***
Flowers | 1
PROLOG
Flowers | 2
Terdengar suara helaan napasnya sendiri. Kali ini, Keira
menggigit bibir, mencoba meredam kecemasan yang seakan
tak berujung.
Flowers | 3
berwarna hitam tersebut. Keira menunggu. Menunggu Aldric
mendekatinya, mengecup keningnya, atau sekadar senyuman.
Tapi, laki-laki itu justru sibuk melepaskan jas, kemudian
melonggarkan dasi.
Sekarang, jarak mereka tidak lebih dari lima puluh centi. Keira
bisa merasakan hangat kehadiran Aldric di depannya.
Flowers | 4
"Apa kau tidak akan melepas baju itu?" tanya Aldric. Keira
baru saja akan membalas, tapi laki-laki itu berkata, "Terserah
kau, mau melepasnya atau tidak." Sontak kalimat Aldric
membuat mata Keira menatap lurus ke arahnya.
Flowers | 5
BAB SATU
Flowers | 6
Seperti sebelum-sebelumnya, Sweet Kakao selalu ramai,
terutama ketika jam pulang sekolah tiba. Cangkir-cangkir berisi
minuman cokelat hangat dan tar cokelat terhidang di atas meja.
Pembeli yang kebanyakan merupakan remaja tertawa di sudut
ruangan. Sweet Kakao penuh dan ceria, membuat Keira merasa
nyaman berdiri di balik kasir.
"Kak Kei," lirih Kaira. Saat ini, Kaira dan Keira duduk di sofa
tamu di lantai atas. Ruangan khusus untuk Keira, Meira, dan
Lena menyambut tamu mereka. Tersirat jelas pada kedua mata
Kaira, bahwa ada sesuatu yang ingin ia utarakan.
Flowers | 7
"Tidak, Kak," sahut Kaira. "Kami baik-baik saja. Terlalu
baikbaik saja, malahan."
Flowers | 8
"Tidak seperti biasanya Yoga seperti itu. Kemarin malam, ia
terlihat berbeda. Ia terlihat ragu dan ..." kalimat Kaira tertahan,
"gugup."
Flowers | 9
Kali ini, Keira diam. Ia tidak tahu harus berkata apa pada adik
semata wayangnya itu. Bukan sekadar mengenai ia harus
dilangkahi, tetapi lebih dari itu.
***
Flowers | 10
yang menyatakan cinta padanya, dan mengapa sampai sekarang
Keira sama sekali belum bisa berpaling hati. Itu semua karena
ia masih menyimpan rasa pada kekasih adik kandungnya
sendiri.
"... dan kalau kau tak berkata apa pun pada Yoga, setidaknya
cari laki-laki lain. Move on, Kei! Move on!" lanjut Meira.
Flowers | 11
"Mei, sudah," sahut Lena. Perempuan berambut panjang itu
mulai angkat bicara ketika melihat wajah Keira yang mulai
enggan. "Lebih baik kau pulang, kita bicarakan masalah ini
besok. Kasihan suamimu sudah menunggu."
"Oke-oke."
Flowers | 12
"Kalau itu memang maumu, Kei. Kami tidak bisa berbuat
apaapa," ujar Meira. Setelah mengucapkan kalimat tersebut,
Meira berjalan menuruni tangga menemui suaminya yang
sudah menunggunya di kafe.
Keira tertawa kecil. "Aku baik-baik saja, Len. Kau tenang saja.
Aku perempuan hebat, ingat?"
***
Flowers | 13
yang menyergapnya, seakan ia salah masuk ke dalam rumah.
Seakan ia tak diinginkan di sini.
"Ini baru mau ganti baju, Kak." Adiknya itu beranjak dari sofa
dan pergi meninggalkan ruang tamu. Selanjutnya, ibunya
melakukan hal yang sama. Keira tahu, ada hal yang ingin
dibicarakan Yoga dengannya.
Flowers | 14
Keira tertawa. "Tentu saja, Bodoh," sahutnya. "Aku ini pintar,
ingat?" Yoga tertawa kecil mendengar kalimat Keira. Tawa itu
adalah tawa yang membuat Keira tergila-gila.
Flowers | 15
Yoga? Ah, dia anak orang kaya dan pekerjaannya juga cukup
bagus.
Flowers | 16
lakukan?" ucapnya tertahan. "Berapa lama kalian sanggup
untuk menunggu?"
"Kei ...."
"Kalian bisa menikah kapanpun kalian mau," Keira menelan
ludah, menarik kembali tangannya dari genggaman Yoga.
"Aku terangkan lagi, Ga. Aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh
bantuan kalian," ucapnya penuh amarah. "Menikahlah. Akan
kuhadapi masalahku sendiri. Oke?"
"Kei ...."
Flowers | 17
"Selamat malam, Ga."
***
Flowers | 18
BAB DUA
Pukul lima pagi Keira sudah terjaga dari tidurnya. Ibunya selalu
berkata, jika nanti ia sudah menikah, ia harus bisa bangun jauh
lebih pagi daripada mertuanya. Ia harus menanak nasi,
menyiapkan keperluan suaminya sebelum berangkat kerja.
Flowers | 19
Keira bukanlah gadis sembarangan. Di tahun kedua berada di
universitas, ia sudah menjadi ketua BEM dan tahun berikutnya
ia menyandang sebagai wakil presiden BEM Fakultas. Kala itu,
ia juga dikenal sebagai penulis yang memiliki nama. Novelnya
yang ketiga sudah dicetak kedua kalinya kala itu. Dan, tak
jarang teman laki-lakinya ingin menjadikannya kekasih.
Sayangnya, Keira hanya menyukai Yoga.
Dan, jika sekarang Aldric sama sekali tak terusik dengan paras
Keira, hal itu perlu dipertanyakan. Mungkin Aldric ternyata
memiliki kelainan atau karena selera yang dimiliki Aldric
cukup tinggi sehingga kehadiran Keira sama sekali tak
mengganggunya.
Flowers | 20
bawah. Bibir itu mengingatkan Keira akan bibir milik aktor
ternama Indonesia.
Flowers | 21
Ketika pesta pernikahan mereka kemarin. Aldric mencium
keningnya, sekadar keharusan. Kalau Keira boleh jujur, bibir
Aldric ketika menempel di dahinya terasa begitu hangat. Ia
merasa nyaman dengan ciuman singkat itu. Keira hampir lupa
jika ciuman tersebut sekadar ilusi.
Flowers | 22
Keira menggeleng keras. "Ah, tidak perlu. Saya berniat
menyiapkan sarapan untuk Al," ujarnya. Lalu, ia tertegun
ketika pembantu rumah tangga itu mengerutkan dahinya.
"Maksud saya, Mas Al." Keira lupa, Aldric adalah suaminya.
Sudah sepantasnya ia lebih sopan memanggil laki-laki itu,
terlebih lagi di depan orang lain. "Tapi, sepertinya anu ...."
"Apa tidak ada yang bisa saya bantu?" tawar Keira. Ia berharap,
ada rutinitas pagi hari sebelum ia berangkat ke kafe. Seperti
ketika ia di rumah. Menyiapkan sarapan untuk ibu dan Kaira.
Atau sekadar memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci.
Flowers | 23
Endah menggeleng pada Keira.
***
Flowers | 24
Aldric terbangun karena aroma cokelat di kamarnya. Aroma
tersebut begitu gurih, manis, dan menenangkan. Bila ia
menghidu aroma tersebut ialah di kantor dan meja makan.
Bukan di kamarnya.
Pakaian kantornya.
Flowers | 25
tercium di kamar tidurnya. Terlebih lagi aroma semacam
cokelat, kopi, bahkan teh.
Flowers | 26
seperti laki-laki pada umumnya. Terlebih lagi, melihat tubuh
Keira yang hanya terbalut kimono seperti itu. Tapi, jika ia tak
bisa mengontrolnya, akan ada yang tersakiti nantinya. "Padahal
aku suka sekali."
***
Flowers | 27
Ia merasa aneh saja, ada orang lain yang hadir di rumahnya,
selain Melisa. Perempuan yang ia cintai sekaligus yang
mengkhianatinya itu terlalu hafal dengan kebiasaan Aldric.
Melisa tahu, Aldric tidak suka minum cokelat panas di pagi
hari, tidak suka kamarnya tercium bau makanan maupun
minuman, tidak suka jika barang-barang miliknya disentuh
orang lain.
Dan, yang pasti Melisa tahu setelan kantor yang pas untuknya.
Flowers | 28
daripada mengenakan gaun pernikahan. Nalurinya sebagai
laki-laki terusik. Seandainya saja, semalam Keira tak terlihat
segugup itu, mungkin ia bisa saja tidur dengan perempuan itu.
Tapi, Keira gugup. Perempuan itu terlihat canggung dan
ketakutan.
***
Flowers | 29
BAB TIGA
Tidak apa jika Aldric bersikap dingin padanya tadi pagi. Sangat
wajar bagi laki-laki itu untuk bersikap demikian. Mereka belum
lama kenal. Pernikahan yang mereka jalani juga hanya karena
sebuah alasan yang tidak masuk akal. Terlebih lagi, pesta
pernikahan yang mengharuskan keduanya berdiri selama
berjam-jam.
Flowers | 30
"Nyonya, kamarnya sudah siap," Bi Endah datang menemui
Keira di kamar. Seperti yang dikatakan Aldric kemarin, ia akan
memiliki kamar sendiri. Mereka tidak akan tidur dalam satu
kamar. Keira sendiri menyambutnya dengan senang hati, itu
berarti ia punya privasi.
Flowers | 31
miliknya lebih kecil. Ia bisa tahu lantaran di kamarnya tidak
ada satu set sofa dan televisi seperti di kamar milik suaminya.
Flowers | 32
"Paling tidak, ada sesuatu yang kurindukan dari rumah ini
nantinya."
***
Flowers | 33
Nenek Aldric.
Flowers | 34
Kakak kedua Aldric, Aldo, memilih berada di Amerika dekat
dengan papanya.
Flowers | 35
Malam itu, ketika Aldric mengutarakan niatnya untuk menikahi
Melisa, Omi menghentikan kegiatan makan malamnya.
Neneknya itu memandang Aldric dengan tatapan kecewa
bercampur kemarahan. Terus terang, Aldric tidak mengerti
kenapa Omi bersikap seperti itu pada Melisa. Padahal, malam
itu, Aldric sekadar mengenalkan dan belum bercerita mengenai
latar belakang gadis itu.
Aldric sudah memiliki firasat bahwa ini tidak akan mudah, tapi
ia sama sekali tidak menyangka Omi akan langsung menentang
hubungan mereka.
Flowers | 36
Omi menyetujui pernikahannya dengan Keira, tanpa larangan
sedikit pun.
***
Flowers | 37
hangat. Tapi, tentu tak bisa menghangatkan hatinya. Entah apa
yang sudah ia lakukan, ia merasa begitu bodoh dan konyol.
Bisa-bisanya ia menikah dengan seseorang yang baru saja ia
kenal.
Flowers | 38
Tadi pagi, Bi Endah diminta Aldric untuk menyiapkan kamar
khusus Keira, tepat di depan kamar Aldric. Awalnya, ekspresi
Bi Endah seperti ingin menanyakan sesuatu, tapi Aldric
buruburu meminta Bi Endah mematuhi perintahnya. Dan,
sesuai permintaannya, Bi Endah menyiapkan kamar untuk
Keira.
Flowers | 39
Untuk kali pertama sejak Keira menginjakkan kaki di rumah
ini, perempuan itu tersenyum. Meskipun bukan untuk Aldric.
***
"Tidak mendadak. Omi kasih tahu siang tadi," jawab Aldric tak
acuh.
Flowers | 41
"Bersiap-siaplah," kata Aldric kemudian. "Tiga puluh menit
lagi, kita berangkat."
"Apa lagi?!" tanya Aldric dengan nada suara tinggi. Mau tak
mau membuat Keira mundur selangkah karena kaget. Kedua
mata Aldric yang awalnya melebar, melunak ketika melihat
wajah Keira yang ketakutan.
Flowers | 42
mata Aldric, ia mengangkat dagunya, menatap kedua mata
Aldric. Ia berusaha keras agar terlihat baik-baik saja.
***
Flowers | 43
BAB EMPAT
Flowers | 44
Aldric. Tapi, untuk sesaat ia merasa nyaman ada Omi di
antaranya dan Aldric.
"Omi ...."
Flowers | 45
"Kita bulan madu saja sekarang," sahut Keira. Ia tersenyum ke
arah Aldric. Omi dan Aldric melihat ke arahnya, tidak
mengerti. "Kita menginap di sini malam ini. Bukankah sama
saja dengan berbulan madu?" ucapnya pada Aldric. Lalu, ia
melihat ke arah Omi. "Boleh kan, Omi?"
***
Flowers | 46
dia laki-laki. Apa saja bisa terjadi malam ini. Kalaupun terjadi
apa-apa, lalu kenapa? Mereka suami istri. Demi Tuhan, apa
yang dipikirkan Keira tadi?
Flowers | 47
Laki-laki itu melangkah, mendekat. "Seperti malam kemarin,
terlihat jelas kau berpikir kita akan melakukan hubungan suami
istri," katanya. "Lalu, sekarang kau meminta untuk menginap
di sini. Yang itu artinya, kita akan tidur dalam satu ruangan
bahkan—"ia mengambil jeda. "—seranjang." Ia melihat ke
arah Keira, ia tahu, istrinya itu tegang. "Bukankah itu artinya
kau benar-benar ingin tidur denganku?"
Flowers | 48
Maka, Keira berkata, "Lagi pula, kita suami istri. Apa salahnya
tidur satu ruangan atau bahkan seranjang?"
***
Flowers | 49
"Lagi pula, kita suami istri. Apa salahnya tidur satu ruangan
atau bahkan seranjang?"
Flowers | 50
Ya, Aldric baru menyadari malam ini. Menyadari bahwa Keira
menarik. Tidak, tidak. Sejak awal Keira memang wanita yang
menarik. Jika tidak, kenapa ia memilih wanita ini.
***
Flowers | 51
Selama perjalanan pulang, mereka sama sekali tidak saling
bicara. Keira yang biasanya selalu punya bahan obrolan kini
memilih diam. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia
utarakan. Pagi tadi, ia mendapati Aldric tertidur di lantai
beralaskan seprai. Tubuh laki-laki itu melengkung, menahan
dingin. Melihat hal itu, Keira merasa kecewa. Entah untuk apa.
Dan, Aldric sukses merusak pagi Keira.
"Tentang?"
Flowers | 52
"Kita, tentu saja. Apalagi?" Keira menarik napas. "Ada yang
salah di sini."
Flowers | 53
kurasa. Anggap kita ini mitra kerja. Ya, kita sedang bekerja
sama di sini."
"Kita bisa belajar menjadi suami dan istri yang baik. Bukankah
menguntungkan bagi kita nantinya? Saat kita memiliki
pasangan masing-masing. Dengan begitu, segalanya akan
terlihat alami. Omi tidak akan curiga dan keluargaku tidak akan
pernah tahu mengenai pernikahan tidak sehat ini."
***
Flowers | 54
sama sekali tak berniat untuk naik ke salah satu bus, karena ia
membiarkan setiap bus yang berhenti kembali berjalan tanpa
membawa dirinya. Aldric baru menyadari bahwa Keira sedang
menangis. Perempuan itu terlihat begitu rapuh, seakan-akan
mudah sekali untuk merobohkannya dalam satu kali sentakan.
Ekspresi Keira saat itu sama seperti yang Aldric lihat ketika
pertemuan mereka selanjutnya. Sampai kemarin malam, dan
pagi ini.
Flowers | 55
Aldric membuka tutup bekal makanan yang sedari tadi hanya
ia lihat itu. Ketika tutup tersebut terbuka, hidungnya langsung
mencium aroma yang membuat perutnya berbunyi. Ah,
padahal masih pukul sepuluh pagi. Ia melihat potongan dadu
ikan tuna yang dibalut dengan tepung, nasi putih, dan saus
dengan bawang serta wortel tipis yang diletakkan Keira di
tempat tersendiri.
***
Flowers | 56
BAB LIMA
"Lena, anak satu ini sudah tidak perawan!" seru Meira pada
Lena. Mendengar kalimat itu, wajah Keira memanas.
Seharusnya apa yang ia rasakan adalah rasa malu, tapi ini justru
sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Meskipun
orang itu adalah Meira dan Lena.
Flowers | 58
kacamatanya, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Lain kali,
ya." Ia tersenyum lebar.
"Sekali-sekali kau harus coba tonton, Kei. Ah, kau pasti akan
ketagihan juga." Meira berkata sembari menata gelas-gelas di
kabinet, Lena hanya menggeleng pelan. Keira merangkul
pinggung Meira. "Hei, kau sudah punya suami, kenapa masih
manja seperti ini?"
Flowers | 59
Dan, hanya Keira dan Lena yang tahu. Orang yang baru kali
pertama mengenal Meira pasti akan sakit hati dibuatnya.
Terlalu ganjil.
***
Wanita itu harus patuh kepada sang suami, seperti ia telah patuh
kepada kedua orang tuanya. Seperti halnya ketika ia akan
keluar rumah, sewaktu sekolah menengah. Keira akan
berpamitan kepada orang tuanya, mengatakan ia akan pergi ke
mana, dengan siapa, dan kapan akan pulang. Seharusnya, itu
pula yang harus ia lakukan sekarang. Memberitahu Aldric.
Atau, seharusnya ia meminta suaminya itu mengantar ke
rumah.
Flowers | 61
sekali tak bisa menerka ke mana masa depannya melangkah.
Yang jelas, Keira tak ingin hidup bersama Aldric untuk
selamanya. Terlebih lagi, tanpa ikatan cinta.
Konyol, runtuknya.
***
Flowers | 63
Aldric melirik jam tangannya. Pukul tiga sore. Perutnya
keroncongan. Ia belum sempat makan siang. Jadwalnya padat
sekali. Baru saja ia keluar dari ruang meeting. Membahas
produk terbaru mereka yang sudah mendekati deadline rilis.
Kepalanya pusing setengah mati. Seakan ada sebuah peluru
yang bersemayam di sana.
Flowers | 64
"Apa yang kau bicarakan, Al?" Drupadi, kawan masa
kuliahnya, sekaligus sekretarisnya, menyahut. Aldric menoleh
ke asal suara, perempuan dengan perut buncit itu menautkan
kedua alisnya, menatap ke arahnya. "Kau mau menjemput
siapa? Istrimu?" Drupadi berjalan ke meja Aldric, meletakkan
beberapa dokumen. "Ini hasil meeting tadi."
"Tentu."
Flowers | 65
Drupadi mendengus. Ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Sebelum ia benar-benar pergi, Aldric memanggilnya. "Apa
setelah ini, aku masih ada jadwal?"
***
Flowers | 66
Namun, siapa sangka Aldric justru menemukan Keira sedang
berdiri di halte.
Flowers | 67
Keira turun di tepi jalan, berjalan kira-kira lima meter hingga
sampai sebuah gang menuju rumahnya. Untungnya, hujan
sudah reda sejak ia melewati Taman Bungkul tadi. Suara
cipratan air terdengar ketika kakinya menginjak aspal yang
mulai berlubang. Ia menyerahkan beberapa lembar uang
kepada sopir angkutan, dan segera berjalan ke pemukiman
rumahnya.
Flowers | 68
"Dia masih di kantor. Jadi, Kak Kei ke sini sendiri. Lagi pula,
tidak lama, kok. Ambil barang-barang saja."
"Mas, ada Kak Kei, nih," ujar Kaira. Saat itulah, Yoga
mendongak. Kerutan di wajahnya mengendur dan berubah
menjadi sebuah senyuman.
Flowers | 69
perasaan yang ia pendam. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Ia
terlalu lelah.
***
Flowers | 70
BAB ENAM
Flowers | 71
baru mengenal laki-laki mau menikah dengan laki-laki itu, dan
hendak memberikan segalanya. Aldric tahu benar, Keira masih
polos. Nampak dengan jelas dari gerak geriknya malam itu.
Perempuan itu belum tersentuh oleh laki-laki.
Flowers | 72
"Perempuan," gumannya, "selalu saja seenaknya sendiri."
***
Flowers | 73
kenapa, Keira merasa waktu berjalan begitu cepat dan lambat
dalam satu waktu.
Flowers | 74
menelan ludah. Hatinya bergetar hebat. Seandainya saja ibunya
tidak sedang memperhatikannya, mungkin sekarang ia akan
meneteskan air mata. Syal merah muda itu pemberian Yoga,
ketika mereka mendaki Gunung Bromo bersama.
Flowers | 75
"Keira pulang dulu, ya, Bu," pamitnya. Ibunya tertegun,
kemudian mengangguk. Keira keluar kamar dan di ruang tamu
ia melihat Yoga dan Kaira sedang tertawa-tawa.
"Yakin, nggak mau aku antar?" ujar Yoga. Keira tersenyum dan
mengangguk. Beberapa saat kemudian, terdengar deru motor.
Itu merupakan suara motor driver Go-Jek yang dipesan oleh
Keira.
Flowers | 76
rumahnya, Keira minta berhenti di depan sebuah warung.
Warung Soto Mi Bu Mimi, makanan kesukaan Keira sejak
kecil. Ia membeli dua bungkus Soto Mi. Tentu saja, satu
bungkus untuk suaminya.
***
Flowers | 77
Aldric muncul di depannya, dengan sebuah handuk melilit pada
tubuhnya. Wajah Keira memanas karena melihat tubuh bagian
atas Aldric tanpa busana. Lalu, ia menaikkan dagunya,
tersenyum sembari memamerkan tas plastik di tangannya.
Suaminya itu hanya diam. Keira sama sekali tak tahu apa yang
ada dalam pikirannya. Tapi, Keira berharap Aldric segera
merespon, karena ia sudah tak tahan jika terus dalam keadaan
seperti ini.
"Please, temani aku makan," pintanya. Kali ini saja, aku tidak
ingin makan sendiri malam ini.
Flowers | 78
Sampai dapur, Keira menghela napas panjang. Seumur
hidupnya, ia hanya melihat laki-laki bertelanjang dada pada
layar kaca. Dan, hari ini ia melihatnya secara langsung. Ah,
seperti itu rupanya dada laki-laki. Sangat bidang, sangat ...
Keira buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Ia harus bisa
menguasai dirinya.
Flowers | 79
itu semua dalam diam. Awalnya, Keira tertegun melihat yang
dilakukan oleh Aldric. Lalu, ia tersenyum, maklum.
"Dingin." Hanya itu jawaban Aldric. Ya, tentu saja kuah soto
itu sudah dingin. Keira membawanya di bawah hujan dan jarak
tempuh rumahnya ke rumah Aldric cukup jauh.
"Tidak perlu."
Flowers | 80
mereka sudah sepakat untuk bekerja sama, tapi bukan berarti
Aldric akan bersikap hangat dengannya.
***
Flowers | 81
Keira menghela napas panjang. "Astaga!" serunya, ia tertawa.
"Sejak kecil dia selalu mengikutiku ke mana-mana dan
sekarang coba lihat, dia akan menikah." Ada perasaan bahagia
sekaligus haru dalam hatinya. Dan mungkin, rasa cemburu.
Aldric tersenyum kecil, melihat hal itu.
Flowers | 82
"Kau menarik. Dan, aku percaya kau cukup pintar sebagai
seorang perempuan," sahut Aldric. Keira tak mengerti apa yang
akan dibicarakan Aldric. "Dan lagi, kau seorang penulis.
Flowers | 83
Keira tertawa sinis. Bisa-bisanya Aldric berkata demikian,
setelah ia mencerca Keira habis-habisan. "Ah, sudahlah. Kita
memang tak seharusnya mencampuri urusan pribadi
masingmasing." Keira memutuskan untuk menyudahi
perbincangan mereka. Bukan untuk ini ia mengajak Aldric
makan soto mi.
"Untuk apa?"
Flowers | 84
Tangan Keira berhenti membilas mangkuk. Ia segera berbalik,
dan berkata, "Maaf." Tapi Aldric telah berlalu. Entah ia
mendengarnya atau tidak.
***
Flowers | 85
BAB TUJUH
"Enak," begitu saja. Tanpa berkata apa pun, Keira tahu, Aldric
tidak mencicipi masakannya.
Flowers | 86
Keira menyendok sejumput nasi goreng dari atas teflon,
mencicipinya. Senyumnya merekah. Merasa bangga atas rasa
yang ia ciptakan sendiri.
"Serius!"
Mendengar pujian Bi Endah, Keira meloncat kegirangan. Lalu,
ia mematikan nyala api. "Bi, tolong masukkan ke dalam kotak
makan ya. Tapi, tunggu sampai agak dingin dulu," ujarnya.
"Saya mau siapkan pakaian Mas Al."
Flowers | 87
Sesampainya di depan kamar Aldric, seperti biasa, Keira
mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Seperti biasa pula, tidak ada
jawaban dari Aldric.
Inilah saat yang paling disukai oleh Keira. Memilih baju untuk
dikenakan oleh suaminya. Ada kebanggaan tersendiri, ketika
melihat Aldric memakai baju pilihannya.
Flowers | 88
mungkin mereka bisa bertahan, atau menjadi suami istri dalam
arti sebenarnya.
Flowers | 89
Jantungnya berdegup teramat cepat dan pipinya memanas.
Langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik oleh Aldric.
Keira menoleh," Ke... kenapa?" tanyanya, sedikit gugup.
***
"Bekal lagi?"
Flowers | 90
Menyadari telah kepergok, Aldric buru-buru menutup kotak
makan berwarna biru tersebut. "Bukan urusanmu," ujarnya
pada Drupadi. Bukannya menyesal, Drupadi justru terbahak.
"Ada lagi?"
"Sabtu ini, kau ada undangan dengan Pak Bari. Kau ingat?"
"Ya, tentu saja. Dia teman Omi, mana mungkin aku lupa."
Flowers | 91
Aldric menarik napas berat. Memikirkan apa yang telah ia
lakukan, benar-benar membuat kepalanya seakan mau pecah.
Ia memilih untuk kembali membuka kotak makan pemberian
Keira. Aroma nasi goreng ikan asin kembali menyeruak ke
dalam hidungnya. Makanan di depannya terlihat begitu
menggoda. Menerbitkan air liurnya.
***
Flowers | 92
Dia mendesah. Ah, iya dia sudah memiliki istri. Tentu saja,
istrinya menunggu di rumah. Itu kalau Keira memang
benarbenar istrinya.
Flowers | 93
Beberapa hari Keira selalu pulang kerja dengan basah kuyup.
Perempuan itu nekat menerobos hujan, demi sampai di rumah
sebelum Aldric sampai. Dan, dari kemarin malam Keira sudah
merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya.
Flowers | 94
"Kamu bisa bangun? Kita ke rumah sakit," ucap Aldric. Keira
menggeleng. Sangat lemah. Tanpa pikir panjang, Aldric
membuka selimut yang menutupi Keira, lalu ia menggendong
perempuan itu dengan kedua tangannya.
"Aku ...."
***
Flowers | 95
Sakit kepalanya semakin jadi, ketika siang tiba. Sampai-sampai
tubuhnya lemas. Keira hanya meminta Bi Endah obat pereda
sakit dan bubur. Usai itu, ia istirahat di kamar, sampai Aldric
masuk ke dalam kamarnya.
Flowers | 96
Aldric menghentikan mobilnya di depan rumah, mematikan
mesin mobil. Lalu, ia melirik ke arah Keira. Perempuan itu
sudah terlihat jauh lebih segar daripada sebelumnya. Jantung
Aldric berdegup kencang ketika melihat perempuan itu lemas
dan tak berdaya. Pikiran buruk menghantuinya seperti
kelelawar berterbangan dari dalam goa.
Dalam perjalanan selama tidak lebih dari lima menit itu, Keira
menahan napas. Sampai di ruang keluarga, Keira meminta
Aldric untuk duduk di sofa. Bukan karena Keira ingin
Flowers | 97
menonton televisi, tapi ia tak bisa terus-terusan merasakan
ketegangan ketika Aldric mendekapnya.
Flowers | 98
Aldric mendesah. Suhu tubuh Keira sudah jauh lebih baik. Ia
bisa sedikit bernapas lega. Ia melepaskan tangannya dari dahi
Keira, lalu duduk di sebelah istrinya.
Flowers | 99
Istrinya itu mengerjapkan mata berkali-kali. Bibirnya kelu. Ia
ingin mengatakan sesuatu, tapi begitu banyak pertanyaan
dalam kepalanya. Sampai tak satupun kata keluar dari bibirnya.
***
Flowers | 100
BAB DELAPAN
Flowers | 101
Nyatanya, Keira pulas sekali.
"Yakin?"
"Ya."
Flowers | 102
Aldric mengambil alih mangkuk dari tangan Keira, beserta
sendoknya. Lalu, ia mengambil sedikit dan mengulurkannya ke
arah mulut istrinya. Kedua mata Keira membulat, terkejut
dengan apa yang dilakukan oleh Aldric.
"Tentu saja, tidak," sahut Keira. "Kau pikir, aku tidak pernah
dekat dengan laki-laki? Aku pernah merasakan perhatian
seperti yang kau lakukan." Keira mengendikkan bahu
kanannya. "Ehm, Yoga sering begitu. Selalu." Lalu, pandangan
Flowers | 103
Keira membeku. Seakan ia melihat sesuatu yang membuat ia
lupa akan keberadaan Aldric. Dan, itu membuat Aldric
tersinggung.
***
Flowers | 104
Lelaki itu, meruntuki dirinya sendiri karena terusik dengan apa
yang diucapkan oleh Keira. Meskipun, perempuan itu
menyebut nama laki-laki yang akan menjadi suami adiknya,
tetap saja membuat Aldric terganggu.
***
Flowers | 105
rumah Pak Bari. Sebagian besar yang datang adalah relasi
kerja, kerabat, dan beberapa anak perusahaan dari perusahaan
milik Aldric.
Flowers | 106
Seharusnya, Aldric tak perlu mengagumi penampilan Keira
malam ini, karena malam-malam sebelumnya, Keira juga
pernah berias. Tapi, kali ini gaun yang dikenakan Keira adalah
pilihannya. Mau tak mau, membuat ego Aldric sedikit naik. Ia
merasa, bisa membuat wanita sederhana seperti Keira terlihat
memesona.
Flowers | 107
Aldric mendesah, wajahnya terlihat kesal. Lalu, ia berjalan
mendahului Keira.
***
"Cantik sekali," puji Bu Bari. "Maaf ya, kami tidak hadir ketika
kalian menikah. Waktu itu, kami masih di Tokyo."
"Rezka ulang tahun waktu itu. Jadi, kami ke sana mumpung ada
kesempatan," tambah Pak Bari. Rezka adalah cucu pertama
mereka. Pak Bari merangkul pinggang istrinya, mereka tertawa
bersama. Terlihat sangat bahagia. "Sebenarnya, kami berharap
Rezka di Indonesia saja. Tapi, yah, Leyla dan Ranu tidak
mengijinkan. Takut kangen, katanya," cerita Pak Bari.
Flowers | 108
saling lupa dengan satu sama lain. Sayangnya, ia justru terjebak
dalam pernikahan layaknya neraka yang ia buat sendiri.
Flowers | 109
mengakhiri pertemuannya dengan Yoga. "Apa kita ambil
hidangan saja, ya, Mas Al?" tanyanya, pada Aldric.
Flowers | 110
bertemu juga, Kei," ujarnya. "Aku selalu bertanya-tanya,
bagaimana rupa seorang perempuan yang mampu membuat
seorang Aldric tergila-gila."
Flowers | 111
"Seperti Kak Keira," sahut Kaira. Ia melihat ke arah kakaknya.
"Kak Keira selalu ceria dan banyak bicara," ia tertawa sendiri.
Aldric menoleh ke arah Keira. Mencari-cari keceriaan yang
diutarakan oleh Kaira.
Flowers | 112
menikah?" Seketika itu, Keira tahu, Aldric tahu. Ia menggigit
bibir bawahnya, memohon pada Aldric untuk
menghentikannya.
***
Flowers | 113
Kepalang basah bagi Keira untuk menyembunyikan ini dari
Aldric. Lelaki itu sudah tahu, entah apa yang membuat Aldric
begitu mengerti akan perasaannya terhadap Yoga.
"Kau ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Aldric. Ia tak tahu apa
yang ia lakukan. Tapi, rasa-rasanya, ia tak ingin membawa
Keira pulang dan mereka berpisah. Aldric yakin, Keira maupun
dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.
"Ke mana?"
***
Flowers | 114
BAB SEMBILAN
Flowers | 115
Perempuan itu menjejakkan kakinya, berjalan dengan kaki
telanjang, merasakan butir-butir pasir berwarna putih di
kakinya. Langkahnya cepat-cepat, lalu ia berdiri di samping
Aldric, melihat ke arah laut. Ia memejamkan mata.
Flowers | 117
"Tentu," jawab Keira, bersemangat. "Di rumah, selalu aku
yang masak. Ibu dan Kaira bilang, masakanku enak.
Sampaisampai, dia memintaku membuka katering saja,
daripada menulis novel." Keira tertawa lagi. Sejak tadi, Aldric
tak bisa memalingkan tatapannya dari wajah Keira.
"Ya?"
"Apa Yoga tahu mengenai perasaanmu?" ragu-ragu Aldric
bertanya. Ia takut Keira akan marah padanya, atau justru
membuat canggung di antara keduanya. Tapi, lagi-lagi ia
ingin tahu. Segala hal mengenai Keira, kini teramat menarik
perhatiannya.
Flowers | 118
"Tentu saja, tidak," lirihnya. "Kalaupun dia tahu, itu tidak
akan mengubah apa pun."
Flowers | 119
***
Flowers | 120
Keira tertawa kecil," Tenang. Aku baik-baik saja." Ia melirik
ke arah Aldric. Lelaki itu tengah mengiris bulatan bakso di
mangkuknya dengan rapi. Keira menautkan kedua alisnya. Ia
tak pernah menemui laki-laki yang mengiris bulatan bakso
serapi itu. Lelaki biasanya langsung menggigit bakso
bulatbulat.
"Apa?"
"Itu teh milikku," kata Aldric. Keira menautkan alisnya. Ia
melihat ke arah gelas di tangannya yang berisi teh yang
tinggal seperempat, lalu ke arah gelas yang berisi teh yang
masih penuh di depannya. Lalu, ia menyeringai.
"Maaf," kata Keira.
Flowers | 121
"Kau minta maaf pun, teh itu sudah habis," sahut Aldric, sinis.
Keira heran, kenapa lelaki itu suka sekali memperbesar
masalah sepele semacam ini.
"Tidak mau."
"Kenapa?"
Aldric meletakkan sendok dan garpunya pada sisi-sisi
mangkuk. "Karena kau sudah meminumnya."
"Lalu?"
Aldric mendesah. Umur Keira sudah tak bisa dibilang muda
lagi, tapi perempuan itu sama sekali tak mengerti aturan.
"Jelas, teh itu sudah terkontaminasi oleh air liurmu."
"Ciuman saja kita tidak pernah, kau minta ...." Kalimat Aldric
terhenti. Ia menelan ludah, memejamkan mata sebentar, lalu
kembali mengambil sendok dan garpunya. Ia melanjutkan
sarapannya dan berpura-pura tak pernah mengatakan kalimat
Flowers | 122
yang baru saja ia ucapkan. Wajahnya memanas. Sial, dia
mengumpat dalam hati.
Keira pun terdiam, ia berdeham pelan, lalu ia tertawa kecil.
"Aku jadi ingat ketika pergi dengan ibu ke pasar." Aldric
menengadah, perhatiannya kembali fokus ke arah Keira.
Flowers | 123
"Kau tahu, apa yang terjadi?" tanya Aldric kepada Keira,
seakan-akan perempuan itu mampu menebaknya. Keira
menggeleng. "Ternyata, itu bukan siomay, tapi tisu. Entah
kenapa, waktu itu tisu tersebut serupa dengan siomay."Aldric
mengakhiri ceritanya dengan tertawa. Keira langsung
tergelak mendengar cerita Aldric.
***
Flowers | 124
"Drupadi," jawab Aldric. "Ia mengingatkan, kalau besok ada
rapat jam sembilan pagi."
"Oh."
Angin bertiup, Keira membetulkan letak rambutnya yang
berantakan. Sesaat ia merasa gerah. Tentu saja, ia belum
mandi. Begitu juga dengan Aldric. Biasanya, lelaki itu menata
rambutnya dengan rapi, meskipun tidak klimis. Kini, rambut
Aldric berantakan, kemejanya keluar tak keruan. "Ehm,"
guman Keira. Ia ragu. Aldric melihat ke arahnya dengan alis
saling bertaut. "Drupadi. Sekretarismu."
"Kenapa dengan Dru?"
Flowers | 125
sudutsudut bibirnya. Merasa nyeri menusuk-nusuk hatinya.
Tapi, anehnya, kini ia merasa lega. Entah untuk apa.
Mungkin, karena ini kali pertama ia bisa terbuka mengenai
Melisa, atau mungkin ada perasaan nyaman ketika dekat
dengan Keira.
"Seperti yang kaubilang, kita bisa berbagi masa lalu, hari ini
dan mungkin esok. Siapa tahu,dengan begitu kita bisa saling
menyembuhkan."
***
Flowers | 126
BAB SEPULUH
Flowers | 127
"Kau butuh tidur, Al," ujar Keira, ketika Aldric mengutarakan
niatnya. "Aku nggak mau kau jatuh tertidur ketika menyetir.
Kau tahu sendiri, aku tidak bisa menggantikan posisimu."
Keira melanjutkan. "Kita istirahat barang sebentar di
penginapan, setelah itu kita bisa kembali ke Surabaya." Keira
benar. Ia butuh tidur. Mungkin sekitar dua atau empat jam,
sebelum mereka kembali ke Surabaya.
Flowers | 128
Aldric mengguyur tubuhnya dengan air mancur, berharap
penderitaannya akan segera berakhir.
***
Flowers | 129
Kalimat itulah yang membuat Keira mengiyakan tawaran
Aldric. Seakan-akan, Aldric menawarkan obat dari rasa sakit
hatinya. Seakan-akan, Aldric adalah jalan satu-satunya yang
bisa ia tempuh untuk menghadapi hari esok. Hari pernikahan
adiknya, Kaira.
Flowers | 130
Aldric. Keira bisa melihat otot-otot di perut laki-laki itu.
Tanpa sadar, Keira menggigit bibirnya.
***
Flowers | 131
"Kita sudah sampai," ucap Keira sembari tersenyum ke arah
Aldric. "Aku, tertidur lagi. Maaf."
Flowers | 133
"Selamat malam," ujar Aldric cepat. Kemudian, ia berbalik
dan masuk ke kamar.
***
Flowers | 134
apa yang dilakukan oleh seseorang yang awalnya hanya
sebagai pelariannya saja.
Flowers | 135
Kita sudah sepakat untuk berkencan. Kalau-kalau kau lupa
"Kau gila, Al," lirih Keira. Meskipun berkata demikian, ia
tetap tersenyum. Rasanya, otot-otot di sekitar bibirnya tak
bisa ia kontrol.
Keira membalas.
Aldric membalas.
Tidak. Kau bisa memilih apa yang akan kita tonton besok.
Flowers | 136
keberatan. Tak sewaktu-waktu Keira bisa merasakan
kesenangan seperti ini, sejak pernikahannya.
Ia membalas.
Tak perlu, kita bertemu di bioskop. Jam lima sore, Al. Jangan
sampai telat.
***
Flowers | 137
Ia geram sendiri, ketika melihat bayangannya di cermin.
Penampilannya tak ubahnya tadi pagi. Kemeja putih lengan
panjang dipadukan dengan jas warna merah marun dan celana
warna hitam. Ia menyesal tak membawa kaus saja tadi. Atau
ia perlu pergi ke toko membeli kaus?
Berlebihan.
Sangat membosankan.
Flowers | 138
"Lalu, kau mau ke mana?" ulang Drupadi.
"Apa?"
Aldric berdeham. "Penampilanku, tentu saja."
"Di bioskop."
Flowers | 139
"Jangan cepat marah seperti itu, Bos. Kau bisa cepat tua," kata
Drupadi. "Oke. Kau seperti om-om yang akan rapat. Sudah
kukatakan tadi," ia cekikikan.
Flowers | 140
kalau ia bisa memilih film sesuka hatinya. Maka, ia memilih
film tersebut karena jauh dari kesan romansa. Lagi pula, ia
pernah menonton versi pertama film tersebut.
***
Flowers | 141
BAB SEBELAS
Pagi itu, suasana kafe masih sunyi. Meira dan Lena belum
menampakkan batang hidung mereka. Papan bertuliskan open
belum dibaliknya. Sepagi itu, Keira membersihkan meja-
meja dan lantai. Mengecek bahan-bahan di dapur.
Flowers | 142
"Ada hal yang baik terjadi?" kali ini, Lena yang bertanya.
"Aku dan Al ...." Keira menghentikan kalimatnya. Ia hampir
saja mengatakan kalau akhirnya mereka berciuman. Demi
Tuhan! Mereka suami istri dan tak seharusnya sekadar
berciuman merupakan hal yang harus ia ceritakan dengan
sahabat mereka. Keira dan Aldric bukanlah sepasang kekasih
di mata kedua sahabatnya.
Flowers | 143
"Terus?" cerita Keira nampaknya tak mampu membuat
kerutan di dahi Meira mengendur. Ia menuntut lebih. "Ada
kejadian yang membuatmu bahagia, ketika di pantai?"
tanyanya, sinis. Begitulah Meira.
Flowers | 144
Mereka bertiga nonton film Now You See Me 2 , film yang
menceritakan mengenai The Horsemen pesulap yang terdiri
dari empat orang. Keira sudah pernah menonton bagian
pertama film tersebut, dan sekarang ketika kedua sahabatnya
mengajaknya untuk nonton, tentu ia mengiyakan. Apalagi
dalam film kedua ini akan ada Daniel Radcliffe salah satu
aktor kesayangannya.
"Beli satu aja kali, Mei," tegur Keira, ketika ia melihat Meira
memesan tiga pop corn ukuran besar. "Kebanyakan tauk."
"Udahlah, Kei. Kau lama-lama kayak ibu-ibu. Cerewet!"
sahut Meira cuek. Ia tetap membawa ketiga pop corn ukuran
besar dan Keira kebagian membawa cola.
Flowers | 145
Mereka duduk di baris kedua dari depan. Tempat duduk yang
banyak dihindari, karena akan membuat leher sakit kalau
lama-lama.
Flowers | 146
"Aku janji nonton dengan Al dan sekarang justru aku duduk
di sini," katanya. Panik. Ia segera meraih tasnya. "Aku duluan
ya. Maaf-maaf banget." Ia benar-benar panik. Keira melihat
ke arah smartphone-nya. Ia semakin panik karena jam sudah
menunjukkan pukul enam kurang. Ia sudah berkata pada
Aldric untuk datang jam lima dan nyatanya, ia yang sangat
terlambat.
***
Flowers | 147
Royal Plaza dan Tunjungan Plaza memakan waktu sekitar
tiga puluh menit, kalau tidak macet. Belum lagi ia harus
mencari-cari tempat bioskop di mal sebesar itu. Tentunya, ia
benar-benar memakan waktu.
Flowers | 148
Harapan Keira sirna, karena setelah menemukan pintu
bioskop, dan dia melihat Aldric sedang duduk termenung
dengan kedua siku di lututnya. Keira melihat tiket nonton di
ujung jari lelaki itu. Keira menelan ludah dan menghampiri
suaminya.
Flowers | 149
mengulurkan tangan kanannya, menyelipkan rambut Keira ke
belakang telinga.
Flowers | 150
Perasaannya membuncah. Ia semakin merasa bersalah. Ada
hal yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata, Aldric memilih
film Now You See Me 2. Sama dengan yang ia tonton dengan
Lena dan Meira tadi.
Flowers | 151
Mungkin sahabatnya itu mengkhawatirkannya. Di saat itulah,
tiket nonton yang dibagikan Lena tadi terjatuh, tepat di atas
sepatu Aldric. Keira belum menyadarinya.
Flowers | 152
"Kita pulang saja," ucap Aldric. Ia beranjak dari kursinya,
bergegas menuju pintu keluar, meninggalkan Keira. Tentu
saja Keira berusaha mengejar langkah kaki Aldric, tapi
keadaan bioskop benar-benar gelap. Ia susah menapaki
tangga-tangga itu. Tadi ia dibantu oleh Aldric, sekarang ia
harus mengeluarkan smartphone miliknya, mencoba mencari
cahaya.
Flowers | 153
diam, ia tak tahu harus berkata apalagi. Selama perjalanan
pulang pun mereka hanya saling diam.
Flowers | 154
Keira menyerah. Ia membiarkan Aldric melewatinya. Ia
hanya berharap, besok Aldric akan memaafkannya.
***
Flowers | 155
Buatkan dia teh atau apalah. Kesukaan dia. Rayu dikitlah,
Kei.
Sudahlah, kau tidur saja, Kei. Buatkan dia cokelat besok pagi.
Oke? Nite.
***
Flowers | 158
"Bawa keluar," perintah Aldric. "Apa kau lupa kalau aku
tidak suka bau cokelat ada dalam kamarku?"
"Aku ingat."
"Lalu?"
"Al, please. Jangan membuatku kebingungan seperti ini,"
mohon Keira.
***
Flowers | 160
"Rasanya lebih enak ini," ujar Aldric, enteng. Lalu ia
mengambil cangkir cokelat milik Keira. "Aku mau ini."
***
Flowers | 161
BAB DUA BELAS
Keira sadar, menjadi seorang istri tidak bisa serta merta pergi
ke manapun yang ia mau, tanpa persetujuan Aldric, suaminya.
Yah, meskipun pernikahan mereka jauh dari kata sempurna,
tetap saja Keira seorang istri.
Flowers | 162
Keira tersenyum tipis. Ia baru sadar, usai pernikahan mereka,
mereka jarang sekali ke rumah. Bahkan, Keira sudah lupa
kapan terakhir kali mereka mengunjungi bunda.
"Nggak, kok. Aku yang salah juga sih, pakai bohong segala,"
jawab Keira. Ia kembali teringat bagaimana bibir Aldric
menyentuh bibirnya tadi pagi. Hanya sebentar, tapi mampu
membuat hari Keira menyenangkan.
Flowers | 163
Keira memajukan bibirnya." Aku takut dia marah. Padahal
kau tahu, ketika aku terlambat dia baik banget. Setelah tahu
aku bohong, tanduknya keluar."
"Baik, Mei. Baru juga dua tahun. Sudah kangen, ya?" jawab
Galang. Kemudian, ia beralih ke arah Keira. "Jadi, gue nggak
disambut, nih?" sindirnya. Keira menggeleng sembari
tersenyum.
Flowers | 164
"Duduk dulu, Lang. Aku buatin kopi ya," ujar Meira. Galang
segera duduk tepat di seberang Keira. "Eh, baik-baik ya, sama
sohib aku," katanya pada Keira.
***
Flowers | 165
datang ke kampus, bergaul dengan Keira, Meira, dan Lena.
Rahasia yang disimpan keduanya hingga saat ini adalah
alasan Keira menolak Galang. Bukan sekadar karena ia
mencintai Yoga, tapi saat itu, Keira menangkap sinyal bahwa
Yoga pun tertarik dengannya.
"Bukan."
"Sial!" serunya. "Kalau kau akhirnya tak bersama dia, kenapa
juga waktu itu aku harus mengalah?" Keira tahu, saat ini
Galang sedang bercanda.
Flowers | 166
Kali ini, Galang yang tertawa. Tanpa sadar, percakapan
mereka pun mengalir, hingga hari semakin sore. Sampai
akhirnya, Meira datang, menyentuh bahu Keira.
"Suamimu, Kei," bisikknya. Keira melihat melewati bahu
Galang, ia mendapati Aldric berdiri di sisi mobilnya. Entah
sejak kapan ia berdiri di sana. Galang pun mengikuti arah
pandang Keira.
***
Flowers | 167
"Al, kita mampir ke minimarket dekat rumah, ya," pinta
Keira. Aldric mengangguk, pertanda setuju, tanpa bertanya.
"Apa kita makan di luar saja, sekalian? Aku telepon Bi Endah
ya. Biar dia tidak menyiapkan makan malam untuk kita."
"Tidak perlu," sahut Aldric. Padahal, Keira sudah bersiapsiap
menelepon rumah. "Aku sedang ingin cepat-cepat sampai
rumah." Aldric ingin menanyakan sesuatu. Sesuatu yang
mengganjal hatinya.
"Tidak."
Sesampainya di rumah, ketika mereka berjalan ke arah anak
tangga, Keira bertanya." Kau tidak makan malam?
Sepertinya, Bi Endah sudah menyiapkan untuk kita."
Langkah Aldric terhenti. "Tidak. Aku sedang tak lapar. Kau
saja."
"Ah, aku juga sedang tak lapar. Kita berbagi camilan saja.
Oke?" ajak Keira. Ia mengacungkan sebungkus tas plastik
berwarna putih ke atas. Aldric menarik ujung bibirnya.
Flowers | 168
Di depan kamar mereka. Mereka sama-sama berhenti.
"Kamarku atau kau?" tanya Keira. Aldric mengerutkan
keningnya. Ia tidak mengerti maksud dari Keira.
Flowers | 169
siapa lelaki itu?" Akhirnya, Aldric bertanya. Ia sudah
menahannya sejak ia melihat Keira tertawa akrab dengan
lelaki di kafe tadi.
"Ah!" seru Keira." Dia Galang," ucapnya. Tapi, nama saja tak
cukup bagi Aldric. Suaminya itu, masih terus melihat ke
arahnya. Tak berkedip, membuatnya salah tingkah. "Dia
kenalan. Sudah lama tidak bertemu, tiba-tiba ia muncul di
kafe." Keira menelan ludah. Ada kecanggungan di antara
mereka. "Aku mengenalnya dari Meira. Dia teman Meira,
atau mantannya. Ah!" Keira kesal sendiri. Kenapa ia harus
repot-repot menjelaskan pada Aldric dengan perasaan
bersalah?
"Lalu?" Aldric masih menuntut.
"Itu saja, Al. Kau mau aku bilang apalagi?" dengusnya, kesal.
"Tidak ada hubungan lain?"
Flowers | 170
Seperti yang kau lihat. Puas?"
"Hmmm ...."
Flowers | 171
berada di pinggang Keira. "Jangan tertawa dengan lelaki lain,
lagi. Aku mohon," lirih Aldric.
"Hmmm ...."
"Ya?"
"Baiklah."
"Bagus."
***
Flowers | 172
BAB TIGA BELAS
Flowers | 173
Keira menyerahkan gelas cokelat di tangan kanannya ke arah
Aldric. "Terima kasih," ujar suaminya, sembari menerima
gelas tersebut.
Flowers | 174
"Hanya naik beberapa kilo saja," sahut Keira. "Aku
memakainya ketika malam perpisahan." Ceritanya. Keira
ingat, ia membeli bahan gaun itu sendiri dan membawanya ke
penjahit. Mencari pola dan model di situs Pinterest. Itu semua
ia lakukan, demi tampil menawan pada malam perpisahan
sekolah.
"Hari ini aku ingin di rumah saja. Ada naskah yang harus
kuselesaikan. Hmmm, editorku sudah ngomel." Keira tertawa
kecil, mengingat editornya yang menagih naskah terbarunya.
Jemari Keira mengetuk-ketuk pahanya. Ia menggigit bibir,"
Al," panggilnya. Aldric menoleh. "Aku ingin minta
persetujuanmu."
"Mengenai?"
"Emm, besok ada acara di rumah. Acara kecil-kecilan," ujar
Keira. "Maksudku, ingin pulang. Malam ini, kalau kau
mengizinkan."
Aldric tak langsung menjawab. Hal ini membuat Keira
semakin cemas. Ia takut Aldric akan melarangnya, tapi
ternyata tidak. "Tentu. Kau bisa menginap malam ini. Aku
akan mengantarmu."
Flowers | 175
Keira mendesah. Menyesali pertanyaannya sendiri. Ia tidak
bermaksud mengajak Aldric menginap di rumahnya. Yang
berarti mereka harus tidur di atas satu ranjang. Meskipun
begitu, Keira ingin Aldric menginap. Tentunya, ia tak
mengungkapkannya. Ia hanya berpikir, lebih baik mereka
menginap bersama, dengan begitu ibunya tidak akan khawatir
dengan pernikahan mereka.
"Bandara?"
Flowers | 176
"Untuk?"
Aldric menarik sudut bibirnya. "Kerja."
Tanpa berkata apa pun lagi, Keira bangkit dari kursi, hendak
meninggalkan Aldric. Namun, sebelum ia sempat melangkah
Aldric menarik pergelangan tangannya. Kini, mereka saling
berhadapan. "Mau ke mana?"
"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri. Aku hanya bilang sama
kau, karena kupikir memang seharusnya begitu yang suami
istri lakukan," Keira menekankan suaranya pada kalimat
terakhir. Ia melepaskan cengkeraman Aldric dari pergelangan
tangannya, namun ia kesulitan. "Lepaskan."
***
Flowers | 178
dan Aldric, meskipun ada Bi Endah. Setelah itu, ia akan pergi
ke kamar Aldric, ketika lelaki itu sudah bangun. Menyiapkan
pakaiannya hari itu, membantunya mengenakan dasi. Ia
lakukan, seperti yang telah mereka sepakati. Bahkan, untuk
ke rumah orang tuanya sendiri, Keira meminta izin kepada
Aldric. Ia melakukan itu, untuk menghormati suaminya. Tapi,
Aldric sama sekali tidak berusaha seperti dia.
Dan itu, membuat Keira sedih.
Flowers | 180
Mereka sudah pernah berjanji untuk saling menyembuhkan.
Kenyataannya, kehadiran Aldric tak mampu menghapus
nama Yoga dari hati Keira.
***
Flowers | 181
"Kau pulang," ujar ibunya, ketika melihat Keira membuka
pintu pagar. Memasuki perkarangan rumah yang tak sebegitu
luas. Keira mengangguk, tersenyum dan mencium punggung
tangan ibunya. "Sendiri?" tanya ibunya kembali, setelah
melihat ke belakang Keira dan tidak menemukan siapa-siapa.
"Mas Al ada pekerjaan di Bali," sahut Keira. Menjelaskan
kepada ibunya, yang Keira tahu sama kecewanya dengan
dirinya. "Tadi sudah mau antar Kei, tapi Kei menolak. Takut
tertinggal pesawat. Kasihan."
Flowers | 182
***
Flowers | 183
ingat, dulu Kaira suka menangis. Selalu mengganggu kita,"
kenang Yoga.
Flowers | 184
dalam pesawat, tapi Keira harus melakukannya. Tanpa
keraguan.
Aku merindukanmu.
***
Flowers | 185
BAB EMPAT BELAS
Flowers | 186
berangkat, tunggulah aku di rumah." Namun, pesan itu tak
pernah sampai pada Keira.
Flowers | 187
membuka bubuk kopi dan menuangkannya ke dalam gelas,
begitu pula dengan gula. Kemudian ia mengangkat teko,
namun benda itu dingin. Sama sekali tidak hangat apalagi
panas. Dia mendesah, kesal. Ia begitu bodoh karena lupa tidak
menghubungkan aliran listrik ke teko.
Flowers | 188
Ketika membaca itu, Aldric buru-buru bangun dan
menegakkan tubuhnya. Ia mengecek lagi isi pesan itu.
Apakah pesan itu benar-benar dikirim Keira atau bukan.
Ketika ia benar-benar yakin, kalau itu nomor dan nama
istrinya. Bibirnya merekah. Mendadak, ia merasa hari ini
indah.
Ah, sial.
***
Flowers | 189
Setelah pesan singkat yang ia kirimkan pada suaminya, tadi
malam. Keira berharap Aldric akan membalasnya, dengan
entah apa. Ia menunggu. Mengkira-kira kapan pesawat Aldric
akan tiba di Bali, dan lelaki itu akan membaca pesannya.
Sayangnya, sampai pukul satu malam, tak ada pesan dari
Aldric.
Flowers | 190
cuci muka dulu," ujar ibunya. Keira tersenyum dan
meninggalkan dapur untuk mencuci wajah. Setelah itu, ia
kembali ke dapur.
Flowers | 191
rasanya. Seharusnya, Keira merasa senang karena tak ada
beban harus bangun pagi hari ini. Kenyataannya, ia tidak
merasa bahagia.
Flowers | 192
harga dirinya dengan mengirim pesan terlebih dahulu. Pesan
rindu pula. Betapa malunya ia, ketika Aldric tak kunjung
membalas pesannya. Ia sakit hati. Sangat.
***
Flowers | 193
Maka, ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di Bandara
Juanda, Aldric segera memacu mobilnya ke arah rumah
mertuanya. Menemui Keira.
Flowers | 194
"Aku pulang," sahut Aldric.
"Kenapa?"
Aldric tersenyum. "Karena ada yang merindukanku." Ia
melihat wajah Keira memerah. Perempuan itu malu-malu.
Namun, ia tetap tersenyum.
Flowers | 196
"Kau pasti lelah. Kei, ajak suamimu ke atas."
***
Flowers | 197
menikmati makanan yang terhidang di ruang tamu. Ruangan
kecil itu berisikan oleh Keira, Aldric, Kaira, dan Yoga. Ibu
mereka memilih untuk beristirahat di kamar, membiarkan
anak-anak mereka bercengkrama.
Flowers | 198
meja memanjang yang dipenuhi oleh pigura foto dan buku-
buku di bawahnya. Kalau Aldric bilang, kamar Keira penuh.
Sampai-sampai ruang geraknya hanya sebatas pintu masuk
sampai ranjang saja.
Flowers | 199
Aldric tersenyum kecil. Menatap kembali pigura yang
membingkai foto di tangannya. Tampaknya, Kaira sama
sekali tidak curiga dan tidak tahu kalau kakaknya pernah
mencintai Yoga. Atau bahkan, sekarang pun masih
mencintainya. Tiba-tiba dada Aldric terasa tidak enak. Ada
yang mengganggunya. Ia buru-buru pamit pada Kaira dan
segera menuju ke ruang tamu. Kakinya menuruni anak tangga
dengan tergesa, kemudian melambat ketika sampai di ujung
anak tangga. Ia berdiri di sana, bersandar pada dinding yang
tersembunyi. Ia mencuri dengar perbincangan antara Keira
dan Yoga.
"Kau memakai gaun ini , lagi. Ckck ... masih muat saja ya."
Aldric mendengar Keira tertawa. Suara tawanya amat renyah.
"Tentu saja! Ini kan hari ulang tahunmu!" sahutnya.
Aldric sadar, bahwa masih ada rasa cinta dalam diri Keira
untuk Yoga. Atau memang cinta itu tak pernah pergi.
Flowers | 200
BAB LIMA BELAS
Flowers | 201
Melihat hal ini, Aldric semakin gusar. Ia kembali mengingat
bagaimana Keira bisa tertawa lepas dengan lelaki lain di kafe
waktu itu dan kini, perempuan itu bahagia sekali ketika usai
bertemu dengan Yoga. Bagaimana dengan dirinya? Apa
Keira sama sekali tak bahagia hidup bersamanya?
Flowers | 202
"Begitulah," jawab Keira ringan. Ia tak tahu, jawaban itu
sama saja dengan menyulut api dalam diri Aldric. Benar saja,
karena kemudian Aldric mendekatinya dan mencengkeram
lengan Keira dengan keras.
Flowers | 203
detik, mereka dalam posisi tersebut. Aldric meminta, Keira
menolak.
Tubuh mereka terdorong, sampai terhimpit dinding. Ruang
gerak Keira semakin sempit. "Al, lepaskan. Kumohon!" ucap
Keira di sela-sela bibir Aldric yang terus menerus mencari
bibirnya. Sampai akhirnya, Aldric menarik dengan keras gaun
Keira hingga gaun itu robek dan memperlihatkan tulang
selangka Keira yang terbalut kulit yang putih. Dan itu
menjadi bulan-bulanan Aldric.
***
Sama halnya dengan Aldric, Keira pun tak tahu apa yang
merasuki suaminya itu. Keira tak pernah melihat Aldric
Flowers | 204
sekasar itu kepadanya. Meskipun seringkali kalimat lelaki itu
kerap menyakitkan. Tapi, ia tidak menyangka, Aldric
benarbenar bisa lepas kendali.
Flowers | 205
benar-benar mengering pada wajah Keira. Ia mendesah,
mengerutkan keningnya. Ia amat menyesal dengan apa yang
ia lakukan tadi.
Flowers | 206
melihat ke arah Aldric. "Jika kau ingin, kau hanya perlu
meminta." Keira menggigit bibirnya. "Aku mau," katanya.
"Hubungan layaknya suami istri. Aku mau."
Flowers | 207
BAB ENAM BELAS
Flowers | 208
tengah dipeluk oleh suaminya. Pelukan hangat yang selama
mereka menikah, belum pernah ia rasakan.
Flowers | 209
bawahnya, teringat dengan apa yang mereka berdua lakukan
semalam. Mendadak wajahnya memanas. Keira sadar, Aldric
tengah berpikiran serupa karena senyum di wajahnya
menghilang digantikan dengan tatapan penuh keinginan.
"Sudah pagi," lirih Keira. Aldric mendekatkan wajahnya,
mencuri cium ke bibir bawah Keira. Keira memejamkan mata
sejenak.
Flowers | 210
"Kau yakin bisa?" Aldric meragukan.
"Ya, aku yakin."
"Aku tidak percaya."
"Cepatlah, sudah siang. Kau harus bekerja," sahut Keira.
"Bagaimana kalau hari ini aku tidak ke kantor saja?"
"Kenapa?"
Aldric menyentuh telinga Keira. "Aku ingin lebih lama
bersamamu."
Keira menahan senyumnya, wajahnya memanas. "Cepatlah,
Al."
"Baiklah, tutuplah matamu, Kei," perintah Aldric. Keira
cepat-cepat menutup matanya dan memegang erat-erat
selimut dari gorden di tubuhnya agar tidak terlepas. Aldric
tersenyum dan menggerakkan tubuhnya untuk turun dari sofa.
Dengan cepat, Aldric memunguti pakaiannya yang
berserakan beserta pakaian Keira. Ia mengenakan celananya.
"Jangan mengintip."
Flowers | 211
Keira melihat wajah Aldric di atasnya, tersenyum. Ia
membalas senyum suaminya. Lalu, Aldric beranjak
meninggalkan Keira yang masih di atas sofa berselimutkan
gorden.
***
Flowers | 212
Aldric pantas mendapatkannya. Dia suamiku,batinnya. Ia
tersenyum kecil.
Flowers | 213
mengambil satu dua kecupan kemudian berakhir seperti tadi
malam.
"Itu bagus."
Flowers | 214
Hati Keira tergerak untuk melihat-lihat, ia segera mengganti
kelambu yang menutupi tubuhnya dengan kemeja putih yang
tergeletak tak jauh dari sofa. Kakinya ia biarkan telanjang.
Rambutnya ia biarkan tergerai. Samar, tubuh Keira terlihat
dibalik kemeja putih itu.
Benda itu tidak besar, namun Keira bisa melihat dengan jelas
gambar yang tercetak di atas kertas itu. Sosok Aldric yang
melihat ke arah kamera dan seorang perempuan cantik yang
bergelayut mesra di pundaknya.
Keira tahu, perempuan itu adalah Melisa.
Flowers | 215
Mungkin, ini adalah hukuman untuk Keira karena terlalu
bahagia. Hukuman yang seharusnya tak perlu ia rasakan
seandainya saja ia tak menginginkan lebih dari Aldric.
Semestinya, ia langsung keluar dari ruang pribadi Aldric,
maka ini tak akan pernah terjadi.
***
"Sori. Kupikir kau sedang bahagia pagi ini, jadi hal semacam
sopan santun tidak perlu kulakukan," jawab Drupadi cuek.
"Ckckck."
"Sepertinya ada hal baik yang terjadi antara kau dan Keira,"
tebak Drupadi. Ia meletakkan beberapa berkas ke hadapan
Aldric. "Aku butuh beberapa tanda tanganmu," tukasnya.
Aldric membuka berkas tersebut satu per satu dan
membubuhkan tanda tangannya. "Kau tak memeriksanya
Flowers | 216
terlebih dahulu?" tanya Drupadi heran. Biasanya, Aldric
butuh waktu beberapa menit sebelum memutuskan untuk
meninggalkan tanda tangan di atas kertas.
Flowers | 217
"Aku tidak bilang akan pergi dengan Keira."
"Ayolah, Bos, aku asistenmu. Aku tahu semua jadwalmu dan
yang kutahu, kau sedang tak ada janji dengan kolega
manapun," Drupadi mengendikkan bahunya. Tersenyum
jahil. "Bagaimana?"
***
Flowers | 218
sebelum ia menyentuh tuts keyboard komputer jinjingnya,
hatinya lebur. Ia tak tahu perasaan apa yang bersemayam
dalam hatinya saat ini. Hatinya melesak menciptakan sesak.
Flowers | 219
bagi Keira untuk memutuskan menjawab telepon tersebut.
"H-hai ...," sapanya, berusaha tenang.
"Hai."
"Aku mengirimu pesan," ujar Aldric," tapi kau tak
membalasnya."
"Ah, maaf. Aku sedang menulis," sahut Keira. "Kau tahu,
kalau sedang menulis aku bisa menghiraukan segalanya," ia
mulai berdusta. Lagi.
"Kei."
"Ya?"
"Kau mau makan bakso?"
"Bakso? Sekarang?"
***
Flowers | 221
BAB TUJUH BELAS
"Benarkah?"
"Ya, semalam aku lihat perutmu agak buncit," balas Aldric.
Detik berikutnya, ia menyesali kalimatnya sendiri. Dia hanya
berniat menggoda Keira, tapi tanpa sadar justru membuatnya
canggung. Ah, sial.
Flowers | 222
Keira menggigit bibir bawahnya, wajahnya memerah
mendengar ungkapan Aldric barusan. Dia mengutuk
suaminya itu karena membuat suasana semakin canggung.
"Maaf," ujar Aldric.
Flowers | 223
"Masih ramai seperti dulu," kata Aldric ketika sudah berdiri
di sebelah Keira. "Dru pernah mengajak kami ke sini, sekali."
Mereka berdua berjalan ke arah antrean, sedikit demi sedikit
antrean memendek.
"Kami?"
"Teman-teman kampus."
"Oh."
Sejak melihat foto Aldric bersama Melisa pagi tadi, membuat
Keira sedikit risau. Ah, tidak. Keira benar-benar risau. Ia
takut pembicaraan mereka akan mengingatkan Aldric akan
Melisa. Keira takut, perempuan itu masih menjadi pikiran
Aldric.
"Kei?"
"Y-ya?"
"Giliran kita," ujar Aldric. Ia menaikkan kedua alisnya,
menatap heran ke arah Keira.
"Ini bakso apa, Pak?" tanya Aldric pada penjual bakso, ketika
mereka berdua sudah berada di hadapan berbagai macam
pilihan bakso.
"Bakso isi keju," jawab si penjual.
"Kau mau?" tanya Aldric kepada Keira. Istrinya itu
mengangguk, kemudian Aldric mengambil satu buah bakso
isi keju dan memasukkan ke mangkuk milik Keira. Mereka
Flowers | 224
memilih bakso masing-masing, membayarnya, kemudian
duduk bersila pada tikar di halaman toko yang tutup.
***
Flowers | 225
pun tidak gemuk. Seakan segala yang dimiliki Melisa adalah
impian setiap wanita.
"Kei."
Keira menoleh. Mereka masih berada dalam mobil. Sejak
tadi, Keira hanya diam dan memandang keluar jendela. Hal
ini membuat Aldric gelisah. Bertanya-tanya, apa yang terjadi
dengan istrinya. Perempuan itu benar-benar membuatnya
frustrasi.
"Sudah sampai."
Flowers | 226
dilakukan Keira diperhatikan oleh Aldric. Bahkan, sejak tadi
Aldric hanya memperhatikan istrinya itu.
"Aku serius."
Flowers | 227
Dada Keira berdebar ketika menanyakan hal tersebut.
Pertanyaan yang seharusnya tak usah ditanyakan. Keira
hendak berkata, namun Aldric sudah meraih kepala Keira dan
mencuri cium. Selama beberapa detik mereka berciuman, tak
peduli bila mereka masih berada di halaman rumah. Aldric
melepaskan ciumannya. Napas mereka memburu, jantung
saling berpacu. Keira menelan ludah, membasahi bibirnya.
Kedua kening mereka saling bersentuhan. Kedua tangan
Aldric berada di sisi kepala Keira.
***
Flowers | 228
BAB DELAPAN BELAS
"Aku tak tahu kau suka lari pagi," komentar Keira. Mereka
berlari beriringan di komplek perumahan. Keira sedikit
kesusahan mengikuti langkah kaki Aldric, padahal suaminya
itu sudah berusaha menyamakan langkah kaki mereka.
Flowers | 229
Tetapi, Keira berkali-kali berjalan, alih-alih berlari. "Kau
lamban sekali," ledek Aldric, alih-alih menanggapi komentar
Keira, ketika melihat wanita itu berhenti dan meletakkan
kedua tangannya di paha. "Pantas saja perutmu buncit."
Flowers | 230
"Apa?"
"Kalau kau kalah, kau yang traktir makan bubur," ucap Aldric
sambil berlalu mendahului Keira.
***
Flowers | 231
"Kau mengajakku lomba lari, sedangkan aku jarang olahraga
dan kau rajin," Keira mengambil jeda," ah, aku hampir tak
pernah olahraga." Ia menarik napas dan mengeluarkannya.
Tanpa sadar, Keira memasang wajah cemberut. Di mata
Aldric, saat ini Keira terlihat sangat menggemaskan. "Itu
curang kau tahu?"
Flowers | 232
"Hah?"
"Oke," Aldric menundukkan kepalanya, berniat menggoda
Keira seakan-akan dia akan menciumnya di jalanan seperti
ini. Keira terkejut dengan tindakannya dan mundur
selangkah. Siapa menduga kalau di belakang Keira ada
undakan kecil taman warga. Hal itu membuat Keira hampir
jatuh, untung saja dengan sigap Aldric menangkapnya.
Jantung Keira berdegup kencang karena hampir terjatuh.
Sungguh, kalau saja Aldric tak segera menariknya mungkin
saat ini ia sudah jatuh telentang. Tapi, justru posisi mereka
sekarang membuat Keira lebih jantungan.
Keira masih kesal, tentu saja rasa kesalnya itu tidak serius.
Dia berjalan cepat meninggalkan Aldric di belakangnya.
Bukannya mencoba menenangkan Keira, Aldric justru
tersenyum puas bisa membuat Keira kesal seperti itu.
"Menyenangkan sekali."
***
Flowers | 233
"Double date?"
Flowers | 234
belakangnya. Jantung Keira hampir saja menjatuhkan
ponselnya.
Flowers | 235
"Kenapa kau harus setuju?" protes Keira.
"Kenapa tidak?"
Flowers | 236
"Oh, ya?" cibir Aldric. "Kalau begitu, kita double date."
"Oke."
Aldric adalah orang pertama yang memutus kontak mata
mereka. Dia keluar dari dapur sembari membawa cangkir
cokelat yang dibuatkan Keira.
***
Flowers | 237
yang terjadi dengan kita, kau masih mengungkit soal Yoga?"
"Memangnya apa yang terjadi dengan kita?" tanya Aldric
santai. Dia mengambil sepotong pisang goreng dan
memasukkannya ke dalam mulut. Kini, wajahnya terlihat lucu
karena pipinya mengembung. Hampir saja membuat Keira
melupakan amarahnya.
Flowers | 239
"Ada," tukas Aldric. "Sekarang lihat aku."
"Mukamu merah."
Flowers | 240
"Ini masih siang."
***
Flowers | 241
Diterima kembali atau tidak, ia tak peduli. Yang jelas, ia
datang membawa penyesalan dan cinta yang masih tersisa.
***
Flowers | 242
BAB SEMBILAN BELAS
"Itu bagus."
Flowers | 244
"Wajahmu sangat merah. Kautahu itu?" ujar Aldric. Keira
menggigit bibir bawahnya. Tersenyum rikuh, sedikit
menunduk. Ucapan Aldric membuat wajahnya semakin
memerah. Ia berharap, kebahagiaan ini tak terenggut begitu
saja. Ia ingin menikmatinya terus menerus.
"Oh ya?"
"Ya."
Keduanya tertawa.
Flowers | 245
"Oke, aku akan menyiapkan pakaianmu."
"Bukan itu. Aku ingin mengantarmu ke kafe. Kita berangkat
kerja sama-sama."
***
Flowers | 246
kemeja itu untuk Aldric. Mungkin, karena kemeja itu
tersembunyi di balik kemeja-kemeja berkelir hitam di pojok,
sehingga tak terlihat olehnya.
Flowers | 247
"Kenapa? Kau suka dengan pakaian yang aku siapkan?" tanya
Keira dengan ceria. Dia sama sekali tidak menyadari
perubahan air muka Aldric. Keira terlalu bahagia, untuk
menyadari hal-hal kecil semacam ini. Nanti, dia akan
mengerti kenapa Aldric bersikap demikian. "Kau tak boleh
menolak memakai ini, Al."
Flowers | 248
masing-masing. Hingga sampai di pintu keluar, langkah
Aldric terhenti. Matanya tertuju pada seseorang. Keira
mengikuti arah mata Aldric memandang. Ia melihat seorang
wanita bergaun merah, dengan mata seindah matahari. Ketika
melihat Aldric, senyum wanita itu merekah. Ia berlari dan
memeluk Aldric. Jantung Keira berdegup teramat cepat,
tubuhnya mendadak panas dan perutnya mual. Ia melihat
suaminya dipeluk oleh perempuan lain, tepat di depannya,
ketika Aldric masih memegang tangannya.
***
Flowers | 249
cekatan, tanpa banyak kata. Biasanya, saat-saat kafe riuh
seperti sekarang, Keira akan berceloteh riang atau terkadang
menghampiri pelanggan sekadar menanyakan kabar dan
memberi kue gratis.
"Aku belum bisa cerita dengan kalian," kata Keira. Dia tahu,
kedua sahabatnya itu tahu, kalau dia sedang ada masalah. Kali
ini, Keira tak bisa menyembunyikannya. Terlalu kentara pada
air mukanya. Sedari tadi, kerjaannya hanya melamun dan
mengerutkan kening. "Maaf."
Flowers | 250
"Kami mengerti, Kei," sahut Lena. "Kau bisa pulang, biar
kami yang urus kafe."
"Mei, sudah."
"Cukup," ujar Lena. "Kei, kau bisa pulang. Dan Mei, bantu
aku membersihkan ini."
"Maaf." Setelah berkata demikian, Keira mengambil tasnya di
lantai atas dan segera meninggalkan kafe. Ia tak tahu akan ke
mana, yang jelas ia belum sanggup pulang ke rumah.
Bayangan Aldric dipeluk oleh perempuan itu, masih
Flowers | 251
tergiangngiang di kepalanya. Ia tahu dan sadar siapa
perempuan yang memeluk suaminya tadi pagi.
***
Flowers | 252
menyesal karena telah bercerita. Sampai saat ini, dia melihat
Aldric tengah presentasi di ruang meeting, ada raut yang
berbeda. Ia sempat ingin bertanya, mengapa tapi Aldric
menghindarinya dan langsung meninggalkan kantor.
Flowers | 253
"Hmmm."
"Ya."
Keira tersenyum canggung. "Cantik."
"Ya." Hening.
***
Flowers | 255
BAB DUA PULUH
Flowers | 256
tak dikenalnya. Tetapi, dari cara dia mengirim pesan, Aldric
tahu itu nomor Melisa yang baru.
Flowers | 257
Melisa mendesah, meraih gelas berisi cappucino dan
menyeruputnya. "Bisa tidak, kau tidak dingin seperti ini, Al?
Aku merindukanmu. Merindukan kebersamaan kita." Suara
Melisa merupakan suara perempuan yang disukai banyak
lelaki. Suara yang lembut, menyenangkan dan membuat hati
setiap lelaki merasa tenang. Bahkan, sampai saat ini Aldric
merasa senang mendengar suara Melisa. Kalau saja ia tak
mengingat Keira, istrinya.
Flowers | 258
Perempuan yang mampu membuat akal sehatnya terusik.
"Lalu, kenapa kau meninggalkanku?" tandas Aldric.
Pertanyaan yang selama ini ingin dia lontarkan pada Melisa.
Alasan perempuan itu meninggalkannya. Menghilang tanpa
ada kabar sama sekali.
***
Flowers | 259
"Oh, ya?" Melisa menyunggingkan senyum. "Lalu, apa
artinya kemeja yang kau kenakan sekarang?" sindirnya.
Aldric tertegun. Seharusnya, ia melepaskan kemeja ini
sebelum menemui Melisa. Ia lupa. Pagi tadi, Keira
memilihkan kemeja ini untuknya. Kemeja yang sudah lama
tak ia kenakan dan tak ada rencana untuk mengenakannya.
Kemeja yang ia kenakan saat ini merupakan kemeja yang
dibelikan oleh Melisa.
Flowers | 260
***
Flowers | 261
risau." Melisa memamerkan senyum terbaiknya. Senyum
yang selalu mampu membuat Aldric merasa semua akan baik-
baik saja. Perempuan itu menarik kepala Aldric,
memeluknya.
"Ya. Semua akan baik-baik saja, Al."
Aldric tak pernah tahu, di sisi lain hati Melisa, ada sesuatu
yang memberontak. Ada hal yang tak diinginkannya terjadi.
Melisa, sama sekali belum siap untuk menikah. Dia memang
menginginkan lelaki itu untuk selamanya. Tetapi tidak
dengan pernikahan. Ia pikir, pernikahan hanya perbuatan
konyol dan naif sekadar untuk tetap bersama. Sebuah ikatan
yang seumur hidup Melisa tak pernah terlintas dalam
benaknya. Maka, Melisa mengatakan hal tersebut kepada
Aldric.
Flowers | 262
pikirannya kacau. Pada bulan ketiga setelah kepergian
Melisa, Aldric bertemu dengan Keira. Perempuan yang saat
ini tak ia temukan di rumahnya.
***
Flowers | 263
Keira tidak ada di dalam kamarnya, pun dengan kamar mandi.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi nomor Keira. Namun,
nihil. Nomor Keira tidak aktif.
"Hari ini dia tidak ke kafe," sahut Lena. Dahi ketiga orang itu
berkerut. Aldric dengan pikiran kacaunya, menduga-duga ke
mana istrinya pergi. Lena dan Meira, bingung dengan apa
yang terjadi saat ini. "Dia tidak di rumah?"
"Ah, bukan begitu. Aku tidak tahu kalau hari ini dia tidak ke
kafe. Kupikir, dia ke kafe, aku ke sini untuk menjemputnya,"
Flowers | 264
dusta Aldric. Dia tak ingin memperkeruh suasana dengan
berkata Keira menghilang, sejak pagi.
***
Flowers | 265
Yoga bekerja di anak perusahaan milik Aldric. Lelaki itu
mengajukan kerja sama dengan perusahaannya dua tahun
lalu. Kantor Yoga berada tidak jauh dari kantornya,
membutuhkan waktu sepuluh sampai limabelas menit
perjalanan tanpa macet. Entah kenapa, Aldric membelokkan
mobilnya, ke arah anak perusahaan miliknya. Malam semakin
larut, sebenarnya sangat janggal malam-malam seperti ini ke
kantor. Banyak kemungkinan kantor Yoga sudah sepi dan
lelaki itu sudah tak di sana. Tapi, rasa penasaran atas
keberadaan Yoga mengusiknya.
Flowers | 266
Kedua dahinya saling bertaut, sama sekali tidak
menyenangkan untuk dilihat. Ketika melewati pintu lobi,
satpam menyapanya, Aldric hanya mengangguk.
Keadaan lobi begitu sepi, bahkan bagian resepsionis pun tak
ada. Ia terus berjalan, menuju lift. Namun, belum sempat ia
menekan tombol lift, matanya beralih ke sisi lain. Sisi di
mana, ia melihat Yoga bersama istrinya.
***
Flowers | 267
BAB DUA PULUH SATU
Flowers | 268
Sekali lagi, Keira kecewa. Tak ada pesan masuk dari
suaminya, sekadar untuk menanyakan kabar. Seakan
kepergiannya adalah hal yang dinantikan oleh Aldric.
Flowers | 269
"Kau sedang ada masalah?" tanya Yoga, ketika mereka
bertemu di lobi kantor dan duduk di atas sofa dekat pintu
masuk. Tanpa basa basi, Yoga bertanya. Saat itu, malam
sudah larut. Beberapa pekerja kantor mulai bersiap-siap untuk
pulang.
Saat itu, Keira diajak Yoga dan Kaira ke acara minum teh
rekan kerja Yoga. Acara tersebut acara mendadak yang
diadakan salah satu rekan kerja Yoga. Dihadiri oleh beberapa
rekan kerja satu perusahaan dan perusahaan induk tempat
Yoga bekerja. Awalnya, Keira malas untuk ikut, selain karena
pasti tidak banyak orang yang ia kenal serta pasti temanteman
Yoga akan membahas bisnis yang tak ia mengerti, pun karena
ia pasti akan menjadi orang ketiga antara Yoga dan Kaira.
Tapi Keira tak pernah bisa menolak permintaan adik satu-
satunya itu.
Flowers | 270
"Kak Kei, ayolah, kau tahu aku tidak suka di tempat umum.
Aku butuh teman," rengek Kaira. "Yoga pasti sibuk dengan
rekan kerjanya."
Flowers | 271
"Kau di sini rupanya," tukas Yoga. Ia kemudian beralih ke
arah Aldric. "Pak Aldric, senang sekali kau bisa datang ke
sini."
***
Flowers | 272
Aldric akan mencarinya ke kantor Yoga atau justru awalnya
Keira menyangka Aldric datang ke kantor karena ada urusan
pekerjaan. Keira adalah orang pertama yang menyandarkan
kepalanya ke bahu Yoga. Ia melupakan fakta bahwa lelaki di
sebelahnya adalah calon suami adik kandungnya, demi
membuat Aldric cemburu. Demi balas dendam karena
membuatnya sakit hati atas kehadiran Melisa di antara
mereka.
Flowers | 273
masing-masing pihak, akan menjadi pernikahan
sesungguhnya.
Sedikit banyak, Keira berharap bisa terus di sisi Aldric.
Namun, kejadian kemarin malam membuat Keira menyadari.
Sejak awal, pernikahan ini seharusnya tak pernah ada. Keira
menyadari, kalau dirinya telah berada di ambang batas. Keira
menyadari bahwa ia telah jatuh cinta kepada Aldric. Jatuh
cinta kepada Aldric, bukanlah risiko yang pernah ia pikirkan.
Flowers | 274
Aldric menarik napas pelan, sampai ia berkata, "Kami belum
merencanakan itu Omi."
Sejak tadi, Keira hanya memainkan makanan dalam
piringnya. Pikirannya kalut dengan apa yang terjadi dalam
hubungannya dengan Aldric. "Benar begitu, Kei?" Omi,
meminta pendapat Keira.
***
Flowers | 275
bahwa apa yang dikatakan Keira hanyalah candaan biasa.
"Aku tidak bercanda," tukas Keira. Istrinya itu menatap lurus
ke arahnya. Hati Aldric mencelos. Ia melihat kesungguhan
pada kedua mata Keira. "Aku ingin kita berpisah."
"Maaf."
Flowers | 276
luar jendela. "Apa hanya itu yang bisa kaupikirkan, Al?
Hanya mengenai kesalahanku?" ujar Keira kecewa.
"Apa lagi? Bukankah memang itu yang kau harapkan selama
ini?" Emosi Aldric memuncak, ia tak memikirkan hal lain,
terutama perasaan Keira. "Bukankah pernikahan kita adalah
penghalang hubungan kalian berdua? Hmmm?"
***
Flowers | 277
BAB DUA PULUH DUA
Flowers | 278
Perempuan itu mengepak baju-bajunya, barang-barangnya
dan beberapa buku ke dalam kardus. Ia bekerja sendirian,
sesekali meminta bantuan Bi Endah untuk membawakan
kardus.
Flowers | 279
Setelah selesai mengepak semua barang, Keira segera keluar
kamar menggeret kopernya dan berhenti di depan kamar
Aldric. Ada keraguan yang menggelayut di dada, antara
mengetuk pintu di depannya atau tidak. Pagi ini Keira tak
menyiapkan segala keperluan Aldric seperti biasanya. Ia
ingin memulai rencana melupakan lelaki itu, mulai hari ini. Ia
mendesah, kemudian mengangkat tangannya dan hendak
mengetuk pintu di depannya. Belum sempat punggung
jemarinya menyentuh daun pintu, benda itu terbuka. "Pa-
pagi," sapa Keira, sedikit terkejut dengan kemunculan Aldric.
"Ehm, aku akan pulang pagi ini," ujar Keira. Satu alis Aldric
terangkat. "Beberapa barang belum bisa aku bawa, tapi aku
sudah minta Bi Endah menyuruh orang mengirim ke rumah."
Aldric sama sekali tak peduli. Dia terlihat tenang dan santai.
Mungkin memang benar, dia mencintai secara sepihak.
Flowers | 280
Selama ini, dialah yang menaruh hati terlebih dahulu dan
terlalu banyak berharap.
"Hati-hati."
Hanya itu yang dikatakan Aldric padanya. Pundaknya
merosot, saat itu juga ia ingin menangis. Tetapi, ketika tangan
Aldric mulai terlepas, dia harus menghadapi kenyataan.
Pernikahannya telah usai.
***
Flowers | 281
"Kau yakin?" ini adalah pertanyaan kesekian kalinya dari
Meira. Dan kesekian kalinya pula, Keira menjawab "Ya".
"Kau gila, Kei. Gila!" Meira memijit-mijit pelipisnya. Ia tidak
merasakan sakit di sana, namun ia tidak habis pikir dengan
keputusan Keira.
Flowers | 282
Keira memasang senyum terbaiknya, dia membuka kedua
tangannya dan memeluk Lena. Satu tangannya lagi ia buka
untuk Meira. Tetapi, Meira masih terlihat enggan. Keira
memasang wajah memelas, akhirnya Meira mendekat dan
memeluk Keira.
***
"Al tidak tahu Omi," sahut Aldric. "Biar Aldric yang urus
nanti."
Flowers | 283
"Apa karena Melisa?" tebak Omi. Aldric terkejut dengan
pertanyaan Omi. Ia melihat kedua mata tua di depannya. "Apa
karena Melisa kau begini?"
***
Flowers | 284
membiarkan perempuan itu pergi. Bukan hanya
meninggalkan rumahnya, tetapi juga meninggalkan dirinya.
Flowers | 285
Drupadi mendesah. "Aku berkata ini sebagai sahabatmu, Al.
Sebagai orang yang peduli padamu," kata Drupadi sebelum ia
meninggalkan ruangan Aldric. "Lepaskan dia sebelum kau
memutuskan untuk bunuh diri," ujarnya. "Atau kalau tak
sanggup melepaskannya, katakan kau mencintainya." "Aku
mencintainya," sahut Aldric.
***
Flowers | 286
berbaring di ranjang. Meira adalah orang pertama yang
mengetahui keadaannya.
"Oke."
Tanpa sepengetahuan Keira, Meira mengirim pesan kepada
Aldric mengenai keadaan sahabatnya saat ini. Ia tidak tahan
melihat sahabatnya begitu kacau sampai akhirnya jatuh sakit.
Keira tak pernah patah hati sebesar ini. Ia tahu, mereka saling
mencintai, hanya saja sama-sama keras kepala.
Flowers | 288
"Ya, tak ada yang mengurusku," sahut Aldric. Mereka tertawa
kecil. "Kau menelantarkanku, Kei. Ckckck, tidak sopan."
"Maaf."
Aldric mengangguk. Mereka berdua berdiam diri untuk
sesaat, merasakan kehadiran masing-masing. Lalu, Aldric
meraih kedua tangan Keira. Ia melihat guratan-guratan di
tangan istrinya itu.
***
Saat itu, Keira sedang patah hati karena Kaira bilang akan
menikah dengan Yoga. Seperti biasa, dia pulang dari kafe
naik bus. Tetapi, berkali-kali melewatkan bus yang
membawanya pulang ke rumah. Air matanya bercucuran,
berlomba dengan rintik hujan. Saat itulah, seorang laki-laki
datang, duduk tidak jauh darinya.
Flowers | 289
"Banyak yang menyukai hujan, tapi yang membencinya pun
tak kalah banyak."
"Ya."
"Apa yang dikatakannya?"
"Dia bilang, aku harus menikah denganmu."
***
Flowers | 290
"Saat itu, aku hanya berpikir, kalau aku menikah nantinya,
aku ingin menikah denganmu. Terdengar membual, tapi
itulah yang kupikirkan."
Air mata Keira menetes. Aldric mengusap lembut air mata itu,
dari pipi Keira. "Aku mencintaimu, Kei. Aku tidak tahu sejak
kapan, tapi aku mencintaimu."
Flowers | 291
BAB DUA PULUH TIGA
Flowers | 292
Baru saja Aldric ingin beranjak dari tepi ranjang, ponsel
pintarnya kembali berdering. Bukan dari Dru, melainkan dari
Melisa. Aldric melihat layar ponselnya cukup lama, sampai
ponsel itu berhenti berdering. Selang beberapa saat, ponsel itu
kembali berdering. Hanya sebentar, sebuah pesan masuk.
***
***
Flowers | 294
"Hanya satu Minggu, kan?" tanya Meira, untuk kesekian
kalinya. "Nggak lebih."
"Iya, iya. Satu minggu saja kok," jawab Keira. "Takut kangen,
ya?" godanya.
"Oke, siap!" seru Keira. Ia meraih tas ranselnya dari atas kursi
dan mengeluarkan KTP serta tiket kereta yang sudah ia cetak
sebelumnya. Ia berjalan ke arah pintu masuk peron. Dia
menoleh ke arah kedua sahabatnya, melambaikan tangan
sembari tersenyum.
Flowers | 295
Keira menyerahkan KTP-nya beserta tiket ke petugas.
Petugas tersebut mencocokkan data, kemudian
mengembalikan kepada Keira. Perempuan itu tersenyum
sebagai ucapan terima kasih.
Flowers | 296
Membiarkan Aldric mengira ia meminta perpisahan. Yang
sebenarnya, Keira tak tahu dengan apa yang ia inginkan. Sakit
hatinya terlalu besar, hingga mengalahkan keinginannya
sendiri. Seharusnya, ia berkata "Jangan pergi" kepada
suaminya itu.
***
Flowers | 297
"Setiap hari selalu saja hujan," ujar lelaki itu. Awalnya, Keira
tak peduli. Ia pikir ada seseorang sedang berbicara dengan
temannya. "Banyak yang menyukai hujan, tapi yang
membencinya pun tak kalah banyak," lelaki itu melanjutkan.
Keira menoleh ke asal suara, "Kau berbicara denganku?"
tanyanya. Ia membasuh pipinya yang basah.
"Ya."
"Apa yang dikatakannya?"
Yang tidak diketahui oleh Aldric adalah saat itu, Keira juga
ingin menikah dengannya.
***
Flowers | 298
Seingatnya, dia sudah menutup kelambu jendela yang menuju
balkon semalam. Bi Endah pun tak pernah membuka kelambu
kamarnya, selagi ia terlelap. Bi Endah hanya masuk ketika
Aldric sudah di kamar mandi.
Flowers | 299
Aldric mempercepat langkahnya, ia berbelok ke arah kanan,
kemudian berbelok ke pintu. Ke arah dapur.
Air mata Keira turun. "Ya," ucapnya. Dia tertawa kecil. "ku
pulang."
***
Flowers | 300
Epilog ~
Flowers | 302
Extra Part 1: Menentukan Pilihan
Keira
"Ckckck, Ga, kau ini selalu saja pelupa. Apa saja yang kau
kerjakan di rumah? Bergosip dengan Rihana?" Rihana adalah
kucing milik Yoga. Lelaki itu penyayang kucing. Dia
Flowers | 303
memungut Rihana dari tepi jalan ketika kami study campus
semasa SMA.
Flowers | 304
"Hmmm?" saat itu, aku dengan tenang menjawab
panggilannya. Sama sekali tidak menyadari ada perubahan
pada wajahnya. Aku sibuk bermain ponsel, tertawa sendiri
melihat lini masa, ketika mendapati video lucu. "Eh, Ga, lihat
ini," kataku. Lalu, aku tertegun. Yoga melihat ke arahku,
wajahnya serius.
Flowers | 305
"Boleh aku pacaran sama adikmu, Kei?" ucap Yoga lagi.
"Aku sudah tak bisa merahasiakannya lagi." Dia terus
berbicara. Aku masih diam. "Kaira sudah berkuliah sekarang,
boleh aku pacaran sama dia?"
Flowers | 306
"Kau boleh menyukai Kaira, adikku," Aku meminum es jeruk
yang tinggal separuh hingga habis. "Astaga, kau boleh
menyukai adikku, Ga. Tapi, kalau kau ...."
"Sial."
***
Benarkah demikian?
Flowers | 308
Sore itu, cuaca Jogja redup. Tak terlihat awan menggumpal
hitam, tetapi awan putih yang menutupi matahari sore. Aku
segera keluar dari stasiun dan memesan taksi untuk menuju
hotel. Lalu, kuurungkan niatku untuk mencari taksi, setelah
mengecek lokasi hotel, ternyata tidak jauh dari Stasiun
Yogyakarta.
Kuputuskan untuk berjalan kaki.
Flowers | 309
Entah kapan terakhir kali aku berolahraga, Mei! Demi
kesehatan!
Flowers | 310
ramah. Hal ini mengingatkanku akan Kuuki. Aku kembali
menghela napas, baru beberapa saat aku berada di Jogja,
tetapi banyak hal yang kurindukan. Kenapa aku jadi
semelankolis ini?
Lelaki itu segera duduk di salah satu sofa pada kafe, tidak jauh
dariku. Di sana sudah ada seorang perempuan seusia
dengannya yang terlihat manis mengenakan gaun. Lalu,
terjadi pertengkaran kecil. Tak lama kemudian, perempuan
itu keluar kafe dengan wajah gusar, saat itulah cangkir
cokelatku datang.
Flowers | 311
Aku menghabiskan secangkir cokelat hangat sore itu,
bersama gerimis yang membasahi Jogja.
***
Flowers | 312
sehingga aku membuka jendela kaca taksi daring yang
kutumpangi.
"Iya."
Aku turun di depan pintu masuk Candi Ratu Boko. Setelah
berterima kasih pada driver taksi daring dan membayarnya,
aku berjalan ke arah loket tiket masuk. Setelah membayar dan
mendapatkan tiket, aku kembali berjalan ke arah yang lebih
jauh,menaiki anak tangga. Setelah menaiki beberapa anak
tangga, aku bisa melihat pemandangan Jogja dari sini. Aku
pun mengabadikannya dengan kamera milik Lena.
Flowers | 313
banyak orang yang datang. Aku terus menaiki anak tangga,
berpapasan dengan orang-orang yang mengambil foto.
"Sama-sama," jawabnya.
Flowers | 314
"Iya," balasnya. "Kalau sore, banyak yang datang untuk
memotret senja," tambahnya. "Saya membacanya dari
internet." Dia tertawa kecil.
Flowers | 315
Aku ikut tertawa. Mengenang Kaira yang selalu berkata ingin
sepertiku, tetapi dalam hatiku bahwa beruntung sekali Kaira
memiliki Yoga. Aku menghela napas panjang. "Begitulah.
Terkadang, kita rela untuk menekan hati lebih dalam, demi
kebahagian dia, bukan?" ucapku.
***
Flowers | 316
Pada sisi lain candi, ada dua pohon besar yang meneduhkan
dataran di bawahnya. Dekat dengan pohon-pohon itu ada
sebuah kursi besi yang dicat tembaga, serupa dengan karat.
Kursi itu terlihat kesepian, dengan angin yang cukup kencang
menerbangkan dedaunan kering yang memenuhi rerumputan
yang mengering pula.
Kaira diam. Aku tahu, dia sedang mengusap air matanya. Dia
menahan tangisnya, meskipun begitu suara tangisnya yang
tertahan tetap terdengar. "Mbak lagi di Jogja, nih. Kaira mau
bakpia, ndak?" aku berusaha mencairkan suasana. "Mas Yoga
sudah cerita," ucapnya. "Maafin Kaira, Mbak," akhirnya,
tangis Kaira pecah. Dia terus menangis di ujung telepon.
"Maafin, Kaira. Kalau seandainya Kaira tidak buruburu ingin
Flowers | 317
menikah dengan Mas Yoga, Mbak Keira tak usah buru-buru
menikah dengan Mas Aldric."
Flowers | 318
kembali menangis, sekaligus tertawa. Entah perasaan apa
yang kurasakan saat ini, tetapi pesan tersebut membawaku
kembali ke Surabaya.
***
Flowers | 319
Extra Part 2: Dia Milikku
Melisa
"Sial."
Aku menoleh ke asal suara, Debi, manajerku menggerutu
dengan kedua alis bertaut. Kacamatanya yang tebal itu ia
lepas, kemudian dipijatnya pangkal hidungnya. Kepalanya ia
sandarkan pada sandaran sofa. Aku melihatnya, tanpa
berkomentar. Sebab, aku tahu apa penyebabnya.
Flowers | 320
Debi menyebut artis sinetron yang sedang naik daun, yang
merupakan istri dari laki-laki yang sering kutemui
belakangan ini. "Aku tahu dia, tetapi aku tidak tahu kalau
lelaki itu suaminya."
Aldric.
Tiba-tiba saja, aku merindukannya.
***
Flowers | 322
Setelah kejadian itu, aku pergi ke Jakarta tanpa memberitahu
Aldric. Bahkan aku berganti nomor. Karena sampai
kapanpun, aku tidak berani mengucapkan kata perpisahan
dengannya. Terlalu sakit untukku dan dirinya. Aku
mencintainya seperti dia mencintaiku. Tapi, ada hal yang
lebih penting dari pernikahan. Pikirku saat itu, aku akan
segera melupakan lelaki itu, nyatanya aku tidak bisa
benarbenar melupakannya.
***
Flowers | 323
Tentu, aku tahu kalau Aldric sudah menikah. Aku mendengar
berita tersebut dari media sosial. Seorang penulis bernama
Keira, yang memiliki beberapa buku adalah istrinya.
Perempuan itu cukup terkenal di kalangan remaja dan
perempuan dewasa karena karyanya. Ketika dia menikah, lini
masa Twitter ramai mengenai hal tersebut. Kebetulan, ada
seorang temanku yang mengunggah foto pernikahan mereka.
Dan tentu saja, aku terkejut kalau Aldric adalah mempelai
prianya.
Siapa peduli?
***
Flowers | 325
Extra Part 3 : Secangkir Cokelat Pahit
Aldric
Hanya satu hal yang tidak sesuai dengan rencanaku, yakni aku
mencintainya.
Flowers | 327
Aku segera berpakaian, mengenakan setelan dan dasi. Lalu,
aku turun ke arah dapur. Aroma margarin tercium sebelum
aku duduk di kursi. Lalu, Bi Endah keluar membawa omelet
di dalam mangkuk putih.
"Baik, Tuan."
***
Flowers | 328
"Kau benar-benar akan berpisah dengan Keira?" Hari ini, hari
kelima kepergian Keira. Pada hari kedua, Keira datang ke
rumah, mengambil sisa barang-barang miliknya. Kami tidak
bertemu, dia datang ketika siang hari. Dia mengirim pesan
kepadaku, bahwa dia sudah mengambil barang miliknya dan
ucapan terima kasih. Lalu, Keira bertanya mengenai surat
perceraian. Kukatakan padanya, Dru akan mengurusnya.
Flowers | 329
berpisah dengan Melisa, kau tetap makan di restoran atau
paling tidak kau akan menyuruhku membelinya."
***
Flowers | 330
Keira meringkuk di atas ranjang. Wajahnya terlihat begitu
damai, tanpa beban. Kemarahanku terhadapnya, sebelumnya
menguap begitu saja. Hatiku terasa begitu sakit, ketika
melihat Keira seperti ini. Aku menyesal telah menyakitinya,
dengan tidak mengatakan perasaanku kepadanya. Aku
teringat pada malam pertama kami. Meskipun aku dan dia
sama-sama tahu, pernikahan ini sekadar status dan pelarian
saja. Keira benar-benar berusaha menjadi yang terbaik;
menjadi istriku. Aku dengan begitu teganya, menolak
perempuan ini.
***
Flowers | 331
Haha. Sinting. Memangnya aku bakalan berbuat apa?
Sesampainya di depan rumah Omi, aku menekan klakson
sekali. Pak Doni pembantu di rumah Omi tergopoh-gopoh
membukakan pintu. Beliau tersenyum kearahku dan aku
membalasnya.
"Omi ada, Pak?" tanyaku, setelah memarkirkan mobil dan
keluar.
"Ada, Den," jawabnya. Aku tersenyum, lalu berjalan ke arah
rumah. Membuka pintu dan masuk.
Rumah ini hanya dihuni oleh Omi dan dua pembantunya; Pak
Doni dan Bi Mita. Keduanya suami istri, yang diminta Omi
untuk bantu-bantu di rumah. Aku berjalan melewati ruang
tamu, langsung menuju ke arah belakang rumah. Di belakang
rumah ini, ada kebun kecil yang dikelola Omi. Pada kebun
tersebut terdapat tanaman rempah-rempah dan sayur. Selain
sibuk di kebun, Omi biasanya minum wedang di teras
belakang sembari membaca buku. Meskipun usianya sudah
kepala tujuh, Omi masih suka membaca.
Flowers | 332
"Bumi Manusia," jawabnya. "Tumben kamu ke sini."
Flowers | 333
"Omi," panggilku. "Aku ingin tahu, apa alasan Omi tidak
menyukai Melisa?" sejak awal pertemuan dengan Melisa,
Omi sudah tak menyukainya. Beliau tak pernah
mengutarakan alasannya, akupun tak pernah bertanya apa
penyebabnya. Setelah sekian lama, aku ingin tahu alasannya.
Entah untuk apa.
***
Flowers | 334
"Al, kalau kamu memang mencintai Keira, minta dia tetap
tinggal. Katakan, kalau kamu tidak ingin berpisah."
"Ya," sahutku.
Flowers | 336
Aku memilih naik taksi ke arah hotel, meskipun lokasinya
lebih dekat apabila berjalan kaki. Tapi, aku begitu lelah.
Perjalanan yang cukup panjang, untuk orang yang tak
memiliki persiapan. Lagi pula, aku sudah lama tidak naik
kereta, di mana benar-benar membuat punggungku sakit
karena terlalu lama.
***
Keira terus berjalan ke arah Jl. Malioboro. Entah apa yang ada
dalam pikiran perempuan itu, dia keluar hotel malam-malam
seperti ini dan berjalan di trotoar sendirian. Tapi, aku terus
Flowers | 337
mengikutinya. Dia terlihat begitu menikmati perjalanannya.
Setelah sekitar lima belas menit berlalu, Keira sampai di Jl.
Malioboro, tentu saja melewati Stasiun Yogjakarta. Aku terus
mengikutinya, meskipun kakiku terasa begitu lelah. Kulirik
ponselku, benda tersebut sudah mati total. Aku tak bisa
menghidupkannya. Dayanya sudah habis.
Flowers | 338
pukul sebelas malam. Ketika suasana malam Jogja semakin
ramai, banyak anak-anak muda yang nongkrong di
angkringan atau sekadar jalan-jalan.
Flowers | 339
Sial. Seharusnya aku sadar, sejak awal aku terpikat oleh
Keira.
***
Flowers | 340
Extra Part 4:Rumah-rumah yang Hangat
Keira
Hari itu, hari lamaran Kaira. Aku, Ibu, Kaira sibuk di dapur
beserta Bu Endang tetangga dekat rumah. Kami memesan
katering untuk acara, tetapi ibu membuat sedikit hidangan
tambahan untuk acara nanti sore. Aku sedang memotong
Flowers | 341
kentang menjadi beberapa bagian. Tempe kupotong persegi
panjang, baru kuiris tipis-tipis. Nantinya, akan dijadikan
kering kentang untuk pelengkap nasi soto yang akan
dihidangkan pada tamu. Sedangkan bingkisan yang akan
dibawa pulang, sudah aku pesankan ke katering. "Nanti
sekalian menentukan tanggal pernikahan, Mbak?" tanya Bu
Endang. Beliau mengiris daging sapi seukuran seperempat
telapak tangan. Di depannya, ibu melakukan hal serupa. Kaira
sendiri sedang menggiling bumbu dengan blender.
Flowers | 342
"Keira bagaimana? Sudah ada calon?" ucap Bu Endang.
"Buruan, lho, Nduk. Adikmu sudah ada calon, nanti tidak
laku, lho." Kalimat selanjutnya, membuat telingaku panas.
Ibu punya teman, waktu masih muda pilih-pilih. Sama ini,
nggak mau, sama itu nggak mau. Akhirnya, dia menikah sama
duda beranak satu. Beda usia empat belas tahun. "Padahal, dia
masa mudanya cantik. Banyak yang naksir," tambah Bu
Endang.
Flowers | 343
Pikiran buruk pun sering melintas, seandainya saja yang
berada di posisi Kaira adalah aku. Aku pasti menjadi orang
yang paling berbahagia saat ini.
***
"Ibu ingin kamu bahagia, Kei, seperti Kaira," tukas ibu. Aku
memijit perlahan punggung ibu. Kami memang bicara serius,
tetapi tidak saling menatap. Aku tahu, semua orang tua akan
banyak pikiran mengenai anak-anaknya, terutama anak
perempuan. Banyak mitos dan budaya yang membuat
perempuan serba salah. Salah satunya mengenai dilangkahi
oleh adiknya sendiri. Konon, kakaknya akan sulit bertemu
dengan jodohnya. Menjadi perawan tua.
Flowers | 344
buruk dengan memarahinya, ibu tentu memikirkan aku dan
Kaira. Satu-satunya orang yang ingin membuat kami bahagia.
***
Pada acara minum teh waktu itu, aku merasa terasing. Yoga
sibuk mengenalkan Kaira pada rekan kerjanya, sehingga
melupakanku yang juga turut hadir dalam acara itu.
Flowers | 345
Aku memilih meninggalkan kerumunan dan mengambil
beberapa kudapan. Sungguh, acara seperti ini sangat
disayangkan apabila tidak menikmati makanan yang ada. Aku
segera mengambil piring kecil dan mengisinya dengan dua
potong kue cokelat. Kedua kue tersebut benar-benar
menggugah seleraku, sehingga cukup meringankan beban di
hati. Bagiku, menikmati cokelat cukup mengobati rasa sakit
untuk sementara.
Flowers | 346
memintaku menikah dengannya. Dua kali kami bertemu dan
dia mengatakan hal yang serupa; pernikahan.
Flowers | 347
sama sekali tidak menyangka pada akhirnya akan menikah
dengan Aldric dan rumah tanggaku jauh dari sempurna. Pada
kenyataannya, Aldric menyesal telah melakukan hal konyol
yakni mengajakku menikah.
"Di halte waktu itu, kau terlihat kacau," tambah Aldric. Aku
tertawa, memiringkan kepalaku, kemudian mengambil
sendok dan menyendok cokelat di atas piring kecil di
depanku. Mendadak aku menyesal telah mengambil dua kue.
"Ya, seperti kau bilang, aku sedang kacau," jawabku.
"Haruskah kita kabur dari acara ini?" kataku, mengalihkan
pembicaraan.
Flowers | 348
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Meskipun begitu,
aku tetap menjawabnya dengan gelengan kepala. "Bagus,"
tambahnya.
"Kenapa?"
"Sebab, ucapanku tadi bukan main-main." Aku semakin tidak
mengerti. "Seminggu lagi, kuharap kau sudah mengambil
keputusan." Setelah dia pergi, aku baru menyadari, bahwa
Aldric sedang melamarku.
***
Flowers | 349
menikah lebih dari kebutuhan biologis, sebab tidak ada
malam pertama. Saat itulah aku mengerti, Aldric memiliki
alasan serupa denganku.
Flowers | 350
kecuali meminum kopi hitam yang sudah dingin yang kubeli
selama perjalanan.
Pulang.
Flowers | 351
Mungkin, saat ini aku telah membuat khawatir semua orang,
termasuk ibu dan Kaira. Betapa egoisnya aku, telah menyakiti
orang-orang yang kusayangi. Bagaimana kalau pada akhirnya
perpisahanku dengan Aldric membuat Kaira tak melanjutkan
pernikahannya dengan Yoga?
Aldric mencariku?
Flowers | 352
Kaira kangen, Mbak. Ibu juga.
***
Flowers | 353
ada di mana-mana, kantong mata yang terlihat begitu lelah,
dan tatapannya membuat hatiku teriris.
Flowers | 354
Malam hari, aku mendapatkan pesan dari Drupadi. Pesan
tersebut dia kirim terlalu larut, ketika aku hendak tidur. Aku
sudah membersihkan kamar, menata seprai, dan
membersihkan diri. Kaira sudah sudah tertidur lelap. Aku
masih terjaga dengan banyak pemikiran. Saat itulah, aku
membaca pesan Drupadi.
Maaf, aku Dru, seketaris Al. Kali saja kau tak menyimpan
nomorku.
Flowers | 356
Extra Part 5: Memulai Dengan Kejujuran
Hal itu terpikirkan oleh Aldric ketika dia membuka mata pagi
ini. Keira tertidur pulas di sampingnya. Tubuh polosnya
terbalut selimut tebal berwarna putih di kamarnya. Pagi ini,
Keira terlihat bercahaya, mungkin karena efek dari selimut di
kamarnya atau memang sejak awal Keira secantik ini. Hanya
saja, Aldric baru menyadarinya?
Flowers | 357
oleh Aldric, hal itu membuatnya merasa bersalah kepada
Keira, terutama mengenai sikapnya.
Flowers | 358
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Keira lagi. Dia melepaskan
pelukannya dari Aldric, kemudian mengucek matanya. "Kita
harus bangun."
"Tak apa-apa."
Flowers | 359
Tangan kanan Aldric terulur menyentuh rambut istrinya, dia
menyelipkan beberapa helai rambut istrinya itu ke belakang
telinga. Dia ingin melihat wajah Keira dengan jelas. Ketika
Keira berkata seperti itu, perasaan Aldric membuncah. Dia
mengingat bagaimana perlakuannya terhadap Keira sebelum
ini.
***
Flowers | 360
sentuhan terakhir. Lalu, dia merasa puas
dengan penampilannya pagi ini.
Flowers | 361
bersama. Dia tahu bagaimana Aldric ketika Keira tidak di
rumah. Suasana rumah kembali sunyi dan terasa sesak.
Sebab, dia harus melihat wajah Aldric yang selalu cemberut.
Flowers | 362
Keira mengangguk. Lalu, dia kembali bertanya, "Apakah kau
benar-benar suamiku?"
"Hmm?"
"Bagaimana kalau kita tidur sekamar?"
"Apa?" Keira sudah mendengar kalimat dari Aldric, tetapi hal
itu membuatnya terkejut. Debaran di dadanya kembali
muncul. Sungguh, Keira belum terbiasa dengan sikap Aldric
yang berbeda dari sebelumnya.
Flowers | 363
"Kenapa? Kita suami istri. Itu wajar," sahut Aldric. Dia
berdeham. Tanpa diketahui oleh Keira, Aldric juga
merasakan debaran yang sama. "Aku ingin setiap hari tidur di
sisimu, Kei."
***
Flowers | 364
Meira dan Keira, "Kita akan buka kafe lebih lambat." Baik
Keira maupun Meira tertawa. Mereka mengerti, Lena ingin
berbicara banyak dengan Keira. Atau lebih tepatnya, baik
Lena maupun Meira ingin mendengar cerita Keira.
Flowers | 365
"Aku tidak tahu," jawab Keira jujur. "Mas Al bilang, dia
sudah menyelesaikan hubungannya dengan Melisa." Keira
menyesap cokelatnya. "Kalau Mas Al memang masih ingin
bersamanya, dia tak akan memintaku untuk kembali, bukan?"
"Kali ini, kalian tidak sedang bersandiwara, kan?" sahut Lena.
Dia hanya ingin memastikan, bahwa pernikahan Keira serius.
Menanggapi pertanyaan Lena, Keira tertawa. "Aku serius,
Kei."
***
Flowers | 366
Keira terus bersenandung, sesekali dia mengomentari
pemotor yang ugal-ugalan, atau dia berbicara mengenai
kenangannya dengan Meira dan Lena semasa kuliah, ketika
melewati tempat-tempat tertentu.
Flowers | 367
"Aku tunggu."
Flowers | 368
"Ide bagus," sahut Aldric. "Aku akan minta Bi Endah
memindahkan makan malam kita ke balkon."
"Oke, mandilah."
Keira mengangguk.
***
Flowers | 369
"Aku berpikir untuk meminta maaf kepada ibumu," ucap
Aldric. Keira menoleh ke suaminya itu. Dia sama sekali tak
menyangka, Aldric akan memikirkan hal ini. "Aku sudah
menjadi menantu kurang ajar, bukan?"
Flowers | 370
Aldric mengikuti Keira, dia menyentuh tengkuk istrinya itu,
memijat bahunya. Keira masih mual. Kali ini dia tak
mengeluarkan apa pun. Keira mengguyur wastafel dengan air,
kemudian Aldric memberinya handuk bersih.
***
Flowers | 371
Extra Part 6: Apakah Ini Akhir Bahagia?
Keira tak pernah tahu arti dari sebuah akhir bahagia. Sebagai
penulis, dia selalu menuliskan akhir bahagia untuk para tokoh
yang ditulisnya. Ketika dia menuliskan bab terakhir itu, Keira
sama sekali tak mengerti arti dari akhir bahagia yang
sesungguhnya. Dia hanya menyuguhkan yang diinginkan
pembaca; kedua tokoh hidup bersama.
Flowers | 372
Saat ini, Aldric sedang duduk di balkon kamarnya. Awalnya,
balkon itu kosong, tak terisi apa-apa. Kini, sejak Keira ikut
tidur di kamar itu, perempuan itu memberikan sedikit
sentuhan di sana.
Flowers | 373
Keira masih tidak enak hati, sehingga dia tak pernah
menyebut nama Yoga di hadapan Aldric. "Kei." "Hem."
"Yoga akan menjadi adik iparku," katanya. Keira membasahi
bibirnya, sedikit cemas. "Mungkin, nanti aku akan cemburu,
tetapi itu hal yang wajar. Aku hanya ingin kau tahu, aku sudah
melupakan masa lalu kita."
***
"Cobalah."
Flowers | 376
Keira mulai mencoba hidangan di depannya itu, kemudian
kepalanya bergerak-gerak sebagai tanda dia menyukai
makanan di hadapannya.
"Tenang saja, makanan kita malam ini, tak hanya ini." Aldric
ikut menikmati makan malamnya.
Flowers | 377
Aldric merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan
kotak beludru berwarna merah marun. Keira mengernyitkan
dahinya ketika melihat kotak di tangan Aldric. "Aku merasa
belum pernah melakukan dengan benar." Aldric berucap
dengan sedikit gugup. Aldric membuka kotak beludru di
tangannya. Di dalam kotak itu bukan berisi cincin, melainkan
sebuah kalung. Aldric meraih kalung itu dan mengangkatnya.
Flowers | 378
Keira menyentuh liontin di lehernya. "Bagus sekali."
"Kau suka?"
"Hem?"
"Sebentar, aku dadaku masih berdebar," tukas Keira. Dia
tertawa kecil. Hah. Hari ini dia banyak tertawa. "Pertama, aku
akan menerbitkan buku lagi."
"Ah, selamat."
"Terima kasih."
"Kedua?"
Keira melihat ke arah Aldric. "Aku berharap kau siap menjadi
ayah."
"Oh," desah Aldric. Lalu, matanya membulat. "Apa?"
tanyanya, terkejut.
Flowers | 379
Keira tertawa. "Tempo hari aku ke dokter sepulang dari kafe,"
ceritanya. "Waktu aku mual dan pusing itu." Dia menggigit
bibir bawahnya. "Ya, kata dokter, aku hamil."
"Al, tenanglah."
"Kau senang?"
Flowers | 380
=====END=====
Flowers | 381