_Teenlit.indd 178 6/3/2014 4:04:53 PM


Dio meninggalkannya demi Acha. Dia kecewa, tapi tetap ber-
harap.
”Na, jawab dong!”
Nana mengangkat alis. ”Jawab apa? Gue harus jawab apa, Dio?!”
Nana membuka mulut, tak bisa menahan emosi yang bergejolak.
Kalau saja dia tak sadar itu di sekolah dia bisa menampar Dio.
Nana hanya ingin kepastian hubungan mereka. Itu saja.
Dio menegang saat menyadari Nana kesal padanya. Apa Nana
marah karena dia meninggalkannya kemarin untuk menemui
Acha?
”Aku khawatir sama kamu, Na.”
”Kemarin kamu nggak khawatir sama aku?” ucap Nana kesal.
Dio menghela napas. ”Sorry karena aku ninggalin kamu gitu
aja.”
Nana berdecak. ”Sorry?”
”Kalau aku yang bimbang, kamu gimana? Kalau aku lebih milih
jalan sama Aga, kamu gimana? Jawab, Diova!” ucap Nana di-
ngin.
Dio mengepal kuat. ”Sorry.”
Nana menggeleng. ”Udahlah, dia udah kembali dan udah
sepatutnya kamu balik sama dia.”
Nana menatap Dio dengan kesal, tak melihat kemungkinan Dio
akan mempertahankannya. Baiklah, apa pemuda itu memang royal
melontarkan kata sayangnya seperti waktu itu? Apa kata itu tidak
menjelaskan perasaannya?
Dio menggenggam tangan Nana erat. ”Na... aku minta maaf
dan… kasih aku kesempatan satu kali lagi.”
Nana berdecak, melirik Dio, tak tega pada wajah yang penuh
rasa bersalah itu. Dia hanya ingin pemuda itu mengerti bahwa

1

Not Until_Teenlit.indd 179 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana menyayangi Dio, lebih daripada apa pun. Dia ingin mene-
gaskan bahwa Dio berhasil merebut hatinya.
Dio berjongkok di depan Nana, menggenggam kedua tangan
Nana, dan berkata dengan tulus. ”Sekali lagi saja, Na.”
Tak beberapa lama, Nana mengangguk setuju. Dia benci saat
dia tak bisa marah kepada Dio. Dia benci saat dirinya selalu lemah
di hadapan pemuda itu. Tapi, bukankah sepantasnya kita memper-
tahankan orang yang kita sayangi? Termasuk memberi kesempatan
kepadanya.
Dio berdiri menghadap Nana, menggenggam tangan kanan
gadis itu, kemudian mengecupnya sekilas. ”Makasih ya. Aku sayang
kamu.”
Kalimat spontan Dio membuat Nana kembali terbuai, meski
belum ada kejelasan status hubungan mereka. Status yang se-
harusnya diberikan Dio untuknya.

Nana memang tak menceritakan apa-apa kepada teman- temannya


perihal lebamnya itu. Dia diam dan sepertinya mereka mengerti
bahwa Nana butuh privasi dan tak memaksa menjelaskan semua-
nya.
Seperti biasa, mereka berada di lapangan basket indoor untuk
menonton pertandingan. Karisa berada di samping Nana dan
berkali-kali meneriakkan nama Stevan. Membuat Nana kegerahan,
ingin berteriak juga.
Tapi Nana mengurung niatnya. Teriakannya cukup sekadar ber-
bunyi di dalam hatinya karena kenyataannya ia tetap mengatupkan
mulut sambil memperhatikan ke dalam lapangan.
Pertandingan selesai, dan kelas mereka menang 16 poin dari
kelas lawan.

10

Not Until_Teenlit.indd 180 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana tak bisa menahan senyum saat Aga berjalan ngos-ngosan
di depannya. Terlihat sekali Aga kelelahan dan kehausan. Nana
menoleh ke samping, melihat Karisa membagi minuman dingin
kepada Stevan dan Nathan. Karisa tak lupa melemparkan handuk
kecil pada mereka berdua, seperti biasa.
Nana memberikan handuk kecil kepada Aga, membuat pemuda
itu sedikit terpana dan menerimanya dengan tawa. Tanpa menga-
takan apa-apa Nana mengambil minuman dingin yang seharusnya
untuk Dio, memberikannya kepada Aga sambil tersenyum.
Nana merasakan dirinya meremang. Lalu ia mengedarkan pan-
dangan ke seluruh lapangan, ke bangku penonton terutama. Nihil,
tak ada siapa pun lagi. Namun Nana yakin ada yang memper-
hatikannya.
Dio mengernyit saat melihat ke arah Aga dan Nana yang duduk
berdampingan. Cemburu menyelusup ke relung hatinya. Dia ingin
mendekat, kalau saja perasaan ragu itu tak membelenggunya saat
melihat Acha berdiri tak jauh di depan Nana.
Dio memilih melempar bola basket ke arah Calvin. Dia ber-
mandikan keringat dan sudah tak tahan untuk berganti baju se-
ragam. Ia berjalan bimbang. Acha melambai semringah ke arahnya.
Dio tersenyum, membalas lambaian Acha.
Dio tidak sadar bahwa Nana berjalan mendekatinya. Tiba-tiba
saja Nana menyapukan handuk kecil ke wajah Dio, kemudian
memberikan minuman kaleng dingin, membuat Dio kaget dan
langsung mengalihkan pandangan ke belakang Nana. Acha sudah
menghilang.
Namun Dio sudah memilih. Untuk berganti hati. Dan melupakan
apa yang pernah terjadi, seberapa kuat pun masa lalu menjem-
putnya.
Nana menoleh ke belakang, mengikuti pandangan Dio. Tak ada

11

Not Until_Teenlit.indd 181 6/3/2014 4:04:53 PM


siapa-siapa, hanya teman-teman mereka. Ia mengerucutkan
bibir.
Dio tersenyum, kemudian mengacak rambut Nana, membuat
Nana mengerjap kaget.

Nana duduk di taman sekolah sambil membaca pesan singkat


dari Oom Ben. Dia berjanji untuk menunggui Dio latihan futsal.
Lagi pula, dia sudah meminta izin pada Oom Ben agar tak datang
ke kantor hari itu.
Nana bosan. Andai saja Stevan dan Karisa tak pergi kencan, dia
pasti punya teman sewaktu menunggui Dio. Lalu sekarang dia
harus melakukan apa? Dio sedang latihan untuk pertandingan
beberapa minggu lagi.
”Heh, bengong aja lo!”
Nana menoleh ke samping. Aga sudah duduk di situ. Nana
memasukkan ponsel ke saku, kemudian menatap Aga. ”Ngapain
lo di sini?”
Aga melengos, menyandar ke kursi taman. ”Ealah… lo pilih kasih
nih, Na, sama Dio lembut banget, sama gue nggak.”
Nana memutar bola mata. ”Yah bedalah lo sama dia.”
Aga mengembuskan napas kesal. ”Padahal kan gue yang duluan
suka sama lo.”
Nana terpana. ”Lo ngomong apa?”
Aga menggeleng. ”Emangnya gue ngomong apa?” Ia baru
menyadari kebodohan yang telah dilakukannya. Ia menatap Nana
ragu-ragu, lalu tertawa begitu saja.
Nana menggeleng pelan. Keanehan Aga semakin lama semakin
parah. Bagaimana bisa dia tertawa? Tak ada yang lucu sedikit
pun.

12

Not Until_Teenlit.indd 182 6/3/2014 4:04:53 PM


”Lo ngapain ketawa?” tanya Nana.
Aga menggeleng. ”Wajah lo kayak preman pasar, tahu nggak
sih?”
Jelas tidak terima, Nana mendengus, mencubit lengan Aga
gemas, kemudian melayangkan tatapan membunuh.
”Awww…!” Aga meringis karena cubitan kecil Nana membuat
kulitnya merah seketika. ”Sadis banget sih lo, Na!”
Nana menggeleng. ”Tau ah… makin bete gue ngomong sama
lo!”
Aga tertawa, kemudian menyikut pelan. ”Gue bercanda.”
Nana menjulurkan lidah.
”Tapi ada seriusnya juga. Hahaha…”
Dan Aga benar-benar menjadi sangat menyebalkan.

Nana melambaikan tangan seiring menjauhnya mobil Dio. Mobil-


nya sendiri terparkir manis di garasi karena Dio memaksanya
menjemput-antar.
Nana membuka pintu rumah bersemangat. Dia tak tahu Dio
menggunakan ilmu apa sehingga membuatnya terbang seperti
itu. Ia melihat foto keluarganya yang besar, memandang wajah
papanya, menutup mata.
Pa, Nana sudah menemukan seseorang.
Nana berjalan menuju kamar. Dia lelah karena setelah latihan
futsal, Dio mengajaknya ke mal untuk menghabiskan sore dan
malam mereka.
Nana mengempaskan tubuh ke kasur, tak berniat mengganti
pakaian. Toh besok dia tak sekolah.
Sesaat kemudian gadis itu kembali berdiri, memutuskan menuju
meja rias. Nana tersenyum saat memar dan lebamnya terlihat

13

Not Until_Teenlit.indd 183 6/3/2014 4:04:53 PM


samar, hampir hilang. Sepertinya besok dia harus memikirkan cara
menyamarkan memar tersebut.
Nana membuka laci, terbelalak saat menemukan sesuatu di
dalam sana.
Buku biru. Diary Livia.
Nana mengambil diary itu. Dia tak akan bisa membukanya kalau
tak tahu kode yang mengunci diary tersebut.
Ada enam angka, dan Nana harus memikirkan baik-baik. Per-
tama-tama Nana mencoba dengan tanggal lahir Livia, kemudian
tanggal lahir kedua orangtuanya. Tak satu pun yang cocok,
membuat Nana frustrasi.
Livia lahir 2 Februari 1995. Nana mencoba segala kombinasi
yang berhubungan dengan angka tersebut. Namun tetap gagal.
Nana mulai bosan, memilih membuka email. Ada email baru
dari temannya di London. Dia membalas email itu sambil berbaring.
Setelah itu dia berpikir, besok dia akan menghancurkan gembok
itu dengan palu. Beres.
Nana memeriksa spam di akun emailnya. Ada email yang belum
dia baca, dari temannya yang lain. Temannya itu mengabarkan
bahwa dia baru saja pacaran dengan cowok Belanda dari sekolah
khusus putra, tetangga sekolah mereka.
Tiba-tiba Nana teringat sesuatu. Astaga! Email itu… email yang
pernah dikirim Livia beberapa tahun lalu, yang mengatakan bahwa
dia dapat pacar. Nana yakin, dia belum menghapus email tersebut.

Livia.natara@ymail.com
Na… aku baru aja kencan sama seseorang. Duh, Na, dia baik
bgt. Km tahu nggak, tadi dia nembak aku, trus aku bilang aja
iya. Aku seneng bgt. Km kapan punya cowok bule di sana?
7 Agustus 2009

14

Not Until_Teenlit.indd 184 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana menghela napas, kembali memandangi diary Livia yang
tergeletak di kasur. Dia mencoba kombinasi angka tersebut,
090807.
Ceklek!
Diary itu terbuka.
Nana tersenyum miring. Itu diary Livia sejak kelas 1 SMA.
Nana membelalak saat membaca:

2 Feb 2010
Bunga dipukul lagi. Aku nggak tega, tapi kesel juga. Kenapa
Bunga mecahin pajangan kuda yang dia kasih? :’(

Astaga! Nana meremas kertas diary itu. Lagi? Jadi adiknya ting-
gal di sana dengan siksaan? Nana bergidik, muak pada keluarga
Natara.
Nana mengamati tulisan terakhir Livia. Tak tertulis kapan tanggal
pastinya, namun ada namanya, setelah cacian yang ditumpahkan
kepadanya di lembar sebelumnya.

Pindah ke sekolah baru. Aku nggak nyangka bakalan ketemu ka-


mu lagi, tapi sayangnya kamu gabung sama orang yang menyebabkan
ayahku meninggal. Kenapa kamu harus berteman dengan Nana?
Aku masih sayang kamu, nggak mau kamu jatuh cinta sama Nana.
Kenapa? Kenapa tadi pagi kamu jalan bareng dia?

Nana ternganga membacanya. Apa? Cinta pertama Livia… ada


di dekatnya? Siapa? Apa satu di antara keempat cowok itu?
Nana terdiam, yakin Livia masih sangat menyayangi pemuda
itu. Dia bisa memanfaatkan keadaan.
Nana tersenyum penuh arti. Baiklah, siapa sebenarnya mantan

15

Not Until_Teenlit.indd 185 6/3/2014 4:04:53 PM


Livia? Penasaran membuat dirinya merasa harus segera mene-
mukannya!

Nana merapikan blazer, mantap menghadiri meeting perusahaan.


Dia memang tidak akan masuk ke ruangan, sekadar menunggu
di luar, dan mendapatkan laporan segera setelah meeting usai.
Saat Oom Ben menanyakan apakah dia sudah siap, Nana
mengangguk, lalu berjalan menuruni tangga. Dia menuju mobil
Oom Ben. Jantungnya berdegup semangat saat mobil itu melaju
dan beberapa menit kemudian memasuki gedung besar tempat
meeting dilaksanakan.
Tentu saja itu penting. Mereka akan berhadapan dengan keluar-
ga Natara.
Nana menajamkan penglihatan saat melihat Oom Joen dan
Tante Marina berjalan ke dalam perusahaan. Ia memutuskan untuk
menunggu di mobil saja.
”Good luck, Oom!”
Oom Ben mengangguk, meraih jas, lalu meninggalkan mobil.
Nana menghela napas, berdoa sekali lagi agar mereka menang
dan bisa mengucapkan ”selamat tinggal” kepada keluarga Natara.
Nana menyipit saat melihat Livia yang mengenakan blazer
cokelat tua turun dari mobil. Nana tersenyum, apalagi bersamaan
dengan masuknya pesan singkat dari Oom Ben.
We win!

Livia tak bisa menahan rasa terkejut saat melihat Nana bersandar
di mobil. Nana mengenakan blazer hitam dengan rok selutut.
Nana tersenyum sinis pada Livia, membuat gadis itu terpaku di

16

Not Until_Teenlit.indd 186 6/3/2014 4:04:53 PM


tempat. Sepertinya Livia masih syok dengan perlakuan Nana tempo
hari.
”Welcome. Lo jadi penerus di perusahaan Natara atau cuma jadi
babunya Marina supaya suatu saat dia bisa buang lo?” ucap Nana
sinis.
”Ngapain lo di sini?”
Nana berjalan mendekat. ”Menurut lo?” ucapnya dingin.
Tubuh Livia menegang saat Nana menyentuh bahunya.
”Perusahaan sekelas Natara bisa kalah tender?” ucap Nana
meremehkan.
”NANA!”
Nana melangkah mundur, melihat Tante Marina dan Oom Joen
yang setengah berlari menuju mereka. Nana tersenyum meremeh-
kan saat mereka bertiga ada di depannya.
”Halo, keluarga Natara. Saya dan Nana sudah lama ingin bersapa
dengan kalian.”
Nana tersenyum lebar ke arah Oom Ben yang baru berga-
bung.
”Ben?”
Ben mengangguk. ”Lebih tepatnya Ben Kelana, adik Faisal
Kelana. Saya paman Nana yang dulu tinggal di Inggris.”
”Kailana Group?” ujar Marina menebak.
Ben mengangguk. ”Kalian salah jika menganggap meninggalnya
Faisal menjadi akhir kejayaan perusahaan Kelana yang sekarang
berganti nama menjadi Kailana.”
Nana berdiri tegap, bersidekap. ”Perusahaan Kelana yang
berganti nama jadi Natara belum berakhir, Oom. Mereka lupa
bahwa yang memimpin perusahaan Natara kali ini hanyalah staf
HRD yang tak pantas jadi bos.
”…dan Hadi Natara, pemimpin sebelumnya, adalah manajer yang

1

Not Until_Teenlit.indd 187 6/3/2014 4:04:53 PM


mengorupsi uang perusahaan, tapi masih dilindungi Papa. Dan
kemudian berkhianat. Dia jatuh cinta pada istri Papa. Makanya dia
membunuh Papa dengan cara tersamar. Lalu dia pun gagal menjadi
suami yang baik.” Nana menatap geram pada tiga orang yang
mulai kehilangan kendali berpikir.
”Jaga mulut lo, Na!” bentak Livia keras.
Nana tersenyum miring. ”Lo marah karena yang gue bilang
bener, kan?”
”PAPA GUE NGGAK BEGITU!” bentak Livia lebih keras.
Nana spontan tertawa. ”Bokap lo memang kayak begitu, Livia.
Kenapa? Kenapa lo masih membela pembunuh, Livia? Bukannya
lo menuduh gue sebagai penyebab kematian bokap lo?”
Tante Marina memeluk Livia, menenangkannya. ”Apa yang kamu
ucapkan, anak pembawa sial?” bentak Tante Marina.
Nana kembali tertawa. ”Kailana is growing up. Kalian berada di
ujung kehancuran,” ucap Nana tajam, juga puas bisa mengibarkan
bendera perang. Dia rindu menyambut kemenangannya.

1

Not Until_Teenlit.indd 188 6/3/2014 4:04:53 PM


14

N
ANA tersenyum kecil, memori di kepalanya memutar
kejadian kemarin. Dia tak menyangka semuanya akan
berjalan dengan baik dan secepat itu. Sambutan yang
mereka berikan berhasil membuat syok keluarga
Natara.
”Lagi seneng ya?”
Nana menggeleng spontan, melihat Dio melahap es krim
cokelat. Nana terkikik geli saat melihat sisa es krim di sudut bibir
Dio, yang tak disadari pemuda tersebut.
”Kenapa ketawa?” ucap Dio, merasa Nana merahasiakan se-
suatu.
Nana mengulurkan tangan, mengusap es krim tersebut pelan.
”Makannya jangan kayak anak kecil dong, Yo,” ucap Nana setengah
berbisik.

1

Not Until_Teenlit.indd 189 6/3/2014 4:04:53 PM


Yang tak Nana sadari, tubuh Dio spontan menegang akibat
perlakuannya tadi. Bukankah kalau di film-film, justru cowok yang
melakukan hal seperti itu? Dio menatap Nana, tak percaya. Percaya
atau tidak, hatinya melambung dan jantungnya ingin meledak.
Nana menaikkan alis saat menyadari Dio menatapnya terus-
terusan. Merasa jengah Nana menyikut perut Dio. ”Kenapa sih?”
Perhatian ekstra Nana barusan membuat Dio semakin menya-
yanginya. Ditambah lagi Nana menempel terus di sampingnya.
”Dio.”
Nana dan Dio sama-sama kaget mendengar panggilan itu. Nana
melirik Dio, dan pemuda itu melakukan hal yang sama pada
Nana.
Acha.
Nana menahan napas saat gadis itu mendekati Dio, menarik
tangan Dio manja, membuat Dio berdiri.
Nana menghela napas berat. Dio selalu saja seperti itu, tak bisa
menentukan dengan siapa dia lebih nyaman. Bukan apa-apa.
Lama-lama Nana jenuh dengan sikap abu-abu Dio.
Oh! Masih ada yang membuat Nana menghela napas. Kehadiran
gadis yang menemani Acha: Livia. Dia berdiri agak jauh, terlihat
tegang saat berpandangan dengan Nana.
Nana terus menatap tajam Livia. Siapa sebenarnya mantan pacar
Livia yang ada di antara keempat temannya? Dia terus berpikir.
Bukankah kejadiannya sudah lama? Berarti cowok itu pernah
tinggal di Bandung?
Nana mengalihkan pandangan ke arah Acha dan Dio yang
sepertinya sudah selesai bicara. Dio berjalan ke arah Nana,
sedangkan Acha berjalan ke arah Livia. Nana kembali menghela
napas. Dia tak suka Dio masih berhubungan dengan Acha.
Itukah yang dinamakan cemburu?

10

Not Until_Teenlit.indd 190 6/3/2014 4:04:53 PM


”Yuk ke kelas,” ajak Dio pada Nana.
Tak adakah keinginan Dio untuk menceritakan apa yang mereka
bicarakan tadi?
Nana kaget saat menyadari ada sesuatu di tangan Dio. Kotak
makanan. Dia tahu pasti siapa yang membawakan bekal itu. Dia
kembali menghela napas, lalu mengangguk. Mencoba bersabar
dan tak mau peduli dengan situasi tersebut.
Terserah. Aku tak mau peduli, vonis Nana seketika.

Nana menatap cuek pada Acha yang menanti di luar kelas. Se-
pertinya gadis itu tengah menunggu Dio pulang. Lalu dia meng-
alihkan pandangan ke arah Dio. Tampaknya pemuda itu belum
menyadari kehadiran Acha.
Bu Hanni yang mengajar fisika segera meninggalkan kelas
begitu bel berbunyi. Kelas menjadi riuh seketika saat para siswa
bergegas keluar kelas.
Nana memandang Stevan yang langsung menuju tempat Karisa,
membisikkan sesuatu sehingga membuat tawa Karisa pecah.
Keduanya tertawa bersama. Nathan dan Aga menyusul Stevan.
Mereka seperti membicarakan sesuatu, yang entah kenapa Nana
tak berminat mencari tahu.
Karisa menghampiri Nana, menarik tangannya agar berdiri,
kemudian berkata, ”Lo nggak ada acara kan sekarang? Ikut nonton
yuk,” ajaknya dengan wajah ceria.
”Bukannya lo mau kencan? Kenapa nontonnya rame-rame?”
tanya Nana.
”Siapa yang kencan? Ayolah, Na, mumpung Aga dapat golden
ticket,” ujar Karisa menarik-narik baju Nana pada bagian bahu,
persis anak kecil yang minta dibelikan boneka.

11

Not Until_Teenlit.indd 191 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana mengangguk. Dia tak punya kegiatan apa-apa karena
Oom Ben berada di Banten untuk menyelidiki sesuatu.
Karisa menggandeng Nana menuju Nathan, Aga, dan Stevan.
Aga tertawa renyah saat Nana bergabung. ”Wajah lo udah
nggak merah lagi,” goda Aga.
Nana spontan mencubit perut Aga, membuat cowok itu meringis
kesakitan hingga tawa Nathan dan Stevan meluncur meledak-
ledak.
”Mampus lu, Ga!” ucap Nathan di sela tawa.
”Sorry!” Aga menyerah.
”Lo semua mau ke mana?”
Semua langsung membalikkan badan. Dio berdiri menyandang
ransel.
”Mau nonton dong, mumpung ada golden ticket nih,” jelas
Stevan.
Dio hanya meng-oh-kan, kemudian keluar kelas tanpa meng-
hiraukan Nana yang menatapnya pahit.
”Dia nggak ikut?” tanya Nana.
Aga menggeleng. ”Dio mau nemenin Acha. Nggak tahu deh
mau ke mana.”
Nana ber-oh singkat, kemudian mengikuti langkah teman-
temannya. Dia melihat Dio dan Acha berjalan bersama di depannya.
Dio bahkan tak memandangnya sedetik pun tadi. Nana merasa
diabaikan, seolah Dio tak pernah mengucapkan kata sayang
kepadanya.
Nana mengembuskan napas saat melihat Dio membukakan
pintu bagi Acha, lalu mobilnya menghilang dari parkiran BIHS. Dia
menggeleng pelan, berusaha mengerti kondisi Dio yang sedang
bimbang.

12

Not Until_Teenlit.indd 192 6/3/2014 4:04:53 PM


”Kita have fun aja sekarang. Nggak ada Dio bukan berarti lo
nggak mau pergi bareng kita, kan?”
Nana kaget mendengar perkataan itu. Aga tersenyum lebar
padanya.
Nana mengangguk. Ya, dia masih punya banyak teman, walau-
pun tak ada Dio.
Mobil yang dikendarai Stevan melaju, membelah jalanan Jakarta.
Nana menatap ke luar jendela, sendu.
Kapan terakhir kali dia selemah itu? Ah, atau justru… kuat?

Nana mengunyah spageti pelan-pelan. Setelah selesai nonton


dengan golden ticket yang didapatkan Aga, kini mereka beralih
pada food court di lantai paling atas mal itu karena belum makan
sejak pulang sekolah.
Nana baru tahu arti golden ticket yang sebenarnya adalah bisa
nonton gratis. Walaupun golden ticket-nya hanya satu, Aga boleh
mengajak lima teman.
Nana menelan ludah saat memperhatikan Stevan dan Karisa
yang tertawa-tawa kecil. Ah, kenapa dia sering sekali memperhatikan
pasangan itu? Tadi juga, saat nonton di bioskop, di sebelahnya
pasangan yang lebih tua darinya menggamit lengan pacarnya
dengan mesra.
Nana mengalihkan pandangan pada spageti. Kalau saja Dio dan
Acha tidak jalan bersama, pasti yang sekarang duduk di sampingnya
adalah Dio. Nana memaki dirinya. Kenapa dia harus terus mem-
bayangkan cowok itu? Katanya sudah tak peduli!
Masih ada lagi yang mengganggu pikirannya. Sejak kapan Acha
dekat dengan Livia? Apa mereka satu kelas? Nana tak mencari
tahu kelas Livia karena terlampau muak pada keluarga Natara. Dia

13

Not Until_Teenlit.indd 193 6/3/2014 4:04:53 PM


teringat pada sosok cinta pertama Livia, mantan pacar yang
kemungkinan besar ada di antara ketiga pemuda di samping dan
depannya itu.
”Hhm…” Nana berdeham, mengalihkan perhatian.
Aga yang sedang menikmati milk shake menatap Nana dengan
pandangan tak mengerti. ”Apa?”
Respons Aga membuat Nana teringat sesuatu. Bukankah dulu
Aga bilang bahwa dia pernah…
”Lo pernah tinggal di Bandung ya?” tanya Nana.
Aga mengangguk. ”Iya. Kenapa?”
Nana mengangguk. ”Dulu lo sekolah di SMP mana?”
Aga memandang Stevan dan Nathan bergantian, tak mengerti.
”Di SMPN 24, tapi gue pindahan kelas 8,” jelas Aga.
Nana mengangguk, seperti menemukan sesuatu. Tak salah lagi,
cinta pertama Livia pasti Aga, pikirnya diam-diam.
”Emang kenapa, Na?” Nathan mulai membuka mulut.
Nana menggeleng. ”Nggak apa-apa, cuma nanya. Gue kan
orang Bandung juga.”
Nathan terkekeh. ”Aga sih labelnya aja tinggal di Bandung, tapi
sama sekali nggak tahu Bandung. Kelas 8 pindah, eh pas kelulusan
pindah lagi,” terang Nathan.
Nana menatap Nathan bingung. Dari mana dia tahu semua
itu?
”Waktu pertama kali gue ketemu dia di kelas, gayanya cupu
abis. Gue tahu dia bukan anak kampung, tapi gayanya itu lho.
Norak!” Nathan bercerita diselingi tawa, yang juga mengundang
tawa Stevan dan Karisa.
Nana menatap Nathan tak mengerti. ”Kok lo tahu?”
Aga mendengus kesal, tak terima penilaian Nathan. ”Waktu itu

14

Not Until_Teenlit.indd 194 6/3/2014 4:04:53 PM


gue pindahnya ke kelas Nathan. Lo nggak tahu Nathan juga orang
Bandung?”
Nathan menahan tangan Aga yang ingin menjitak kepalanya,
kemudian tertawa. ”Yoi, Na, 14 tahun gue besar di Bandung.”
APA?!

Nana menggigit bibir bawah, mengingat-ingat pembicaraannya


tadi sore bersama Nathan dan Aga. Jadi mereka berdua sama-
sama dari Bandung? Lalu siapa yang sebenarnya menjadi masa
lalu Livia?
Nana membuka diary Livia, membaca sekali lagi curhatan jatuh
cinta. Livia hanya sesekali mengatakan rindu pada sosok ”kamu”
yang dia nyatakan sebagai pacarnya itu. Dia tak menerangkan
lebih rinci siapa orang tersebut.
Jadi mana yang benar? Nathan atau Aga? Siapa dari keduanya
yang menghadiahkan pajangan kuda?
Nana menghela napas. Siapa sebenarnya mantan Livia yang
sangat dia sayangi itu?

Nana mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, mendapati


Dio sibuk memainkan ponsel. Sesekali pemuda itu tersenyum
simpul. Nana yakin Dio sedang ber-texting ria dengan Acha.
Nana menghela napas berat. Dia ingin mendekati Dio, meskipun
sekadar menanyakan apakah ia baik-baik saja. Atau mungkin untuk
berbicara yang ringan-ringan saja. Nana rindu. Dan rindunya itu
menusuk tulang, membuat dirinya menjadi lemah.
Tidakkah Dio merasakan hal yang sama? Apa kebersamaan

15

Not Until_Teenlit.indd 195 6/3/2014 4:04:53 PM


mereka akhir-akhir itu hanya dirasakan sebagai angin lalu yang
mudah dilupakannya?
”Ehm….”
Nana menengok dan mendapati Karisa menatapnya. Nana
sebisa mungkin memasang tampang datar. Namun Karisa melihat
gambaran sedih yang terpancar dari mata Nana, persis seperti
saat Nana datang ke kelas pertama kali.
”Lo nggak apa-apa, Na?”
Nana malah berpura-pura mengerutkan dahi, seolah tidak me-
ngerti. Dia menggeleng. ”Emangnya ada alasan buat merasa apa-
apa?”
Karisa melotot. ”Na...,” ucapnya setengah merajuk, ”please…
cerita sama gue.”
Nana menggeleng lagi. ”Gue nggak apa-apa, Sa. Ada atau tidak
dia di hidup gue, nggak akan mengubah apa-apa.”
Karisa terdiam mendengar perkataan Nana. Di dalam hati dia
merutuki Dio yang jelas-jelas tahu perasaan Nana terhadapnya
tapi lebih memilih Acha yang pernah menyelingkuhinya. Dio benar-
benar bodoh.
Kini gantian Nana mengamati Karisa yang terdiam. Dia tahu
Karisa sedang menebak perasaannya. Karisa memang selalu
mengerti apa yang tidak dia katakan. Tapi, sudahlah.
Nana melirik Dio, yang sepertinya akan beranjak dari kelas.
Buru-buru dia berdiri, kemudian mencegat cowok itu.
Jangan tanya betapa kagetnya Karisa melihat tindakan Nana.
Buru-buru dia mengikuti Nana, berdiri tak jauh dari cewek itu yang
menunduk dan membisu.
”Yo,” panggil Nana lemah. ”Aku mau bilang...” Ucapan Nana
terhenti dering ponsel Dio. Pemuda itu langsung mengetik se-
suatu.

16

Not Until_Teenlit.indd 196 6/3/2014 4:04:53 PM


Dio menatap Nana dengan tatapan memohon. ”Na, kali ini aja
gue keluar sebentar ya. Emergency nih,” ucap Dio setengah
memohon, lalu segera keluar dari kelas dengan tersenyum lebar.
”Aku mau ngomong sebentar, lima belas detik.”
Dio berbalik, menumpukan kedua tangan di bahu Nana. ”Aku
harus ketemu Acha dulu. Kamu bisa ngerti, kan?”
Nana menghela napas. Kehadirannya ditolak. Dio benar-benar
tak menganggapnya. Apa kehadirannya selama ini memang seperti
itu? Menjadi angin yang tak tersentuh, terlalu abstrak dalam
kehidupan Dio?
Apa memang hanya Acha yang Dio perhatikan? Kalau begitu
kenapa dia masih mengharapkan cowok itu?
Ah, jatuh cinta ternyata menyakitkan. Seharusnya dia tak perlu
membuat dirinya terjatuh kalau akhirnya berdiri saja akan sesulit
itu.
Nana berjalan gontai menuju kursinya. Dia melewati Karisa tanpa
melihat gadis itu sedikit pun. Semua orang di kelas juga pasti tahu
apa yang Nana rasakan.
Mungkin akan ada lagi luka yang menganga lebar-lebar, luka
di dalam hatinya. Egois! Dio hanya berani berucap dan berbuat,
tapi tak berani bertanggung jawab. Ke mana janji yang pernah dia
lontarkan?

Nana duduk di tepi kolam renang rumahnya. Rumah sebesar itu


hanya ditinggali empat orang. Miris. Kalau saja Papa Hadi Natara
tidak memorakporandakan keluarganya, keadaannya tentu tidak
begitu.
Nana memainkan kakinya di dalam kolam. Airnya dingin. Sama

1

Not Until_Teenlit.indd 197 6/3/2014 4:04:53 PM


seperti dirinya: dingin dan kesepian. Nana rindu kehangatan
keluarga. Nana rindu kasih sayang kedua orangtuanya.
Dadanya sesak. Tangannya terkepal kuat. Lihat saja nanti, kalau
tiba waktunya, keluarga Natara akan dia hancurkan sampai tak
bersisa.
Nana menutup mata pelan, merasakan sepoi angin yang seakan
membisikkan kidung kesunyian padanya. Ia membuka mata. Dia
sudah terlalu lama seorang diri.
”Na.”
Nana menoleh, mendapati Aga yang kesulitan berjalan ke
arahnya karena membawa kotak besar. Begitu sampai di depan
Nana, Aga mengeluarkan isi kotak tersebut dengan cepat.
Teddy Bear cokelat hadir di antara mereka.
Nana menatap Aga, ragu. ”Buat gue?”
Aga terkekeh pelan. ”Bukan, buat Bi Inem,” jawabnya asal sambil
menyerahkan Teddy Bear kepada Nana.
Nana manggut-manggut saat menerima Teddy Bear. Ia menatap
boneka itu, memeluknya sebentar, lalu menghela napas panjang.
Aga duduk di samping Nana. ”Lo suka?”
Nana menoleh, mengangguk. ”Kenapa lo kasih gue boneka?”
Aga tertawa kecil. ”Soalnya beberapa hari ini lo keliatan sedih,
kayak kesepian. Menurut penelitian, memeluk Teddy Bear bisa
mengurangi rasa kesepian.” Aga menelan ludah, ”Yah… kalau ce-
weknya tipe kayak lo, gue nggak tahu juga, suka boneka atau
nggak.”
Nana tersenyum miring, kemudian menggeleng. ”Like every
other girl, gue suka boneka,” jelasnya, kemudian memeluk boneka
itu erat-erat, berharap bisa menyalurkan rasa kesepiannya pada
boneka itu.
”Syukur deh. Jadi lo nggak bakalan buang boneka itu, kan?”

1

Not Until_Teenlit.indd 198 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana memajukan bibir. ”Emangnya gue nggak punya perasa-
an?”
Aga tertawa mendengar ucapan Nana. Nana ikut tersenyum.
Namun Aga tahu senyum itu hambar, senyum tipu yang Nana
tampilkan di depannya dan teman-teman lain. Aga mengenali,
saat Nana bersama Dio, senyum gadis itu berbeda, lebih tulus dan
memancarkan aura sayang.
Nana melirik Aga yang terdiam. ”Kenapa, Ga?”
Aga terkejut, kembali tersadar pada Nana yang ada di dekatnya.
”Nggak apa-apa. Mmm… tanda persahabatan kita ya?”
Nana hanya tersenyum miring, kemudian mengalihkan pandang-
an dari mata Aga. Dia tak terlalu percaya pada persahabatan. Sa-
habat yang dulu dia miliki sekarang hanya menjadi omong kosong
belaka. Ia tak ingin terjebak dalam persahabatan kosong lagi.
”Nana!”
Nana dan Aga sama-sama menoleh. Nana terbelalak ketika
mendapati Dio berada di ambang pintu menuju kolam renang.
Nana berdiri, dan Aga mengikuti. Dia menahan napas saat Dio
dengan cepat menghampirinya.
Seluruh dunia pun tahu tatapan Dio adalah tatapan tidak suka.
Dio melirik Teddy Bear yang dipegang Nana, kemudian menarik
napas panjang. Tangannya terkepal kuat.
”Ikut gue,” ucap Dio sambil menarik tangan Nana.
Sayangnya, tangan itu langsung ditahan Aga. ”Mau bawa Nana
ke mana lo?” ucap Aga lantang.
Dio melirik Aga dengan tajam. Ketegangan terasa sangat jelas
di antara kedua cowok itu. ”Gue disuruh Bos Ben nganter Nana
ke kantor.”
Aga menggeleng. ”Biar gue aja yang nganter!”

1

Not Until_Teenlit.indd 199 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana hanya memperhatikan Dio dan Aga secara bergantian,
tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Rahang Dio mengeras. ”Nggak bisa! Oom Ben nyuruh gue. Yuk,
Na!”
Aga kembali menahan mereka dengan tangannya. ”Lo kenapa
maksa gitu sih, Yo? Belum tentu Nana mau pergi sama lo.”
Buk!
Tahu-tahu Aga tersungkur. Wajahnya memerah akibat bogeman
mulus Dio mendarat tepat sasaran. Aga segera berdiri, ingin
membalas pukulan, tapi Nana segera menahannya.
”Cukup!” seru Nana.
Aga menatap Dio yang sama-sama diselimuti emosi. Sudut
bibirnya terangkat. ”Liat, Yo! Bahkan setelah lo mengabaikan dia,
dia masih belain lo! Di mana otak lo, hah?!” Aga berdecak, ke-
mudian pergi dari hadapan Dio dan Nana. Hatinya jengkel karena
Dio tak bisa mengendalikan emosi.
Di sisi lain Nana masih terdiam atas kejadian tadi. Dia melepas
dengan kasar cengkeraman Dio di pergelangan tangannya, meng-
ucapkan dengan lirih. ”Gue nggak mau pergi. Apalagi sama lo.”

200

Not Until_Teenlit.indd 200 6/3/2014 4:04:53 PM


15

N
ANA berjalan menyusuri koridor sekolah. Kepalanya
ditundukkan, rambutnya yang dibiarkan tergerai
menutupi wajah. Hari ini dia tak punya secuil pun
keinginan untuk sekolah. Lebih tepatnya, bertemu
objek yang ada di sana.
Nana mendengus, mulai gila rasanya. Bisa-bisanya dia mem-
biarkan Dio mengacak-acak hidupnya? Dia terlalu dalam jatuh ke
pelukan Dio hingga sulit melepaskannya, walau sedetik saja.
Langkah Nana terhenti saat melihat pemandangan tak asing di
depannya. Ia menghela napas lagi, mencoba menahan gejolak
ingin mencakar rambut perempuan di samping cowoknya itu.
Cowoknya?
Nana bahkan tidak tahu dari kapan dia memproklamirkan bahwa
Dio miliknya. Sudah beberapa hari Dio tak menjemputnya ke

201

Not Until_Teenlit.indd 201 6/3/2014 4:04:53 PM


sekolah, Nana ingin lari dari dunia. Kalau perlu tak usah saja
bertemu orang-orang itu.
Nana menghela napas saat mengingat ucapan Dio yang
menyuruhnya bertahan dan bersabar. Nyatanya, bertahan tak
semudah meracik mi instan. Dia harus memiliki tenaga ekstra untuk
bertahan. Dia harus meneguhkan hati sekuat-kuatnya hingga
kelelahan.
Nana menahan napas saat Dio menyentuh rambut Acha, terlihat
gemas. Pandangan Nana mengabur, dadanya sesak, ingin lari
sesegera mungkin dari tempat itu, namun kakinya berat.
Akhirnya Nana membalikkan badan, mencoba menghindar, dan
tak peduli pada tatapan beberapa siswa. Dalam hati kecilnya, dia
masih berharap Dio melihat, mengejar, dan mempertahankan-
nya.
”Great, Na.”
Nana terpana mendengar ucapan itu, menengadah, menatap
orang yang berbicara dengannya itu dengan gamang.
Aga tersenyum, kemudian merangkul bahu Nana. Dengan
gerakan cepat gadis itu berputar dan kembali melihat pemandangan
tadi.
”Hidup harus tetap dijalani, walau lo lagi patah hati,” ucap Aga
menuntun Nana yang sepertinya lupa cara berjalan.
Nana hanya menuruti ke mana Aga membawanya. Batinnya
merutuki diri sendiri, jadi seperti inikah dirinya sekarang? Lemah
karena cinta?
Cinta?
Benarkah apa yang dia rasakan pada Dio itu cinta?

***

202

Not Until_Teenlit.indd 202 6/3/2014 4:04:53 PM


Dio termenung saat melihat... oh baiklah, Aga merangkul Nana?
Dia penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi di antara keduanya
hingga terlihat begitu dekat? Berani-beraninya Aga merangkul
gadisnya.
”Dio!”
Dio terperanjat, diliriknya Acha yang menatap kecewa. Spontan
Dio tersenyum. ”Kenapa, Cha?”
Acha mendengus, membuat Dio bingung. ”Ada apa, Cha?”
panggil Dio sekali lagi.
Acha menggeleng, kemudian merangkul tangan Dio manja.
”Nanti kamu jadi temenin aku beli kado buat Mama, kan?”
Dio menatap sekilas punggung Nana yang hilang di belokan
bersama Aga. Ingin sekali rasanya dia mengejar, kemudian mena-
han Nana agar tak pergi bersama Aga.
Dio cemburu.
”Dio!”
Dio mengangguk. Ada hal lain yang dia rasakan. Berbeda. Dio
yakin itu.

Nana tak ingin membiarkan keadaan runyam. Pertengkaran hebat


antara Dio dan Aga kemarin membuatnya terbebani. Ditambah
lagi, kecemasannya pada hasil penyelidikan kematian Bunga yang
akan keluar beberapa hari lagi.
Nana mencoret asal buku tulisnya. Pikirannya terpecah-pecah.
Dia tak bisa menyelesaikan semuanya dengan suasana hati yang
begitu buruk seperti sekarang.
Dua pemuda itu masih diam-diaman, persis anak kecil. Nathan
dan Stevan kewalahan mendamaikan mereka berdua.

203

Not Until_Teenlit.indd 203 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana menggeleng pelan. Itu karena dirinya. Dia harus menye-
lesaikan dengan caranya sendiri. Tapi bagaimana?
Ah, andai saja dia tak terperangkap sejauh ini. Andai saja sejak
dulu dia hanya fokus memikirkan cara membalas dendam kepada
keluarga Natara. Andai saja hati ini tak jatuh terlalu dalam.
Pengandaian muncul saat persoalan terjadi. Nana berteman
baik dengan rasa sakit, membuatnya tak sungkan untuk meng-
abaikannya.
Tapi sakit kali ini, ia terluka saat melihat kemesraan yang
diumbar Dio dan Acha. Dia gamang dan sulit berpikir jernih.
Nana tersenyum kala bel tanda pelajaran selesai berbunyi. Dia
memandang ke arah empat idola yang kini bersitegang. Aga
terlihat membereskan buku-bukunya, sedangkan Dio memperhatikan
Aga dengan sinis.
Helaan napas panjang keluar dari Stevan dan Nathan, serta
tatapan cemas dari Karisa.
Nana tegang.
”Lo berdua mau sampai kapan diem-dieman gini?” tembak
Nathan, jengkel menghadapi tingkah Dio dan Aga.
”Kalian enggak mau nyelesain baik-baik?” cecar Stevan.
Satu per satu penduduk kelas meninggalkan mereka yang tersisa
di kelas.
”Tanya sama temen lo itu,” ucap Aga sinis sambil memasukkan
bukunya dengan kasar.
”Lo duluan yang nyolot sama gue,” balas Dio sengit.
Aga berdecak. ”Lo juga nyolotin Nana.”
Dio berdiri sambil berkacak pinggang. ”Urusan gue sama Nana,
kenapa lo yang repot?!” Nada suaranya meninggi.
Aga membalas tatapan Dio dengan tajam. ”Gue males temenan

204

Not Until_Teenlit.indd 204 6/3/2014 4:04:53 PM


sama orang yang hobinya nyakitin perasaan cewek,” terang Aga
jujur.
”Lo nyindir gue?”
Aga berdiri. ”Lo…” Tangan Aga terangkat, bersiap melayangkan
bogem mentah.
”STOP!”
Nana berteriak dari tempat duduknya. Membuat pertengkaran
itu terhenti dan teman-temannya mengalihkan pandangan ke
arahnya. Kupingnya panas mendengar keributan itu.
Nana berdiri dari tempat duduknya, berjalan pelan menuju
empat pemuda yang terlihat tegang. Karisa mengikutinya.
Nana menatap dingin ke arah Dio. ”Kalian jangan bertengkar
karena gue,” ucapnya lemah. Ia menunduk, kemudian memegang
tangan Aga yang masih mengepal. ”Dan lo... nggak usah belain
gue.”
Sesaat kemudian gadis itu tersenyum miris. ”Sejak awal nggak
ada yang bener-bener salah.” Dia menarik napas. ”Kalaupun ada
yang harus disalahkan, salahin gue. Karena... karena... gara-gara
gue kalian jadi rumit.”
Nana menatap Dio. ”Jangan berantem karena gue. Gue nggak
butuh dibela siapa pun!”
Nana berbalik lalu meninggalkan kelas. Sakit yang dia derita
saat itu tidak bisa dia temukan obatnya.
Nana menutup mata sebentar. Benar. Sejak awal memang ada
yang salah dengan kehidupan barunya.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Nana menggeliat


di tempat tidur. Semua yang terjadi bukan hanya menyumbat
otaknya untuk berpikir, juga membuat dia susah tidur.

205

Not Until_Teenlit.indd 205 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana duduk, gelisah. Bukan karena sakit hati yang terus-terusan
ditelannya karena melihat Dio dan Acha, bukan juga karena
pertengkaran Aga dan Dio yang jelas-jelas melibatkannya.
Sejujurnya, Nana tidak tahu kenapa dia gelisah. Dia tak punya
alasan khusus untuk tak lelap dalam tidur. Namun perasaan gelisah
datang.
Nana membuka diary Livia. Kalau tahu siapa di antara Nathan
atau Aga yang merupakan mantan Livia, dia bisa mengalihkan
perhatiannya, lebih fokus mengerjai dan membuat Livia sakit
hati.
Kalau saja masalahnya tak serumit ini. Dia pasti bisa berpikir
jernih dan segera menemukan apa yang dia cari. Namun itu hanya
angan-angan. Kenyataannya dia tak bisa menjernihkan kepala, dan
hatinya terus meronta kepedihan. Dia tak mampu fokus.
”Couldn’t sleep?”
Tubuh Nana mengejang. Oom Ben baru saja membuka pelan
pintu kamarnya. Nana menggeleng pelan.
”Barusan Oom memarahi mereka. Kamu sulit menentukan pi-
lihan di antara keduanya?” Suara Oom Ben terdengar menggo-
da.
Nana menggerutu, kesal. Pamannya bukannya mencarikan jalan
keluar atas masalahnya, justru bisa-bisanya menggoda.
”Oom, masalahnya bukan seperti itu!”
Oom Ben tertawa. ”Seperti apa? Hatimu memilih Dio, tapi Dio
memilih Acha, sementara Aga tidak terima?”
Nana memutar bola mata. ”Oom, ini bukan masalah seperti
itu!”
Oom Ben duduk di tepi ranjang. ”Masalahnya jelas seperti itu,
Nana.”
”Whatever! Aga terlalu fokus padaku,” ujar Nana lemah.

206

Not Until_Teenlit.indd 206 6/3/2014 4:04:53 PM


Oom Ben menggeleng. ”He’s obviously care about you. Dan
bagaimana dengan Dio?”
”Oom, aku datang ke sini bukan untuk mengurusi masalah se-
macam itu!”
Oom Ben berdiri. ”Tapi kamu tetap remaja, Nana. Cepat atau
lambat kamu akan mengalami masalah hati. Lalu... kenapa kamu
belum tidur?”
Sekalipun jengkel, gadis itu menyerahkan diary Livia kepada
Oom Ben.
Oom Ben menerima dan menatap diary itu bingung,
”Aku bingung, siapa cintanya Livia, di antara Nathan dan
Aga.”
Oom Ben tertawa seketika. ”Kamu benar-benar payah dalam
urusan cinta ya?”
”Hah?”
Oom Ben mengusap kepala Nana. ”Bawa saja mereka ke depan
Livia, dan lihat siapa yang menampilkan ekspresi paling terkejut.”
Ia mengetuk-ngetuk lembut puncak kepala Nana. ”Ini hanya soal
seujung kuku, tapi kamu memperumitnya.”
Lelaki itu beranjak dari kamar setelah berpesan, ”Kegalauanmu...
jangan sampai mengubah dirimu!”

Begitu bel istirahat berbunyi, Nana segera bangkit dan menarik


lengan Aga dengan cepat. Membawa pemuda yang tak tahu
apa-apa itu ke luar kelas. Nana tak peduli dengan tatapan tak
mengerti ketiga cowok lainnya.
Aga hanya menurut saat Nana membawanya, tak merasa ada
sesuatu yang aneh. Mungkin Nana ingin mengatakan sesuatu
tentang Dio. Ia tak ambil pusing.

20

Not Until_Teenlit.indd 207 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana berhenti di pintu utama sekolah, melepas pegangannya
pada lengan Aga. ”Sorry buat kemarin dan kemarinnya lagi. Lo
sama Dio...”
”Ssttt...” Aga memotong ucapan Nana, ”bukan salah lo.”
Nana mendengus. ”Percuma lo ngomong gitu, gue tetap merasa
bersalah.”
Aga menatap Nana. Pahatan wajah Nana terlalu rapi, begitu
mirip dengen wajah elok Acha. Pantas saja Dio sulit menentukan
pilihan di antara keduanya. Aga hanya bersimpati dengan Nana
yang bersedih karena Dio mempermainkannya. Salahkah Aga tak
ingin melihat Nana terluka?
Gadis yang Aga pikirkan itu tampak memandang ke belakang
Aga. Mana Livia? Tadi dia sempat mendengar Livia berencana
pergi ke perpustakaan karena jadwal pengembalian bukunya sudah
jatuh tempo. Ah, sesungguhnya Nana mendengarnya dari Acha
yang tadi mampir ke kelasnya.
Hati Nana berdesir, darahnya terasa panas. Memikirkan Acha
dan Dio bisa membuatnya kehilangan arah, terbawa arus emosi.
”Dengar, Na, ini bukan salah lo, tapi salah Dio. Dia mainin hati
lo!”
”Waktu itu gue nggak bermaksud belain dia, Ga. Gue cuma
nggak mau urusan ini menjadi lebih rumit,” terang Nana, kembali
memfokuskan mata ke belakang Aga.
Aga hanya diam, memahami perasaan Nana yang sebenarnya.
”Mmm... nggak apa-apa,” jawabnya singkat.
Kenapa Livia lama sekali? rutuk Nana dalam hati.
”Gue tahu lo sebenarnya nggak mau berantem sama Dio, Ga,”
ucap Nana lirih. ”Gue juga sebenernya bingung karena tiba-tiba
dia jauhin gue gini,” gumam Nana tanpa sadar. Ia kembali
menoleh, gadis itu sudah tampak, sedang menuju sini.

20

Not Until_Teenlit.indd 208 6/3/2014 4:04:53 PM


Sudah saatnya aku tahu segalanya, Livia.
Hening? Nana merasakan sesuatu yang aneh. Aga belum juga
merespons ucapannya. Ia menatap Aga. Aneh. Pemuda itu
mematung di tempat, menatap lurus ke depan.
Livia sepertinya belum melihat keberadaan mereka. Nana
kembali menatap Aga. Apa? Aga menatap dalam-dalam ke arah
Livia. Nana menelan ludahnya sendiri. Jadi benar ada kisah cinta
di antara mereka?
”Aga.”
Aga tertegun, melirik Nana dengan cepat.
”Lo lagi liatin siapa sih?”
Aga tersenyum. ”Bukan siapa-siapa.”
Nana menghela napas lega. Tuhan membuat semuanya menjadi
lebih mudah. Nana yakin, ini jalan supaya dia bisa membuat Livia
merasakan sakit yang sesungguhnya. Keterlaluankah dia, memper-
mainkan cinta Livia?
Masa bodoh. Nana tak peduli. Keluarga Natara juga tak peduli
rasanya ketika Nana dicap sebagai pembawa sial, tak merasakan
bagaimana pedihnya kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
Sudah saatnya Nana membalas semuanya. Ya, ini waktunya. Dia
tak akan membiarkan satu orang pun menghancurkannya.
”Na, hari ini ulang tahun Oom Ben yang ke-33. Kami mau nge-
rayain di Puncak. Lo ikut, kan?”
Nana tersentak. Ulang tahun Oom Ben? Kenapa dia tak tahu
apa-apa? Astaga!
”Kenapa baru bilang sama gue?” tanya Nana, seakan tak terima
dirinya tahu belakangan.
Aga tersenyum geli. ”Namanya juga surprise!”

***

20

Not Until_Teenlit.indd 209 6/3/2014 4:04:53 PM


Nana menggandeng Karisa masuk ke vila di Puncak. Ternyata
keempat pemuda itu sudah mempersiapkan segalanya, walaupun
hubungan Aga dan Dio tak juga membaik. Tentu ada kue ulang
tahun dan surprise party.
Nana melirik ke belakang, merutuki keberadaan Acha di tengah-
tengah mereka. Nana ingin membentak Dio saja rasanya. Benar-
benar membentak hingga semua kekesalannya tersalurkan dengan
baik. Kenapa dia harus mengajak Acha segala?
”Na, kamar lo di pojok kanan ya,” ucap Aga memberitahu.
Pemuda itu asyik memainkan PSP sambil rebahan di sofa.
Stevan meletakkan tangan di pundak Karisa. ”Kamu nggak
capek?” tanyanya, membuat kuping Nana panas.
Nana berjalan sendirian ke lantai atas. Dia terdiam saat Dio dan
Acha berjalan bergandengan di depannya. Rupanya Dio mengantar
gadis itu menuju kamarnya, tanpa mengetahui Nana berada di
belakang mereka.
Nana menghela napas panjang, ingin lari saja dari kenyataan.
Rasa sesak itu kembali menyergap. Dia pernah berada di posisi
Acha sekarang, dan entah kenapa tak rela melepaskan posisi itu
kepada siapa pun.
Nana terdiam, mengalihkan pandangan ke kotak yang dibawa-
nya sebagai hadiah ulang tahun Oom Ben. Untung dia sempat
membeli hadiah di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka berempat
menghadiahkan jam bermerek ternama, sementara Nana kebi-
ngungan mencari hadiah.
Dio tekejut ketika tahu Nana ada di belakangnya. Ia menatap
Nana dalam-dalam, ada sirat kerinduan. Mereka sampai di depan
kamar Acha.
Nana mengangkat wajah saat kaki kedua manusia di depannya
itu berhenti berjalan. Kakinya spontan berhenti dan menatap tepat

210

Not Until_Teenlit.indd 210 6/3/2014 4:04:53 PM


ke manik mata Dio. Demi Tuhan, dia merindukan cowok itu dalam
jangkauannya.
Pemuda itu membalas tatapan Nana. Pandangan mereka berte-
mu. Seolah dengan pandangan tersebut mereka bisa menjelaskan
apa yang masing-masing rasakan.
Buru-buru Nana melewati mereka, membuka pintu kamar, lalu
dengan cepat menutupnya kembali. Tubuhnya disandarkan ke
pintu, terdiam beberapa lama.
Saat pertahanannya luntur, tubuh Nana merosot. Dia menunduk,
duduk di lantai kayu yang dingin. Sakitnya begitu menyiksa batin.
Nana menutup wajah dengan kedua tangan, menangis.
Bahkan dengan tangisan pun, sakit di hatinya belum juga
hilang.
Nana terisak dalam diam. Dia ingin menghardik Dio, meminta
cowok itu kembali ke sisinya, meminta dia untuk menjauhi Acha,
menagih segala ucapan cowok itu kala mereka bersama. Tak bisa-
kah semua diulang kembali?
Dio berhasil memikat perhatian Nana, bahkan Dio berhasil
memiliki hatinya. Lantas, puaskah dia mempermainkan Nana begini
dalam?
Kenyataannya, Nana sangat merindukan Dio. Titik!

Nana membuka pintu kamar dengan mata yang sedikit sembap


saat Karisa mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Nana tak tahu
apa yang terjadi padanya hingga bisa jatuh ke lantai dan keti-
duran.
Gadis itu kelelahan karena menangis. Saat Nana melirik jam
dinding, sudah pukul setengah tujuh. Berarti dia ketiduran sekitar
dua jam.

211

Not Until_Teenlit.indd 211 6/3/2014 4:04:53 PM


”Lo kenapa sih nggak keluar kamar dari tadi?” tanya Karisa
menyelidik.
”Nggak apa-apa.” Suara Nana sedikit serak akibat menangis.
Sesuatu yang sudah lama tak hadir di dalam hidupnya.
Ogah-ogahan Nana mengikuti langkah Karisa. Temannya itu
mengetuk pintu kamar Acha. Beberapa saat kemudian, Acha keluar
dari kamar dengan pakaian baru. Nana sendiri belum sempat
berganti pakaian karena ketiduran.
Ketiga gadis itu menuruni tangga pelan-pelan. Dio, Nathan,
Aga, dan Stevan sudah menunggu mereka di bawah. Pakaian
mereka rapi-rapi.
Nana memperhatikan penampilannya. Hanya dia sendiri yang
belum rapi. Dia menepuk punggung Karisa, membuat gadis beram-
but ikal tersebut menoleh pada Nana.
”Gue ganti baju dulu ya,” bisik Nana. Acha juga menoleh ke
arahnya.
Karisa tertawa. ”Lo pake baju apa aja tetep cantik, Na.”
Nana menggeleng, tapi melirik Acha.
Sejak kejadian di ruang UKS, Nana dan Acha tak pernah lagi
bertegur sapa, bahkan mereka tak saling melihat. Status ”rival”
yang diam-diam tersemat di antara mereka memperlebar jarak di
antara keduanya.
Lalu apa yang mesti ditutupi saat mereka tak menginginkan
kehadiran satu sama lain?
Nana kembali ke kamar, mengganti pakaian dengan cepat, me-
nyisir rambut, kemudian membawa kado yang sempat dilupakan-
nya.

212

Not Until_Teenlit.indd 212 6/3/2014 4:04:53 PM


16


H
APPY birthday to you... happy birthday to you...
happy birthday... happy birthday... happy birthday
to you!”
Ketujuh remaja itu segera bernyanyi saat Oom
Ben memasuki vila. Nana membawakan kue kepada Oom Ben
dengan tersenyum. Oom Ben benar-benar kaget, tapi tampak
semringah. Dia menatap Nana, menyelidik. Seingatnya tadi Nana
mengatakan bahwa dia izin ke Puncak untuk mengambil sesuatu
yang berhubungan dengan rencana mereka sehingga Oom Ben
setuju saja saat Nana memintanya menjemput di vila yang dia
sebutkan sepulang kantor.
Oom Ben meniup lilin dengan cepat, kemudian kembali menatap
Nana. ”Sudah pandai berbohong sama Oom, Nana?”
Nana tersenyum miring, menatap Aga, Nathan, Stevan, dan Dio

213

Not Until_Teenlit.indd 213 6/3/2014 4:04:53 PM


yang nyengir-nyengir tak jelas. ”Ide mereka tuh!” Nana mengatakan
sejujurnya, menunjuk keempat pemuda itu dengan dagunya.
Oom Ben tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut Nana.
Dia memandang Aga, Nathan, Stevan, dan Dio secara bergantian.
Tersenyum puas. ”Saya hampir lupa hari ini ulang tahun saya,”
ucapnya.
Aga mendekati Oom Ben. ”Makanya kami rayakan. Kan tahun
kemarin nggak jadi karena Bos harus ke Sydney.”
Nana memberikan kado kepada Oom Ben. ”Happy birthday,
Oom!”
Oom Ben memeluk keponakan satu-satunya itu dengan hangat.
”Terima kasih, Nana.” Nana membalas pelukannya.
”Rekaman video beberapa tahun lalu itu telah didapatkan, nanti
Oom akan menjemputnya,” bisik Oom Ben di tengah-tengah
pelukannya.
Nana melepas pelukan, menatap Oom Ben setengah tak per-
caya.
”Secepat itu? Oom udah tahu karyawan Papa itu tinggal di
mana?”
Oom Ben mengangguk, membuat Nana kembali ternganga.

Dio melirik Nana yang terlihat asyik menonton Oom Ben dan
Nathan bermain Play Station. Rasa bersalah dan rindu muncul
saat dia menatap gadis itu. Dio tak tahu apa yang terjadi pada
dirinya, merasa sulit memilih dan terus tersakiti.
Acha kembali datang dan menyuguhkan rasa yang sama
kepadanya. Dia memang merindukan gadis itu, merindukan segala
perhatian yang pernah Acha berikan, merindukan saat-saat mereka

214

Not Until_Teenlit.indd 214 6/3/2014 4:04:53 PM


bersama. Dia membutuhkan Acha, sekaligus menginginkan Na-
na.
Pertengkarannya dengan Aga tempo hari tak membuka mata-
nya, Dio tetap tak bisa menentukan, siapa pemilik hatinya yang
sebenarnya.
Acha memanggil Dio dari arah belakang. Dio masih memper-
hatikan Nana, meskipun tampaknya yang diperhatikan tak tahu.
Dengan enggan Dio mengikuti Acha yang membawanya ke kolam
renang. Mereka berdiri berhadapan.
”Ada apa sih, Cha?” ucap Dio. Sebenarnya dia malas menyudahi
keasyikannya menatap Nana tadi. Dia terlalu rindu sehingga lupa
bahwa dia menyakiti dua gadis sekaligus.
Acha mengerutkan dahi. Tumben-tumbennya Dio jengkel?
Biasanya pemuda itu bersikap manis kepadanya, bahkan meman-
jakannya meski dia sudah melampaui batas.
Biasanya yah... Acha lupa ada gadis lain yang juga mengisi hati
Dio. Jika masih mengharapkan Dio, dia harus siap memperjuang-
kannya dengan cara apa pun.
Untuk itulah Acha kembali memberi perhatian khusus pada Dio,
mengingatkan Dio pada masa-masa manis mereka dulu—meng-
ingatkan setiap momen romantis mereka hingga Dio lupa bahwa
dia pernah melakukan kesalahan.
Acha tahu dia pernah melakukan kesalahan besar. Menggeser
keberadaan Dio dengan cowok lain di hatinya. Seenaknya mendua.
Dan dia sungguh menyesal. Untuk itulah dia berdiri di situ se-
karang, untuk memperbaiki semuanya.
”Kamu berubah,” ucap Acha dengan nada bergetar.
Dio terbelalak mendapati Acha menangis di depannya. Dia panik
karena Acha tak suka menangis di depan orang. Acha yang dia

215

Not Until_Teenlit.indd 215 6/3/2014 4:04:53 PM


kenal adalah gadis yang sabar dan tangguh. Lalu kenapa gadis itu
mendadak menangis?
”Berubah apanya?” tanya Dio, mencoba sedikit lebih manis.
Acha berdecak. ”Kamu berubah, Yo! Kamu nggak kayak dulu
lagi!” ucap Acha terisak.
Dio seperti kehilangan akal. Dia tak ingin Acha menangis karena
dirinya, apalagi membiarkan gadis itu terluka karena dia.
”Cha... jangan nangis dong. Aku jadi bingung,” pinta Dio sambil
menyentuh bahu gadis itu.
Acha tetap menangis. ”Kamu berubah sejak ada Nana, Yo,” ucap
Acha telak.
Jantung Dio berdegup cepat saat nama itu disebut. Menyadar-
kannya betapa penting kehadiran Nana, dulu... saat Acha tak
bersamanya.
Dulu?
Dio bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Juga tak tahu dia
harus melakukan apa supaya Acha berhenti menangis.
”Aku harus ngapain supaya kamu berhenti nangis, Cha?” ucap
Dio lirih, seolah tahu rasanya disakiti.
”Jauhi Nana!”
Dio terdiam mendengar permintaan tersebut.
Menjauh? Dari gadis yang sudah hampir memiliki seluruh
hatinya?
Acha kembali terisak, membuat Dio ingin lari saja.
”Cha... iya, Cha. Aku bakalan ninggalin Nana demi kamu,” ucap
Dio akhirnya.
Acha menatap Dio dalam. ”Kamu janji? Kamu nggak akan ingkar
janji kayak dulu lagi, kan?”
Entah apa yang membuat kesadaran Dio menghilang, dia meng-
angguk setuju.

216

Not Until_Teenlit.indd 216 6/3/2014 4:04:53 PM


***

Nana masih menyaksikan Oom Ben dan Nathan asyik bermain


PS. Apa mereka tak sadar umur? pikir Nana. Dia menengok ke
Karisa, Stevan, dan Aga, yang turut memperhatikan permainan
mereka berdua. Situasinya membuat Nana bosan.
”Mau ke mana, Na?” Suara Karisa terdengar saat Nana berdiri.
”Bentar lagi mau makan malam lho,” lanjutnya.
Nana mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk
mengambil minuman. Tenggorokannya kering.
Setelah menutup pintu kulkas, Nana melihat dari jendela kaca,
Acha dan Dio sedang bercengkrama di dekat kolam renang.
Mereka tak menghiraukan angin malam yang menyusup, berdiri
berdekatan.
Pelan-pelan Nana berjalan mendekat, mencoba mencuri dengar
pembicaraan pasangan itu. Nana tahu itu bukan urusannya, tapi...
entahlah! Dia seakan tak tahu perbuatannya bakal membawanya
pada luka yang mendalam. Menuju jurang yang mungkin tak bisa
dia panjat kembali.
”Cha... iya, Cha. Aku bakalan ninggalin Nana demi kamu.”
Suara berat Dio terdengar begitu nyaring di telinga Nana. Nana
menahan napas. Hatinya pelan-pelan hancur.
Otak Nana tetap bekerja. Memori bersama Dio tergambar jelas
seperti film. Kata-kata yang pernah dilontarkan pemuda itu lang-
sung terngiang-ngiang di telinganya.
Aku sayang kamu, Na...
Kasih aku kesempatan.
Kapan sih, Na, lo anggap kehadiran gue?
Gue cemburu.
Kamu bisa ngerti, kan?

21

Not Until_Teenlit.indd 217 6/3/2014 4:04:53 PM


Kamu juga merasakan yang sama, kan?
Apa itu ilusi belaka? Ilusi permainan Dio yang begitu lincah
membuatnya melambung dan melemparnya jatuh seketika. Kata-
kata sakral yang membuat Nana mengubah keputusannya se-
hingga bangkit untuk terus menikmati hidup yang sudah disia-
siakannya. Untuk menjemput kebahagiaannya yang telah hilang.
Dan kini, semua yang dia cita-citakan hancur seketika.
Aku nggak butuh mendungmu.
Kalau mendungmu cuma bikin hujan dalam hari-hariku, aku
nggak butuh.
Nana melangkah menjauhi dua orang yang tengah berpelukan
itu. Pelukan yang pernah mewarnai hari-harinya. Pelukan yang
pernah membawanya terbang, dan pelukan yang kini membuat
pertahanannya hancur.
Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia akan tinggal dan
menetap. Entah orang itu punya hati atau tidak. Entah orang itu
ceria atau pemurung. Cinta tak pernah memilih dengan siapa dia
harus bertuan.
Nana menutup mata, membiarkan tetesan air matanya turun,
seiring luruhnya tembok hati yang disakiti.

Bagi Nana, menyembunyikan perasaannya mudah saja. Terbiasa


berekspresi datar membuatnya tak kewalahan mengubur kecem-
buruan. Apalagi mengubur sakit hatinya.
Seperti saat ini, saat makan malam. Acha dan Dio memasuki
ruang makan sambil bergandengan. Nana menelan ludah, entah
kenapa bibirnya menjadi kelu, dan air liurnya menjadi sangat pahit.
Nana menunduk saat mata Dio mengepungnya. Dia meneruskan
makan.

21

Not Until_Teenlit.indd 218 6/3/2014 4:04:53 PM


Acha tersenyum manis, kemudian duduk di depan Aga, di
sebelah Dio yang berhadapan dengan Nana. Sebelum mengambil
piring, Acha berdeham pelan. Membuat semua orang di meja
makan menoleh padanya.
Nana menegakkan kepala, ikut menatap gadis cantik di depan-
nya itu.
”Aku sama Dio resmi balikan.”
Uhuk... Aga tersedak.
Nana menatap Aga yang berada di sebelahnya dengan pan-
dangan tak mengerti.
”A-air...” ucap Aga di sela batuk.
Nana menyodorkan minuman ke Aga yang tengah menjadi
pusat perhatian.
”Makanya makan jangan sambil nguap,” ucap Nana asal, sambil
menepuk-nepuk punggung Aga.
Semua orang tersenyum saja. Ah, tidak. Ternyata ada yang
menatap tak suka. Apa yang membuatnya tidak suka? Setelah dia
terang-terangan menggandeng gadis lain.
Karisa dan Stevan hanya saling pandang, tak mengerti. Bukankah
selama ini yang bermesraan dengan Dio itu Nana? Bukankah baru
kemarin Dio dan Nana berpegangan tangan dan saling menun-
jukkan rasa sayang? Lalu?
Nathan yang menyadari keanehan teman-temannya mengambil
inisiatif. ”So... kapan kalian balikan?”
Tadi, jawab Nana dalam hati. Nana tetap berusaha tak acuh
dengan terus melahap nasi goreng. Mengabaikan tiap tatapan
menyedihkan semua orang.
Konyol.
Tadi Nana menghabiskan kesedihannya di kamar mandi dan

21

Not Until_Teenlit.indd 219 6/3/2014 4:04:53 PM


bertekad saat keluar tak ada lagi yang harus disedihkan dan tak
ada lagi pil pahit yang harus ditelan.
Nana jengkel saat orang-orang tak juga melahap makanan.
Akhirnya dia menghentikan makan, kemudian menatap datar ke
arah Dio dan Acha.
Acha masih terpana dengan keanehan Nana. Namun saat gadis
itu menatap datar ke arahnya dan Dio, Acha tersenyum kecil.
Sepertinya Nana tidak apa-apa.
”Baru sebentar tadi,” jawab Acha mantap.
Karisa tak bisa lagi menahan ketidaksukaannya. Dia memang
sudah merasa selama ini Dio mempermainkan sahabatnya. ”Bukan-
nya yang deket sama lo itu Nana, Yo?” ucap Karisa lantang, Stevan
langsung memberikan tatapan membunuh kepadanya.
”Hati lo di mana sih? Deket sama yang ini, tapi jadiannya sama
yang itu? Belajar jadi playboy, Mas?” lanjut Karisa tak menggubris
protes dalam pandangan Stevan.
Dio baru saja mau membuka mulut kalau Acha tak menahannya
dengan genggaman lembut. ”Sa, deket belum tentu saling
memiliki... dan jaga omongan lo ya.”
”Lo nggak bisa gitu dong!” Karisa protes, masih juga belum
menerima.
Nana menatap Karisa. Diam, teriaknya dalam hati. Jangan buat
gue seperti orang yang paling menyedihkan saat ini, lanjutnya
dalam hati.
”Kenapa lo malah nyolot ya, Sa? Nana aja biasa-biasa aja,” ucap
Acha menantang.
”Karena Nana sahabat gue!” bela Karisa.
”Iya, terus?” balas Acha sengit.
Karisa berdecak. ”Ckckck... kayak gini Yo cewek yang lo pilih?”
Karisa berdesis tajam dan berdiri seketika. ”Gue udah kenyang!”

220

Not Until_Teenlit.indd 220 6/3/2014 4:04:53 PM


Karisa berlari menuju kamar, meninggalkan teman-temannya yang
melongo.
Nana menatap Oom Ben dengan tatapan bersalah.
Nana seperti meminta sesuatu yang abstrak kepadanya, Oom
Ben mengangguk.
Nana berdiri dan meninggalkan ruang makan dengan cepat.
Sepertinya dia harus melakukan sesuatu untuk membuat Karisa
mengerti.

Nana mengetuk pintu kamar pelan. Tak ada jawaban. Setelah


menarik napas panjang, dia memberanikan diri untuk membuka
pintu. Toh memang tak dikunci. Dia menghela napas saat
mendapati Karisa duduk menunduk di ranjang.
Nana tersenyum, mengusap punggung Karisa pelan. Temannya
itu persis seperti Bunga saat melakukan kesalahan. Nana jadi
merindukan adiknya.
”Na.”
Nana kembali mengusap punggung Karisa.
”Sorry, gue bikin lo malu tadi. Sorry, gue udah bikin lo kayak
orang yang paling menyedihkan.”
Nana menggeleng pelan, memeluk Karisa dari samping, men-
coba memberikan kekuatannya pada gadis itu. Nana tak akan
pernah lagi menjadi gadis lemah.
”Lo nggak salah, Sa. Nggak ada yang salah dalam persahabat-
an.”
Karisa tertegun mendengar ucapan Nana. Nana tak pernah
mengakui Karisa sebagai teman dekatnya. Nana tak pernah meng-
umbar kata sahabat. Namun sekarang?

221

Not Until_Teenlit.indd 221 6/3/2014 4:04:53 PM


Karisa tersenyum. Setitik air mata keluar begitu saja. ”Makasih
ya, Na. Makasih lo ngertiin gue. Padahal gue nyusahin lo.”
Nana tersenyum. ”Nggak. Lo nggak pernah nyusahin gue. Gue
tahu lo khawatir tadi.”
Karisa melepas pelukan Nana, kemudian menatap Nana tak
mengerti. ”Lo sama Dio beneran nggak ada apa-apa?”
Nana menerawang. Bahunya terangkat sedikit. ”Well, sebelum
hari ini kami memang ada apa-apa.”
”Terus tadi kenapa lo...?”
Nana menerawang lurus. ”Karena ada hal yang nggak bisa
dipertahankan. Sejauh apa pun gue mempertahankannya, sekeras
apa pun gue teriak agar jangan pergi, dia tetap lepas.”
Karisa tertegun mendengar penuturan Nana.
”Sa, gue janji, ini pertama sekaligus terakhir kali lo ngeliat gue
sebegini rapuh. Oh ya, kalau memang dia bahagia sama masa
lalunya, kenapa gue harus repot-repot mempertahankannya?
Kebahagiaan kan nggak bisa dipilih.”
Karena hari esok masih ada. Karma doesn’t have a menu, sam-
bung Nana dalam hati.

Nana menghela napas berat. Pagi menyapa, sementara sejak


malam dia belum juga berhasil memejamkan mata. Dia tak bisa
tidur karena kejadian semalam.
Semalaman Nana memikirkan segala hal yang telah terjadi. Dio
dan Acha balikan. Lalu dia harus berbuat apa untuk memulihkan
perasaannya? Mengemis supaya pemuda itu kembali?
Cih! Nana tak akan melakukan itu.
Nana kecewa saat kebersamaan mereka dipandang Dio sebagai
angin lalu, dengan seenaknya dihilangkan tanpa bekas. Padahal

222

Not Until_Teenlit.indd 222 6/3/2014 4:04:53 PM


jelas-jelas pemuda itu meninggalkan luka yang begitu dalam pada
dirinya.
Nana turun dari tempat tidur, kemudian membuka pintu kamar.
Ia memasang headset ponsel di salah satu telinganya.Suara
Christina Aguillera mengalun indah di telinganya. Saat mendengar
liriknya Nana merutuk pelan, kenapa seolah menyindirnya? Nana
mengeluarkan ponsel dan memilih repeat this song.

Seems like it was yesterday when I saw your face


You told me how proud you were but I walked away
If only I knew what I know today

Nana memilih keluar dari vila, berjalan-jalan di sekitarnya. Ia


menghirup udara dengan pongah, kemudian melepaskannya
dengan kasar.
Ia terlalu lelah dengan semua ini, ingin segera mengakhirinya.
Mengakhiri kepahitan yang membuat hidupnya berantakan.
Saat melihat ada yang menuju arahnya, Nana menghentikan
langkah. Tubuhnya menegang, tak mampu bergerak. Detak
jantungnya bergemuruh.
Dio tak kalah kaget melihat kehadiran Nana. Ini masih jam enam
pagi, untuk apa gadis itu bangun dan berjalan sendirian? Udara
di Puncak sangat dingin. Bagaimana jika Nana kedinginan dan
masuk angin?
Dio ingin menegur, tapi sadar bahwa dia telah menyakiti Nana.
Apalagi ia merasa pandangan tajam yang diberikan Nana seolah
menuduh dirinya sebagai makhluk paling hina di dunia.

I would hold you in my arms


I would take the pain away

223

Not Until_Teenlit.indd 223 6/3/2014 4:04:53 PM


Thank you for all you’ve done
Forgive all your mistakes

Nana mengalihkan pandangannya dari wajah pemuda itu. Dia


memilih untuk melanjutkan jalan karena semakin lama dia menatap
mata Dio, semakin susah melupakan cowok itu.
Dengan cepat Dio menahan Nana dengan tangannya, menggan-
deng gadis itu berjalan menjauhi vila, tanpa memedulikan protes-
nya.

Mereka berada di bagian tertinggi bukit perkebunan teh. Ter-


engah-engah, tapi Nana senang. Saat melihat ke bawah, matanya
menangkap jalanan masih sangat sepi.
Dio duduk di rumput. Tangannya yang menggandeng Nana
memaksa gadis itu melakukan hal yang sama. Kini keduanya duduk
bersebelahan.
Nana melepas headset dari telinganya, membiarkan benda itu
menggantung di pundaknya. Ia mencoba menstabilkan emosinya
dengan menarik napas panjang beberapa kali.
”Maaf,” ucap pemuda itu lirih, menatap Nana yang menatap
lurus ke depan. Ucapannya terdengar sungguh-sungguh.
Nana menoleh, mendapati tatapan lembut Dio. Sejujurnya Nana
tidak tega. Tapi tak ada lagi yang harus dikasihani, baik dirinya
maupun Dio. Dia hanya perlu menyelesaikan hubungan mereka.

There’s nothing I wouldn’t do


To hear your voice again
Sometimes I want to call you but I know you won’t be there

224

Not Until_Teenlit.indd 224 6/3/2014 4:04:54 PM


”Maaf? Buat apa?” ucap Nana menahan jeritan hati. ”Bukannya
gue mestinya kasih selamat ke lo?”
Dio mengalihkan pandangan dari mata Nana. Dia tahu betul
gadis itu terluka, walaupun berbicara lantang. Ah, mata pelangi
itu, aku membuatnya kembali mendung. Masihkah aku berkesem-
patan melihat senyum tulus gadis itu?
”Akhirnya terbukti bahwa gue memang pelarian lo, kan?” ucap
Nana, tersenyum miring, seakan menertawakan kebodohannya
selama ini, sekaligus berusaha menyembunyikan gejolak yang
hampir meledak. Termasuk juga menahan keinginannya untuk
menampar Dio.
”Kita sama-sama terjebak keadaan. Jadi, mari kita akhiri semua-
nya,” tegas Nana. Namun sedetik kemudian ia tertegun mendengar
ucapannya sendiri. Benarkah ia memilih mundur dalam hal asmara?
Tapi, ah, baiklah, toh kedatanganya ke Jakarta memang bukan
mencari dambaan hati, bukan?
”Sikap gue sama lo yang menjadikan lo jahat atas perasaan
gue… gue minta maaf.” Nana terdiam. ”Selamat berbahagia ya.”
Dia beranjak dari duduk, memasang headset, dan bersiap pergi.
Tangan Dio kembali mencengkeram tangannya kuat.
Nana menggerakkan tangannya, mencoba melepas cengkeraman
itu, tapi bukannya tangannya yang terlepas bebas, colokan headset
di ponselnya yang terbebas.

I’m sorry for blaming you for everything


I just couldn’t do
And I’ve hurt myself by hurting you

Dio terdiam mendengar lagu yang diputar di ponsel Nana. Ingin


rasanya dia merengkuh Nana, mengatakan bahwa dia akan mem-

225

Not Until_Teenlit.indd 225 6/3/2014 4:04:54 PM


pertahankan Nana, mengatakan bahwa dia tak akan menyakiti
gadis itu.
Nana mengambil kesempatan itu untuk kabur dari Dio. Dia
melepas genggaman Dio, kemudian berlari menjauhinya. Sejauh
mungkin, bahkan kalau bisa mereka tak usah bertemu lagi.

Some days I feel broke inside but I won’t admit


Sometimes I just want to hide ’cause it’s you I miss
You know it’s so hard to say goodbye when it comes to this
Christina Aguillera - Hurt

226

Not Until_Teenlit.indd 226 6/3/2014 4:04:54 PM


1

A
DA yang berbeda antara hari itu dan kemarin. Nana
menyadari betul perubahan itu. Dia lebih memilih diam
daripada bicara, dia lebih banyak menghela napas
daripada menghirup udara segar. Terjadinya setelah
mereka pulang ke rumah masing-masing dari Puncak.
Nana tahu penyebab dunianya terbalik seperti itu. Tidak,
dunianya tak terbalik, hanya kembali seperti dulu. Saat hanya ada
dia dengan kesendiriannya, saat dia merasa tak membutuhkan
siapa pun di dunia.
Sebetulnya Nana menyukai kebersamaan sehingga saat dia
memilih menyendiri, kekosongan begitu terasa.
Nana sudah tak sama lagi. Dia menghindari acara bersama Dio,
Nathan, Aga, Stevan, dan Karisa. Alasannya? Tentu saja karena ada
Acha di antara mereka. Nana menghindar. Dia selalu punya alasan
untuk tak bepergian bersama atau sekadar berkumpul.

22

Not Until_Teenlit.indd 227 6/3/2014 4:04:54 PM


Lihat saja bagaimana saat istirahat sekolah Nana menyibukkan
diri di perpustakaan. Dia tak menggubris pertanyaan Karisa yang
semakin hari semakin bingung. Kalaupun menjawab, paling hanya
berupa gelengan atau berkata ”tidak”.
Sesungguhnya Nana tak mengerti kenapa dirinya menjadi aneh
seperti itu. Nana kesal. Tidak. Tepatnya Nana sakit hati. Dia sakit
hati karena Dio menjadikannya pelampiasan. Sakit hati karena dia
tidak diperlakukan adil. Ujung-ujungnya dia hanya mampu
menyalahkan diri sendiri yang dengan sukarela jatuh sedalam
itu.
Seharusnya dia tak usah jatuh cinta. Cinta itu bullshit! Cinta
hanya omong kosong yang membuat hati terluka. Begitulah
kesimpulan Nana saat itu.
Ya, Nana memang baru sekali itu jatuh cinta. Dulu saat men-
dengar cerita Livia tentang cinta pertamanya, diam-diam dia iri. Dia
juga ingin merasakan kebahagiaan yang Livia miliki. Bagaimana
perasaannya melambung, jantungnya berdegup kencang, kemudian
bersemburat merah saat berdekatan dengan si penawar hati. Oh!
Nana mencibir, menyesal karena hanya memikirkan yang indah-
indah soal cinta. Memang kebahagiaan yang dibawa cinta melebihi
apa pun, tapi sakit karena tamparannya juga melampaui apa
pun.
Kini gadis itu tak tahu harus melakukan apa. Setiap hari dia
menghabiskan waktu dengan buku dan Oom Ben, mempelajari
detail perusahaan.
Nana menutup buku Replika dengan gusar saat bel berbunyi.
Dia enggan balik ke kelas. Jika ada pilihan, dia ingin berlari
sekencang mungkin dan tidak kembali.
Tapi Nana tahu, dirinya bukan pecundang yang hanya bisa
bersembunyi.

22

Not Until_Teenlit.indd 228 6/3/2014 4:04:54 PM


***

Nana mengalihkan pandangan saat melihat Acha keluar dari kelas.


Tiap hari pacaran? Nana mencibir.
Mau tak mau Nana masuk ke kelas, dengan santai, sebisa
mungkin menutupi lukanya. Dia membawa buku dan melewati
begitu saja bangku Karisa yang menatapnya dalam-dalam. Dia
duduk di bangkunya, kemudian membuka buku tersebut dan
membaca.
Sebenarnya Nana tak membaca buku itu. Dia melamun sambil
matanya mengarah pada tulisan-tulisan kecil di lembaran buku
itu, seakan isi buku itu akan diuji pada jam pelajaran selanjut-
nya.
Karisa mulai bosan dengan sikap antipati Nana terhadap dirinya.
Dia tahu Nana terluka, terlebih Dio juga tak menjelaskan apa-apa,
dan tetap membiarkan Nana terluka. Dia ingin menonjok Dio
karena bersikap seperti raja tega.
Sejak memproklamirkan kembali bersama Acha, Dio tak pernah
menyapa Nana sekali pun. Se-ka-li pun. Itu yang membuat Karisa
kesal, seolah di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa.
Dio brengsek, ujar Karisa dalam hati.
Kalau saja Dio bukan teman baik Stevan, Karisa pasti menjauh
juga dari keempat cowok itu. Dia akan mengikuti ke mana pun
Nana pergi, namun sayangnya, Stevan melarang.
Nana butuh waktu.
Sampai kapan Nana membutuhkan waktu? Sampai dia mene-
mukan lagi sosok yang bisa disayangi dan menyayanginya? Kapan?
Dua tahun lagi? Aih, itu terlalu lama. Tanpa sadar Karisa mengoceh
sendiri dalam hati.

22

Not Until_Teenlit.indd 229 6/3/2014 4:04:54 PM


Karisa mendekati Nana. Jam pelajaran kosong. Apa Nana tidak
tahu? Guru-guru kan sedang rapat dengan pemilik yayasan.
Setelah sampai di depan Nana yang terlihat serius membaca,
Karisa mengembuskan napas. ”Na?”
”Mmm…?”
Hati Karisa kecewa, karena Nana bukan saja menjauhi Dio dan
kawan-kawan, tetapi dirinya juga. ”Lo kenapa jauhin gue?”
Nana mengangkat kepala. Sejak tadi dia tahu dia diperhatikan
Karisa, cepat atau lambat Karisa pasti akan berbicara padanya.
”Gue nggak jauhin siapa-siapa.”
Karisa mendengus kesal. Semua orang juga tahu lo menjauh,
Na, jawab Karisa dalam hati. ”Na.”
Nana tersenyum muram. ”Gue nggak jauhin siapa-siapa, Sa.”
Nana menjawab ketus, kemudian berdiri, pergi dari kelas yang tak
dia sukai itu.
Karisa memandang punggung Nana nanar. Manusia bisa ber-
ubah secepat itu ya, bahkan dalam sedetik, semuanya bisa ber-
ubah. Sedihnya.
Karisa kaget menyadari remasan di bahunya. Stevan.
”Gue udah bilang, Nana butuh waktu. Lo harus ngertiin dia,
Sa.”
Karisa mengangguk. Dari jauh dia memandang Dio. Sungguh,
bukan hanya Nana yang membenci pemuda itu. Karisa juga.

Nana duduk di taman belakang sekolah. Dia ke tempat itu—ber-


sama Dio atau tidak—untuk menenangkan diri. Mengingat Dio,
kemampuan berpikirnya melemah. Pemuda itu berhasil membuat-
nya seperti itu.
Nana jadi teringat peristiwa terbongkarnya identitas mantan

230

Not Until_Teenlit.indd 230 6/3/2014 4:04:54 PM


pacar Livia. Aga. Nana tak tahu alasan pasti kenapa dia juga
menjauhi Aga, tapi pandangannya telah berubah kepada Aga saat
terbongkarnya rahasia itu.
Aga memang dekat dengannya. Bahkan Aga membela dia, tapi
sayangnya, Nana tak ingin hubungan mereka sedekat itu.
Apa pernyataan semacam itu membuktikan Nana tak sepenuhnya
membenci Livia?
Nana menggeleng. Dia harus bicara dengan Livia, sedikit meng-
ancam gadis itu untuk mengisi kekosongan waktu. Ia mengeluarkan
cutter mini yang sering digunakannya untuk pelajaran seni buda-
ya.
Mengancam dengan kematian? Huh! Nana ingin tertawa.
Nana tahu Livia selalu mengaktifkan email, sama seperti dirinya.
Dia tak tahu nomor ponsel Livia saat itu karena telanjur mengha-
pusnya dengan darah mendidih dan kebencian. Dia tak ingin secuil
pun nama keluarga Natara di kehidupan barunya.

To: Livia.natara@ymail.com
Taman belakang sekolah.

Nana menghela napas saat mengirim email tersebut. Hanya


email yang bisa menghubungkannya dengan Livia. Tak lama
kemudian email Nana dibalas.

From: Livia.natara@ymail.com
What?

Nana ingin sekali membanting ponselnya kalau tak ingat misi-


nya. Dia benci berhubungan dengan Livia lewat apa pun. Dia terlalu
membenci keluarga Natara.

231

Not Until_Teenlit.indd 231 6/3/2014 4:04:54 PM


”Kenapa lagi sih lo?”
Nana terperanjat, mengalihkan wajah, dan mendapati Aga ber-
ada di sampingnya. Duduk di sebelahnya.
”Maksud lo?” tanya Nana judes.
Aga menatap Nana lemah. ”Udah lebih dari seminggu lo jauhin
kami. Lo nggak pernah ngumpul lagi sama kami.”
Nana bungkam. Benar. Dia memang sengaja tak berhubungan
dengan mereka. Tragisnya, dia tak tahu mengapa harus men-
jauh.
”Semuanya… terasa berat.” Suara Nana bergetar. Dia tak ingat
lagi pada Livia saat pikirannya tertancap pada satu nama lain.
Aga prihatin melihat Nana serapuh itu. Gadis dingin yang ia
kenal pertama kali bukan seperti itu. ”Nana, lo nggak bisa terus-
terusan stuck di sakit hati lo.”
Nana tersenyum tipis. ”Gue nggak stuck.”
”Oh ya?”
”Dia… ninggalin gue seenaknya. Dia mengumbar sayang, tetapi
nggak menegaskan kami ada hubungan. Setelah Acha memintanya,
dia balik ke cewek itu. Gimana bisa gue maafin? Gimana bisa gue
main sama dia?” ucap Nana memuntahkan kepedihannya.
Aga manggut-manggut. Nana terpuruk dan itu karena Dio,
temannya sendiri. Sepenting itukah kehadiran Dio di kehidupan
Nana? ”Masih banyak orang yang sayang sama lo, Na. Kami peduli
sama lo. Gue sangat peduli sama lo!” ucap Aga tegas.
Nana mendengarnya, tapi tak bisa mencerna. Dia memilih me-
mandang rumput. Melamun begitu saja. Makanya dia begitu kaget
saat Aga memeluknya erat. Namun dia tak merasakan apa-apa,
berbeda dengan Dio. Tak ada getaran halus, tak ada perasaan mem-
buncah, dan tak ada hawa panas yang mengalir di dalam dirinya.
Pelukan Aga sangat dingin. Nana tak merasakan hatinya ter-

232

Not Until_Teenlit.indd 232 6/3/2014 4:04:54 PM


bang. Nana terdiam. Benar, dia mengharapkan orang lain berada
di sampingnya. Orang yang begitu saja menjauhinya.
”Lo harus belajar menghargai orang-orang yang sayang sama
lo,” ujar Aga lembut.
Kenyataannya hanya satu orang yang mampu memperlakukannya
seperti itu.
Nana benci saat dirinya diperlakukan tidak adil. Oleh Dio, oleh
keluarga Natara, oleh siapa pun.
Natara?
Nana mengerjap, tersadar saat melihat Livia berjalan mendekati-
nya.
Nana tersenyum sinis dan membalas pelukan Aga. Cutter mini
yang digenggamnya kini mata pisaunya diarahkan ke pundak Aga
hingga berjarak beberapa senti saja.
Nana menatap Livia tajam. Tubuh Livia terdiam kaku.

Livia terdiam menyaksikan itu semua. Nana dan Aga berpelukan


di depan matanya. Hatinya terasa teriris. Dia masih menyayangi
Aga hingga sekarang.
Tubuh Livia mematung saat Nana mengarahkan cutter ke pun-
dak Aga. Livia menganga, tak percaya. Nana kembali mengancamnya,
mengancam lewat Aga. Tak puaskah Nana menghancurkan semua-
nya?
Livia melangkah mundur. Hatinya sakit, sadar bahwa Aga jatuh
ke tangan Nana. Dan sekarang Nana malah mempermainkannya
dengan kematian.
Nana begitu tahu Livia tak ingin melihat Aga terluka, dan itu
benar-benar dimanfaatkannya.
Air mata Livia jatuh, kecewa dan takut.

233

Not Until_Teenlit.indd 233 6/3/2014 4:04:54 PM


***

Nana tersenyum sinis mengingat kejadian tadi. Selepas kepergian


Livia, dia melepas pelukan Aga, melipat cutter, kemudian meng-
genggamnya erat. Dia hanya ingin sedikit bermain-main dengan
Livia. Lagi pula, mana mungkin cutter tumpul itu bisa menembus
kulit Aga?
Aga mengajak Nana pulang bersama.
Nana menggeleng. Menolak. Dia ada urusan dengan Oom Ben
setelah pulang sekolah. Dan dia memutuskan pergi ke kantor sen-
dirian.

Saat Nana tiba, Oom Ben baru masuk ruangannya. Lelaki itu baru
saja selesai meeting.
”Mood kamu sedang baik?”
Nana mengangguk semangat. Tentu saja, dia baru mendapatkan
kepuasan dari kekecewaan Livia.
Nana memandang bingung pada kliping yang dibawa Oom
Ben. Dia mengambil dengan cepat kliping berbentuk buku
tersebut, membukanya hati-hati dan perlahan.

Juni 2004
Kelana Group mengalami kebangkrutan dan menghilang
dari dunia bisnis. Selepas meninggalnya Direktur Utama.....

Nana menahan napas saat membacanya. Hatinya menyesak,


mengentak-entak, seperti ingin segera diberi penawar.
Nana membaca artikel selanjutnya.

234

Not Until_Teenlit.indd 234 6/3/2014 4:04:54 PM


November 2004
Natara Group, perusahaan yang baru saja didirikan pebisnis
muda, berhasil mendapatkan keuntungan besar dalam pro-
yek...

”Hadi Natara yang pernah bekerja sebagai manajer di Group


Kelana…” Nana membaca perlahan kalimat tersebut, kemudian
menatap Oom Ben yang tersenyum lebar.
Oom Ben mengusap rambut Nana. ”Bukti yang berhasil Oom
kumpulkan beberapa waktu ini. Lengkap sudah bukti pengambil
alih secara sepihak Kelana yang diganti nama dengan Natara.”
Nana mengambil berkas yang Oom Ben berikan dan memba-
canya sambil tersenyum semringah. Bukti bahwa ayah Livia meng-
gelapkan uang perusahaan serta black market yang dimainkan
perusahaan Natara dan anak-anaknya beberapa tahun itu.
Nana spontan memeluk Oom Ben erat. Kebahagiaannya mem-
buncah.
”Oom hampir menyerah saat kasus itu menghilang begitu saja.
Pro dan kontranya nyaris tak terdengar lagi.”
”Kenapa Oom bersikukuh melakukan semua penyelidikan
itu?”
Oom Ben menerawang. ”Pertama kali bertemu Hadi, Oom sadar
bahwa dia bukan orang baik.
”Kasus ini segera diproses di pengadilan. Tadi Oom dengar
Marina dan Joen sudah ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bukti
visum penganiayaan Bunga yang waktu itu diberikan ke pihak
kepolisian sudah diproses secara hukum,” Oom Ben tersenyum
lega, ”dan juga penyelewengan dana yang kamu katakan, sudah
terbukti. Mereka bersalah.”

235

Not Until_Teenlit.indd 235 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana tersenyum manis. ”Mereka memang pantas mendapatkan
ganjaran itu, Oom.”
Papa, Bunga… semuanya berjalan lancar, ucap Nana dalam
hati.

Nana dan Oom Ben berjalan perlahan di gedung apartemen


ternama di Jakarta Selatan. Mereka masuk lift dan memencet
angka 7.
Keluarga Natara benar-benar hancur sekarang. Mereka tak
punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan. Kasus yang menimpa
mereka ada setumpuk di pengadilan, tak ada celah untuk
berkelit.
Dua hari itu Nana sibuk terkait kasus itu. Dia dan Oom Ben ke
kantor polisi untuk menyerahkan bukti tambahan, berdiskusi
dengan pengacara, dan mengurus segala sesuatu yang berhu-
bungan dengan kasus tersebut.
Tak apa capek sekarang karena Nana bertekad, sampai mati
pun dia tidak akan menutup kasus itu. Dia bersungguh-sung-
guh.
Nana tak sempat memikirkan perasaannya yang disakiti Dio.
Dia tak peduli, hilang bagaikan angin. Mungkin saking sibuk dan
sakitnya, hati menjadi kebal. Atau mati rasa?
”Pak, tolong beri saya waktu dua hari lagi.”
Oom Ben dan Nana berpandangan mendengar suara memohon
itu. Mereka spontan menoleh ke depan, tepat di sumber suara
tersebut.
”Debt collector dan pihak bank,” bisik Ben memahami.
Nana menyilangkan tangan dan menatap adegan di depannya
sambil tersenyum senang, seolah itu acara humor di televisi.

236

Not Until_Teenlit.indd 236 6/3/2014 4:04:54 PM


”Klien lari karena kasus ini. Utang perusahaan tidak bisa
ditutupi,” ujar Livia.
”Tidak bisa! Kami sudah menyita semua barang pribadi Natara!”
ujar orang bertubuh tambun.
Livia menangis sesenggukan. ”Saya janji akan melunasi. Tapi
tolong beri keringanan waktu.”
Wajah Livia memerah karena tangis. Nana menelan ludah
melihat Livia begitu tak berdaya. Tubuhnya menjadi lebih kurus.
Nana berbalik, sudah cukup melihat pemandangan di depannya,
bukti bahwa usahanya selama itu tak sia-sia.
”Mau ke mana kamu, Na?” ujar Oom Ben mengikuti langkah
Nana.
”Pulang,” jawab Nana singkat.

23

Not Until_Teenlit.indd 237 6/3/2014 4:04:54 PM


1


N
ANA.”
Nana mengalihkan pandangan, terlihat Karisa
dan Stevan berlari menyusulnya. Mereka kewalah-
an mengikuti Nana yang berjalan cepat ke ke-
las.
Nana mengangkat alis, tak mengerti. Ada apa mereka memang-
gilnya? Apa ada sesuatu yang penting?
”Ke mana aja sih lo, Na?”
Nana menggeleng. Dua hari itu dia memang sibuk membereskan
kasus keluarganya bersama Oom Ben sehingga tak sekolah. Lagi
pula, tak ada yang perlu dikejarnya di sekolah. Tak ada hal penting
yang mampu mengalihkan perhatiannya di sekolah, beda dengan
dulu. Datang kesekolah hanya menyakiti hatinya.
Nana menggandeng Karisa, menarik gadis itu agar berjalan

23

Not Until_Teenlit.indd 238 6/3/2014 4:04:54 PM


mendahului Stevan. ”Yuk ke kelas,” ajak Nana tanpa peduli Stevan
yang menatapnya tak suka.
Karisa terperangah melihat perlakuan Nana. Dua hari tak
bertemu membuat Nana mengalami perubahan drastis: dia
mendekati Karisa. ”Tumben seneng banget?”
Nana mengangguk sambil tersenyum. Mereka terus melangkah
dengan Stevan yang mengikuti dengan wajah cemberut.
Merasa tak nyaman, Nana berhenti dan menoleh ke belakang.
”Kenapa lo, Van?”
Stevan menatap Nana dengan kesal. ”Lo, Na, baru dateng
setelah menghilang, main gandeng-gandeng cewek gue aja,”
ceplos Stevan asal, mengambil tempat di sebelah Karisa.
Wajah Karisa spontan merona. Dia menyikut Stevan dengan
gemas.
Nana melirik Karisa. ”Oh, jadi lo udah nggak di PHP-in sama
dia?” ucap Nana terang-terangan.
Telinga Stevan memanas mendengar komentar Nana. Dia tak
pernah sekali pun memberi harapan palsu kepada Karisa, selain
hanya menyalurkan kasih sayangnya yang… ah, sudahlah.
Nana mencibir, kemudian meninggalkan pasangan itu cepat-
cepat. Masa bodoh. Namun, sekali lagi Nana menoleh ke belakang
dan mendapati Stevan sedang merangkul pundak Karisa.
Nana menggeleng pelan. Tugasnya di Jakarta sudah selesai.
Kalau tak mengingat ujian nasional akan dilaksanakan beberapa
bulan lagi, Nana pasti segera mengurus kepindahannya. Pindah
ke Bali, berada di dekat ibundanya, yang entah kapan akan sadar
dari koma.
Nana menerawang merindukan mamanya. Dia begitu merindu-
kan hingga ingin menangis. Sudah lebih dari setahun dia tak me-

23

Not Until_Teenlit.indd 239 6/3/2014 4:04:54 PM


rasakan kasih sayang mamanya. Walaupun di London dulu dia
juga terpisah, tapi tak seberat itu rasanya.
Melihat ibu yang terbaring lemah dan tak bisa melakukan apa-
apa, amat menyakitkan, lebih sakit daripada patah hati.
Patah hati?
Nana tak peduli.

Aga mengetuk pelan kepala Nana. Sejak tadi pemuda itu mengekori
Nana. Entah apa modusnya. Yang dia tahu dia risi diikuti Aga.
”Apa sih, Ga?” ucap Nana mulai kesal.
Aga tertawa, senang Nana sudah kembali seperti pertama kali
mereka bertemu di bandara.
”Inget nggak, dulu lo juga ketus gitu sama gue pas pertama
kali kenalan?”
Benar juga. Nana sadar banyak perubahan yang dia lalui. ”Ya,
terus?” ucap Nana akhirnya. Dia melambai kepada penjaga kantin
yang mengantar pesanan mereka. ”Makasih ya, Mbak,” ucap
Nana.
Mbak penjaga kantin itu tersenyum. Wajah ayu khas Jawa yang
dimiliki si Mbak mengingatkan Nana pada mamanya.
Nana mengikuti garis wajah Papa. Tidak terlalu lembut, tetapi
juga tidak terlalu keras.
”Lo ngapain aja sih dua hari ini?”
Nana memilih memasukkan bakso bulat-bulat ke mulutnya.
Setelah selesai menelan, baru dia menjawab pertanyaan Aga.
”Liburan,” ujarnya asal.
Aga terpana, tahu dibohongi. Jelas-jelas kemarin Oom Ben
bilang bahwa dia sibuk bolak-balik ke kantor polisi untuk mengurus
hal penting.

240

Not Until_Teenlit.indd 240 6/3/2014 4:04:54 PM


Apa hubungannya dengan Nana?
Nana memandang Aga yang tengah memikirkan sesuatu, tahu
pemuda itu tak percaya jawabannya. ”Gue bohong, hehehe...”
Lagi-lagi Aga terkesiap.
”Gue bantuin Oom Ben supaya kasusnya cepat kelar,” terang
Nana, lalu menyeruput jus jeruk.
Aga sama sekali tak menyentuh bakso. Dia sibuk berpikir. Kalau
tidak menatap kosong ke depan, dia asyik memainkan bakso
dengan sendok tanpa memakannya.
”Lo kenapa?” tanya Nana.
Aga menatap Nana yang memandangnya bingung, kepalanya
digelengkan beberapa kali, menjelaskan dia tak memikirkan apa-
apa. Tapi Aga tak bisa berbohong. Bukan hanya Nana yang
mengganggu pikirannya akhir-akhir itu. Juga Livia, gadis masa
lalunya, yang tiga hari itu tak terlihat.
Aga tak merindukan Livia. Dia hanya penasaran, kenapa Livia
dan Nana absen bersamaan? Namun bedanya, Nana kembali pada
hari ketiga, sedangkan Livia belum. Ke mana gadis itu?
”Lo lagi mikirin seseorang?” tebak Nana. Siapa lagi kalau bukan
saudara tirinya itu? Sejak tahu Aga pernah pacaran dengan Livia,
diam-diam Nana jadi sering memperhatikan Aga. Dia penasaran,
bagaimana Livia bisa bertekuk lutut pada pemuda itu?
”Kalau Dio datang lagi ke hidup lo, lo terima nggak?”
Kenapa Aga harus merusak selera makannya dengan menyebut
nama cowok itu sih?
”Maksud lo apa?”
Aga menggeleng. ”Gue cuma nanya, Na. Berandai-andai aja.”
Nana mengangkat bahu ”Gue nggak peduli.”
Aga menyesal sudah bertanya begitu pada Nana. Sudah tahu

241

Not Until_Teenlit.indd 241 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana orangnya seperti apa, tapi malah nekat ingin mendapatkan
pencerahan dari Nana.
”Cinta pertama lo…?” Nana baru saja mau menyebut nama Livia,
tapi keburu sadar bahwa Aga akan banyak bertanya bagaimana
dia bisa tahu hal tersebut.
Aga mengangguk pelan. ”Padahal gue suka lho sama lo.”
Nana memutar bola mata. ”Kita lagi bicarain lo, Ga.”
Aga mengangguk-angguk. ”Oke, kita lagi bicarain gue.”
Nana mengembuskan napas kesal, kemudian menyikut perut
Aga. ”Nyebelin lo.” Lalu menghambur ke luar dari kantin.

Nana menatap nanar ke depan. Pemuda itu tengah berada di


sana. Ia sudah memantapkan hati untuk tidak berhubungan apa
pun lagi dengan pemuda itu. Sejak hari itu, ketika cowok itu
memutuskan segalanya, Nana menghindari setiap kontak dengan
Dio, termasuk kontak mata.
Namun tidak kali itu. Guru fisika membagi murid-murid sekelas
menjadi beberapa kelompok, dan Nana kebagian satu kelompok
dengan Dio, Calvin, Oliv, dan Naomi. Sedangkan Nathan, Stevan,
dan Karisa malah satu kelompok, sementara Aga di kelompok
lain.
Nana mencoba bersikap tak acuh. Dia berdiskusi tentang listrik
paralel dan kegunaannya dengan Naomi, tapi di sela diskusi Naomi
malah membisikkan sesuatu yang membuat bulu kuduk Nana
berdiri.
”Dio dari tadi perhatiin kita mulu.”
Nana menggeleng-geleng saja, tak membalas perkataan Naomi.
Kalau dia memedulikan atau membalas tatapan Dio, tembok yang
susah-susah dibangunnya akan luruh begitu saja.

242

Not Until_Teenlit.indd 242 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana tak ingin terbuai lagi.
”Ya udah, nanti pulang sekolah kita ke lab fisika, lanjutin diskusi,”
ujar Calvin selaku ketua kelompok.
”Mesti pulang sekolah nanti?” tanya Nana, tak nyaman berlama-
lama sekelompok dengan Dio.
”Iya lah. Kapan lagi coba?”
Nana manggut-manggut saja, setuju dengan ucapan Calvin. Dia
membereskan buku-bukunya, ingin beranjak ke kursinya karena
bel pulang sekolah segera berbunyi.
”Oh iya, Na, kenapa lo nggak masuk dua hari ini?”
Nana menghentikan langkah saat suara nyaring Calvin terdengar
begitu keras. Dia menyipit, melihat Dio sedang menatapnya juga,
sama seperti Calvin, menunggu jawabannya.
Namun Nana hanya menggeleng, membiarkan pertanyaan itu
terbenam dalam pikiran masing-masing. Nana tak akan menjawab
kepada siapa pun, kecuali…
Nana merutuki diri sendiri. Dia tak boleh mengharapkan Dio,
walau hanya sedetik.

”Na, gue, Stevan, dan Nathan duluan ke lab fisika, ya.” Karisa
berpamitan dari arah pintu. Ketika mendapat anggukan Nana,
ketiganya langsung menghilang dari kelas.
Nana menatap sekeliling. Teman sekelasnya memang selalu
begitu, meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Alhasil, Nana yang
suka bermalas-malasan membereskan barang-barangnya selalu
ketinggalan.
Nana mengerjap saat Aga menepuk pundaknya. Pemuda itu
tersenyum sambil mengacak rambut belakangnya.
”Ada apa?” tanya Nana dingin.

243

Not Until_Teenlit.indd 243 6/3/2014 4:04:54 PM


Aga menggeleng. ”Gue duluan ya, Na. Gue mau ketemuan sama
temen lama.”
Nana menghela napas. ”Ya udah, pergi aja,” ketusnya tanpa
berpikir siapa teman lama yang dimaksud Aga.
Aga tertawa. ”Jangan merasa kehilangan gitu dong, Na. Besok
kan kita ketemu lagi.”
Iih, GR!
Nana memutar bola mata, menepuk lengan Aga dengan buku-
buku yang akan dimasukkan ke loker hingga Aga meringis
kesakitan.
Aga mengalihkan pandangan ke arah Dio, yang juga terlihat
siap meninggalkan kelas karena sudah menyandang tas. ”Gue
duluan ya, Yo,” ujar Aga.
Dio hanya mengangguk, sejujurnya malas mendapati adegan
Nana-Aga yang membuat hatinya panas. Dio tak terima, tentu
saja. Dia masih menyayangi Nana.
Nana melihat Dio dengan ekor matanya sambil berjalan menuju
loker di bagian paling belakang kelas, segera memasukkan buku-
bukunya, kemudian mengunci loker dengan satu gerakan cepat.
Hening.
Nana berputar. Tubuhnya menegang saat tau Dio masih berada
di dalam kelas. Bahkan cowok itu menatap dirinya.
Nana tak bisa mengartikan tatapan itu tajam atau merindu. Dia
menunduk, berjalan menuju bangkunya. Lebih baik dia cepat keluar
sehingga tak masuk perangkap Dio.
”Gue pengin ngomong,” ujar Dio lirih.
Nana melirik Dio dan menjawab cepat, ”Nggak ada yang mesti
diomongin.”
”Na, gue min…”
”DIO!”

244

Not Until_Teenlit.indd 244 6/3/2014 4:04:54 PM


Dio mengepal keras saat mendengar dengan jelas seruan dari
luar kelas. Dio tahu siapa yang memanggilnya. Acha ada di sana.
Sendirian. Padahal dia benar-benar ingin meminta maaf kepada
Nana. Menjelaskan ketidakbahagiaannya, menjelaskan penyesalan
yang datang menyergapnya.
Nana melangkah menuju bangkunya, memilih duduk kembali,
menunggu Dio keluar sehingga dia bisa dengan bebas berjalan.
Karena kalau boleh jujur, adanya Dio beberapa meter darinya bisa
membuatnya kewalahan, terutama untuk bernapas.
Nana merindukan Dio, tentu saja. Dia selalu merindukan Dio.
Tapi hatinya begitu sakit saat melihat Dio memilih gadis lain. Dia
membenci Dio yang memilih Acha.
Hatinya berdenyut nyeri.
Nana masih hafal bagaimana Dio memanggilnya, bagaimana
Dio menyapukan perhatian lembut dalam hidupnya, kemudian…
membuatnya jatuh. Semuanya menyisakan bekas yang amat dalam
di hatinya.
Tidak. Sudah cukup rasa sakit itu.
Nana melangkah menuju pintu kelas, tapi berhenti saat suara
lantang dari luar kelas memasuki telinganya.
”Kamu nggak pernah ngertiin aku, Yo!”
Suara Acha.
”Kamu yang nggak pernah ngertiin aku, Cha! Cukup semua
ke-childish-an ini! Gue capek berantem mulu.”
Nana terdiam di ambang pintu. Dia berniat keluar, tak ingin
mendengar percakapan ini. Namun bagaimana?
”Kamu! Kamu selalu bertindak semaumu. Aku pacarmu, Yo! Aku
berhak nuntut perhatianmu!” Suara Acha bergetar.
”Udah deh, Cha, kurang kasih apa gue sama lo! Lo blokade gue
dari temen-temen, gue terima. Lo minta gue nggak usah latihan

245

Not Until_Teenlit.indd 245 6/3/2014 4:04:54 PM


futsal agar bisa nemenin lo, gue terima. Lo bilang gue nggak boleh
deketin Nana, gue lakuin. Apa lagi yang salah?!” Suara berat Dio
terdengar bergetar hebat, menahan amarah.
”Kasih sayangmu! Kasih sayang yang nggak pernah lagi kamu
kasih ke aku!”
Nana menutup mata. Dia seperti maling saja. Mendengar
pembicaraan yang tak seharusnya dia dengar. Sungguh, dia merasa
tak enak karena jadi terkesan menguping. Padahal mereka yang
bertengkar keras-keras, batin Nana.
”Gue bilangin ya, semua berubah, Cha! Dunia gue udah lain.”
Acha terisak pelan. ”Aku sakit denger kamu ngomong kayak
gini, Yo.”
Suara Dio meninggi. ”Siapa yang lebih egois, gue apa lo? Mana
yang lebih sakit di antara kita? Sekarang ini gue cuma sayang
Na…”
Suara Dio terhenti karena mendengar bunyi decitan pintu kelas
terbuka.
Nana.
”Gue nggak bermaksud nguping,” ujar Nana dingin, lalu berjalan
secepat mungkin meninggalkan pasangan yang sedang bertengkar
itu.
Sayup-sayup Nana masih mendengar lontaran Dio pada Acha.
”Puas lo?”
Nana menghela napas, berusaha tak peduli.

Sore hari Nana memilih bersantai di taman belakang rumah yang


ada kolam renang. Nana duduk di tepi kolam sambil mencelupkan
kaki.
Pikirannya melayang pada kejadian pulang sekolah tadi. Dio

246

Not Until_Teenlit.indd 246 6/3/2014 4:04:54 PM


dan Acha bertengkar hebat. Dan sepertinya hubungan mereka
tidak dapat dipertahankan lagi.
Nanaaa... lo mikir apa sih? Nana menegur dirinya sendiri.
Tapi kalau beneran mereka putus bagaimana?
Nana menggeleng-geleng, tak boleh terus-terusan memikirkan
Dio seperti itu. Memangnya dia bersedia sakit hati lagi? Namun,
Nana juga tak bisa membohongi diri.
Duh, enaknya Nana bersikap bagaimana sih?
Belum terjawab lamunan Nana, Oom Ben terlihat terburu-buru
berjalan menghampiri Nana. Begitu sampai di dekat Nana, dia
membisikkan sesuatu. Mata Nana membulat seketika.

”Livia?!”
Nana hampir berteriak saat mendapati Livia duduk manis di
ruang tamunya. Gadis itu terlihat begitu kurus. Mungkin karena
tidak makan beberapa hari atau menahan beban, entahlah. Nana
tak peduli. Livia mati pun, dia tidak peduli.
”Ngapain lo ke sini?” sapa Nana ketus, menyilangkan tangan di
depan dada, memandang Livia tajam, seolah ingin menikamnya.
”Berani-beraninya ya lo masuk ke kandang singa. Ckckck...” Nana
mendekati Livia.
Livia menahan napas, memberanikan diri menatap Nana. Dia
melihat sorot kebencian yang mendalam di wajah Nana,
mengingatkannya pada apa yang dia lakukan setahun lalu.
Livia menunduk sambil memainkan jemari. ”Gue… minta maaf,
Na.”
”Untuk?”
Livia menarik napas panjang, benar-benar menunduk, tak mau
memperlihatkan matanya yang memerah. ”Untuk kesalahan Papa,

24

Not Until_Teenlit.indd 247 6/3/2014 4:04:54 PM


untuk kesalahan gue, dan perlakuan buruk keluarga gue pada
Mama dan Bunga. Untuk semuanya.”
Nana tertawa seketika. Tawa nyaring yang tak berisi, tawa
menyindir. ”Maaf lo bilang?” Emosinya merambat naik.
Oom Ben menyentuh Nana, menahannya agar tidak menyakiti
Livia.
”Lo pikir semuanya bisa diselesaikan dengan minta maaf?” Bahu
Nana naik-turun karena menahan emosi. Hatinya teriris ingat dia
dianggap pembawa sial oleh keluarga Natara, hatinya merintih
pedih saat melihat tubuh Bunga yang penuh memar dan mamanya
terbaring koma.
Keluarga Natara kejam.
”LO NGGAK SADAR SEBERAPA BEJAT KELUARGA LO, HAH?”
Nana hilang kendali hingga melayangkan tamparan keras ke pipi
Livia.
Plak…
Oom Ben memejam saat menyaksikan itu.
”Kita pernah bersahabat, Vi,” ucap Nana bergetar, ”tapi lo malah
menganggap gue sebagai penyebab kematian papa lo.”
Nana menarik napas panjang, mendinginkan hati.
”Gue tahu sejak awal Tante Marina dan Oom Joen nggak pernah
suka sama gue. Gue tahu, dan Mama pasti juga tahu. Tapi gue
bertahan, Vi!”
Livia tak bereaksi apa pun.
”Sampai gue tahu penyebab kematian papa gue karena bokap
lo melumeri kalium sianida di rokok dan setir mobilnya! Sampai
gue tahu tubuh Bunga biru dan mengalami depresi berat! Sampai
gue tahu perusahaan Papa diambil alih bokap lo secara diam-diam!
APA LO YAKIN GUE BAKALAN MAAFIN LO, HAH?”
Nana kalut. Pandangannya kosong. Kebencian yang begitu

24

Not Until_Teenlit.indd 248 6/3/2014 4:04:54 PM


dalam membutakannya. Nana mengambil vas di tengah meja,
kemudian mengempaskannya dengan kasar ke lantai.
Praaanggg…
Air mata mengalir di pipi Nana. Gejolak emosi berubah menjadi
air mata kepedihan yang dia tahan lama. ”Sakit, Vi! Coba aja lo
jadi gue,” ujar Nana miris.
Livia berlutut di hadapan Nana, tanpa memedulikan serpihan
vas yang mengenai lutut dan kakinya.
Nana masih tak bisa mengendalikan emosi. ”Berdiri lo!”
hardiknya keras.
”Maaf, Na, gue minta maaf. Tolong, tolong gue, Na.”
Nana mendorong tubuh Livia. Karena lemas dan tumpuannya
tak kuat, Livia jatuh membentur tepian meja. Bagian belakang
kepalanya mengeluarkan darah. Livia pingsan.
Nana terkesiap, mundur beberapa langkah. Saat tubuhnya
menabrak dinding, tubuh Nana merosot, terduduk di lantai dan
menangis.
Menangis karena menahan derita begitu lama.

24

Not Until_Teenlit.indd 249 6/3/2014 4:04:54 PM


1

N
ANA menatap tubuh Livia yang terbaring lemah di
rumah sakit. Mata Livia tertutup, tubuhnya lemah.
Selang infus yang mengalirkan zat bergizi menancap
di tangannya. Kepalanya diperban, lutut dan beberapa
bagian kakinya penuh olesan Betadine karena luka terkena ser-
pihan kaca.
Sedikit pun Nana tak merasa kejadian yang menimpa Livia
sebagai kesalahannya. Dia membenci Livia dan keluarganya.
Itu karma, ucap Nana memantapkan diri. Keluarga Livia mem-
perlakukan keluarga Nana dengan buruk. Dia tak akan pernah
memaafkan mereka.
Nana menoleh saat pintu kamar Livia terbuka. Oom Ben masuk
membawa makanan.
”Aku nggak bermaksud nungguin dia,” ucap Nana melirik ke
Livia.

250

Not Until_Teenlit.indd 250 6/3/2014 4:04:54 PM


”Sejak kemarin kamu di sini terus, Na.”
Nana mengangguk. Benar, sejak kemarin dia menunggui Livia
tanpa alasan jelas. Sejak kemarin dia hanya duduk sambil sesekali
menatap wajah Livia yang tertidur nyenyak. Gadis itu masih belum
sadar. Menurut dokter, Livia sangat tertekan sehingga asupan
makanannya menurun. Luka di kepalanya yang berdarah membuat
tubuhnya semakin lemah.
Nana tersenyum miris. ”Mungkin lebih baik kita biarkan dia mati
kemarin, Oom.”
Ben mengusap punggung Nana. ”Kamu bukan pembunuh,
Na.”
Nana menggeleng. ”Aku cuma ingin melihat mereka mati di
depanku, Oom.”
Ben menghela napas. ”Jangan! kita sudah menang di pengadilan,
Marina dan Joen akan menghabiskan hidup mereka di penjara.”
Nana tersenyum miring. ”Lalu harus kita apakan sisa keluarga
Natara? Nana pengin mereka semua lenyap, Oom.”
Ben kembali mengusap punggung Nana. ”Dia saudaramu,
Na.”
”Aku nggak peduli, selama di tubuhnya masih mengalir darah
Natara.”

Itu hari kedua Nana berada di rumah sakit. Kata dokter, depresi
dan sedikit makan selama berhari-hari memperlemah tubuh
sehingga Livia tak bisa bangun secepat yang diperkirakan. Benturan
keras di pelipis juga memengaruhi kesadarannya.
Nana berdiri. Saat dia mau membuka pintu kamar, pintu terse-
but lebih dulu terbuka.
”Aga?”

251

Not Until_Teenlit.indd 251 6/3/2014 4:04:54 PM


”Nana?”
Mereka berdua sama-sama kaget.
Aga menggerakkan dagu, meminta Nana agar ikut bersamanya.
Ia membawa Nana ke taman rumah sakit.
”Gue yang nganter Livia ke rumah lo, Na.”
Nana terdiam, memandang pasien dan suster yang lalu lalang
di depannya. Dia mendengar, tapi malas menanggapi.
”Siang itu tiba-tiba Livia menelepon gue. Dia minta agar gue
menjemput dia sesegera mungkin di depan apartemennya. Gue
nggak tahu maksudnya. Tapi karena dia nangis sebelum gue nutup
telepon, terpaksalah gue menuruti dia.”
Aga menarik napas, melanjutkan penjelasannya. ”Tubuh Livia
lebih kurus, dan matanya bengkak. Gue tanya dia, udah makan
apa belum. Dia jawab, udah. Dia minta gue nganterin dia ke rumah
lo.”
Tanpa menatap Aga, gadis itu berkata, ”Apa aja yang dia ceritain
ke lo?”
Aga terkesiap. ”Mungkin... semuanya.” Aga tersenyum pada
Nana. ”Kalian saudara, kan?”
Nana tak pernah lagi menganggap keluarga Natara sebagai
bagian kehidupannya.
”Livia ceritain itu semua sambil nangis. Bikin gue nggak tega.”
Nana mengerjap, tak peduli hubungan kekeluargaannya dengan
Livia diketahui banyak orang. Bisa menghancurkan keluarga Natara
saja sudah lebih daripada cukup. Dia berhasil membuat Tante
Marina dan Oom Joen mendekam di penjara dan Livia tak punya
apa-apa lagi.
”Dia gadis paling ceria yang pernah gue kenal. Saat itu kami
kelas 2 SMP.”
Aga menerawang, mengingat cinta pertamanya dengan Livia.

252

Not Until_Teenlit.indd 252 6/3/2014 4:04:54 PM


”Pertemuan klise, nabrak dan ditabrak. Gue langsung minta kenalan
dan kami pun dekat. Tanpa diketahui siapa pun.”
Aga tersenyum riang. ”Saat itu dia cerita ke gue bahwa dia
punya sahabat yang sekarang jadi saudaranya. Dia bahagia banget
waktu cerita ke gue. Dia juga menyayangkan nggak bisa ngenalin
gue ke saudaranya karena dia sekolah di London.”
Aga menatap Nana. ”Yang gue nggak nyangka ternyata sau-
daranya itu lo.”
Nana tersenyum miris.
Aga kembali menerawang. ”Saat nerima email lo yang cerita lo
seneng tinggal di London, Livia malah nangis karena mikir lo nggak
bahagia saat tinggal di Indonesia bersama dia. Sejak kepergian lo,
dia nggak pernah punya sahabat. Bagi Livia, lo satu-satunya
sahabat, nggak ada yang lain.”
Nana menahan air mata yang hampir keluar mendengar penu-
turan Aga. Sungguh, dia tak pernah menyangka Livia begitu meng-
hargai persahabatan dengan dirinya. Dia hanya berbohong saat
mengirimi Livia email yang mengatakan dia sangat bahagia di
London, karena sebenarnya dia hanya tak ingin dicemaskan keluar-
ganya di Indonesia.
”Dia kesepian setelah lo pergi. Dia bilang, lo cewek tertangguh
yang pernah dia kenal.”
Aga menghela napas. ”Gue nggak nyangka, sebenernya gue
udah kenal lo jauh sebelum kita kenalan. Gue kenal lo dari cerita-
cerita Livia.
”Sayangnya hubungan gue sama Livia putus karena backstreet
kami ketahuan Oom Hadi yang jelas-jelas nggak setuju. Gue marah
pada beliau dan mutusin Livia begitu aja. Akhirnya gue pindah ke
Jakarta, ketemu Stevan dan Dio.”

253

Not Until_Teenlit.indd 253 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana memilih diam, menyimak penuturan Aga yang panjang
itu.
”Gue berasa nggak bisa napas melihat Livia nangis kemarin.
Gue nggak tega.”
Nana melirik Aga yang kini terdiam. ”Maksud lo apa ceritain
gue semua ini?”
Aga kaget mendengar pertanyaan Nana, sesaat menatap mata
gadis itu. Sorot mata Nana masih menyisakan luka, juga mem-
perlihatkan kebencian mendalam. ”Gue cuma.. sharing.”
Nana tersenyum sinis. ”Supaya gue maafin Livia?”
Aga kaget lagi.
”Gue menghargai usaha lo. Tapi gue udah maju terlalu jauh,
nggak akan mundur, Aga. Sekalipun lo udah tahu semuanya,” jelas
Nana dingin, kembali menatap ke depan, lalu berdiri.
Aga menahan Nana dengan tangannya. ”Lo nggak akan men-
celakai Livia lagi, kan?”
Nana terdiam lama, menatap Aga. Tatapan Aga seolah mem-
beritahu bahwa jika Nana mencelakai Livia, Aga juga akan terluka.
Bukankah Nana berjanji tidak melibatkan orang-orang di sekeliling-
nya?
Nana menggeleng. ”Nggak. Tapi lebih daripada itu,” ucapnya
mantap. ”Gue iri sama Livia. Bahkan saat sekarang, saat dia nggak
punya apa pun, masih saja ada orang seperti lo, yang menyayangi-
nya tulus.”
Aga terkejut.
”Gue iri karena dulu, saat gue dibuang begitu aja sama keluarga
Natara, nggak ada satu pun yang belain gue, seperti lo belain Livia
sekarang.”
Nana berjalan menjauhi Aga, namun baru beberapa langkah

254

Not Until_Teenlit.indd 254 6/3/2014 4:04:54 PM


berbalik. ”Lo bisa jenguk dia sekarang. Sebelum gue blokade
orang-orang yang mau nengokin dia.”
Aga bangkit, kemudian tersenyum. ”Gue yakin kebahagiaan
akan menyapa lo, cepat atau lambat.”

Nana berjalan menuju koridor rumah sakit dengan gontai. Dia


baru saja mengisi perutnya di kantin. Dia berbalik arah saat
melihat Acha dan Dio keluar dari kamar Livia. Tampaknya mereka
sudah tahu apa yang terjadi pada Livia, dan bisa jadi tahu fakta
dirinya.
Nana bersembunyi di balik tembok, matanya tertuju pada Acha
dan Dio yang berjalan beriringan dalam diam. Tak ada gandengan,
juga tak ada wajah cerah Acha.
Huh, dasar pemain rasa, vonis Nana dalam hati. Tak cukupkah
Dio memainkan perasaan Nana saja?
Nana menahan diri untuk tidak keluar dari persembunyian saat
sadar untuk apa dia bersembunyi. Dia tak punya urusan apa-apa
dengan mereka, dan bukankah terserah dia mau melakukan apa
pun, tak perlu peduli pada keberadaan mereka.
Namun, tetap saja Nana menahan napas. Tepatnya, menahan
getaran yang memacu cepat saat Acha dan Dio melewatinya. Mata
bening Nana mengikuti mereka.
Nana batal keluar saat Dio menengok ke belakang. Jantungnya
berdegup keras, aliran darahnya memacu cepat. Dia tak ingin Dio
mengetahui keberadaannya. Dia mengembuskan napas lega saat
mereka menghilang dari pandangannya. Lalu mulai berjalan
kembali.
Tanpa terasa Nana sudah berada di depan ruangan Livia. Dia
membuka pintu dengan lemah, ingin memastikan keadaan Livia.

255

Not Until_Teenlit.indd 255 6/3/2014 4:04:54 PM


Tubuh Nana menjadi kaku saat melihat Aga duduk di kursi di
samping ranjang Livia. Aga menatap gadis itu sendu, seolah dunia
Aga terenggut dengan sakitnya Livia.
Nana cemburu. Bukan, bukan karena Aga memperhatikan Livia,
tapi karena dia juga ingin mendapat perlakuan sama. Makanya
dia masih mematung di pintu, menata rapi-rapi perasaannya yang
mulai tak menentu. Dia merindukan...
”Nana?” Aga menyapa.
Nana mengangkat kepala, melirik Aga. Dia menutup pintu, lalu
berjalan gontai menuju pemuda itu.
”Lo belum pulang?” tanya Nana, nadanya seperti mengusir.
Aga menggeleng. ”Tadi lo ketemu Acha dan Dio?”
Nana mengangkat bahu. ”Gue lihat, tapi mereka nggak lihat
gue kayaknya.”
Aga mencibir. ”Masih ada yang disembunyiin?”
Nana menyipit. ”Bukan urusan lo,” katanya ketus.
Aga tertawa, kemudian berdiri, menepuk beberapa kali bahu
Nana, dan berkata. ”Gue kan cuma nanya.”
Nana hanya diam, tak menanggapi. Emosinya kepada Aga lama-
lama tak bisa diatur.
”Gosipnya sih mereka udah putus, tapi masih aja jalan bareng,”
tutur Aga. Ia melirik Nana dengan cepat, ingin tahu ekspresi yang
ditampilkan gadis tersebut saat mendengar informasi terbarunya
itu.
Nana mengernyit, tahu siapa yang dimaksud ”mereka” dalam
kata-kata Aga. Buat apa dia memberitahu Nana? Nana menatap
Aga. ”Peduli gue apa ya?” ucapnya, lebih ketus.
Aga tersenyum. ”Semua orang tahu perasaan lo sama Dio kali!”
Nana membalas senyum Aga dengan tatapan tak mengerti.
”Dan semua orang juga tahu perasaan gue sama dia saat ini.”

256

Not Until_Teenlit.indd 256 6/3/2014 4:04:54 PM


”Gue pulang dulu ya, besok balik lagi.”
Nana mengangguk.
Setelah Aga benar-benar hilang dari balik pintu, Nana tak tahu
harus melakukan apa. Dia menatap Livia yang memasuki hari
kelima tidak sadar. Nana mencibir. Kalau sudah selama itu tak
sadar, tak usah sadar saja sekalian. Merepotkan.
Nana berjalan menuju jendela besar. Kamar Livia berada di lantai
lima dengan jendela menghadap ke taman sehingga Nana dapat
melihat pemandangan dengan leluasa.
Nana tersenyum saat melihat anak kecil yang bermain dengan
suster dan ibunya, mengingatkan dia pada Bunga dan Mama.
Bagaimana kabar Mama?
Drrrttt... drrrttt...
Dengan cepat Nana mengambil ponsel, membaca siapa yang
meneleponnya.
Oma.
Nana yakin itu ada hubungan dengan Mama. Buru-buru dia
menjawabnya.
”Nanaa... akhirnya, Nak, mamamu sudah sadarkan diri.”
Ponsel hampir saja terlepas karena tubuh Nana melemas
seketika saking senangnya. ”Apa? Mama udah sadar? Oma, sore
ini Nana ke Bali,” ucapnya mantap.
Keinginan Nana untuk berkumpul bersama keluarganya hampir
terjadi. Sudah terlalu lama Mama koma akibat kecelakaan pesawat.
Sudah terlalu lama dia kehilangan sosok Mama. Nana rindu belaian
dan kasih sayang Mama.
Nana bahagia.
Air mata berlinang dan jatuh. Bukan air mata kesedihan. Itu air
mata kebahagiaan. Air mata yang menjelaskan semua penantian
panjang Nana.

25

Not Until_Teenlit.indd 257 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana membalikkan badan.
APA?!

Livia membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-


langit putih yang bercorak aneh di atasnya. Kepalanya masih
sakit, lutut dan bagian tulang keringnya juga ngilu. Dia meng-
edarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ah, dia ternyata berada
di rumah sakit.
Livia mencoba bergerak. Telinganya menangkap suara di
dekatnya.
”Apa? Mama sudah sadar?”
Perlahan Livia menoleh, mendapati Nana tengah membela-
kanginya. Tubuh Livia bergetar hebat. Mama? Sudah sadar?
Yang Livia tahu Mama tidak ada di Jakarta dan Nana tak terlalu
sering mengunjungi Mama.
Dia mendengar Nana terisak, pelan-pelan air matanya meluruh.
Dia juga rindu Mama. Hanya Mama Hanna yang dia punya. Hanya
Mama Hanna yang pernah memberikan perhatian keibuan
kepadanya.
Dia ingin bertemu Mama.
Livia terisak. Dia menatap punggung Nana. Kata maaf sepertinya
tidak cukup untuk mengubah segalanya. Nana terlalu membenci-
nya.
Livia berpaling saat menyadari Nana membalikkan badan. Gadis
itu menatap tajam, seakan siap membunuh Livia.
Livia memejam ketakutan. Air mata masih terus mengalir dari
pipinya.
Livia menyesal. Sungguh dia menyesal. ”Na.” Dia berani
menyapa, walau pening langsung menyerang.

25

Not Until_Teenlit.indd 258 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana menatap Livia angkuh. Syukurlah gadis itu sudah sadar.
Ia bisa langsung memesan tiket ke Bali untuk mengunjungi Mama.
Ia tak perlu repot-repot menyuruh orang untuk menjagai gadis
itu.
Di alam bawah sadarnya Nana masih memedulikan Livia. Nana
berusaha mengelak. Tidak! Perasaannya tak segampang itu untuk
dipermainkan.
Kalau saja semuanya tak serumit itu, pasti Nana bisa memaafkan
Livia.
”Aku juga pengin ketemu Mama.”
Cih. Apa dia geger otak beberapa hari ini hingga melupakan
segalanya?
Nana berdesis tajam. ”Lo pikir gue bakal ngizinin lo ketemu
Mama? Dia mama gue, bukan mama lo!”
Livia hanya memejam, meremas selimut rumah sakit, kembali
terisak. ”Aku kangen Mama.”
Nana menggeleng sebal, lalu berdecak. ”Menurut lo, gue
peduli?” ucapnya ketus, berniat beranjak dari ruangan itu segera
mungkin.
Namun, betapa kagetnya Nana ketika tiba-tiba Livia meraih
tangan Nana.
”Lepas!” teriak Nana keras.
Livia tak menghiraukan tepisan Nana. ”Tolong, aku juga pengin
ketemu Mama. Tolong...”
Nana melirik Livia, membisu. Gadis itu seakan merintih kesakitan.
Nana peduli apa?
”Itu mama gue! Mama lo udah mati!” ucap Nana dengan pene-
kanan pada kata ”mati”.
Air mata terus mengalir di wajah Livia. Dia tak punya tenaga
untuk menyusul Nana, berbicara pun sangat susah.

25

Not Until_Teenlit.indd 259 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana menatap Livia. ”Gue bukan keluarga lo dan lo bukan
keluarga gue! Jangan mimpi terlalu tinggi!” Nana membanting
pintu rumah sakit dan pergi begitu saja.
Biar saja Livia rasakan hidup sebatang kara seperti yang pernah
Nana alami.

260

Not Until_Teenlit.indd 260 6/3/2014 4:04:54 PM


20

M
AMA sudah sadar.
Hanya kata itu yang terngiang di telinga Nana.
Nana sudah memberitahu Oom Ben, memberi ka-
bar bahagia itu kepada orang yang selama ini
terlalu berjasa untuknya. Oom Ben turut senang, langsung mem-
bolehkan Nana ke Bali.
Bahkan saat mengambil beberapa baju dan memasukkannya
ke tas, Nana sampai tak menyadari ada orang yang memperha-
tikannya dari luar kamar.
Setelah semuanya beres, Nana segera berjalan menuju pintu
kamar. Dia diberitahu Oom Ben, pesawat akan lepas landas tepat
dua jam lagi sehingga dia tak harus menunggu penerbangan
selanjutnya.
Nana kaget menyadari Dio berada di depannya. Tatapan

261

Not Until_Teenlit.indd 261 6/3/2014 4:04:54 PM


pemuda itu masih... Ah, tidak. Nana sudah kebal dan bisa meng-
hadapi Dio.
”Mau ke mana lo?”
Nana menyipit. ”Bali,” jawabnya enteng, lalu mengambil celah
untuk berjalan meninggalkan Dio.
Dio menahan tangan Nana. ”Udah dapet tiket? Gue perlu ngo-
mong sama lo.”
Tak ada waktu. Nana tak akan membiarkan Dio mengalanginya.
Benar. Pemuda itu harus menyingkir sekarang juga.
”Dio, pesawat gue udah mau berangkat. Lo jangan mempersulit
deh.” Nana melepaskan genggaman Dio di tangannya.
”Gue perlu ngomong sama lo.”
Nana mendengus. ”Lain kali, oke?”
Dio dengan cepat mengambil tas Nana dan berjalan lebih dulu
daripada gadis itu. ”Kita ngomong sambil jalan. Gue anter lo.”
Nana hanya terpaku melihat punggung Dio. Dia tak mengerti,
apakah begitu cara Dio kembali mempermainkan hatinya?

Nana meremas ujung baju. Perjalanan menuju bandara terasa


sangat lama karena Dio ada di sebelahnya.
Nana mencoba tak peduli akan hadirnya kembali pemuda ini
di dekatnya. Aku tak akan jatuh ke lubang yang sama, mantapnya
dalam hati. Tapi, tunggu! Bagaimana cara ampuh membohongi
perasaan?
Dio berdeham pelan, tapi terdengar begitu keras di telinga
Nana. Ia melirik Nana sekilas. Mobil yang dikendarainya memasuki
jalan tol. Dio membayar, dan keadaan tetap hening.
Dio tak ingin mengulur waktu, tapi juga sadar bahwa apa yang

262

Not Until_Teenlit.indd 262 6/3/2014 4:04:54 PM


ingin ia katakan butuh keberanian besar. Baru kali itu ia gugup
karena perempuan.
Nana mengalihkan pandangan ke jalan, lelah menunggu. Ya,
dia terlalu lelah mengikuti kemauan Dio.
”Na.”
Nana masih menumpukan matanya ke samping jalanan.
”Gue mau minta maaf sama lo.”
Nana mendengar jelas ucapan Dio, namun berpura-pura tak
mendengar. Hatinya masih menjerit ngilu.
”Na, gue tahu lo marah sama gue. Oke, gue emang brengsek.
Gue bener-bener minta maaf.”
Nana menahan napas. Bukankah aku berjanji untuk tak peduli,
ikrarnya dalam hati.
”Gue tahu ini nggak mudah buat lo, buat perasaan lo, ta...”
”Jangan berlebihan menilai perasaan gue. Saat itu gue cuma
labil. Setelah pikiran gue terbuka, gue sadar itu kesalahan,” potong
Nana cepat.
Nana memang menyayangi Dio, ah lebih dari itu, mencintai Dio.
Cinta pertamanya. Tentu saja itu tak terlupakan.
Dio melirik Nana. Mobil memasuki lingkungan Bandara Soe-
karno-Hatta, berarti waktunya bersama Nana menipis. Pelan-pelan
Dio mengurangi kecepatan mobil, ingin egois sekali saja, ingin
bersama Nana lebih lama.
”Terserah, mau anggap perasaan lo itu kesalahan atau bukan.
Gue cuma pengin lo tahu gue merasakan yang sama, dan maaf
gue menyia-nyiakan kesempatan itu kemarin-kemarin. Gue nyesel.
Gue baru sadar bahwa...” Dio menggantung ucapannya. Keberanian-
nya memudar. Dio gugup.
Nana menoleh, mendapati Dio kebingungan. Dia menunggu
lanjutan ucapan Dio.

263

Not Until_Teenlit.indd 263 6/3/2014 4:04:54 PM


Dio menatap Nana. ”...bahwa gue terlalu sayang sama lo dan
nggak bahagia di samping Acha.”
Darah Nana berdesir cepat. Hatinya mengembang dan wajahnya
tersenyum manis. Sesaat kemudian dia menghela napas. Kata itu,
kata yang dinantinya dari dulu, meluncur dari bibir Dio. Tidak! Dia
tidak mau lagi. Saat dirinya serius, justru Dio mempermainkannya.
Bagaimana dia tahu Dio hanya ingin bermain-main dengannya
atau tidak?
Tegas Nana memilih untuk menyiram bunga yang baru saja
bermekaran di hatinya itu dengan air asam, memilih menyakiti
hatinya sendiri.
Nana memilih mengabaikan ucapan Dio. Dia hanya menatap
terminal keberangkatan.
”Kamu bener-bener pemain perasaan ya? Setelah kamu putusin
Acha, masih berani deketin aku?” ucap Nana saat turun. Dia mem-
banting pintu mobil Dio sekeras mungkin. Mungkin itu kali terakhir
dia bisa bersebelahan dengan Dio.
Dio merasakan hatinya berdenyut nyeri saat Nana mengucapkan
hal tersebut. Dia baru tahu dicerca orang yang paling disayangi
terasa sesakit ini. Ia mengemudikan mobil cepat ke parkiran.
Setelah memarkir ia berlari memasuki bandara.
Nana berjalan menuju eskalator, Dio bisa melihatnya dengan
jelas. Dio berlari menghampiri Nana.
Dio berhasil masuk ke bandara dengan bantuan teman papanya
yang tadi dihubunginya. Dia segera berlari menuju eskalator, tapi
Nana sudah menghilang dari pandangannya.
Oh, itu dia! Nana ada di dekat pintu keberangkatan. Tangan
Dio langsung meraih Nana, menahannya.
Nana memutar badan, terbelalak mendapati Dio berada tepat

264

Not Until_Teenlit.indd 264 6/3/2014 4:04:54 PM


di belakangnya dengan napas tersengal-sengal. Bagaimana Dio
bisa masuk ke sini?
”Nana... hhh... hhh...” Dio berusaha mengatur napas.
Nana melepas genggaman Dio dengan kasar, membuat pemuda
itu kaget dan memilih masuk ke ruang tunggu. Nana tidak sabar
untuk segera ke Bali.
”NANA, GUE SAYANG LO!”
Apa?
”WOULD YOU BE MY GIRL?”
Kenapa Dio berani melakukan hal senekat itu? Nana berhenti.
Terperangah. Hanya sesaat. Kesadarannya menjemput gadis itu
hingga ia segera masuk ke ruang tunggu. Pesawat berangkat lima
belas menit lagi dan dia tak punya banyak waktu untuk mengurusi
Dio, bahkan perasaannya sendiri.
Dio mengacak rambut frustrasi saat Nana menghilang dari pintu
ruang tunggu. Dia tak boleh masuk ke sana. Lagi pula, Nana tak
ingin menerima kehadirannya.
Dio mengabaikan pandangan aneh orang-orang kepadanya
setelah dia berteriak tadi. Pemuda itu berjalan lemah, sungguh
tak punya kekuatan apa-apa.
Benarkah Dio kehilangan Nana?
Dio berbalik dan menatap pintu ruang tunggu dengan nanar.
Benarkah dia kehilangan kesempatan atas kesalahan yang pernah
dia buat?
Dio beranjak ke luar bandara, kaget saat melihat Aga berada
di depan terminal dengan wajah pucat pasi bersama Karisa, Na-
than, dan Stevan.
”Nana udah berangkat?” tanya Karisa cemas.
Dio mengangguk lemas. Yang dia butuhkan sekarang adalah

265

Not Until_Teenlit.indd 265 6/3/2014 4:04:54 PM


ketenangan untuk menjernihkan pikiran. Namun saat melihat Karisa
mulai menangis, Dio menjadi tegang, menatapnya tajam.
Karisa terisak. ”Kata Oom Ben, Nanaa...”
Dio mengguncang tubuh Karisa. ”Nana apa?” tanyanya mende-
sak.
Karisa menunduk. ”Nana pindah ke Bali, setelah itu ngelanjutin
kuliah di London,” lanjut Karisa bergetar.
Stevan mengambil tempat di samping Karisa, merangkul gadis
itu dalam tangisannya.
Dio terdiam mematung, melirik Aga dengan tatapan tak suka.
”Lo tahu semua ini?”
Aga hanya mengangguk pelan. Lemas karena kehilangan saha-
bat terbaiknya.

Nana merebahkan diri di kasur. Perjalanan ke Bali yang terburu-


buru ternyata begitu melelahkan. Sekarang pukul sebelas malam
waktu setempat. Dia beranjak menuju balkon kamar. Rumah Oma
berlantai dua dan Nana paling suka berada di kamar atas karena
bisa memandang lanskap Bali dari sana.
Nana menatap langit. Dulu dia selalu pulang jam segitu saat
tengah sibuk-sibuknya membalas dendam pada keluarga Natara.
Pada waktu seperti itu dia pasti sedang berada di mobil seseorang,
yang rajin mengantar-jemput Nana.
Rencana kepindahannya ke Bali belum sepenuhnya Nana terima.
Oom Ben mengusulkan agar dia fokus ke pendidikan sehingga
punya modal untuk memimpin perusahaan bersamanya. Cepat
atau lambat, perusahaan akan melebarkan bisnisnya ke luar negeri
sehingga otomatis kesibukan Oom Ben akan melebihi sekarang.

266

Not Until_Teenlit.indd 266 6/3/2014 4:04:54 PM


Namun Nana masih meminta waktu untuk mempertimbangkannya,
tak ingin terburu-buru memutuskan agar tak menyesal nanti.
”Semua sudah selesai, Nana. Kini waktunya kamu fokus ke
pendidikan,” ujar Oom Ben di telepon, sekaligus memintanya untuk
mengurusi kepindahan ke Bali jika dia mau.
Tapi Nana masih bimbang.
Nana menikmati langit yang penuh bintang. Beda dengan
angkasa Jakarta yang jarang bertabur bintang.
”Belum tidur, Na? Besok harus menemani Mama terapi lho,”
tanya Oma yang berada di kamar Nana.
Nana menggeleng pelan, masih pendiam, seperti sifatnya
beberapa tahun itu. Oma sadar bahwa Nana beranjak dewasa.
Nana memeluk Oma penuh kehangatan. ”Semua sudah selesai,
Oma. Nana bahagia sekarang,” ucapnya pelan.
Oma mengusap rambut panjang Nana dengan lembut. ”Mama-
mu sudah sadarkan diri dari tidur panjangnya. Apa rencanamu ke
depan?”
Nana melepas pelukan Oma, menatap langit. ”Nana mau Mama
bener-bener sembuh dulu.”
Oma mengusap lengan Nana. Udara di situ lebih dingin diban-
dingkan Jakarta, dan Nana merasa cocok tinggal di situ.
”Tadi Ben telepon. Katanya kamu mau dipindahin ke sini. Masuk
SMA biasa.”
Nana mengangguk pelan. Dia yakin ada hal lain yang membuat
Oom Ben memaksanya segera pindah. Mungkin dia ingin Nana
melupakan sakitnya saat bersekolah di Jakarta, berkesempatan
menata hatinya.
Menata hati?
Hati Nana sudah runtuh. Dia tak punya pertahanan hati lagi.
Nana menutup mata, bimbang. Dia tak ingin meninggalkan

26

Not Until_Teenlit.indd 267 6/3/2014 4:04:54 PM


teman-temannya di Jakarta. Namun, dia ingin melupakan Dio dan
segala kenangan yang bersangkutan dengannya. Hidupnya harus
diperbarui.
”Kamu sudah memutuskan?”
Nana menggeleng pelan.
”Ada yang membuatmu ragu untuk pindah?” tanya Oma men-
desak.
Benar. Ada yang membuat Nana harus bertahan di sana. Ada
yang menariknya untuk kembali ke Jakarta.
Nana bimbang. Dia ingin melihat Dio sekali lagi sebelum memu-
tuskan pilihan. ”Baru kali ini Nana merasa sulit memutuskan se-
suatu, Oma,” lirih Nana.
Oma menatap langit. ”Cucu Oma sudah besar. Sudah harus bisa
memutuskan sesuatu,” ujar Oma tersenyum.
Walaupun tak melihat senyum Oma karena menengadah, Nana
merasa kata-kata Oma membuatnya menyadari sesuatu.
”Kamu tidak ingin kehilangan teman-teman di sana, kan?”
Nana mengangguk pelan. Bukan hanya itu, Dio menyatakan
perasaannya dan dia mengabaikannya, itu yang membuat Nana
bimbang. Atau mulai menyesal?
Dio menyayangi Nana dan Nana pun menyayangi Dio. Masih
adakah hal lain yang dapat menghalangi cinta mereka?
”Di dalam hidup, kamu harus berani melepas sesuatu kalau
ingin menerima yang baru,” ujar Oma, semakin membuat Nana
bimbang.
Nana menggeleng. ”Bukan itu, Oma.”
Oma tersenyum sambil terus membelai kepala Nana. ”Kamu
tahu yang terbaik untuk dirimu, Nana. Oma dan Mama selalu
mendukungmu.”

26

Not Until_Teenlit.indd 268 6/3/2014 4:04:54 PM


Nana terdiam. Dia merasa menemukan sesuatu. Dia bisa me-
mutuskan. Semoga saja itu pilihan terbaik.

Nana mengerjap. Kenapa akhir-akhir ini dia bolak-balik berhu-


bungan dengan rumah sakit? Baru saja keluar dari rumah sakit
menunggui Livia, sekarang dia ke rumah sakit kembali untuk
menemani Mama.
Nana membuka pintu kamar Mama. Mamanya terbaring lemah
dengan mata terbuka. Beberapa saat lalu, saat Nana baru sampai
di Bali, Mama masih menutup mata dan alat-alat medis tersambung
di badannya. Tapi sekarang Mama sudah lebih baik.
Mama menengok, tersenyum menyambut kedatangan Nana.
Nana berjalan setengah berlari, mendekati, lalu memeluk Mama.
Air matanya mengalir begitu saja. Dia bahagia karena Mama sudah
sadarkan diri dan kembali menemani hari-harinya. Nana tak peduli
lagi dengan hal-hal lain. Yang dia tahu, Mama sudah sadar dan
akan hidup bahagia dengan mamanya.
”Nana seneng Mama udah bangun,” ucap Nana lirih, terisak.
Mama menatap Nana, lalu mengerjap. Tertidur terlalu lama
membuat saraf Mama belum mampu bekerja normal sehingga
yang bisa dilakukan hanya membuka mulut, mengerjap, mende-
ngar, dan menggerak-gerakkan jari kaki maupun tangan.
Nana kaget saat pintu terbuka. Oma masuk dengan beberapa
suster dan dokter. Nana berdiri, memandang dokter dengan penuh
harap.
”Waktunya terapi, Na,” ucap Oma.
Nana mengangguk saja.
Selama terapi yang berjalan dua jam, Nana menemani Mama.
Mama diminta menggerakkan tangan. Nana yakin rasanya sakit.

26

Not Until_Teenlit.indd 269 6/3/2014 4:04:54 PM


Sekarang Mama diminta berdiri sambil berpegangan pada tepi
ranjang.
Nana membantu Mama berdiri. Oma berada di sisi lain, turut
membantu anaknya berdiri. Beberapa kali Mama berjalan menge-
lilingi ranjang sambil terus berpegangan. Napas Mama terengah-
engah.
”Cukup terapi hari ini,” ucap sang terapis sambil meminta Mama
duduk di kursi roda.
Nana mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia
mendorong kursi roda Mama dan membawanya ke taman rumah
sakit.
Walaupun tak seluas rumah sakit di Jakarta, Nana yakin peng-
obatan di situ yang terbaik. Dia belum mau kembali ke Jakarta,
meskipun beberapa waktu lagi akan menjalani ujian semester
ganjil.
Nana berlutut di depan mamanya sambil menggenggam ta-
ngannya kuat. Menyalurkan energi positif untuk Mama agar bisa
sembuh secepat mungkin.
”Nana kangen Mama,” ucap Nana lirih.
Mamanya hanya mengerjap, lalu berusaha mengangkat tangan
untuk mengusap pelan kepala putrinya yang menunduk menahan
tangis.
Nana menegakkan kepala. ”Kenapa Mama nggak pernah cerita
bahwa penyebab kematian Papa adalah Oom Hadi?”
Mamanya mengerjap sekali.
”Semuanya sudah selesai, Ma, Nana sudah memberi balasan
setimpal pada mereka.”
Mama kembali berusaha mengusap kepala Nana.
”Bunga udah ninggalin kita, Ma. Mama nggak pernah cerita

20

Not Until_Teenlit.indd 270 6/3/2014 4:04:54 PM


bahwa keluarga itu membuat Bunga depresi berat sampai akhir-
nya...”
Nana menerawang. ”Akhirnya Nana tahu alasan Nana dikirim
ke London. Oom Hadi pengin Nana jauh dari Mama dan Bunga
supaya bisa bertindak seenaknya pada Mama, kan?”
Nana menghela napas. ”Kenapa Mama nggak bilang sama Nana
bahwa perusahaan Papa yang tiba-tiba menghilang itu diganti
nama menjadi Natara Group?”
Nana menatap Mama yang mengeluarkan air mata. Ia terpana,
kemudian mengusapnya lembut. ”Mama nggak usah nangis.”
Mama menangis bukan karena bersalah tak memberitahu Nana.
Dia sengaja tak memberitahu Nana karena putrinya itu benar-benar
mewarisi sifat ayahnya. Dia tak ingin Nana terlalu membenci
keluarga Natara. Namun sekarang dia menyesal karena melewatkan
proses transisi Nana. Seharusnya dia mendamipingi putrinya
”Nana sedih saat Mama setuju Nana dikirim ke London. Aku
merasa dibuang,” ucap Nana menumpahkan perasaannya yang
terpendam lama. ”Tapi melihat Mama seperti ini aku nyesel nya-
lahin Mama. Mama lebih menderita daripada Nana.”
Nana tersedu di pelukan Mama.
Mama mengusap air mata anaknya. Dia sudah mendengar dari
Oma soal pembalasan yang dilakukan Nana kepada keluarga
Natara. Dia menyesal telah mendidik Nana menjadi gadis dingin
yang membenci keluarganya sendiri.
Nana masih terisak. ”Mama harus sembuh. Jangan sia-siain
perjuanganku.”

21

Not Until_Teenlit.indd 271 6/3/2014 4:04:54 PM


21

L
IVIA terbangun karena mendengar decitan pintu. Suster
masuk membawa sarapan. Selalu seperti itu. Setiap hari
suster mengantarkan makanan sambil tersenyum.
Livia membalas senyuman itu dengan canggung.
”Makasih ya, Sus,” ucapnya ramah.
Suster itu mengangguk dan memberesi tempat tidur Livia.
”Cowok yang tiap hari datang ke sini, pacarmu?”
Wajah Livia memerah seketika. Aga memang setiap hari datang
menemaninya, sejak pulang sekolah sampai Livia tidur, bahkan
hari Minggu Aga sudah ada di situ sebelum Livia bangun.
Terkadang Aga mengajak teman-teman, seperti Nathan, Karisa,
dan Stevan. Dio yang dikenalnya sebagai pacar Acha juga turut
menemani.
Sudah jam sebelas siang. Livia ingin segera pulang. Pulang?

22

Not Until_Teenlit.indd 272 6/3/2014 4:04:54 PM


Livia menggigit bibir. Pulang ke mana? Dia kan tak punya rumah
lagi. Harta pun sudah disita bank. Dia benar-benar jadi gelandangan
sekarang.
Livia menikmati sarapan dengan lahap. Dia tak punya uang,
tinggal beberapa ratus ribu yang tersisa di dompet. Ah, Livia punya
akal. Uang segitu masih bisa untuk mencari tempat kos sementara.
Dia harus bekerja.
Kening Livia berkerut saat mendengar decitan pintu terbuka.
Oom Ben datang dan tersenyum cerah pada Livia. Livia memba-
lasnya canggung. Itu pertama kalinya dia bertemu Oom Ben minus
Nana, membuatnya canggung bercampur takut.
Livia mengenal Oom Ben dari Marina, bibinya, saat mereka tahu
orang yang mendukung di belakang Nana adalah pamannya yang
dulu sekolah di Inggris. Mereka langsung mencari tahu seluk-beluk
Oom Ben dan kekuatannya.
Lelaki tampan itu tersenyum pada Livia, meletakkan sekantong
plastik—entah apa isinya, Livia tidak tahu—di meja samping Li-
via.
”Bagaimana? Kamu sudah baikan?”
Livia mengangguk. Deg-degan karena takut terjadi sesuatu
padanya.
Oom Ben berdeham pelan, tahu Livia gelisah berhadapan de-
ngannya. ”Jangan takut. Saya cukup akrab dengan Aga, Nathan,
Stevan, dan Dio.”
Livia mengangguk. ”Ada apa... mmm... Oom ke sini?”
Oom Ben tertawa dan memperlihatkan garis-garis halus di
seputar bibirnya. ”Saya hanya ingin menjengukmu.”
Livia menunduk.
”Besok sudah boleh pulang?”
Livia menggeleng, tak tahu kapan diperbolehkan pulang. Dokter

23

Not Until_Teenlit.indd 273 6/3/2014 4:04:54 PM


hanya mengatakan beberapa hari lalu bahwa dia bisa cepat pulang
bila kondisinya baik-baik saja.
”Lho? Kata dokter tadi sudah bisa pulang,” ucap Oom Ben
bingung. ”Ah sudahlah, barang-barangmu di mana?”
Livia menatap Oom Ben takut-takut. ”Di rumah Aga, Oom.”
Oom Ben tersenyum. ”Saya ingin memberitahu, kamu kan...
mmm... tidak punya tempat tinggal. Nana bilang, kamu boleh
menumpang di rumahnya sampai kamu menemukan tempat
tinggal yang cocok.”
Livia terperangah. ”Nggak usah, Oom. Setelah keluar dari rumah
sakit, saya mau cari kos.”
Ben mengernyit, tidak mengerti. ”Baiklah. Kalau begitu, sampai
kamu menemukan tempat kos,” ucapnya mantap.
Ben berbohong, Nana tak pernah mengatakan bahwa Livia boleh
menumpang di rumahnya. Tadi malam Nana hanya mengatakan
bahwa gadis itu sudah tak punya tempat tinggal, tanpa menying-
gung soal bantuan padanya.
Tapi setelah tadi subuh Oma menelepon bahwa Mama Nana,
Hanna, gelisah memikirkan keadaan Livia, Ben tak tega melihat
Livia menjadi gelandangan. Dulu Nana juga hampir merasakan hal
serupa kalau Ben tak cepat menghubungi Nana.
Memikirkan masa lalu membuat hati Ben perih. Dia tak dendam
pada keluarga Natara, meski tak terima kakak satu-satunya diper-
lakukan tidak adil, bahkan setelah dia meninggal.
Ben tahu itu bukan kesalahan Livia. Nana juga tahu itu. Tapi
entah kenapa, mereka ingin sedikit bermain-main dengan perasaan
yang belum bisa menerima.
”Oom...”
Ben melirik.
”Maaf ya, Oom.”

24

Not Until_Teenlit.indd 274 6/3/2014 4:04:54 PM


Ben mendekati Livia, kemudian mengusap kepalanya pelan.
”Kamu harus tahu, saat kamu seperti ini, keluarga Nana masih
memikirkanmu,” ucap Ben pelan.
Livia menelan ludah. Oom Ben benar, dia tak pernah memikirkan
perasaan Nana saat dibuang begitu saja dulu.
”Seharusnya kamu berterima kasih kepada mereka, apalagi pada
Nana. Dia tak membunuhmu,” kata Oom Ben menerangkan.
Livia diam saja. Air matanya berlinang. Hatinya seakan teriris.
Dia menyesal telah berbuat jahat pada Nana. ”Aku menyesal,
Oom.”
Oom Ben tersenyum. ”Itu bagus. Setidaknya kamu masih muda,
Livia, ubah keburukan keluargamu mulai sekarang.”
”Saya harus pergi, ada meeting. See you soon.” Oom Ben
membenahi dasi, kemudian pamit dari kamar rawat Livia.
Livia menangis sesenggukan. Dia takut hidup sendirian seperti
sekarang itu. Penyesalan yang datang belakangan memang
menyakitkan. Livia merasakan itu. Di samping itu dia menyesal
karena Nana tak lagi seperti dulu. Nana membencinya, sementara
dia tak punya apa pun dan siapa pun.
Nana, maaf. Kata maaf dan terima kasih harus diucapkan Livia
berbarengan.
”Maaf. Maaf,” ucap Livia di sela tangis.

Livia merasa matanya lelah dan berat. Mungkin karena menangis


berjam-jam tadi pagi. Setelah itu Livia memutuskan tidur. Dia tak
ingat apa-apa lagi. Pulas.
”Kamu udah bangun?”
Livia kaget mendengar ucapan itu. Suara Aga.
Aga duduk di sofa sambil memainkan ponsel.

25

Not Until_Teenlit.indd 275 6/3/2014 4:04:54 PM


Livia menghela napas, lega menemukan sosok yang dulu hadir
dalam mimpinya.
Aga memang baik, menemaninya, membuatnya tertawa dengan
cerita-cerita lucu yang berbeda setiap hari. Aga tak pernah
menyinggung soal hubungan mereka, atau membiarkan Livia minta
maaf atas perlakuannya dulu. Maksudnya, apa yang papanya
katakan pada Aga.
Livia masih ingat jelas kejadian itu. Papanya tak membolehkan
dia pacaran sehingga memaki-maki dan mengancam Aga. Cowok
itu menghilang dan tak pernah lagi menemui Livia.
Aga pasti sakit hati, pikir Livia kala itu. Namun hatinya tetap
memikirkan Aga, bahkan berharap Aga kembali padanya. Livia tak
pernah jatuh cinta lagi setelah itu, meskipun banyak cowok yang
menyatakan perasaan padanya.
”Matamu sembap, pasti tadi nangis lagi.”
Aga selalu memperhatikan Livia, memberi rasa nyaman, dan itu
membuat Livia sedikit bersemangat. Namun dia tahu Aga tak mau
berhubungan secara khusus dengannya.
”Udahlah, Vi, jangan ada lagi yang disesali,” ucap Aga mene-
nangkan. ”Biarkan semua berlalu,” sambungnya.
Selimut penyesalan tebal membuat Livia tak bisa mendengar
apa-apa, selain hati kecilnya. ”Bahkan setelah aku menjahati keluar-
ganya, Nana masih mikirin tempat tinggalku nanti,” ucap Livia di
sela isakan.
Aga berdiri dari sofa, berjalan menghampiri Livia, merengkuh
gadis itu, membiarkannya menangis lepas dalam pelukannya, yang
ternyata membuat getaran halus itu kembali terasa.
”Kamu tahu kan, Nana orangnya baik.”
Livia mengangguk. ”Rasanya aku pengin mati aja, Ga,” ucap
Livia lemah.

26

Not Until_Teenlit.indd 276 6/3/2014 4:04:54 PM


Aga menelan ludah. ”Dulu... saat kamu belum sekolah di Jakarta,
Nana pernah hampir mati karena bunuh diri.”
Livia menganga. Nana pernah bunuh diri? Yang benar saja!
”Saat itu kami bingung. Bos Ben nggak mau kasih tahu masalah
Nana. Sikap Nana yang pendiam semakin membuat kami bingung,”
Aga berhenti untuk menarik napas, ”tapi setelah tahu semuanya,
aku mengerti kenapa sikapnya kayak gitu.”
Aga menepuk punggung Livia. ”Aku nggak bermaksud ikut
campur, tapi kamu tahu, Vi, keluargamu salah. Sekarang seharusnya
kamu tahu siapa keluargamu yang sebenarnya, siapa yang bener-
bener care sama kamu.”
Livia mengangguk. Aga masih tetap baik padanya, padahal...
Ah, sudahlah. Memikirkan semua itu semakin membuat dia ingin
mengakhiri hidupnya saja.
”Aga,” panggil Livia lemah.
”Ya?”
”Boleh aku minta tolong?”

Nana duduk selonjor, baru saja pulang dari rumah sakit mengantar
Mama terapi jalan. Mamanya mulai bisa bicara, tapi masih susah
bergerak.
Nana bangkit. Langit tampak jingga bercampur merah, menan-
dakan matahari mencapai tempat peristirahatannya.
Nana memandang ke barat, berharap segera ada bintang yang
berkerlap-kerlip di sana. Angin yang sepoi membuatnya tertidur.
Saat mata Nana menutup, bayangan tentang kejadian di Jakarta
muncul di pikirannya. Mulai sejak saat bertemu Aga, Nathan, dan
Stevan di bandara, bertemu Dio di sekolah, bunuh diri, dan...
Nana membuka mata. Bayangan itu menghilang seketika. Dia

2

Not Until_Teenlit.indd 277 6/3/2014 4:04:54 PM


tak mau mengingatnya lagi. Semua sudah usai dan dia ingin
menikmati hidup baru di Bali.
Nana sudah memutuskan.
Drrrttt... drrrttt...
Nana merogoh ponsel, melihat nama di layar.
Dio.
Nana menggeleng pelan, melepas SIM Card dengan cepat dan
membuangnya entah ke mana. Dia ingin membuang kepahitan
masa lalunya, mengganti dengan kebahagiaan.
”Nanaa...”
Panggilan Oma menyadarkan Nana dari lamunan.
”Iya, Oma.”
Oma menunjuk setumpuk bungkusan.
”Ada apa, Oma?” tanya Nana.
”Itu ada kiriman dari Jakarta.”
Barang serta surat kepindahannya ke SMA di Bali dikirim Oom
Ben beberapa hari lalu. Dia bakal resmi menjadi murid berseragam
putih abu-abu, bukan blazer seperti di BISH. Untuk itulah Nana
belajar giat, mengejar ketinggalannya. SMA biasa pelajarannya
lebih banyak daripada SMA bertaraf internasional.
Di kamar, Nana duduk di ranjang sambil menatap kiriman itu.
Itu jelas dari Oom Ben, tapi entah kenapa hatinya tak yakin. Dia
terdiam beberapa lama, menimbang-nimbang. Tapi alamatnya di
Bali hanya diketahui Oom Ben.
Saat membuka paket itu, Nana kaget. Ada album foto dengan
sampul biru tua. Di depannya tertulis jelas: To Nana.
Nana membuka album tersebut, mengerutkan dahi saat melihat
foto masa kecilnya di halaman pertama. Rahangnya mengeras. Itu
bukan dari Oom Ben, tapi dari seseorang yang meminta Oom Ben

2

Not Until_Teenlit.indd 278 6/3/2014 4:04:54 PM


mengirimkannya kepada Nana. Dia menghela napas saat membuka
halaman selanjutnya.
Nana mengusap wajah kecilnya di foto, yang terlihat ceria
bersama keluarganya yang bahagia. Mama, Papa, dan Bunga. Aih,
Bunga masih bayi.
Nana tersenyum miris saat mendapati di halaman selanjutnya,
foto-foto dirinya bersama Livia bertebaran. Dia menutup album
foto tersebut dengan kasar.
Mmm... dia tahu siapa yang mengiriminya benda tak penting
itu.
Di dalam hati, Nana masih menyimpan benci pada orang yang
di tubuhnya mengalir darah Natara, walaupun tak sebenci dulu.

Dio menatap langit, nanar. Hampir sebulan ia tak bertemu Nana,


bahkan tak dapat menghubunginya di ponsel karena gadis itu
mengganti nomornya. Email yang ia kirim tak kunjung dibalas.
Rasanya ia sudah kehilangan Nana. Nana memutuskan pindah
ke Bali setelah mamanya bangun dari koma. Mungkin dia akan
kuliah di tempat yang jauh.
Sebetulnya tak masalah dengan jarak, asal hatinya bersama
Nana, begitu pikir Dio. Ia tahu dirinya salah, membuat hati gadis
itu hancur gara-gara dia memutuskan memilih Acha.
Dio baru merasakan penyesalan sekarang. Dan tentu dia tak
menyukai perasaan itu. Tidurnya menjadi tidak nyenyak. Hatinya
gelisah karena selalu memikirkan Nana.
”Masih galau, Dio?”
Dio kaget saat menengok ke belakang melihat Oom Ben. Juga
gengnya: Nathan, Aga, dan Stevan, yang sepertinya datang
bersama Oom Ben.

2

Not Until_Teenlit.indd 279 6/3/2014 4:04:54 PM


”Aku nggak galau, Bos.”
Oom Ben terkekeh. ”Bagaimana? Keponakan saya berhasil
mengacak-acak perasaanmu?”
Dio menghela napas. ”Bukan itu lagi, hati ini hancur rasanya.”
Aga tertawa geli mendengar ucapan Dio. ”Aah, ntar juga lo
move on dengan cepat!”
Dio mendengus. ”Maksud lo apa?” jawabnya tak terima.
Ben menepuk pundak Dio. ”Sudahlah, dia sudah sangat bahagia
dengan ibundanya di sana.”
Dio mengangguk pelan. Ia tak suka terlalu diperhatikan seperti
itu oleh Oom Ben, Aga, Nathan, maupun Stevan. Namun ia juga
tak bisa berbohong, absennya Nana dalam kehidupannya sekarang
menimbulkan lubang dingin yang begitu besar dalam hatinya.
Dio tak merasakan getaran halus itu dari Acha. Ia hanya me-
mimpikan Nana pada malam-malamnya. Ia ingin Nana kembali.
Dio kaget saat menyadari ponselnya bergetar. Unknown number
terlihat jelas di sana. Dio menatap Aga, Bos Ben, Nathan, dan
Stevan secara bergantian. Ia mengangkat panggilan itu, ”Halo...”
Diam.
”Halo, ini siapa ya?”
Masih diam.
Dio mulai kesal. ”Haloooo, ini siapa sih? Kalau nggak dijawab,
gue tutup nih teleponnya.”
Dio mengerjap, kemudian memutuskan sambungan telepon,
setelah sempat mendengar helaan napas berat di seberang sana.

Tanpa Dio sadari, ia bukan satu-satunya orang yang merasakan


rindu yang teramat dalam kepada seseorang. Jauh di sana, di

20

Not Until_Teenlit.indd 280 6/3/2014 4:04:54 PM


pulau yang berbeda dengan langit yang sama, Nana masih
mematung memandangi langit.
Gadis itu sudah mengganti nomor ponselnya dengan yang baru.
Tentu saja belum ada yang tahu. Malam itu Nana merasakan rindu
yang luar biasa.
Tubuh Nana bergetar, teramat rindu pada orang yang mewarnai
harinya dulu. Dia ingin mendengar suara orang yang pernah
mengetuk pintu hatinya itu.
Nana menghela napas, kemudian mengambil ponsel, mencari
nomor yang dihafalnya itu dengan cepat, lalu menyentuh tombol
Call.
”Halo...”
Jantung Nana berdegup cepat saat mendengar suara berat yang
dikangeninya itu.
”Halo...”
Nana tak berniat menjawab, menutup mata sambil menikmati
apa saja yang Dio katakan.
”Halooo... ini siapa sih? Kalau nggak dijawab, gue tutup nih
teleponnya.”
Nana mendengar bunyi sambungan terputus sesaat kemudian.
Dia menarik napas panjang, tangannya bergetar hebat, ponselnya
masih menempel di telinganya meskipun tahu sambungan sudah
terputus. Terputus untuk selamanya. Karena dia berjanji untuk
meninggalkan semua kenangan bersama pemuda itu di Jakarta.
”Ini aku. Nana,” ucapnya lirih. Tidak kepada siapa-siapa.

21

Not Until_Teenlit.indd 281 6/3/2014 4:04:54 PM


22

L
IVIA memantapkan hati pada pilihannya. Saat itu dia
berada di Bandara Soekarno-Hatta. Keberangkatannya
bukan tanpa alasan, melainkan karena dia ingin mem-
balas utang budi.
Livia tahu utang budi tak bisa dibalas. Dia hanya ingin hidupnya
tenteram. Dia melangkah ke pesawat saat terdengar panggilan
beberapa kali dari petugas bandara. Itu pun hanya menenteng
satu tas sedang berisi baju, dia takut salah alamat.

To: Aga
Aga aku prg dulu ya. See you.

Setelah mengirim pesan singkat itu, Livia mematikan ponsel,


bersiap dengan penerbangan. Jantungnya berdegup cepat, dia
cemas ditolak.

22

Not Until_Teenlit.indd 282 6/3/2014 4:04:54 PM


Penerbangan menuju Bali hanya sebentar. Mendarat di bandara
berarti harus menenangkan hati. Termasuk juga saat berada di
dalam taksi menuju rumah yang akan dikunjunginya.
Pernah sekali saat liburan Mama Hanna mengajaknya ke situ
bersama Bunga. Ingatan yang sekali itulah yang menuntunnya ke
tempat orang yang mau dia temui.
Setelah melongok ke kiri-kanan untuk memastikan jalanannya
benar, taksi yang Livia tumpangi berhenti di depan rumah ber-
tingkat dua. Setelah membayar argo, Livia pelan-pelan berjalan
menuju pintu rumah tersebut.
Tumben Livia menjadi seberani itu, meskipun harus menguatkan
hati saat mengetuk pintu. Ya, dia harus menemui Nana, bagaima-
napun respons gadis itu.
Pintu terbuka. Livia mundur selangkah, wajahnya yang putih
sedikit terperangah. Penampilan Oma di depannya tak jauh
berubah sejak dia terakhir bertemu.
”Livia?” ucap Oma tak kurang kaget.
Livia mengangguk sambil berusaha tersenyum. ”Lama nggak
ketemu Oma,” sapanya ramah.
Dari tatapan Oma, Livia tahu, Oma sudah tahu semuanya. Pada-
hal dulu Livia tak menyangka Nana memindahkan Mama Hanna
ke rumah sakit di Bali.
”Masuk, Livia,” ajak Oma.
Livia mengikuti Oma, kemudian duduk di ruang tamu.
”Sebenarnya Livia mau ngomong sama Oma juga,” ucap Livia,
menghentikan langkah Oma yang hendak membuatkan minuman
untuknya.

Nana menyerah dengan soal-soal ujian semester itu. Dia berhasil

23

Not Until_Teenlit.indd 283 6/3/2014 4:04:54 PM


menyelesaikan 36 dari 40 soal kimia. Sebenarnya soalnya tidak
susah, tapi karena perasaan Nana sedang tak enak, dia jadi sulit
berkonsentrasi.
Nana terdiam lama. Setelah yakin jawabannya benar, dia berdiri.
Tepat saat itu bel berbunyi, tanda ujian selesai.
Nana segera melangkah ke luar kelas dengan membawa tas.
Seragamnya putih dengan rok abu-abu sepanjang mata kaki.
Predikat siswa pindahan dari Jakarta dan junior high school London
membuat gadis itu sedikit kesusahan mencari teman.
Oh, bukan. Sebenarnya Nana yang tidak ingin mencari teman.
Nana sadar dia bersekolah di situ hanya sampai ujian nasional
selesai. Setelah lulus dia segera mengurus beasiswa yang diterima-
nya dari salah satu universitas di London.
Nana benar-benar bersyukur dia pernah menjadi student of the
year di sekolahnya di London. Nilai-nilainya bagus dan membang-
gakan hingga banyak tawaran dari berbagai high school, tapi dia
tetap melanjutkan di sekolah putri.
Nana mengucir rambut panjangnya seperti ekor kuda. Wajah
putihnya memang terlihat menonjol di antara para siswa. Dia tak
terlalu memusingkan dirinya yang sering dilirik cowok-cowok di
sekolah baru. Dia tak terlalu peduli pada berbagai aktivitas teman-
nya maupun penilaian mereka terhadap dirinya. Dia hanya menja-
lani hidup secara datar: ke sekolah dan menemani Mama terapi.
Nana berjalan menuju parkiran. Mobilnya tidak diparkir di sana.
Hanya beberapa murid yang mengendarai mobil ke sekolah, selain
guru-guru, berbeda dengan BISH yang parkirannya lebih besar
daripada lapangan futsal outdoor.
Nana lebih memilih berjalan memutar menuju tempat parkir di
dekat gerbang depan daripada menuju jalanan biasa. Di gerbang
dia melihat sopir keluarganya parkir. Dia tersenyum kecil saat para

24

Not Until_Teenlit.indd 284 6/3/2014 4:04:54 PM


murid memandangnya takjub, seolah dia putri yang baru mele-
paskan diri dari kerajaan dan berbaur dengan rakyat kebanyakan.
Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan masuk.
Sesungguhnya Nana merindukan BISH, terlebih murid-muridnya.
Terutama cowok itu. Dia tak bisa melupakan Jakarta yang membuat
hidupnya begitu bewarna.

Livia terdiam lama di depan pintu rawat inap mamanya. Terlihat


Mama duduk bersandar di ranjang, disuapi suster.
Livia menceritakan secara utuh semua hal yang terjadi kepada
Oma. Tentu saja Oma mengerti dan membolehkan dirinya ke
rumah sakit menemui Mama.
Sekarang di depan Mama, Livia nyaris tak percaya bahwa Mama
benar-benar sadar dari koma yang lama. Oma juga bilang hari ini
Mama sudah diperbolehkan pulang, untuk itulah Oma mengajak
Livia menjemput Mama.
Mama menyadari kehadiran Livia, memanggil nama gadis itu
lemah, ”Li-vi-a...”
Livia berlari, memeluk Mama erat, dan tangisnya pecah seketika.
”Maaf, Ma, maafin Via,” ucapnya parau.
Mama mengelus punggung Livia dengan susah payah, merin-
dukan Livia walau bukan putri kandungnya.
Livia melepas pelukan, duduk di kursi di samping ranjang Mama
sambil menggenggam Mama. ”Via kangen Mama.”
Mama mengangguk, menghapus air mata di pipi Livia. Dia tahu
Livia tidak seperti keluarga Natara yang lain. Sepertinya hanya
Mama yang tahu.
Livia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ke mana
Oma dan suster?

25

Not Until_Teenlit.indd 285 6/3/2014 4:04:54 PM


Namun Livia tak peduli. Dia rindu Mama Hanna karena dari
Mama-lah dia merasakan kasih sayang dan perlindungan seorang
ibu.
Livia menghentikan tangis. ”Nana...” ucapnya menggantung,
”Mama udah tahu kan apa yang terjadi sebenarnya?”
Mama mengangguk pasrah.
”Livia menyesal pernah mengusir Nana, Ma. Via menyesal karena
saat itu Via cuma dengerin kata-kata Tante Marina dan Oom Joen.
Nana bener-bener benci sama Via, Ma. Via nggak tahu harus
ngapain supaya Nana mau maafin Via. Via tahu itu nggak akan
mungkin. Nana bener-bener benci keluarga Natara.”
Livia menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut pipi
ibu tirinya, menyalurkan segala kerinduan dan keinginan yang
memperlihatkan penyesalannya.

Langkah Nana begitu malas dan diseret-seret di sepanjang koridor


rumah sakit. Sejak tadi pikirannya terpecah. Perasaannya tidak
enak.
Saat melihat Oma keluar dari ruangan Mama, entah apa yang
membuat Nana menghindar dan bersembunyi di lorong yang
berseberangan dengan lorong yang dilalui Oma.
Nana tidak bad mood, hanya malas melakukan sesuatu.
Itu bukan exam syndrome yang sering menyerang murid-murid
pada masa ujian. Tapi dia bawaannya ingin marah-marah saja,
tidak tahu pada siapa. Semacam merindukan seseorang.
Tanpa sadar Nana sampai di depan pintu ruangan Mama. Dia
membuka pintu. Mungkin dengan bertemu Mama, perasaannya
menjadi lebih baik.
Dari celah pintu, Nana melihat jelas Livia.

26

Not Until_Teenlit.indd 286 6/3/2014 4:04:54 PM


Sakit hatinya mengentak-entak, meminta pertanggungjawaban.
Nana ingin menjambak dan menyeret gadis itu jauh-jauh dari
Mama.
Nyatanya, Nana tetap berdiri di tempat, berdiam, dan mende-
ngarkan percakapan yang terjadi di dalam. Tubuhnya merinding,
menahan emosi.
”Nana bener-bener membenci keluarga Natara.”
Nana menahan napas saat melihat Livia memeluk mamanya.
Dia sakit hati karena Mama membalas pelukan Livia. Seharusnya
Mama mengusir Livia, sama seperti dirinya.
Entah kenapa Nana merasa didepak sekali lagi.
Nana pernah memiliki perasaan seperti tu. Setelah pernikahan
Mama dengan Papa Hadi, mamanya mulai membagi perhatian
kepada Livia. Saat itu Nana hanya diam dan mengatakan bahwa
itu wajar saja karena mereka jadi saudara.
Tapi saat melihat Livia terluka dan mamanya menjadi panik,
Nana tak bisa tidak cemburu karena mamanya tak pernah secemas
itu saat dirinya luka. Dia kecewa, apalagi saat Mama setuju-setuju
saja waktu Papa Hadi ingin memindahkannya ke London saat dia
masuk SMP. Mamanya girang menerima hal itu, tanpa tahu
perasaan Nana yang sebenarnya.
Betapa kecewanya Nana karena Mama tak menahan kepergian-
nya. Dia tak tahu apakah itu cara Papa Hadi mendepaknya ke luar
dari keluarga Natara atau cara mendekatkan Livia dengan Mama.
Yang pasti Nana merasa dibuang.
Astaga...
Nana menyadari kebenciannya kepada Livia tumbuh saat per-
tama kali mereka menjadi saudara.
Nana mengintip ke dalam, melihat mamanya tenang mende-
ngarkan cerita Livia.

2

Not Until_Teenlit.indd 287 6/3/2014 4:04:54 PM


”Mama tahu kan saat itu Via nggak bisa ngapa-ngapain? Ma, bantu
Via supaya Nana balik lagi kayak dulu. Via kehilangan Nana.”
Cih. Nana ingin muntah mendengar gombalan Livia, muak
dengan Livia serta keluarga Natara yang lain.
Nana membenci Livia. Sungguh.
”Via rindu sama Mama.”
Brakkk...
Nana membuka pintu kamar dengan mengempaskannya, berdiri
dengan tubuh bergetar, menahan amarah.
Mama dan Livia terkejut atas tindakan Nana. Livia spontan
berdiri dan tubuhnya kaku saat berhadapan dengan Nana.
Kilatan mata tajam Nana masih sama seperti dulu.
”Itu bukan mama lo, itu mama gue,” ucap Nana lantang dan
keras. Dia berjalan cepat mendekati Livia dan berdiri tepat ber-
hadapan. Tatapan Nana seakan mengepung Livia, dingin dan
meremehkan. Tatapan yang ingin mendepak Livia ke luar dari
ruangan itu. ”Lebih baik lo pergi dari sini! Nggak ada tempat yang
tersisa buat lo, sampah!” hardik Nana.
”Nana...”
Nana melirik mamanya yang menyebut namanya lemah. Tapi
dia tak peduli, hanya memikirkan amarahnya yang memuncak. Dia
benci mendapati Livia di situ, apalagi berada di dekat mamanya.
Livia mencoba meraih tangan Nana dengan lembut. ”Nana, aku
minta maaf.”
Nana menepis kasar tangan Livia yang mencoba menggenggam
tangannya. Jangan harap dia bisa disogok semudah itu. Sekalipun
dunia sudah memaafkan keluarga Natara, dia tak akan memaafkan-
nya.
”Pergi sana!” usir Nana. Hatinya pilu.

2

Not Until_Teenlit.indd 288 6/3/2014 4:04:54 PM


Livia diam, menunduk dalam-dalam saat Nana terus mencerca-
nya.
Nana mengusap-usap tangannya sendiri agar jangan sampai
menampar Livia. Tak bisakah Livia membiarkannya hidup tenang?
”Mama nggak pernah perhatiin Nana. Bahkan setelah Nana
berhasil membuat semuanya kembali baik, Mama lebih belain
keluarga dia,” ucap Nana, beranjak meninggalkan ruangan
tersebut.
Nana menatap Livia, kembali memaki tajam. ”Seharusnya gue
memang bikin lo mati aja.”
Begitu keluar dari kamar mamanya, air mata Nana tumpah. Dia
membiarkan kepedihannya mengalir bebas ke luar.

Nana memeluk bantal guling. Mama tadi akhirnya pulang ke


rumah bersama Oma dan Livia, tapi Nana belum berniat melihat-
nya. Dia masih emosi karena kejadian tadi.
Nana tahu dia keterlaluan saat memaki Livia tadi. Namun mau
apa lagi? Dia terlalu membenci gadis itu hingga mampu berbuat
kasar.
Dan dia juga tak bisa menahan cemburu saat melihat Mama
lebih membela Livia daripada dirinya. Dia cemburu, merasa di-
buang. Mama membagi cinta secara tak adil sejak dulu.
Nana berdiri, yakin Livia berada di rumahnya. Entah di mana.
Dia belum keluar kamar sejak pulang dari rumah sakit.
Diam-diam Nana menuruni tangga, sebisa mungkin tak menim-
bulkan suara. Saat membuka kamar Mama, dia tak menemukan
ibundanya.
Langkah Nana seakan ditarik menuju dapur. Lapar juga kalau

2

Not Until_Teenlit.indd 289 6/3/2014 4:04:54 PM


terus-terusan marah seperti itu. Dia membuka kulkas dan meng-
ambil camilan sehat. Saat mau memasukkan camilan itu ke mulut,
sayup-sayup dia mendengar suara dari taman belakang.
Nana memasang telinga, tak bermaksud mencuri dengar, hanya
penasaran.
”Seharusnya kamu lebih memperhatikan Nana.”
Itu suara Oma. Nana bisa mendengar jelas.
Nana berjalan ke halaman belakang. Oma dan Mama duduk di
gazebo kecil. Nana berada tak jauh di belakang mereka.
”Kamu lihat Nana sekarang? Apa dia benar-benar putrimu?
Nana berubah menjadi gadis dingin yang tak berperasaan di depan
orang. Tapi apa kamu tahu Nana sebenarnya rapuh?” Oma meng-
hentikan ucapannya. ”Mama melihat Nana menangis, bangkit, dan
melakukan semua itu karena ingin membela keluarga. Mama tak
bilang kamu salah mendidik atau memanjakan Nana. Tapi apa
kamu tahu, Hanna, Nana benar-benar seperti mayat hidup saat
tahu kamu koma dan Bunga meninggal karena depresi disiksa
keluarga Livia?”
”Kamu terlalu memperhatikan Livia dan segala kelemahannya,
tanpa sadar ada satu anak lagi yang harus kamu perhatikan.”
Nana tetap diam, kini mendengar isak tangis. Oh? Mamanya
menangis?
”Nana anakmu. Mama menyadari saat kamu menikah dengan
Hadi, perhatianmu teralihkan kepada Livia dan Bunga. Mama sering
melihat Nana memperhatikan mereka dengan cemburu. Nana juga
butuh perhatianmu, sejak dulu.
”Sekarang kamu lihat, Nana benar-benar berubah. Kamu tak
boleh lagi lebih memperhatikan anak orang lain saat tahu anakmu
butuh perhatianmu. Kamu melewatkan proses transisi Nana

20

Not Until_Teenlit.indd 290 6/3/2014 4:04:55 PM


menjadi remaja, Hanna. Jangan lewatkan lagi proses transisi dia
menjadi dewasa.”
Mama masih menangis.
”Dia tak merasakan kasih sayangmu lagi saat berada di London.
Nana pernah cerita itu kepada Mama, Han. Jangan membuat Nana
merasa seperti itu lagi. Sekarang tanggung jawabmu untuk
membentuk Nana menjadi pribadi dewasa yang mantap.”
Nana melangkah mundur. Sudah cukup dia mendengar semua
itu. Oma sudah mengatakan semuanya kepada Mama, tak perlu
lagi penjelasan dari mulut Nana.
Nana menatap nanar punggung mamanya yang tengah mena-
ngis itu. Mama menangis karena dirinya? Sungguh jika boleh
menghilang, dia ingin menghilang sekarang karena sudah mem-
buat mamanya menangis.

Sekarang Selasa, berarti besok hari terakhir ujian semester. Nana


menggeliat pelan. Saat dia menoleh ke samping terlihat Mama
tersenyum kepadanya.
Nana berpikir semalaman, menjernihkan batinnya. Juga meng-
analisis tentang dendam dan pembalasannya. Tentang kesalahan
dan maaf. Nana sudah memikirkannya, sekaligus menemukan
jawabannya.
Dia ingin menjalani hari seperti biasa, sebagai gadis biasa tanpa
beban. Dia ingin menjadi orang luar biasa, yang bisa memaafkan
musuh terbesarnya. Namun sayangnya, dia masih bingung bagai-
mana merealisasikannya.
Nana menatap Mama datar. Namun begitu Mama menangis
dan mengucapkan maaf dengan terbata, dia langsung menghambur
ke pelukan mamanya.

21

Not Until_Teenlit.indd 291 6/3/2014 4:04:55 PM


”Aku juga kangen Mama. Bahkan lebih kangen daripada siapa
pun,” ucap Nana lirih. Air matanya mengalir.
Mama mengusap punggung Nana lembut. Air mata penyesalan
kembali keluar, seperti tadi malam.
Nana melepas pelukan Mama, tersenyum. ”Ma, maafin Nana
udah bikin Mama nangis. Kemarin Nana emosi dan kehilangan akal
sehat.”
Mama mengangguk, kemudian mengusap jejak air mata Nana
yang sekarang sudah berhenti mengalir.

Besoknya Nana terus berpikir. Dia menangkap bayangan Livia


dari balik kamar. Dengan cepat dia keluar, mengikuti gadis itu.
Livia terdiam saat Nana berada di dekatnya. Aneh. Sekalipun
melipat tangan kaku, Nana terlihat ramah.
”Lo tidur di mana?” tanya Nana.
”Di kamar tamu.”
”Lo tidur di kamar gue aja,” ucap Nana dingin.
Livia benar-benar ingin melompat dan menghambur memeluk
Nana saat mendengar ajakan itu. Walaupun terlihat dingin, dia
tahu Nana mencoba menerimanya.
Livia benar-benar bahagia.
Kini Livia berjalan menghampiri Mama dan Nana yang tersenyum
menyambutnya.
Nana mengembuskan napas, tahu itu akan berat, menerima
Livia kembali sebagai saudaranya. Tapi dia akan berusaha. Tadi
malam dia sudah berjanji pada Mama. Dia akan berubah.
Hanya keluarga kecil itu yang dia punya. Keluarga kecil yang
tak bisa tergantikan.

22

Not Until_Teenlit.indd 292 6/3/2014 4:04:55 PM


Livia memang keluarga Natara, tapi ia telah menjadi bagian
keluarganya. Keluarga kecilnya bersama Mama.

23

Not Until_Teenlit.indd 293 6/3/2014 4:04:55 PM


Epilog

N
ANA memasuki lift tergesa-gesa. Bot putih melekat
di kakinya. Udara musim gugur mulai menyapa wila-
yah itu. Dia menekan tombol 15, lalu menggosok-
gosokkan tangan, lupa mengenakan sarung tangan
dan syal.
Nana menekan password untuk masuk ke apartemennya, kemu-
dian dengan cepat menanggalkan sepatu, berjalan menuju kamar
yang berada di kiri pintu masuk.
”Na, lo nggak bawa apa-apa? Huh. Padahal gue kelaparan.”
Nana berdecak menanggapi suara itu. Suara lantang Livia yang
sedang menikmati acara di televisi, entah telenovela atau drama,
tapi terlihat artis yang menangis-nangis.
”Beli sendiri di depan nggak bisa ya?” tanya Nana ketus, kemu-
dian menutup pintu kamar.

24

Not Until_Teenlit.indd 294 6/3/2014 4:04:55 PM


Livia mencibir. Nana masih tetap bersikap dingin kepadanya,
walaupun telah menerimanya.
Tak lama kemudian Nana keluar kamar, duduk di samping Livia.
Dia membawa selimut untuk menutupi tubuhnya dan dengan
seenak udel mengganti acara televisi.
”Na, lagi seru tuh,” teriak Livia tak terima.
Nana memutar bola mata. ”Acara kayak begitu bikin lo melow.
Udah deh, nonton ini aja.”
Livia mendapati pembawa berita menyampaikan info terkini
dunia. Ia menatap Nana sebal, kemudian mengentakkan kaki. Me-
mutuskan beralih ke laptop, yang membuatnya tertawa girang.
Nana melihat Livia dengan ekor matanya. Gadis itu mengenakan
headset dan menatap layar laptop dengan wajah berseri.
”Aku juga kangen banget sama kamu, Ga,” ucap Livia manja.
Nana menelan ludah. Pasti Livia skyping dengan Aga. Entah
kapan mereka kembali jadian, Nana tak ingat. Yang Livia ceritakan
kepadanya, Aga meminta ia tak melihat pemuda lain, kecuali
dirinya.
Huh... mau saja diberi harapan palsu, batin Nana.
Nana mengalihkan pandangan ke berita yang ditontonnya. Dua
tahun itu semuanya berjalan baik-baik saja. Livia memutuskan
untuk melanjutkan kuliah di universitas yang sama dengan Nana,
walau berbeda jurusan.
Mama dan Oma pindah ke Jakarta beberapa hari setelah kebe-
rangkatan Nana dan Livia ke London. Kailana Group membuka
cabang di Singapura, Thailand, dan Cina, yang dipimpin Oom Ben.
Perusahaan di Jakarta diserahkan kepada Mama.
Nana tak merasakan hidupnya sulit. Dia hanya sedikit kewalahan
dengan sikap Livia yang manja, kadang sampai membuatnya naik
darah.

25

Not Until_Teenlit.indd 295 6/3/2014 4:04:55 PM


Dulu?
Nana terdiam. Dua tahun lalu semua terasa berat. Beban baru
yang dipikulnya benar-benar membuatnya terkurung dalam
kebencian. Syukurlah sekarang bebannya menghilang pelan-
pelan.
Nana juga bisa menahan emosi. Semuanya berjalan baik, kecuali
satu hal.

Ting tong!
Nana membuka mata perlahan. Bel apartemen berbunyi nyaring
sejak tadi. Mengganggu tidur saja, sungut Nana dalam hati.
Nana mengenakan sandal, kemudian membuka pintu kamar.
Apartemen itu mempunyai dua kamar, satu kamarnya dan satu
lagi kamar Livia. Selain itu terdapat ruang santai, dapur, serta kamar
mandi.
”Viaaa... lo buka pintu deh,” teriak Nana.
”Na, gue lagi mandi,” balas Livia berteriak dari kamar mandi.
Nana berjalan ogah-ogahan. Menuju wastafel untuk membasuh
wajah, kemudian merapikan kuciran rambut sambil berjalan menuju
pintu. Begitu membuka pintu, dia spontan terbelalak.
”SURPRISEEE!”
Nana melongo. Mengerjap beberapa kali, meyakinkan dirinya
bahwa dia sudah benar-benar bangun dan berada dalam kenya-
taan.
”Aihh... Nana, lo makin cantik aja!” jerit Karisa langsung memeluk
Nana dengan erat. Di belakang Karisa menanti giliran dengan
tersenyum lebar adalah Aga, Nathan, dan Stevan.
”Bisa-bisanya kalian ke sini tanpa ngabarin gue!” protes Nana
dengan senyum lebar. Tentu saja dia kaget dengan kedatangan

26

Not Until_Teenlit.indd 296 6/3/2014 4:04:55 PM


teman-teman yang tak pernah bertemu dengannya dalam dua
tahun itu.
Aga berdecak. ”Na, sambutan lo gitu amat,” ucapnya sambil
pura-pura memperlihatkan wajah masam.
Nana membuka pintu apartemen lebar-lebar.
”Pacar gue mana?” ucap Aga saat memasuki apartemen dan
tak melihat orang lain.
Karisa cekikikan. ”Kaget kan lo?”
Nana hanya mengangguk, sadar bahwa apartemennya bakal
diacak ketiga cowok itu. Dia memperlihatkan wajah galak. ”Heh...
kalian jangan ngacak-ngacak apartemen gue ya!” teriaknya.
Karisa menutup sebelah telinganya.
Aga yang ingin menyentuh pigura berisi foto Livia, Nana, dan
Mama segera menarik tangan, juga Nathan yang ingin duduk di
sofa kembali berdiri, sedangkan Stevan cuek saja dengan terus
memakan camilan yang didapatnya dari kulkas.
Karisa tertawa. ”Kami rencanain ini udah lamaaa banget, Na.”
”Buset... bagus banget pemandangan London dari sini. Lo
emang pinter nyari view ya, Na,” puji Aga yang berada di depan
jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan.
Cklek...
Pintu kamar Livia terbuka. Gadis itu tersenyum, menghambur
memeluk Aga. ”Aaa... miss you, honey!”
Nathan yang berada paling dekat dengan mereka hanya me-
natap sambil menelan ludah. Setengah geli dengan pemandangan
itu, Aga mencibir ke arah Nathan. ”Makanya, Than, gue suruh ajak
Katrine ke sini, lo-nya nggak mau.”
Nathan mencibir. ”Dia pendiem kayak Nana. Susah sosialisasi
ntar,” jawab Nathan sembarangan tanpa tahu pelototan Nana
tertuju tajam ke arahnya.

2

Not Until_Teenlit.indd 297 6/3/2014 4:04:55 PM


Nana merasa ada yang aneh dengan teman-temannya itu. Ah,
maksudnya, ke mana satu orang lagi yang selalu menemani
mereka? Bukannya cowok itu selalu hadir dalam acara seperti itu?
Apalagi sekarang liburan, kan?
”Kalian... cuma... datang berempat?” tanya Nana akhirnya,
memutus rasa penasarannya.
Karisa tercengang mendengar pertanyaan Nana, menatap
Nathan dan Aga yang sama-sama heran.
”Lo nyariin Dio?” tegas Stevan mengambil alih perhatian.
”Katanya dia patah hati sama lo.”
Stevan terkikik pelan, dan disambut gelak tawa Aga dan Nathan.
Karisa juga ikut tertawa.
Nana melayangkan tatapan aneh kepada mereka. Dia yakin ada
yang tidak beres.
”So, sore ini kita ke mana nih, Na?” tanya Nathan.
”Kok nanya gue?” jawab Nana masih bingung.
”Gue nggak mau tahu, lo harus ngajak kami jalan-jalan!” ucap
Stevan membuat Nana kaget.
”Kami jauh-jauh ke sini, masa nggak diajak jalan-jalan?” protes
Karisa merengut, setengah manja.
Sekakmat. Mereka masih tetap suka memaksa Nana untuk
melakukan sesuatu.
Nana mendengus, kemudian beranjak ke kamar untuk segera
mandi. ”Ngerepotin!”

Nana mengendarai mobil mengitari London. Dia duduk bersama


Nathan, sementara para pasangan duduk di belakang, sedari tadi
tak saling melepaskan.
Sejujurnya Nana sedikit jengah melihat Karisa dan Livia yang

2

Not Until_Teenlit.indd 298 6/3/2014 4:04:55 PM


terus-terusan manja pada Stevan dan Aga. Seperti tak punya
tempat lain saja untuk bermesraan.
”Heh, kalau mau manja-manjaan turun gih. Gue enek liat kalian,”
ucap Nathan, membuat Nana terkekeh pelan.
”Makanya jangan jomblo!” seru Stevan tertawa.
Nathan menghela napas.
Sore itu Nana mengajak teman-temannya menyusuri sungai
Thames. Mereka mengunjungi London Eye yang ada di dekat
sungai itu.
”Gue mau naik itu,” ucap Karisa menunjuk London Eye.
Nana mengangguk, kemudian mengurus segala sesuatunya.
Beberapa saat kemudian dia bergabung dan mengatakan, ”Masuk
aja. Mmm... gue nggak ikut ya. Bosen. Ntar kalian cari gue di
sekitaran sungai Thames aja.” Nana menyerahkan kunci mobil ke
Livia.
Livia mengangguk saja, setuju.
Nana berjalan pelan, menikmati keindahan Thames. Dia suka
tempat itu. Sejak dulu, sejak berumur belasan tahun, dia senang
merasakan angin musim gugur yang mendingin. Termasuk juga
memandangi daun-daun berguguran di tepi jalan.
Nana terus berjalan menyusuri jalanan panjang. Perasaan aneh
datang lagi. Dia menoleh ke belakang, merasa dikuntit sese-
orang.
Oh, tidak mungkin kan teman-temannya mengerjai Nana de-
ngan sengaja mengikutinya? Lalu kenapa perasaan aneh itu datang
lagi?
Nana kembali menoleh ke belakang.
Akhirnya Nana memilih mengabaikan perasaan itu dan terus
menyusuri jalanan panjang menuju sungai Thames.
Nana duduk di tepi sungai Thames. Mungkin airnya akan beku

2

Not Until_Teenlit.indd 299 6/3/2014 4:04:55 PM


saat musim dingin tiba. Selain musim gugur, ia juga menyukai
musim dingin. Dia tak tahu alasan apa yang membuatnya menan-
tikan musim dingin. Saat musim dingin, dia gemar menatap langit,
seperti mengingatkannya pada sesuatu.
Mungkin kesepian dan kedinginan yang Nana rasakan selama
itu membuatnya menjadi satu dengan kedua musim tersebut.
Lo mirip langit musim dingin.
Mungkin juga karena kata-kata itu Nana menantikan musim
dingin agar bisa menatap lama langitnya.
”Well, pemandangan ini memang bagus.”
Nana membeku di tempat. Suara berat itu... Sebegitu rindukah
Nana akan sosoknya sehingga suaranya langsung dikenalinya?
”Gue suka berada di sini.”
Nana mendapati sosok yang begitu dia rindukan, tapi hanya
terbelalak tak percaya.
Penampilan Dio dengan jaket kulit hitam yang sangat tiba-tiba
membuat Nana tercekat. Jantungnya melompat-lompat kencang
dan tubuhnya menjadi panas, padahal angin musim gugur benar-
benar menusuk tulang.
Mata Nana dan Dio bertemu. Sorot mata Nana tak sedingin
dulu. Kini gadis itu lebih membuka diri, Dio bisa merasakannya.
Dio tersenyum tanpa bicara. Ia terlalu merindukan Nana. Nana-
nya. Ia tak pernah jatuh cinta lagi, sama seperti Nana. Perasaannya
terbawa Nana. Ia sangat menyayangi gadis itu.
Nana terdiam, sulit mengendalikan perasaannya. Dia ingin
memeluk Dio, tapi gengsi. Jadilah dia berlama-lama menatap
pemuda itu.
”Kenapa? Sadar kalau lo juga kangen sama gue?”
”Kenapa lo ada di sini, Yo?”

300

Not Until_Teenlit.indd 300 6/3/2014 4:04:55 PM


Dio terkekeh. ”Beberapa hari gue ngikutin lo. Lo baru sadar tadi
bahwa lo diikutin.”
Nana memutar bola mata. Pantas saja Karisa, Aga, dan Nathan
kebingungan saat dia menanyakan Dio. Ternyata Dio datang ke
London lebih awal daripada mereka.
Nana berdeham. ”So... gimana kabar lo?”
Dio tersenyum. ”Kabar gue atau kabar hati gue?”
Nana merasakan jantungnya kembali berdegup kencang.
”Semua orang juga tahu gue masih stuck sama lo.”
Nana menunduk. Bagaimana bisa Dio mengungkapkannya
secara gamblang, sedangkan dia kesusahan menenangkan degup-
an jantungnya? Bagaimana bisa Dio membawa kembali hal yang
seharusnya sudah mati sejak dulu?
Dio meraih tangan Nana, menggenggamnya. ”Mana mungkin
gue nggak nungguin jawaban pernyataan gue waktu itu?”
Ah... pernyataan waktu itu! Saat mengingatnya wajah Nana
langsung bersemu merah.
”Na, lo belum menjawabnya,” ucap Dio lirih. ”Gue nggak maksa
lo. Kalau penantian gue kurang cukup selama ini... gue bisa...”
”Aku mau.”
Dio terdiam, menatap Nana yang tersenyum manis kepadanya.
Eh, Nana mengatakan apa? Dio terkekeh geli.
”Mau? Gue belum ngajuin permintaan lho!”
Nana mendengus, kemudian menarik tangannya dari genggaman
Dio. Bukankah Dio menantikan jawabannya selama ini? Lalu kenapa
pemuda itu masih bermain-main dengannya?
Dio tersenyum, buru-buru meraih tangan Nana. ”Kamu selalu
di hatiku, Na, selamanya.”
Nana mengangguk. Kebahagiannya lengkap. Dia membiarkan
saja dirinya meleleh di depan Dio. Toh dia harus mengakui bahwa

301

Not Until_Teenlit.indd 301 6/3/2014 4:04:55 PM


dirinya memang mencintai Dio sejak dulu. Cinta yang datangnya
tidak diketahui secara pasti. Cinta yang membuat kebekuan dalam
dirinya mencair seketika.
Cinta memang tak pernah adil kalau kita tidak menuntut
keadilannya. Nana menyadari betul hal itu.
Nana tersenyum saat Dio merengkuhnya erat. Di tepi sungai
Thames, di depan London Eye, mereka berikrar memulai sesuatu
yang baru.

302

Not Until_Teenlit.indd 302 6/3/2014 4:04:55 PM


Tentang Pengarang

Violita
Sering hanyut dalam tulisan-tulisan orang lain maupun tulisannya
sendiri. Seorang gadis yang akan beranjak pada fase dewasa
sesungguhnya. Menurutnya, senja merupakan lukisan terindah
alam. Selain menulis, kesibukannya adalah menuntut ilmu di salah
satu universitas negeri.

303

Not Until_Teenlit.indd 303 6/3/2014 4:04:55 PM


Not Until VIOLITA

Not

VIOLITA
Ketika disuruh menjemput keponakan Oom Ben di
bandara, Dio, Aga, Nathan, dan Stevan nggak pernah

Until
mengira bakal berkenalan dengan cewek superdingin
seperti Nana. Meski mereka berempat dikenal sebagai
cowok idola di sekolah, ternyata reputasi itu sama sekali
nggak berpengaruh terhadap Nana.
Sikap dingin Nana sempat membuat Dio kesal. Aga
juga semakin penasaran pada cewek itu. Dan, ketika

Not Until
akhirnya masa lalu Nana terkuak, kedua cowok itu mulai
bersimpati dan menaruh hati pada Nana. Namun, siapa
yang berhasil mencairkan sikap dingin Nana dan merebut
hati gadis itu?

Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com

not until.indd 1 6/2/14 2:34 PM

Anda mungkin juga menyukai