Not
VIOLITA
Ketika disuruh menjemput keponakan Oom Ben di
bandara, Dio, Aga, Nathan, dan Stevan nggak pernah
Until
mengira bakal berkenalan dengan cewek superdingin
seperti Nana. Meski mereka berempat dikenal sebagai
cowok idola di sekolah, ternyata reputasi itu sama sekali
nggak berpengaruh terhadap Nana.
Sikap dingin Nana sempat membuat Dio kesal. Aga
juga semakin penasaran pada cewek itu. Dan, ketika
Not Until
akhirnya masa lalu Nana terkuak, kedua cowok itu mulai
bersimpati dan menaruh hati pada Nana. Namun, siapa
yang berhasil mencairkan sikap dingin Nana dan merebut
hati gadis itu?
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com
Ketentuan Pidana:
Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men-
jual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
GM 312 01 14 0043
www.gramediapustakautama.com
ISBN: 978-602-03-0612-4
304 hlm; 20 cm
Thank you...
Happy reading!
Y
ANG membuatnya tak makin sedih hanyalah sisa-sisa
puing kesabaran. Raganya lelah menangis. Matanya
sembap dengan garis hitam melingkarinya. Betapa besar
kesedihan yang ditanggungnya. Menjalani hidup kini
menjadi satu-satunya hal yang membuat tubuhnya gemetar
ketakutan.
Kehilangan orang yang paling dia sayangi membuat kakinya
seakan lumpuh. Rasanya ia ingin mati saja, menyusul orang-orang
tersayang secepatnya. Tak perlu susah payah memikirkan hari
esok.
Dia belum jadi apa-apa, masih jauh dari sukses, bahkan masih
berseragam putih abu-abu. Namun, kenyataan pahit silih berganti
menghampiri. Ayahnya, satu-satunya orangtua yang dia miliki sejak
kecil, dikabarkan meninggal.
Saat mendarat, roda pesawat yang ditumpangi ayahnya terge-
10
Pembawa sial.
Nana melangkah gontai ke luar kamar Livia, menuju kamarnya
sendiri. Dia membuka pintu kamar dengan lemas.
Livia keterlaluan!
”Bunga…” panggil Nana. Tapi tak menemukan adiknya di sana.
Nana memucat. Bunga tidak ada. Di luar kamar pun dia tak
menemukan batang hidung adiknya. Tiba-tiba firasat buruk
menyergap sanubarinya. Nana takut luar biasa.
”Nana...”
Nana menoleh.
Wanita tinggi dengan wajah tegas berdiri di belakang Nana.
Tante Marina, adik ayah tirinya. Sejak dulu dia tak begitu suka
Tante Marina, yang meliriknya tajam, sama seperti yang diper-
lihatkan Livia tadi.
11
12
13
I
t has already began.
SEPOI angin menerpa wajah ketika Nana membuka kaca
jendela mobil yang ia tumpangi. Udara kota ini begitu
menyejukkan. Kota ini satu-satunya tempat kembali setelah
dia merantau. Kota yang membangun dirinya menjadi seperti ini.
Kota yang bahkan tak pernah ia mimpikan akan dibencinya.
Sekarang hal yang begitu disukainya berbalik menjadi yang paling
dihindarinya.
Nana meninggalkan Bandung dua jam lalu. Air mata mengalir
sepanjang perjalanan. Semuanya sudah diurus. Mulai dari kepin-
dahan rumah sakit tempat mamanya dirawat. Hanna, mamanya,
koma akibat kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa hari lalu,
yang merenggut nyawa papa tirinya. Ibunda yang begitu dia
sayangi kini hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
14
15
16
Bali
Nana menatap kosong ke depan. Bali bukan tempat yang adem
seperti Bandung, namun entah kenapa Nana tenang di sini. Tinggal
tiga minggu di Bali membuatnya betah dan bisa menerima apa
yang telah terjadi. Di samping itu, ia mengurus Mama yang tengah
melewati perawatan alternatif dan medis secara bersamaan. Sejauh
itu ia merasa baik-baik saja karena keberadaan Oma yang selalu
menemani. Opa sudah mendahului mereka.
”Mamamu bakalan lama sekali baru bisa sembuh dari koma.”
Nana menoleh, mendapati Oma yang sudah berumur lebih dari
enam puluh duduk di sampingnya. Entah sejak kapan Oma berada
di sana. Yang ia tahu, dari sorot matanya, Oma juga merasakan
kesedihan yang sama: merindukan sosok orang yang dicintai.
”Bunga…” ucapan Nana terpotong. Rasanya ia ingin mati saja,
sesak di hatinya masih belum kunjung hilang. Yah, manusia mana
yang bisa menerima kenyataan sepahit dirinya? Ia bukan gadis
tegar yang hanya menangis sehari kemudian bisa bangkit kembali.
Ia hanya gadis lemah yang tak bisa menerima kenyataan.
”Nana... adikmu sudah tenang di sana, Nak.”
Nana menggeleng. ”Bunga depresi, Oma... Aku... Kenapa Mama
nggak pernah cerita padaku?” ujarnya menyesali. Bulir-bulir air
mata kembali terjatuh.
Oma membelai-belai kepala Nana dengan lembut. Wanita tua
itu tersenyum lembut, menenangkan. ”Mama nggak mau mem-
bebanimu, Nana.”
1
1
1
20
Tiiinnn… Tiiinnn...
Aga menekan keras-keras klason mobil. Sudah lima belas menit
mobilnya tak maju-maju. Bisa-bisanya jalanan tol macet saat dia
menjemput keponakan bosnya.
21
22
Nana menatap jam tangan. Sudah lewat satu jam setelah dia
menerima telepon Oom Ben tadi. Ke mana sih orang-orang itu?
Nana merutuk kesal.
Gadis itu berdiri dari duduk. Satu-satunya tempat yang dia
tumpangi untuk menunggu jemputan adalah tempat makan siap
saji.
Nana melangkah ke luar, mendorong dua koper besar dengan
kesal. Dia tak pernah membayangkan hari pertamanya di ibu kota
menyusahkan.
Ting! Dicari… Nona Nana, dari penerbangan Bali-Jakarta. Mohon
Nona Nana segera ke pintu masuk terminal 1B.
Nana menoleh ke sumber suara saat namanya disebut.
Kemudian ia berpikir, berapa banyak nama Nana yang dimiliki
orang-orang di bumi? Apakah panggilan itu untuknya? Panggilan
itu kembali terdengar, seolah menjawab pertanyaannya.
Ting! Harap Nona Viona Aphrodita Kelana alias Nana segera
menuju terminal 1B.
Kali itu Nana benar-benar yakin orang yang dimaksud adalah
23
24
25
26
B
MW Aga memasuki kawasan perumahan di Jakarta
Selatan. Nana mengedarkan pandangan ke daerah
tersebut. Ia melirik ketiga pemuda yang menjemputnya
itu dengan aneh. Mereka benar-benar diam sejak ia
meminta ketenangan.
Namun, Nana tak begitu memusingkan lagi apa yang terjadi
dengannya tadi atau kemarin. Yang paling penting adalah bagai-
mana dia menjalani hidup selanjutnya. Melangkah dengan kedua
kakinya yang sempat ”lumpuh”.
Mobil itu berhenti di depan rumah yang tak begitu dikenal
Nana. Perasaan aneh menyelinap ke hatinya, ia yakin pernah ke
sini, tetapi entah kapan. Mungkin sudah begitu lama. Entahlah. Ia
masih belum mampu memanggil kembali memorinya.
Setelah mesin mobil mati, Nana segera turun dari mobil. Di
2
2
2
***
30
***
31
32
33
34
35
36
3
3
3
40
41
42
D
IO mengepal keras saat melihat Nana pergi begitu
saja meninggalkan kelas. Dia sangat kesal. Kenapa sih
gadis itu harus cari masalah dengannya?
Dan benar, kehidupan bukan sinetron, yang bisa
memaafkan begitu saja. Ada beberapa hal di dunia yang sulit
dimaafkan, seperti kejadian tadi.
Dio menatap langit, terlihat jelas bayangan Acha, cinta perta-
manya, terlukis di sana. ”Seharusnya itu hadiah ulang tahunmu
yang paling spesial, Cha. Seharusnya,” ucapnya lirih.
Terbayang olehnya kenangan indah bersama gadis itu, dan
kembali hatinya tertohok. Kenangan bisa menyakiti kapan saja.
Andai itu tidak terjadi, pasti sampai saat ini mereka tetap baik-baik
saja. Dio tak perlu memutuskan hubungan mereka dan mereka
berdua bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
43
Ben duduk lemas. Lelaki itu menatap lantai, lemah. Ia sama sekali
tak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, pelayan di rumah Nana
44
45
46
4
4
4
Nana bangun subuh sekali. Dia ingin buang air kecil, tetapi tak
tahu harus meminta tolong siapa. Bibi dan sopir di rumahnya
pasti masih pulas. Ia tak ingin merepotkan mereka. Jadilah dia
memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri.
Sampai di kamar mandi dekat kamar, Nana lupa closet-nya
rusak. Ia mendengus kesal karena harus pergi ke toilet di bawah.
Saat melewati ruang tengah, ia terdiam karena mendapati Dio
tertidur nyenyak di sofa. Dia yakin Oom Ben menginap di kamar
tamu, lantas kenapa Dio masih berada di sini? Bukankah yang lain
sudah pulang?
Merasa bersalahkah Dio? tanya Nana dalam hati.
Nana melihat selimut Dio tersingkap. Dengan satu gerakan ia
merapikannya. Setelahnya Nana meringis menahan sakit. Perge-
langan tangannya kan baru dijahit. Itu pula yang membuat diam-
diam dia merasa bersalah melibatkan pemuda itu dalam hidupnya.
Dia tak ingin Dio terlibat, tapi entah kenapa… momennya begitu
pas saat Dio mencacinya di kelas.
”Mau ke mana lo?”
Nana terkesiap, mata hitamnya spontan terbelalak. Didapatinya
dua mata bening Dio menatap aneh ke arahnya dengan tajam.
Gadis itu menyembunyikan ketergagapannya dengan gelengan
singkat. ”Kamar mandi.”
Dio yang tidur di sofa ruang tengah langsung duduk, tetap
menantang ke manik mata Nana yang masih menatapnya. ”Kenapa
nggak bangunin gue aja tadi?”
Nana menggeleng. ”Gue nggak pengin lo merasa bersalah. Ini
semua bukan salah lo.”
50
51
Nana memainkan rambut pelan. Sudah dua hari dia tak sekolah.
Pikirannya melayang pada hari kemarin. Sepertinya Dio merasa
bersalah padanya hingga bisa-bisanya memutuskan tidak sekolah
demi mengurusi Nana seharian.
Gadis itu tersenyum simpul. Ada beberapa kejadian lucu yang
tak bisa dilupakannya. Seperti saat Dio menyuapinya, padahal, ya…
yang terluka kan tangan kirinya.
Nana tertegun. Seharusnya dia tak merusak karikatur Dio
dengan tisu basah. Dia juga merasa bersalah. Sungguh. Namun ia
tak berniat membahasnya. Dia tak peduli karikatur itu untuk siapa,
dan kenapa Dio bisa sebegitu marah padanya.
Ponsel berbunyi. Nana menatap layar ponsel. Terlihat jelas nama
Dio di sana. Gadis itu tersenyum lagi. ”Iya,” jawabnya dingin.
”Lo udah makan?”
52
53
54
55
From : Nana
Bisa tungguin gue bentar?
56
5
5
D
IO membuka mata saat menyadari ada orang yang
mengetuk-ngetuk kaca mobil. Melihat Nana dengan
tatapan ganasnya membuat ia langsung membuka
pintu. Tunggu dulu, sejak kapan dia menjadi sopir
pribadi Nana?
Nana masuk ke mobil dengan kesal. Dia mengempaskan tubuh,
melempar pandangan ke luar, seolah menyalahkan Dio.
”Sorry, Na, gue nggak denger,” ucap Dio merasa bersalah.
Nana berpaling. ”Gue setengah jam tahu nungguin lo di luar,”
ucapnya marah.
Dio mengernyit. Kenapa pula Nana marah-marah? Bukankah
Dio pemilik mobilnya? Lalu kenapa pula dia harus menuruti perin-
tah Nana?
”Sorry deh,” ucap Dio sekali lagi, memilih mengalah.
5
60
61
62
63
64
65
66
6
6
6
0
J
AM pelajaran berakhir lima menit lalu. Karisa diam, melirik
Nana yang sedang memasukkan alat tulis ke tas, kemudian
bersiap keluar kelas. Karisa berjalan takut-takut ke arah
Nana.
”Nana, maafin gue ya.”
Dio, Nathan, Stevan, dan Aga yang masih berada di dalam kelas
langsung mengalihkan pandangan ke arah Karisa dan Nana.
Nana menatap Karisa. Ada perasaan bersalah di hatinya. Dia
tak ingin menyakiti orang lain. Entahlah, semua terasa lebih berat
jika ada orang masuk ke hidupnya. Nana melirik Dio sekilas, yang
menatapnya tak jelas.
Nana menyodorkan tangan. ”I’m sorry,” ucapnya tegas dengan
aksen Inggris kental.
Karisa memeluk Nana. Nana membalas pelukannya hangat.
1
2
3
4
5
6
”Lho? Kalian udah ngumpul aja di sini?” Dio terkaget saat melihat
Aga, Nathan, Stevan, dan Karisa berada di teras rumah Aga. Me-
reka berempat sepertinya siap pergi.
Aga berdecak pelan. ”Lo lama banget, tahu nggak?”
Dio mengacak rambut, kemudian tersenyum lebar. ”Tadi gue
makan dulu di jalan. Sorry…” Dio memandang Karisa. ”Eh… lo kok
bisa tahu rumah Aga, Sa?”
Nana yang ada di belakang Dio hanya diam melihat teman-te-
man yang kesal dengan keterlambatan mereka.
Dio melirik Nana sekilas, sepertinya sikap gadis itu kembali se-
perti semula. Tidak apalah, daripada membuatku kesulitan berna-
pas, pikir Dio. Bayangan Nana tersenyum lebar melintas di ke-
palanya.
Karisa tertawa mendengar pertanyaan Dio. ”Gue dijemput Ste-
van. Kenapa emang?” tanyanya balik.
Dio memandang Stevan penuh tanda tanya. ”Kalian lagi nge-
date, ya?” tanyanya, membuat Stevan dan Karisa saling pandang
dan kemudian menatap Dio dengan pandangan tak mengerti.
”Lho? Lo lagi curhat ya? Bukannya yang lagi pendekatan itu lo
sama Nana?” balas Stevan sok tenang.
Darah Nana berdesir saat mendengar namanya disebut Ste-
van.
Dio langsung melirik ke belakang, tapi Nana malah mengalihkan
0
1
2
3
4
5
N
ANA masih memilih bungkam. Bahkan hingga bebe-
rapa hari berlalu sejak pertemuan singkatnya dengan
Livia, dia masih memilih tak banyak bicara. Pikirannya
meracau tidak jelas sejak pertemuan itu, terbagi-bagi,
dan dia tak bisa mengatasinya satu per satu. Ya, ia membenci
pertemuan singkat itu. Dia membencinya hingga benar-benar kesal
saat memikirkannya.
Sungguh, Nana merasa sedang mempertaruhkan harga diri-
nya.
Dia membenci Livia yang menghancurkan kepercayaannya.
Menyakitkan.
”Kenapa lo belum makan?”
Nana menoleh ke kanan, terlihat Dio melahap burger isi keju
dan mayones dengan daging sapi panggang.
6
***
0
1
2
3
Nana memainkan ujung jari. Itu minggu kedua dia tak berhubungan
dengan Dio. Mereka tak bertegur sapa, tak saling berkomunikasi,
dan juga tak saling menatap lagi.
Dia tak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Semua mengalir
begitu saja. Tindakannya yang menolak kehadiran Dio diperkuat
dengan tingkah Dio, yang sepertinya menolak kehadirannya juga.
Mereka saling menjauh.
Tak biasanya Dio langsung mengalihkan mata saat Nana menoleh
ke arahnya. Dan Nana tak begitu peduli—mungkin karena dirinya
juga bertekad kuat untuk lari dari kejaran Dio. Sekarang dia tak
perlu kerepotan berlari karena pemuda itu lebih dulu berhenti.
Entah angin apa yang bertiup ke arahnya, Nana merasa kehi-
langan. Ia baru pertama kali merasakan hal itu. Perasaan tidak
suka timbul saat melihat Acha berada di depannya ketika jam
makan siang, juga saat Dio mengacak rambut Acha pelan. Pe-
mandangan itu begitu memuakkan.
Mungkinkah Nana hanya pelarian kala kerumitan melanda
hubungan dua orang itu?
Benarkah?
Nana menggeleng pelan, mencoba tak peduli. Dia tak ingin
keadaan menjadi lebih rumit. Dia membenci air mata. Air mata
adalah tanda kelemahan, yang dulu sempat dia tumpahkan ber-
hari-hari kepada orang yang tak pantas disebut manusia. Sungguh
dia membenci air mata, air mata siapa pun itu, temasuk linangan
air mata Acha saat bertemu dengannya dua minggu lalu di UKS.
Nana gamang. Itu baru pertama kali, sejak Fanny mengatakan
bahwa Acha ingin berbicara dengannya di UKS. Ia menggigit bibir
4
5
6
N
ANA menunduk dalam-dalam. Sepi yang ia rasakan
semakin menjadi-jadi, walaupun Stevan, Nathan, Aga,
dan Karisa selalu ada untuknya—menemaninya ke
mana pun, walaupun dia tak pernah minta. Ia merasa
hari-harinya kosong.
Ini baru permulaan liburan akhir tahun pelajaran. Karisa sibuk
dengan kegiatan OSIS. Aga dan Stevan juga begitu. Menurut de-
sas-desus, kedua cowok itu mempersiapkan strategi untuk meng-
gaet adik kelas dengan wajah dan sikap yang berbanding lurus.
Mereka terburu-buru ingin mengakhiri status jomblo.
Lain dengan Nathan dan Dio yang sedang sibuk mempersiapkan
pertandingan futsal antarsekolah. Sejak mereka berdua ditakdirkan
sebagai duo tak terkalahkan dalam pertandingan futsal maupun
basket, mereka diembani tugas dari yayasan untuk memenangi
Sender: Karisa
Katanya lo BT? Ke sini yuk, gw sm anak2 ntar ada acara
makan malam brg di kafe depan. Rencananya sh mau jmpt lo,
tapi kami masih sbuk. Kalau smpai lo blm dtg nanti, gw
ngambek.
100
101
102
103
104
105
***
106
10
10
10
”Lo lagi nggak punya selera humor ya, Na?” ucap Aga yang je-
ngah karena sejak tadi Nana hanya diam, seperti memikirkan
sesuatu.
Nana memutar bola mata, melempar pandangan aneh kepada
Aga. ”Sejak kapan gue punya selera humor?” balasnya sengit.
Aga keki sendiri. Kalau saja Dio tak menitip gadis itu kepadanya
karena ada keperluan lomba futsal, dia akan langsung ke ruang
OSIS atau berdiri di lapangan untuk memberikan orientasi kepada
anak kelas 10.
Aga berhenti saat mendapati Nana tak ada di sampingnya. Dia
menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu berhenti berjalan,
hanya memandang lurus ke depan.
”Na, ayo!” ajak Aga dari tempatnya berdiri.
Nana melirik Aga. Sepertinya gue harus melancarkan aksi lebih
awal...
110
111
112
D
IO menggeser sedikit tubuhnya. Badannya lemas se-
habis membaca pesan singkat dari gadis yang pernah
menawan hatinya.
Dio menghela napas berat. Sulit dipercaya getaran
hatinya tidak tertuju lagi pada Acha. Gadis yang dulu mati-matian
dia pertahankan. Gadis yang dulu dia pikir dia akan mati kalau
mereka tak bersama. Namun, semua itu terasa hambar saat hatinya
berganti arah. Hati yang mencari kebahagiaan baru setelah lama
tersakiti.
Acha mengatakan liburannya begitu menyenangkan dan akan
pulang dua minggu lagi. Padahal hari pertama sekolah sudah
dimulai.
Kadang Dio menyayangkan, terlalu cepat hatinya memutuskan
sesuatu. Dia merasa jatuh cinta lagi. Kali itu asmaranya bukan
113
Seperti biasa BIHS terlihat begitu ramai saat empat pemuda itu
masuk. Pandangan kagum kebanyakan berasal dari murid kelas
10, yang baru saja dinobatkan sebagai anggota BIHS.
Nathan berbisik pelan kepada Stevan. ”Pesona gue belum luntur
ternyata,” pujinya pada diri sendiri.
Stevan hanya tertawa, kemudian merangkul bahu Nathan. ”Lo
jadi deketin Vanya, anak kelas 10 itu?” tanyanya setengah berbi-
sik.
Dio dan Aga hanya menggeleng-geleng saat dua temannya itu
membicarakan gadis cantik, padahal keduanya sama-sama belum
mau melepaskan status jomblo yang sudah mereka sandang lebih
dari dua tahun.
Dio berhenti saat menyadari Aga tak lagi berdiri di sampingnya,
114
115
116
Dio melirik jam tangan. Lima menit lagi guru masuk ke kelas,
tapi Nana belum juga menampakkan diri. Karisa yang sibuk
dengan kegiatan OSIS baru saja memasuki kelas.
Dio berlari menghampiri Karisa. ”Lo nggak sama Nana?”
Karisa menggeleng bingung. ”Nggak. Gue kan dari ruang OSIS,”
jawabnya datar.
Dio menghela napas. Perasaannya tidak enak. Dia tak suka
merasakan ini: perasaan tiba-tiba takut kehilangan Nana.
Aga menghampiri Dio. ”Coba lo cek di tempat gue liat dia tadi
deh.”
Tanpa menjawab Dio segera berlari meninggalkan kelas. Dia
melirik para guru yang bersiap memasuki kelas.
Baiklah. Siapa yang tidak sadar bahwa Diova Esa jatuh cinta
pada Viona Aphrodita?
Dio menuruni tangga. Matanya memperluas jangkauan. Tak
ada. Gadis itu tak ada di situ. Dio berlari, tetap mencari. Tepat di
posisi dia melihat Nana tadi, gadis itu berdiri kaku. Tangannya
terjatuh di sampingnya. Dio menyipit, ada sesuatu yang keluar
dari tangan kiri Nana. Ya ampun! Darah. Darah yang mengalir
deras.
11
11
11
120
121
122
R
INTIK hujan kembali menyapa kota ini. Merintik di
tengah belantara kemarau panjang yang enggan
beranjak. Rintik hujan meniupkan kesejukan di dunia
yang jarang terasa akhir-akhir itu.
Nana merasa ada yang aneh pada hujan kali ini. Awannya
terlihat begitu muram, walau tak henti-hentinya menumpahkan
air.
”Selalu ada beban yang ditanggung sendiri.”
Nana mengerjap, terbangun dari lamunan panjang. Dio
mengklakson mobil di depannya, memintanya beranjak.
Jakarta, biasalah macet. Apalagi jam pulang kantor seperti itu,
jalanannya bisa lebih penuh daripada pasir di pantai.
”Kalau gini bisa kejebak dua sampai tiga jam nih,” gerutu Dio
kesal.
123
124
125
126
12
”Na...”
Nana menoleh ke arah Karisa. ”Apa?”
”Kenapa berhenti?”
Nana menggeleng. Dia harus mengatur semuanya agar tidak
runyam. Jangan sampai melibatkan teman-teman dekatnya.
12
12
Dio melirik Nana sekilas. Rasa bosan mulai mekar dalam dirinya.
Bagaimana tidak? Sejak setengah jam lalu Dio hanya berdiam
diri sambil duduk manis di samping Nana yang membaca buku.
Dio sempat melirik judulnya tadi. Itu semcacam buku untuk peng-
usaha, berbahasa Inggris.
Dio tersenyum saat mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bisa
membuat Nana mengalihkan perhatian padanya. Ia memiringkan
posisi duduknya, kemudian memajukan badannya, menatap wajah
Nana yang sedang serius. Lama sekali Dio menahan badan sampai
Nana mengalihkan perhatian padanya.
Nana menoleh pada Dio. Jantungnya berdebar keras saat Dio
berada di posisi itu. Tadi dia memang meminta Dio menemaninya
ke taman. Pemuda itu mengangguk saja tanpa tahu diajak Nana
ke taman belakang sekolah untuk menemaninya baca buku.
”Apa sih, Yo?” tanya Nana ketus. Ia menunduk, pura-pura mem-
baca buku saat menyadari pipinya merona.
”Nggak enak banget sih dianggurin,” ucap Dio lantang dengan
nada menyedihkan, seolah membuat diri terlihat semakin mem-
prihatinkan. Dia mengembalikan posisi badannya ke semula, duduk
di samping Nana.
Nana menatap Dio sekilas. Perasaan bersalah mulai menyapa.
Terlebih melihat Dio memasang tampang pilu. Sepertinya pemuda
itu terjebak di dalam lubang hitam yang sangat lama. ”Aku kan
lagi baca,” jawab Nana pelan, mencoba memberi pengertian.
Saat itu jam kosong. Siapa juga yang tak mau memanfaatkan
jam kosong? Nana memanfaatkannya dengan membaca, demi
mendalami perusahaan keluarga papanya.
Dio membelalak. Apa tadi?! Aku? Sejak kapan Nana memakai
130
131
132
133
Sender: Dio
Already in parking area.
134
135
136
13
S
ENGATAN udara Jakarta membuat Nana ingin mandi.
Benar, ozon atmosfer menipis, apalagi setelah dia mera-
sakan sinar matahari yang menyengat jaraknya hanya
sejengkal.
Nana mengeluarkan buku tulis merah, kemudian mengipas-
ngipaskannya tepat di depan muka. Dia menunggu Dio sejak satu
jam lalu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang
hidungnya.
Huh!
Sejak kapan Nana sering mengomel seperti itu?
Nana menoleh ke kiri saat mendengar suara mesin mobil melaju
ke arahnya. Dia hafal suara mesin itu sehingga tanpa menoleh
pun perkiraannya tepat seratus persen. Di sekolah itu memang
hanya Dio yang memiliki mobil Audy.
13
13
140
141
142
143
144
145
146
Aga mulai gelisah saat Dio dan Nana belum juga tampak di
sekolah. Kemarin keduanya bolos bersama. Sekarang mereka akan
bolos lagi? Aga benar-benar tak habis pikir. Sebenarnya ada
hubungan apa di antara mereka berdua?
”Mereka ke mana sih? Lima menit lagi bel nih,” ucap Karisa yang
juga gelisah menunggu Nana. Dia takut temannya itu kenapa-napa
lagi.
”Nana nggak apa-apa, Sa. Jangan parno deh,” ucap Stevan yang
duduk di depannya menenangkan. Dia mengusap pelan tangan
Karisa, mau tak mau menimbulkan senyuman di wajah Karisa.
Aga menyenggol bahu Nathan saat melihat pemandangan di
depannya. Nathan hanya tertawa, kemudian membisikkan sesuatu
kepada Aga. Mereka berbisik-bisik satu sama lain.
Stevan yang mendapati pemandangan itu langsung melempar
tatapan tajam kepada dua temannya. Dia menjauhkan diri dari
Karisa, kemudian menghampiri dua temannya. ”Lo berdua lagi
ngomongin apa?”
Nathan dan Aga langsung bungkam begitu mendapati Stevan
di depan mereka. Keduanya spontan terkikik geli. ”Lo sama Karisa
jadian setelah nge-date kemarin, kan?” tebak Nathan seketika.
Stevan baru saja akan membuka mulut, tapi suara Karisa keburu
memenuhi pendengarannya.
”Nana!” teriak gadis itu.
14
14
Dan setelah itu Dio tak mengajak Nana bicara sepanjang perja-
lanan. Bukankah dia yang salah? Dio sendiri yang memberikan
gelar tak diinginkan kepada Nana. Lalu kenapa pula dia yang
marah?
Nana hanya memandang datar ke arah Dio, kemudian kembali
memandang Karisa.
”Yakin lo nggak ke mana-mana sama Dio?”
Nana menggeleng. ”Lo sendiri… ke mana aja sama Stevan kema-
rin?” balas Nana, yang spontan membuat wajah Karisa memerah
karena malu. ”Kenapa kalian belum masuk kelas?” ucap Nana
mengalihkan pembicaraan.
Karisa mencelos. ”Nungguin kalian lah!”
Nana kaget. ”Lo kenapa, Sa?”
Karisa menggeleng. ”Nggak apa-apa.”
Terlihat Aga yang melambaikan tangan ke arah mereka, menyu-
ruh mendekat.
Karisa langsung mengangguk, kemudian menarik tangan Nana
agar berjalan karena bel sudah berbunyi.
Stevan dan Karisa terlihat asyik berbicara berdua sepanjang
perjalanan ke kelas. Aga, Dio, dan Nathan entah membicarakan
apa, sampai-sampai mereka meninggalkan Nana berjalan sendiri-
an.
Saat Nana akan masuk ke kelas...
Byuuur...
Nana segera menyingkir dari air yang mendadak tumpah di
14
150
”
A
PA?!”
Oom Ben geram saat melihat bagian tangan kiri
Nana yang tak tertutup perban masih kemerahan.
Itu karena cipratan air panas yang tadi disiramkan
seseorang.
”Kurang ajar!” Oom Ben marah sekaligus tak tega keponakannya
menjadi korban. Mereka harus bertindak cepat. Mereka perlu
segera menyusun strategi untuk menghancurkan mantan keluarga
Nana.
”Seharusnya kamu langsung memberitahu Oom, Nana!”
Rencana paling baru tersusun dalam otak Nana. Ya, dia masih
ingat soal undangan dengan nama perusahaan Namajaya.
Oom Ben memandang Nana tak mengerti. Gadis itu fokus pada
pikirannya sendiri. Tapi ia tak akan mengganggu Nana. Gadis itu
151
152
Dio menatap ragu ke arah Nana. Sejak kemarin dia belum bertegur
sapa dengan Nana, walaupun mereka pulang bersama. Kemarin,
saat menjemput Nana dari kantor, gadis itu diam seribu bahasa.
Bahkan saat turun dari mobil Dio pun, Nana membuka pintu de-
ngan cepat lalu berjalan begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah
kata.
Dan di sekolah ada saja alasan yang membuat Dio kesal. Kenapa
parkir harus dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari kelas
mereka? Membuat dia dan Nana harus lebih lama berjalan dalam
diam. Dio tidak tahu apa yang dipikirkan Nana.
153
154
155
156
15
15
15
160
161
162
163
D
IO menatap wajah Nana yang ketiduran di ruangan
Bos Ben. Seperti biasa dia menjemput gadis itu di
kantor setelah lewat jam sembilan malam. Tadi Bos
Ben mengatakan untuk langsung saja ke ruangannya
karena Nana ketiduran, sedangkan dia sendiri masih ada urusan
lain di ruang kerja anak buahnya.
Wajah Nana yang tertidur menyiratkan rasa lelah. Dio sadar
Nana memang banyak pikiran. Jadwalnya menemui Oom Ben di
perusahaan diperketat sehingga Nana baru keluar dari kantor
tersebut setelah jam sepuluh malam. Tentu saja, dia selalu mene-
mani Nana.
Kedekatannya dengan Nana membuat Dio penasaran dengan
apa yang sebenarnya direncanakan Bos Ben bersama keponakannya
itu. Bukankah mempelajari perusahaan bisa pelan-pelan dan nanti?
Tapi kedua orang itu terlihat terburu-buru.
164
165
166
Sender: Acha
Aku udh pulang. Skrg lagi di kelas. Nnti ketemu di lapangan
basket indoor. Miss You :*
16
16
Sender: Acha
Km di mana?
16
10
11
12
13
14
15
16
”
N
ANA!”
Nana kaget setengah mati. Suara nyaring Karisa
menggema di ruangan, membuat anak sekelas
menengok ke arahnya. Nana mengangkat wajah-
nya yang menunduk, lalu memaksa tersenyum.
Nana mendapati Dio di pojok ruangan. Tadi pagi dia tak
dijemput pemuda itu. Dia beralasan menggunakan mobilnya mulai
hari itu sehingga Dio tak perlu repot-repot lagi menjemputnya
setiap hari.
Oom Ben sempat mengompres pipi Nana yang sekarang tampak
lebam. Nana harus memperketat pengawasan pada Livia, tak boleh
lengah pada keluarga Natara.
”Lo habis ditonjok siapa?” Calvin, ketua kelas, bertanya dari
ujung sana.
1
1
1
10
11
12
13
Livia.natara@ymail.com
Na… aku baru aja kencan sama seseorang. Duh, Na, dia baik
bgt. Km tahu nggak, tadi dia nembak aku, trus aku bilang aja
iya. Aku seneng bgt. Km kapan punya cowok bule di sana?
7 Agustus 2009
14
2 Feb 2010
Bunga dipukul lagi. Aku nggak tega, tapi kesel juga. Kenapa
Bunga mecahin pajangan kuda yang dia kasih? :’(
Astaga! Nana meremas kertas diary itu. Lagi? Jadi adiknya ting-
gal di sana dengan siksaan? Nana bergidik, muak pada keluarga
Natara.
Nana mengamati tulisan terakhir Livia. Tak tertulis kapan tanggal
pastinya, namun ada namanya, setelah cacian yang ditumpahkan
kepadanya di lembar sebelumnya.
15
Livia tak bisa menahan rasa terkejut saat melihat Nana bersandar
di mobil. Nana mengenakan blazer hitam dengan rok selutut.
Nana tersenyum sinis pada Livia, membuat gadis itu terpaku di
16
1
1
N
ANA tersenyum kecil, memori di kepalanya memutar
kejadian kemarin. Dia tak menyangka semuanya akan
berjalan dengan baik dan secepat itu. Sambutan yang
mereka berikan berhasil membuat syok keluarga
Natara.
”Lagi seneng ya?”
Nana menggeleng spontan, melihat Dio melahap es krim
cokelat. Nana terkikik geli saat melihat sisa es krim di sudut bibir
Dio, yang tak disadari pemuda tersebut.
”Kenapa ketawa?” ucap Dio, merasa Nana merahasiakan se-
suatu.
Nana mengulurkan tangan, mengusap es krim tersebut pelan.
”Makannya jangan kayak anak kecil dong, Yo,” ucap Nana setengah
berbisik.
1
10
Nana menatap cuek pada Acha yang menanti di luar kelas. Se-
pertinya gadis itu tengah menunggu Dio pulang. Lalu dia meng-
alihkan pandangan ke arah Dio. Tampaknya pemuda itu belum
menyadari kehadiran Acha.
Bu Hanni yang mengajar fisika segera meninggalkan kelas
begitu bel berbunyi. Kelas menjadi riuh seketika saat para siswa
bergegas keluar kelas.
Nana memandang Stevan yang langsung menuju tempat Karisa,
membisikkan sesuatu sehingga membuat tawa Karisa pecah.
Keduanya tertawa bersama. Nathan dan Aga menyusul Stevan.
Mereka seperti membicarakan sesuatu, yang entah kenapa Nana
tak berminat mencari tahu.
Karisa menghampiri Nana, menarik tangannya agar berdiri,
kemudian berkata, ”Lo nggak ada acara kan sekarang? Ikut nonton
yuk,” ajaknya dengan wajah ceria.
”Bukannya lo mau kencan? Kenapa nontonnya rame-rame?”
tanya Nana.
”Siapa yang kencan? Ayolah, Na, mumpung Aga dapat golden
ticket,” ujar Karisa menarik-narik baju Nana pada bagian bahu,
persis anak kecil yang minta dibelikan boneka.
11
12
13
14
15
16
1
1
1
200
N
ANA berjalan menyusuri koridor sekolah. Kepalanya
ditundukkan, rambutnya yang dibiarkan tergerai
menutupi wajah. Hari ini dia tak punya secuil pun
keinginan untuk sekolah. Lebih tepatnya, bertemu
objek yang ada di sana.
Nana mendengus, mulai gila rasanya. Bisa-bisanya dia mem-
biarkan Dio mengacak-acak hidupnya? Dia terlalu dalam jatuh ke
pelukan Dio hingga sulit melepaskannya, walau sedetik saja.
Langkah Nana terhenti saat melihat pemandangan tak asing di
depannya. Ia menghela napas lagi, mencoba menahan gejolak
ingin mencakar rambut perempuan di samping cowoknya itu.
Cowoknya?
Nana bahkan tidak tahu dari kapan dia memproklamirkan bahwa
Dio miliknya. Sudah beberapa hari Dio tak menjemputnya ke
201
***
202
203
204
205
206
20
20
***
20
210
211
212
”
H
APPY birthday to you... happy birthday to you...
happy birthday... happy birthday... happy birthday
to you!”
Ketujuh remaja itu segera bernyanyi saat Oom
Ben memasuki vila. Nana membawakan kue kepada Oom Ben
dengan tersenyum. Oom Ben benar-benar kaget, tapi tampak
semringah. Dia menatap Nana, menyelidik. Seingatnya tadi Nana
mengatakan bahwa dia izin ke Puncak untuk mengambil sesuatu
yang berhubungan dengan rencana mereka sehingga Oom Ben
setuju saja saat Nana memintanya menjemput di vila yang dia
sebutkan sepulang kantor.
Oom Ben meniup lilin dengan cepat, kemudian kembali menatap
Nana. ”Sudah pandai berbohong sama Oom, Nana?”
Nana tersenyum miring, menatap Aga, Nathan, Stevan, dan Dio
213
Dio melirik Nana yang terlihat asyik menonton Oom Ben dan
Nathan bermain Play Station. Rasa bersalah dan rindu muncul
saat dia menatap gadis itu. Dio tak tahu apa yang terjadi pada
dirinya, merasa sulit memilih dan terus tersakiti.
Acha kembali datang dan menyuguhkan rasa yang sama
kepadanya. Dia memang merindukan gadis itu, merindukan segala
perhatian yang pernah Acha berikan, merindukan saat-saat mereka
214
215
216
21
21
21
220
221
222
223
224
225
226
A
DA yang berbeda antara hari itu dan kemarin. Nana
menyadari betul perubahan itu. Dia lebih memilih diam
daripada bicara, dia lebih banyak menghela napas
daripada menghirup udara segar. Terjadinya setelah
mereka pulang ke rumah masing-masing dari Puncak.
Nana tahu penyebab dunianya terbalik seperti itu. Tidak,
dunianya tak terbalik, hanya kembali seperti dulu. Saat hanya ada
dia dengan kesendiriannya, saat dia merasa tak membutuhkan
siapa pun di dunia.
Sebetulnya Nana menyukai kebersamaan sehingga saat dia
memilih menyendiri, kekosongan begitu terasa.
Nana sudah tak sama lagi. Dia menghindari acara bersama Dio,
Nathan, Aga, Stevan, dan Karisa. Alasannya? Tentu saja karena ada
Acha di antara mereka. Nana menghindar. Dia selalu punya alasan
untuk tak bepergian bersama atau sekadar berkumpul.
22
22
22
230
To: Livia.natara@ymail.com
Taman belakang sekolah.
From: Livia.natara@ymail.com
What?
231
232
233
Saat Nana tiba, Oom Ben baru masuk ruangannya. Lelaki itu baru
saja selesai meeting.
”Mood kamu sedang baik?”
Nana mengangguk semangat. Tentu saja, dia baru mendapatkan
kepuasan dari kekecewaan Livia.
Nana memandang bingung pada kliping yang dibawa Oom
Ben. Dia mengambil dengan cepat kliping berbentuk buku
tersebut, membukanya hati-hati dan perlahan.
Juni 2004
Kelana Group mengalami kebangkrutan dan menghilang
dari dunia bisnis. Selepas meninggalnya Direktur Utama.....
234
235
236
23
”
N
ANA.”
Nana mengalihkan pandangan, terlihat Karisa
dan Stevan berlari menyusulnya. Mereka kewalah-
an mengikuti Nana yang berjalan cepat ke ke-
las.
Nana mengangkat alis, tak mengerti. Ada apa mereka memang-
gilnya? Apa ada sesuatu yang penting?
”Ke mana aja sih lo, Na?”
Nana menggeleng. Dua hari itu dia memang sibuk membereskan
kasus keluarganya bersama Oom Ben sehingga tak sekolah. Lagi
pula, tak ada yang perlu dikejarnya di sekolah. Tak ada hal penting
yang mampu mengalihkan perhatiannya di sekolah, beda dengan
dulu. Datang kesekolah hanya menyakiti hatinya.
Nana menggandeng Karisa, menarik gadis itu agar berjalan
23
23
Aga mengetuk pelan kepala Nana. Sejak tadi pemuda itu mengekori
Nana. Entah apa modusnya. Yang dia tahu dia risi diikuti Aga.
”Apa sih, Ga?” ucap Nana mulai kesal.
Aga tertawa, senang Nana sudah kembali seperti pertama kali
mereka bertemu di bandara.
”Inget nggak, dulu lo juga ketus gitu sama gue pas pertama
kali kenalan?”
Benar juga. Nana sadar banyak perubahan yang dia lalui. ”Ya,
terus?” ucap Nana akhirnya. Dia melambai kepada penjaga kantin
yang mengantar pesanan mereka. ”Makasih ya, Mbak,” ucap
Nana.
Mbak penjaga kantin itu tersenyum. Wajah ayu khas Jawa yang
dimiliki si Mbak mengingatkan Nana pada mamanya.
Nana mengikuti garis wajah Papa. Tidak terlalu lembut, tetapi
juga tidak terlalu keras.
”Lo ngapain aja sih dua hari ini?”
Nana memilih memasukkan bakso bulat-bulat ke mulutnya.
Setelah selesai menelan, baru dia menjawab pertanyaan Aga.
”Liburan,” ujarnya asal.
Aga terpana, tahu dibohongi. Jelas-jelas kemarin Oom Ben
bilang bahwa dia sibuk bolak-balik ke kantor polisi untuk mengurus
hal penting.
240
241
242
”Na, gue, Stevan, dan Nathan duluan ke lab fisika, ya.” Karisa
berpamitan dari arah pintu. Ketika mendapat anggukan Nana,
ketiganya langsung menghilang dari kelas.
Nana menatap sekeliling. Teman sekelasnya memang selalu
begitu, meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Alhasil, Nana yang
suka bermalas-malasan membereskan barang-barangnya selalu
ketinggalan.
Nana mengerjap saat Aga menepuk pundaknya. Pemuda itu
tersenyum sambil mengacak rambut belakangnya.
”Ada apa?” tanya Nana dingin.
243
244
245
246
”Livia?!”
Nana hampir berteriak saat mendapati Livia duduk manis di
ruang tamunya. Gadis itu terlihat begitu kurus. Mungkin karena
tidak makan beberapa hari atau menahan beban, entahlah. Nana
tak peduli. Livia mati pun, dia tidak peduli.
”Ngapain lo ke sini?” sapa Nana ketus, menyilangkan tangan di
depan dada, memandang Livia tajam, seolah ingin menikamnya.
”Berani-beraninya ya lo masuk ke kandang singa. Ckckck...” Nana
mendekati Livia.
Livia menahan napas, memberanikan diri menatap Nana. Dia
melihat sorot kebencian yang mendalam di wajah Nana,
mengingatkannya pada apa yang dia lakukan setahun lalu.
Livia menunduk sambil memainkan jemari. ”Gue… minta maaf,
Na.”
”Untuk?”
Livia menarik napas panjang, benar-benar menunduk, tak mau
memperlihatkan matanya yang memerah. ”Untuk kesalahan Papa,
24
24
24
N
ANA menatap tubuh Livia yang terbaring lemah di
rumah sakit. Mata Livia tertutup, tubuhnya lemah.
Selang infus yang mengalirkan zat bergizi menancap
di tangannya. Kepalanya diperban, lutut dan beberapa
bagian kakinya penuh olesan Betadine karena luka terkena ser-
pihan kaca.
Sedikit pun Nana tak merasa kejadian yang menimpa Livia
sebagai kesalahannya. Dia membenci Livia dan keluarganya.
Itu karma, ucap Nana memantapkan diri. Keluarga Livia mem-
perlakukan keluarga Nana dengan buruk. Dia tak akan pernah
memaafkan mereka.
Nana menoleh saat pintu kamar Livia terbuka. Oom Ben masuk
membawa makanan.
”Aku nggak bermaksud nungguin dia,” ucap Nana melirik ke
Livia.
250
Itu hari kedua Nana berada di rumah sakit. Kata dokter, depresi
dan sedikit makan selama berhari-hari memperlemah tubuh
sehingga Livia tak bisa bangun secepat yang diperkirakan. Benturan
keras di pelipis juga memengaruhi kesadarannya.
Nana berdiri. Saat dia mau membuka pintu kamar, pintu terse-
but lebih dulu terbuka.
”Aga?”
251
252
253
254
255
256
25
25
25
260
M
AMA sudah sadar.
Hanya kata itu yang terngiang di telinga Nana.
Nana sudah memberitahu Oom Ben, memberi ka-
bar bahagia itu kepada orang yang selama ini
terlalu berjasa untuknya. Oom Ben turut senang, langsung mem-
bolehkan Nana ke Bali.
Bahkan saat mengambil beberapa baju dan memasukkannya
ke tas, Nana sampai tak menyadari ada orang yang memperha-
tikannya dari luar kamar.
Setelah semuanya beres, Nana segera berjalan menuju pintu
kamar. Dia diberitahu Oom Ben, pesawat akan lepas landas tepat
dua jam lagi sehingga dia tak harus menunggu penerbangan
selanjutnya.
Nana kaget menyadari Dio berada di depannya. Tatapan
261
262
263
264
265
266
26
26
26
20
21
L
IVIA terbangun karena mendengar decitan pintu. Suster
masuk membawa sarapan. Selalu seperti itu. Setiap hari
suster mengantarkan makanan sambil tersenyum.
Livia membalas senyuman itu dengan canggung.
”Makasih ya, Sus,” ucapnya ramah.
Suster itu mengangguk dan memberesi tempat tidur Livia.
”Cowok yang tiap hari datang ke sini, pacarmu?”
Wajah Livia memerah seketika. Aga memang setiap hari datang
menemaninya, sejak pulang sekolah sampai Livia tidur, bahkan
hari Minggu Aga sudah ada di situ sebelum Livia bangun.
Terkadang Aga mengajak teman-teman, seperti Nathan, Karisa,
dan Stevan. Dio yang dikenalnya sebagai pacar Acha juga turut
menemani.
Sudah jam sebelas siang. Livia ingin segera pulang. Pulang?
22
23
24
25
26
Nana duduk selonjor, baru saja pulang dari rumah sakit mengantar
Mama terapi jalan. Mamanya mulai bisa bicara, tapi masih susah
bergerak.
Nana bangkit. Langit tampak jingga bercampur merah, menan-
dakan matahari mencapai tempat peristirahatannya.
Nana memandang ke barat, berharap segera ada bintang yang
berkerlap-kerlip di sana. Angin yang sepoi membuatnya tertidur.
Saat mata Nana menutup, bayangan tentang kejadian di Jakarta
muncul di pikirannya. Mulai sejak saat bertemu Aga, Nathan, dan
Stevan di bandara, bertemu Dio di sekolah, bunuh diri, dan...
Nana membuka mata. Bayangan itu menghilang seketika. Dia
2
2
2
20
21
L
IVIA memantapkan hati pada pilihannya. Saat itu dia
berada di Bandara Soekarno-Hatta. Keberangkatannya
bukan tanpa alasan, melainkan karena dia ingin mem-
balas utang budi.
Livia tahu utang budi tak bisa dibalas. Dia hanya ingin hidupnya
tenteram. Dia melangkah ke pesawat saat terdengar panggilan
beberapa kali dari petugas bandara. Itu pun hanya menenteng
satu tas sedang berisi baju, dia takut salah alamat.
To: Aga
Aga aku prg dulu ya. See you.
22
23
24
25
26
2
2
2
20
21
22
23
N
ANA memasuki lift tergesa-gesa. Bot putih melekat
di kakinya. Udara musim gugur mulai menyapa wila-
yah itu. Dia menekan tombol 15, lalu menggosok-
gosokkan tangan, lupa mengenakan sarung tangan
dan syal.
Nana menekan password untuk masuk ke apartemennya, kemu-
dian dengan cepat menanggalkan sepatu, berjalan menuju kamar
yang berada di kiri pintu masuk.
”Na, lo nggak bawa apa-apa? Huh. Padahal gue kelaparan.”
Nana berdecak menanggapi suara itu. Suara lantang Livia yang
sedang menikmati acara di televisi, entah telenovela atau drama,
tapi terlihat artis yang menangis-nangis.
”Beli sendiri di depan nggak bisa ya?” tanya Nana ketus, kemu-
dian menutup pintu kamar.
24
25
Ting tong!
Nana membuka mata perlahan. Bel apartemen berbunyi nyaring
sejak tadi. Mengganggu tidur saja, sungut Nana dalam hati.
Nana mengenakan sandal, kemudian membuka pintu kamar.
Apartemen itu mempunyai dua kamar, satu kamarnya dan satu
lagi kamar Livia. Selain itu terdapat ruang santai, dapur, serta kamar
mandi.
”Viaaa... lo buka pintu deh,” teriak Nana.
”Na, gue lagi mandi,” balas Livia berteriak dari kamar mandi.
Nana berjalan ogah-ogahan. Menuju wastafel untuk membasuh
wajah, kemudian merapikan kuciran rambut sambil berjalan menuju
pintu. Begitu membuka pintu, dia spontan terbelalak.
”SURPRISEEE!”
Nana melongo. Mengerjap beberapa kali, meyakinkan dirinya
bahwa dia sudah benar-benar bangun dan berada dalam kenya-
taan.
”Aihh... Nana, lo makin cantik aja!” jerit Karisa langsung memeluk
Nana dengan erat. Di belakang Karisa menanti giliran dengan
tersenyum lebar adalah Aga, Nathan, dan Stevan.
”Bisa-bisanya kalian ke sini tanpa ngabarin gue!” protes Nana
dengan senyum lebar. Tentu saja dia kaget dengan kedatangan
26
2
2
2
300
301
302
Violita
Sering hanyut dalam tulisan-tulisan orang lain maupun tulisannya
sendiri. Seorang gadis yang akan beranjak pada fase dewasa
sesungguhnya. Menurutnya, senja merupakan lukisan terindah
alam. Selain menulis, kesibukannya adalah menuntut ilmu di salah
satu universitas negeri.
303
Not
VIOLITA
Ketika disuruh menjemput keponakan Oom Ben di
bandara, Dio, Aga, Nathan, dan Stevan nggak pernah
Until
mengira bakal berkenalan dengan cewek superdingin
seperti Nana. Meski mereka berempat dikenal sebagai
cowok idola di sekolah, ternyata reputasi itu sama sekali
nggak berpengaruh terhadap Nana.
Sikap dingin Nana sempat membuat Dio kesal. Aga
juga semakin penasaran pada cewek itu. Dan, ketika
Not Until
akhirnya masa lalu Nana terkuak, kedua cowok itu mulai
bersimpati dan menaruh hati pada Nana. Namun, siapa
yang berhasil mencairkan sikap dingin Nana dan merebut
hati gadis itu?
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramediapustakautama.com