Anda di halaman 1dari 382

KATA PENGANTAR

Rasa sakit hati membuat Keira mendapati dirinya menikah


dengan Aldric-seorang pengusaha cokelat yang belum lama dia
temui. Apa yang membuat Aldric setuju menikahinya dan
apakah pernikahan ini cukup untuk mengobati sakit hati Keira?

***

Keira sakit hati luar biasa mendengar bahwa adiknya akan


menikah dengan laki-laki yang dia cintai bertahun-tahun,
sahabat dekatnya sejak SMA-Yoga. Tanpa 1iker 1iker1g, Keira
memutuskan untuk menikah dengan Aldric yang awalnya dia
1iker dapat sedikit menghapuskan perasaannya untuk Yoga.

Namun, hidup berumah tangga dengan Aldric tidak semudah


yang dipikirkan Keira, dengan sikap pria itu yang seperti
enggan untuk mengenal Keira lebih jauh dan menganggap
pernikahan mereka hanya sebatas janji di atas kertas. Di satu
sisi, Keira ingin Aldric berubah dan ingin pria itu berhenti
memandangnya seperti orang asing, tapi di sisi lain, Keira
merasa jauh dari Aldric adalah yang terbaik untuk mencegah
perasaan baru muncul di antara mereka berdua. Sebenarnya apa
yang membuat Aldric setuju menikahinya? Apakah pernikahan
ini cukup untuk mengobati rasa sakit hati yang dipendam
Keira?

Flowers | 1
PROLOG

Kamar seorang pemilik perusahaan cokelat terbesar di


Indonesia itu teramat luas. Bahkan, tiga kali lebih luas daripada
kamar milik Keira Widia. Tempat tidurnya berukuran king,
dilapisi seprai putih bersih, dan bantal berkelir senada. Di
kanan kiri tempat tidur tersebut terdapat kabinet dengan lampu
kamar di atasnya, lemari selebar dinding, dan kamar mandi
dalam.

Keira yakin, kamar mandi tersebut pastilah seindah selayaknya


kamar mandi hotel bintang lima.

Betapa beruntungnya Keira, bisa menginjakkan kaki di dalam


kamar seindah ini. Bermimpi pun ia tak pernah. Sekarang Keira
justru tengah duduk di tepi ranjang berseprai putih tersebut.
Kedua tangannya saling bertaut dengan gelisah. Sesekali ia
membetulkan anak rambutnya yang terjatuh berkali-kali ketika
ia menunduk.

Aneh rasanya berada di dalam kamar seluas ini. Bagi Keira,


kamar kecilnya lebih dari cukup untuk membuatnya nyaman.
Lebih jauh menenangkan. Tapi, apa boleh buat? Mulai
sekarang ia harus tidur di kamar ini. Karena ini merupakan
keputusannya. Tidak ada yang memaksanya untuk tinggal di
sini. Tidak Ibunya, apalagi almarhum ayahnya.

Flowers | 2
Terdengar suara helaan napasnya sendiri. Kali ini, Keira
menggigit bibir, mencoba meredam kecemasan yang seakan
tak berujung.

"Seharusnya, aku menolak saja," lirihnya. "Ah, tidak. Ini sudah


benar. Aku akan terbiasa," ia kembali berucap. Jelas, saat ini ia
sedang berusaha untuk menghipnotis dirinya sendiri dengan
energi positif. Ya, karena itu satu-satunya cara yang bisa
membuatnya tetap tenang.

"Tapi, bagaimana sekarang?" Kali ini ia merisaukan hal


lainnya. "Ini pertama kalinya buatku." Banyak sekali alasan
yang membuat Keira begitu panik. Mengenai pesta kemarin
malam, dan berlanjut tadi pagi di sebuah gedung mewah. Dan,
sekarang mengenai dirinya sendiri.

Kali ini, Keira mendengar suara pintu terbuka. Sontak hal


tersebut membuatnya spontan berdiri, dan degup jantungnya
kian menari. Ia menghela napas sekali lagi, kemudian laki-laki
yang membuka pintu tersebut melangkahkan kaki ke dalam
kamar.

Laki-laki itu adalah Aldric Raharjo, pemilik pabrik cokelat


terbesar di Indonesia.

Sejak kemarin malam, laki-laki itu resmi menjadi suami Keira.


Aldric melangkah melewati Keira yang berdiri mematung di
sisi ranjang. Laki-laki itu sama sekali tidak peduli dengan
keberadaan Keira yang masih mengenakan terusan gaun

Flowers | 3
berwarna hitam tersebut. Keira menunggu. Menunggu Aldric
mendekatinya, mengecup keningnya, atau sekadar senyuman.
Tapi, laki-laki itu justru sibuk melepaskan jas, kemudian
melonggarkan dasi.

Melihat hal itu, membuat tubuh Keira menegang. Ingat. Ini


malam pertama mereka dan ini kali pertama bagi Keira. Karena
Aldric pasti sudah teramat sering melakukan hal ini, ia lakilaki.

Pikiran Keira jauh melayang, apa yang akan dilakukan Aldric


padanya nantinya. Bagaimana rasanya? Apa seindah seperti
yang diceritakan Meira, sahabatnya yang telah menikah empat
tahun yang lalu? Atau justru teramat sakit karena ini pertama
kalinya?

Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, membuat perut Keira


penuh. Dan, pipinya memanas.

Astaga, ini akan terjadi juga.

Tepat ketika Aldric tengah sibuk melepas kancing pergelangan


kemejanya, laki-laki itu menoleh ke arah Keira. Pandangan
mata keduanya bertemu. Keira yakin, jantungnya sempat
berhenti. Lalu, Aldric berjalan ke arahnya, dan itu justru
membuatnya semakin tak tenang. Keira semakin gelisah.
Astaga, ia begitu gugup.

Sekarang, jarak mereka tidak lebih dari lima puluh centi. Keira
bisa merasakan hangat kehadiran Aldric di depannya.

Flowers | 4
"Apa kau tidak akan melepas baju itu?" tanya Aldric. Keira
baru saja akan membalas, tapi laki-laki itu berkata, "Terserah
kau, mau melepasnya atau tidak." Sontak kalimat Aldric
membuat mata Keira menatap lurus ke arahnya.

Aldric menarik sudut bibirnya, meletakkan kedua tangannya di


bahu Keira, kemudian mendekatkan wajahnya.

Keira menahan napas, menelan ludah, dan memejamkan mata.


Lalu, Aldric berbisik di telinganya. "Kita memang sudah
menikah, tapi tidak akan pernah ada malam pertama ataupun
malam-malam selanjutnya." Suara Aldric begitu lirih, tapi
Keira mampu mendengarnya dengan jelas. Tentu saja, kalimat
tersebut membuat Keira membuka mata, dan tubuhnya
semakin memanas.

"Malam ini, kuizinkan kau tidur di kamarku. Selanjutnya, kau


tidur di kamar tamu."

Keira tahu, pernikahannya tidak akan pernah mudah.

Flowers | 5
BAB SATU

Keira seorang penulis novel romansa. Namanya sudah cukup


dikenal dalam dunia literasi. Sampai saat ini, ia sudah memiliki
dua buah novel bertema remaja, dan empat novel bertema
remaja dewasa. Ia sudah menulis sejak duduk di bangku SMA.
Minatnya di dunia literasi diturunkan oleh almarhum ayahnya,
yang dulunya seorang penulis juga.

Ayahnya, mengenalkan Keira pada cerita-cerita pendek sejak


dini. Bau buku yang khas selalu membuat Keira tidur lebih
nyenyak. Melihat buku-buku tertata apik di rak buku yang
terbuat dari tangga bekas di kamarnya, membuat hatinya
menghangat. Dan, Keira memulai ceritanya ketika ia berumur
sepuluh tahun.

Selain menulis, Keira juga penggila cokelat. Cokelat favoritnya


adalah cokelat bermerek Kuuki. Cokelat Kuuki merupakan
merek dari berbagai macam jenis olahan cokelat. Mulai cokelat
batangan, camilan cokelat, minuman cokelat, dan beberapa
jenis lainnya. Karena kecintaannya terhadap cokelat, Keira
membuka toko cokelat bersama dua sahabatnya, Meira dan
Lena.

Toko cokelat itu sudah berjalan selama empat tahun, memiliki


bangunan bertingkat diapit oleh beberapa toko. Toko cokelat
milik mereka berkelir cokelat muda, dengan kaca tembus
pandang yang memuat nama toko mereka, Sweet Kakao.

Flowers | 6
Seperti sebelum-sebelumnya, Sweet Kakao selalu ramai,
terutama ketika jam pulang sekolah tiba. Cangkir-cangkir berisi
minuman cokelat hangat dan tar cokelat terhidang di atas meja.
Pembeli yang kebanyakan merupakan remaja tertawa di sudut
ruangan. Sweet Kakao penuh dan ceria, membuat Keira merasa
nyaman berdiri di balik kasir.

Sayangnya, keceriaan dan senyuman di wajahnya tak bertahan


lama ketika Kaira, adiknya masuk ke dalam toko kafe tersebut.
Adiknya, Kaira berumur tiga tahun lebih muda darinya. Ia baru
saja wisuda tahun lalu dan kini sudah bekerja di salah satu bank
swasta. Tidak seperti Keira, Kaira sama sekali tidak suka
cokelat. Maka, kedatangannya kali ini ke toko cokelatnya
adalah sesuatu yang tidak wajar. Kecuali, ada sesuatu yang
ingin dibicarakannya pada Keira.

"Kak Kei," lirih Kaira. Saat ini, Kaira dan Keira duduk di sofa
tamu di lantai atas. Ruangan khusus untuk Keira, Meira, dan
Lena menyambut tamu mereka. Tersirat jelas pada kedua mata
Kaira, bahwa ada sesuatu yang ingin ia utarakan.

Keira mengangkat kedua alisnya. "Ya?" sahutnya. Ia


tersenyum. Berbeda dengan Kaira yang sedikit pendiam, Keira
lebih periang dan murah senyum. "Kau kenapa? Ada masalah
sama Yoga?" Yoga merupakan kekasih Kaira. Biasanya, Kaira
akan berbicara dengan Keira jika ada sedikit guncangan dalam
hubungannya dengan Yoga.

Flowers | 7
"Tidak, Kak," sahut Kaira. "Kami baik-baik saja. Terlalu
baikbaik saja, malahan."

"Lalu?" sahut Keira, cepat. Namun, adiknya itu masih menutup


rapat bibirnya. Kedua mata Kaira tak mampu melihat ke arah
Keira, hal ini membuat Keira bertanya-tanya. "Hei, tidak
biasanya kau tertutup begini dengan kakak."

Keira tersenyum, meraih kedua tangan Kaira yang saling


bertaut. "Bicaralah," ujar Keira. "Seperti biasa, kakak akan
mendengarkan. Bunda tidak akan tahu rahasia kita." Ia
mengerlingkan mata ke arah adiknya. Sejak kecil, Keira
menggunakan trik itu untuk membujuk adiknya dan selalu
berhasil.

"Janji kakak tidak akan marah?"


Keira tertawa keras. Tawanya renyah, orang selalu menyukai
tawanya. Karena tawanya yang khas itu, membuat Keira
memiliki banyak teman dan juga pengagum. "Kenapa kakak
harus marah?" Ia tersenyum, menarik tubuh adiknya.
Memeluknya dengan sayang.

"Semalam, Yoga mengajakku ke rumahnya," Kaira memulai


cerita. Ia masih ragu-ragu. "Di rumahnya, Yoga sudah
menyiapkan makan malam. Kami mengobrol hingga larut,"
lanjutnya.

"Ah, itu alasan kenapa semalam kau pulang terlambat," sahut


Keira. Kaira mengangguk.

Flowers | 8
"Tidak seperti biasanya Yoga seperti itu. Kemarin malam, ia
terlihat berbeda. Ia terlihat ragu dan ..." kalimat Kaira tertahan,
"gugup."

Kali ini, wajah Keira menegang. Ia tahu arah pembicaraan


Kaira kali ini. Bukan mengenai pertengkaran kecil Kaira dan
Yoga. Atau, mengenai keluarga Yoga yang tidak merestui
hubungan mereka. Tapi, lebih dari itu.

"Kak, Yoga melamar Kaira," ucapnya hati-hati. Ia menggigit


bibirnya, melihat ekspresi yang terdapat pada wajah kakaknya.
Keira terdiam cukup lama. Otaknya berpikir cepat. Apa yang
harus ia katakan sebagai seorang kakak di sini? Ia harus
bahagia atau sutru sedih luar biasa?

"Ah, selamat!" seru Keira. Ia tertawa, menarik kembali tubuh


adiknya, dan memeluknya. "Kakak ikut bahagia." Keira
melepas pelukannya, kemudian memeluk Kaira lagi.

"Kak Kei," lirih Kaira. Wajahnya terlihat sedih. Keira


mengerutkan dahinya. "Apa aku boleh menerima lamaran
Yoga?"

"Tentu saja Kaira! Kau harus menerimanya!" seru Keira. Kaira


menggigit bibirnya. "Kak Kei, tidak apa-apa?" kedua alis Kaira
saling bertaut. Gadis itu meraih kedua tangan Keira.

"Kalau Kaira menikah, itu artinya Kaira harus melangkahi Kak


Kei."

Flowers | 9
Kali ini, Keira diam. Ia tidak tahu harus berkata apa pada adik
semata wayangnya itu. Bukan sekadar mengenai ia harus
dilangkahi, tetapi lebih dari itu.

***

Keira tahu, yang dipikirkan oleh Kaira mengenai masalah di


antara mereka adalah jika Kaira menikah, itu artinya Kaira akan
melangkahinya. Tapi, sebenarnya bukan itu yang membuat
Keira tidak mampu berkata apa pun di hadapan adik
kesayangannya itu.

Yoga atau Oga, merupakan sahabat Keira sejak SMA. Selama


tiga tahun mereka satu sekolah, hingga berkuliah pun di tempat
yang sama. Selama itu pula Keira diam-diam mencintai Yoga.
Sayangnya, Yoga hanya memandang pada satu perempuan,
yaitu adiknya sendiri.

Keira tak mampu berbuat apa pun, ketika mengetahui hal


tersebut. Terlebih lagi, adiknya, Kaira juga memiliki perasaan
yang sama pada Yoga. Dan, Keira sangat tahu pada saatnya
nanti hal ini akan terjadi juga. Meskipun ia tahu, Keira tetap
saja merasakan sakit yang teramat dalam.

Mengenai cintanya pada Yoga, hanya Meira dan Lena yang


tahu. Yoga sama sekali tidak tahu mengenai perasaan Keira
padanya. Laki-laki itu sama sekali tidak peka, ketika Keira rela
menemaninya bergadang untuk mengerjakan tugas-tugas
lakilaki itu, ketika Keira selalu menolak setiap ada laki-laki

Flowers | 10
yang menyatakan cinta padanya, dan mengapa sampai sekarang
Keira sama sekali belum bisa berpaling hati. Itu semua karena
ia masih menyimpan rasa pada kekasih adik kandungnya
sendiri.

Apa yang dialami Keira begitu rumit.


"Sudah pernah aku katakan, Kei, kau harus bicara pada Yoga!"
seru Meira ketika Keira berhasil menceritakan apa yang
dikatakan oleh Kaira. "Berkali-kali! Ribuan kali, Kei!" Meira
merasa geram terhadap Keira. Sahabatnya satu itu tak pernah
mendengarkan omongannya sama sekali. Tidak sewaktu Yoga
mengatakan menyukai Kaira, tidak sewaktu Yoga akhirnya
menyatakan cinta pada Kaira, dan sekarang akhirnya Yoga
akan menikahi Kaira.

"... dan kalau kau tak berkata apa pun pada Yoga, setidaknya
cari laki-laki lain. Move on, Kei! Move on!" lanjut Meira.

Keira hanya duduk lemas di atas sofa. Jam dinding sudah


menunjukkan pukul sembilan malam. Suami Meira sudah
menunggu di bawah, tapi istrinya justru sedang memarahinya.
Begitulah Meira, selalu banyak bicara mengenai apa pun. Ia
merasa masalah yang dihadapi oleh kedua sahabatnya, adalah
masalahnya juga.

Mendengar Meira berbicara terus menerus, tidak membuat


Keira semakin baik. Ia justru semakin terpuruk.

Flowers | 11
"Mei, sudah," sahut Lena. Perempuan berambut panjang itu
mulai angkat bicara ketika melihat wajah Keira yang mulai
enggan. "Lebih baik kau pulang, kita bicarakan masalah ini
besok. Kasihan suamimu sudah menunggu."

Meira menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia


meraih tas selempang miliknya dari atas sofa, kemudian
berkata, "Aku sayang sama kamu, Kei. Kita sayang sama
kamu." Ia mengambil jeda dalam kalimatnya, "kau mengerti,
kan?"

"Meiii ...," ucap Lena dengan nada panjang.

"Oke-oke."

"Guys," ucap Keira. "Aku mohon sama kalian, seperti


sebelumnya," kalimatnya tertahan. Keira sama sekali tidak
tahu, jika mengucapkan kalimat dengan beberapa suku kata
saja teramat sulit baginya. "Aku tidak pernah mencintai Yoga
dan seharusnya memang seperti itu."

"Kei ...," desah Lena.

"Ini yang terbaik, Len." Keira menelan ludah. Baginya, tidak


ada yang terbaik saat ini. Hal mendasar yang menjadi
kekhawatirannya, bukanlah mengenai perasaannya. Tapi,
bagaimana menghadapi Ibunya.

Flowers | 12
"Kalau itu memang maumu, Kei. Kami tidak bisa berbuat
apaapa," ujar Meira. Setelah mengucapkan kalimat tersebut,
Meira berjalan menuruni tangga menemui suaminya yang
sudah menunggunya di kafe.

"Kau benar-benar baik-baik saja, Kei?" tanya Lena pelan. Lena


sangat tahu, Keira tidak sedang baik-baik saja, tapi pertanyaan
tersebut tetap saja muncul dari bibirnya.

Keira tertawa kecil. "Aku baik-baik saja, Len. Kau tenang saja.
Aku perempuan hebat, ingat?"

Lena tersenyum, memeluk Keira. "Aku tahu, Kei. Kau akan


baik-baik saja."

Keira tidak baik-baik saja, ia hanya mencoba untuk baik-baik


saja.

***

Masalah Keira tidak berhenti begitu saja. Ia baru saja sampai di


rumah, dengan ojek online. Lalu, ia berjalan ke dalam ruang
tamu. Di sana, ada Yoga. Laki-laki itu tidak sendirian. Ada ibu
dan tentu saja Kaira bersama mereka.

Mereka bertiga menatap ke arahnya. Keira yakin, sebelum ia


datang suasana ruang tamu ini hangat dan penuh dengan dialog.
Lalu, ia masuk dan semua terasa dingin dan sunyi. Ada sesak

Flowers | 13
yang menyergapnya, seakan ia salah masuk ke dalam rumah.
Seakan ia tak diinginkan di sini.

Keira sadar, perasaan dingin ini muncul dari dalam dirinya


sendiri.

"Selamat malam," serunya.

"Hai, Ga, tumben sampai jam segini," sapanya, sekadar basa


basi. Seperti biasa, Keira teramat pintar menyembunyikan
perasaannya. Keira berjalan ke arah ibunya, mencium
punggung tangan orang yang melahirkannya ke dunia tersebut.
Lalu, ia beralih pada Kaira. "Tidak ganti baju dulu, Ra?"
tanyanya, ketika melihat sang adik masih mengenakan seragam
kantornya.

"Ini baru mau ganti baju, Kak." Adiknya itu beranjak dari sofa
dan pergi meninggalkan ruang tamu. Selanjutnya, ibunya
melakukan hal yang sama. Keira tahu, ada hal yang ingin
dibicarakan Yoga dengannya.

"Oke," lirihnya. Ia berbalik dan melihat ke arah Yoga. "Kita


bicara di teras saja, ya?" pintanya. Yoga mengangguk. Mereka
berpindah ke teras, duduk bersila di lantai.

"Kaira pasti sudah cerita sama kamu," Yoga memulai


pembicaraan. Mereka sudah tak mengenal basa basi. Mereka
terlalu dekat untuk melakukan hal itu. "Kau pasti tahu, tujuanku
menemuimu, Kei."

Flowers | 14
Keira tertawa. "Tentu saja, Bodoh," sahutnya. "Aku ini pintar,
ingat?" Yoga tertawa kecil mendengar kalimat Keira. Tawa itu
adalah tawa yang membuat Keira tergila-gila.

Ia tak pernah melihat tawa seperti itu pada laki-laki lain.

"Ya, kau jauh lebih pintar daripada aku Kei." Yoga


mengiyakan. Hal yang sangat jarang ia lakukan. Mendengar
Yoga tidak mengolok-oloknya seperti biasa, membuat Keira
mau tak mau kecewa. Itu berarti, Yoga akan memohon sesuatu
padanya.

"Mama sudah mendesakku untuk segera meresmikan


hubungan kami," Yoga mulai kembali mengarahkan
pembicaraan ke semula. Ia melihat ke arah Keira, mencari-cari
sesuatu di kedua mata sahabatnya itu. "Kami tahu, kami akan
mempersulit keadaanmu, Kei."

Keira tertawa. "Tadi Kaira yang menemuiku dan sekarang


kau," ujarnya. "Ada apa dengan kalian? Kalian seakan-akan
menganggapku sebagai penghalang pernikahan kalian."

Kenyataannya, memang begitu. Masalah materi untuk


persiapan pernikahan tidak akan membuat mereka
kelimpungan. Tabungan yang mereka miliki lebih dari cukup
untuk mengadakan pesta pernikahan. Keira tahu, adiknya
selalu menyisihkan uang hasil kerjanya untuk pernikahannya
kelak. Ia selalu bilang tak akan merepotkan ibu mereka. Dan,

Flowers | 15
Yoga? Ah, dia anak orang kaya dan pekerjaannya juga cukup
bagus.

Jadi, jika sekarang keluarganya terlihat bersedih, alih-alih


bahagia mengenai pernikahan adalah karena dirinya.

Mereka semua memikirkan Keira. '

Perempuan yang sebentar lagi menginjak usia kepala tiga.


Dan, adiknya akan menikah lebih dulu.

Ah, sampai sekarang Keira belum menikah bukanlah


keinginannya. Bahkan, dulu ia ingin menikah di usia dua puluh
satu tahun. Ia sama sekali tidak pernah berkeinginan menjadi
perawan tua, tapi ia juga tak ingin menikah karena dikejar usia.

Seandainya saja, ia tak mempunyai adik perempuan yang


buruburu ingin menikah, mungkin ia tidak perlu memikirkan
hal ini.

"Bukan seperti itu maksud kami, Kei," Yoga buru-buru


menerangkan maksudnya. "Maaf, jika kami membuatmu
merasa seperti itu." Yoga meraih tangan Keira, "Kei kau tahu,
kami menyayangimu. Kami bisa bertunangan dahulu dan
menikah setelah kau bertemu dengan belahan jiwamu."

"Kalau tidak akan pernah bertemu?" sahut Keira cepat. Kedua


matanya nyalang menatap Yoga. "Apa yang akan kalian

Flowers | 16
lakukan?" ucapnya tertahan. "Berapa lama kalian sanggup
untuk menunggu?"
"Kei ...."
"Kalian bisa menikah kapanpun kalian mau," Keira menelan
ludah, menarik kembali tangannya dari genggaman Yoga.

"Tidak perlu memikirkanku."

"Keira, dengarkan aku," ujar Yoga kembali. "Aku, Kaira, dan


teman-teman lainnya, akan membantumu. Kami yakin, kau
akan segera bertemu dengan belahan jiwamu. Orang yang akan
kau cintai nantinya."

Debaran jantung Keira kian menari. Ia benar-benar merasa


terusik dengan kalimat yang diucapkan Yoga padanya.

Seharusnya, laki-laki itu tahu apa keinginan Keira. Ia ingin


menikah karena memang sudah bertemu dengan seseorang
yang pas untuknya, bukan karena sesuatu hal yang lain.

Nyatanya, pertemanan mereka selama ini tidak cukup untuk


membuat Yoga mengerti. Tentu saja Yoga tidak akan pernah
mengerti, bahkan untuk menyadari cinta Keira padanya saja ia
tak tahu.

"Aku terangkan lagi, Ga. Aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh
bantuan kalian," ucapnya penuh amarah. "Menikahlah. Akan
kuhadapi masalahku sendiri. Oke?"
"Kei ...."

Flowers | 17
"Selamat malam, Ga."
***

Flowers | 18
BAB DUA

Pukul lima pagi Keira sudah terjaga dari tidurnya. Ibunya selalu
berkata, jika nanti ia sudah menikah, ia harus bisa bangun jauh
lebih pagi daripada mertuanya. Ia harus menanak nasi,
menyiapkan keperluan suaminya sebelum berangkat kerja.

Keira menurunkan kedua kaki jenjangnya dari ranjang,


melakukan peregangan tubuh sebentar, dan menarik napas. Ia
menoleh ke arah sisi kanannya, melihat ranjang yang terlalu
besar itu kosong. Semalaman, ia menepati tempat tidur itu
sendiri. Suaminya, Aldric lebih memilih merebahkan tubuhnya
di atas sofa yang berada di kamar itu.

Aldric benar-benar tidak menginginkan malam pertama


ataupun malam-malam selanjutnya bersama Keira. Memang,
Keira tidak meminta secara terang-terangan kemarin malam,
tapi mendengar kalimat Aldric semalam mau tak mau membuat
harga dirinya terinjak. Keira berpikir Aldric akan tetap
menginginkan hubungan intim, meskipun mereka menikah
hanya karena keharusan. Ia laki-laki. Laki-laki bisa
berhubungan intim, meskipun mereka tak mencintai
perempuannya.

Apa Keira sama sekali tak membuat gairah Aldric terusik?

Memikirkan hal itu, membuat Keira sakit hati. Memangnya, ia


seburuk itu?

Flowers | 19
Keira bukanlah gadis sembarangan. Di tahun kedua berada di
universitas, ia sudah menjadi ketua BEM dan tahun berikutnya
ia menyandang sebagai wakil presiden BEM Fakultas. Kala itu,
ia juga dikenal sebagai penulis yang memiliki nama. Novelnya
yang ketiga sudah dicetak kedua kalinya kala itu. Dan, tak
jarang teman laki-lakinya ingin menjadikannya kekasih.
Sayangnya, Keira hanya menyukai Yoga.

Dan, jika sekarang Aldric sama sekali tak terusik dengan paras
Keira, hal itu perlu dipertanyakan. Mungkin Aldric ternyata
memiliki kelainan atau karena selera yang dimiliki Aldric
cukup tinggi sehingga kehadiran Keira sama sekali tak
mengganggunya.

Keira menjejakkan kakinya di atas karpet halus yang menutupi


lantai kamar milik Aldric. Dengan kaki telanjang, ia berjingkat
mendekati sofa tempat Aldric terlelap. Ia penasaran, bagaimana
wajah Aldric ketika terlelap. Apakah laki-laki itu masih terus
menerus menautkan kedua alisnya, atau justru wajahnya seperti
bocah?

Tepat ketika di samping sofa, Keira menunduk. Ia menatap


lurus ke arah paras Aldric. Keira tertegun dan diam-diam ia
menarik sudut bibirnya. Wajah Aldric jauh berbeda dengan
wajah yang selalu laki-laki itu tunjukkan pada Keira. Bulu mata
Aldric ternyata panjang dan lebat, alisnya melengkung
sempurna, hidungnya bangir, kulitnya terlihat halus dan
berwarna sawo matang. Dan, yang paling Keira sukai, Aldric
mempunyai bibir tipis bagian atas, dan sedikit tebal bagian

Flowers | 20
bawah. Bibir itu mengingatkan Keira akan bibir milik aktor
ternama Indonesia.

Jika tidak dalam keadaan seperti ini, Keira pasti menginginkan


laki-laki itu untuk menjadi suaminya. Sayangnya, saat ini yang
bisa Keira lakukan hanyalah menikmati wajah Aldric ketika ia
terlelap.

Keira menegakkan tubuh, berjalan ke arah pintu kamar sebelum


Aldric menyadari bahwa ia sedang diamati.

Perempuan itu belum benar-benar mengenal rumah ini. Rumah


ini merupakan rumah milik Aldric sendiri. Rumah kedua orang
tua Aldric tidak jauh dari sini. Kemarin, malam pesta
pernikahan mereka di rayakan di sebuah hotel mewah.
Sehingga, ia belum mengenal rumah ini sama sekali.

Keira berjalan menuruni tangga. Masih dengan kaki telanjang,


ia menginjakkan kaki di anak tangga satu persatu.

Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali seorang diri oleh


Aldric. Keira merasa, terlalu banyak ruang kosong di sana sini.
Hanya berisi perabotan-perabotan yang justru membuat rumah
terlihat begitu sepi. Keira hanya mendengar suara-suara dari
arah dapur. Mungkin, lebih baik jika mereka memiliki lima
orang anak untuk meramaikan rumah ini.

Keira tersenyum kecut. Bisa-bisanya ia memikirkan memiliki


lima orang anak, Aldric menciumnya saja tidak sudi.

Flowers | 21
Ketika pesta pernikahan mereka kemarin. Aldric mencium
keningnya, sekadar keharusan. Kalau Keira boleh jujur, bibir
Aldric ketika menempel di dahinya terasa begitu hangat. Ia
merasa nyaman dengan ciuman singkat itu. Keira hampir lupa
jika ciuman tersebut sekadar ilusi.

Kaki Keira berjalan ke arah dapur yang berada di sebelah


tangga, ia sudah mencium aroma sedap dari tempatnya berdiri.
Nampaknya, ia terlambat bangun untuk menyiapkan sarapan.
Meskipun begitu, Keira tetap mendekat ke arah dapur. Ia ingin
mengenal pegawai-pegawai yang bekerja di sini, karena
bagaimanapun juga, ia sudah menjadi istri Aldric.

Baru saja Keira hendak masuk ke dalam dapur, seseorang


sudah muncul di ambang pintu. "Oh, Nyonya," sapanya.
Seorang perempuan berumur sekitar lima puluh tahun itu
menunduk penuh hormat kepada Keira. Terus terang, Keira
sedikit terkejut dibuatnya.

Keira tersenyum geli ketika mendengar panggilan "Nyonya"


yang ditujukan padanya. Rasanya aneh mendengar kata
tersebut.

"Hai," Keira menyapa balik.

"Nyonya butuh sesuatu?" tanya pembantu rumah tangga itu.


"Biar saya ambilkan."

Flowers | 22
Keira menggeleng keras. "Ah, tidak perlu. Saya berniat
menyiapkan sarapan untuk Al," ujarnya. Lalu, ia tertegun
ketika pembantu rumah tangga itu mengerutkan dahinya.
"Maksud saya, Mas Al." Keira lupa, Aldric adalah suaminya.
Sudah sepantasnya ia lebih sopan memanggil laki-laki itu,
terlebih lagi di depan orang lain. "Tapi, sepertinya anu ...."

"Maaf, saya Endah, kepala pembantu rumah tangga di sini,"


Endah memperkenalkan diri. "Nyonya, tidak perlu
menyiapkan sarapan untuk Tuan Aldric, karena kami yang
akan menyiapkannya."

Lalu, jika Keira tak perlu menyiapkan sarapan atau makan


siang untuk Aldric, apa yang akan ia lakukan di rumah ini untuk
suaminya? Karena Keira yakin, Aldric juga sudah menyiapkan
pekerja untuk membersihkan rumah, berkebun, dan keperluan
lainnya.

Keira merasa kehadirannya di rumah ini tidak ada gunanya.

"Apa tidak ada yang bisa saya bantu?" tawar Keira. Ia berharap,
ada rutinitas pagi hari sebelum ia berangkat ke kafe. Seperti
ketika ia di rumah. Menyiapkan sarapan untuk ibu dan Kaira.
Atau sekadar memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci.

Endah menoleh ke belakang. Di belakangnya sudah ada Ndari


dan Laras yang sibuk memasak, dan beberapa pekerja lainnya
yang membersihkan rumah dan kebun. Endah sendiri tidak tahu
apa yang bisa dilakukan Keira di rumah ini.

Flowers | 23
Endah menggeleng pada Keira.

"Baiklah," desah Keira. Ia memutuskan kembali ke dalam


kamar Aldric. Ia akan mencari sesuatu yang mungkin bisa
dikerjakannya pagi ini di kamar itu. Dan, mungkin sebaiknya
hari ini ia meminta Aldric untuk mengantarkannya ke rumah.
Mengambil barang-barang miliknya yang belum sempat ia
pindahkan ke rumah ini.

Dengan semangat Keira kembali menaiki tangga, berbelok ke


arah kanan, dan membuka pintu kamar sebelah kiri. Saat ia
masuk, Aldric masih terlelap dalam posisi yang sama. Keira
hampir saja tergoda untuk kembali melihat paras suaminya itu,
kalau saja ia tidak ingat akan menyiapkan sesuatu untuk Aldric.
Entah apa.

Keira masuk ke dalam kamar mandi. Tebakannya kemarin


benar, kamar mandi milik Aldric benar-benar bagus. Shower
bergantung mengkilat, bak mandi yang luas, dan beberapa
handuk dengan berbagai warna tertata apik di dalam lemari
berkelir putih senada dengan segala perabotan di dalamnya.

Setelah melihat-lihat kamar mandi milik suaminya itu, Keira


tahu apa yang akan dilakukannya untuk Aldric.

***

Flowers | 24
Aldric terbangun karena aroma cokelat di kamarnya. Aroma
tersebut begitu gurih, manis, dan menenangkan. Bila ia
menghidu aroma tersebut ialah di kantor dan meja makan.
Bukan di kamarnya.

Aldric membuka mata, menegakkan tubuh, meletakkan kedua


kakinya di atas karpet. Ia melihat sekeliling. Kamarnya kosong.
Ranjangnya yang semalam ditempati oleh Keira sudah rapi.
Sejenak, ia lupa sudah memiliki seorang istri. Tapi, bukan itu
masalahnya. Ke mana perempuan itu pergi? Mungkin sedang
mandi?

Laki-laki itu kembali menghidu aroma cokelat. Matanya


melihat sekeliling, mendapati sebuah cangkir berwarna merah
bertengger di atas nakas di sisi ranjang. Aldric melangkahkan
kaki ke arah ranjang. Belum sampai ia di dekat cangkir
berwarna merah itu, matanya menangkap sesuatu di atas
ranjang.

Pakaian kantornya.

Mungkin, Bi Endah sudah menyiapkannya selagi aku tidur,


batinnya. Kemudian, ia teringat Bi Endah tak pernah
menyiapkan pakaiannya sebelum ia terbangun. Bi Endah selalu
menyiapkan pakaiannya ketika ia sedang mandi.

Dan, cangkir merah dengan aroma cokelat itu, bukanlah


kebiasaan Bi Endah. Ia tahu jelas, karena ia benci aroma lain

Flowers | 25
tercium di kamar tidurnya. Terlebih lagi aroma semacam
cokelat, kopi, bahkan teh.

Lagi pula, ia terbiasa minum susu hangat, bukan seduhan


cokelat.

"Kau sudah bangun?" Aldric mendapati sebuah suara dari arah


punggungnya. Ia menoleh. Keira, perempuan yang ia nikahi
muncul dari balik pintu kamar mandi. Rambutnya terlilit
handuk berwarna putih, perempuan itu mengenakan kimono
mandi miliknya. Mau tak mau, Aldric melihat tubuh Keira dari
bawah sampai ke atas.

Ah, sepagi ini, ia harus melihat pemandangan seperti itu.

"Maaf, aku memakai perlengkapan mandimu," ujar Keira. Ia


berjalan ke arah Aldric, melewatinya dan berhenti di sebuah
koper kecil yang sempat ia bawa ke rumah ini. "Aku lupa
membawa milikku." Keira melanjutkan. Ia sama sekali tidak
menyadari, bahwa Aldric sedang menahan diri.

Apa dia berniat menggodanya? Aldric membatin.

"Oh ya, aku membuatkanmu cokelat panas. Semoga kau suka,"


seru Keira.

"Aku tidak terbiasa minum cokelat sepagi ini," Aldric


menanggapi, setelah ia bisa mengendalikan diri. Ini tidak
mudah baginya. Dia laki-laki biasa. Ia mudah tergoda, sama

Flowers | 26
seperti laki-laki pada umumnya. Terlebih lagi, melihat tubuh
Keira yang hanya terbalut kimono seperti itu. Tapi, jika ia tak
bisa mengontrolnya, akan ada yang tersakiti nantinya. "Padahal
aku suka sekali."

"Kalau begitu, kau saja yang minum," ucap Aldric. Ia berjalan


ke arah kamar mandi, sebelum itu ia berucap. "Dan, tolong
jangan pernah membawa makanan atau minuman apa pun ke
dalam kamarku. Ah ya, aku juga tidak suka dengan setelan
yang kau siapkan. Jadi, tolong panggilan Bi Endah untuk
menyiapkannya untukku."

Keira tertegun. Ia sama sekali tak menyangka Aldric akan


berkata demikian. Ia bermaksud baik. Ia ingin berguna untuk
suaminya itu. Keira mendesah, mencoba memahami situasi
yang terjadi sepagi ini. Mungkin, dia hanya belum terbiasa. Iya,
pasti karena itu.

"Kau tidak perlu melakukan apa pun untukku, Kei. Pernikahan


kita sebatas status. Ingat?"

***

Aldric masuk ke kamar mandi, melepas pakaiannya dengan


cepat dan berkacak pinggang. Tidak tahu kenapa, pagi ini ia
merasa uring-uringan. Mungkin, karena kehadiran Keira di
rumahnya. Atau mungkin karena statusnya kini sudah beristri.

Flowers | 27
Ia merasa aneh saja, ada orang lain yang hadir di rumahnya,
selain Melisa. Perempuan yang ia cintai sekaligus yang
mengkhianatinya itu terlalu hafal dengan kebiasaan Aldric.
Melisa tahu, Aldric tidak suka minum cokelat panas di pagi
hari, tidak suka kamarnya tercium bau makanan maupun
minuman, tidak suka jika barang-barang miliknya disentuh
orang lain.

Dan, yang pasti Melisa tahu setelan kantor yang pas untuknya.

Aldric sangat tahu, ia yang menyetujui mengenai pernikahan


mereka. Ia dan Keira sudah sepakat untuk menikah. Meskipun,
mereka sama-sama tidak saling memberi alasan kenapa mereka
harus menikah, sedangkan mereka baru saja saling mengenal.

Laki-laki itu merasa konyol. Ia dengan mudahnya menikahi


seorang perempuan, yang ia sama sekali tak mengenalnya.
Lebih konyol lagi, ia uring-uringan sendiri karena keputusan
konyolnya tersebut.

Aldric baru menyadari kebodohannya, ketika usai pesta


pernikahan mereka. Dan, saat ia menyadari kesalahannya itu,
semua sudah terlambat. Ia dan Keira sudah resmi menjadi
suami istri.

Dan, pagi ini ia kembali menyesali keputusannya tersebut,


ketika melihat tubuh mungil Keira berbalut kimono miliknya.
Ia tak pernah menyadari bahwa perempuan yang ia nikahi
terlihat begitu menarik ketika mengenakan kimono mandi,

Flowers | 28
daripada mengenakan gaun pernikahan. Nalurinya sebagai
laki-laki terusik. Seandainya saja, semalam Keira tak terlihat
segugup itu, mungkin ia bisa saja tidur dengan perempuan itu.
Tapi, Keira gugup. Perempuan itu terlihat canggung dan
ketakutan.

Keira masih perawan.

Itulah alasan kenapa Aldric tidak menyentuhnya, bahkan


sekadar menjalin hubungan fisik pun ia tak berani mengambil
risiko. Ia tak ingin merasa bersalah nantinya, jika pada akhirnya
ia harus meninggalkan Keira.

Untuk sekarang ini, biarkan semua berjalan seperti apa adanya.


Selanjutnya, Aldric akan membuat cara agar mereka berpisah.
Mungkin, dua atau tiga bulan lagi.

***

Flowers | 29
BAB TIGA

Tidak apa jika Aldric bersikap dingin padanya tadi pagi. Sangat
wajar bagi laki-laki itu untuk bersikap demikian. Mereka belum
lama kenal. Pernikahan yang mereka jalani juga hanya karena
sebuah alasan yang tidak masuk akal. Terlebih lagi, pesta
pernikahan yang mengharuskan keduanya berdiri selama
berjam-jam.

Aldric pasti sedang lelah.

Untuk sementara, Keira akan memaklumi dengan perilaku


suaminya itu. Keira sendiri pun butuh waktu untuk beradaptasi
dengan Aldric. Ingat, mereka baru saling mengenal. Tidak
lama. Hanya dua bulan saja. Intensitas pertemuan mereka pun
tidak sering. Sangat wajar jika mereka masih sama-sama
canggung.

Dan, mengenai aturan-aturan yang dikatakan oleh Aldric itu,


mungkin Keira yang belum tahu.

Hari ini Keira tidak masuk kerja. Ia memilih berada di rumah,


sekadar untuk mengenal seluk beluk rumah suaminya itu. Lagi
pula, ia belum tahu benar jalan ke arah kafenya dari rumah
Aldric. Selain itu, masih banyak pekerjaan yang harus ia
selesaikan untuk menyesuaikan diri. Mengambil
barangbarangnya di rumah, misalnya.

Flowers | 30
"Nyonya, kamarnya sudah siap," Bi Endah datang menemui
Keira di kamar. Seperti yang dikatakan Aldric kemarin, ia akan
memiliki kamar sendiri. Mereka tidak akan tidur dalam satu
kamar. Keira sendiri menyambutnya dengan senang hati, itu
berarti ia punya privasi.

"Iya, Bi. Sebentar lagi saya ke sana," sahut Keira sembari


tersenyum. Ia sedang membereskan selimut di sofa yang
semalam ditempati Aldric untuk tidur. Awalnya, Bi Endah
yang akan membereskannya, tapi Keira menolaknya. Ia justru
meminta Bi Endah untuk menyiapkan kamar untuknya, seperti
yang dikatakan oleh Aldric. "Terima kasih, ya, Bi."

Bi Endah tersenyum ramah. Baru mengenal sehari dengan


Keira, ia sudah menyukai perempuan itu. "Sama-sama, Nya.
Kalau ada keperluan lagi, jangan sungkan-sungkan panggil
saya, ya."

Keira mengacungkan jempolnya ke arah Bi Endah. "Siap."

Usai membereskan kamar Aldric, Keira mengambil koper kecil


miliknya dan membawanya ke kamar di depan kamar milik
Aldric.

Keira membuka pintu kamar miliknya tersebut, kemudian ia


terpukau. Keira pikir, kamar miliknya akan jauh berbeda
dengan milik Aldric. Nyatanya, kamar tersebut tidak jauh
berbeda dengan kamar Aldric. Hanya saja, ukuran kamar

Flowers | 31
miliknya lebih kecil. Ia bisa tahu lantaran di kamarnya tidak
ada satu set sofa dan televisi seperti di kamar milik suaminya.

Perempuan itu melangkahkan kaki ke dalam kamar barunya.


Tangan kirinya menyeret koper kecil yang ia bawa dari rumah.
Kaki telanjangnya terus melangkah hingga ke sisi ranjang. Ia
duduk di atas ranjang, kemudian merebahkan diri. Ia menatap
langit-langit kamar yang berbentuk ornamen bunga berwarna
putih kebiruan. Belum lama Keira berada di kamar tersebut. Ia
sudah merasa akan menyukai kamar barunya.

Pertama kali mendengar Aldric akan memberikannya kamar


sendiri, Keira merasa kecewa. Sebagian dari dirinya merasa
terhina dengan kalimat Aldric, lalu ia berpikir, apa salahnya?
Lagi pula, dia juga butuh waktu. Dengan memiliki kamar
sendiri, Keira bisa bebas. Ia bisa menaruh buku-bukunya di
salah satu sisi dinding, meja kerjanya sendiri, dan kamar mandi
sendiri. Sehingga, ia tak perlu sungkan-sungkan dengan Aldric.

Paling tidak, Keira memiliki ruang pribadinya sendiri. Ruang


di mana ia tak perlu menjaga sikap, seperti ketika di depan
suaminya.

"Kamu pasti bisa Keira!" serunya. Ia tertawa kecil untuk


merayakan kamar barunya. Sejenak, ia menyadari sesuatu.
Sejak hari ia memutuskan untuk menikah, kali pertamanya ia
tertawa, meskipun hanya beberapa persen dari tawa yang
pernah ia miliki.

Flowers | 32
"Paling tidak, ada sesuatu yang kurindukan dari rumah ini
nantinya."

***

Kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah keinginan untuk


menikah.

Sejak kecil, Aldric merupakan seorang putra yang tak memiliki


kehidupan berlebih. Ia anak terakhir dari tiga bersaudara, yang
ketiganya adalah laki-laki. Seperti kedua kakak laki-lakinya,
Aldric juga menerima harta berlebih dari kedua orang tuanya,
tapi minim kasih sayang. Bagaimana tidak? Kedua orang
tuanya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih
lagi papanya yang memiliki keluarga sendiri sejak ia bercerai
dengan mamanya.

Mamanya mencurahkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan.


Ia sama sekali tidak ambil pusing mengenai Aldric maupun dua
anaknya yang lain. Bagi Messi, mama Aldric, memberi
kebebasan dan materi berlimpah sudah lebih dari cukup. Aldric
sendiri juga tidak ambil pusing. Ia tumbuh menjadi laki-laki
yang penuh kebebasan, namun tetap ada batas.

Untungnya, Aldric bukan laki-laki yang mudah terpengaruh


oleh pergaulan bebas semacam narkoba dan obat terlarang.
Bukan juga laki-laki yang tak bisa diatur seperti anak yang
dilahirkan tanpa kasih sayang. Tentu, hal itu berkat Omi.

Flowers | 33
Nenek Aldric.

Meskipun tanpa kehadiran kedua orang tuanya, Aldric


memiliki Omi yang selalu mendidiknya penuh kedisiplinan,
dan memiliki tata krama. Bahkan, Aldric sendiri teramat segan
dengan neneknya itu.

Omi tidak pernah melarangnya bergaul dengan siapapun. Tapi,


dalam masalah pasangan hidup, Omi ambil bagian. Neneknya
tak pernah mudah ditaklukan oleh seorang perempuan berparas
cantik dan bertutur kata lembut. Omi tidak peduli dengan latar
belakang gadis yang akan dipilih oleh Aldric. Yang terpenting,
perempuan itu harus baik, dan bisa mengurus Aldric dengan
penuh kasih sayang.

Aldric jarang membawa kekasihnya pulang ke rumah, ketika ia


masih seatap dengan neneknya. Hanya dua perempuan yang
pernah ia bawa ke rumah dan memperkenalkannya dengan
Omi.

Melisa dan Keira.

Melisa adalah perempuan pertama yang ia kenalkan secara


resmi dengan Omi. Secara kebetulan, malam itu kakak
sulungnya, Brian, bertandang ke rumah bersama istrinya Rika
dan kedua anaknya. Malam itu juga ibunya, Messi, datang ke
rumah atas permintaan Aldric. Semua sudah direncanakan,
meskipun kakak keduanya tak bisa hadir karena masih di luar
negeri.

Flowers | 34
Kakak kedua Aldric, Aldo, memilih berada di Amerika dekat
dengan papanya.

Bagi Aldric, malam itu adalah kombinasi sempurna. Teramat


jarang bagi meja makan di rumah tersebut terisi penuh.
Sangatlah langkah bisa berkumpul dalam satu meja dan
menikmati sebuah hidangan bersama.Hal itu membuka
kesempatan bagi Aldric untuk mengenalkan Melisa kepada
keluarganya.

Melisa memiliki tubuh tinggi dan berisi. Lekuk tubuhnya


teramat sempurna bagi seorang perempuan. Pinggulnya dan
dadanya berisi, perutnya rata tanpa lemak, betisnya putih
ramping. Sekali lihat pun, laki-laki tahu bahwa Melisa adalah
barang yang mahal.

Kali pertama Aldric melihat sosok Melisa, ketika ia di


perkebunan cokelat di Madiun. Melihat Melisa berada di
tengah-tengah perkebunan, semacam melihat bintang paling
terang di kegelapan malam. Aldric langsung merasakan letupan
pada hatinya. Darahnya mendidih ketika melihat lekuk senyum
Melisa.

Dengan berbagai cara akhirnya Aldric berhasil berkenalan


dengan Melisa, dan tanpa membuang waktu yang lama, mereka
pun berpacaran.

Flowers | 35
Malam itu, ketika Aldric mengutarakan niatnya untuk menikahi
Melisa, Omi menghentikan kegiatan makan malamnya.
Neneknya itu memandang Aldric dengan tatapan kecewa
bercampur kemarahan. Terus terang, Aldric tidak mengerti
kenapa Omi bersikap seperti itu pada Melisa. Padahal, malam
itu, Aldric sekadar mengenalkan dan belum bercerita mengenai
latar belakang gadis itu.

Aldric sudah memiliki firasat bahwa ini tidak akan mudah, tapi
ia sama sekali tidak menyangka Omi akan langsung menentang
hubungan mereka.

Untuk kali pertama, Aldric menentang neneknya tersebut.

Demi Melisa, Aldric rela menyakiti orang yang memberinya


kasih sayang penuh yang tak bisa diberikan oleh mamanya.
Sayangnya, Melisa justru menyakitinya setelah apa yang sudah
ia lakukan untuk perempuan itu.

"Seperti yang Omi katakan," ucap Omi, ketika hubungan


Aldric dan Melisa berakhir. "Dia bukan perempuan yang baik
untukmu."

Dan, ketika Aldric membawa Keira ke hadapan Omi, entah apa


alasannya, neneknya itu tak berkomentar apa pun atau
memandang Aldric dengan kecewa. Justru, ia melihat senyum
di sudut bibir neneknya itu meskipun samar.

Flowers | 36
Omi menyetujui pernikahannya dengan Keira, tanpa larangan
sedikit pun.

***

Mungkin, salah satu alasan Aldric menikahi Keira adalah


karena Omi tidak mempermasalahkannya.

Aldric pikir, ketika ia mengatakan untuk menikahi Keira, Omi


akan memberikan reaksi yang sama ketika ia memperkenalkan
Melisa. Nyatanya, Omi sama sekali tak menentang maupun
sangat setuju dengan pilihannya. Bagi Aldric, sikap yang Omi
tunjukkan padanya antara, Omi menyukai Keira atau karena
Omi kasihan dengan Aldric setelah kepergian Melisa.

Apa pun alasannya, karena persetujuan Omi, Keira resmi


menjadi istrinya.

Dan, perempuan yang berprofesi sebagai penulis itu adalah


istrinya.

Hari ini Aldric pulang lebih awal. Omi menghubunginya, dan


memintanya untuk berkunjung ke rumah. Bersama Keira tentu
saja. Sehingga Aldric buru-buru ke rumah, sebelum Omi
memilih untuk datang ke kediamannya. Itu bukanlah ide yang
baik, karena ia dan Keira tidak sekamar.

Masih di dalam mobil, Aldric termenung. Menarik napas


dalam-dalam. Di luar cuaca teramat cerah, sore itu. Udaranya

Flowers | 37
hangat. Tapi, tentu tak bisa menghangatkan hatinya. Entah apa
yang sudah ia lakukan, ia merasa begitu bodoh dan konyol.
Bisa-bisanya ia menikah dengan seseorang yang baru saja ia
kenal.

Beberapa jam saja.

Aldric tertawa kecil, menertawai dirinya sendiri. Entahlah,


waktu itu pikirannya tak sedang bagus, dan lebih aneh lagi,
Keira menyetujui pernikahan mereka. Ah, mereka sama-sama
sedang punya masalah.

Suara pintu mobil terbuka, Aldric menjejakkan kakinya ke atas


ubin. Menutup pintu mobil, kemudian berjalan perlahan ke
dalam rumah. Saat di dalam rumah, Aldric melihat Bi Endah
sedang menuruni tangga. Mereka berpapasan di ujung tangga.

"Keira ada di mana?" tanya Aldric, tanpa basa basi. Bi Endah


sedikit terkejut. Mungkin karena ia belum terbiasa mendengar
nama Keira di rumah ini, atau mungkin karena kaget
mendengar Aldric memanggil Keira hanya dengan nama.
"Nyonya ada di mana?" ulang Aldric, mencoba membiasakan
diri.

"Di kamarnya, Tuan," jawab Bi Endah. Aldric mengangguk,


menaiki anak tangga sembari melonggarkan ikatan dasi di
kerah bajunya.

Flowers | 38
Tadi pagi, Bi Endah diminta Aldric untuk menyiapkan kamar
khusus Keira, tepat di depan kamar Aldric. Awalnya, ekspresi
Bi Endah seperti ingin menanyakan sesuatu, tapi Aldric
buruburu meminta Bi Endah mematuhi perintahnya. Dan,
sesuai permintaannya, Bi Endah menyiapkan kamar untuk
Keira.

Di depan kamar Keira, langkah kaki Aldric terhenti. Pintu


kamar istrinya tak dikunci, karena pintu itu terbuka sedikit.
Tapi, ada keraguan dalam hatinya untuk membuka pintu
tersebut. Ia takut. Takut akan melihat sesuatu yang semestinya
ia lihat, tapi ia tak ingin lihat. Rumit. Demi Tuhan, Keira itu
istrinya. Lalu kenapa ia harus segamang ini. Katakanlah Keira
memang sedang tak berbusana di dalam sana, toh ia tak berdosa
jika melihatnya. Keira istrinya.

Mungkin, semuanya akan lebih mudah jika perempuan yang


berada di dalam sana adalah Melisa.

Ya, seseorang yang diinginkannya.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Aldric meraih handel


pintu. Lagi-lagi, langkahnya terhenti. Bukan pemandangan
Keira tanpa busana yang dilihatnya, melainkan gadis itu tengah
berbaring di atas ranjang. Bukan pikiran kotor yang
menyerangnya saat ini, tapi karena Keira sedang tersenyum.
Ya, perempuan itu sedang tersenyum sembari menatap
langitlangit kamarnya.

Flowers | 39
Untuk kali pertama sejak Keira menginjakkan kaki di rumah
ini, perempuan itu tersenyum. Meskipun bukan untuk Aldric.

Laki-laki itu heran. Kemarin sikap perempuan itu menunjukkan


ingin berhubungan dengannya sebagai suami istri, dan
sekarang ia melihat perempuan itu teramat bahagia memiliki
kamar pribadinya. Yang artinya, ia tak akan satu kamar dengan
Aldric.

Sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran istrinya itu?

***

Keira terkejut. Ia buru-buru bangun dari rebahannya. Dan,


mendapati suaminya di ambang pintu kamarnya.

"Hai," sapa Keira. Kikuk. Ia bangkit, mendekati Aldric. "Kau


sudah pulang rupanya. Maaf, aku tidak tahu." Ia hendak meraih
tas Aldric, namun laki-laki itu mencegahnya. Keira menarik
napas dan menghembuskannya.

Lihatlah, senyum yang ia lihat tadi menguap entah ke mana


dari wajah perempuan ini.

"Kau terlalu sibuk mengagumi kamar barumu, sehingga nggak


sadar aku berdiri di sini," balas Aldric datar. "Bersiap-siaplah.
Malam ini, kita ke rumah Omi."

"Omi?" tanya Keira, sedikit terkejut.


Flowers | 40
"Ya," jawab Aldric. Ia berbalik hendak kembali ke dalam
kamarnya. Tapi, sebelum itu, Keira menarik lengan kemejanya.
Ia menoleh. "Ada apa?"

"Kau belum menjelaskan apa-apa." Keira melihat dahi Aldric


berkerut. Menunjukkan ia sama sekali tak mengerti dengan
kalimat yang baru saja ia ucapkan. "Kau hanya berkata akan ke
rumah Omi. Tapi, kau tak mengatakan ada acara apa atau kita
harus apa di sana."

Aldric menarik napas dalam-dalam. Terlihat enggan untuk


berurusan dengan Keira. Tapi, perempuan itu tidak peduli.
"Kau menantu di keluarga kami. Sudah sewajarnya kau
mengenalkan diri." Ia mengambil jeda dalam kalimatnya. "Apa
sudah cukup jelas?"

Aldric kembali melangkah meninggalkan Keira, perempuan itu


mengikuti langkah Aldric. "Kenapa mendadak sekali?"

"Tidak mendadak. Omi kasih tahu siang tadi," jawab Aldric tak
acuh.

"Kenapa kau baru memberitahuku?" protes Keira.

"Maaf," sahut Aldric. Ia tidak benar-benar mengucapkan kata


maaf tersebut. Ia hanya tak ingin memperpanjang masalah.
Memangnya, apa bedanya ia memberitahu Keira tadi siang atau
sekarang?

Flowers | 41
"Bersiap-siaplah," kata Aldric kemudian. "Tiga puluh menit
lagi, kita berangkat."

Keira tetap berdiri di tempatnya. Aldric mengerutkan


keningnya. "Aku harus pakai apa?"

Tidak pakai apa-apa justru lebih baik. Aldric akan mengatakan


kalimat tersebut, kalau saja yang di depannya saat ini adalah
Melisa. Bukan Keira.

"Tentu saja pakaian yang kau miliki."

"Aku hanya membawa pakaian santaiku saja, Al. Aku belum


mengambil sisa pakaianku di rumah," jelas Keira. Ia mendesah.

"Ya, pakai apa saja," sahut Aldric. Mulai jengah. Perempuan,


kenapa selalu merepotkan. Apa susahnya memilih pakaian.
"Tolong, jangan mempersulit diri." Aldric berbalik, lagi-lagi
Keira menarik kemejanya.

"Apa lagi?!" tanya Aldric dengan nada suara tinggi. Mau tak
mau membuat Keira mundur selangkah karena kaget. Kedua
mata Aldric yang awalnya melebar, melunak ketika melihat
wajah Keira yang ketakutan.

Tentu Keira terkejut dengan perlakuan Aldric padanya.


Meskipun ia tahu suaminya itu tak sengaja membentaknya.
Tapi, tetap saja itu sebuah bentakan. Keira menarik napas
dalam-dalam. Meskipun hatinya menciut karena tatapan kedua

Flowers | 42
mata Aldric, ia mengangkat dagunya, menatap kedua mata
Aldric. Ia berusaha keras agar terlihat baik-baik saja.

"Sepertinya, ada yang salah di antara kita," ucap Keira mantap.


Suaranya nyaris tak ada getaran sedikit pun. "Pernikahan ini
bukan hanya aku yang setuju," ia menarik napas dalam-dalam.
"Kau juga menyetujuinya. Kalau-kalau kau lupa."

Keira berbalik, masuk ke kamar, dan menutup pintu. Ia menarik


napas yang sempat ia tahan tadi.

Memangnya, apa yang ia pikirkan saat menyetujui pernikahan


konyol ini?

***

Flowers | 43
BAB EMPAT

Pada akhirnya, Keira mengenakan satu-satunya gaun yang


sempat ia bawa ke rumah Aldric, untuk menghadiri jamuan
makan malam dari Omi.

Ini kali ketiga Keira bertemu langsung dengan omi. Pertemuan


pertama ketika Aldric memperkenalkannya pada keluarga
besarnya, kedua ketika pesta pernikahan. Keira menyukai Omi.
Ia tahu, Omi wanita yang baik. Meskipun Omi tak pernah
menunjukkan kebaikan tersebut kepada Keira. Itu wajar,
mereka baru saja mengenal satu sama lain. Dan, Keira adalah
perempuan yang menikahi cucu kesayangannya. Wajar jika
Omi tak bisa langsung menyukainya.

Seperti kali pertama ia menginjakkan kaki ke kediaman Omi,


Keira terkagum-kagum. Mengingat keluarga Aldric dari
kalangan yang cukup dihormati, rumah Omi terbilang
sederhana. Bangunan kuno, khas rumah Jawa. Hanya satu
lantai. Atapnya mengerucut ke atas. Meskipun begitu, rumah
ini merupakan rumah tempat keluarga Aldric berkumpul. Dan,
Aldric tinggal bertahun-tahun di sini.

Di meja makan tersebut, hanya ada mereka bertiga. Omi,


Aldric, dan Keira.

Ruang makan terasa sunyi, hanya terdengar dentingan sendok


yang beradu dengan piring porselen. Keira pun tak banyak
bicara. Ia belum terbiasa berada di tengah-tengah keluarga

Flowers | 44
Aldric. Tapi, untuk sesaat ia merasa nyaman ada Omi di
antaranya dan Aldric.

"Kapan kalian akan berbulan madu?" Omi memecahkan


keheningan, di sela-sela suapan sendoknya. Mendengar
pertanyaan Omi, membuat Keira berhenti sejenak. Tentu saja
ia merasa terganggu dengan hal itu. Ia melirik ke arah Aldric
yang berada di sampingnya, tapi nampaknya laki-laki itu sama
sekali tak ambil pusing. Ia masih menikmati makan malamnya.

"Al sibuk, Omi. Nggak sempat," jawab suami Keira. Keira


lega, karena akhirnya Aldric yang menjawab. Ia sama sekali
tak tahu harus berkata apa pada Omi.

Omi meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Ia


mengambil tisu dan membasuh bibirnya, kemudian melihat ke
arah Keira. "Sudah sewajarnya kalian berbulan madu." Omi
menatap cucu dan cucu menantunya secara bergantian. Ia yakin
ada sesuatu yang aneh di antara keduanya. Sayangnya, ia sama
sekali tak tahu akan hal itu.

"Nanti Al, cari waktunya. Dalam waktu dekat, perusahaan akan


meluncurkan produk baru. Al tidak sempat memikirkan hal
lain."

"Bahkan untuk memikirkan istrimu sendiri?" sahut Omi. Aldric


mendesah, terkadang neneknya itu benar-benar cerewet sekali.

"Omi ...."

Flowers | 45
"Kita bulan madu saja sekarang," sahut Keira. Ia tersenyum ke
arah Aldric. Omi dan Aldric melihat ke arahnya, tidak
mengerti. "Kita menginap di sini malam ini. Bukankah sama
saja dengan berbulan madu?" ucapnya pada Aldric. Lalu, ia
melihat ke arah Omi. "Boleh kan, Omi?"

"Lagi pula, Kei ingin melihat kamar Mas Al."

***

Pada akhirnya, Keira tertegun di atas ranjang.

Ia pasti sudah gila. Teramat gila meminta untuk menginap di


rumah Omi yang artinya, dia dan Al harus satu kamar.
Bagaimana mungkin ia mengusulkan hal konyol tersebut. Tapi,
ia harus melakukannya karena ia melihat Omi terlihat
mencurigai pernikahan cucunya dengan Keira. Itulah alasan
kenapa Keira meminta untuk menginap. Keira tidak
memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, karena ia
membayangkan kamar Aldric di kediaman Omi tidak jauh
berbeda dengan kamar Aldric di rumahnya sendiri. Kamar yang
luas, ranjang besar, dan sofa. Sayangnya, kamar Aldric di
rumah Omi jauh berbeda.

Kamarnya tidak luas, ranjang sempit, sofa apalagi.

Keira mendesah. Menenangkan dirinya berkali-kali. Ini kali


pertama mereka tidur dalam satu ranjang. Tidak apa-apa, tidak
akan terjadi apa-apa. Aldric tidak tertarik dengannya. Ah, tapi

Flowers | 46
dia laki-laki. Apa saja bisa terjadi malam ini. Kalaupun terjadi
apa-apa, lalu kenapa? Mereka suami istri. Demi Tuhan, apa
yang dipikirkan Keira tadi?

Di saat kepalanya begitu berat memikirkan malam ini, Keira


menangkap sesuatu yang mengalihkan pikirannya. Ia beranjak
dari ranjang dan berjalan ke arah dinding di kamar milik Aldric
tersebut. Pada dinding tersebut terdapat potret Aldric ketika
masih remaja, memegang piagam dan piala. Potret itu
menunjukkan wajah Aldric yang tersenyum hangat. Keira
tersenyum ketika melihat Aldric dalam potret tersebut, laki-laki
remaja itu sangat jauh berbeda dengan Aldric yang ia kenal saat
ini.

"Apa kau benar-benar ingin tidur denganku?" Keira terlonjak


ketika mendengar suara Aldric di belakangnya. Sampai-sampai
ia hampir menjatuhkan vas bunga di atas meja di dekatnya. Ia
berbalik, mendapati Aldric yang sudah segar berdiri tidak jauh
darinya. Sesaat pikiran Keira terhenti, ketika melihat Aldric
mengenakan kaus dan celana pendek selutut. Dagunya yang
dipenuhi bulu-bulu kasar, terlihat basah. Laki-laki itu terlihat
begitu santai daripada biasanya.

Keira menelan ludah, kemudian berkata, "Apa maksudmu?"

Aldric tersenyum. Bukan senyuman yang hangat seperti yang


Keira lihat di potret yang baru saja dilihatnya, tapi senyuman
dingin. Begitu dingin sampai-sampai membuat Keira hampir
membeku, kalau saja ia tak cepat-cepat sadar diri.

Flowers | 47
Laki-laki itu melangkah, mendekat. "Seperti malam kemarin,
terlihat jelas kau berpikir kita akan melakukan hubungan suami
istri," katanya. "Lalu, sekarang kau meminta untuk menginap
di sini. Yang itu artinya, kita akan tidur dalam satu ruangan
bahkan—"ia mengambil jeda. "—seranjang." Ia melihat ke
arah Keira, ia tahu, istrinya itu tegang. "Bukankah itu artinya
kau benar-benar ingin tidur denganku?"

"Kau pikir, aku menjebakmu?" tebak Keira. "Hei, jangan salah


paham. Aku meminta untuk menginap bukan berarti ingin tidur
denganmu," jelasnya. "Aku melakukan ini, sekadar untuk
meyakinkan Omi kalau pernikahan kita ini sungguh-sungguh."
Keira menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha keras untuk
terlihat biasa saja di depan Aldric meskipun saat ini ia luar biasa
tegang. Kalau tidak, Aldric akan berpikir kalau ia benar-benar
ingin tidur dengannya.

"Apa kau tidak sadar, kalau Omi sedang mencoba menguji


kita?" Tidak ada jawaban dari Aldric. Keira pun tak butuh
jawaban pula. Baginya Aldric menyetujui pendapatnya atau
tidak, bukanlah masalah. Yang penting, Aldric tidak berpikir ia
perempuan yang butuh tidur dengan laki-laki semacam Aldric.

Aldric masih diam di tempatnya ia berdiri. Terlihat jelas, kalau


ia salah menilai Keira. Kali ini, Keira merasa menang. Dan, ia
ingin kemenangan ini menjadi lebih sempurna lagi. Ia tak ingin
Aldric meremehkannya terus menerus. Beranggapan kalau ia
perempuan yang lemah hanya karena mau menikah dengannya
tanpa sebuah landasan cinta.

Flowers | 48
Maka, Keira berkata, "Lagi pula, kita suami istri. Apa salahnya
tidur satu ruangan atau bahkan seranjang?"

***

"Apa salahnya tidur satu ruangan atau bahkan seranjang?"

Aldric sama sekali tak menyangka Keira akan berkata seperti


itu. Sejak awal, Aldric berpikir Keira adalah tipe wanita
penurut dan mudah untuk dimanfaatkan. Ia sama sekali tak
menyangka malam ini Keira menunjukkan pada Aldric kalau
dia sama sekali tidak takut dengannya, apalagi sekadar berada
dalam satu ruangan. Sejujurnya, Aldric tahu, Keira cemas.
Terlihat jelas pada gerak gerik tubuhnya yang kaku. Tapi,
Aldric salut. Salut karena Keira berusaha menutupinya dan
melawan. Ia salut akan keberanian Keira. Permainan ini
semakin menarik baginya.

Sepertinya Keira sadar betul kalau Aldric hanyalah seorang


laki-laki biasa, yang memiliki kelemahan terhadap perempuan.
Keira memanfaatkan hal itu untuk memenangkan pertarungan
kecil dengannya. Benar saja, setelah kalimat yang dilontarkan
Keira padanya, Aldric merasa kacau. Terlebih lagi ketika ia
harus tidur berdampingan dengan Keira.

Aldric tahu, Keira tidak bisa tidur. Sama dengan dirinya.

Tapi, Keira perempuan. Perempuan lebih mahir dalam


menahan hawa nafsunya.

Flowers | 49
"Lagi pula, kita suami istri. Apa salahnya tidur satu ruangan
atau bahkan seranjang?"

Lagi-lagi, kalimat Keira terngiang di ingatan Aldric. Ia tidur


memunggungi Keira. Ia berusaha keras untuk tidak melihat ke
arah tubuh istrinya yang meringkuk di sebelahnya. Seharusnya,
ia boleh saja memeluk dan mencium Keira, karena mereka
suami istri. Tapi, egonya berkata lain. Lagi pula, ia tak ingin
mengambil risiko. Ia tak ingin membuat hubungannya dengan
Keira terlampau dalam.

Aldric bangun. Ia mengerang pelan, mengusap rambutnya


dengan kesal. Lalu, lagi-lagi ia menoleh ke arah Keira.
Nampaknya, wanita itu sudah terlelap. Ia berhasil tidak
mengindahkan Aldric yang tidur di sampingnya. Ah, bagus
sekali. Kini, tinggal ia yang masih berusaha keras untuk tenang.
Menahan diri untuk tidak memeluk wanita yang tidur
mengenakan gaun tipis itu.

Seandainya saja Keira tidak mengenakan gaun yang


seakanakan mudah untuk dilepaskan itu, mungkin akan mudah
bagi Aldric. Tidak, kalaupun Keira mengenakan pakaian tebal
dan tertutup pun, mungkin ia akan bereaksi hal yang sama. Ia
menyesal. Menyesal memilih Keira untuk ia nikahi.
Seharusnya ia menikahi perempuan yang tak memiliki paras
semenarik Keira.

Flowers | 50
Ya, Aldric baru menyadari malam ini. Menyadari bahwa Keira
menarik. Tidak, tidak. Sejak awal Keira memang wanita yang
menarik. Jika tidak, kenapa ia memilih wanita ini.

Benar sekali, Aldric memilih Keira untuk menghiburnya.


Untuk membantunya melewati sakit hati yang ia terima.

Itulah alasan kenapa ia tak ingin menjalin hubungan lebih jauh


dengan Keira. Ia tak ingin menyakiti wanita itu lebih jauh.
Meskipun Aldric tak tahu dengan jelas apa alasan Keira mau
menikah dengannya, tapi Aldric menebak ia memiliki alasan
serupa sepertinya.

Aldric tak tahan lagi. Ia hanyalah laki-laki biasa. Laki-laki yang


tak bisa membiarkan seorang perempuan tanpa disentuh.
Tangannya terulur, hendak memegang pundak Keira. Namun,
belum sempat jemarinya menyentuh pundak ringkih itu, Aldric
teringat Melisa. Ia menarik kembali tangannya, turun dari
ranjang dan mengambil selimut di lemari.

Pada akhirnya, Aldric menyerah. Ia biarkan kali ini Keira


menang. Ia rela tidur di atas lantai yang dingin hanya dengan
beralasan seprai.

***

Pagi-pagi sekali mereka kembali ke rumah.

Flowers | 51
Selama perjalanan pulang, mereka sama sekali tidak saling
bicara. Keira yang biasanya selalu punya bahan obrolan kini
memilih diam. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia
utarakan. Pagi tadi, ia mendapati Aldric tertidur di lantai
beralaskan seprai. Tubuh laki-laki itu melengkung, menahan
dingin. Melihat hal itu, Keira merasa kecewa. Entah untuk apa.
Dan, Aldric sukses merusak pagi Keira.

Ini tidak benar. Meskipun ia menikahi Aldric karena


keterpaksaan, ia merasa ini tidak benar. Aldric seolah-olah
pernikahan mereka terjadi karena kesalahannya. Aldric terlalu
memojokkannya. Keira harus meluruskannya. Paling tidak,
mereka akan tinggal satu atap, entah sampai kapan. Keira tak
tahan kalau harus seperti ini.

Keira mendesah. Ia bangkit dari atas ranjang, berjalan keluar


kamarnya, kemudian beralih ke kamar Aldric. Tanpa mengetuk
pintu, ia masuk ke dalam. Tentu, suaminya itu terkejut, lalu
menautkan kedua alisnya.

"Kau tak punya sopan santun, rupanya," ujar Aldric, tajam. Ia


sedang mengancingi kemeja abu-abu yang ia kenakan.

"Maaf," sahut Keira. "Ada yang harus kita luruskan."Aldric


menatap lurus ke arahnya. Hampir saja, ia mengurungkan
niatnya.

"Tentang?"

Flowers | 52
"Kita, tentu saja. Apalagi?" Keira menarik napas. "Ada yang
salah di sini."

"Tidak usah bertele-tele. Aku harus bekerja."

Keira tersenyum sinis. "Aku merasa kau menyalahkan aku atas


pernikahan kita."

Aldric memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia


menunggu Keira melanjutkan kalimatnya. Ia sadar, ia tahu apa
yang Keira maksudkan. Tapi, ia sama sekali tidak ingin
repotrepot menjelaskan suasana hatinya. Ia memilih
menunggu.

"Kita menikah atas kesepakatan berdua. Kau dan aku," lanjut


Keira. "Kalau-kalau kau lupa. Aku tidak jauh berbeda
denganmu. Aku pun terpaksa menjalaninya. Tapi, kau justru
bersikap seenaknya." Dada Keira naik turun, ia sudah berusaha
keras untuk menahan emosinya. Entalah, baru beberapa hari
saja pernikahannya terjadi sudah membuatnya menguras
terlalu banyak energi.

"Lalu, apa maumu?"

"Jangan menyalahkan pernikahan kita kepadaku," jawab Keira.


Aldric berkata, oke. "Dan, aku ingin hidup dengan nyaman di
sini." Ia menarik napas dalam-dalam. "Jika kita tak bisa
menjadi suami istri, kita bisa berteman." Baru saja Aldric akan
berbicara, Keira menyahut. "Ah, tidak. Teman terlalu dekat,

Flowers | 53
kurasa. Anggap kita ini mitra kerja. Ya, kita sedang bekerja
sama di sini."

"Kita bisa belajar menjadi suami dan istri yang baik. Bukankah
menguntungkan bagi kita nantinya? Saat kita memiliki
pasangan masing-masing. Dengan begitu, segalanya akan
terlihat alami. Omi tidak akan curiga dan keluargaku tidak akan
pernah tahu mengenai pernikahan tidak sehat ini."

Aldric mengangkat bahunya dengan cuek. Perempuan itu


memilih kata yang tepat bagi mereka berdua. Mitra kerja.
Sebuah kerja sama. "Boleh," sahutnya, menyetujui. "Lalu, apa
yang akan kaulakukan?"

Keira memperpendek jarak di antara keduanya. Ia berdiri tepat


di depan Aldric. "Biarkan aku menjalankan apa yang harus
dilakukan oleh seorang istri."Aldric menautkan kedua alisnya,
menunduk ke arah Keira yang berdiri di depannya. Lalu,
perempuan itu tersenyum, meraih dasi dari atas ranjang.
"Membantumu memakai dasi ini, misalnya."

Keira tersenyum, lalu memakaikan dasi di tangannya ke leher


Aldric. Dan, suaminya itu tak menolak.

***

Lagi, Aldric melihat sisi lain dari Keira. Ia tertipu dengan


keluguan perempuan itu. Ia ingat benar bagaimana pertemuan
pertama mereka. Perempuan itu berdiri di sebuah halte bus. Ia

Flowers | 54
sama sekali tak berniat untuk naik ke salah satu bus, karena ia
membiarkan setiap bus yang berhenti kembali berjalan tanpa
membawa dirinya. Aldric baru menyadari bahwa Keira sedang
menangis. Perempuan itu terlihat begitu rapuh, seakan-akan
mudah sekali untuk merobohkannya dalam satu kali sentakan.
Ekspresi Keira saat itu sama seperti yang Aldric lihat ketika
pertemuan mereka selanjutnya. Sampai kemarin malam, dan
pagi ini.

Aldric menarik ujung bibirnya. Tertawa sinis. Di depannya saat


ini ada sebuah kotak makan berwarna merah muda. Pagi tadi,
Keira sengaja menyiapkan bekal makanan tersebut untuknya.
Aldric tidak bisa menolak, karena ia baru saja menyetujui
permintaan Keira. Terlebih lagi, ketika ia mencium aroma
harum dari dalam kotak makanan tersebut.

"Aku memasaknya sendiri. Menunya tidak sama dengan yang


kau makan pagi ini," ujar perempuan itu.

Rupanya, Keira benar-benar ingin menjalankan tugasnya


sebagai seorang istri. Ia tidak peduli apakah Aldric akan
menerimanya atau tidak. Bagi Aldric sendiri tidak masalah
baginya, asalkan tidak melampaui batas privasi mereka. Seperti
yang dikatakan oleh perempuan itu, mereka tengah bekerja
sama. Menjalankan peran masing-masing, terlebih lagi ketika
di depan umum. Terutama di depan keluarga masing-masing.

Mungkin, memang Aldric terlalu keras membatasi dirinya.


Tidak seharusnya ia menyalahkan keadaan pada Keira.

Flowers | 55
Aldric membuka tutup bekal makanan yang sedari tadi hanya
ia lihat itu. Ketika tutup tersebut terbuka, hidungnya langsung
mencium aroma yang membuat perutnya berbunyi. Ah,
padahal masih pukul sepuluh pagi. Ia melihat potongan dadu
ikan tuna yang dibalut dengan tepung, nasi putih, dan saus
dengan bawang serta wortel tipis yang diletakkan Keira di
tempat tersendiri.

Aldric tersenyum, menggulung ujung kemejanya, meraih


sendok yang sudah disediakan oleh Keira. Ia tergoda untuk
mencicipi sedikit masakan Keira. Baru saja ia akan
memasukkan potongan ikan tuna itu ke dalam mulutnya, ia
teringat dengan kalimat Melisa.

"Cara termudah membuat laki-laki luluh adalah melalui


masakannya."

Laki-laki itu menurunkan kembali sendok di tangannya. Ia


meraih bekal makanan tersebut dan membuangnya ke tong
sampah.

Keira ingin meluluhkan hatinya, rupanya.

"Tidak akan kubiarkan."

***

Flowers | 56
BAB LIMA

"Kok, di sini, sih?"

Meira tengah membersihkan meja kafe ketika Keira datang.


Perempuan itu menghentikan pekerjaannya sejenak. Merasa
aneh dengan kemunculan Keira.

"Ini tempat kerjaku. Aku tidak boleh ke sini, gitu?" Keira


berpura-pura marah dengan memanyunkan bibirnya.

"Hei, perempuan yang baru menikah," panggil Meira,


"seharusnya kau masih berbulan madu, makanya aku heran
kenapa kau sudah masuk kerja?"

"Al, sibuk. Kami tidak punya waktu untuk berbulan madu,"


sahut Keira asal-asalan. Ia sama sekali tak ambil pusing dengan
acara bulan madu tersebut. Mereka akan tetap begitu-begitu
saja. Keira yakin, Aldric tidak akan berubah berbalik
mencintainya hanya karena liburan sehari dua hari.

Meira menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Merasa


aneh dengan kelakuan sahabatnya itu. "Suami macam apa itu?
Hei, hei, kalian baru menikah. Sudah sewajarnya berlibur."

Keira merangkul pundak Meira. Ia tertawa kecil. "Ayolah,


kami bisa berbulan madu di rumah. Kau tahu, Aldric tinggal
sendiri di rumahnya." Keira mengedipkan sebelah matanya.
"Kita bebas melakukan apa saja."
Flowers | 57
"Ckckck, kau sudah tumbuh dewasa rupanya." Meira berbalik
menyerang Keira dengan menggelitik pinggang perempuan itu.
Mereka berdua tertawa keras, sampai akhirnya Lena turun dari
lantai dua, menggeleng pelan melihat kedua rekan kerjanya
yang terkadang masih seperti anak kecil.

"Lena, anak satu ini sudah tidak perawan!" seru Meira pada
Lena. Mendengar kalimat itu, wajah Keira memanas.
Seharusnya apa yang ia rasakan adalah rasa malu, tapi ini justru
sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Meskipun
orang itu adalah Meira dan Lena.

Dia sudah membuat kesepakatan dengan Aldric, jadi dia akan


memerankan perannya dengan profesional.

"Sudahlah, Mei. Kau jangan ganggu Kei, lagi." Sekilas Lena


melihat ke arah Keira, lalu ia melihat sesuatu yang ganjil di
mata rekan kerja sekaligus sahabatnya itu. Tapi, dia hanya
tersenyum ke arah Keira. Mungkin, ini sekadar perasaan Lena
yang terlalu sensitif.

"Kalau begitu, bagaimana kalau nanti sepulang kerja kita


makan-makan?" usul Meira. "Sekalian kita merayakan
pernikahan Keira."

Keira mendesah. "Ah, tidak hari ini," katanya. "Aku harus ke


rumah, mengambil beberapa barang yang belum sempat
kupindahkan." Dia berkacak pinggang, membetulkan letak

Flowers | 58
kacamatanya, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Lain kali,
ya." Ia tersenyum lebar.

"Ya, terserah kau sajalah!" ujar Meira cuek.

"Lain kali, aku yang traktir. Oke?" rayu Keira. Ia


mengerlingkan sebelah matanya ke arah Meira. Sahabatnya itu
tersenyum, kemudian berkata 'setuju' dalam bahasa Korea.
"Ah, dasar maniak drakor."

"Sekali-sekali kau harus coba tonton, Kei. Ah, kau pasti akan
ketagihan juga." Meira berkata sembari menata gelas-gelas di
kabinet, Lena hanya menggeleng pelan. Keira merangkul
pinggung Meira. "Hei, kau sudah punya suami, kenapa masih
manja seperti ini?"

"Aku kangen kalian," ucapnya. "Rasanya seperti berabad-abad


lamanya, kita tidak ketemu."

Meira melepaskan pelukan Keira. Terkadang, wanita itu seperti


anak kecil yang merindukan kasih sayang. Padahal, Meira jelas
tahu, Keira ketika di depan Kaira sangat dewasa. Sosok kakak
yang disukai adiknya. Ah, mungkin ini karena di keluarganya,
Keira menjadi tulang punggung keluarga. Makanya, ia butuh
seseorang. Dan, orang itu adalah, Meira.

"Kau sudah punya Al, sekarang. Sana, bermanja-manja sama


dia!" ucap Meira. Begitulah, Meira. Ia tak suka berbasa-basi.

Flowers | 59
Dan, hanya Keira dan Lena yang tahu. Orang yang baru kali
pertama mengenal Meira pasti akan sakit hati dibuatnya.

"Hei, sebentar lagi kafe akan buka. Kalian tidak berniat


menyelesaikan pekerjaan dengan cepat?" Lena, menginterupsi.
Sejujurnya, ia juga merindukan Keira. Tapi, mereka harus
bersikap profesional.

"Ah, Ibu Bos, sudah mulai mengomel," ucap Keira. Ia


menghampiri Lena. "Sini-sini, aku bantu."

Keira menghabiskan setengah harinya di kafe itu, bersama


kedua sahabatnya. Tanpa terasa waktu cepat berlalu, tahu-tahu
sudah pukul empat sore. Sudah menjadi peraturan di kafe
mereka. Bagi mereka yang sudah menikah,
boleh meninggalkan kafe lebih cepat. Alasan klise
seorang istri. Harus menanti kedatangan suami mereka,
menyiapkan makan malam, bersih-bersih rumah. Kalau saja
pernikahan Keira wajar, ia pasti akan bersemangat untuk
pulang lebih cepat. Tapi, kenyataan berkata lain.

Ah, apa aku harus memberitahu Al terlebih dahulu? Ia


membatin. Ia menimbang-nimbang ponsel pintar dalam
genggamannya. Ia ragu. Apakah ia harus meminta izin
terlebih dahulu kepada suaminya, ia akan pulang ke rumah
ibunya sebelum pulang? Atau tidak usah saja?

Saat ini, ia berada di lantai dua, mengambil tas kerjanya. Dari


arah pintu Lena sedang memperhatikan. Sahabatnya satu itu,
Flowers | 60
sangat sensitif dengan keadaan Keira. Ia tahu, pasti ada sesuatu
yang terjadi antara Keira dan Aldric.

Lena sama sekali belum bisa menerima alasan Keira menikah.


Terlebih lagi, dengan seseorang yang baru ia kenal.

Terlalu ganjil.

Tapi, belum waktunya Lena tahu. Ia akan menunggu.


Menunggu Keira bercerita sendiri kepada mereka. Ia percaya,
Keira bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ia sangat tahu.

***

Jelas, Keira sadar kodrat sebagai seorang istri.

Wanita itu harus patuh kepada sang suami, seperti ia telah patuh
kepada kedua orang tuanya. Seperti halnya ketika ia akan
keluar rumah, sewaktu sekolah menengah. Keira akan
berpamitan kepada orang tuanya, mengatakan ia akan pergi ke
mana, dengan siapa, dan kapan akan pulang. Seharusnya, itu
pula yang harus ia lakukan sekarang. Memberitahu Aldric.
Atau, seharusnya ia meminta suaminya itu mengantar ke
rumah.

Sebenarnya, Keira tak betul-betul mengerti, apa yang ia


tawarkan pada Aldric. Mengenai belajar menjadi seorang istri,
meminta Aldric menganggapnya sebagai seorang mitra kerja.
Dasarnya, Keira tak yakin mampu menjalani ini semua. Ia sama

Flowers | 61
sekali tak bisa menerka ke mana masa depannya melangkah.
Yang jelas, Keira tak ingin hidup bersama Aldric untuk
selamanya. Terlebih lagi, tanpa ikatan cinta.

Keira tersenyum skeptis.

Cinta. Sepertinya, hal itu tak akan pernah hadir di antara


keduanya.

Ini bukanlah cerita romantis seperti yang sering ia tulis.

Saat ini, Keira berada di halte. Ia menunggu angkutan umum,


untuk menuju rumahnya yang berada di daerah Tegalsari. Keira
merapatkan jaket parka hijau botol miliknya. Kedua tangannya
ia masukkan ke dalam jaket. Lalu, menunggu. Selang beberapa
detik kemudian, hujan turun deras. Sangat deras, hingga
membuatnya merapatkan diri ke pagar halte. Beberapa orang
yang menunggu angkutan umum, melakukan hal yang sama.

Lalu, telepon berdering.

"Halo," sapanya. Hening. Tidak ada jawaban. Ini nomor tak


dikenal. "Halo," ulangnya. Ia mendengus, kemudian
mematikan sambungan telepon.

Ia menyesal telah mengangkat telepon tersebut.

Keira jarang sekali mengangkat telepon dari nomor asing.


Kalaupun pada akhirnya, ia mengangkatnya, ia akan berpikir
Flowers | 62
lama dan menunggu dering kedua. Entah apa yang
dipikirkannya barusan. Ada sejumput harapan di hatinya,
bahwa yang meneleponnya adalah Aldric. Keira tak tahu, dari
mana pikiran konyol itu berasal. Tapi, ia hanya berpikiran
positif. Saat ini sedang hujan deras, langit begitu gelap.
Mungkin saja, Aldric ingin menjemputnya pulang ke rumah.
Menawarkan kehangatan.

Konyol, runtuknya.

Kenyataannya, itu hanya telepon iseng. Bukan dari Aldric. Ah,


seharusnya ia menyimpan nomor telepon suaminya sendiri.
Sehingga ia tahu, barusan yang telepon Aldric atau bukan.

"Bodoh. Jelas, bukan."

Tak ada alasan bagi Aldric untuk menjemputnya. Mereka


hanya mitra kerja.

***

Aldric merenggangkan ikatan dasinya. Entah kenapa hari ini


terasa begitu menyengat. Berbeda dari biasanya. Kalau Omi
bilang, ketika hari terasa begitu gerah. Itu berarti akan turun
hujan.

Omi selalu berkata demikian, ketika Aldric mengeluh hari


begitu panas semasa kecil dahulu.

Flowers | 63
Aldric melirik jam tangannya. Pukul tiga sore. Perutnya
keroncongan. Ia belum sempat makan siang. Jadwalnya padat
sekali. Baru saja ia keluar dari ruang meeting. Membahas
produk terbaru mereka yang sudah mendekati deadline rilis.
Kepalanya pusing setengah mati. Seakan ada sebuah peluru
yang bersemayam di sana.

Ia membuka ruang kerjanya dan berjalan ke arah meja. Lalu, ia


melewati tong sampah. Mendadak pandangannya terarah ke
tong sampah tersebut. Tong itu biasanya berisi kertas-kertas tak
terpakai, atau terkadang tong itu kosong. Tapi, sekarang tong
sampah itu penuh. Terisi oleh kotak makan yang ia buang tadi.
Ah, seharusnya aku makan saja tadi.

Mendadak, Aldric teringat Keira. Gara-gara kotak makanan


yang berisi ikan tuna itu. Perutnya semakin keroncongan.

Jam berapa perempuan itu pulang.

Ia mengingat-ingat. Apakah Keira bilang kepadanya akan


pulang dari kafe pukul berapa. Apakah perempuan itu tahu
jalan ke rumahnya? Dia baru mengenali daerah rumahnya.
Aldric tidak yakin Keira akan secepat itu mengingat. Ah,
merepotkan sekali punya istri. Lalu, apa yang harus dia
lakukan?

"Apa aku perlu menjemputnya?"

Flowers | 64
"Apa yang kau bicarakan, Al?" Drupadi, kawan masa
kuliahnya, sekaligus sekretarisnya, menyahut. Aldric menoleh
ke asal suara, perempuan dengan perut buncit itu menautkan
kedua alisnya, menatap ke arahnya. "Kau mau menjemput
siapa? Istrimu?" Drupadi berjalan ke meja Aldric, meletakkan
beberapa dokumen. "Ini hasil meeting tadi."

"Terima kasih," ujar Aldric.

Drupadi masih berdiri di tempatnya, mengamati Aldric penuh


curiga. "Kau belum mengenalkan istrimu padaku," katanya.

"Kau sudah mengenalnya, sewaktu di pesta."

Drupadi berdecak. Ia mengelus perutnya yang semakin


membesar. "Maksudku, secara resmi. Personal."

"Ya, kapan-kapan," sahut Aldric asal-asalan.

"Ah, sepertinya pikiranmu tidak berada di tempatnya," ucap


Drupadi mulai jengah. Sebenarnya, Aldric teman cukup
menyenangkan. Mereka saling mengenal sejak kecil. Bisa
dibilang, mereka tumbuh bersama. Tapi, sejak kepergian
Melisa, kepribadian laki-laki itu berubah. Ia jadi sedikit
pendiam. "Sampaikan salamku pada istrimu. Lain waktu, aku
ingin mengundang kalian makan malam."

"Tentu."

Flowers | 65
Drupadi mendengus. Ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Sebelum ia benar-benar pergi, Aldric memanggilnya. "Apa
setelah ini, aku masih ada jadwal?"

"Sebenarnya ada. Tapi, Pak Riko membatalkan janjinya, secara


mendadak," jawab Drupadi. Ia menghela napas dan berkata,"
Kau bisa pulang sekarang, Bos. Wajar pengantin baru."

Aldric menatap Drupadi. Perempuan itu tersenyum jahil


kepadanya. "Apa maksudmu?"

"Pulanglah. Awal menikah, Anton juga sering pulang lebih


cepat dari biasanya. Sindrom pengantin baru." Drupadi tertawa
kecil, lalu mengerling jahil ke arah Aldric. Sebelum Aldric
lebih murka lagi, ia keluar ruangan dengan tawa yang masih
menjengkelkan.

"Sepertinya, aku salah memilih sekretaris," umpat Aldric.

***

Aldric meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa ia hanya


kebetulan melewati tempat kerja Keira.

Rencananya, Aldric akan melewati kafe tempat kerja Keira,


melirik sebentar ke arah kafe tanpa berencana benar-benar
menemui Keira. Dan, memang benar itulah yang ia lakukan. Ia
hanya melirik sekilas, lalu melajukan mobilnya dengan cepat.

Flowers | 66
Namun, siapa sangka Aldric justru menemukan Keira sedang
berdiri di halte.

Aldric menepikan mobil, tidak jauh dari halte tempat Keira


berdiri. Ia ragu, apakah ia harus menghampiri Keira dan
menawari kehangatan dengan pulang bersama. Tentu, sebagai
suami istri itu adalah hal yang sangat wajar dilakukan. Tapi,
mengingat dengan apa yang dikatakan Keira tadi pagi, Aldric
semakin ragu. Mereka hanya rekan kerja.

Lalu, hujan turun begitu deras. Keira memundurkan tubuhnya,


mendekap dirinya sendiri. Perempuan itu memandang ke arah
percikan air di luar halte. Seakan-akan sangat menarik untuk
diperhatikan.

Pemandangan ini pernah ia saksikan sebelumnya. Tentang


perempuan yang menunggu. Pandangannya yang sendu. Ia
teringat memori kali pertama ia melihat Keira. Tanpa sadar,
Aldric menekan nomor Keira. Lalu, buru-buru memutuskan
sambungan, sebelum panggilan itu tersambung. Kemudian,
Aldric mengganti setting smartphone miliknya menjadi nomor
tak dikenal. Baru, ia menelepon Keira kembali.

Keira mengangkat panggilan teleponnya. Aldric mendengar


suara istrinya. Sayangnya, ia memilih untuk diam, sampai
Keira memutuskan sambungan telepon.

Lalu, Aldric melihat Keira berjalan dan masuk ke dalam


angkutan umum.

Flowers | 67
Keira turun di tepi jalan, berjalan kira-kira lima meter hingga
sampai sebuah gang menuju rumahnya. Untungnya, hujan
sudah reda sejak ia melewati Taman Bungkul tadi. Suara
cipratan air terdengar ketika kakinya menginjak aspal yang
mulai berlubang. Ia menyerahkan beberapa lembar uang
kepada sopir angkutan, dan segera berjalan ke pemukiman
rumahnya.

Ia berjalan melewati gang-gang sempit, hingga sampai di depan


sebuah rumah berlantai dua. Rumah tersebut terapit oleh
rumah-rumah lainnya. Di pemukiman ini, tidak ada lahan yang
luas. Berdesak-desakan. Penuh sesak. Berbeda jauh dengan
rumah Aldric yang lenggang. Tapi, di sinilah ia dibesarkan.
Tempat ia tumbuh.

Belum sempat ia membuka pintu gerbang, dari arah rumah


Kaira memanggilnya. "Kak Kei!" seru adik perempuan
satusatunya itu. Perempuan itu bergegas menghampiri Keira,
memeluknya. "Kok tidak bilang kalau mau pulang? Sama Mas
Al?" Kaira melihat ke belakang Keira, namun tidak ada
siapasiapa.

Keira tersenyum, membalas pelukan adiknya. "Kak Kei


sendirian."

"Mas Al ke mana?" Kaira mengajak Keira masuk. Wajahnya


berseri-seri, karena bertemu dengan kakaknya. Selama ini,
mereka tak pernah terpisah jauh. Meskipun, Keira tetap di
Surabaya. Tetap saja, Kaira merasa rindu yang teramat.

Flowers | 68
"Dia masih di kantor. Jadi, Kak Kei ke sini sendiri. Lagi pula,
tidak lama, kok. Ambil barang-barang saja."

"Kai kangen sama Kak Kei," ujar adiknya. Keira tersenyum,


memeluk kembali Kaira. "Yuk, masuk. Di dalam ada Yoga."
Mendengar nama Yoga, mau tak mau membuat kaki Keira
membeku. Sejak awal, ia tahu pasti, kemungkinan Yoga ada di
rumahnya sangatlah besar. Namun, tak urung juga hal itu
membuatnya cemas.

Keira tersenyum simpul. Lalu, ia berjalan mengikuti Kaira.

Seperti yang dikatakan oleh Kaira, Yoga tengah duduk di ruang


tamu. Di depannya ada setumpuk buku dan sebuah komputer
jinjing dalam keadaan menyala. Kedua alisnya saling bertaut,
dan tidak menyadari kehadiran Keira di ruangan itu. Saat
seperti ini, mengingatkan Keira ke masa-masa kuliah mereka.
Diam-diam, Keira suka melihat Yoga di perpustakaan, dengan
raut wajah yang sama.

Mengingat hal itu, membuat hati Keira bagai dihantam batu.

"Mas, ada Kak Kei, nih," ujar Kaira. Saat itulah, Yoga
mendongak. Kerutan di wajahnya mengendur dan berubah
menjadi sebuah senyuman.

"Kei!" serunya. Ia berdiri. "Sama Al?" Keira tersenyum, lalu


menggeleng. Rasanya ia sama sekali tak punya tenaga untuk
berbasa-basi. Padahal, ia bisa saja mengenyahkan segala

Flowers | 69
perasaan yang ia pendam. Sayangnya, tidak untuk hari ini. Ia
terlalu lelah.

"Aku ke atas dulu, ya. Mau mengambil barang," ujar Keira.


Setelah mengucapkan hal itu, Keira langsung naik ke atas,
menuju kamarnya tanpa memedulikan wajah Yoga. Untuk saat
ini, ia benar-benar tak ingin memedulikan apa pun.

Terkadang, Keira masih mengharapkan kalau suaminya adalah


Yoga, bukan Aldric.

Namun, kenyataannya nama Aldric yang tertulis dalam buku


pernikahan itu.

***

Flowers | 70
BAB ENAM

Aldric menyiram tubuhnya dengan air dingin dari pancuran.


Meskipun di luar hujan begitu deras dan membuat tubuhnya
menggigil. Ia sama sekali tak punya pemikiran untuk mandi
dengan air hangat. Akan lebih baik jika ia mandi dengan air
dingin. Ia akan merasa lebih segar nantinya.

Ia meruntuki dirinya sendiri ketika mengingat apa yang ia


lakukan beberapa jam yang lalu. Mengikuti angkutan umum
yang membawa Keira pergi, bukanlah bagian dari rencananya.
Tapi, rasa penasaran yang ia miliki begitu kuat, sampai-sampai
ia tak sadar telah menginjak pedal gas. Berkali-kali ia diklakson
mobil yang lain karena berjalan begitu pelan, mengikuti
angkutan umum yang berjalan lambat. Sampai akhirnya, Keira
turun di tepi jalan. Barulah Aldric mempercepat laju mobilnya,
dan memutar balik menuju rumah.

Selain kenyataan bahwa Keira itu istrinya, ia seorang penulis


dan bekerja di sebuah kafe. Aldric sama sekali tak tahu menahu
mengenai Keira. Mengenai masa lalu perempuan itu, mengenai
apa yang membuat Keira mau menikah dengannya, serta
mengenai semua hal di balik senyum dan binar matanya. Aldric
benar-benar terganggu dengan hal itu. Terlebih lagi, ketika
mengingat malam pertama mereka.

Keira berdiri mematung menunggunya. Jelas sekali,


perempuan itu tengah bersiap-siap untuk melakukan tugasnya
sebagai seorang istri. Bagaimana mungkin, perempuan yang

Flowers | 71
baru mengenal laki-laki mau menikah dengan laki-laki itu, dan
hendak memberikan segalanya. Aldric tahu benar, Keira masih
polos. Nampak dengan jelas dari gerak geriknya malam itu.
Perempuan itu belum tersentuh oleh laki-laki.

Apa yang dilakukan Keira itu sekadar bentuk kewajiban


seorang istri?

Aldric benar-benar kesal dibuatnya. Mengingat itu semua


membuatnya terganggu. Apalagi, ketika melihat Keira
melamun menunggu angkutan umum, berdiri di halte dengan
tatapan kosong. Mau tak mau membuat Aldric bertanya-tanya,
apa yang dipikirkan perempuan itu. Perempuan itu terkadang
sangat polos, di lain waktu membuat Aldric terkejut - seperti
malam di rumah Omi dan pagi tadi-dan terkadang menjadi
pemurung atau sangat ceria.

Aldric mematikan air pancuran, berjalan ke sisi kamar mandi


dan meraih handuk kering. Ia mengeringkan tubuhnya,
sebelum melilitkan handuk ke tubuhnya. Ia melihat jam dari
jam tangan yang ia taruh di atas nakas. Sudah dua jam lamanya,
tapi Aldric belum mendengar suara langkah kaki di luar sana,
atau pintu terbuka. Yang itu berarti, Keira belum kembali.
Bukan berarti Aldric peduli dengan keberadaan Keira, tapi jika
ada hal yang terjadi pasti ia yang akan direpotkan. Ah, tidak.
Dia merasa tidak dihargai karena Keira pergi begitu saja, tanpa
meminta izin padanya. Bukankah, Keira sendiri yang
mengatakan akan belajar menjadi istri yang baik dalam
permainan ini?

Flowers | 72
"Perempuan," gumannya, "selalu saja seenaknya sendiri."

Tepat ketika ia selesai mengucapkan kalimatnya, terdengar


ketukan kecil dari pintu kamarnya. Dengan enggan Aldric
berjalan ke arah pintu dan membukanya. Dari balik pintu, Keira
berdiri dengan rambut lepek. Tapi, yang membuat Aldric
tertegun adalah kedua bola mata Keira yang berbinar dan
senyumnya yang merekah.

Saat ini, Keira persis sekali dengan kucing yang terkena


genangan air. Kalau saja. Kalau saja, Aldric tidak mengingat
bahwa mereka menikah karena terpaksa, mungkin saat ini ia
akan memeluk Keira dan mencumbunya.

Laki-laki mana yang tahan untuk tidak memeluk perempuan


menggemaskan seperti Keira?

***

"Kaira akan menikah tahun depan."

Ibunya membantu Keira melipat beberapa baju miliknya.


Pembicaraan selalu lebih terasa santai, saat diselingi dengan
pekerjaan lain. Bagi Keira, ibunya yang duduk di hadapannya
ini hanya ingin berbincang, tak benar-benar ingin
membantunya mengepak barang.
"Tahun baru," tambah ibunya lagi. Tahun baru, kurang empat
bulan lagi. Empat bulan bukanlah waktu yang lama. Entah

Flowers | 73
kenapa, Keira merasa waktu berjalan begitu cepat dan lambat
dalam satu waktu.

"Biaya pernikahan dibantu oleh Yoga. Ibu sudah menolak, tapi


Yoga memaksa," cerita ibu.

"Kamu tahu sendiri, kan, bagaimana Yoga?"

Mana mungkin Keira tidak tahu Yoga. Laki-laki yang selalu


ada di sisinya ketika masa kuliah. Laki-laki yang membela dia
mati-matian ketika Keira tersudut. Bahkan, di kampus sudah
tersebar rumor kalau Keira dan Yoga itu sepasang kekasih.
Mereka tak terpisahkan. Yang lebih parah, teman-teman Keira
sudah menganggap Yoga yang nantinya akan menikah
dengannya. Tapi, siapa sangka, ternyata Yoga lebih mencintai
Kaira? Adiknya sendiri.

Keira berdiri dari atas ranjang, ia membuka lemari dan


mencari-cari sesuatu di sana. Sebenarnya, sesuatu tersebut tak
penting. Ia hanya berusaha mengalihkan pandangan ibunya. Ia
tak ingin ibu melihatnya bersedih. Keira tahu, ibunya tahu
mengenai perasaannya kepada Yoga. Tapi, ibunya bersikap
seolah-olah ia tak tahu apa-apa. Justru itu hal yang bagus bagi
Keira.

"Lain kali, ajaklah Aldric ke sini," ujar ibunya. Keira masih


berjongkok di depan lemari, enggan tuk berdiri. "Ini juga
rumahnya," lanjutnya. Lalu, mata Keira tertumbuk pada syal
berwarna merah muda di bawah tumpukan baju lamanya. Keira

Flowers | 74
menelan ludah. Hatinya bergetar hebat. Seandainya saja ibunya
tidak sedang memperhatikannya, mungkin sekarang ia akan
meneteskan air mata. Syal merah muda itu pemberian Yoga,
ketika mereka mendaki Gunung Bromo bersama.

Pagi buta mereka menunggu di pendakian, berharap matahari


segera muncul. Keira menggigil dan merasa tak tahan lagi.
Tubuhnya terasa kaku, tulang-tulang sudah tak ia rasakan lagi.
Saat ia akan berkata pada Yoga untuk turun, ia kehilangan
lakilaki itu. Tak lama kemudian, Yoga muncul dengan syal
merah muda di tangannya. Keira tertegun. Yoga memasangkan
syal itu di leher Keira. Lalu, Yoga memegang tangannya erat,
sambil berkata, "Bertahanlah."

"Ra?" panggil ibunya. Keira tersadar dari lamunannya. Ia


mengatur napasnya, kemudian kembali duduk di atas ranjang
di depan ibunya. Keira memasukkan syal merah muda itu ke
dalam koper dan menutupnya.

Keira terus menyibukkan dirinya dengan menutup resleting


koper, kemudian mengambil tas selempang di atas ranjang.
Keira tahu, ibunya sedang memperhatikan. Ia sudah berusaha
keras untuk terlihat biasa saja, tapi syal merah muda itu
mengacaukan segalanya. Saat ini, yang paling ia inginkan
adalah kembali ke rumah Aldric. Meskipun Keira tahu,
posisinya di sana tidak jauh berbeda dengan di sini. Orang
asing. Tapi, paling tidak, di sana ia tak akan bertemu dengan
Yoga.

Flowers | 75
"Keira pulang dulu, ya, Bu," pamitnya. Ibunya tertegun,
kemudian mengangguk. Keira keluar kamar dan di ruang tamu
ia melihat Yoga dan Kaira sedang tertawa-tawa.

"Sudah mau pulang, Kak?" tanya Kaira. "Kenapa nggak


menginap, sih?"

"Tidak bisa Kai, kakak kan sudah menikah," jawab Keira. Ia


tersenyum, kemudian menghampiri adiknya. "Kakak pulang
dulu, ya."

Kaira memanyunkan bibirnya, lalu ia memeluk Keira. "Kenapa


kita harus pisah, sih," rengeknya. Keira tersenyum geli. Sejak
kecil, Keira memang memanjakan Kaira. Entah kenapa, Keira
senang jika Kaira tergantung padanya. "Diantar Mas Yoga,
ya?" pinta Kaira. Keira tersenyum, lalu menggeleng.

"Kakak naik Go-Jek," jawabnya. "Sudah pesan. Hujan sudah


reda."

"Yakin, nggak mau aku antar?" ujar Yoga. Keira tersenyum dan
mengangguk. Beberapa saat kemudian, terdengar deru motor.
Itu merupakan suara motor driver Go-Jek yang dipesan oleh
Keira.

"Pergi dulu, ya," pamitnya. Ia melenggangkan kakinya,


sembari menarik koper. Ia mengatakan alamat rumah Aldric
pada driver tersebut, kemudian ia naik ke boncengan dan pergi
meninggalkan rumah. Belum lama ia meninggalkan kawasan

Flowers | 76
rumahnya, Keira minta berhenti di depan sebuah warung.
Warung Soto Mi Bu Mimi, makanan kesukaan Keira sejak
kecil. Ia membeli dua bungkus Soto Mi. Tentu saja, satu
bungkus untuk suaminya.

***

Ketika bertolak dari rumahnya, hujan benar-benar sudah reda.


Tapi, saat memasuki kawasan Darmo, hujan turun sangat deras.
Kepalang tanggung, Keira meminta untuk terus melanjutkan
perjalanan. Meskipun, driver Go-Jek memberikan jas hujan
kepadanya, tetap saja tubuhnya basah kuyup.

Ia bersyukur, koper miliknya tidak basah lantaran driver GoJek


menutupinya dengan jas hujan lainnya. Sesampainya di rumah,
Keira menarik koper dengan tangan kanannya sedangkan
tangan kirinya menenteng tas plastik berisi Soto Mi yang mulai
dingin. Tepat di depan kamar Aldric dan kamarnya, Keira
berhenti. Ia meletakkan koper di depan pintu kamarnya,
kemudian berdiri di depan pintu kamar Aldric.

Aldric tak akan pernah tahu, untuk mengetuk pintu kamarnya


saja, Keira butuh keberanian lebih. Ia membetulkan letak
rambutnya yang basah, lalu mengangkat tangannya.

Keira mengetuk pintu kamar Aldric. Sangat pelan, hampir tak


terdengar. Keira sempat ingin berbalik dan mengurungkan niat,
tetapi kemudian ia mendengar suara langkah kaki, lalu pintu
terbuka.

Flowers | 77
Aldric muncul di depannya, dengan sebuah handuk melilit pada
tubuhnya. Wajah Keira memanas karena melihat tubuh bagian
atas Aldric tanpa busana. Lalu, ia menaikkan dagunya,
tersenyum sembari memamerkan tas plastik di tangannya.

Mati-matian Keira berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Itu


artinya, ia harus menatap kedua mata Aldric.

"Aku bawa Soto Mi," ujarnya. "Kau belum makan, kan?"

Suaminya itu hanya diam. Keira sama sekali tak tahu apa yang
ada dalam pikirannya. Tapi, Keira berharap Aldric segera
merespon, karena ia sudah tak tahan jika terus dalam keadaan
seperti ini.

"Aku tidak lapar," sahut Aldric. Ia hendak menutup pintu, tapi


Keira menahannya.

"Please, temani aku makan," pintanya. Kali ini saja, aku tidak
ingin makan sendiri malam ini.

"Soto Mi dekat rumahku, enak sekali. Kau tidak akan


menyesal."

Aldric mendesah. Ia hendak menolak lagi, tapi Keira berkata.


"Aku tunggu di bawah, ya." Ia menelan ludah. "Kau ...." Ia
berdeham," kau pakai baju dulu." Lalu, Keira buru-buru
berpaling dan meninggalkan suaminya.

Flowers | 78
Sampai dapur, Keira menghela napas panjang. Seumur
hidupnya, ia hanya melihat laki-laki bertelanjang dada pada
layar kaca. Dan, hari ini ia melihatnya secara langsung. Ah,
seperti itu rupanya dada laki-laki. Sangat bidang, sangat ...
Keira buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Ia harus bisa
menguasai dirinya.

Akhirnya, Keira mengambil dua mangkuk dari lemari kecil di


dapur, meletakkannya di atas meja, kemudian menuangkan
soto mi ke dalam dua mangkuk tersebut. Ia mengelap beberapa
tetesan kuah di tepi mangkuk dan meja, ketika Aldric masuk ke
dalam dapur.

"Hai," ujar Keira. "Sebentar lagi selesai, kau tunggu saja di


meja makan."

Seakan tidak mendengar kalimat Keira, Aldric berjalan


menghampiri istrinya itu, menarik kursi dari sisi meja dan
duduk di sana. "Di sini saja," katanya.

"Oh. Oke." Keira meletakkan satu mangkuk berisi soto mi di


depan Aldric, lalu ia mengambil sendok dan garpu. "Kau pasti
suka," ucapnya, sembari menyerahkan sendok dan garpu pada
suaminya.

Aldric tidak menerima uluran sendok dan garpu dari Keira.


Laki-laki itu justru mengambil sendiri sendoknya, lalu
mengelapnya dengan tisu yang ada di atas meja. Ia melakukan

Flowers | 79
itu semua dalam diam. Awalnya, Keira tertegun melihat yang
dilakukan oleh Aldric. Lalu, ia tersenyum, maklum.

Keira menarik kursi dari sisi meja dan duduk berseberangan


dengan Aldric. "Aku sudah lama tidak makan soto mi Bu
Mimi," katanya. Ia menyendok sedikit kuah soto itu, lalu
menyeruputnya. "Ah, enak sekali!" serunya.

Perempuan itu melihat ke arah Aldric. Suaminya itu baru saja


mencicipi kuah soto yang ia bawa. Ia penasaran, apa pendapat
Aldric mengenai soto ini. Tapi, Aldric tak kunjung angkat
bicara, sampai Aldric mengangkat wajah dan tatapan mereka
bertemu.

"Bagaimana?" tanya Keira.

"Dingin." Hanya itu jawaban Aldric. Ya, tentu saja kuah soto
itu sudah dingin. Keira membawanya di bawah hujan dan jarak
tempuh rumahnya ke rumah Aldric cukup jauh.

"Biar kupanaskan dulu." Keira memegang mangkuk milik


Aldric, tapi suaminya itu menariknya kembali.

"Tidak perlu."

Keira mendesah. Tanpa ingin memperpanjang masalah, ia


kembali duduk dan menikmati soto mi miliknya. Ia belum
mengenal bagaimana Aldric. Semua butuh waktu. Boleh saja

Flowers | 80
mereka sudah sepakat untuk bekerja sama, tapi bukan berarti
Aldric akan bersikap hangat dengannya.

Keberadaan Aldric di depannya saat ini saja, sudah cukup bagi


Keira. Cukup untuk menemaninya memakan semangkuk soto
mi yang dingin.

***

Kuah soto mi di hadapannya itu gurih. Sekadar dari aroma pun


mampu meneteskan air liur. Sayangnya, Keira tak tahu cara
membuat soto mi itu menjadi lebih nikmat.

Berkali-kali Aldric mencoba untuk mengusir rasa


penasarannya. Berkali-kali pula, rasa penasaran yang ia miliki
semakin tumbuh, seiring ia berjalannya waktu. Terlebih lagi,
ketika melihat Keira duduk sembari menikmati kuah soto mi
yang dingin itu. Ia terlihat sangat menikmatinya, tapi di
samping itu, Aldric menyadari sesuatu. Ada yang lain di mata
perempuan yang baru saja ia nikahi tersebut.

"Kaira akan segera menikah," ucap Keira. Aldric tahu, Kaira


adalah adik satu-satunya Keira. Ia juga menduga, alasan Keira
mau menikah dengannya adalah karena hal tersebut. "Adikku,
yang manja akan segera menikah." Keira tersenyum, namun ia
juga terlihat gelisah. Lalu, perempuan itu meminum kuah dari
soto mi dalam mangkuknya hingga bersih.

Flowers | 81
Keira menghela napas panjang. "Astaga!" serunya, ia tertawa.
"Sejak kecil dia selalu mengikutiku ke mana-mana dan
sekarang coba lihat, dia akan menikah." Ada perasaan bahagia
sekaligus haru dalam hatinya. Dan mungkin, rasa cemburu.
Aldric tersenyum kecil, melihat hal itu.

"Jadi, itu alasanmu mau menikah denganku?" sahut Aldric. Ia


tak benar-benar ingin mengetahui alasan Keira, pertanyaan
tersebut muncul begitu saja. Seperti angin lalu, Aldric
melupakan apa yang ditanyakannya dan melanjutkan memakan
soto mi di hadapannya. Lagi pula, nampaknya Keira juga
enggan menjawab.

"Mungkin," jawab Keira. "Kau tahu, kan. Kakak perempuan


tak boleh dilangkahi. Kalau dilangkahi, aku akan ...."

"Takhayul," sahut Aldric. "Pemikiranmu terlalu kuno. Sudah


tidak zaman."

"Kalau memang benar, bagaimana?"

Aldric meletakkan sendoknya di sisi mangkuk. Lalu, melihat


ke arah Keira. "Kenapa? Kau takut?"

Keira mendesah. "Al, kita hidup di Indonesia. Perempuan telat


menikah sedikit saja, sudah dibicarakan tetangga." Ia jengah.
Ia senang Aldric mau mengobrol dengannya, tetapi ia tak
pernah tahu kalau dia sesinis itu.

Flowers | 82
"Kau menarik. Dan, aku percaya kau cukup pintar sebagai
seorang perempuan," sahut Aldric. Keira tak mengerti apa yang
akan dibicarakan Aldric. "Dan lagi, kau seorang penulis.

Karirmu bagus. Apa yang kau takutkan, sehingga kau rela


menghabiskan waktumu denganku? Dengan orang yang tak
kau cintai. Dengan seseorang yang baru kau kenal."

Keira terdiam. Ia melihat kalimat yang dilontarkan Aldric itu


serius. Bahkan, kalimat tersebut sukses membuat Keira
tersinggung.

"Atau, jangan-jangan ada alasan yang lebih kuat daripada


sekadar takut dilangkahi dan tidak laku?"

Untuk sesaat mata mereka beradu. Saling menghujam dan


membenci. Keira menahan amarahnya mati-matian. Ia tak
boleh terpancing dengan tingkah laku suaminya. Ia marah. Ia
benci. Ia kesal karena apa yang dikatakan oleh Aldric itu benar.

Keira menahan napas, lalu membuangnya.

"Kau sendiri bagaimana? Apa alasanmu mau menikah


denganku?" Keira membalikkan pertanyaan yang dilontarkan
Aldric. "Dengan orang yang tak kau cintai."

"Tidak ada urusannya denganmu."

Flowers | 83
Keira tertawa sinis. Bisa-bisanya Aldric berkata demikian,
setelah ia mencerca Keira habis-habisan. "Ah, sudahlah. Kita
memang tak seharusnya mencampuri urusan pribadi
masingmasing." Keira memutuskan untuk menyudahi
perbincangan mereka. Bukan untuk ini ia mengajak Aldric
makan soto mi.

Bukan untuk saling menunding.

"Terima kasih," ujar Keira.

"Untuk apa?"

"Karena sudah menemaniku."

Tak ada jawaban dari Aldric. Keira membereskan mangkuk


serta sendok dari atas meja dan memasukkannya ke bak cuci.
Ia mencuci mangkuk-mangkuk itu dalam diam. Aldric masih
duduk di tempatnya, melihat punggung Keira yang bergerak
seirama gerakan tangannya.

Kenapa Aldric merasa punggung itu begitu ringkih? Begitu


rapuh dan mudah sekali untuk patah. Apa Keira memiliki
rahasia seperti dirinya? Alasan kuat yang membuat mereka
akhirnya menikah? Apa dugaannya benar?

Aldric menyerah. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian


beranjak dari kursi. Sebelum ia meninggalkan dapur, ia
berkata," Lain kali, ketika kau pergi. Beritahu aku."

Flowers | 84
Tangan Keira berhenti membilas mangkuk. Ia segera berbalik,
dan berkata, "Maaf." Tapi Aldric telah berlalu. Entah ia
mendengarnya atau tidak.

***

Flowers | 85
BAB TUJUH

Pukul lima pagi, Keira sudah berada di dapur menyiapkan


bekal Aldric. Keira selalu memasak menu yang berbeda dari
kudapan yang dibuat Bi Endah untuk sarapan. Hari pertama,
Keira membuatkan ikan tuna dengan saus. Keira tahu, Aldric
tidak memakannya. Karena, ketika Keira bertanya di mana ia
menaruh kotak makan berwarna merah muda itu, Aldric
berkata lupa menaruhnya. Terlebih lagi, ketika Keira bertanya
bagaimana rasa masakannya.

"Enak," begitu saja. Tanpa berkata apa pun, Keira tahu, Aldric
tidak mencicipi masakannya.

Lain hari, Keira membuatkan beberapa masakan yang resepnya


ia dapatkan dari internet. Entah sudah ke berapa kalinya, Aldric
tak pernah membawa pulang kembali kotak makan yang
dibawahnya. Setiap kali itu pula, Keira tahu, Aldric tak pernah
memakan makanan yang ia buat. Tapi, Keira tak pernah
menyerah. Ia bukan perempuan yang mudah untuk mundur.

Kali ini, Keira membuatkan nasi goreng untuk bekal Aldric.


Selama ini, tak pernah ada yang menolak untuk mencicipi nasi
goreng buatannya. Bahkan, sebelum butiran nasi itu meluncur
ke mulut, aroma nasi goreng buatannya sudah membuat air liur
mengucur deras.

Flowers | 86
Keira menyendok sejumput nasi goreng dari atas teflon,
mencicipinya. Senyumnya merekah. Merasa bangga atas rasa
yang ia ciptakan sendiri.

"Wah, aromanya harum sekali." Bi Endah masuk ke dalam


dapur. Ia membawa kotak makan warna biru muda, yang
diminta Keira untuk membelinya di toko dekat rumah.

Keira sumringah mendengar komentar Bi Endah, lalu ia


menyendok nasi goreng dari atas teflon dan mengarahkannya
pada Bi Endah. "Cicipin, deh, Bik." Ditodong oleh Keira
seperti itu, membuat Bi Endah tak bisa menolak. Ia segera
membuka mulutnya, dan mengunyah maha karya Keira.
"Enak?"
"Enak banget, Nyah," sahut Bi Endah.

"Serius?" seru Keira. "Bi Endah nggak bohong, kan?"

"Serius!"
Mendengar pujian Bi Endah, Keira meloncat kegirangan. Lalu,
ia mematikan nyala api. "Bi, tolong masukkan ke dalam kotak
makan ya. Tapi, tunggu sampai agak dingin dulu," ujarnya.
"Saya mau siapkan pakaian Mas Al."

Usai berbicara dengan Bi Endah, Keira melepaskan celemek


dan melipatnya dengan rapi. Kemudian, ia menyimpan
celemek tersebut di rak sebelah bak cuci. Keira keluar dari
dapur, melewati ruang makan, lalu menaiki anak tangga.

Flowers | 87
Sesampainya di depan kamar Aldric, seperti biasa, Keira
mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Seperti biasa pula, tidak ada
jawaban dari Aldric.

Samar-samar, Keira mendengar air mengucur dari dalam kamar


mandi. Aldric sedang mandi.

Keira membuka pintu kamar Aldric dengan perlahan. Ia


melihat Aldric sudah tak ada di ranjang. Ranjangnya pun
bersih. Nampaknya, Bi Endah sudah membersihkan ranjang
atau seseorang yang diminta Bi Endah. Seperti biasa. Keira pun
berjalan ke arah lemari Aldric, membukanya lebar-lebar.

Inilah saat yang paling disukai oleh Keira. Memilih baju untuk
dikenakan oleh suaminya. Ada kebanggaan tersendiri, ketika
melihat Aldric memakai baju pilihannya.

Ya, setelah aksi protes yang ia lontarkan beberapa waktu lalu,


Aldric kini tak keberatan dengan pilihan baju Keira. Meskipun,
terkadang Aldric merevisinya. Seperti saat Keira memilih dasi
berwarna abu untuk kemeja warna hitam. Aldric, meminta dasi
dengan aksen garis-garis putih. Atau ketika Keira memilihkan
kemeja warna merah marun, Aldric menggantinya dengan
kemeja biru muda.

Tidak masalah. Keira sudah bertekad untuk membuat Aldric


bersahabat dengannya. Paling tidak, mereka harus hidup rukun,
sampai waktunya nanti mereka harus berpisah. Keira tak tahu,
kapan hal itu terjadi. Tapi, dia sudah yakin akan hal itu. Tidak

Flowers | 88
mungkin mereka bisa bertahan, atau menjadi suami istri dalam
arti sebenarnya.

Keira menatap kemeja yang sudah rapi, terjejer di hadapannya.


Bi Endah selalu menata baju-baju Aldric dalam komposisi
warna tertentu. Untuk kemeja warna putih, Bi Endah
meletakkannya di sisi lain dengan warna senada, begitu pula
dengan warna lainnya. Sebagian besar, kemeja Aldric terdiri
dari kemeja polos tanpa aksen.

Kali ini, Keira memilih kemeja berwarna oranye. Bukan oranye


terang seperti warna jeruk, melainkan oranye seperti matahari
terbenam. Keira memadukan warna tersebut dengan jas warna
hitam, karena warna tersebut paling netral, serta dasi dengan
warna senada.

Untuk celana, Aldric selalu memakai celana warna hitam saat


bekerja. Tidak ada warna lain.

Perempuan itu menata pakaian pilihannya ke atas ranjang,


ketika Aldric membuka pintu kamar mandi. Untuk kesekian
kalinya, Keira terkesiap, ketika melihat Aldric bertelanjang
dada. Setiap itu pula, wajahnya memanas.

Tanpa berkata apa pun, Aldric berjalan melewati Keira, meraih


pakaian yang disiapkannya, lalu berdiri di dekat Keira. "Aku
keluar dulu," ujarnya.

Keira berjalan cepat ke arah pintu, lalu keluar dari kamar.

Flowers | 89
Jantungnya berdegup teramat cepat dan pipinya memanas.
Langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik oleh Aldric.
Keira menoleh," Ke... kenapa?" tanyanya, sedikit gugup.

Aldric melepaskan tangannya dari tangan Keira." Bilang sama


Bi Endah kalau keran air di kamarku agak macet."

"Oke," sahut Keira. Setelah berkata demikian, ia segera keluar


dari kamar Aldric. Jantungnya masih berdetak tak keruan.

Entah sampai kapan, ia akan merasakan hal itu, setiap kali


dihadapkan dengan dada bidang milik Aldric.

Ini merupakan rahasia kecil Keira, ia selalu ingin memeluk


Aldric, terlebih ketika melihat dada lelaki itu.

***

"Bekal lagi?"

Seperti biasa, Drupadi menemui Aldric ketika meeting baru


saja selesai. Tidak seperti sekretaris lainnya yang segan dengan
bos-nya, Drupadi justru selalu usil dengan Aldric. Seperti siang
ini, ketika Aldric mengeluarkan kotak makan dari dalam tas
kertas kecil pemberian Keira pagi tadi. Drupadi masuk ke
dalam kantornya tanpa mengetuk pintu, tepat ketika Aldric
menghidu aroma nasi goreng buatan Keira.

Flowers | 90
Menyadari telah kepergok, Aldric buru-buru menutup kotak
makan berwarna biru tersebut. "Bukan urusanmu," ujarnya
pada Drupadi. Bukannya menyesal, Drupadi justru terbahak.

"Maaf, Bos," kata Drupadi. "Kau bisa melanjutkan makan


siangmu," ia meletakkan beberapa berkas ke atas meja Aldric.
"Setelah itu, kau tanda tangani berkas itu ya."

Setelah Drupadi mengucapkan kalimatnya, Aldric berharap


perempuan itu segera keluar dari ruang kerjanya. Tapi, Drupadi
justru berdiri sembari mengelus perutnya yang buncit.

"Ada lagi?"

"Sabtu ini, kau ada undangan dengan Pak Bari. Kau ingat?"

"Ya, tentu saja. Dia teman Omi, mana mungkin aku lupa."

"Baguslah," seru Drupadi, "karena aku ingin bertemu dengan


istrimu. Pastikan kau mengajaknya ya." Usai berkata demikian,
Drupadi meninggalkan ruangan Aldric.

Kalimat yang diucapkan Drupadi, membuat Aldric tertegun. Ia


baru menyadari sesuatu. Menikah dengan Keira, mau tak mau,
mengharuskan ia memperkenalkan Keira pada dunianya. Tak
mungkin Aldric meminta Keira tetap di rumah, karena Omi
pasti tidak akan mengizinkannya. Terlebih lagi, Omi akan
semakin curiga dengan pernikahannya.

Flowers | 91
Aldric menarik napas berat. Memikirkan apa yang telah ia
lakukan, benar-benar membuat kepalanya seakan mau pecah.
Ia memilih untuk kembali membuka kotak makan pemberian
Keira. Aroma nasi goreng ikan asin kembali menyeruak ke
dalam hidungnya. Makanan di depannya terlihat begitu
menggoda. Menerbitkan air liurnya.

Aldric mengambil sendok yang sudah disediakan oleh Keira


dan mencicipi sejumput nasi goreng ikan asin tersebut. Ketika
buliran nasi itu meluncur ke dalam mulutnya, Aldric
melupakan segalanya. Bahkan, ia tak ingat dengan kalimat
Melisa, seperti kali pertama Aldric ingin mencicipi masakan
Keira.

Kelak, Aldric akan sadar, bahwa apa yang dikatakan oleh


Melisa benar.

Sayangnya, ketika ia sadar, semua sudah terlambat. Sangat


terlambat.

***

Aldric sampai di rumah pukul empat sore. Terlalu dini untuk


ukuran pengusaha seperti dirinya. Entah kenapa, ia ingin segera
sampai di rumah. Seakan-akan, ada seseorang yang selalu
menunggunya di rumah.

Flowers | 92
Dia mendesah. Ah, iya dia sudah memiliki istri. Tentu saja,
istrinya menunggu di rumah. Itu kalau Keira memang
benarbenar istrinya.

Selama beberapa hari ini, Keira benar-benar melakukan apa


yang pernah dikatakannya. Belajar menjadi seorang istri. Pagi
sekali ia menyiapkan bekal, menentukan menu untuk hari itu,
menyiapkan baju untuk Aldric, bahkan ia membantu Aldric
membetulkan letak dasi yang kurang pas. Aldric pikir, Keira
menyerah untuk tidak membawakannya bekal, karena ia selalu
membuang masakan istrinya itu. Tapi, hari ini berbeda. Entah
kenapa, nasi goreng yang dibawakan Keira, terlalu sayang
untuk tidak dicicipi.

Aldric meletakkan tupperware sisa bekal yang dibawakan


Keira di atas meja dapur. Selang beberapa saat, Bi Endah
masuk dapur. Aldric melihat Bi Endah membawa nampan
berisi gelas dan mangkuk kosong. Ia mengerutkan kening,
ketika melihat sebuah botol aspirin di sebelahnya.

"Siapa yang sakit?" tanya Aldric. Bi Endah melewati Aldric,


meletakkan nampan di sebelah wastafel.

"Nyonya, Tuan," jawab Bi Endah. "Sejak pagi tadi kurang enak


badan."
Aldric sadar, pagi tadi wajah Keira terlihat memerah. Tapi,
Aldric tak ambil pusing. Nyatanya, perempuan itu benar-benar
kurang enak badan.

Flowers | 93
Beberapa hari Keira selalu pulang kerja dengan basah kuyup.
Perempuan itu nekat menerobos hujan, demi sampai di rumah
sebelum Aldric sampai. Dan, dari kemarin malam Keira sudah
merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya.

Aldric keluar dapur, berjalan ke arah tangga, dan menuju kamar


Keira. Tidak seperti Keira yang selalu berpikir dua kali ketika
masuk ke dalam kamar Aldric, suaminya tanpa mengetuk pintu,
ia langsung membuka pintu kamar Keira.

Keira terbaring di atas ranjang, selimut menutupi tubuhnya


hingga ke dagu. Matanya tertutup, tapi tidak benar-benar
tertutup. Erangan kecil terdengar ketika Aldric mendekatinya.
Aldric mengulurkan tangannya, menyentuh kening istrinya.
Hangat. Ia merasakan kening Keira hangat, nyaris panas.
Seperti terbakar.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Aldric. Keira tidak menjawab.


Hanya erangan kecil dan itu mampu membuat Aldric bergidik
ngeri. "Kei," panggilnya. Kali ini, Keira membuka matanya
perlahan.

"Hei," sapa Keira. Suaranya serak. Ia bahkan tidak jelas melihat


Aldric. Ia merasa seperti sadar tidak sadar. "Aku demam,"
ujarnya.

Flowers | 94
"Kamu bisa bangun? Kita ke rumah sakit," ucap Aldric. Keira
menggeleng. Sangat lemah. Tanpa pikir panjang, Aldric
membuka selimut yang menutupi Keira, lalu ia menggendong
perempuan itu dengan kedua tangannya.

"Aku ...."

"Jangan banyak bicara."

***

Surabaya memang sedang musim hujan. Sejak Keira kehujanan


ketika dari rumah ibunya, berturut-turut selama sepekan, Keira
terus-menerus kehujanan. Ia nekat menerobos hujan, demi
sampai di rumah sebelum Aldric pulang. Tanpa alasan yang
jelas, ia ingin menjadi istri yang baik bagi Aldric. Atau Keira
sengaja ingin membuat Aldric menyukainya.

Sudah tiga hari lamanya, Keira merasa kurang enak badan.


Tapi, ia hanya merasakan gatal pada hidungnya dan ia pun
sudah minum obat pereda flu. Dengan begitu, Keira harap ia
segera cepat pulih. Nyatanya, keadaannya semakin parah.

Hingga pagi tadi, Keira merasakan sakit kepala yang teramat.


Meskipun begitu, ia tetap bangun pagi dan membuatkan bekal
untuk Aldric. Anehnya, ketika memasak maupun menyiapkan
pakaian Aldric, segala sakit yang ia rasakan seakan punah.

Flowers | 95
Sakit kepalanya semakin jadi, ketika siang tiba. Sampai-sampai
tubuhnya lemas. Keira hanya meminta Bi Endah obat pereda
sakit dan bubur. Usai itu, ia istirahat di kamar, sampai Aldric
masuk ke dalam kamarnya.

Ketika Aldric datang, Keira setengah sadar. Mungkin karena


pengaruh obat atau mungkin karena tubuhnya terlalu lemas.
Hanya dadanya yang membuncah. Ia senang bisa melihat
Aldric di depannya, sedang mengkhawatirkannya. Begitu saja,
sudah membuat Keira merasa lebih baik.

Lalu, Keira merasa tubuhnya terangkat. Ia sedikit terkejut


ketika Aldric menggendongnya. Ia sempat ingin memprotes,
tapi lelaki itu berkata, "Jangan banyak bicara," yang mampu
membuat Keira menurut.

Keira tak pernah tahu, bahwa dalam dekapan Aldric terasa


senyaman itu. Aroma mint bercampur keringat Aldric
memberikan sensasi sendiri bagi Keira. Dalam pelukan lelaki
itu, Keira merasa semua akan baik-baik saja. Semua akan
teratasi. Aldric menawarkan perlindungan lebih daripada yang
Keira harapkan.

Untuk kali pertama, Keira merasakan kehangatan dari Aldric.


Sesuatu hal yang seharusnya tak ia rasakan, karena nantinya ia
akan tersakiti. Tapi, sekali saja. Sekali saja, Keira ingin
menikmatinya. Melupakan apa yang terjadi diantara mereka.
***

Flowers | 96
Aldric menghentikan mobilnya di depan rumah, mematikan
mesin mobil. Lalu, ia melirik ke arah Keira. Perempuan itu
sudah terlihat jauh lebih segar daripada sebelumnya. Jantung
Aldric berdegup kencang ketika melihat perempuan itu lemas
dan tak berdaya. Pikiran buruk menghantuinya seperti
kelelawar berterbangan dari dalam goa.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Ia berusaha keras


menyembunyikan rasa khawatirnya, tapi gagal. Ia sudah tak
peduli.

Keira tersenyum, mengangguk.

Aldric membuka pintu, berjalan memutari mobil, lalu


membukakan pintu untuk Keira. Ia mengulurkan kedua
tangannya ke arah Keira, menawarkan bantuan.

Keira menelan ludah, ragu. Aldric masih menunggu. Lalu,


Keira menyambut tangan Aldric, detik itu juga kehangatan
tangan Aldric menjalar ke seluruh tubuhnya. Tak sampai di
situ saja. Aldric tidak hanya membuat kehangatan dari uluran
tangannya, tapi yang dilakukan oleh Aldric berikutnya
semakin membuat Keira susah bernapas. Aldric
melingkarkan tangannya ke bahu Keira, lelaki itu
membantu Keira berjalan.

Dalam perjalanan selama tidak lebih dari lima menit itu, Keira
menahan napas. Sampai di ruang keluarga, Keira meminta
Aldric untuk duduk di sofa. Bukan karena Keira ingin
Flowers | 97
menonton televisi, tapi ia tak bisa terus-terusan merasakan
ketegangan ketika Aldric mendekapnya.

"Ah, akhirnya di rumah," seru Keira, serta merta ingin


menetralisir perasaannya.

"Sebaiknya kamu langsung istirahat di kamar," ujar Aldric.

Lelaki itu berdiri di hadapan Keira, melihat ke arah perempuan


itu dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Keira tersenyum, mengepalkan kedua tangannya di atas kedua


pahanya. "Aku sudah sehat. Kamu tidak usah khawatir." Aldric
mendesah, menekuk lututnya hingga ia sejajar dengan Keira.

Lalu, ia menarik kedua tangan Keira dengan tangan kirinya,


sedangkan tangan kanannya terulur ke dahi perempuan itu.
Aldric memeriksa keadaan istrinya. Lagi-lagi, membuat Keira
membeku. "Aku baik-baik saja."

Sungguh. Aldric benar-benar mengkhawatirkan keadaan Keira.


Seandainya saja Keira tahu, bagaimana wajah Aldric ketika
melihat wajah Keira sepucat mayat. Ketika melihat tubuh Keira
begitu lemas dan tak bergairah. Rasanya, Aldric ingin
menggantikan posisi Keira. Rasanya Aldric ingin marah pada
perempuan itu. Bisa-bisanya ia tak memberitahunya mengenai
keadaannya.

Flowers | 98
Aldric mendesah. Suhu tubuh Keira sudah jauh lebih baik. Ia
bisa sedikit bernapas lega. Ia melepaskan tangannya dari dahi
Keira, lalu duduk di sebelah istrinya.

"Sejak kapan?" tanyanya.

Keira melihat ke arah Aldric. Sesaat ia sempat bingung dengan


pertanyaan suaminya itu. "Hm, beberapa hari yang lalu.

Mungkin karena hujan," jawabnya. Aldric ingat, ketika


perbincangan di dapur waktu itu. Keira basah kuyup. Tapi, ia
memilih diam. Ia tak meminta Keira mengeringkan rambutnya
atau apa pun. Ia tidak peduli.

"Kau sering begadang?" Aldric bertanya lagi. Rasanya, ia


belum puas. Ada rasa sesal yang menyesak.

Keira mengangguk. "Deadline benar-benar mengejarku,"


tawanya sumbang. Beberapa hari ini memang Keira
memaksakan diri untuk bekerja lebih keras menyelesaikan
naskah pesanan dari editornya. Bahkan, ketika di kafe Keira
lebih memilih menghabiskan waktu di lantai dua di waktu
luang. "Aku baik-baik saja. Sungguh."

"Kita pergi bersama-sama," ujar Aldric. Keira mengangkat


kedua alisnya. Tidak mengerti. "Kalau kau pergi ke rumah
orang tuamu, kita pergi bersama-sama."

Flowers | 99
Istrinya itu mengerjapkan mata berkali-kali. Bibirnya kelu. Ia
ingin mengatakan sesuatu, tapi begitu banyak pertanyaan
dalam kepalanya. Sampai tak satupun kata keluar dari bibirnya.

Aldric menatap lurus tepat ke dalam mata Keira, ia merasa


begitu lemas ketika melihat kedua mata tersebut. Lalu, ia
melihat ke arah bibir Keira. Entah kenapa perempuan itu
menggigit bibir bawahnya. Seakan-akan menginginkan Aldric.
Seakan-akan meminta Aldric untuk menghapus rasa sakit di
sana.

Tanpa ia sadari, tangannya terulur memegang pipi Keira.


Mengusap bibir bawah Keira dengan ibu jarinya. Begitu
lembut, begitu memikat. Lalu, kepalanya mendekat.
Sedangkan Keira menegang. Ia tak bisa berpikir apa pun.
Seperti sudah terprogram, Keira memejamkan mata.
Menikmati sentuhan ibu jari Aldric, kedua tangannya
mengepal di atas lutut. Kemudian, Aldric menarik diri, tepat
sebelum bibir mereka saling bersentuhan.

Aldric menelan ludah. "Kau harus istirahat."

Lalu, ia pergi meninggalkan Keira sendirian. Keira tak pernah


tahu, pertahanan Aldric hampir runtuh malam itu.

***

Flowers | 100
BAB DELAPAN

Sudah pukul delapan pagi dan Keira masih meringkuk di bawah


selimutnya.

Mungkin karena obat yang ia minum, mungkin juga karena ia


kelelahan, sehingga Keira tak kunjung bangun. Ia membuka
matanya, ketika mendengar suara pintu terbuka. Dengan
setengah sadar, Keira melihat ke arah pintu. Dari balik pintu
bercat putih tersebut, Aldric masuk, membawa nampan dengan
mangkuk dan segelas air putih. Lalu, lelaki itu menaruh
nampan di atas nakas, tepat sebelah ranjang Keira.

Keira masih berdiam diri, hanya kedua matanya yang bergerak


mengikuti pergerakan Aldric, yang kini duduk di tepi ranjang.
Lelaki itu melihat ke arahnya, kemudian mengulurkan tangan
dan menyentuh keningnya. Dan, ia masih saja melihat ke arah
Aldric, meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu memang Aldric.

Semalam, Aldric yang sudah berada di dalam kamar, keluar


mengecek Keira di kamarnya. Nyatanya, perempuan itu belum
masuk ke dalam kamar. Lalu, ia menuruni tangga dan
mendapati Keira tertidur di atas sofa. Dia tersenyum kecil,
mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh istrinya,
kemudian ia menggendong Keira dan menidurkannya di dalam
kamar.

Semalaman, Aldric tak nyenyak. Berkali-kali ia keluar masuk


kamar Keira, sekadar mengecek suhu tubuh perempuan itu.

Flowers | 101
Nyatanya, Keira pulas sekali.

"Suhu badanmu sudah turun," ujar Aldric. "Bagaimana


perasaanmu?"

Keira mengernyitkan dahi. Ia masih belum menangkap apa


yang terjadi sekarang ini. Lalu, ia bangun dan duduk bersandar.
"Ah," lirihnya," aku baik-baik saja."

"Yakin?"

"Ya."

"Baguslah," kata Aldric. "Bi Endah membuatkanmu bubur.


Makanlah." Ia meraih mangkuk dari atas nampan lalu
menyerahkannya pada Keira.

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya." Kau tidak bekerja?"


tanyanya, setelah menyadari bahwa sekarang terlalu siang
untuk melihat Aldric berada di rumah.

"Ini Sabtu," jawab lelaki itu, sama sekali tidak menjelaskan


sesuatu.

Keira memainkan bubur beras yang ada di dalam mangkuk.

"Biasanya kamu bekerja sampai hari Minggu," sahutnya. Keira


tersenyum kecil, melihat ke arah Aldric.

Flowers | 102
Aldric mengambil alih mangkuk dari tangan Keira, beserta
sendoknya. Lalu, ia mengambil sedikit dan mengulurkannya ke
arah mulut istrinya. Kedua mata Keira membulat, terkejut
dengan apa yang dilakukan oleh Aldric.

"Pagi sekali Bi Endah aku minta untuk membuatkanmu


sarapan," kata Aldric. "Agar kau bisa makan yang cukup dan
segera sembuh. Bukan untuk dibuat mainan," usai Aldric
berkata demikian, Keira membuka mulutnya, menerima suapan
Aldric. Bubur dari beras dengan gula yang sudah mencair itu
pun luruh ke dalam mulutnya.

"Kau manis sekali," ujar Keira. Ia tertawa kecil. "Kemarin


menggendongku sampai ke rumah sakit, mengecek suhu
badanku, dan pagi ini kau menyuapiku." Ia masih tertawa kecil.
Senang rasanya bisa sedekat ini dengan Aldric.

Aldric menarik sudut bibirnya. "Apa ini kali pertama buatmu?"


nadanya terdengar mencemooh. Jelas, dia tak ingin kalah dari
Keira. "Digendong, diperhatikan, dan disuapi oleh seorang
lelaki. Apa kali pertama buatmu? Sampai-sampai kau terlihat
bahagia sekali."

"Tentu saja, tidak," sahut Keira. "Kau pikir, aku tidak pernah
dekat dengan laki-laki? Aku pernah merasakan perhatian
seperti yang kau lakukan." Keira mengendikkan bahu
kanannya. "Ehm, Yoga sering begitu. Selalu." Lalu, pandangan

Flowers | 103
Keira membeku. Seakan ia melihat sesuatu yang membuat ia
lupa akan keberadaan Aldric. Dan, itu membuat Aldric
tersinggung.

"Jangan salah sangka. Aku hanya tidak ingin menggendongmu


seperti kemarin," ujar Aldric. "Sebenarnya, berapa berat
badanmu? Kau berat sekali. Untuk ukuran seorang perempuan,
kau gendut."

Keira menarik napas dalam-dalam. Kenapa laki-laki itu cepat


sekali berubah? Baru beberapa menit yang lalu ia begitu manis
dan kini dia kembali seperti Aldric biasanya, menyebalkan.

"Habiskan," Aldric menyerahkan kembali mangkuk di


tangannya pada Keira. "Malam ini kita ke pesta teman Omi.
Aku tidak mau kau mengacaukannya."

***

Keira tak tahu, Aldric harus membatalkan meeting dengan


beberapa klien hari ini karena dirinya.

Aldric sengaja tidak masuk kerja bukan karena ingin libur. Ia


terlalu khawatir dengan keadaan Keira. Biasanya, hari Sabtu
justru menjadi hari paling sibuk, terlebih lagi di akhir bulan. Ia
harus mengecek ini itu, hanya agar perusahaannya tetap dalam
kendali. Tapi, setelah apa yang dilakukannya, Keira justru
membuat perasaannya buruk. Menyebut nama laki-laki lain di
hadapan Aldric adalah perbuatan yang fatal.

Flowers | 104
Lelaki itu, meruntuki dirinya sendiri karena terusik dengan apa
yang diucapkan oleh Keira. Meskipun, perempuan itu
menyebut nama laki-laki yang akan menjadi suami adiknya,
tetap saja membuat Aldric terganggu.

Ia turun ke lantai bawah, langkahnya lebar-lebar. Lalu, menuju


ke ruang kerjanya.

Di balik meja kerjanya, Aldric justru melamun, melihat ke arah


layar komputer jinjing. Ia masih mengingat dengan jelas
ekspresi wajah Keira ketika menceritakan mengenai Yoga. Ia
begitu penasaran. Awalnya, Keira tertawa, terlihat sangat
bahagia dan itu pun membuatnya senang. Lalu, ketika
mengungkit mengenai Yoga, ekspresi Keira berubah.

Wajahnya terlihat begitu kelam, sampai-sampai ketika Aldric


ingin menyelaminya, ia tak sanggup.

***

Keira mengenakan gaun yang sudah dibelikan oleh Aldric. Ia


tak tahu, kapan suaminya itu membelikan gaun berwarna peach
dengan renda pada leher.

Kini, mereka sudah berada di rumah Pak Bari, relasi bisnisnya,


sekaligus teman Omi.

Pesta yang diadakan Pak Bari adalah untuk merayakan ulang


tahun pernikahannya. Pesta tersebut diadakan di halaman

Flowers | 105
rumah Pak Bari. Sebagian besar yang datang adalah relasi
kerja, kerabat, dan beberapa anak perusahaan dari perusahaan
milik Aldric.

Pesta itu teramat riuh, membuat Keira merasa di tepi. Seakan


ia berada di tempat yang tak seharusnya. Memang, ia mudah
mengenal seseorang, tapi terkadang ia benci keramaian,
terutama keramaian di sebuah pesta.

Keira berdiri di atas stilletto setinggi sepuluh centimeter


dengan canggung. "Kau bilang Pak Bari teman Omi," ucapnya,
pada Aldric. Suaminya itu berdiri tepat di sampingnya," lalu,
kenapa Omi tidak ikut?"

"Entahlah," sahut Aldric," Omi bilang, kita yang hadir saja


sudah cukup." Aldric melirik ke arah Keira. Perempuan itu,
mengenakan gaun yang dipilih olehnya. Aldric sama sekali tak
tahu ukuran gaun yang pas untuk Keira, ia hanya mengirangira.
Dan sukurlah gaun itu cocok dikenakan oleh istrinya.

Melihat Keira dengan gincu berwarna senada dengan gaunnya


dan riasan sederhana yang menghiasi wajah perempuan itu,
tanpa sadar Aldric menarik ujung bibirnya. Gaun tersebut
memiliki bahan yang menempel pada tubuh, sehingga
membuat tubuh ramping Keira terlihat samar-samar. Selama
ini, Aldric hanya melihat Keira sebagai perempuan dengan
penampilan sederhana. Celana jins dipadu dengan kaus atau
sekadar memakai kemeja flanel. Paling bagus, Keira
mengenakan rok kotak-kotak selutut.

Flowers | 106
Seharusnya, Aldric tak perlu mengagumi penampilan Keira
malam ini, karena malam-malam sebelumnya, Keira juga
pernah berias. Tapi, kali ini gaun yang dikenakan Keira adalah
pilihannya. Mau tak mau, membuat ego Aldric sedikit naik. Ia
merasa, bisa membuat wanita sederhana seperti Keira terlihat
memesona.

Keira menoleh. "Kita masuk sekarang?"

Aldric berdeham, tanpa ia sadari sedari tadi ia hanya melihat ke


arah Keira sampai-sampai lupa masih berdiri di samping
mobilnya. "Ya." Lalu, ia melangkahkan kakinya, mendahului
Keira. Setelah beberapa langkah, ia berhenti, menoleh ke
belakang.

"Kau tak akan menggandengku?" tanya Keira. Ia menaikkan


kedua alisnya, bibirnya ia tahan agar tidak tersenyum. Hidup
bersama Aldric selama beberapa waktu, membuat ia sedikit
ingin menggoda laki-laki itu. Mungkin dengan begitu, Aldric
akan sedikit hangat kepadanya. Terbukti, ketika ia sakit
kemarin.

Keira sadar, Aldric laki-laki baik. Hanya saja, keadaan yang


membuatnya bersikap demikian.

"Bukankah kita suami istri?" tambah Keira. Aldric mendesah.


Keira mengulurkan tangan kirinya. Melihat Aldric bergeming,
Keira tertawa kecil, lalu mendekati suaminya. "Aku bercanda."
Keira tertawa kecil.

Flowers | 107
Aldric mendesah, wajahnya terlihat kesal. Lalu, ia berjalan
mendahului Keira.

***

Aldric mengenalkan Keira pada Pak Bari dan Bu Bari. Kedua


pasangan tersebut menyambut Keira dengan hangat. Keira pun
menyukai pasangan tersebut. Ia merasa nyaman.

"Cantik sekali," puji Bu Bari. "Maaf ya, kami tidak hadir ketika
kalian menikah. Waktu itu, kami masih di Tokyo."
"Rezka ulang tahun waktu itu. Jadi, kami ke sana mumpung ada
kesempatan," tambah Pak Bari. Rezka adalah cucu pertama
mereka. Pak Bari merangkul pinggang istrinya, mereka tertawa
bersama. Terlihat sangat bahagia. "Sebenarnya, kami berharap
Rezka di Indonesia saja. Tapi, yah, Leyla dan Ranu tidak
mengijinkan. Takut kangen, katanya," cerita Pak Bari.

"Tidak masalah, Pak Bari. Kami mengerti," sahut Aldric.

Bu Bari memegang lengan Aldric. "Ajak istrimu menikmati


pestanya. Kami menyambut tamu yang lain dulu," pamitnya.
Keira dan Aldric menunduk, hormat.

Sepeninggal Pak Bari dan Bu Bari, Keira tertegun cukup lama.


Ia merasa iri dengan pasangan tersebut. Apakah nantinya, ia
akan memiliki seseorang yang akan menemaninya hingga
lanjut usia? Menghabiskan waktu senja bersama hingga mereka

Flowers | 108
saling lupa dengan satu sama lain. Sayangnya, ia justru terjebak
dalam pernikahan layaknya neraka yang ia buat sendiri.

Lamunan Keira terganggu, ketika sebuah suara meneriaki


namanya. Keira menoleh, begitu juga dengan Aldric. Dari sisi
lain, Kaira melambaikan tangannya, meneriaki nama
kakaknya. "Kai," lirih Keira sumringah. Sejurus kemudian,
Kaira menghampirinya, memeluknya. "Kenapa kau di sini?"
tanyanya keheranan.

"Yoga mengajakku ke sini," jelas Kaira, usai ia memeluk tubuh


ramping kakak kandungnya.

Kerutan halus muncul di dahi Keira, otaknya berpikir keras,


bagaimana bisa kebetulan semacam ini? Lalu, ia teringat
sesuatu. Aldric dan Yoga saling mengenal, mereka bekerja
dalam ruang lingkup yang sama. Ini bisa saja terjadi. Keira
menelan ludah. Tiba-tiba saja, hatinya meredup. "Pak Bari,
atasanku, Kei," sahut Yoga, yang sudah berdiri di belakang
Kaira. Keira tersenyum kecut. Yoga beralih kepada Aldric,
kedua laki-laki itu saling berjabat tangan dan bertanya kabar.

"Tahu begitu, kita bisa pergi sama-sama tadi," sambung Kaira.


Wajahnya berseri-seri. Sudah sekian lama ia tak bertemu
kakaknya. Mau mengunjungi ke rumah Aldric, ia sungkan.

"Kamu kira kita sedang double date?" canda Keira. Lalu,


mereka berdua tertawa bersama. Keira melirik ke arah Aldric,
ia terlihat enggan. Sama seperti dirinya. Ia ingin cepat-cepat

Flowers | 109
mengakhiri pertemuannya dengan Yoga. "Apa kita ambil
hidangan saja, ya, Mas Al?" tanyanya, pada Aldric.

Aldric menoleh. Kata "Mas" yang diselipkan Keira di depan


namanya itu, terdengar aneh. Ia sampai mengerutkan kening,
merasa panggilan tersebut bukan untuknya. "Kau saja," jawab
Aldric. Keira mendesah. Ia menyesal telah meminta bantuan
pada suaminya untuk mengatasi keadaan tersebut.

"Al!" Perempuan seumuran Aldric memanggil nama suaminya.


'Al', terdengar sangat akrab. Aldric menoleh bersamaan dengan
Keira, lalu suaminya itu menarik sudut-sudut bibirnya. Terlihat
semangat melihat perempuan dengan perut buncit itu.

"Aku mencarimu ke mana-mana, astaga," keluhnya, ketika ia


sudah sampai di kerumunan Aldric.

"Ckckck, kau selalu berlebihan," sahut Aldric. "Lagipula, kau


tidak sopan, Dru."Aldric mendesah pelan. Sekretarisnya itu
benar-benar menyebalkan.

"Hei, ini di luar jam kantor," protesnya. Lalu, ia mengedarkan


pandangannya ke arah Yoga, Kaira, lalu Keira. "Kau, pasti
Keira."

Keira tersenyum, mengangguk. "Hai," sapanya.

"Aku Drupadi, panggil saja Dru, sekretaris Al," Drupadi


memperkenalkan diri dengan semangat. "Akhirnya, kita

Flowers | 110
bertemu juga, Kei," ujarnya. "Aku selalu bertanya-tanya,
bagaimana rupa seorang perempuan yang mampu membuat
seorang Aldric tergila-gila."

Mendengar penuturan Drupadi, membuat pipi Keira


menghangat. "Aku tahu loh, setiap hari kau membuatkan bekal
untuk bosku ini," tambahnya. "Astaga, dia selalu malu-malu
ketika membuka bekalnya."

"Dru, cukup," sahut Aldric. Dia harus segera menghentikan


retentan kalimat Drupadi, kalau tidak ingin perempuan itu
membeberkan semua rahasianya. "Kau sendirian? Di mana
suamimu?"

"Ah, dia masih mencari tempat parkir di luar," seperti teringat


sesuatu, ia mengedarkan pandangannya lagi ke seluruh
ruangan. "Iya ya, lama sekali. Dia selalu saja begitu," tukasnya.

"Baiklah, senang berjumpa denganmu Kei, lain kali kita makan


malam bersama, ya. Sekarang, aku mau mencari suamiku dulu
dan menemui Pak Bari."

"Senang juga berjumpa denganmu, Dru," balas Keira.

"Sampai jumpa, Bos," ujar Drupadi pada Aldric.

"Itu tadi sekretarismu?" tanya Keira basa basi, sekadar ingin


membuka pembicaraan. Aldric mengangguk. "Dia ceria
sekali."

Flowers | 111
"Seperti Kak Keira," sahut Kaira. Ia melihat ke arah kakaknya.
"Kak Keira selalu ceria dan banyak bicara," ia tertawa sendiri.
Aldric menoleh ke arah Keira. Mencari-cari keceriaan yang
diutarakan oleh Kaira.

"Benar, kau selalu ceria, Kei," sambung Yoga. "Kau temanku


yang menyenangkan."

Keira tersenyum kecut, bibirnya terasa kaku. Jantungnya terasa


diremas-remas. Terlebih lagi, ketika Yoga memeluk pinggang
Kaira, seperti yang dilakukan Pak Bari kepada Bu Bari.
Mendadak perasaan iri dan benci pada Kaira muncul.
Seharusnya, ia yang berada di posisi Kaira sekarang. Tapi, atas
dasar apa?

Ia mendesah, memejamkan matanya dan berusaha keras


mengusir perasaan iri tersebut. Ia tak boleh begitu, Kaira adalah
adik kandungnya. Adik kesayangannya. Dia sendirilah yang
membuat Yoga mencintai Kaira, ia yang mendukung mereka
berdua.

Ini salahnya sendiri.

Keira menarik napas dalam-dalam, lalu ia sadar; Aldric masih


berdiri di sampingnya. Ia melihat ke arah suaminya itu. Dan,
siapa sangka suaminya itu sedang melihat ke arahnya. Keira
melihat kilatan pada kedua mata Aldric, entah apa. Lalu, tanpa
berpaling darinya Aldric berkata," Jadi, kapan kalian akan

Flowers | 112
menikah?" Seketika itu, Keira tahu, Aldric tahu. Ia menggigit
bibir bawahnya, memohon pada Aldric untuk
menghentikannya.

Sayangnya, Aldric tak peduli.

***

Perjalanan ke rumah malam itu, menjadi perjalanan yang


teramat panjang. Keira masih memalingkan wajahnya.

Perempuan itu memandang ke arah kaca mobil. Dan itu,


membuat jantung Aldric seakan diremas-remas.

Tatapan kosong Keira ketika pembicaraan di dapur waktu itu


dan lamunan istrinya ketika membicarakan laki-laki tadi pagi.
Sekarang ia tahu, kenapa dan siapa. Hal itu, membuat Aldric
uring-uringan. Ia menahannya kuat-kuat, ia tak ingin harga
dirinya jatuh dan mengakui bahwa ia mulai tertarik dengan
Keira.

"Jadi, itu alasanmu menikah denganku?" Aldric tak tahan lagi.


Pertanyaan itu muncul begitu saja.

Keira menoleh, wajahnya terlihat begitu datar. Ia tersenyum


kecut. "Ya." Ia menunduk. Menggigit bibirnya. Sedangkan
kedua tangan Aldric memegang erat kemudi. Ia tak bisa
berkonsentrasi. Ia tak bisa melihat Keira seperti ini.

Flowers | 113
Kepalang basah bagi Keira untuk menyembunyikan ini dari
Aldric. Lelaki itu sudah tahu, entah apa yang membuat Aldric
begitu mengerti akan perasaannya terhadap Yoga.

"Kau ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Aldric. Ia tak tahu apa
yang ia lakukan. Tapi, rasa-rasanya, ia tak ingin membawa
Keira pulang dan mereka berpisah. Aldric yakin, Keira maupun
dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.
"Ke mana?"

"Ke mana saja, asal tidak pulang."

***

Flowers | 114
BAB SEMBILAN

Kelopak mata Keira terbuka, ketika ia merasakan kehangatan


menerpa wajahnya. Samar-samar, ia mendengar deburan air,
lalu ia melihat air yang teramat banyak. Antara sadar dan
tidak, Keira melihat laut. Ia menarik napas, menengok ke arah
kanan. Di sampingnya, kursi yang seharusnya ditempati oleh
Aldric kosong. Lalu, ia melihat jas yang dikenakan oleh
Aldric menutupi tubuhnya.

Keira menurunkan satu kakinya ke atas pasir, ia tersenyum


bahagia. Ia benar-benar berada di tepi pantai. Angin pantai
menerpa wajahnya, menerbangkan helaian rambutnya. Ia
mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari Aldric.

Kemudian, ia melihat suaminya itu. Lelaki itu berada di tepi


pantai memandang ke arah laut. Kemeja putihnya keluar dan
beterbangan diterpa angin.

Semalam, ketika Aldric menawarinya untuk pergi ke suatu


tempat. Dengan asal, Keira menjawab," Aku ingin melihat
laut." Begitu saja, lalu ia menyandarkan kepalanya.

Membiarkan matanya terpejam, sampai akhirnya tertidur.


Rasanya seperti mimpi, ketika ia membuka mata sudah
berada di tepi pantai. Keira sama sekali tak menyangka,
Aldric akan menuruti kemauan asalnya tersebut.

Flowers | 115
Perempuan itu menjejakkan kakinya, berjalan dengan kaki
telanjang, merasakan butir-butir pasir berwarna putih di
kakinya. Langkahnya cepat-cepat, lalu ia berdiri di samping
Aldric, melihat ke arah laut. Ia memejamkan mata.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Aldric, ketika melihat istrinya


itu berdiri di sampingnya. Memejamkan mata. Membiarkan
wajahnya diterpa angin laut.

"Menikmati laut," jawab Keira sembari tersenyum lebar.


Aldric ikut tersenyum, menyenangkan sekali bisa melihat
Keira tersenyum seperti saat ini. Lalu, Keira membuka mata,
menoleh ke arah Aldric. "Kita di laut, Al," lirihnya. "Kau
gila," tambahnya lagi. Ia tertawa kecil. "Kau benar-benar
gila." Keira tertawa kecil, memejamkan matanya lagi,
mengambil napas dalam-dalam. Merasakan seluruh
kehangatan menjalar di wajahnya.

Semalam, tanpa pikir panjang, Aldric membawa Keira ke


pantai selatan, di Malang. Saat ini, mereka berada di Pantai
Watu Leter, yang bersebelahan dengan pantai Gua China.
Perjalanan selama lima jam lebih ia tempuh, tanpa
membangunkan Keira yang tertidur pulas. Seperti halnya
dengan Keira, Aldric pun perlu menenangkan diri. Dan
ketika, Keira meminta untuk melihat laut, Aldric langsung
membawanya ke sini.

Sekitar pukul empat pagi tadi, mereka sudah sampai dan


Aldric membiarkan Keira tetap terlelap.
Flowers | 116
Aldric duduk di atas pasir putih yang halus itu dan Keira
mengikutinya.

"Omong-omong, kita sekarang di mana?" tanya Keira,


sembari melihat sekelilingnya. Ia melihat beberapa remaja
yang berdiri tak jauh darinya, yang berdiri tidak jauh dari
tenda kecil yang mereka dirikan. Ia tersenyum. Melihat
remaja-remaja tersebut tertawa bahagia, bercengkerama
dengan sahabat mereka bahkan mengadakan camping di alam
terbuka seperti ini.

"Di Watu Leter, Malang," jawab Aldric.

"Seharusnya, kita bisa camping seperti mereka," ujar Keira.


Senyumnya belum hilang sejak tadi. "Aku akan membawa
bekal." Ia mebayangkan. Keira melihat ke arah Aldric,
matanya berseri-seri. "Mungkin, aku akan membuat shushi,
atau ekkado. Atau, kalau kau lebih suka makanan berat, aku
bisa membuatkan nasi kuning." Ia tertawa kecil. "Kita
membawa tenda kita sendiri, aku memakai kaus dan celana."
Ia berbicara dengan suara yang berapi-api. "Tidak seperti
sekarang, kau memakai kemeja dan aku memakai gaun. Kita
seperti mau foto pre-wedding tahu."

Aldric tersenyum kecil. Ada kenyamanan yang tak dapat ia


jelaskan ketika Keira berbicara dengan wajah sumringah
seperti saat ini. "Kau bisa membuat nasi kuning?"

Flowers | 117
"Tentu," jawab Keira, bersemangat. "Di rumah, selalu aku
yang masak. Ibu dan Kaira bilang, masakanku enak.
Sampaisampai, dia memintaku membuka katering saja,
daripada menulis novel." Keira tertawa lagi. Sejak tadi, Aldric
tak bisa memalingkan tatapannya dari wajah Keira.

"Kau, mau kubuatkan nasi kuning?" Keira memiringkan


kepalanya. "Aku akan membuatkanmu nasi kuning, tapi
dengan satu syarat." Ia tak menunggu Aldric menjawab,
suaminya itu hanya mengangkat kedua alisnya. "Kau harus
mengajakku ke sini lagi."

Aldric tersenyum kecil, lalu melihat ke arah laut. Entah apa


yang dipikirkannya, Keira tak tahu. "Aku boleh bertanya
sesuatu?" ujar Aldric.

"Ya?"
"Apa Yoga tahu mengenai perasaanmu?" ragu-ragu Aldric
bertanya. Ia takut Keira akan marah padanya, atau justru
membuat canggung di antara keduanya. Tapi, lagi-lagi ia
ingin tahu. Segala hal mengenai Keira, kini teramat menarik
perhatiannya.

Keira tersenyum, ia memandang ke arah lautan lepas.


Ombaknya menerjang tebing. Airnya begitu jernih.
Seakanakan, air laut itu begitu segar untuk diselami,
mendamaikan, untuk menghilangkan dahaga. Nyatanya, tidak
begitu. Air laut bisa saja berbalik arah, mematikan.

Flowers | 118
"Tentu saja, tidak," lirihnya. "Kalaupun dia tahu, itu tidak
akan mengubah apa pun."

Keira mendesah. "Aku tidak ingin dia tahu, terutama Kaira.


Kaupikir, apa yang akan dilakukan Kaira kalau sampai dia
tahu?" Ia menelan ludah. Membayangkan hal buruk itu
terjadi, menyakiti hati adiknya sendiri. "Kaira tak pantas
disakiti, hanya karena keegoisanku."

"Lalu, apakah kau pantas disakiti?" Aldric melihat ke arah


Keira. Menunggu reaksi perempuan itu. Keira membalas
tatapannya.

"Al, kau mau berteman denganku?" ujar Keira, tanpa


menghiraukan pertanyaan Aldric. "Kita bisa berbagi banyak
hal. Mengenai kehidupan sehari-hari, masa lalu dan
kesenangan-kesenangan masa sekarang. Mungkin, kita tak
akan punya masa depan. Paling tidak, kita bisa menikmati
kebersamaan ini."

Aldric tersenyum sinis. Lagi-lagi, Keira berhasil


mempermainkan perasaannya. "Awalnya, kau memintaku
untuk menjadi mitra bisnis. Sekarang, kau meminta untuk
berteman. Lalu, nanti kau ingin kita seperti apa? Sepasang
suami istri?"

Keira tersenyum kecil, nyaris tertawa. "Aku tidak akan pernah


meminta itu, Al. Karena kita memang suami istri.
Kalau-kalau kau lupa."

Flowers | 119
***

Aldric mengajak Keira ke warung di tepi pantai. Warung


tersebut terletak sekitar sepuluh meter dari bibir pantai. Di
sebelah warung, terdapat bilik-bilik pemandian umum.
Mereka berjalan kaki untuk mencapai warung tersebut,
karena dirasa jaraknya tak begitu jauh.

Mereka memesan dua mangkuk bakso dengan porsi double


untuk Aldric dan porsi biasa untuk Keira. Keira
sampaisampai melihat ke arah Aldric dengan tatapan ngeri,
karena mangkuk suaminya itu menjulang tinggi berisi bulatan
daging giling bercampur tepung itu.

"Dari semalam kita belum makan. Dan warung ini hanya


menyediakan bakso dan mi instan," tukas Aldric, ketika
menyadari istrinya sedang melihat ke arahnya. "Seharusnya,
kita tadi ke sebelah saja." Yang dimaksud Aldric adalah
pantai Goa China, di sana lebih ramai. Jarak tempuhnya pun
sama dengan ke warung yang mereka tempati sekarang.
Berhubung malas, mereka memilih menikmati yang ada.
"Aku tidak berkata apa pun," sahut Keira. Ia memasukkan
saus tomat ke dalam mangkuknya. Ia menuangkannya cukup
banyak.

"Hentikan," sahut Aldric, setelah melihat apa yang dilakukan


oleh Keira. "Kau tahu, saus kemasan yang kau gunakan
sekarang itu tidak sehat. Kau mau sakit lagi, huh?"

Flowers | 120
Keira tertawa kecil," Tenang. Aku baik-baik saja." Ia melirik
ke arah Aldric. Lelaki itu tengah mengiris bulatan bakso di
mangkuknya dengan rapi. Keira menautkan kedua alisnya. Ia
tak pernah menemui laki-laki yang mengiris bulatan bakso
serapi itu. Lelaki biasanya langsung menggigit bakso
bulatbulat.

"Akhir-akhir ini, kau sering mengkhawatirkan keadaanku,"


sambung Keira. "Aku curiga, jangan-jangan kau yang sedang
sakit."

"Itu karena aku tidak mau kau repotkan." Aldric membalas


perkataan Keira tanpa melihat perempuan itu.

Keira mendesah. Bukan karena perkataan Aldric, melainkan


karena ia terlalu banyak menuangkan sambal ke dalam
baksonya. Ia segera meraih teh yang terletak di samping kiri
mangkuknya. Ia meneguknya sekali. Sekali lagi, hingga teh
tersebut tinggal seperempat.

"Hei," ujar Aldric.

"Apa?"
"Itu teh milikku," kata Aldric. Keira menautkan alisnya. Ia
melihat ke arah gelas di tangannya yang berisi teh yang
tinggal seperempat, lalu ke arah gelas yang berisi teh yang
masih penuh di depannya. Lalu, ia menyeringai.
"Maaf," kata Keira.

Flowers | 121
"Kau minta maaf pun, teh itu sudah habis," sahut Aldric, sinis.
Keira heran, kenapa lelaki itu suka sekali memperbesar
masalah sepele semacam ini.

"Kau bisa minum teh milikku," ujar Keira. Mencari solusi.


"Baru kuminum sedikit," tambahnya.

"Tidak mau."

"Kenapa?"
Aldric meletakkan sendok dan garpunya pada sisi-sisi
mangkuk. "Karena kau sudah meminumnya."

"Lalu?"
Aldric mendesah. Umur Keira sudah tak bisa dibilang muda
lagi, tapi perempuan itu sama sekali tak mengerti aturan.
"Jelas, teh itu sudah terkontaminasi oleh air liurmu."

"Memangnya kenapa? Toh, kita suami istri. Suami istri harus


berbagi apa pun. Bahkan, ayah ibu dulu berbagi sikat gigi,"
sahut Keira. Berdebat dengan Aldric, akhir-akhir ini menjadi
salah satu hobi barunya. Terkadang, hal itu mampu membuat
Keira melupakan rasa sakit hatinya.

"Ciuman saja kita tidak pernah, kau minta ...." Kalimat Aldric
terhenti. Ia menelan ludah, memejamkan mata sebentar, lalu
kembali mengambil sendok dan garpunya. Ia melanjutkan
sarapannya dan berpura-pura tak pernah mengatakan kalimat

Flowers | 122
yang baru saja ia ucapkan. Wajahnya memanas. Sial, dia
mengumpat dalam hati.
Keira pun terdiam, ia berdeham pelan, lalu ia tertawa kecil.
"Aku jadi ingat ketika pergi dengan ibu ke pasar." Aldric
menengadah, perhatiannya kembali fokus ke arah Keira.

"Aku melakukan hal yang sama seperti tadi. Meminum teh


milik orang lain," ceritanya. Ia melihat ke arah Aldric. "Masih
untung, tadi aku meminum teh suamiku sendiri. Waktu itu,
aku meminum teh bekas orang lain. Entah punya siapa."

Aldric tertawa kecil. Keira hampir tertegun, karena melihat


tawa Aldric. Ia bisa melihat kerutan di dahinya mengendur
dan kerutan halus muncul di sudut-sudut matanya. "Aku juga
punya cerita memalukan yang terjadi di warung."

"Kau pernah makan di warung?" tanya Keira sedikit terkejut.


"Ya," sahut Aldric. "Sewaktu kuliah, aku dan Drupadi beserta
teman-teman kampus lainnya, Drupadi sekretarisku kemarin,
kami makan di kantin kampus," cerita Aldric. "Waktu itu, Dru
ulang tahun. Ceritanya, kami ditraktir makan siang. Ya, siang
itu kami makan siomay." Keira menunggu Aldric
melanjutkan ceritanya. Ia sangat tertarik. "Saat semua sudah
selesai makan, diam-diam aku memperhatikan makanan milik
Dru. Saat ia sedang meminum air minumnya, segera aku
mengambil sendok dan menyendok siomay di piring milik
Dru dan memakannya." Aldric tertawa kecil.

"Apa?" tanya Keira. Ia tidak sabar.

Flowers | 123
"Kau tahu, apa yang terjadi?" tanya Aldric kepada Keira,
seakan-akan perempuan itu mampu menebaknya. Keira
menggeleng. "Ternyata, itu bukan siomay, tapi tisu. Entah
kenapa, waktu itu tisu tersebut serupa dengan siomay."Aldric
mengakhiri ceritanya dengan tertawa. Keira langsung
tergelak mendengar cerita Aldric.

"Kau gila," tukas Keira. Perutnya terasa kaku karena tawanya.


Beberapa pengunjung warung melihat ke arah mereka. Keira
tertawa sampai matanya basah.

"Astaga! Astaga!" seru Keira. Ia tak mampu berkata apa-apa.

***

Mereka berjalan beriringan, menuju ke arah mobil yang


mereka parkir di tepi pantai. Keira, sejak meninggalkan
warung, sejak ia mendengar cerita Aldric, tak henti-hentinya
tersenyum. Ia merasa menjadi diri sendiri, ia seperti
menemukan dirinya lagi.

"Ah, di sini menyenangkan sekali," ujarnya. "Udaranya


bersih, langit cerah, awan-awan putih, aroma laut, deburan
ombak. Ah, rasanya aku tak ingin pulang." Ia meracau sendiri,
sedangkan Aldric sibuk melihat smartphone miliknya. Ia
terlihat sibuk sekali. "Ada apa?"

Flowers | 124
"Drupadi," jawab Aldric. "Ia mengingatkan, kalau besok ada
rapat jam sembilan pagi."
"Oh."
Angin bertiup, Keira membetulkan letak rambutnya yang
berantakan. Sesaat ia merasa gerah. Tentu saja, ia belum
mandi. Begitu juga dengan Aldric. Biasanya, lelaki itu menata
rambutnya dengan rapi, meskipun tidak klimis. Kini, rambut
Aldric berantakan, kemejanya keluar tak keruan. "Ehm,"
guman Keira. Ia ragu. Aldric melihat ke arahnya dengan alis
saling bertaut. "Drupadi. Sekretarismu."
"Kenapa dengan Dru?"

Keira menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, melihat


ke arah Aldric. Langkah mereka masih terus beradu. Pelan.
"Apa dia?" kerutan pada kening Aldric semakin berlipat-lipat.
Ia semakin tak mengerti. "Seperti aku dengan Yoga, apa Dru
adalah alasannya?" Keira menelan ludah. Seperti halnya
dirinya, Aldric pasti memiliki alasan sendiri kenapa dia mau
menikah dengannya. Dan, Keira menebak, pasti alasan
tersebut tak jauh berbeda dengan alasan yang ia punya.
"Maksudku ...."

"Bukan," sahut Aldric. "Bukan Dru. Kami hanya berteman."


"Oh," Keira manggut-manggut.

"Namanya Melisa," sambung Aldric. Kini, kedua tangannya


berada dalam saku celana. Keira sama sekali tak menduga,
Aldric akan memberitahunya. "Kami bersama dalam waktu
yang cukup lama, lalu dia menghilang." Ia menarik

Flowers | 125
sudutsudut bibirnya. Merasa nyeri menusuk-nusuk hatinya.
Tapi, anehnya, kini ia merasa lega. Entah untuk apa.
Mungkin, karena ini kali pertama ia bisa terbuka mengenai
Melisa, atau mungkin ada perasaan nyaman ketika dekat
dengan Keira.

Keira tersenyum, merasakan kehangatan yang belum pernah


ia rasakan ketika berinteraksi dengan Aldric. Kali ini, terasa
berbeda. Meskipun hanya cerita singkat, Keira merasa Aldric
mulai mempercayainya. Ini lebih dari cukup.

Kini, mereka sudah berada dekat mobil. "Kita berkencan


saja," celetuk Aldric. Seketika langkah Keira terhenti. Ia
menengadah, melihat ke arah punggung Aldric. Laki-laki itu
juga menghentikan langkahnya. Lalu, lelaki itu berbalik,
melihat ke arah Keira. "Daripada sahabat, lebih baik kita
berkencan saja."

Keira belum juga menjawab. Pikirannya kosong. Ia memutar


bola matanya, kemudian menatap ke arah Aldric. Tepat di
kedua bola mata lelaki itu.

"Seperti yang kaubilang, kita bisa berbagi masa lalu, hari ini
dan mungkin esok. Siapa tahu,dengan begitu kita bisa saling
menyembuhkan."

Keira tertegun. Lalu, ia berkata, "Oke. Ayo berkencan saja."

***

Flowers | 126
BAB SEPULUH

Berkencan dengan Keira, bukanlah salah satu rencana yang


ada dalam kepala Aldric. Terus menerus dekat dengan
perempuan itu, membuat Aldric melakukan hal di luar logika.
Pertama, ia memutuskan untuk menikah dengan Keira, tanpa
ada perasaan suka lebih-lebih cinta. Kedua, ia merasa tak
nyaman jika Keira membicarakan mengenai Yoga, terlebih
lagi ketika ia tahu, Yoga adalah alasan Keira menikah
dengannya. Dan, yang ketiga, Aldric mengajak Keira
berkencan.

Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Ia


mendengar senandung pelan dari seseorang di dalam sana.
Aldric membayangkan Keira tengah membersihkan dirinya.

Air mancur mengguyur tubuh perempuan itu. Keira


menikmatinya, makanya ia bersenandung. Aldric
memejamkan matanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang.

Kepalanya, tiba-tiba terasa berat. Mungkin ini karena


semalaman ia belum tidur.

Saat ini, mereka berada di dalam penginapan kecil tidak jauh


dari pantai. Penginapan itu berisi satu ranjang berukuran
sedang, lemari kecil berisi handuk bersih, dan kamar mandi
dengan air mancur yang menyegarkan. Awalnya, Aldric ingin
langsung kembali ke Surabaya siang itu juga. Tapi, Keira
menolak.

Flowers | 127
"Kau butuh tidur, Al," ujar Keira, ketika Aldric mengutarakan
niatnya. "Aku nggak mau kau jatuh tertidur ketika menyetir.
Kau tahu sendiri, aku tidak bisa menggantikan posisimu."
Keira melanjutkan. "Kita istirahat barang sebentar di
penginapan, setelah itu kita bisa kembali ke Surabaya." Keira
benar. Ia butuh tidur. Mungkin sekitar dua atau empat jam,
sebelum mereka kembali ke Surabaya.

Suara pintu kamar mandi terbuka, Keira keluar dari dalam


sana dengan rambut basah. Handuk di tangannya mengusap
lembut rambut panjangnya. Aldric bangun dari rebahannya
dan melihat ke arah perempuan itu.

Ah, Keira berjalan ke arahnya. Jantung Aldric berdegup, ia


menelan ludah. Keira saat ini mengenakan kaus pantai yang
ia beli untuk mereka berdua. Perempuan itu tak mengenakan
pakaian terbuka, tapi entah kenapa melihat rambut Keira
basah seperti itu, membuat Aldric tergoda.

"Mandilah," ujar Keira. "Setelah itu baru tidur."

Kesadaran Aldric kembali. Meskipun matanya terasa amat


berat dan hampir tak sadarkan diri, ia harus bisa menahan
dirinya untuk tidak memeluk Keira, menciumnya, dan ... Ah,
sial!

"Ya," sahut Aldric. Ia berjalan melewati Keira, mengambil


handuk bersih yang lain di lemari, kemudian masuk ke dalam
kamar mandi.

Flowers | 128
Aldric mengguyur tubuhnya dengan air mancur, berharap
penderitaannya akan segera berakhir.

***

Keira mengambil keputusan bodoh. Lagi. Ketika Aldric


mengatakan untuk berkencan dengannya, ia terkejut. Tapi, ia
tak mampu menolak. Keira melihat sorot mata Aldric penuh
mohon, mata yang ia lihat beberapa bulan yang lalu, ketika
mereka memutuskan untuk menikah.

Ada alasan-alasan kuat di balik keputusan-keputusan berat.


Sebagian orang bersama karena adanya cinta di antara
mereka. Pernikahan, keluarga adalah wujud cinta yang
mereka miliki. Dan, sebagian lagi bersama karena memiliki
luka yang sama. Tapi, golongan terakhir tak akan pernah bisa
bersama selamanya. Karena, ketika luka itu sembuh,
masingmasing akan pergi.

Keira tak pernah berpikir untuk bersama selamanya dengan


Aldric. Ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Aldric,
hanya satu dalam benaknya saat itu. Keluarganya bahagia.
Keira sama sekali tak memikirkan risiko yang akan ia
tanggung nantinya, dengan menikah dengan Aldric. Dan kini,
ia justru menjerumuskan dirinya jauh lebih dalam.

".... siapa tahu, kita bisa saling menyembuhkan."

Flowers | 129
Kalimat itulah yang membuat Keira mengiyakan tawaran
Aldric. Seakan-akan, Aldric menawarkan obat dari rasa sakit
hatinya. Seakan-akan, Aldric adalah jalan satu-satunya yang
bisa ia tempuh untuk menghadapi hari esok. Hari pernikahan
adiknya, Kaira.

Ah, bukankah sejak awal ia memang menggunakan Aldric


sebagai pelindung?

Tiba-tiba saja, Keira merasa bersalah.

Keira mematut dirinya di depan cermin, ia masih


mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aldric masih di
dalam kamar mandi dan selang beberapa menit, laki-laki itu
keluar. Keira menoleh ke arah suaminya dan langsung
memalingkan wajah. Aldric, lagi-lagi bertelanjang dada. Dan
itu membuat Keira salah tingkah.

"Kausmu ada di atas ranjang," katanya, cepat. Lalu, ia


menyesalinya. Tanpa diberi tahu pun Aldric pasti sudah tahu,
kalau kaus yang ia belikan tadi ada di atas ranjang. Terlihat
sangat jelas.

"Ya, aku tahu."

Keira sama sekali tak berani menoleh ke belakang. Meskipun


begitu, ia tetap saja bisa melihat Aldric lewat kaca. Laki-laki
itu tengah mengambil kaus dari atas ranjang, lalu
memakainya. Sekilas, Keira melirik ke arah perut rata milik

Flowers | 130
Aldric. Keira bisa melihat otot-otot di perut laki-laki itu.
Tanpa sadar, Keira menggigit bibirnya.

"Aku akan tidur, bangunkan aku sebelum magrib," ujar


Aldric. Keira terkesiap, dan menjawab "Ya." dengan terbata.

Bibir Aldric tersungging. Ia selalu menikmati momen ketika


Keira gugup.

***

Tengah malam, mereka baru sampai di Surabaya. Aldric


menyetir sedangkan Keira, seperti biasa tidur di samping
lakilaki itu. Dalam keheningan malam, sesekali Aldric
menoleh ke arah Keira. Mungkin, melihat Keira tertidur pulas
merupakan salah satu kebiasaannya sekarang. Seperti
kemarin, ketika mereka di penginapan. Aldric tak tidur, atau
lebih tepatnya hanya tidur sekitar dua jam saja. Sisanya, ia
buat untuk memandangi wajah Keira yang tertidur pulas.

Aldric membelokkan mobil ke arah rumah, kemudian


mematikan mesin mobil. Ia membuka sabuk pengaman dan
berencana akan menggendong Keira masuk. Tapi, sebelum ia
melakukannya, Keira terbangun. Mata perempuan itu
terbuka.

"Kau sudah bangun," ujar Aldric. Ia masih melihat ke arah


Keira, memperhatikan mata perempuan itu mengerjap dan
bibirnya terbuka, menguap.

Flowers | 131
"Kita sudah sampai," ucap Keira sembari tersenyum ke arah
Aldric. "Aku, tertidur lagi. Maaf."

Aldric mengangguk, kemudian turun dari mobil. Ia memutari


mobil, kemudian membukakan pintu mobil untuk Keira.

"Kau masih mengantuk?" tanyanya, ketika Keira sudah turun


dari mobil.

Keira tertawa kecil. "Ya. Sudah pagi," katanya. "Kita harus


segera tidur, Al."

"Hmmm," sahut Aldric.

Mereka berjalan bersisian masuk ke dalam rumah, melewati


ruang tamu, kemudian berjalan ke arah tangga. Aldric
berjalan di belakang Keira, melihat istrinya berkali-kali
menguap dengan mata setengah terbuka. Ia merasa geli
melihat perempuan itu. Sepanjang perjalanan Keira tertidur
dengan pulas, tapi sekarang perempuan itu masih saja
menguap berkali-kali.

Kini, mereka berada di depan pintu kamar masing-masing.


Saling berhadapan satu sama lain. "Terima kasih," ujar Keira.
Ia tersenyum, meskipun matanya teramat berat. Lalu, ia
menguap lagi. Aldric tersenyum, nyaris tertawa. "Maaf,"
tambah Keira. "Padahal kerjaanku dari tadi hanya tidur. Tapi
aku masih sangat mengantuk."
"Aku juga heran."
Flowers | 132
"Sekali lagi, terima kasih. Aku senang sekali." Keira
melanjutkan kalimatnya, "Kau tidurlah. Besok jadi rapat,
kan?"

"Ya," sahut Aldric. Dia meperhatikan Keira tanpa berkedip.


Begitu pula dengan Keira, perempuan itu juga tak
mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Aldric. Lalu,
Aldric melangkah. Kini, mereka berdiri saling berdekatan.
Keduanya tak ada yang saling berujar. Hanya mata mereka
yang saling bicara. Mereka sendiri pun tak tahu, sebenarnya
apa yang sedang mereka lakukan. Satu menit berlalu, hanya
saling bertatapan. Lalu, Aldric-lah yang mengambil
tindakkan.

Aldric menenggelamkan tangan kanannya di sela-sela rambut


Keira, di belakang kepala. Secara perlahan. Hal itu, membuat
Keira terlena,sehingga ia diam saja. Kemudian, dalam satu
tarikkan sedikit keras, Aldric menempelkan bibirnya ke bibir
milik Keira.

Selama beberapa detik, bibir mereka hanya saling menempel


begitu saja. Seperti dua daging yang saling bertemu. Lagilagi,
Aldric yang mengambil langkah. Ia mulai mencoba
memberikan lebih pada ciumannya. Lalu, ia melepaskannya.
"Hmmm," Aldric berdeham. Ia merasah rikuh di hadapan
Keira. Perempuan itu memandangnya dengan tatapan
terkejut. Tentu saja begitu. Ini ciuman pertama mereka. Ya,
meskipun tak bisa dibilang sebuah ciuman, tapi ini adalah
interaksi terbesar di antara keduanya.

Flowers | 133
"Selamat malam," ujar Aldric cepat. Kemudian, ia berbalik
dan masuk ke kamar.

Usai kepergian Aldric, Keira menghela napas berat. Ia baru


sadar, sejak tadi ia menahan napasnya.

***

Keira menutup pintu kamarnya. Lalu, ia bersandar pada pintu.


Tangan kanannya, menyentuh bibirnya sendiri. Termenung
cukup lama.

Apa yang baru saja terjadi?

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Kali


ini, kegilaan apa yang telah ia perbuat? Terjebak dalam
pernikahan tanpa cinta saja sudah membuat ia tersiksa, dan
kini ia membiarkan perasaan aneh ini merekah.
Keira menggigit bibirnya, berjalan ke arah ranjang dengan
sedikit berlari. Lalu, ia berguling-guling di atas ranjang. "Ah,
aku pasti sudah gila!"

Perempuan yang hampir menginjak usia tiga puluh tahun itu


senyum-senyum sendiri, layaknya anak SMA yang baru
mengenal cinta. Keira sadar, bila langkah yang ia ambil ini
adalah salah. Dari awal, apa yang ia pilih bukanlah pilihan
yang tepat. Menyingkirkan perasaannya untuk Yoga dengan
menikah. Sekarang, ia justru merasa berbunga-bunga dengan

Flowers | 134
apa yang dilakukan oleh seseorang yang awalnya hanya
sebagai pelariannya saja.

Mungkin Aldric benar. Dengan keputusan untuk berkencan,


Keira akan segera melupakan Yoga. Ia akan bisa menghadapi
kenyataan bila orang yang ia cintai bertahun-tahun, menikah
dengan adik kandungnya sendiri.

Ketika ia berusaha menenangkan hatinya, ponselnya


berbunyi. Sebuah pesan masuk.

Selamat malam, Kei

Senyum Keira mengembang, ia hampir berteriak. Ia heran


sekaligus bahagia. "Bisa-bisanya ia mengirim pesan?"
ujarnya. Dengan menggigit bibir bawahnya, Keira membalas
pesan dari Aldric. Suaminya, yang tengah berada di kamar di
seberang kamarnya.

Astaga, kenapa kau mengirimiku pesan, jika kau bisa


mengatakannya langsung?

Tak lama kemudian, Aldric membalas pesan dari Keira.


Bukankah memang seperti ini yang dilakukan orang ketika
berkencan?

Keira menggelengkan kepala membaca pesan dari Aldric. Ia


segera mengetik balasan untuk suaminya itu. Belum sempat
Keira membalas, Aldric mengirim pesan lagi.

Flowers | 135
Kita sudah sepakat untuk berkencan. Kalau-kalau kau lupa
"Kau gila, Al," lirih Keira. Meskipun berkata demikian, ia
tetap tersenyum. Rasanya, otot-otot di sekitar bibirnya tak
bisa ia kontrol.

Keira membalas.

Kau mau nonton? Besok? Sepulang kau kerja?

Aldric membalas.

Aku tidak suka nonton

Perempuan itu, tersenyum geli. Ia kemudian membalas.

Ayolah, pasti menyenangkan.

Begitu biasanya yang dilakukan oleh orang-orang yang


sedang berkencan.

Oke. Asal bukan cerita romansa.

Tidak. Kau bisa memilih apa yang akan kita tonton besok.

Aku akan menjemputmu, besok.

Lagi-lagi, senyuman Keira merekah. Rasanya akhir-akhir ini,


ia terlalu banyak tersenyum. Tapi ia sama sekali tak

Flowers | 136
keberatan. Tak sewaktu-waktu Keira bisa merasakan
kesenangan seperti ini, sejak pernikahannya.

Ia membalas.

Tak perlu, kita bertemu di bioskop. Jam lima sore, Al. Jangan
sampai telat.

Keira menunggu beberapa detik, sampai ia mengerutkan dahi.


Aldric tak membalas pesan terakhirnya. Apa lelaki itu
tertidur? Lalu, sebuah ketukan pelan di pintu kamarnya
terdengar. Keira turun dari ranjang, berjalan ke arah pintu.

Aldric berdiri di sana, ketika pintu kamar Keira terbuka. "Aku


hanya ingin mengucapkan... selamat malam, Kei," kata
Aldric, manis sekali.

Keira menyunggingkan senyumnya, berusaha menguasai


detak jantungnya dan mati-matian agar ia tak tersenyum
terlalu lebar.

"Malam, Al," balasnya.

***

Aldric mematut dirinya di depan cermin yang tersedia di


kantornya. Sekarang baru pukul tiga sore, tapi ia sudah
bersiap-siap menuju bioskop. Tentu saja, untuk menonton
bersama Keira.

Flowers | 137
Ia geram sendiri, ketika melihat bayangannya di cermin.
Penampilannya tak ubahnya tadi pagi. Kemeja putih lengan
panjang dipadukan dengan jas warna merah marun dan celana
warna hitam. Ia menyesal tak membawa kaus saja tadi. Atau
ia perlu pergi ke toko membeli kaus?

Berlebihan.

Ia tak peduli lagi. Kini, ia sedang membasahi rambutnya


dengan minyak. Mengaturnya sedemikian rupa. Kemudian, ia
berkaca lagi. Di depannya, terlihat seorang lelaki dengan
potongan rambut rapi (kelewatan rapi malah), kemeja yang
dikancing penuh, dasi dan jas yang rapi pula. Kalau semacam
ini, penampilannya sama saja ketika ia berangkat kerja tadi
pagi dan sama pula seperti sebelumsebelumnya.

Sangat membosankan.

Aldric pun tak peduli, ia tak ambil pusing dengan


penampilannya. Toh Keira juga sudah melihatnya seperti itu
setiap hari. Paling tidak, ini penampilan paling aman. Ia
kemudian kembali ke meja kerjanya, membereskan beberapa
dokumen dan bersiap untuk keluar kantor.

"Hei, kau mau ke mana?" tentu saja itu Drupadi, sekretaris


Aldric paling cerewet sedunia. "Rapi amat?" perempuan itu
mengerutkan kening. Melihat penampilan Aldric penuh
selidik. "Memangnya ada rapat sore ini? Mau bertemu klien?"
"Tidak," jawab Aldric, singkat.

Flowers | 138
"Lalu, kau mau ke mana?" ulang Drupadi.

"Bukan urusanmu, Dru. Ini tak ada hubungannya dengan


pekerjaan."

"Serius?" tanya Drupadi. Seperti biasa, ia terlalu cerewet dan


ia tak pernah puas sebelum mendapatkan jawaban yang jelas.
Aldric menenteng tas kerjanya, kemudian melihat ke arah
Drupadi. "Bagaimana menurutmu?"

"Apa?"
Aldric berdeham. "Penampilanku, tentu saja."

"Kau rapi," sahut Drupadi. "Memangnya mau bertemu klien


di mana?" goda Drupadi. Ia tahu benar jadwal Aldric dan sore
ini tidak ada jadwal bertemu klien.

"Di bioskop."

"Apa? Bioskop?" Drupadi terkejut. Kemudian ia menyadari.


"Ah, mau nonton dengan Keira, rupanya."

"Begitulah," jawab Aldric. "Jadi, bagaimana menurutmu?"


"Penampilanmu?"
"Astaga! Iya, Dru. Penampilanku," sahut Aldric mulai tak
sabar. Drupadi justru tergelak. "Ah, lupakan!"

Flowers | 139
"Jangan cepat marah seperti itu, Bos. Kau bisa cepat tua," kata
Drupadi. "Oke. Kau seperti om-om yang akan rapat. Sudah
kukatakan tadi," ia cekikikan.

"Aku tak butuh pendapatmu, Dru," sahut Aldric kesal. "Hei,


kau sendiri yang meminta pendapatku. Lagi pula, kau pikir
Keira akan menyukai penampilan terlalu rapi ini? Dan,
astaga, kau akan nonton di bioskop. Bukan di restoran, Al."
Aldric menghela napas. "Keira istriku, tentu saja dia
menyukai penampilanku. Kalau tidak, untuk apa dia menikah
denganku?"

"Terserah kau saja, Bos," Drupadi menyerah. "Saranku,


keluarkan bajumu dari celana, lepaskan kancing dan dasimu.
Dan, astaga, rambutmu!"

"Sudah kubilang, aku tak butuh pendapatmu, Dru," sahut


Aldric. Ia berjalan melewati Drupadi yang sedang terbahak.
Aldric tak memedulikan komentar Drupadi, nyatanya ketika
sudah berada di dalam mobil, ia melakukan semua yang
disarankan oleh Drupadi. Bahkan, ia mengacak-acak
rambutnya yang ia tata rapi berjam-jam itu. Kini, penampilan
Aldric tak ada bedanya seperti ketika ia berada di pantai
kemarin. Bedanya, ia lebih wangi sekarang.

Sesampainya di bioskop, jam sudah menunjukkan pukul


empat sore lebih lima belas menit. Tanpa pikir panjang,
Aldric membeli dua tiket untuk film Now You See Me 2 yang
baru-baru ini menjadi perbincangan. Keira sudah mengatakan

Flowers | 140
kalau ia bisa memilih film sesuka hatinya. Maka, ia memilih
film tersebut karena jauh dari kesan romansa. Lagi pula, ia
pernah menonton versi pertama film tersebut.

Film tersebut akan diputar pukul setengah enam sore. Masih


banyak waktu bagi Aldric untuk menunggu. Ia memutuskan
untuk menunggu di dalam bioskop saja. Rupanya, ia terlalu
awal untuk datang. Tidak masalah. Ia tidak suka datang
terlambat. Namun, hingga pukul lima sore lebih sepuluh
menit Keira tak muncul juga.

Aldric terus menunggu, sampai akhirnya ia membeli kopi di


konter bioskop. Sesekali, ia melirik jam tangan yang
menempel di pergelangan tangannya. Ia mulai tak sabar.
Kakinya mulai bergerak-gerak tak keruan.
Jam dinding bioskop pun menunjukkan pukul setengah enam
dan pintu dua bioskop sudah terbuka. Tapi Keira tak muncul
juga.

***

Flowers | 141
BAB SEBELAS

Keira selalu suka berada di kafe. Aroma cokelat yang


menguar di seluruh penjuru ruangan, aroma kopi yang
diseduh, aroma manis dari cupcakes yang terpajang di etalase
dan suara-suara decak kagum para pembeli. Ia, selalu bahagia
di sini. Terutama ketika berkumpul dengan Meira dan Lena.

Pagi itu, suasana kafe masih sunyi. Meira dan Lena belum
menampakkan batang hidung mereka. Papan bertuliskan open
belum dibaliknya. Sepagi itu, Keira membersihkan meja-
meja dan lantai. Mengecek bahan-bahan di dapur.

Bibirnya, tak henti-hentinya mendendangkan lagu-lagu ceria.


Rasanya, ia ingin membagi kebahagiaannya dengan orang
lain. Ia ingin menceritakan betapa ia merasa bahagia saat ini.
Lonceng di atas pintu kafe berbunyi, Keira menoleh dan
mendapati kedua sahabatnya di sana. Ia tersenyum lebar, lalu
berjalan ke arah mereka. "Selamat pagii!" serunya, kelewat
bahagia.

Meira menautkan kedua alisnya dengan kedua tangan di


depan dada. Sedangkan Lena menatap Keira dengan bibir
terangkat sedikit.

"Kau sehat?" tanya Meira. Ia tahu, Keira memang memiliki


sifat periang. Tapi, semenjak pernikahannya, perempuan itu
jarang tersenyum. "Ada kabar baik?"

Flowers | 142
"Ada hal yang baik terjadi?" kali ini, Lena yang bertanya.
"Aku dan Al ...." Keira menghentikan kalimatnya. Ia hampir
saja mengatakan kalau akhirnya mereka berciuman. Demi
Tuhan! Mereka suami istri dan tak seharusnya sekadar
berciuman merupakan hal yang harus ia ceritakan dengan
sahabat mereka. Keira dan Aldric bukanlah sepasang kekasih
di mata kedua sahabatnya.

"Kau dan Al, kenapa?" tuntut Meira.

"Hmm, ah tidak ada apa-apa!" Keira tersenyum rikuh.


Kerutan pada dahi Meira semakin kuat. Lena menggelengkan
kepala dan berjalan melewati mereka berdua, menuju etalase
kue.

"Hei, Lena. Sepertinya ada yang salah dengan pernikahan


Keira," seru Meira.

"Apa yang salah?" sahut Lena.

"Selama dia menikah, tak pernah sekalipun ia bercerita


mengenai rumah tangga mereka. Bahkan, dia suka
menghindar kalau ditanya-tanya," ucap Meira. "Lihatlah
sekarang, dia terlihat ... berbeda."

"Bukan begitu," sahut Keira. "Tidak ada yang salah dengan


pernikahan kami," tentu saja Keira berdusta. Meira melihat ke
arah Keira penuh selidik. "Oke-oke. Kemarin kami pergi
ke pantai, menginap, lalu pulang."

Flowers | 143
"Terus?" cerita Keira nampaknya tak mampu membuat
kerutan di dahi Meira mengendur. Ia menuntut lebih. "Ada
kejadian yang membuatmu bahagia, ketika di pantai?"
tanyanya, sinis. Begitulah Meira.

Keira menghela napas panjang. Ia menyesal telah bersikap


berlebihan di hadapan Meira. Lalu, ia menoleh ke arah Lena.
"Lena, bantu aku." Lena tersenyum dan mengangkat tangan.
Meira mendesah, mengibaskan tangannya. "Ah, sudahlah,"
katanya. "Sepertinya, aura kebahagiaan pengantin baru belum
juga hilang." Ia berjalan ke arah Lena, meninggalkan Keira di
ambang pintu.

Keira menyusul Meira. "Aku ke atas dulu ya," pamitnya. "Eh,


nanti jadi, kan?" seru Lena, ketika Keira baru menginjakkan
kakinya di anak tangga.

Dahi Keira berkerut-kerut. Dia menatap ke arah Lena,


kemudian ke arah Meira.

"Jangan bilang kau lupa, Ra," sahut Meira. Keira masih


terdiam. "Ckckck ... kita sudah janji akan nonton nanti sore.
Ingat?"

"Ah, maaf! Aku benar-benar lupa," Keira cekikikan di anak


tangga. "Sori-sori."

"Sudahlah, ke atas gih. Istirahat," gurau Lena. Keira justru


terbahak mendengarnya.

Flowers | 144
Mereka bertiga nonton film Now You See Me 2 , film yang
menceritakan mengenai The Horsemen pesulap yang terdiri
dari empat orang. Keira sudah pernah menonton bagian
pertama film tersebut, dan sekarang ketika kedua sahabatnya
mengajaknya untuk nonton, tentu ia mengiyakan. Apalagi
dalam film kedua ini akan ada Daniel Radcliffe salah satu
aktor kesayangannya.

Lena sedang mengantre membeli tiket, sedangkan Keira dan


Meira berdiri di depan etalase kaca yang menjual berbagai
macam popcorn.

"Beli satu aja kali, Mei," tegur Keira, ketika ia melihat Meira
memesan tiga pop corn ukuran besar. "Kebanyakan tauk."
"Udahlah, Kei. Kau lama-lama kayak ibu-ibu. Cerewet!"
sahut Meira cuek. Ia tetap membawa ketiga pop corn ukuran
besar dan Keira kebagian membawa cola.

"Dapet?" tanya Meira pada Lena yang sudah bergabung


dengan mereka. Melihat antrean yang panjang itu, Meira tak
yakin mereka akan mendapatkan tiket.

"Dapet. Tapi baris depan. Its ok?"

"Nggak apa-apa. Yang penting nonton," sahut Keira.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pintu satu


tempat mereka nonton dibuka. Mereka bertiga berjalan
masuk, Lena memberikan tiket pada penjaga di depan pintu.

Flowers | 145
Mereka duduk di baris kedua dari depan. Tempat duduk yang
banyak dihindari, karena akan membuat leher sakit kalau
lama-lama.

Akhirnya, film yang mereka tunggu-tunggu dimulai, ruang


bioskop perlahan meredup sampai gelap gulita yang
tertinggal hanya cahaya dari sorot layar di depan. Keira
menyandarkan tubuhnya, meletakkan pop corn ukuran besar
di samping kananya. Ia meminum cola sedikit dan mulai
menikmati acara nonton itu.

Di sepuluh menit pertama film diputar, Keira sama sekali


tidak ingat mengenai janjinya dengan Aldric. Ia sibuk
menanggapi obrolan Meira dan Lena. Tertawa, cekikikan,
kemudian serius menonton. Sampai Meira berkata, "Eh, sadar
tidak, kalau ini kali pertama kita nonton bareng setelah Keira
nikah?"

Keira menolah ke arah Keira. Ia mengerutkan keningnya,


kemudian berseru. "Astaga! Astaga!"

Meira dan Lena menoleh, mengerutkan kening, sembari


menenangkan Keira. Karena seruan Keira barusan benarbenar
mengganggu penonton yang lain.

"Ada apa, Kei?" tanya Lena.

"Aku lupa. Bagaimana ini. Mati. Mati," racau Keira.


"Hei, ada apa?" Meira kini ikut bertanya.

Flowers | 146
"Aku janji nonton dengan Al dan sekarang justru aku duduk
di sini," katanya. Panik. Ia segera meraih tasnya. "Aku duluan
ya. Maaf-maaf banget." Ia benar-benar panik. Keira melihat
ke arah smartphone-nya. Ia semakin panik karena jam sudah
menunjukkan pukul enam kurang. Ia sudah berkata pada
Aldric untuk datang jam lima dan nyatanya, ia yang sangat
terlambat.

"Aku antar, Kei," sahut Lena.

"Nggak-nggak. Nggak usah, kalian lanjut nonton saja. Aku


cari taksi," sahut Keira. "Duluan ya."

"Hati-hati," seru Meira.

Keira mengangguk sembari berlari kecil ke arah pintu keluar.


Keira berharap Aldric melupakan janji mereka dan tidak
datang, sehingga ia terbebas dari rasa bersalah. Tapi, itu
sangat tidak mungkin. Sejauh ini, ia mengenal Aldric adalah
tipe lelaki yang tepat waktu.

Ah, padahal mereka baru saja dekat.

***

Aldric dan Keira janji nonton di bioskop yang ada di


Tunjungan Plaza Surabaya dan Keira bersama kedua
sahabatnya menonton di Royal Plaza Surabaya. Jarak antara

Flowers | 147
Royal Plaza dan Tunjungan Plaza memakan waktu sekitar
tiga puluh menit, kalau tidak macet. Belum lagi ia harus
mencari-cari tempat bioskop di mal sebesar itu. Tentunya, ia
benar-benar memakan waktu.

Keira beberapa kali melirik ke arah smartphone miliknya.


Sama sekali tak ada sms atau pun telepon dari Aldric.
Sejenak, Keira meragu. Apakah Aldric mengingat janji
mereka atau tidak. Atau justru Aldric memang sengaja tidak
menghubungi Keira. Hal ini, terus terang membuat Keira
serba salah. Seharusnya, Aldric menghubunginya, paling
tidak sms. Mungkin semacam Kau di mana? Kenapa lama
sekali? Dengan begitu, Keira bisa membalasnya dan meminta
maaf.

Kalau seperti ini, Keira tak tahu harus mengambil tindakan


apa, selain berkali-kali meminta supir taksi mempercepat laju
taksinya.

Setelah taksi berhenti, Keira tak mau membuang waktu lagi.


Ia berlari ke arah mal. Bertanya kepada satpam bioskop lantai
berapa. Ia berharap Aldric tak ada di sana sekaligus sangat
berharap Aldric masih menunggunya. Tapi, lelaki normal
mana yang mau menunggu kekasihnya terlambat - sangat -
terlambat untuk menonton? Terlebih lagi, pasti film yang
akan mereka tonton sudah dimulai. Kalau begitu, Keira
berharap Aldric belum membeli tiket untuk mereka.

Flowers | 148
Harapan Keira sirna, karena setelah menemukan pintu
bioskop, dan dia melihat Aldric sedang duduk termenung
dengan kedua siku di lututnya. Keira melihat tiket nonton di
ujung jari lelaki itu. Keira menelan ludah dan menghampiri
suaminya.

"Al," lirihnya, takut-takut. "Maaf. Aku terlambat." Astaga,


Keira. Semua orang juga tahu kalau kamu terlambat! Aldric
menengadahkan kepalanya, melihat ke arah Keira. Ia berdiri,
menghela napas panjang. "Itu jelas."

"Maaf," sahut Keira. "Aku benar-benar minta maaf."


"Kenapa?" tanya Aldric dengan wajah datar. Keira
benarbenar tak bisa menebak, apa yang dipikirkan suaminya.

Keira menelan ludah. Ia tak mungkin jujur kalau sebenarnya


ia lupa dengan janjinya dan justru menonton film dengan
sahabat-sahabatnya. "Tadi, kafe ramai sekali. Aku tidak tega
meninggalkan Lena dan Meira," dustanya. Ia berjanji pada
dirinya sendiri, ini adalah dusta pertama dan terakhir yang
akan dikatakan pada Aldric.

"Oke," sahut Aldric. Keira mengerutkan kening. "Kita bisa


nonton lain kali. Lagi pula, aku tidak suka nonton. Sekarang
kita makan saja. Oke?"

Bibir Keira sedikit terbuka. Ia memandang ke arah suaminya.


Apakah yang berdiri di depannya ini, benar-benar Aldric?
"Kenapa diam?" tanya Aldric. "Kau belum makan, kan?" ia

Flowers | 149
mengulurkan tangan kanannya, menyelipkan rambut Keira ke
belakang telinga.

"Kau ...." Keira menenangkan hatinya sendiri," tidak marah?"


tanyanya hati-hati.

Aldric menarik ujung bibirnya. Ia tersenyum kecil. "Tidak.


Mau bagaimana lagi? Kau sibuk," ujarnya santai. Keira pikir,
lelaki ini akan marah-marah seperti biasanya. Terlebih lagi,
setelah ia menunggu selama satu jam - dan mungkin lebih.
Suaminya itu justru tersenyum, memaklumi. Hal itu justru
semakin membuat Keira merasa bersalah.

"Al," tukas Keira. "Bagaimana kalau kita nonton saja?"


"Filmnya sudah diputar satu jam yang lalu, Kei."
"Tidak masalah. Lain kali kita bisa nonton lagi. Atau membeli
DVD nya dan kita nonton di rumah. Sekarang kita masuk saja,
oke? Sayang kan, sudah beli tiket?"

Aldric menghela napas panjang, lalu mengangguk. Keira


tersenyum lebar. Ia tak ingin merusak kencan pertama mereka
ini. Biarlah film yang ditontonnya nanti hanya separuh atau
justru sudah akan selesai, yang penting hari ini mereka nonton
bersama.

Aldric berjalan ke arah pintu enam bioskop, ia menyerahkan


tiket. Mereka pun masuk. Tentu saja, ruang bioskop sudah
gelap gulita. Aldric meraih tangan Keira, membimbingnya.
Keira sedikit terkejut ketika Aldric meremas jemarinya.

Flowers | 150
Perasaannya membuncah. Ia semakin merasa bersalah. Ada
hal yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata, Aldric memilih
film Now You See Me 2. Sama dengan yang ia tonton dengan
Lena dan Meira tadi.

Ah, sudahalah. Keira tak peduli lagi. Yang penting sekarang


ia ingin berdua dengan Aldric. Meskipun hanya beberapa
menit saja. Seperti saat ini, Aldric masih memegang
tangannya. Membimbingnya hingga sampai di kursi mereka.

"Sepertinya, kita tertinggal jauh," bisik Aldric, ketika mereka


sudah duduk di kursi masing-masing.

"Maaf," sahut Keira. Aldric menyunggingkan senyumnya.


"Tidak apa-apa. Seperti yang kau bilang, kita bisa beli DVD
nya nanti," jelas Aldric. Keira benar-benar tidak pernah tahu
kalau Aldric memiliki sisi sebaik ini. Sesabar ini. Keira
berharap, kebohongannya tidak terbongkar. Ia benar-benar
ingin Aldric seperti saat ini terus menerus.

Seringkali, apa yang tidak kita harapkan justru datang dengan


tiba-tiba. Mengejutkan. Terkadang, kita sangat senang dan
bersyukur pernah berucap, terkadang kita menyesal telah
mengucapkannya. Meskipun itu secara tidak sengaja.

Detik berikutnya, smartphone Keira berbunyi. Ia buru-buru


mengambilnya dari dalam saku celana. Suaranya sangat
bising, ia takut mengganggu penonton yang lain. Ia lupa
mengubahnya menjadi silent. Ada telepon dari Meira.

Flowers | 151
Mungkin sahabatnya itu mengkhawatirkannya. Di saat itulah,
tiket nonton yang dibagikan Lena tadi terjatuh, tepat di atas
sepatu Aldric. Keira belum menyadarinya.

Jadi, Aldric menunduk dan memungut kertas tersebut.


Sejenak, ia berpikir itu tiket milik mereka. Kemudian, ia
sadar. Tiket mereka ia yang pegang. Lalu, yang tercetak di
atas tiket itu bukan Tunjungan Plaza, melainkan Royal Plaza.
Keira baru menyadari perubahan wajah Aldric, ketika ia baru
saja mengirim pesan kepada Meira, kalau dia baik-baik saja.

Ternyata, Keira terlalu terburu-buru menyimpulkan sesuatu.


Ia terlalu gegabah. Karena kini, Aldric tengah menatap tiket
miliknya itu.

"Al, itu ..." Kalimat Keira terpotong.

Aldric menyunggingkan senyumnya. Tapi, kini bukan


senyuman ramah seperti sebelumnya. Itu senyuman sinis,
yang selalu ia berikan pada Keira sebelum mereka menjadi
dekat.

"Kau terlambat karena ini?" tanyanya dingin. "Kau


berbohong, Kei?"

Keira menggigit bibir bawahnya. "Maaf." Hanya itu yang bisa


ia ucapkan. Ia salah. Sangat salah. Seharusnya ia tidak
berbohong. Mungkin jika ia tidak berbohong, Aldric tak akan
marah. Seharusnya ia mengaku saja tadi.

Flowers | 152
"Kita pulang saja," ucap Aldric. Ia beranjak dari kursinya,
bergegas menuju pintu keluar, meninggalkan Keira. Tentu
saja Keira berusaha mengejar langkah kaki Aldric, tapi
keadaan bioskop benar-benar gelap. Ia susah menapaki
tangga-tangga itu. Tadi ia dibantu oleh Aldric, sekarang ia
harus mengeluarkan smartphone miliknya, mencoba mencari
cahaya.

Setelah bersusah payah, akhirnya Keira bisa menyamai


langkah Aldric. "Al, tunggu," ia menarik lengan Aldric.
Mereka saling berhadapan. "Maaf. Aku tidak bermaksud
untuk berbohong."

Satu alis Aldric terangkat, beserta senyum sinisnya. "Lalu?"


"Aku ...." Keira tak bisa berkata apa-apa. "Intinya, aku minta
maaf. Kita nonton lain kali, oke?" pintanya. "Tidak ada lain
kali," Aldric berjalan lagi. Keira mengejar.
Membujuk suaminya itu.

"Kalau begitu, sekarang kita makan, ya? Aku yang traktir."


"Aku tidak lapar."

"Aku lapar, Al," sahut Keira. Ia kebingungan. Ia tak tahu


bagaimana cara memenangkan hati laki-laki yang sedang
marah.

"Makanlah dengan teman-temanmu," sahut Aldric tajam.


Aldric terus berjalan, Keira mengejar. Kali ini Keira hanya

Flowers | 153
diam, ia tak tahu harus berkata apalagi. Selama perjalanan
pulang pun mereka hanya saling diam.

Keira sama sekali tidak tahu, apa yang harus ia lakukan.


Aldric membanting pintu mobil sedikit keras, membuat Keira
terlonjak kaget. Keira ikut turun dari mobil dan mengekor
Aldric. Ia masih berpikir, apa yang dilakukan Kaira, adiknya
ketika Yoga marah padanya. Bagaimana adiknya itu
membujuk Yoga. Ah, tapi Aldric bukan Yoga. Yoga orang
yang terlalu sabar. Ia sangat tahu. Ia terlalu lama mengenal
Yoga.

"Al, kau mau makan ramen?" tanya Keira. Ia berusaha


bersikap sewajar mungkin. "Kau belum makan, kan?" ia
berdiri di depan Aldric. Terus terang, ia sedikit takut. "Aku
buatkan ramen ya."

"Aku mau tidur. Capek."Aldric menanggapi Keira dengan


dingin. Wajar jika ia semarah itu. Aldric sudah menunggu
lama kedatangan istrinya itu. Bahkan, ia datang jauh sebelum
jam perjanjian mereka.

"Aku salah. Aku minta maaf," Keira belum menyerah. Ia


benar-benar merasa bersalah pada Aldric. "Aku menyesal, Al.
Sungguh. Aku benar-benar lupa."

"Minggirlah, Kei. Aku capek," ucap Aldric.

Flowers | 154
Keira menyerah. Ia membiarkan Aldric melewatinya. Ia
hanya berharap, besok Aldric akan memaafkannya.

***

Semua tidak baik-baik saja anyway.

Kau bilang, semua terkendali, Kei.

Ya, setelah aku bilang begitu, Al, menemukan tiket nonton


kita.

Btw, bagaimana cara mengatasi suami ngambek?


Tanya sama Meira. Aku belum menikah, Kei.

Ya, tapi kau punya pacar Lena.

Keira belum bisa tidur hingga larut. Ia merasa tidak enak


dengan Aldric. Keira sadar. Sangat sadar kalau Aldric
berusaha untuk memperbaiki hubungan keduanya. Aldric
tidak marah ketika Keira terlambat datang. Sama sekali. Ia
berusaha untuk bersabar menunggunya, tidak mengirimkan
pesan satu pun sampai Keira datang. Ia mencoba mengerti.

Yang tak bisa diterima oleh Aldric adalah karena Keira


berbohong. Keira sadar, itu membuat Aldric sangat marah.
Dan, ia pun menceritakan masalah itu dengan kedua
sahabatnya.

Flowers | 155
Buatkan dia teh atau apalah. Kesukaan dia. Rayu dikitlah,
Kei.

Kali ini Meira memberi petuah. Dari mereka bertiga, yang


paling berpengalaman mengenai laki-laki adalah Meira. Dia
sudah sering bergonta-ganti pacar, sampai akhirnya hatinya
berlabuh pada Baskoro. Sedangkan Lena, ia baru berpacaran
setahun ini. Keira? Ah, dia terjebak friendzone sampai
akhirnya lelaki yang ia cintai akan menikahi adiknya. Jelas,
Aldric adalah kekasih pertamanya.

Dia kan CEO pabrik cokelat, Kei. Kau jago menyeduh


cokelat. Buatkan dia cokelat.

Ajak ngobrol, minta maaf.

Meira terus mengetik dalam lingkaran Telegram yang berisi


mereka bertiga itu. Lena hanya menyetujui. Keira meragu.
Sekarang?

Ya. Tentu saja. Dia belum tidur kan?

Tidak tahu, pintunya dikunci.

Detik berikutnya, Keira menyesal mengirim pesan tersebut.


Ah, bodohnya! Lena dan Keira tak tahu kalau mereka pisah
ranjang.

Kalian pisah ranjang?


Flowers | 156
Kalian tidur terpisah?

Kedua sahabatnya langsung bertanya demikian. Keira


mengutuk dirinya sendiri. Ia berpikir keras. Ehm, ya. Dia
marah, malam ini dia tidur di kamar tamu. Bagus. Sekarang,
dia berdusta lagi.

Sudah berapa kali ia berdusta hari ini?

Astaga! Dia lebih parah daripada suamiku, Kei!

Sudahlah, kau tidur saja, Kei. Buatkan dia cokelat besok pagi.
Oke? Nite.

Lena mengakhiri percakapan. Maka, kini tinggal Meira.


Namun, tak lama kemudian, Meira pun tak bersuara.
Sekarang tinggal ia sendiri yang kebingungan.

Mungkin, besok ia akan menuruti saran Meira.

***

Esoknya, Keira benar-benar membuatkan Aldric cokelat.


Seperti biasa, Keira masuk ke dalam kamar Aldric pagi-pagi
sekali. Awalnya, ia khawatir suaminya itu masih mengunci
pintu, ternyata kekhawatirannya tidak terbukti. Keira tidak
menemukan Aldric di atas ranjangnya, pasti ia sedang berada
di dalam kamar mandi. Keira menyiapkan pakaian Aldric,
kemudian keluar kamar, pergi ke dapur, dan membuat
Flowers | 157
cokelat. Kemudian, ia kembali ke kamar Aldric membawa
secangkir cokelat panas.

Suaminya sudah keluar dari kamar mandi, lelaki itu sudah


mengenakan pakaian yang disiapkan oleh Keira. Keira
menarik napas lega. Itu berarti Aldric tidak membencinya.
Syukurlah.

"Hai," sapanya. Aldric hanya melihatnya sekilas, kemudian


membetulkan letak dasinya. Ia terlihat kesusahan, karena
biasanya Keira yang melakukannya. Keira menyadari hal itu,
lalu ia meletakkan cangkir cokelatnya di atas nakas dan
menghampiri Aldric. "Biar aku saja."

"Aku bisa sendiri," tolak Aldric. Melihat bibir Aldric yang


seperti anak kecil yang sedang ngambek itu, membuat Keira
ingin tersenyum, tapi ia menahannya.

Keira tak mengindahkan tolakkan Aldric, ia memaksa


membetulkan dasi suaminya itu. Aldric menurut, tapi ia
memalingkan muka. "Kau membawa cokelat ke sini?" tanya
Aldric dengan nada yang ketus.

"Hmmm," jawab Keira sembari membetulkan dasi suaminya.


Lalu, ia melepaskan tangannya dan melihat ke arah Aldric.
"Itu sebagai tanda permintaan maaf," jelas Keira hati-hati.
"Aku menyesal. Sungguh."

Flowers | 158
"Bawa keluar," perintah Aldric. "Apa kau lupa kalau aku
tidak suka bau cokelat ada dalam kamarku?"

"Aku ingat."

"Lalu?"
"Al, please. Jangan membuatku kebingungan seperti ini,"
mohon Keira.

"Kau pikir aku kemarin tidak kebingungan menunggumu?"


suara Aldric meningkat. "Ah, lupakan. Keluarlah." "Maaf."
Keira benar-benar menyesal. Rasanya ia ingin memutar
waktu dan bicara jujur pada Aldric. "Aku janji, aku tidak akan
berbohong lagi sama kamu." Kalimat itu keluar begitu saja
dari bibirnya. "Aku tunggu di bawah, ya. Kita sarapan."

Keira keluar dari kamar Aldric dengan perasaan campur aduk.


Ia memikirkan kalimat Aldric, bahwa lelaki itu kebingungan
ketika menunggunya.

Apa yang sudah kau lakukan Kei?

***

Sore itu, Aldric lupa membawa ponselnya.

Ponsel itu tertinggal di atas meja kerja kantornya. Ia terlalu


terburu-buru, sampai-sampai lupa membawa barang penting
itu. Sampai di bioskop, Aldric baru menyadarinya. Ia berniat
Flowers | 159
untuk kembali ke kantor, tapi takut tidak keburu. Maka, ia
menunggu Keira.

Aldric kebingungan setengah mati ketika Keira tak kunjung


datang. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Tepat
ketika Keira datang, Aldric berniat untuk menjemput Keira ke
kafe. Ia lega luar biasa ketika melihat istrinya itu.
Sayangnya, Keira membohonginya. Ia benar-benar kesal.

Kini, Aldric duduk di tepi ranjang. Mendesah. Ia kesal


setengah mati karena Keira membawa cokelat ke dalam
kamarnya. Hal itu membuatnya teringat dengan Melisa.
Perempuan itu sering melakukan hal yang sama.

Maka, ia segera keluar kamar dan akan meminta


pembantunya untuk membersihkan kamarnya dari aroma
cokelat itu. Ia pergi ke dapur, lalu langkahnya terhenti ketika
melihat Keira duduk sembari menunduk di kursi dapur
dengan tangannya mengaduk secangkir cokelat. Perempuan
itu terlihat lemah. Berkali-kali ia mendesah. Kemudian, Keira
mencicipi minuman cokelat itu dengan sendok.

Entah kenapa, kemarahan Aldric menguap begitu saja. Ia


segera menghampiri Keira, yang belum sadar akan kehadiran
Aldric. Lalu, lelaki itu menarik dagu Keira dan mencicipi sisa
cokelat yang ada di bibir istrinya itu.
Kecupan itu singkat, tapi memabukkan.

Flowers | 160
"Rasanya lebih enak ini," ujar Aldric, enteng. Lalu ia
mengambil cangkir cokelat milik Keira. "Aku mau ini."

Setelah memberi kecupan "dadakan" itu Aldric meninggalkan


Keira yang masih membeku di tempatnya. Lalu, Aldric
berbalik. "Aku berangkat dulu. Tidak sempat sarapan. Ada
rapat dadakan," ucapnya. Ia mengacungkan cangkir di
tangannya, "Terima kasih buat cokelatnya. Rasanya," ia
mengambil jeda," manis."

Padahal, pagi itu Keira meminum cokelat tanpa gula.

***

Flowers | 161
BAB DUA BELAS

Ada masa-masa di mana Keira merindukan kehangatan


rumah. Ketika berkumpul bersama Bunda dan Kaira.
Memasak bersama untuk memperingati hari kematian ayah,
atau ketika perayaan ulang tahun Bunda. Masa-masa itu,
sangat Keira rindukan.

Keira sadar, menjadi seorang istri tidak bisa serta merta pergi
ke manapun yang ia mau, tanpa persetujuan Aldric, suaminya.
Yah, meskipun pernikahan mereka jauh dari kata sempurna,
tetap saja Keira seorang istri.

"Kenapa, Kei?" tanya Lena. Saat ini, Keira sedang duduk


hampir melamun di salah satu kursi di kafe. Waktu
menunjukkan pukul tiga sore. Dan, kebetulan kafe sedang
sepi. Hanya ada satu dua pengunjung. Saat-saat seperti itu,
dimanfaatkan Keira untuk menulis. Sayangnya, lembar kerja
Ms. Word ia biarkan tetap putih bersih. Pikiran Keira kosong.
Dan, Lena menyadari ada sesuatu pada sahabatnya. "Masalah
dengan Aldric?" sambung Lena. Ia mengambil duduk tepat di
seberang Keira.

Ditanya Lena seperti itu, membuat Keira mengingat kejadian


pagi tadi. Mendadak ia menjadi rikuh. Wajahnya memerah.
"Ah, bukan," sahutnya. Lena mengangkat alisnya. "Sedang
kangen Bunda dan Kaira."

"Oh," sahut Lena," ya sudah ajak Aldric ke rumah."

Flowers | 162
Keira tersenyum tipis. Ia baru sadar, usai pernikahan mereka,
mereka jarang sekali ke rumah. Bahkan, Keira sudah lupa
kapan terakhir kali mereka mengunjungi bunda.

"Nanti ditanya ke Al, deh."

Sejujurnya, bukan masalah Aldric bersedia ke rumah atau


tidak. Yang menjadi kekhawatiran Keira adalah Yoga. Keira
takut, bila mereka ke rumah, Yoga berada di sana dan ia tak
tahu harus bersikap seperti apa. Jika ia sendirian, ia bisa
menghindar. Tapi, jika ia ke rumah dengan Aldric, ia akan
serba salah.

Keira menarik napas. Seharusnya, Aldric tak tahu mengenai


perasaannya terhadap Yoga.

"Jadi bagaimana Al kemarin?" Meira tiba-tiba muncul dari


belakang. "Sudah nggak marah?"

"Nggak, kok. Aku yang salah juga sih, pakai bohong segala,"
jawab Keira. Ia kembali teringat bagaimana bibir Aldric
menyentuh bibirnya tadi pagi. Hanya sebentar, tapi mampu
membuat hari Keira menyenangkan.

Lena hanya menggelengkan kepala, sedangkan Meira


berkata, "Kau sih, sama suami sendiri bohong. Jujur saja
kenapa?"

Flowers | 163
Keira memajukan bibirnya." Aku takut dia marah. Padahal
kau tahu, ketika aku terlambat dia baik banget. Setelah tahu
aku bohong, tanduknya keluar."

"Makanya, kalau janji sama suami itu diinget-inget," tambah


Meira. Lalu, keduanya menoleh ke arah pintu masuk. Ada
pelanggan yang masuk ke dalam kafe mereka. "Selamat
datang!" sapa Meira kelewatan ceria.

Lelaki yang baru saja menginjakkan kakinya di pintu kafe itu


menarik perhatian Keira. Ia merasa pernah melihat lelaki
tersebut, entah di mana. Lelaki itu memakai kacamata kotak
berbingkai hitam. Rambutnya rapi, begitu juga dengan
kemeja biru dan jinsnya. Pakaian semi formal yang menjadi
favorit para lelaki.

Anehnya, lelaki itu tersenyum ke arah mereka-tepatnya ke


arah Keira. Kemudian, detik berikutnya, Meira berseru,"
Galang?!"

Keira menautkan kedua alisnya, Meira berjalan ke arah lelaki


yang dipanggilnya Galang itu. "Kamu apa kabar? Astaga,
sudah lama sekali kita nggak ketemu," ucap Meira. Detik
berikutnya, Keira baru ingat siapa lelaki itu.

"Baik, Mei. Baru juga dua tahun. Sudah kangen, ya?" jawab
Galang. Kemudian, ia beralih ke arah Keira. "Jadi, gue nggak
disambut, nih?" sindirnya. Keira menggeleng sembari
tersenyum.

Flowers | 164
"Duduk dulu, Lang. Aku buatin kopi ya," ujar Meira. Galang
segera duduk tepat di seberang Keira. "Eh, baik-baik ya, sama
sohib aku," katanya pada Keira.

***

Namanya Galang Simbarangin. Galang masuk di antara


ketiga persahabatan itu, dari Meira. Mereka satu sekolah
ketika SMU. Dan, dengar-dengar mereka sempat pacaran,
sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berteman.
Absurd memang. Dari persahabatan menjadi cinta itu sudah
biasa, tapi dari pacaran menjadi sahabat itu jarang sekali. Dan
bukan Meira namanya kalau tidak bisa melakukan hal
tersebut.

Informasi yang tak pernah Meira maupun Lena tahu adalah,


Galang merupakan laki-laki yang sempat mencuri
perhatiannya. Sayangnya, cinta Galang tak cukup membuat
Keira berpaling dari Yoga.

Sepeninggal Meira dan Lena, Galang tersenyum ke arah


Keira, ia berjalan mendekat, menarik kursi di depan Keira
(yang tadi dihuni Lena). Kedua tangannya bertumpu pada
meja. "Hai," sapanya. Terlalu kaku. Kemudian, keduanya
tergelak.

"Sudah lama sekali," ucap Keira. Ia ingat, terakhir kali


mereka saling bertemu adalah saat Keira memutuskan untuk
tidak menerima cinta Galang. Sebelumnya, Galang selalu

Flowers | 165
datang ke kampus, bergaul dengan Keira, Meira, dan Lena.
Rahasia yang disimpan keduanya hingga saat ini adalah
alasan Keira menolak Galang. Bukan sekadar karena ia
mencintai Yoga, tapi saat itu, Keira menangkap sinyal bahwa
Yoga pun tertarik dengannya.

"Kudengar, kau sudah menikah," ujar Galang.

"Ya, beberapa bulan yang lalu." Lelaki di depannya dulu


pernah menghuni hatinya, meski sebentar. Tak bisa ia
pungkiri, ia tertarik dengan Galang karena lelaki itu rupawan.

"Dengan lelaki yang membuatmu, menolakku?" Galang


menaikkan satu alisnya.

Keira terdiam. Galang tak pernah tahu, bahwa setelah mereka


tak pernah bertemu. Keira dan Yoga, sama sekali tak
mempunyai perkembangan khusus.

"Bukan."
"Sial!" serunya. "Kalau kau akhirnya tak bersama dia, kenapa
juga waktu itu aku harus mengalah?" Keira tahu, saat ini
Galang sedang bercanda.

Maka, Keira menanggapi hal itu, dengan bercanda pula. "Itu


salahmu, Lang. Kenapa kau harus mengalah? Ckckck,
seharusnya kau berjuang lebih keras," ujarnya. "Sekarang,
kau menyesal, kan?"

Flowers | 166
Kali ini, Galang yang tertawa. Tanpa sadar, percakapan
mereka pun mengalir, hingga hari semakin sore. Sampai
akhirnya, Meira datang, menyentuh bahu Keira.
"Suamimu, Kei," bisikknya. Keira melihat melewati bahu
Galang, ia mendapati Aldric berdiri di sisi mobilnya. Entah
sejak kapan ia berdiri di sana. Galang pun mengikuti arah
pandang Keira.

"Ah, jadi itu lelaki beruntung itu."

***

Keira pulang bersama Aldric. Suaminya itu menyetir dengan


tenang. Pandangannya lurus ke arah jalanan yang semrawut.
Sesekali ia membunyikan klakson, sesekali ia mengerem, lalu
mobil melaju kembali.

Di sebelah Aldric, Keira melihat ponselnya. Percakapan yang


terjadi di grup Telegram yang diisi oleh Lena, Meira dan ia,
menarik perhatiannya. Sesekali ia tersenyum, kadang tertawa
tertahan.

Tawa itu mengundang Aldric untuk menoleh sekilas. Ia


melihat istrinya tengah tersenyum lebar sembari tangan
kirinya memegang smartphone, satunya lagi tengah
membetulkan letak rambutnya. Aldric tergelitik untuk
bertanya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi jalanan
semrawut di hadapannya lebih penting sekarang. Ia bisa
bertanya pada Keira nanti.

Flowers | 167
"Al, kita mampir ke minimarket dekat rumah, ya," pinta
Keira. Aldric mengangguk, pertanda setuju, tanpa bertanya.
"Apa kita makan di luar saja, sekalian? Aku telepon Bi Endah
ya. Biar dia tidak menyiapkan makan malam untuk kita."
"Tidak perlu," sahut Aldric. Padahal, Keira sudah bersiapsiap
menelepon rumah. "Aku sedang ingin cepat-cepat sampai
rumah." Aldric ingin menanyakan sesuatu. Sesuatu yang
mengganjal hatinya.

"Oh. Oke." Keira menarik napas dalam-dalam, kemudian


melihat ke arah luar jendela. Di sampingnya, Aldric sibuk
melihat ke arah jalanan yang mulai menggelap, sesekali
melirik ke arah Keira.

Berikutnya, Aldric menghentikan mobilnya di minimarket


dekat rumah. Keira tersenyum lebar, membuka pintu mobil,
lalu ia menghambur ke arah minimarket. Sebelum itu, ia
bertanya pada Aldric. "Kau butuh sesuatu?"

"Tidak."
Sesampainya di rumah, ketika mereka berjalan ke arah anak
tangga, Keira bertanya." Kau tidak makan malam?
Sepertinya, Bi Endah sudah menyiapkan untuk kita."
Langkah Aldric terhenti. "Tidak. Aku sedang tak lapar. Kau
saja."

"Ah, aku juga sedang tak lapar. Kita berbagi camilan saja.
Oke?" ajak Keira. Ia mengacungkan sebungkus tas plastik
berwarna putih ke atas. Aldric menarik ujung bibirnya.

Flowers | 168
Di depan kamar mereka. Mereka sama-sama berhenti.
"Kamarku atau kau?" tanya Keira. Aldric mengerutkan
keningnya. Ia tidak mengerti maksud dari Keira.

"Astaga. Aku bilang ingin berbagi camilan denganmu, Al."


Kerutan pada dahi Aldric mengendur. "Kamarku," putusnya.
"Tapi, kau tak suka kamarmu bau makanan," tukas Keira.
"Di balkon. Tidak masalah."

Keira mengikuti langkah Aldric. Sesampainya di dalam


kamar, Keira bergegas membuka pintu kaca yang
menghubungkan kamar Aldric dengan balkon. Udara segar
menerpa wajahnya, ketika ia membuka pintu tersebut. "Wah,
kau curang," kata Keira. Ia melihat ke arah Aldric yang
berdiri di sisi terali besi yang ada di balkon. Lelaki itu
membiarkan kemeja putihnya terlepas dari celana dan
menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. "Kau punya
balkon dengan pemandangan sebagus ini. Kenapa kamarku,
tidak?"
"Kau pikir rumahku hotel?" sindirnya.

Keira tertawa. Tawa yang sama, yang perempuan itu bagi


dengan lelaki di kafe tadi. Tawa hangat yang membuatnya
risau ketika tawa itu Keira bagi dengan lelaki lain. Aldric
berjalan mendekat ke arah Keira yang berada di sisi balkon
yang lain.

"Lelaki di kafe ...," tukasnya. Ia tidak melanjutkan. Aldric


berpaling melihat ke arah pemandangan di luar sana. "Ah,

Flowers | 169
siapa lelaki itu?" Akhirnya, Aldric bertanya. Ia sudah
menahannya sejak ia melihat Keira tertawa akrab dengan
lelaki di kafe tadi.

"Lelaki?" Kening Keira berkerut-kerut.

"Lelaki yang membuatmu tertawa terbahak di kafe," Aldric


menambahkan. Ada nada tidak senang yang terkandung
dalam ucapannya. Kemudian, lelaki itu berbalik. Menghadap
Keira. Ia mencari-cari mata istrinya.

"Ah!" seru Keira." Dia Galang," ucapnya. Tapi, nama saja tak
cukup bagi Aldric. Suaminya itu, masih terus melihat ke
arahnya. Tak berkedip, membuatnya salah tingkah. "Dia
kenalan. Sudah lama tidak bertemu, tiba-tiba ia muncul di
kafe." Keira menelan ludah. Ada kecanggungan di antara
mereka. "Aku mengenalnya dari Meira. Dia teman Meira,
atau mantannya. Ah!" Keira kesal sendiri. Kenapa ia harus
repot-repot menjelaskan pada Aldric dengan perasaan
bersalah?
"Lalu?" Aldric masih menuntut.

"Itu saja, Al. Kau mau aku bilang apalagi?" dengusnya, kesal.
"Tidak ada hubungan lain?"

"Tidak, tentu saja!" Keira berbohong. Kemudian ia teringat


dengan kejadian ketika ia berbohong pada Aldric kemarin.
"Ah, baiklah. Dia pernah menyukaiku, aku menolak. Setelah
itu kami tak bertemu lagi dan baru bertemu tadi di kafe.

Flowers | 170
Seperti yang kau lihat. Puas?"

"Hmmm ...."

"Kau seperti suami pencemburu saja," ujar Keira. "Aku


memang cemburu," tukas Aldric santai. Keira melihat ke
arahnya. Jantung Keira bergedup. Tiba-tiba, ia menjadi
gelisah.

"Ehm," Keira berguman. Ia tak tahu harus berkata apa.


Tibatiba saja, Aldric menundukkan kepalanya, mencuri cium
di bibir Keira. Perempuan itu terkejut. Ciuman barusan
singkat, sama seperti yang diberikan Aldric pagi tadi. "Kau
...," Suara Keira tercekat.

"Apa?" napas Aldric berat. Wajah kedua insan itu begitu


dekat. Mereka bisa merasakan kehangatan napas satu sama
lain.
"... sering menciumku," lanjut Keira.

"Ya. Ini hukuman karena kau tertawa dengan lelaki lain,"


tukas Aldric. Keira baru saja ingin protes, tapi suaminya
buruburu membungkam bibirnya dengan ciuman. Kali ini,
Aldric memberikan ciuman yang lebih menuntut. Lebih lama.
Lebih dalam. Kedua lengan Keira terulur, melingkarkannya
ke leher Aldric. Perempuan itu membalas ciuman suaminya,
tanpa sadar ia berjinjit untuk mengimbangi Aldric.
Kini, dahi mereka saling menempel. Kedua lengan Keira
masih melingkar di leher Aldric dan kedua tangan Aldric

Flowers | 171
berada di pinggang Keira. "Jangan tertawa dengan lelaki lain,
lagi. Aku mohon," lirih Aldric.

"Hmmm ...."

"Ya?"

Keira tersenyum lebar. Ia mendongak, melihat ke arah


suaminya. "Astaga."

"Ya?" tanya Aldric, sekali lagi.

"Baiklah."

"Bagus."

***

Flowers | 172
BAB TIGA BELAS

Apa yang sebenarnya ingin Keira katakan pada Aldric adalah


bahwa ia ingin mengunjungi ibu dan Kaira. Kalau bisa, Keira
ingin menginap barang semalam. Hal itu terlupakan begitu
saja, gara-gara Aldric menciumnya secara tiba-tiba,
kemudian mereka berdua mengobrol sampai malam.

Esoknya, Keira menemui Aldric yang sedang duduk di taman


belakang. Di taman itu terdapat rerumputan hijau dan
bungabunga. Aldric duduk tepat di balkon yang terhubung
dengan ruang kerjanya. Ini Sabtu. Aldric memilih kerja di
rumah pada hari ini.

Keira membawa dua cokelat panas di kedua tangannya.


Perempuan itu mengenakan rok terusan kotak-kotak dengan
kancing depan. Rambutnya tergerai dan sedikit basah.
Kakikakinya telanjang menyentuh tanah. Sekilas, Keira
terlihat seperti hantu-hantu perempuan berwajah pucat, kalau
saja ia tidak mengenakan baju kotak-kotak berwarna hitam
putih. Ia mengambil duduk di seberang Aldric.

"Hai," sapanya. Suaminya itu menoleh. Menyunggingkan


senyum. Sejenak, Keira merasa hari ini Aldric tampan sekali.
Rambut lelaki itu dibiarkan berantakan, ia memakai kaus
putih yang sedikit longgar, dan celana cargo selutut.
Penampilan Aldric pagi ini, tak menunjukkan usianya yang
berkepala tiga.

Flowers | 173
Keira menyerahkan gelas cokelat di tangan kanannya ke arah
Aldric. "Terima kasih," ujar suaminya, sembari menerima
gelas tersebut.

Selama sepuluh menit, mereka hanya melakukan pergerakan


ringan. Mencicipi cokelat panas, melihat ke arah bungabunga
yang sedang bermekaran dan basah, mendesah pelan. Seakan-
akan, mereka merupakan pasangan suami istri normal.
Menghabiskan waktu bersama tanpa harus melakukan
sesuatu.

"Aku tidak tahu, kalau kau suka bunga." Keira memecahkan


keheningan. Cangkir cokelat di tangannya sudah mulai dingin
dan tinggal separuh.

"Ini taman, Kei. Sudah seharusnya bunga-bunga itu tumbuh


di sana," jawab Aldric. Ia menoleh ke arah istrinya. Saat itu,
ia baru menyadari, Keira pagi ini terlihat berbeda. Pantas.
Karena mereka tak pernah menghabiskan waktu sepagi ini
berdua. "Aku suka dengan gaunmu."

Perempuan di sebelah Aldric menoleh, mereka saling


menatap, kemudian Keira tersenyum malu-malu. "Terima
kasih. Ini gaun sewaktu aku masih SMA."

"O, ya? Berarti tubuhmu tak banyak berubah," komentar


Aldric.

Flowers | 174
"Hanya naik beberapa kilo saja," sahut Keira. "Aku
memakainya ketika malam perpisahan." Ceritanya. Keira
ingat, ia membeli bahan gaun itu sendiri dan membawanya ke
penjahit. Mencari pola dan model di situs Pinterest. Itu semua
ia lakukan, demi tampil menawan pada malam perpisahan
sekolah.

"Jam berapa kau ke kafe?"

"Hari ini aku ingin di rumah saja. Ada naskah yang harus
kuselesaikan. Hmmm, editorku sudah ngomel." Keira tertawa
kecil, mengingat editornya yang menagih naskah terbarunya.
Jemari Keira mengetuk-ketuk pahanya. Ia menggigit bibir,"
Al," panggilnya. Aldric menoleh. "Aku ingin minta
persetujuanmu."
"Mengenai?"
"Emm, besok ada acara di rumah. Acara kecil-kecilan," ujar
Keira. "Maksudku, ingin pulang. Malam ini, kalau kau
mengizinkan."
Aldric tak langsung menjawab. Hal ini membuat Keira
semakin cemas. Ia takut Aldric akan melarangnya, tapi
ternyata tidak. "Tentu. Kau bisa menginap malam ini. Aku
akan mengantarmu."

Keira menarik napas lega. Senyumnya rekah. "Terima kasih,"


ucapnya. "Emm, kau tidak menginap, juga?"

Aldric menoleh. Kedua matanya mengisyaratkan


keingintahuan dan jahil. "Kauingin aku menginap?"

Flowers | 175
Keira mendesah. Menyesali pertanyaannya sendiri. Ia tidak
bermaksud mengajak Aldric menginap di rumahnya. Yang
berarti mereka harus tidur di atas satu ranjang. Meskipun
begitu, Keira ingin Aldric menginap. Tentunya, ia tak
mengungkapkannya. Ia hanya berpikir, lebih baik mereka
menginap bersama, dengan begitu ibunya tidak akan khawatir
dengan pernikahan mereka.

"Lupakan," tukasnya. Keira mendengar Aldric terkekeh dan


membuatnya semakin gusar. "Aku tidak bermaksud
mengajakmu tidur satu kamar," sahutnya. Aldric kembali
melihat ke arahnya. "Hanya saja, kita belum pernah ke rumah.
Dan, rasanya aneh jika hanya aku saja yang menginap." "Jadi
kau ingin kita tidur satu kamar?" Aldric kembali bertanya. Ia
tahu benar apa yang dimaksud Keira, tapi ia tidak tahan untuk
tidak menggoda istrinya. "Itu tidak masalah. Kita suami istri.
Bilang saja, tidak usah malu."

"Seharusnya, aku tidak berkata apa-apa tadi," Keira


menyandarkan tubuhnya.

"Aku akan menginap lain kali," tukas Aldric. Dia melihat ke


arah Keira, pandangan matanya serius. Tidak sejahil tadi.
"Setelah mengantarmu ke rumah nanti, aku langsung ke
bandara."

"Bandara?"

"Hmm, malam ini aku ke Bali."

Flowers | 176
"Untuk?"
Aldric menarik sudut bibirnya. "Kerja."

Hati Keira mencelos. Ia tidak tahu harus marah atau


bagaimana. Untuk pergi ke rumahnya saja, Keira
memberitahu Aldric. Ia pikir, begitulah yang suami istri
lakukan. Dan kini, Aldric akan pergi ke Bali dan baru
memberitahunya. Itu pun, ia memberitahunya secara tidak
sengaja. Mungkin, jika Keira tidak menghampirinya pagi ini,
tahu-tahu Aldric sudah berada di Bali dan ia tidak tahu sama
sekali.

Tanpa berkata apa pun lagi, Keira bangkit dari kursi, hendak
meninggalkan Aldric. Namun, sebelum ia sempat melangkah
Aldric menarik pergelangan tangannya. Kini, mereka saling
berhadapan. "Mau ke mana?"

"Ke dalam," tukas Keira tanpa melihat ke arah Aldric.


Hatinya luar biasa kacau.

Aldric melihat ke arah Keira, mencari-cari kedua mata


istrinya itu. Namun, Keira sama sekali enggan melihat ke
arahnya. "Aku ke Bali tidak lama, besok sore sudah kembali."
Keira menengadah. "Aku tidak peduli."

"Hei, dengarkan aku," ujar Aldric. "Ini ...."


"Ah, iya. Kau tidak usah mengantarku," Keira menelan ludah.
"Kau sibuk."
"Aku bisa mengantarmu terlebih dahulu, baru ke Bandara.
Flowers | 177
Sudah kukatakan tadi. Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri. Aku hanya bilang sama
kau, karena kupikir memang seharusnya begitu yang suami
istri lakukan," Keira menekankan suaranya pada kalimat
terakhir. Ia melepaskan cengkeraman Aldric dari pergelangan
tangannya, namun ia kesulitan. "Lepaskan."

"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang membuatmu


marah, Kei. Yang jelas, nanti aku akan mengantarmu ke
rumah. Seperti yang aku bilang tadi." Aldric masih bersikeras.
Ia sudah berjanji pada Keira dan ia ingin menepati janjinya.
Tapi entah apa yang membuat istrinya itu tiba-tiba marah.

"Tidak perlu. Sepulang dari kafe aku langsung ke rumah,"


tolak Keira. Ia memutuskan untuk pergi ke kafe saat itu juga
"Aku bisa naik angkot atau meminta Yoga menjemputku."
kalimat terakhirnya membuat Aldric melepaskan
cengkeraman tangannya. Dan kedua mata suaminya nyalang
melihat ke arahnya. Kemudian, Aldric tersenyum sinis.
Seharusnya, Keira mengatakan sesuatu, tapi hatinya
benarbenar kacau, maka ia meninggalkan Aldric dengan luka.
Keira tidak sengaja mengucapkan nama Yoga di antara
mereka. Tapi, Keira sama sekali tidak menyesalinya.

***

Keira berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi Aldric.


Pagi-pagi sekali ia bangun, menyiapkan sarapan untuknya

Flowers | 178
dan Aldric, meskipun ada Bi Endah. Setelah itu, ia akan pergi
ke kamar Aldric, ketika lelaki itu sudah bangun. Menyiapkan
pakaiannya hari itu, membantunya mengenakan dasi. Ia
lakukan, seperti yang telah mereka sepakati. Bahkan, untuk
ke rumah orang tuanya sendiri, Keira meminta izin kepada
Aldric. Ia melakukan itu, untuk menghormati suaminya. Tapi,
Aldric sama sekali tidak berusaha seperti dia.
Dan itu, membuat Keira sedih.

Mengetahui kenyataan bahwa Aldric tidak berusaha untuk


menjadi suami untuk dia, membuat Keira sedih. Membuat
hatinya kacau. Sekadar untuk mengatakan kalau ia akan ke
Bali saja, tidak Aldric lakukan. Bahkan mungkin, sampai
keberangkatannya nanti malam, Aldric tidak akan bercerita
padanya.

Keira kembali mengingat ciuman-ciuman yang diberikan


Aldric padanya. Kemarahan Aldric ketika ia berbicara
dengan Galang atau ketika lelaki itu menunggunya di bioskop
dan apa yang pernah mereka lalui. Keira merasa semua itu
tak ada artinya apa-apa. Keira bukan siapa-siapa bagi Aldric.
Perempuan itu duduk di tepi ranjang, kedua tangannya
meremas tepi ranjang. Ia berusaha keras agar air matanya
tidak jatuh. Ia tak ingin merusak harinya. Sayangnya, Aldric
sukses melakukannya.

Keira tidak tahu, apa alasan yang membuatnya begitu sakit.


Seharusnya, ia pun tahu diri, pernikahan yang mereka
lakukan bukanlah pernikahan wajar. Keira menunduk, ia
Flowers | 179
mencoba mengendalikan dirinya sendiri. Ia tak tahu, apa
persisnya yang ia rasakan saat ini. Rasanya, ia ingin menuntut
Aldric. Ia ingin lelaki itu tidak terbang ke Bali. Menemaninya
ke rumah orang tuanya, mengenalkan pada semua orang,
terutama Yoga. Lalu, ia sadar, Aldric bukanlah alat yang bisa
ia pergunakan kapan saja. Ia tak boleh seegois itu. Di sisi lain,
ada lelaki yang terluka dengan alasan yang berbeda.

Keira tak pernah tahu, pekerjaan yang akan dikerjakan oleh


Aldric besok, datangnya mendadak dan Aldric belum sempat
memberitahunya. Aldric pikir, pembicaraan pagi tadi adalah
waktu yang pas. Nyatanya, hal itu justru membuat Keira
marah. Lebih parah lagi, Keira membawa-bawa nama Yoga
di antara mereka.

Aldric tak pernah mengerti, kenapa sebuah nama yang


terucap dari bibir Keira, mampu membuat harinya begitu
buruk.

Awalnya, Aldric ingin mengajak Keira ke Bali, sekalian


berlibur. Sebelum hal itu terucap, Keira sudah punya rencana
sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak
membicarakannya. Dan ia menyesal tak mengatakannya lebih
dulu. Kini, keduanya justru memiliki luka masing-masing.
Aldric berpikir, Keira tak bisa melupakan Yoga. Perempuan
itu masih menyimpan rasa pada tunangan adiknya itu. Hal itu
membuat Aldric terluka.

Flowers | 180
Mereka sudah pernah berjanji untuk saling menyembuhkan.
Kenyataannya, kehadiran Aldric tak mampu menghapus
nama Yoga dari hati Keira.

Nyatanya, ada sesuatu yang merambat ke dalam hati


keduanya. Bahkan, pemiliknya sendiri belum menyadari hal
itu.

***

Pada akhirnya, Keira pergi ke rumahnya sendiri.


Ketika berada di kafe, Keira berharap Aldric sudah berdiri di
samping mobilnya, di depan kafe. Tentu saja, menjemputnya,
mengantarkannya ke rumah. Mereka akan berbaikan,
bercanda kembali, atau bahkan berciuman. Keira mendesah.
Itu hanyalah bayangannya saja. Tak terjadi. Kenyatannya, di
depan kafe tidak ada siapa-siapa. Akhirnya, ia berangkat ke
rumah menggunakan angkot.

Sesampainya di rumah, ia mendapati ibunya tengah


menjemur pakaian, padahal langit sedang tak cerah. Seperti
itulah ibunya, selalu memiliki harapan langit akan cerah.
Seperti dirinya. Mereka memiliki sifat yang sama, sama-sama
memiliki harapan-harapan. Selalu merasa semua akan
baikbaik saja. Sama halnya, ketika Keira memutuskan untuk
menikah. Ia berharap, orang tuanya akan bahagia, Kaira dan
juga dirinya. Pada kenyataannya, awan mendung belum juga
beranjak dari pernikahannya.

Flowers | 181
"Kau pulang," ujar ibunya, ketika melihat Keira membuka
pintu pagar. Memasuki perkarangan rumah yang tak sebegitu
luas. Keira mengangguk, tersenyum dan mencium punggung
tangan ibunya. "Sendiri?" tanya ibunya kembali, setelah
melihat ke belakang Keira dan tidak menemukan siapa-siapa.
"Mas Al ada pekerjaan di Bali," sahut Keira. Menjelaskan
kepada ibunya, yang Keira tahu sama kecewanya dengan
dirinya. "Tadi sudah mau antar Kei, tapi Kei menolak. Takut
tertinggal pesawat. Kasihan."

Ibu Keira mendesah. Tidak tahu harus berkomentar apa.


"Kaira masih keluar sama Yoga. Masuklah dulu," ucapnya
kemudian. Keira mengangguk, kemudian berjalan ke arah
rumah. Ia membuka pintu utama, melewati ruang tamu, naik
tangga ke lantai dua, lalu membuka pintu kamarnya. Keira
menutup pintu kamarnya. Ia bersandar pada daun pintu,
kamarnya ia biarkan gelap gulita. Sesaat ia diam. Kemudian,
dadanya sesak. Ia tak tahu perasaan apa yang menghimpitnya
saat ini. Ia sama sekali tak tahu. Yang ia tahu, ia merindukan
Aldric sangat. Sayangnya, ia tak punya cukup keberanian
untuk memberitahu suaminya itu.

Perempuan itu menangis dalam kegelapan. Isaknya pelan dan


tertahan, takut orang lain mendengar. Bahkan, ia takut dirinya
sendiri tahu mengenai apa yang terjadi. Ia takut menyadari
bahwa Aldric sudah mengambil alih hatinya. Perasaan itu, ia
sangkal kuat-kuat. Ia meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia
masih mencintai Yoga. Selamanya.

Flowers | 182
***

Menjelang malam, Kaira dan Yoga kembali. Mereka bertiga


mengobrol di ruang tamu.

Kacang rebus, cola, teh manis dan kuaci berserakan di atas


tikar. Bertiga sama-sama bercanda dan menghabiskan
camilan mereka. Ibunya sudah tidur sedari tadi. Kemudian,
Kaira menguap lebar-lebar dan memilih tidur terlebih dahulu.
Sekarang, tinggal Keira dan Yoga dalam ruangan tersebut.
Yoga yang awalnya duduk di atas sofa, kini menurunkan
badannya. Bergeser ke arah Keira. Mereka kini duduk
berdekatan.

"Aku sudah lama menunggu momen ini," ujarnya. Keira


menoleh. Mengalihkan padangannya dari acara televisi. "Aku
merindukanmu, kau tahu?"

Keira tertawa kecil. Merasa aneh dengan ucapan Yoga.


Padahal, dulu mereka sering mengucapkan hal itu, tanpa
beban. "Aku memang pantas dirindukan, Ga," canda Keira.
Yoga mengangguk. "Ya, kau memang begitu. Dulu, aku
selalu mencari-carimu," ujar Yoga.
"Dan sekarang Kau mencari-cari Kaira, adikku," sahut Keira.
Ia tersenyum masam.
"Ya, siapa sangka, aku akan jatuh cinta dengan adikmu?"
Yoga tertawa kecil. Keira memperhatikan lelaki yang
beberapa tahun terakhir mengisi hatinya. Ia melihat binar
bahagia pada kedua bola mata sahabatnya tersebut. "Aku

Flowers | 183
ingat, dulu Kaira suka menangis. Selalu mengganggu kita,"
kenang Yoga.

"Apa yang membuatmu menyukai adikku? Bahkan


mencintainya?" pertanyaan itu muncul begitu saja.
Pertanyaan yang dulu tak pernah berani ia tanyakan. Kini,
setelah waktu berlalu pertanyaan itu kembali ke permukaan.
Yoga terlihat berpikir. "Emm, entahlah. Mungkin karena
Kaira tidak sepertimu."

Keira menautkan kedua alisnya. Tidak mengerti. "Kaira tidak


sekuat kau, Kei. Ia tidak seceria kau. Ia membuatku merasa
dibutuhkan," Yoga tersenyum. "Dia membuatku selalu ingin
melindunginya. Menggantikanmu, kakaknya." Yoga terlihat
malu-malu. "Boleh, kan?" Dia tertawa kecil. "Seharusnya,
aku meminta izin sebelumnya, kepadamu. Mau kan, kau
mempercayakan adikmu padaku?"

Keira hanya melihat ke arah Yoga, begitu pula sebaliknya. Ia


tidak tahu perasaan apa yang membuatnya terdiam begitu
lama. Ia merasa kecewa sekaligus lega. Kecewa bahwa Yoga
tak pernah mencintainya dan lega karena Kaira memiliki
Yoga. Dan, pembicaraan ini membuat Keira meyakini satu
hal.
"Maaf, aku harus ke kamar," tukas Keira. Ia menggantung
permintaan Yoga dan meninggalkannya sendirian.
Sesampainya di kamar, ia meraih smartphone-nya. Mengirim
sesuatu ke Aldric. Ia tahu, mungkin suaminya itu masih di

Flowers | 184
dalam pesawat, tapi Keira harus melakukannya. Tanpa
keraguan.

Aku merindukanmu.

***

Flowers | 185
BAB EMPAT BELAS

Dalam perjalanan ke Bandara sore tadi, Aldric berusaha keras


agar tak membelokkan mobilnya ke arah kafe tempat Keira
bekerja. Lelaki itu menahan dirinya untuk tidak pergi ke sana,
demi gengsi yang ia junjung tinggi. Aldric berusaha untuk tak
mempedulikan perasaannya sendiri yang ingin tahu, Keira
berada di sana dengan siapa dan apa benar, istrinya itu akan
dijemput oleh Yoga.

Ah, Yoga. Satu nama yang membuat Aldric uring-uringan,


terlebih ketika nama tersebut keluar dari bibir Keira. Ini gila.
Benar-benar gila. Begitulah yang dikatakan Aldric berkali-
kali dalam perjalanan ke bandara. Sampai akhirnya, ia
berhasil ke bandara tanpa tergoda untuk menengok Keira.
Keira tak tahu, Aldric berangkat lebih awal ke bandara hanya
karena ia melihat Keira keluar kamar dengan membawa travel
bag mini dan masih mengenakan gaun yang sama ketika
mereka bertengkar. Aldric menimbang-nimbang saat itu,
harus mengejar Keira atau tidak. Ketika ia memutuskan untuk
menemui Keira, lagi-lagi ingatannya datang dan
mengacaukan niatnya. Akhirnya, Aldric datang ke bandara
terlalu dini. Penerbangan masih 4 jam lagi.

Tak mudah bagi Aldric ketika membunuh waktu dalam ruang


tunggu di bandara. Ia berkali-kali memencet nomor ponsel
Keira, meskipun pada akhirnya ia tak benar-benar
menghubungi istrinya. Ia ingin sekali mengucapkan "Aku

Flowers | 186
berangkat, tunggulah aku di rumah." Namun, pesan itu tak
pernah sampai pada Keira.

Hingga Aldric merasa kesal sendiri dan mematikan


ponselnya. Dan, baru menghidupkannya keesokan harinya.
Pagi itu, cuaca Legian, Bali sedang mendung. Cahaya
matahari sama sekali tak masuk ke dalam kamar hotel yang
didiami oleh Aldric. Lelaki itu pun, baru bangun pukul
setengah tujuh waktu setempat. Padahal, ia harus bertemu
orang penting pukul sembilan pagi.

Lelaki itu menyibakkan selimutnya, menguap beberapa kali.


Kemudian, ia duduk di tepi ranjang, memijat pangkal
hidungnya. Aldric berjalan di atas lantai yang dingin dengan
kaki telanjang dan mendekati pintu balkon. Ia mengerutkan
kening, ketika mendapati langit begitu muram. Padahal, ia
berharap hari ini akan cerah. Paling tidak, ia bisa
bersenangsenang barang sehari dua hari di sini. Biarlah ia
meninggalkan pekerjaannya di Surabaya sejenak. Ia sedang
tak punya hati untuk kembali ke sana.

Aldric memejamkan mata sejenak, mendesah, kemudian


berjalan menghampiri meja yang berisi teko, gelas, gula dan
kopi bubuk. Ia membuka tutup teko listrik, memasukkan air
mineral ke dalamnya, kemudian menekan tombol on pada
teko. Lalu, ia pergi ke kamar mandi, membersihkan diri.
Sepuluh menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi. Tubuh
bagian bawahnya terlilit handuk dan dadanya terekspos. Ia
berjalan ke arah meja, tempat ia akan menyeduh kopi. Aldric

Flowers | 187
membuka bubuk kopi dan menuangkannya ke dalam gelas,
begitu pula dengan gula. Kemudian ia mengangkat teko,
namun benda itu dingin. Sama sekali tidak hangat apalagi
panas. Dia mendesah, kesal. Ia begitu bodoh karena lupa tidak
menghubungkan aliran listrik ke teko.

"Sial," umpatnya. Dan, ia kembali ingat Keira. Dadanya pun


sesak. Ia mengutuk istrinya itu. Cuaca mendung dan
kesialannya pagi ini, berkat istrinya itu.

Dan Aldric mencari-cari ponselnya. Ia ingin segera bertemu


dengan tamu-nya hari ini, agar segera bisa menikmati Bali.
Aldric berjalan ke arah meja sisi ranjang. Semalam ia
meletakkan ponselnya begitu saja di sana, tanpa
menghidupkannya.

Usai menghidupkan ponselnya, Aldric berbaring di atas


ranjang. Membiarkan benda pipih di sampingnya berkali-kali
mengeluarkan suara, pertanda pesan-pesan masuk. Dengan
malas, Aldric meraih benda itu, memeriksa pesan satu
persatu.

Tak ada yang menarik perhatiannya dari pesan-pesan yang


masuk. Beberapa pesan dan e-mail dari Dru dengan nada
marah karena ia susah dihubungi. Beberapa lagi, dari klien
dan teman kantornya. Saat itulah, ia melihat pesan dari Keira.
Aku merindukanmu.

Flowers | 188
Ketika membaca itu, Aldric buru-buru bangun dan
menegakkan tubuhnya. Ia mengecek lagi isi pesan itu.
Apakah pesan itu benar-benar dikirim Keira atau bukan.
Ketika ia benar-benar yakin, kalau itu nomor dan nama
istrinya. Bibirnya merekah. Mendadak, ia merasa hari ini
indah.

Hanya dua kata yang dikirimkan Keira, mampu membuat


semangat Aldric bergejolak. Ia buru-buru mencari nomor
klien yang akan bertemu dengannya hari ini. Ia hendak
membatalkan pertemuan, kemudian ponselnya berdering.
Kliennya menelepon dan mengatakan bahwa ia sudah berada
di tempat pertemuan.

Ah, sial.

Aldric memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya hari


ini dan mencari penerbangan terdekat untuk kembali ke
Surabaya.

Tepatnya, kembali pada Keira.

***

Tak ada yang tahu, bagaimana perasaan Keira saat ini.


Hatinya luar biasa gundah. Bahkan, ia tak tidur nyenyak
semalam.

Flowers | 189
Setelah pesan singkat yang ia kirimkan pada suaminya, tadi
malam. Keira berharap Aldric akan membalasnya, dengan
entah apa. Ia menunggu. Mengkira-kira kapan pesawat Aldric
akan tiba di Bali, dan lelaki itu akan membaca pesannya.
Sayangnya, sampai pukul satu malam, tak ada pesan dari
Aldric.

Pagi ini, Keira masih merasakan sesak yang sama. Ia


mengutuk dirinya sendiri karena gegabah mengirim pesan
kepada Aldric. Kalau saja Aldric membalas pesannya,
mungkin perasaan Keira tak akan segundah ini. Ah, tidak,
tidak. Keira pasti akan merasakan perasaan yang sama, kalau
Aldric membalas pesannya dan isi pesan tersebut membuat
Keira nelangsa.

Keira memilih menyibukkan diri dengan bergabung bersama


Kaira dan ibunya di dapur. Adiknya itu sedang sibuk mengiris
wortel sedangkan ibunya menanak nasi kuning. Hari ini
adalah hari ulang tahun Yoga. Adiknya, Kaira merencanakan
perayaan kecil-kecilan di rumah dengan membuat nasi kuning
yang akan dibagikan ke tetangga.

"Astaga, Kak Kei! Kenapa kau baru bangun?" seru Kaira,


ketika melihat kakaknya baru turun dari kamar. "Aku sudah
membangunkan kau tadi. Ckckck ...."

Keira tertawa mendengar omelan Kaira. Dia mendekat ke


arah adiknya, mengambil satu potongan wortel dan
memakannya. "Selamat pagi!" seru Keira terlewat ceria. "Kei,

Flowers | 190
cuci muka dulu," ujar ibunya. Keira tersenyum dan
meninggalkan dapur untuk mencuci wajah. Setelah itu, ia
kembali ke dapur.

"Oke. Apa yang bisa kakak bantu?" tawarnya.


"Ke pasar!" seru Kaira. Pagi ini, dia terlihat amat ceria.
Adiknya yang pendiam itu, lebih banyak bicara daripada
biasanya. Memang, Kaira lebih terbuka pada Keira daripada
teman-teman sebayanya.

"Apa?" seru Keira.

"Tidak perlu ke pasar, Dek," tukas ibunya. "Kaira kemarin


lupa membeli kotak makan di pasar. Kamu beli di Bu Yum,
ya," tambahnya. "Untuk bagi-bagi ke tetangga nanti." "Oke,"
Keira menyanggupi. Ia segera naik ke lantai dua, menuju
kamarnya. Di dalam kamar ia meraih jaket dari balik pintu
kamar. Sebelum itu, ia melirik ke arah benda pipih di atas
lemari kecil kamarnya. Benda tersebut sama sekali tak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia mendesah.

Memutuskan untuk keluar kamar dan segera melenyapkan


pikirannya mengenai Aldric.

Ketika ia keluar rumah, hari sudah tak lagi pagi. Kira-kira


pukul sepuluh pagi. Pantas saja, Kaira mengomel karena ia
bangun siang. Keira sengaja, sekali-sekali ia ingin bangun
siang. Merasakan menjadi perempuan belasan tahun yang
manja. Perempuan yang masih sendiri tanpa suami. Aneh

Flowers | 191
rasanya. Seharusnya, Keira merasa senang karena tak ada
beban harus bangun pagi hari ini. Kenyataannya, ia tidak
merasa bahagia.

Saat merindukan seseorang, apapun yang kau lakukan akan


terasa berat. Karena begitulah rindu. Selalu memberatkan.
Keira segera pergi ke toko Bu Yum yang berada blok sebelah.
Toko kelontong tersebut berupa rumah sederhana, menjual
beberapa peralatan dapur. Keira menyebutkan keperluannya,
berbasa basi sebentar, kemudian membayar. Setelah itu,
Keira kembali pulang.

Sebenarnya, basa basi yang ia lakukan dengan Bu Yum,


bukanlah sekadar basa basi baginya. Bu Yum menanyakan
keberadaan Aldric, suaminya. Dan, ia pun mengatakan hal
yang sama seperti yang ia katakan pada ibunya. "Mas Al,
kerja. Mendadak harus ke Bali." Keira tidak berbohong. Tapi,
lagi-lagi reaksi yang sama ditunjukkan oleh ibunya, ia dapati
pada wajah Bu Yum. Sebelum pembicaraan semakin jauh,
Keira memilih untuk cepat-cepat undur diri.

Sepanjang perjalanan pulang, Keira hanya menunduk.


Sesekali ia merapatkan jaket, kemudian mendesah.
Langkahnya pelan, terasa berat. Padahal, ia merindukan
rumah. Sayangnya, ketika ia sudah di rumah, justru ia merasa
asing. Ia merasa tersisih.

Perasaan Keira luar biasa sesak, terlebih lagi karena Aldric


sampai sekarang belum ada kabar. Ia sudah menjatuhkan

Flowers | 192
harga dirinya dengan mengirim pesan terlebih dahulu. Pesan
rindu pula. Betapa malunya ia, ketika Aldric tak kunjung
membalas pesannya. Ia sakit hati. Sangat.

Ia mempercepat langkahnya, berbelok ke arah gang sebelah


kanan kemudian ke arah kiri. Arah rumahnya. Sebelum ia
sampai di depan rumahnya, langkahnya terhenti. Tepat dua
meter dari arah rumahnya, Keira melihat seorang lelaki yang
menjulang tinggi.

Lelaki itu suaminya, Aldric.

***

Aldric menemui kliennya, tapi bukan untuk berdiskusi. Ia


menemui kliennya untuk meminta maaf karena harus
membatalkan pertemuan mereka hari itu dan berjanji akan
menemuinya kembali di lain waktu. Aldric berkata akan
memberikan keuntungan lebih, sebagai permintaan maaf.

Setelah itu, Aldric terbang ke Surabaya.

Selama di pesawat, Aldric tak henti-hentinya tersenyum. Ia


tak bisa mengendalikan bibirnya sendiri. Luapan rasa bahagia
yang sudah lama tak ia rasakan, meluap-luap bagaikan air
mendidih. Bergejolak, panas, sekaligus menyenangkan. Ia
benar-benar tak sabar ingin bertemu Keira. Ia ingin
mengatakan hal yang sama kepada istrinya itu. Bahwa ia
rindu. Dengan sangat.

Flowers | 193
Maka, ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di Bandara
Juanda, Aldric segera memacu mobilnya ke arah rumah
mertuanya. Menemui Keira.

Aldric mengenakan kemeja putih yang tak ia masukkan ke


dalam celana, lengannya tersingsing di siku, rambutnya pun
awut-awutan dan mata lelah. Namun, ia tak peduli dengan itu
semua. Dalam otaknya saat ini hanyalah ingin bertemu
dengan Keira. Siapa sangka, ia bisa merindukan seseorang
yang tak terduga seperti ini? Aldric tak pernah
menyangkanya. Sama sekali. Bahkan, ketika ia memutuskan
untuk menikahi perempuan itu sekalipun.

Kini, Aldric sudah berdiri di depan rumah Keira. Menimbang,


apakah ia harus menghubungi Keira terlebih dahulu, atau
langsung masuk ke rumahnya? Bukankah, ini rumah
mertuanya? Ia bisa saja langsung masuk, memberi salam.
Andai saja, sebelum ini dia pernah ke sini.

Saat itulah, Keira muncul. Bukan dari dalam rumah,


melainkan dari arah berlawanan dengannya. Perempuan itu
terkejut. Seakan tak percaya bahwa Aldric berada di
depannya. Gejolak rindu pun berdentum-dentum di dada.
Aldric tak kuasa menahannya. Sayangnya, ia tak mengambil
langkah apa pun. Ia memberikan Keira kesempatan terlebih
dahulu.

"Kau di sini," ucap Keira, setelah beberapa detik berdiam diri.


"Seharusnya kau di Bali."

Flowers | 194
"Aku pulang," sahut Aldric.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Sudah selesai," sahut Aldric cepat, "ah, lebih tepatnya


ditunda." Ia meralat.

"Kenapa?"
Aldric tersenyum. "Karena ada yang merindukanku." Ia
melihat wajah Keira memerah. Perempuan itu malu-malu.
Namun, ia tetap tersenyum.

"Hanya karena itu?"

"Bukan. Bukan karena itu saja," Aldric mengambil jeda."


Karena aku juga merindukannya. Makanya, aku pulang." Aku
pulang kata yang sangat menghangatkan bagi Keira. Ia
berusaha keras menahan senyumnya, tapi ia tak sanggup.
Maka, ia menunduk layaknya remaja ingusan.

Aldric mengambil langkah, mendekati Keira. "Apa kabar?"


bisiknya, pada istrinya.

Keira mendongak. "Baik," jawabnya, sembari menahan


senyum. Aldric memperpendek jarak mereka, ia ingin
memeluk istrinya itu. Tapi Keira buru-buru berkata,"
Hentikan. Nanti jadi perbincangan tetangga."
Aldric tertawa, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celana. "Oke."
Flowers | 195
Keira tersenyum. "Kau butuh istirahat, Tuan."
"Sepertinya begitu, Nyonya," balas Aldric. Keduanya tertawa
kecil. Keduanya pun tak dapat menahan rona merah di wajah
masing-masing.

Keira menarik napas dalam-dalam, menyelipkan rambutnya


ke belakang telinga, kemudian ia berjalan ke arah rumah. Saat
ini, ia ingin sekali membagi kebahagiaannya dengan Meira
dan Lena. Menceritakan bagaimana bahagianya dia melihat
Aldric hari ini. Terlebih lagi, ketika suaminya mengatakan
juga merindukannya.

"Mas Al!" seru Kaira, ketika mendapati kakak iparnya di


rumah. Matanya berbinar. Jarang sekali Kaira menunjukkan
reaksi bahagia seperti itu, selain pada Yoga, Ibu, dan Keira.
Nampaknya, Kaira benar-benar sudah menerima Aldric
menjadi bagian keluarganya.

"Ibu ...," panggil Kaira," Mas Al datang."

Ibu mereka muncul dari dapur yang langsung terhubung ke


ruang tamu. "Kau datang," ucap ibu mereka. "Keira bilang,
kau ke Bali, Nak."

Aldric tersenyum, menghampiri ibu mertuanya. Dengan


sopan, Aldric mencium punggung tangan wanita tersebut.
"Baru pulang barusan, Bu. Langsung ke sini."

Flowers | 196
"Kau pasti lelah. Kei, ajak suamimu ke atas."

Keira mengangguk. Setelah Aldric berpamitan, mereka


berdua menaiki anak tangga yang hanya cukup satu badan
orang dewasa saja. Kemudian, Keira membawa Aldric ke
kamar paling ujung, dekat balkon rumah.

"Masuklah," ujar Keira. "Maaf, kamarku kecil."

"Tidak masalah," kata Aldric. Mereka berdiri berhadapan.


Keduanya tidak melepaskan pandangan mata mereka. Keira
menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Mendadak
dadanya bergemuruh.

Aldric kembali mengambil langkah, memperpendek jarak


keduanya. Keira tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sama halnya dengan Aldric, Keira pun menginginkannya.
Tapi, Keira menahannya.

"Mandilah dulu kemudian beristirahatlah barang sejenak."


Keira mengatakan itu dengan meremas kedua tangan Aldric.
Ia merasakan kehangatan dalam kedua telapak tangan
suaminya itu. "Aku akan menyiapkan makanan untukmu."
Aldric mendesah. Ia mengangguk.

***

Pesta kecil mereka pun dimulai. Acara bagi-bagi makanan ke


tetangga pun sudah Keira dan Kaira lakukan. Kini, mereka

Flowers | 197
menikmati makanan yang terhidang di ruang tamu. Ruangan
kecil itu berisikan oleh Keira, Aldric, Kaira, dan Yoga. Ibu
mereka memilih untuk beristirahat di kamar, membiarkan
anak-anak mereka bercengkrama.

Tak banyak hal yang mereka bicarakan, kecuali guyonan


mengenai acara televisi di layar kaca. Sejak awal, Aldric
memang tak sebegitu akrab dengan Yoga, meskipun begitu ia
salah satu orang yang dipercaya oleh Aldric. Sayangnya,
sejak mengetahui bahwa Keira mencintai Yoga, rasa
percayanya kepada Yoga pupus. Sampai akhirnya, keduanya
tidak bisa saling bercerita dengan nyaman. Yoga selalu
mendominasi pembicaraan, Aldric sesekali menyahut.
Sampai akhirnya, ponsel Aldric berdering.

Aldric pamit pada Keira untuk menerima telepon. Drupadi


meneleponnya. Pasti karena masalah yang ia lakukan sewaktu
di Bali.

"Iya, maaf," ucap Aldric pada Drupadi. Tentu saja, Drupadi


yang mengatur pertemuan klien penting itu di Bali. Dan
sekarang, Aldric justru sudah berada di Surabaya dan
membatalkan pertemuan mereka. "Kali ini, biar aku yang
urus. Kau tenang saja." Ia berusaha menenangkan wanita
hamil di seberang sana. Meskipun begitu, Drupadi tetap saja
marah-marah sampai Aldric memutuskan telepon. Usai
mengantongi smartphone-nya, Aldric melihat ke sekeliling.
Kini, ia sedang berada di kamar Keira. Kamar tersebut terdiri
dari satu dipan tempat tidur, lemari kecil di sebelahnya, dan

Flowers | 198
meja memanjang yang dipenuhi oleh pigura foto dan buku-
buku di bawahnya. Kalau Aldric bilang, kamar Keira penuh.
Sampai-sampai ruang geraknya hanya sebatas pintu masuk
sampai ranjang saja.

Salah satu foto dalam pigura tersebut menarik perhatian


Aldric. Tentu saja, dalam foto tersebut adalah Keira. Yang
membuat ia tertarik adalah dalam foto itu Keira mengenakan
gaun kotak-kotak yang dikenakannya kemarin. Ia tersenyum
dan mengembalikan pigura tersebut ke tempat semula.

Kemudian, ia mendapati foto lain. Keira tersenyum lebar


bersama teman-temannya dan salah satu di antara temannya
ada foto Yoga. Di antara teman-teman mereka, Keira
tersenyum lebar ke arah Yoga, begitu pula sebaliknya. "Itu
foto malam kelulusan mereka," Kaira tiba-tiba muncul. Ia
berdiri di sebelah Aldric. "Mereka terlihat romantis, ya?"
ujarnya. Gadis itu tersenyum melihat foto yang menampilkan
wajah kakaknya dan calon suaminya. "Sejak kecil mereka
dekat. Banyak yang menduga mereka akan menikah nantinya.

Tapi, siapa sangka, ternyata mereka punya pilihan


masingmasing?" Kaira tertawa kecil menceritakan hal itu.

"Kamu, tidak cemburu?" tanya Aldric hati-hati.

Kaira menggeleng sambil tertawa kecil. "Mereka bersahabat


dari kecil, seperti saudara. Bahkan, mereka akan benar-benar
menjadi saudara."

Flowers | 199
Aldric tersenyum kecil. Menatap kembali pigura yang
membingkai foto di tangannya. Tampaknya, Kaira sama
sekali tidak curiga dan tidak tahu kalau kakaknya pernah
mencintai Yoga. Atau bahkan, sekarang pun masih
mencintainya. Tiba-tiba dada Aldric terasa tidak enak. Ada
yang mengganggunya. Ia buru-buru pamit pada Kaira dan
segera menuju ke ruang tamu. Kakinya menuruni anak tangga
dengan tergesa, kemudian melambat ketika sampai di ujung
anak tangga. Ia berdiri di sana, bersandar pada dinding yang
tersembunyi. Ia mencuri dengar perbincangan antara Keira
dan Yoga.

"Kau memakai gaun ini , lagi. Ckck ... masih muat saja ya."
Aldric mendengar Keira tertawa. Suara tawanya amat renyah.
"Tentu saja! Ini kan hari ulang tahunmu!" sahutnya.

"Kau cantik mengenakan gaun itu, Kei," sahut Yoga.

Aldric mengepal tangannya kuat-kuat, ia menahannya


kuatkuat. Ia kembali mengingat pesan singkat Keira padanya,
rona wajah Keira ketika bertemu dengannya, dan penolakan
kecil yang Keira lakukan tadi. Kini, ia menyesal kembali dari
Bali lebih cepat atau justru ia harus bersyukur karena ia tahu
segalanya. Ia tahu bahwa memang keduanya tak seharusnya
bersama. Ia sudah mencobanya, tapi nampaknya Keira tak
berusaha sama sekali.

Aldric sadar, bahwa masih ada rasa cinta dalam diri Keira
untuk Yoga. Atau memang cinta itu tak pernah pergi.

Flowers | 200
BAB LIMA BELAS

Aldric sama sekali tidak tahu, sampai kapan ia akan bertahan.


Melihat wajah Keira yang berseri-seri semenjak di rumah
mertuanya, membuat hatinya ngilu. Dia hanya menyetir
mobil dengan tenang, tapi ia menggenggam kemudi dengan
erat. Sangat erat. Di sampingnya, Keira bersenandung kecil,
mencari-cari kepingan VCD dalam laci mobil. Kemudian
cemberut karena tidak ada lagu yang sesuai dengannya.

Sebagai gantinya, ia menyetel radio dan mencari saluran lagu.


Aldric melihat itu semua dari ekor matanya. Kini, istrinya itu
tersenyum kecil, matanya berbinar hanya karena menemukan
saluran radio yang disukainya. Selama mereka menikah,
Aldric tidak pernah melihat Keira sebahagia ini. Ia tak tahan
lagi, maka ia bertanya. Sebelum itu, ia berdeham, berharap
dengan begitu nada suaranya akan terdengar biasa. "Kau,
terlihat bahagia sekali," komentarnya. Ia tak bisa bertanya. Ia
hanya bisa berkomentar ternyata.

Keira memiringkan wajahnya, tersenyum ke arah Aldric.


Seandainya saja, saat ini emosi tidak menguasai Aldric, lelaki
itu bisa saja menghentikan mobil dan mencium Keira
habishabisan. Kenyataanya, dia terlalu gengsi untuk
melakukan hal itu.

"Hari ini menyenangkan, kenapa harus bersedih?" jawab


Keira. Ia kembali bersenandung lirih, mengikuti lagu yang
berputar dari radio. Sesekali, ia kembali tersenyum.

Flowers | 201
Melihat hal ini, Aldric semakin gusar. Ia kembali mengingat
bagaimana Keira bisa tertawa lepas dengan lelaki lain di kafe
waktu itu dan kini, perempuan itu bahagia sekali ketika usai
bertemu dengan Yoga. Bagaimana dengan dirinya? Apa
Keira sama sekali tak bahagia hidup bersamanya?

Aldric menghentikan mobilnya di depan rumah. Ia meminta


pembantu rumah tangganya untuk mengangkat koper
miliknya dan segera ia masuk ke dalam rumah. Keira,
mengikutinya dari belakang. Dan perempuan itu masih
menunjukkan tanda-tanda bahagianya. Aldric pun
mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam kamar.

"Sial!" umpatnya. Napasnya naik turun, ia meremas


rambutnya dengan gusar. Ia sama sekali tak bisa berpikir
dengan jernih. Selanjutnya, ia keluar kamar dan membuka
kamar Keira tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Di dalam
kamar, Keira tengah mematut dirinya di depan cermin, masih
mengenakan gaun yang sama.

Kedatangan Aldric yang secara tiba-tiba, tentu saja membuat


Keira terkejut. "Kau membuatku kaget. Kenapa tidak
mengetuk pintu dahulu?" ucapnya, tanpa menyadari raut
wajah Aldric yang berubah.

"Apa perlu seorang suami mengetuk pintu, untuk masuk ke


kamar istrinya?" tanya Aldric sinis. Keira mengerutkan
keningnya. "Sepertinya kau suka sekali dengan gaun itu."

Flowers | 202
"Begitulah," jawab Keira ringan. Ia tak tahu, jawaban itu
sama saja dengan menyulut api dalam diri Aldric. Benar saja,
karena kemudian Aldric mendekatinya dan mencengkeram
lengan Keira dengan keras.

"Lepaskan gaunmu," ucap Aldric dengan napas yang


memburu. Matanya tajam menatap ke arah Keira.

Keira baru menyadari ada perubahan aneh dalam diri Aldric.


Wajah lelaki itu berubah merah, begitu pula dengan kedua
matanya. Mendadak, nyali Keira menciut. Ia berusaha
melepaskan tangan Aldric yang mencengkeram lengannya.
"Al, kau menyakitiku!" pekiknya. Namun, Aldric bergeming.
Ia tetap pada posisinya. "Al!"

"Lepaskan gaunmu," Aldric berucap sekali lagi. Emosi telah


memenuhi dirinya. Kini, Keira berhasil melepaskan tangan
Aldric, dia berbalik arah, namun Aldric kembali menarik
tubuhnya. Memeluknya dengan erat. Keira meronta. Ia
ketakutan.

"Al! Kau gila!"

Aldric tak peduli dengan ucapan Keira. Ia mencari-cari wajah


Keira, meletakkan tangan kanannya di belakang kepala Keira
dan tangan kirinya di punggung gadis itu, memeluknya
dengan erat. Dalam satu hentakkan Aldric mencium istrinya
dengan kasar. Keira mengatupkan bibirnya. Dalam beberapa

Flowers | 203
detik, mereka dalam posisi tersebut. Aldric meminta, Keira
menolak.
Tubuh mereka terdorong, sampai terhimpit dinding. Ruang
gerak Keira semakin sempit. "Al, lepaskan. Kumohon!" ucap
Keira di sela-sela bibir Aldric yang terus menerus mencari
bibirnya. Sampai akhirnya, Aldric menarik dengan keras gaun
Keira hingga gaun itu robek dan memperlihatkan tulang
selangka Keira yang terbalut kulit yang putih. Dan itu
menjadi bulan-bulanan Aldric.

"Al!" Keira menjerit. Ia ketakutan. Ia sama sekali tak


mengerti apa yang sedang terjadi. Aldric terus menerus
menciumi lehernya, sampai akhirnya bibir suaminya itu
mencapai kening, hidungnya, bibirnya dan matanya.

Aldric berhenti ketika ia merasakan rasa asin dari air mata


Keira. Pelukannya melemah. Ia mendengar Keira menangis
tertahan. Aldric mengusap air mata yang mengalir di pipi
Keira. "Maaf," lirih Aldric. Sayangnya, Keira tak peduli
dengan ucapan suaminya itu. Ia mendorong Aldric dengan
keras dan berlari keluar kamar. Aldric terduduk lesu di sisi
dinding. Ia menatap kosong ke arah ubin. Ia tidak tahu, setan
mana yang merasukinya barusan. Ia merasa menjadi orang
paling berengsek sedunia.

***

Sama halnya dengan Aldric, Keira pun tak tahu apa yang
merasuki suaminya itu. Keira tak pernah melihat Aldric

Flowers | 204
sekasar itu kepadanya. Meskipun seringkali kalimat lelaki itu
kerap menyakitkan. Tapi, ia tidak menyangka, Aldric
benarbenar bisa lepas kendali.

Kesempatan ketika Aldric mulai melemah tidak disia-siakan


oleh Keira. Hanya satu dalam pikirannya, adalah pergi
menjauhi Aldric. Maka, ia mendorong suaminya tanpa
perlawanan dan keluar dari kamarnya sendiri. Ia tidak tahu
harus bersembunyi di mana, karena ia sudah tak merasa aman
di rumah ini. Ia pun tak bisa pulang ke rumah orang tuanya
keadaan seperti ini. Ia tidak bisa ke mana-mana. Satu-satunya
tempat yang ia pikirkan adalah ruang kerja Aldric. Ia masuk
ke dalam sana dan duduk di sofa sambil menangis. Keira ingat
benar bagaimana raut wajah suaminya. Wajahnya memerah
begitu pula dengan matanya. Seakan-akan, Aldric bisa
membunuh siapa saja saat itu. Tubuh Keira gemetar
mengingatnya. Tulang-tulangnya seperti terlepas semua,
begitu pula dengan hatinya. Berserakan. Ia ketakutan
melebihi apa pun. Keira sama sekali tidak tahu letak
kesalahannya, sehingga Aldric harus menghukumnya
sedemikian jauh.

Air mata Keira terus mengalir. Ia sesenggukan sampai


akhirnya, air matanya kering karena terlalu lama menangis. Ia
jatuh tertidur di atas sofa. Tak lama setelah ia tertidur, Aldric
muncul di ruang kerjanya. Ia tahu bahwa Keira berada di sana.
Lelaki itu membawa baju untuk Keira. Aldric menunduk
melihat Keira tertidur pulas dengan memeluk tubuhnya yang
setengah telanjang. Aldric melihat bekas air mata yang belum

Flowers | 205
benar-benar mengering pada wajah Keira. Ia mendesah,
mengerutkan keningnya. Ia amat menyesal dengan apa yang
ia lakukan tadi.

Aldric melebarkan baju yang ia bawa ke tubuh Keira. Saat


itulah, pergerakan tangannya membuat Keira terbangun.
Kedua mata perempuan itu nampak terkejut, ia refleks bangun
dan sedikit meronta. Aldric memegang kedua tangan Keira."
Hei, ini aku," ucap Aldric. Saat itulah, Keira diam tidak
melakukan apa pun.

"Maaf," ucap Aldric, tulus. Mereka saling memandang.


Kedua tangan Keira dalam genggaman tangan Aldric. Aldric
merasakan tubuh Keira masih gemetar. "Maaf," ucapnya
sekali lagi. Ia sadar, berapa kalipun ia berucap, ia masih tetap
bersalah. "Aku tidak tahu dengan apa yang aku perbuat."
Keira terdiam, napasnya pendek-pendek. Ia menelan ludah,
menggigit bibirnya. Ia tidak bisa berpikir saat ini. "Aku
membawakanmu pakaian," ucap Aldric. "Kau bisa istirahat di
sini, kalau kau mau." Aldric mengambil jeda kalimatnya.
"Sampai kau merasa tenang. Aku akan ada di kamarku."

Aldric tersenyum kecut, ketika mendapati Keira hanya


berdiam diri. Tanpa menyahut satu kata pun. Padahal, Aldric
berharap Keira akan menamparnya, memakinya atau apa pun.
Ia pantas mendapatkannya. Tapi, Keira memilih diam.
Matanya kosong, tak terbaca. Aldric hendak meninggalkan
istrinya itu, tapi tangan Keira terulur menyentuh lengannya.
"Kau hanya perlu meminta," lirih Keira. Ia menengadah,

Flowers | 206
melihat ke arah Aldric. "Jika kau ingin, kau hanya perlu
meminta." Keira menggigit bibirnya. "Aku mau," katanya.
"Hubungan layaknya suami istri. Aku mau."

Aldric tertegun. Selama beberapa detik ia tak mencerna apa


yang dikatakan oleh Keira. Detik berikutnya, ia mengerti.
Keira menginginkan hal yang sama dengannya. Maka, ia
segera mendekati istrinya itu. Menyentuh kedua pipinya.
Kemudian, mencium bibir Keira dengan lembut. Awalnya,
Keira masih takut, tapi kemudian istrinya itu pun
membalasnya. Aldric merasa Keira mengijinkannya untuk
melakukan hal lebih jauh.

Tubuh Aldric menghimpit tubuh Keira, di atas sofa. Mereka


berciuman dengan mesra, dengan napas saling memburu dan
menginginkan. Kemudian, Aldric melepaskan ciumannya,
menatap lurus ke arah Keira. Mencari-cari keterpaksaan.
Tapi, Aldric hanya melihat keinginan yang sama. "Kau
yakin?" tanya Aldric, meyakinkan Keira. Terlebih lagi
dirinya sendiri.

Keira mengangguk. Mengizinkan suaminya melakukan hal


yang seharusnya. Sesuatu yang sekian lama mereka tahan,
kini keluar sebagaimana mestinya.

Tanpa keterpaksaan. Tanpa keraguan. Keira memberikan


segalanya. Segalanya.
***

Flowers | 207
BAB ENAM BELAS

Kali pertama Meira menceritakan pengalaman malam


pertamanya di kafe waktu itu, Keira hanya menggelengkan
kepala sembari tertawa kecil. Ia tak habis pikir, kenapa Meira
begitu antusias bercerita bagaimana perasaannya. Bagaimana
bahagianya dia ketika pada akhirnya, Meira menyerahkan
seluruh hidupnya pada suaminya. Keira ikut bahagia,
sekaligus merasa ngeri ketika Meira bercerita, sakitnya luar
biasa.

Saat itu, Meira baru kembali dari bulan madu. Ia mengambil


cuti untuk tidak bekerja di kafe selama sebulan penuh. Selama
sebulan itu pula, mereka tak saling bertemu. Baik Keira
maupun Lena, tak berniat untuk mengirimi Meira pesan.
Mereka berdua menahan diri untuk tidak mengutarakan rasa
penasaran mereka. Sampai akhirnya, Meira muncul di
ambang pintu kafe, ketika kafe penuh. Dia tersenyum lebar,
wajahnya memerah. Keira melihat suami Meira
meninggalkan kafe.

Memori mengenai apa yang diceritakan Meira, mencokol di


kepala Keira. Saat itu, ia tak bisa membayangkan seluruhnya,
karena tak pernah tahu bagaimana rasanya.

Pagi ini, Keira merasakannya. Bukan sakit pada salah satu


anggota tubuhnya yang ia rasakan, yang membuat dadanya
berdebar. Melainkan karena ia terbangun dalam keadaan

Flowers | 208
tengah dipeluk oleh suaminya. Pelukan hangat yang selama
mereka menikah, belum pernah ia rasakan.

Dadanya membuncah, ada kenyamanan yang ia rasakan


ketika kulit hangat Aldric menyentuh kulitnya. Keira ingin
rasanya pagi itu tidak datang, agar ia bisa terus bersama
suaminya lebih lama lagi. Ia takut, saat seperti ini tak akan
terulang kembali. Tapi, dalam keyakinan Keira, setelah ini
hubungannya dengan Aldric akan membaik. Ia harap seperti
itu.

Keira merasakan kehangatan lengan Aldric, memandang dada


Aldric dengan wajah bersemu merah. Ia menggerakkan
tangannya, untuk menyentuh dada Aldric yang kekar.

Namun, belum sempat jemarinya menyentuh kehangatan


kulit suaminya, tubuh Aldric bergerak dan membuat Keira
memejamkan mata. Hal itu, reflek ia lakukan.

"Buka matamu," ucap Aldric, ketika mendapati Keira


memejamkan mata. Dia tersenyum tipis. Lengannya masih
dijadikan bantal untuk kepala Keira. Ia menyibakkan rambut
istrinya dengan tangan yang lain," aku tahu kau sudah
terjaga." Ia berbisik di telinga Keira dan itu membuat Keira
semakin memerah.

Perlahan, Keira membuka matanya dan mendapati suaminya


tengah tersenyum ke arahnya. Ia membalas senyum Aldric
dengan malu-malu. Kemudian, Keira menggigit bibir

Flowers | 209
bawahnya, teringat dengan apa yang mereka berdua lakukan
semalam. Mendadak wajahnya memanas. Keira sadar, Aldric
tengah berpikiran serupa karena senyum di wajahnya
menghilang digantikan dengan tatapan penuh keinginan.
"Sudah pagi," lirih Keira. Aldric mendekatkan wajahnya,
mencuri cium ke bibir bawah Keira. Keira memejamkan mata
sejenak.

"Pagi," ucap Aldric usai melepaskan ciuman singkatnya.


"Jadi, bagaimana caranya kita keluar dari sini?" tanyanya. Ia
tertawa kecil. Semalam, mereka menggunakan gorden di
ruang kerjanya untuk menutupi tubuh keduanya. Seharusnya,
sebelum keduanya terjaga, ia mengenakan pakaiannya
kembali. Sekarang, ia kebingungan bagaimana keduanya
akan menutupi tubuh masing-masing.

Keira tertawa kecil mendengar ucapan suaminya. "Kita


terjebak," sahutnya. Keduanya tertawa. "Apa aku duluan yang
keluar? Kau bisa memejamkan matamu."

"Tidak," sahut Aldric. "Aku tidak bisa memejamkan mata.


Yang benar saja," tukas Aldric sembari tertawa kecil.
"Bagaimana kalau kita keluar dari selimut menyebalkan ini
bersama-sama?"
"Tidak."
"Kenapa tidak? Kita suami istri. Lagipula, aku sudah melihat
...," Keira mencubit pinggang Aldric. "Aww!"
"Kau dulu yang keluar dan pakai pakaianmu. Aku akan
menutup mataku," usul Keira.

Flowers | 210
"Kau yakin bisa?" Aldric meragukan.
"Ya, aku yakin."
"Aku tidak percaya."
"Cepatlah, sudah siang. Kau harus bekerja," sahut Keira.
"Bagaimana kalau hari ini aku tidak ke kantor saja?"
"Kenapa?"
Aldric menyentuh telinga Keira. "Aku ingin lebih lama
bersamamu."
Keira menahan senyumnya, wajahnya memanas. "Cepatlah,
Al."
"Baiklah, tutuplah matamu, Kei," perintah Aldric. Keira
cepat-cepat menutup matanya dan memegang erat-erat
selimut dari gorden di tubuhnya agar tidak terlepas. Aldric
tersenyum dan menggerakkan tubuhnya untuk turun dari sofa.
Dengan cepat, Aldric memunguti pakaiannya yang
berserakan beserta pakaian Keira. Ia mengenakan celananya.
"Jangan mengintip."

"Tidak," sahut Keira.

Aldric tersenyum dan meletakkan pakaian Keira di atas meja.


"Jangan buka matamu, aku masih telanjang," ucap Aldric,
menggoda Keira. Mendengar hal itu, Keira merapatkan
matanya. Lagi-lagi Aldric tertawa. Ia mendekati Keira dan
mengecup kening istrinya itu.

"Sekarang kau bisa membuka matamu."

Flowers | 211
Keira melihat wajah Aldric di atasnya, tersenyum. Ia
membalas senyum suaminya. Lalu, Aldric beranjak
meninggalkan Keira yang masih di atas sofa berselimutkan
gorden.

***

Ibunya selalu berkata untuk melakukan segala hal sewajarnya


saja. Secukupnya. Sedih secukupnya, tertawa secukupnya,
menangis secukupnya dan bahagia secukupnya. Agar segala
sesuatunya berjalan sesuai takarannya dan seimbang.
Menurut kepercayaan ibunya, apabila kita terlalu bahagia
akan sesuatu, kebahagiaan itu akan cepat menghilang. Keira,
tak pernah mempercayai hal itu.

Sampai pagi ini, Keira tak pernah mempercayainya. Tidak


setelah ia menemukan fakta yang seharusnya ia ketahui, tetapi
ia melupakannya.

Siapa yang tidak bahagia ketika hubungan Keira dan Aldric


membaik. Sangat baik malahan. Kini, keduanya layak disebut
sebagai suami istri. Tentu, rona merah tak kunjung
menghilang dari kedua pipinya. Terlebih lagi ketika
mengingat bagaimana Aldric memperlakukannya semalam.
Tak sedikit pun penyesalan yang ia rasakan ketika
menyerahkan seluruhnya pada Aldric malam tadi. Segalanya
terasa sempurna dan pantas.

Flowers | 212
Aldric pantas mendapatkannya. Dia suamiku,batinnya. Ia
tersenyum kecil.

Keira masih duduk di atas sofa dan masih berselimutkan


kelambu. Ketika ia mengingat-ingat kejadian semalam, ia
mendengar pintu terbuka. Aldric muncul lengkap dengan
pakaian kerjanya.

"H-hai," seru Keira. Mendadak ia rikuh dan wajahnya lagilagi


bersemu. "Kau akan berangkat?" Ia membetulkan letak
kelambu yang menutupi tubuh polosnya. Ia mengutuk diri
sendiri karena tidak segera berpakaian dengan pantas. Ia
terlalu sibuk menikmati kebahagiaan sejak tadi. Aldric
tersenyum, ia masih berdiri di ambang pintu. "Kau belum
berpakaian."

"Ehm, y-ya," sahut Keira. "Maaf."

"Ambil semua waktumu," tukas Aldric. "Kau ... bebas tugas


hari ini," guraunya.

Keira tertawa. "Y-ya. Terima kasih."

"Tidak. Aku yang terima kasih."

Keduanya diam. Saling menatap. Kemudian, Aldric


memutuskan kontak. "Aku harus berangkat." Ia memutuskan
demikian, mencegah agar ia tak mendatangi Keira dan

Flowers | 213
mengambil satu dua kecupan kemudian berakhir seperti tadi
malam.

"Ya, cepatlah pulang," sahut Keira. Ia menggigit bibir


bawahnya.

Aldric mengangguk kecil, membetulkan letak dasinya,


berdeham kemudian menghilang dari balik pintu. Keira
mendesah pelan, kemudian ia melihat Aldric muncul kembali.
"Aku akan cepat pulang."

"Itu bagus."

Kali ini, Aldric benar-benar pergi. Keira tertawa kecil,


merasakan pipinya memanas. Ia menutupi wajahnya dengan
kedua tangannya.

"Astaga, astaga, astaga."

Keira menghela napas panjang, kemudian mengeluarkannya


perlahan. "Oke. Sekarang apa?" ia bertanya pada diri sendiri.
"Ah, iya. Berpakaian." Kemudian, ia melihat sekeliling.
Selama menjadi istri Aldric, ia hanya beberapa kali masuk ke
ruang kerja suaminya. Namun, baru kali ini dia benar-benar
berada di ruangan ini dalam waktu lama. Bahkan, ia bisa
melihat taman belakang dari sini. Tepat sofa yang ia duduki
ini menghadap ke arah jendela besar yang menghadap ke
taman belakang.

Flowers | 214
Hati Keira tergerak untuk melihat-lihat, ia segera mengganti
kelambu yang menutupi tubuhnya dengan kemeja putih yang
tergeletak tak jauh dari sofa. Kakinya ia biarkan telanjang.
Rambutnya ia biarkan tergerai. Samar, tubuh Keira terlihat
dibalik kemeja putih itu.

Jemarinya menyusuri meja kerja Aldric yang terbuat dari


kayu berkelir cokelat tua. Buku-buku berjajar di rak tinggi tak
jauh dari meja. Keira terus berjalan hingga ia memutuskan
untuk duduk di kursi di balik meja. Ia ingin tahu, bagaimana
rasanya duduk di kursi yang sering digunakan oleh Aldric
bekerja.

"Ah, begini rasanya," lirihnya. Ia tersenyum kegirangan.


Tangannya membuka-buka jurnal di atas meja kerja Aldric.
Keningnya mengkerut ketika melihat data-data di dalam
lembaran kertas itu. "Apa yang kau kerjakan, sih?" gerutunya.
Ia sama sekali tak mengerti.

Ketika hendak menutup kembali jurnal kerja milik Aldric


tersebut, ada sesuatu yang menyembul dari lembaran kertas.
Keira menarik benda tersebut. Kemudian, ia menyesali
perbuatannya.

Benda itu tidak besar, namun Keira bisa melihat dengan jelas
gambar yang tercetak di atas kertas itu. Sosok Aldric yang
melihat ke arah kamera dan seorang perempuan cantik yang
bergelayut mesra di pundaknya.
Keira tahu, perempuan itu adalah Melisa.

Flowers | 215
Mungkin, ini adalah hukuman untuk Keira karena terlalu
bahagia. Hukuman yang seharusnya tak perlu ia rasakan
seandainya saja ia tak menginginkan lebih dari Aldric.
Semestinya, ia langsung keluar dari ruang pribadi Aldric,
maka ini tak akan pernah terjadi.

Tapi, cepat atau lambat, Keira memang harus tahu.

***

Aldric sudah lupa, kapan kali terakhir ia berangkat kerja


dengan semangat seperti hari ini. Ia lupa, kali terakhir ia
menyapa seluruh karyawannya dan tersenyum kepada mereka
satu per satu. Dan, ia lupa bahwa rasanya menyenangkan bisa
mengawali hari ini dengan senyuman seperti ini.
Sampaisampai membuat Drupadi, sekretarisnya terheran-
heran. "Kau menang lotere?" sapanya. Ia masuk ke ruangan
Aldric. Atasannya itu tengah bersiul ringan ketika ia masuk.
"Seharusnya, kau mengetuk pintu terlebih dahulu. Di mana
sopan satunmu?" sindir Aldric.

"Sori. Kupikir kau sedang bahagia pagi ini, jadi hal semacam
sopan santun tidak perlu kulakukan," jawab Drupadi cuek.
"Ckckck."
"Sepertinya ada hal baik yang terjadi antara kau dan Keira,"
tebak Drupadi. Ia meletakkan beberapa berkas ke hadapan
Aldric. "Aku butuh beberapa tanda tanganmu," tukasnya.
Aldric membuka berkas tersebut satu per satu dan
membubuhkan tanda tangannya. "Kau tak memeriksanya

Flowers | 216
terlebih dahulu?" tanya Drupadi heran. Biasanya, Aldric
butuh waktu beberapa menit sebelum memutuskan untuk
meninggalkan tanda tangan di atas kertas.

"Aku percaya kau."

"Aku tahu itu," sahut Drupadi, "dan aku tersanjung. Selama


bertahun-tahun bekerja denganmu, baru kali ini kau berkata
demikian."
"Sebelum aku berubah pikiran,sebaiknya kau keluar, Dru.
Percayalah," sahut Aldric. Ia terkesan kesal dengan Drupadi,
tetapi ia hanya merasa perlu sendirian saat ini. Ia ingin...
mengirim pesan pada Keira bahwa ia sudah sampai kantor.
"Oke, Bos!" sahut Drupadi sembari mengambil berkas dari
tangan Aldric. Belum sampai Drupadi membuka pintu keluar,
Aldric memanggilnya.

"Kau tahu, di mana restoran dengan menu yang enak?" tanya


Aldric.
"Kau mau makan malam dengan klien? Atau dengan Keira?"
"Jawab saja, Dru. Jangan banyak tanya," dengus Aldric.
Drupadi tertawa kecil. "Cepatlah, atau aku tidak akan
memberi pesangon untuk anakmu nanti."

"Kukira Keira tak akan suka diajak makan malam di restoran


yang mewah," sahut Drupadi. "Kautahu, istrimu perempuan
sederhana. Tidak suka kemewahan atau semacamnya. Aku
lebih menyarankan kau mengajak dia ke tempat yang tak akan
membuatnya canggung."

Flowers | 217
"Aku tidak bilang akan pergi dengan Keira."
"Ayolah, Bos, aku asistenmu. Aku tahu semua jadwalmu dan
yang kutahu, kau sedang tak ada janji dengan kolega
manapun," Drupadi mengendikkan bahunya. Tersenyum
jahil. "Bagaimana?"

Aldric berdeham, membetulkan letak duduknya. Selama ini,


Drupadi selalu bisa tahu mengenai dirinya. Kalau saja mereka
berteman lama, mungkin Drupadi adalah perempuan yang
tepat untuk dinikahi Aldric. "Menurutmu," Aldric mengambil
jeda," aku harus mengajak Keira ke mana?"

Drupadi bersorak, ia mendekat ke arah meja Aldric dan


menarik kursi. "Aku selalu benar," ucapnya. "Aku punya
beberapa rekomendasi untukmu, Bos." Drupadi
mengeluarkan ponsel cerdasnya dan membuka aplikasi
instagram, di sana ia mencari salah satu akun kuliner
rekomendasi di Surabaya.

Selama dua puluh menit ke depan, mereka berdua asik dalam


diskusi.

***

Seperti yang dikatakan Aldric padanya, hari ini dia bebas


tugas. Ia bisa melakukan apa saja hari ini, tanpa perlu
menyiapkan keperluan Aldric. Keira sempat berencana untuk
menulis, melanjutkan novelnya yang tertunda. Ia berencana
demikian karena perasaannya sedang baik. Sayangnya,

Flowers | 218
sebelum ia menyentuh tuts keyboard komputer jinjingnya,
hatinya lebur. Ia tak tahu perasaan apa yang bersemayam
dalam hatinya saat ini. Hatinya melesak menciptakan sesak.

Berkali-kali ia menghela napas, berkali-kali pula ia


memandangi layar ponselnya. Di sana ada pesan dari Aldric
yang belum terbaca. Ia masih mengumpulkan sisa-sisa
bahagia tadi pagi. Rasanya, ia ingin marah kepada Aldric. Ia
ingin mencaci maki suaminya lantaran masih menyimpan
foto kenangan bersama mantan kekasihnya atau lebih buruk
lagi, Aldric masih menyimpan perasaan untuk Melisa. Tapi,
Keira bisa apa? Sejak awal pernikahan mereka bukan
pernikahan normal pada umumnya. Bukan sebuah pernikahan
yang dilandasi oleh cinta ataupun rasa nyaman. Pernikahan
yang mereka jalani merupakan satu-satunya jalan keluar yang
mereka punya.

Keira tak punya hak untuk melarang Aldric mencintai


siapapun. Ia sadar itu.

"Aku sudah menyerahkan segalanya," gumamnya. Kini,


Keira tengah berada di dalam kamarnya. Duduk menghadap
komputer jinjingnya. Seperti rencana awal, dia berusaha
menulis. Sayangnya, sejak dua jam lalu hanya layar kosong
yang ia hadapi.

Kali ini bukan pesan yang membuat ponselnya berdering,


melainkan telepon dari Aldric. Butuh waktu beberapa detik

Flowers | 219
bagi Keira untuk memutuskan menjawab telepon tersebut.
"H-hai ...," sapanya, berusaha tenang.

"Hai."
"Aku mengirimu pesan," ujar Aldric," tapi kau tak
membalasnya."
"Ah, maaf. Aku sedang menulis," sahut Keira. "Kau tahu,
kalau sedang menulis aku bisa menghiraukan segalanya," ia
mulai berdusta. Lagi.

"Termasuk menghiraukan suamimu?" protes Aldric.


"Sungguh, aku minta maaf," ucap Keira tulus. Maaf karena
berbohong. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Aldric
tertawa kecil."Aku hanya bergurau, bukan masalah besar."
Keira tersenyum kecil. Keduanya membisu, hanya terdengar
napas masing-masing.

"Kei."
"Ya?"
"Kau mau makan bakso?"

"Bakso? Sekarang?"

Aldric tertawa lagi. Terdengar jelas, mood lelaki itu sedang


baik. Keira senang mendengarnya. Namun tetap saja, hal itu
tak membuat sesak di dadanya menghilang. "Tidak sekarang.
Nanti malam."
Keira terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Kei?" Aldric menuntut. "Kau mau?"
Flowers | 220
Keira kembali teringat dengan foto Melisa yang ia temukan
di meja Aldric. Pikiran mengenai suaminya yang masih
belum bisa melepaskan Melisa mendesak pikirannya, hingga
membuatnya ngilu bukan main. Namun di sisi lain, ia ingin
bersama Aldric. Kenangan mengenai mereka berdua semalam
begitu kuat, begitu intim sehingga membuat sesak di dadanya
berangsur membaik. Nyatanya, Keira lebih memilih untuk
berpura-pura bahagia sampai ia lupa pada kenyataan.

Mungkin Aldric lupa membuang foto itu.

"Tentu, aku mau."

Ia bisa menolak, mulai menjaga jarak. Agar nantinya ia tak


perlu tersakiti lebih jauh lagi. Keira pun membuat pilihan.
Pilihan yang pada akhirnya akan menyakitinya. Seharusnya,
ia pergi selagi bisa.

Mungkin, ia adalah orang pertama yang berharap lebih atas


pernikahan ini.

***

Flowers | 221
BAB TUJUH BELAS

Aldric menjemput Keira di rumah. Istrinya itu sudah


menunggunya. Entah sejak kapan, Aldric merasa Keira sangat
menarik hati, membuat matanya tak bisa berpaling. Mungkin
sejak awal Keira memang menarik hatinya dan dia tak pernah
menyadari hal itu. Atau justru karena apa yang terjadi
semalam.

"Kita akan ke mana?" tanya Keira. Saat ini mereka berada di


Jl. Diponegoro, berhenti di salah satu lampu merah, sebelum
akhirnya Aldric membelokkan mobilnya ke Jl. Ciliwung.
"Kata Dru ada bakso enak di Suko Manunggal," jawab Aldric.
Ia fokus menyetir mobil namun beberapa kali tergoda
menoleh ke sebelah kiri, untuk melihat Keira. Ia merasa
seperti anak sekolahan yang tengah dimabuk asmara. "Aku
tidak tahu, kau akan suka atau tidak."

"Aku suka makan apa pun," sahut Keira. Ia tertawa kecil.


Tawanya disambut oleh Aldric.

"Ah, pantas saja tubuhmu menggendut," ledek Aldric. Keira


mengerutkan keningnya, Aldric tertawa.

"Benarkah?"
"Ya, semalam aku lihat perutmu agak buncit," balas Aldric.
Detik berikutnya, ia menyesali kalimatnya sendiri. Dia hanya
berniat menggoda Keira, tapi tanpa sadar justru membuatnya
canggung. Ah, sial.

Flowers | 222
Keira menggigit bibir bawahnya, wajahnya memerah
mendengar ungkapan Aldric barusan. Dia mengutuk
suaminya itu karena membuat suasana semakin canggung.
"Maaf," ujar Aldric.

Keira hanya mengangguk kecil. "Ya."

Selama perjalanan selanjutnya, mereka saling diam. Pikiran


Aldric maupun Keira berkecamuk tak keruan, mereka masih
teringat kejadian semalam. Memang, siapa yang akan bisa
melupakan malam pertama? Ya, meskipun malam pertama
mereka tidak direncanakan atau apalah istilah untuk malam
pertama karena sebuah pertengkaran.

Aldric menghentikan mobilnya di tepi jalan bersama


mobilmobil lainnya terparkir di sana. Di sebuah pelantaran
ruko yang sudah tutup, ada sebuah pedagang kaki lima
dengan spanduk apa adanya di depannya. Namun, jangan
salah. Pedagang kaki lima yang disebut "Bakso Omen Again"
itu ramai luar biasa. Di depan tenda seadanya itu, banyak
orang berbaris untuk mengantre. Mengambil bakso mereka
sendiri. Tak hanya terlihat dari bagaimana riuhnya warung
sederhana ini, tapi terlihat juga dari banyaknya kendaraan
yang terparkir di sana.

"Wow," begitu komentar Keira ketika melihat keriuhan yang


terjadi di depannya.

Flowers | 223
"Masih ramai seperti dulu," kata Aldric ketika sudah berdiri
di sebelah Keira. "Dru pernah mengajak kami ke sini, sekali."
Mereka berdua berjalan ke arah antrean, sedikit demi sedikit
antrean memendek.
"Kami?"
"Teman-teman kampus."
"Oh."
Sejak melihat foto Aldric bersama Melisa pagi tadi, membuat
Keira sedikit risau. Ah, tidak. Keira benar-benar risau. Ia
takut pembicaraan mereka akan mengingatkan Aldric akan
Melisa. Keira takut, perempuan itu masih menjadi pikiran
Aldric.
"Kei?"
"Y-ya?"
"Giliran kita," ujar Aldric. Ia menaikkan kedua alisnya,
menatap heran ke arah Keira.

"Ah ya," lirih Keira. Ia mengambil dua mangkuk dan


menyerahkan satunya pada Aldric. Mereka mengisi mangkuk
masing-masing dengan mie kuning, irisan kembang kol, dan
bawang goreng.

"Ini bakso apa, Pak?" tanya Aldric pada penjual bakso, ketika
mereka berdua sudah berada di hadapan berbagai macam
pilihan bakso.
"Bakso isi keju," jawab si penjual.
"Kau mau?" tanya Aldric kepada Keira. Istrinya itu
mengangguk, kemudian Aldric mengambil satu buah bakso
isi keju dan memasukkan ke mangkuk milik Keira. Mereka

Flowers | 224
memilih bakso masing-masing, membayarnya, kemudian
duduk bersila pada tikar di halaman toko yang tutup.

Aldric melepaskan jas berkelir abu tua yang ia kenakan dan


menyingsingkan lengan kemeja berkelir biru laut, sebelum
mulai memakan bulatan bakso. Ia memperhatikan bagaimana
Aldric begitu menikmati makan malamnya penuh gairah.
Sampai-sampai, lelaki itu tak sadar sedang ia perhatikan.
Keira menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

Memori mengenai Melisa, kembali tebesit dalam benaknya.


Apa Aldric masih memikirkan perempuan itu? Ke mana
perempuan itu pergi? Dan kenapa mereka berpisah? Ada
banyak pertanyaan yang berkecamuk yang ingin dia tanyakan
pada Aldric, namun Keira sadar pernyataanpernyataan itu
akan membunuhnya secara perlahan. Kenyataan yang
seharusnya tidak ia ketahui.

Maka, Keira memilih bungkam.

***

Bohong apabila Keira sudah melupakan apa yang ia lihat tadi


pagi. Aldric terlihat bahagia dalam foto itu, begitu pula
Melisa. Keira tak bisa melupakan bagaimana cantiknya
perempuan itu. Matanya yang tegas sekaligus lembut,
bibirnya yang tipis berbalut lipstik marun dan pipinya yang
tirus. Yang paling terlihat adalah bagaimana kurusnya
perempuan itu. Ah, tidak. Perempuan itu tidak terlalu kurus,

Flowers | 225
pun tidak gemuk. Seakan segala yang dimiliki Melisa adalah
impian setiap wanita.

Mendadak kepercayaan diri Keira menurun drastis.


Tidak percaya diri bukanlah sifat Keira, dibanding dengan
Kaira, ia jauh lebih percaya diri dalam bidang apapun. Selama
ini ia selalu menjadi perempuan yang ceria dan penuh ambisi.

Menjadi penulis novel merupakan salah satu ambisinya. Ia


sering menulis di kafe untuk mendapatkan inspirasi, maka
karena hal tersebut ia ingin memiliki kafe-nya sendiri. Keira
menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
Ia tak pernah merasa serendah ini.

Padahal, Keira baru mengenal Melisa melalui selembar


kertas. Ia sama sekali tak mengenal wanita itu secara
personal, namun ia sudah merasa runtuh.

"Kei."
Keira menoleh. Mereka masih berada dalam mobil. Sejak
tadi, Keira hanya diam dan memandang keluar jendela. Hal
ini membuat Aldric gelisah. Bertanya-tanya, apa yang terjadi
dengan istrinya. Perempuan itu benar-benar membuatnya
frustrasi.
"Sudah sampai."

"Oh." Keira melepaskan sabuk pengamannya, kemudian


membuka pintu dan keluar dari mobil. Semua hal yang

Flowers | 226
dilakukan Keira diperhatikan oleh Aldric. Bahkan, sejak tadi
Aldric hanya memperhatikan istrinya itu.

"Kei," Aldric melakukan hal yang sama dan menyusul Keira.


Kini, mereka saling berhadapan. Ada raut kebingungan di
wajah Keira, yang membuat Aldric semakin bertanya-tanya.
Ia kembali mengingat-ingat, adakah kesalahan yang ia
lakukan pagi tadi. Seingat Aldric, Keira menikmatinya. Sama
seperti dirinya.

"Ada apa?" tanya Aldric. Dia menatap lurus ke arah kedua


mata Keira. Mencari-cari jawaban di sana. Tapi Aldric tahu,
ia tak bisa menebak Keira. Ia selalu salah mengenai wanita
yang dinikahinya itu. "Apa karena kemarin malam?"

"Ah, tidak," Keira menjawab sembari tersenyum kecil.


"Tidak ada apa-apa."

"Kau yakin?" cecar Aldric. Lelaki itu menelan ludah. "Bukan


karena kau menyesal, kan?" Aldric benar-benar terdengar
frustrasi. Di detik ini dia kehilangan rasa percaya dirinya.
Lagi-lagi, Keira tertawa. Wajahnya memerah.

"Aku serius."

"Tentu saja tidak, Al," jawab Keira. Ia menggigit bibir


bawahnya. Mengingat apa yang terjadi semalam, benar-benar
membuat ia canggung." Bagaimana dengan kau?"

Flowers | 227
Dada Keira berdebar ketika menanyakan hal tersebut.
Pertanyaan yang seharusnya tak usah ditanyakan. Keira
hendak berkata, namun Aldric sudah meraih kepala Keira dan
mencuri cium. Selama beberapa detik mereka berciuman, tak
peduli bila mereka masih berada di halaman rumah. Aldric
melepaskan ciumannya. Napas mereka memburu, jantung
saling berpacu. Keira menelan ludah, membasahi bibirnya.
Kedua kening mereka saling bersentuhan. Kedua tangan
Aldric berada di sisi kepala Keira.

"Aku menikmatinya," ucap Aldric, di sela-sela usahanya


menahan diri. "Mana mungkin aku menyesal?" ia tersenyum.
"Itu bagus," komentar Keira.

Aldric baru saja ingin mencium Keira lagi, tetapi ponsel


miliknya berdering. "Sial," umpat Aldric. Ia merogoh saku
kemejanya dan melihat siapa yang menghubunginya di saat
yang tepat. "Dari Dru."

Keira mengangguk," Aku masuk duluan, sampaikan salamku


padanya."

Aldric mengangguk dan mengangkat telepon dari asistennya


itu.

"Bos, aku melihat Melisa."

***

Flowers | 228
BAB DELAPAN BELAS

Dua ketukan samar membangunkan Keira. Matanya


mengerjap beberapa kali, sebelum kesadarannya penuh.
Sebelum ia menyadari, ketukan tersebut berasal dari pintu
kamarnya. Dengan langkah gontai dan sesekali menguap, ia
membuka pintu tersebut.

"Pagi," sapa Aldric. Lelaki itu sudah berdiri di depan pintu


kamar Keira, ketika pintu itu dibuka. Aldric terlihat segar,
meskipun sepagi ini. Lelaki itu mengenakan kaus berwarna
putih dan celana olahraga berkelir biru tua.

"Pagi," sahut Keira parau. Mendengar suara Keira yang tak


begitu jelas, membuat Aldric tertawa kecil. Terlebih lagi,
melihat wajah kusut Keira dengan rambut acak-acakan.
Tangan Aldric terulur menyentuh helai-helai rambut yang
berantakan itu, membetulkannya agar terlihat lebih baik. Hal
ini membuat desir halus di hati Keira. Demi apa pun, dia tak
rela kehilangan kenangan ini.

"Cuci muka, gih. Aku tunggu di bawah," ujar Aldric. Dia


menyentuh kepala Keira sekali lagi, sebelum berjalan
menjauh.

"Aku tak tahu kau suka lari pagi," komentar Keira. Mereka
berlari beriringan di komplek perumahan. Keira sedikit
kesusahan mengikuti langkah kaki Aldric, padahal suaminya
itu sudah berusaha menyamakan langkah kaki mereka.

Flowers | 229
Tetapi, Keira berkali-kali berjalan, alih-alih berlari. "Kau
lamban sekali," ledek Aldric, alih-alih menanggapi komentar
Keira, ketika melihat wanita itu berhenti dan meletakkan
kedua tangannya di paha. "Pantas saja perutmu buncit."

"Sejak kemarin kau selalu membahas perutku," gerutu Keira.


Ia sedikit malu sekaligus kesal karena hal tersebut. Tiba-tiba
ia merasa sangat gendut.

Aldric tertawa. "Cepatlah. Aku ingin segera sarapan." "Kalau


kau ingin sarapan, kenapa mengajakku lari pagi?" protes
Keira.

Aldric berbalik, menghadap Keira. "Aku ingin makan


bubur."Aldric mengulurkan tangannya, menyentuh puncak
rambut Keira. "Jadi, cepatlah."

"Akhir-akhir ini, kau sering sekali menyentuh kepalaku."


"Kenapa? Apa itu membuat hatimu berdebar?" goda Aldric.
Wajah Keira bersemu merah.

"Yang benar saja," jawab Keira sembari berlari kecil


meninggalkan Aldric. Suaminya itu tersenyum dan
menyusulnya.

"Kau mau bertaruh denganku?" Aldric berkata ketika sudah


sejajar dengan Keira. Lagi pula, tak sulit menyusul istrinya
itu. Perempuan itu jarang berolahraga, sehingga
pergerakannya sangat lamban.

Flowers | 230
"Apa?"
"Kalau kau kalah, kau yang traktir makan bubur," ucap Aldric
sambil berlalu mendahului Keira.

"Hei, aku belum setuju!" seru Keira. Meskipun begitu, dia


tetap berlari mengejar suaminya. Sesekali Aldric mengalah,
namun tak jarang dia berlari mendahului Keira. Hingga
mereka berdua sampai di ujung komplek perumahan, tempat
bubur ayam langganan Aldric.

Tentu saja, Aldric yang mentraktir Keira, meskipun jelasjelas


Keira kalah.

***

"Kau curang, Al," gerutu Keira. Ia terus menerus menggerutu


sepanjang jalan pulang, meskipun ia tidak mengeluarkan
uang sama sekali untuk membayar dua mangkuk bubur ayam
dan dua teh panas. Tetap saja, Keira kesal karena kalah
dengan Aldric.

"Ckckck, kau tak jadi mentraktirku, tapi tetap menggerutu


seperti itu."

Mereka berjalan beriringan menuju rumah. Keira sudah tak


punya tenaga untuk berlari. Maka, Aldric menurut dan
memilih berjalan kaki menemani istrinya.

Flowers | 231
"Kau mengajakku lomba lari, sedangkan aku jarang olahraga
dan kau rajin," Keira mengambil jeda," ah, aku hampir tak
pernah olahraga." Ia menarik napas dan mengeluarkannya.
Tanpa sadar, Keira memasang wajah cemberut. Di mata
Aldric, saat ini Keira terlihat sangat menggemaskan. "Itu
curang kau tahu?"

Aldric tertawa lepas. Keira senang melihat Aldric tertawa


seperti sekarang. "Kau yang jarang berolahraga dan kalah,
tapi kau menyalahkan orang lain?"

"Lalu, ini salahku?" Keira tak mau kalah. "Kau yang


mengajakku lari pagi, padahal aku ingin bangun siang. Dan
kau pula yang tiba-tiba mengajak bertaruh padahal aku belum
setuju."

Langkah kaki Aldric berhenti. Dia menghadap ke arah Keira


yang berhenti juga seperti dirinya. "Kita akan berdebat
sampai kapan? Kau benar-benar keras kepala." Dia
menggeleng, heran dan kembali berjalan.

Keira berlari kecil menyusulnya. "Kaubilang aku keras


kepala? Tidak salah?" Ia sama sekali tidak tahu, kenapa ia
menjadi seemosi ini. Padahal apa yang mereka perdebatkan
hanya masalah sepele. Mendadak, Aldric kembali berhenti
dan hal ini membuat kepala Keira menatap punggung Aldric.

"Kau mau aku menciummu di sini?"

Flowers | 232
"Hah?"
"Oke," Aldric menundukkan kepalanya, berniat menggoda
Keira seakan-akan dia akan menciumnya di jalanan seperti
ini. Keira terkejut dengan tindakannya dan mundur
selangkah. Siapa menduga kalau di belakang Keira ada
undakan kecil taman warga. Hal itu membuat Keira hampir
jatuh, untung saja dengan sigap Aldric menangkapnya.
Jantung Keira berdegup kencang karena hampir terjatuh.
Sungguh, kalau saja Aldric tak segera menariknya mungkin
saat ini ia sudah jatuh telentang. Tapi, justru posisi mereka
sekarang membuat Keira lebih jantungan.

"Sekarang kita seperti di drama-drama Korea," tukas Aldric


sembari menarik sudut-sudut bibirnya. Keira sedikit meronta
dan akhirnya ia berhasil melepaskan pelukan Aldric.

"Kau hampir membuatku terjatuh, Al."

"Tapi itu tidak terjadi."

Keira masih kesal, tentu saja rasa kesalnya itu tidak serius.
Dia berjalan cepat meninggalkan Aldric di belakangnya.
Bukannya mencoba menenangkan Keira, Aldric justru
tersenyum puas bisa membuat Keira kesal seperti itu.

"Menyenangkan sekali."

***

Flowers | 233
"Double date?"

Samar-samar, Aldric mendengar suara Keira dari ruang


televisi. Istrinya itu sedang berada di dapur, bersama Bi
Endah. Keira tengah membuat dua cangkir cokelat panas
dengan ponsel di telinga kirinya. Sedangkan Bi Endah
membuat pisang goreng. Di luar rumah sedang hujan deras
dan Keira berinisiatif membuat cokelat panas dan menyuruh
Bi Endah membuat pisang goreng.

Adalah Kaira yang sedang berbincang dengan Keira saat ini.


Aldric merasa tertarik dengan pembicaraan kakak beradik itu,
sembari mata terus melihat ke layar televisi, sedangkan
telinganya awas mendengarkan Keira berbicara.

"Tidak-tidak. Jangan konyol, Kai," tolak Keira. "Kita sudah


bukan abege lagi. Kakak tidak suka hal semacam itu." Kaira
memiliki ide untuk jalan-jalan berempat. Dia dengan Yoga
dan Keira dengan Aldric. Menurut Kaira itu ide bagus,
mengingat dia dan kakaknya sudah jarang keluar bersama.
"Oke, kalau kau rindu keluar dengan kakak, tetapi tidak
double date."
"Lagipula, Mas Al tidak akan mau melakukan hal konyol
semacam itu," tambah Keira.

"Aku mau." Keira terlonjak mendengar suara Aldric di


dekatnya. Ternyata, Aldric sudah berdiri tepat di

Flowers | 234
belakangnya. Jantung Keira hampir saja menjatuhkan
ponselnya.

"Kau membuatku kaget, Al," tukas Keira sebal. Dia kembali


menempelkan ponsel ke telinganya. Di seberang sana, Kaira
sudah kegirangan karena ikut mendengar Aldric berkata
demikian. "Mas Al tidak serius, jangan kegirangan seperti
itu."

"Aku serius," sahut Aldric. Ia mengulurkan tangannya


melewati sisi tubuh Keira, mengambil secangkir cokelat
hangat yang berada di belakang istrinya. Mau tak mau, tubuh
Aldric merapat ke arah Keira.

"Apa yang kaulakukan?" ujar Keira. Aldric akhir-akhir ini


suka sekali menggodanya. Keira melihat ke arah Bi Endah
yang berada tak jauh dari mereka. Bi Endah tersenyum
sembari meletakkan pisang goreng yang sudah kecokelatan di
atas piring.

Aldric menarik sudut bibirnya, dengan tenang berkata,


"Mengambil cangkir." Keira mendengus kesal. Lalu,
ponselnya berpindah tangan ke tangan Aldric. "Hai, Adik
Ipar," sapanya pada Kaira. Keira ingin merebut ponselnya
kembali, namun Aldric terlalu tinggi untuk dia tandingi. "Atur
saja kapan dan di mana, aku punya banyak waktu." Keira bisa
mendengar jeritan samar Kaira. Setelah Keira berhasil
merebut kembali ponselnya, telepon dengan Kaira sudah
berakhir.

Flowers | 235
"Kenapa kau harus setuju?" protes Keira.

"Kenapa tidak?"

"Kita sudah tidak abege lagi, Al," sahut Keira. Menurutnya,


melakukan hal-hal semacam itu sudah bukan milik mereka
lagi. Mereka sudah terlalu tua untuk berkencan layaknya anak
SMA. "Kupikir kau laki-laki yang tak akan mau melakukan
hal semacam ini."

"Memang," sahut Aldric santai. Dia berbalik dan mengambil


satu buah pisang goreng dari atas piring yang ditata Bi Endah
tadi. Dia menikmatinya, tanpa peduli Keira yang kesal di
belakangnya.

"Lalu, kenapa kau mau?"

"Kau sendiri ..."Aldric mengambil jeda, mengunyah pisang


gorengnya, kemudian menelannya, "kenapa tidak mau? Apa
karena takut bertemu dengan Yoga?" tanyanya, sembari
berbalik melihat ke arah istrinya.

Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Aldric


menunggu jawaban dari Keira, sedangkan Keira tak mengira
Aldric masih membahas masalah Yoga.

"Aku tidak takut," jawab Keira pelan dan tegas.

Flowers | 236
"Oh, ya?" cibir Aldric. "Kalau begitu, kita double date."
"Oke."
Aldric adalah orang pertama yang memutus kontak mata
mereka. Dia keluar dari dapur sembari membawa cangkir
cokelat yang dibuatkan Keira.

***

Keira sama sekali tak mengerti, kenapa Aldric masih


membawa nama Yoga di antara mereka. Hal ini membuat
Keira tidak nyaman, terlebih lagi setelah apa yang terjadi di
antara keduanya beberapa hari yang lalu. Seharusnya,
hubungan mereka jauh lebih baik. Bahkan Keira tak
mengungkit masalah Melisa di hadapan suaminya, meskipun
banyak hal yang ingin diketahuinya. Semua itu demi
kelangsungan hubungan mereka.

Kelangsungan hubungan? Memangnya, apa yang Keira


harapkan? Tanpa disadarinya, Keira sudah berharap lebih
dengan pernikahannya.

Ia tak tahan lagi, akhirnya Keira menyusul-dengan membawa


sepiring pisang goreng-Aldric yang keluar dari dapur menuju
ruang televisi. Ia melihat suaminya itu duduk di sofa setelah
meletakkan cangkir berisi cokelat hangat di atas meja.
"Kenapa kau harus membawa-bawa nama Yoga?" seloroh
Keira, setelah meletakkan piring berisi pisang goreng ke atas
meja. Dia duduk di sofa, sebelah Aldric. Suaminya menoleh.
Lelaki itu tak langsung merespon. Keira jengah. "Setelah apa

Flowers | 237
yang terjadi dengan kita, kau masih mengungkit soal Yoga?"
"Memangnya apa yang terjadi dengan kita?" tanya Aldric
santai. Dia mengambil sepotong pisang goreng dan
memasukkannya ke dalam mulut. Kini, wajahnya terlihat lucu
karena pipinya mengembung. Hampir saja membuat Keira
melupakan amarahnya.

Karena merasa tak dipedulikan, Keira beranjak dan


meninggalkan Aldric. Ia berencana ke kamarnya, melakukan
apa pun hal yang dapat membuat amarahnya reda. Ia menaiki
tangga dengan tergesa, berjalan cepat menuju kamarnya.
Tetapi, sebelum ia sampai di depan pintu kamarnya. Aldric
sudah berhasil menyusul dan menghadangnya.
"Kau belum menjawab, apa yang terjadi dengan kita?"
tuntutnya.

Keira memutar bola matanya, hendak terus berjalan. Namun,


Aldric mencegahnya. "Kau sendiri yang ingin membahasnya.
Oke. Kita bahas sekarang. Jangan pakai lari."
"Aku tidak lari," protes Keira. "Aku tidak ingin ikut acara
double date atau apalah itu yang direncanakan Kaira dan kau
jangan mengambil keputusan sendiri seperti itu." Aldric
hendak bicara, namun ia menyela," dan ini tidak ada
hubungannya dengan Yoga."
"Aku tidak sedang membicarakan Yoga. Aku bertanya,
memangnya apa yang terjadi dengan kita?"

"Terserah kau saja, Al," Keira memanyunkan bibirnya. Ia


kesal, namun juga merasa malu. Memangnya apa yang terjadi
Flowers | 238
dengan mereka? Haruskah Keira membahas mengenai
"kecelakaan" malam itu?

Hal yang paling membuat Keira kesal adalah nampaknya


Aldric sama sekali tak peduli dengan malam itu. Mungkin,
bagi laki-laki hal semacam itu adalah hal biasa, apalagi
mereka memang suami istri. Apa istimewanya? Dan, Keira
kembali mengingat foto Melisa yang masih disimpan oleh
Aldric. Dia mendesah, berjalan gontai meninggalkan Aldric
di belakangnya. Di depan pintu kamarnya, dia berhenti. Dia
menunduk, tapi ia tahu Aldric berdiri tak jauh darinya.
"Aku ingin bertanya padamu."

"Apa?" Aldric menjawab. Keira mendengar suara langkah


kakinya mendekat.

"Malam itu, apa tidak ada artinya apa-apa bagimu?" Keira


menggigit bibir bawahnya. Ia tak sanggup membalikkan
badan. Ia terlalu takut melihat wajah Aldric ketika menjawab
pertanyaannya. Paling tidak, jika Aldric menjawab jawaban
yang tak ingin didengarnya, Keira bisa langsung membuka
pintu dan masuk.

"Balikkan badanmu, Kei," pinta Aldric.


"Tidak. Jawab saja."

"Aku akan menjawab kalau kau membalikkan badanmu."


"Tak perlu kau jawab," sahut Keira. Ia mendorong pintu
kamarnya, hendak melangkah masuk.

Flowers | 239
"Ada," tukas Aldric. "Sekarang lihat aku."

Secara perlahan, Keira membalikkan badan. Dia mengangkat


wajahnya dan melihat ke arah Aldric. Suaminya itu sudah
menarik sudut bibirnya, menatap ke arahnya. Keira
kebingungan dan menjadi salah tingkah.

"Jangan menatapku seperti itu."

"Mukamu merah."

"Iya, makanya jangan menatapku seperti itu. Astaga." Aldric


tertawa, dia mendekat ke arah Keira. "Dengar, aku tidak tahu
apa yang kaupikirkan. Tapi malam itu ...," dia mengambil
jeda, "sangat berarti bagiku." Aldric meletakkan dahinya di
dahi Keira, kedua tangannya berada di bahu istrinya.
"Hmmm, bisakah kita melakukannya lagi?"

Keira menengadah. Ia melihat ke arah Aldric. Sedikit terkejut


karena lelaki itu meminta hal semacam ini secara terus terang.
Ya, memang mereka sudah menikah. Hal ini wajar. Tapi itu
bagi pasangan lainnya. Sedangkan mereka?
"Haruskah?" tanya Keira pelan.
"Apa maksudmu? Tentu saja, harus. Kita harus
melakukannya dengan benar, asal kau tahu saja." Keduanya
tertawa kecil, sama-sama salah tingkah. "Ah, sial. Kenapa kau
harus bertanya seperti ini, sih."

Flowers | 240
"Ini masih siang."

"Percayalah, Kei. Hal semacam ini tak mengenal waktu.


Kauharus siap sewaktu-waktu," Aldric menempelkan
kembali keningnya ke kening Keira. Kali ini dia memainkan
hidung Keira dengan hidungnya. Napas keduanya mulai
berat, meskipun sesekali keduanya tertawa kecil. "Oke?"
"Oke."

Setelah mendapat persetujuan dari Keira, Aldric langsung


menempelkan bibirnya ke bibir Keira. Mereka berciuman
dengan penuh keinginan, Aldric mendorong tubuh Keira
sampai keduanya masuk ke dalam kamar.
Mereka melakukannya kembali hingga fajar tiba,
sampaisampai melupakan makan malam dan membuat Bi
Endah harus menghangatkan kembali hidangan makan
malam untuk keesokan harinya.

***

Seorang perempuan bergaun merah dengan lipstik dengan


warna serupa, berdiri di depan rumah. Rumah yang sering ia
datangi dulu, untuk menemui kekasihnya. Bahkan, ia sempat
tinggal selama beberapa minggu di sini.
Kini, ia kembali berdiri di depan pintu rumah itu. Entah apa
yang hendak ia cari, seharusnya ia sudah tak ada di sini atau
bahkan pemilik rumah ini sudah tak menerimanya lagi. Ia
sadar, ia sudah tak diharapkan. Tetapi, ia tak bisa
mengabaikan rindunya yang teramat besar. Maka, ia kembali.

Flowers | 241
Diterima kembali atau tidak, ia tak peduli. Yang jelas, ia
datang membawa penyesalan dan cinta yang masih tersisa.

***

Flowers | 242
BAB SEMBILAN BELAS

Keira tak menemukan suaminya ketika ia terjaga. Ia melihat


sekeliling, mencari-cari sosok Aldric. Namun, yang ia
temukan hanya ruang kosong di sebelahnya, pun dengan
setiap sudut kamarnya. Dia mencoba mengingat kembali, apa
yang telah terjadi semalam. Ia yakin, ia tak sedang bermimpi.

Keira kembali meniti setiap sudut kamar. Ini kamarnya. Ia


tahu betul, meskipun kamarnya kini tak berbentuk. Beberapa
buku jatuh berserakan dari rak, kursi kerjanya terpisah jauh
dengan meja kerja, dan oh.. pakaiannya berserakan berserta
pakaian ...
... Aldric.

Pipi Keira memanas. Ia memang tak sedang bangun dari


mimpi indah. Apa yang terjadi semalam adalah kenyataan.
Pipinya semakin menghangat, ketika pintu kamarnya terbuka
dan Aldric muncul di baliknya.

"Pagi," sapa Aldric. Suami Keira itu membawa dua cangkir


cokelat yang masih mengepul. Keira tahu betul aroma yang
dihidunya.

Keira memberikan senyum terbaiknya. "Pagi," balasnya,


sembari memiringkan wajah. Sama halnya dengan Keira,
Aldric tersipu.

Aldric hanya mengenakan kaus dalam dan celana olahraga.


Flowers | 243
Lelaki itu berjalan mendekat ke arah ranjang dan
menyerahkan satu cangkir cokelat hangat ke arah istrinya.
Kemudian, ia duduk di tepi ranjang.

"Terima kasih," Keira menerima cangkir pemberian Aldric,


kemudian menghirup aroma cokelat di dalamnya. "Bukannya
kau tak suka ada aroma makanan di dalam kamar?" tukasnya,
setelah mencicipi sedikit cokelatnya.

"Ya," jawab Aldric. "Tapi ini kamarmu."

"Ah, kau benar. Aku lupa."

Aldric meletakkan cangkir miliknya di atas nakas, lalu ia


kembali melihat ke arah Keira. Ia mengulurkan tangan untuk
membetulkan letak rambut Keira. "Bagaimana perasaanmu
pagi ini?"

Keira menggigit bibir bawahnya, menjilat sisa cokelat di


bibirnya. "Baik," sahutnya." Sangat baik."

"Itu bagus."

Mereka saling bersitatap, entah apa yang mereka bicarakan


melalui tatapan masing-masing. Yang jelas, saat ini mereka
merasakan luapan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan.
Adalah Aldric yang pertama kali memutus kontak mata. Ia
tersenyum, memegang kedua tangan Keira.

Flowers | 244
"Wajahmu sangat merah. Kautahu itu?" ujar Aldric. Keira
menggigit bibir bawahnya. Tersenyum rikuh, sedikit
menunduk. Ucapan Aldric membuat wajahnya semakin
memerah. Ia berharap, kebahagiaan ini tak terenggut begitu
saja. Ia ingin menikmatinya terus menerus.

"Kau pun demikian," sahut Keira.

"Oh ya?"

"Ya."
Keduanya tertawa.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Aldric.

"Hmm, ke kafe, pulang dan menulis," Keira mengangkat


bahu. "Seperti biasa. Bagaimana dengan kau?"

"Ke kantor, bertemu dengan Dru yang cerewet itu," canda


Aldric, Keira tertawa. "Dan ...."

"Dan?" Keira menaikkan kedua alisnya, menunggu Aldric


melanjutkan kalimatnya. "Apa?" tanyanya tak sabar.

"Dan, aku ingin menjemputmu," lanjut Aldric. "Kau mau?"


"Kenapa tanya?" tukas Keira, manja. "Tentu saja aku mau."
"Bagus." Aldric menarik napas berat. "Sekarang, cepatlah
berbenah karena aku ingin berangkat ke kantor."

Flowers | 245
"Oke, aku akan menyiapkan pakaianmu."
"Bukan itu. Aku ingin mengantarmu ke kafe. Kita berangkat
kerja sama-sama."

***

Perasaan cinta Keira terhadap Yoga, yang ia rasakan selama


bertahun-tahun, kini ia seakan tak pernah merasakan perasaan
itu. Rasa sakit ketika Yoga mengatakan mencintai adik
kandungnya, ketika Yoga memutuskan untuk menikahi
Kaira, Keira sama sekali tak merasakan sakit itu lagi.
Dunianya tengah berputar dan Aldric sebagai porosnya.
Lelaki yang menjadi suaminya, lelaki yang kini tengah berada
di dalam kamar mandi.

Keira besenandung sembari melihat-lihat kemeja Aldric yang


tertata rapi dalam lemari. Ia sedang menyiapkan pakaian kerja
untuk suaminya itu. Seperti yang biasa dia lakukan. Aldric
memiliki selera tidak jauh dari pria kebanyakan. Kemeja
mereka rata-rata berkelir hitam dan putih. Hanya ada
beberapa kemeja berkelir pastel, yang Aldric jarang sekali
mau memakainya. Tapi, kali ini Keira harus memilih kemeja
yang sesuai dengan keinginan Aldric pun kemeja yang tidak
biasa.

Ia melihat sebuah kemeja berkelir abu-abu tua. Warna itu


tidak terlalu muda dan mendekati hitam. Keira
mengingatingat, ia tak pernah melihat Aldric memakai
kemeja tersebut dan dia sendiri tak pernah menyiapkan

Flowers | 246
kemeja itu untuk Aldric. Mungkin, karena kemeja itu
tersembunyi di balik kemeja-kemeja berkelir hitam di pojok,
sehingga tak terlihat olehnya.

Tanpa pikir panjang lagi, Keira menarik kemeja tersebut dari


tempatnya dan meletakkannya di atas ranjang bersamaan
dengan celana berkelir hitam yang sudah ia persiapkan tadi.
Setelah merasa cukup puas dengan pilihannya, Keira
mendekati kamar mandi dan mengetuk pintunya. "Aku sudah
menyiapkan pakaianmu," teriaknya. Terdengar gemericik air
dari kamar mandi mulai mengecil. "Aku akan kembali ke
kamar sekarang."

"Tunggu aku keluar."


"Tidak."
"Tunggu aku keluar, atau aku akan keluar sekarang." "Kau
selalu memaksa, Al," gerutu Keira.
"Sungguh, aku tidak sedang bercanda, Kei."
"Baiklah." Maka, Keira menunggu sampai Aldric selesai
mandi. Selang beberapa menit, suaminya itu keluar dari
kamar mandi dengan mengenakan celana pendek. Rambutnya
basah serta bulu-bulu halus pada seluruh dagunya. "Lama
sekali."

"Tidak lebih lama darimu," tukas Aldric. Ia berjalan ke arah


ranjang sembari mengusap rambutnya yang basah dengan
handuk. Langkah kakinya terhenti, tepat sebelum mencapai
tepi ranjang. Ia tertegun melihat pakaian yang disiapkan oleh
istrinya.

Flowers | 247
"Kenapa? Kau suka dengan pakaian yang aku siapkan?" tanya
Keira dengan ceria. Dia sama sekali tidak menyadari
perubahan air muka Aldric. Keira terlalu bahagia, untuk
menyadari hal-hal kecil semacam ini. Nanti, dia akan
mengerti kenapa Aldric bersikap demikian. "Kau tak boleh
menolak memakai ini, Al."

Aldric tersenyum, mengangguk dan mencium pipi Keira. Pagi


itu, hanya ada canda tawa disertai kecupan-kecupan kecil.
Janji-janji Aldric untuk Keira serta kesanggupan Keira.
Wajah keduanya bersemu merah, menebarkan kelopak
mawar di seluruh penjuru ruangan. Bahkan, Bi Endah dan
beserta pekerja lainnya merasakan aroma kelopak mawar
tersebut. Bi Endah, yang mengenal Aldric sejak lama, ikut
bahagia melihat kedua insan yang awalnya saling menolak
itu, kini saling memiliki.

Usai sarapan, Aldric berdiri di depan Keira, mengulurkan


tangan kanannya. "Kita berangkat?" ujarnya. Keira menahan
senyumnya, malu-malu. Bi Endah yang tengah membereskan
meja makan, melihat dengan senyum tersipu pula.

"Oke." Keira menyambut tangan Aldric, ia merasakan


kehangatan tangan suaminya. Dari tangan Aldric, Keira bisa
merasakan sebuah harapan untuk mereka berdua. Pada detik
itu, ia mempercayakan hidupnya pada Aldric. Meskipun
tanpa Keira sadari, sudah sejak lama perasaan itu hadir.
Mereka sembari berpegangan tangan, senyum pada wajah

Flowers | 248
masing-masing. Hingga sampai di pintu keluar, langkah
Aldric terhenti. Matanya tertuju pada seseorang. Keira
mengikuti arah mata Aldric memandang. Ia melihat seorang
wanita bergaun merah, dengan mata seindah matahari. Ketika
melihat Aldric, senyum wanita itu merekah. Ia berlari dan
memeluk Aldric. Jantung Keira berdegup teramat cepat,
tubuhnya mendadak panas dan perutnya mual. Ia melihat
suaminya dipeluk oleh perempuan lain, tepat di depannya,
ketika Aldric masih memegang tangannya.

Keira berharap tangan itu tetap di sana, saling bertautan.


Namun, Aldric melepaskannya.

***

Tak seperti biasanya, kafe siang itu begitu riuh. Terdengar


ocehan ceria pada salah satu sudut, yang disebabkan oleh
sekelompok ibu-ibu. Kira-kira, usia mereka akan menginjak
angka lima puluh. Tetapi, melihat betapa riuhnya sekelompok
ibu-ibu itu, membuat Keira mengerutkan kening.

Hiruk pikuk kafe tak hanya disebabkan oleh sekelompok


ibuibu tersebut, tetapi pun oleh sekelompok siswa SMA yang
pulang lebih cepat dari biasanya. Mereka memutuskan untuk
tak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke kafe
milik Keira dan kedua temannya, sekadar membeli es teh dan
menumpang wifi.
Sejak kedatangannya ke kafe, Keira memilih diam. Dia
meracik cokelat pesanan salah satu pengunjung dengan

Flowers | 249
cekatan, tanpa banyak kata. Biasanya, saat-saat kafe riuh
seperti sekarang, Keira akan berceloteh riang atau terkadang
menghampiri pelanggan sekadar menanyakan kabar dan
memberi kue gratis.

Sampai akhirnya, keriuhan kafe tiba-tiba hening, tepat ketika


Keira menjatuhkan mug berisi cokelat panas dan benda itu
sukses menatap lantai. Kepingannya berserakan di atas tekel
putih beserta isinya. Hampir seisi ruangan menatap ke arah
Keira, kemudian mereka melanjutkan aktivitasnya kembali.
Tentu, Meira dan Lena yang menatap ke arah Keira terus.

Mereka bertiga berdiri mematung pada posisi masingmasing.


Tak ada satupun dari mereka yang bergerak, entah untuk
merapikan kekacauan yang ditimbulkan Keira atau sekadar
bersuara. Sampai akhirnya Keira menunduk, mencoba
memungut kepingan beling di atas lantai. "Kau bodoh atau
gimana?" tukas Meira, tepat sebelum Keira menyentuh salah
satu beling di atas tekel. "Benda itu bisa melukai jemarimu."

"Berdirilah, Kei. Biar kami yang mengurus ini," sahut Lena.


Dia mengambil sapu dari salah satu sisi kafe.

"Aku belum bisa cerita dengan kalian," kata Keira. Dia tahu,
kedua sahabatnya itu tahu, kalau dia sedang ada masalah. Kali
ini, Keira tak bisa menyembunyikannya. Terlalu kentara pada
air mukanya. Sedari tadi, kerjaannya hanya melamun dan
mengerutkan kening. "Maaf."

Flowers | 250
"Kami mengerti, Kei," sahut Lena. "Kau bisa pulang, biar
kami yang urus kafe."

"Mungkin kau saja yang mengerti, Len, aku nggak," tukas


Meira. Dahinya mengkerut, tak ubahnya seperti Keira. "Aku
merasa kau berbeda. Kau, tahu? Kami mencoba
memahamimu, Kei. Kami menahan diri untuk tak bertanya
macam-macam."

"Mei, sudah."

"Nggak, Len. Keira selalu bilang, kita ini sahabat. Bahkan


seperti saudara. Kau sendiri juga, merasakannya, kan? Keira
terlalu banyak menyimpan rahasia."

Keira bangkit dan menatap Meira. "Bukan begitu, Ra. Aku


hanya belum bisa cerita." Dia menarik napas dalam-dalam.
"Kalian tak tahu apa-apa."

"Karena itu, kenapa kau tak ceritakan saja masalahmu?" sahut


Meira. Keduanya adu mulut, sampai membuat salah satu
pelanggan risih.

"Cukup," ujar Lena. "Kei, kau bisa pulang. Dan Mei, bantu
aku membersihkan ini."
"Maaf." Setelah berkata demikian, Keira mengambil tasnya di
lantai atas dan segera meninggalkan kafe. Ia tak tahu akan ke
mana, yang jelas ia belum sanggup pulang ke rumah.
Bayangan Aldric dipeluk oleh perempuan itu, masih

Flowers | 251
tergiangngiang di kepalanya. Ia tahu dan sadar siapa
perempuan yang memeluk suaminya tadi pagi.

Ia tahu, perempuan itu adalah alasan kenapa Aldric


menikahinya.

***

Drupadi melihat Melisa di salah satu mal Surabaya. Lebih


tepatnya, di outlet aksesoris. Perempuan ramping itu tengah
melihat-lihat ikat rambut. Seperti dalam ingatannya dahulu,
Melisa selalu seperti itu. Cantik, berpulas make-up, rambut
tergerai dan matanya bagai matahari. Dru, hendak menyapa
perempuan itu, tapi langkahnya terhenti. Ia mengingat Aldric
dan bagaimana perempuan itu, menyakiti bosnya.

Tak banyak yang tahu mengenai Aldric, kecuali dirinya.


Bagaimana lelaki itu mencintai Melisa, bagaimana ia rela
menerima Melisa dalam bentuk apa pun dan bagaimana
sakitnya ia ketika Melisa meninggalkannya. Drupadi tahu
semua itu. Bahkan, alasan yang tak pernah terucap dari bibir
Aldric, kenapa ia justru menikahi Keira, Drupadi pun tahu.
Butuh waktu beberapa hari untuk mengatakan pada Aldric, ia
melihat Melisa. Ia tak tahan untuk tak cerita pada Aldric. Ia
tak bisa merahasiakannya. Maka, ia menelepon Aldric dan
menceritakannya.

Seperti dugaan Drupadi, Aldric tak banyak berkomentar. Tapi


ia tahu, apa yang ia ceritakan itu mengganggunya. Ia sempat

Flowers | 252
menyesal karena telah bercerita. Sampai saat ini, dia melihat
Aldric tengah presentasi di ruang meeting, ada raut yang
berbeda. Ia sempat ingin bertanya, mengapa tapi Aldric
menghindarinya dan langsung meninggalkan kantor.

Sejujurnya, Aldric tak ingin pulang ke rumah. Ia belum siap


untuk bertemu Keira dan ditanyai macam-macam. Tapi, tak
ada tujuan lain selain rumahnya sendiri. Selain itu, ia pun
ingin bertemu Keira. Ia ingin tahu keadaan istrinya itu. Tepat
ketika ia sampai, ia melihat Keira. Perempuan itu sedang
menonton televisi di ruang keluarga. Ia menoleh dan
tersenyum.

Aldric tahu, senyum Keira tulus namun mata perempuan itu


begitu sedih. Ingin sekali ia berkata pada Keira, bahwa semua
baik-baik saja. Ia hanya butuh waktu untuk mengontrol
hatinya. Sayangnya, ia tak mengatakannya dan berjalan
melewati Keira, menuju dapur.

Aldric mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih.


Tepat seusai ia menghabiskan air itu, Keira muncul di
sebelahnya.

"Tak seperti biasanya, kau pulang jam segini," ujar Keira. Ia


membawa mug berwarna merah, sisa ia menyeduh cokelat. Ia
meraih gelas dari tangan Aldric dan membawanya ke bak
cuci.

"Ya, aku ingin segera pulang."

Flowers | 253
"Hmmm."

Keira mengetuk-ketukan jemarinya pada tepi bak cuci piring,


terlihat ragu akan berkata apa. Aldric tahu, melalui
gerakgeriknya. Ia berharap, Keira tak membahasnya hari ini.

"Perempuan tadi," tapi Keira tetap seorang wanita. "Dia


Melisa?" Ia menanyakan pertanyaan yang sudah jelas
jawabannya.

"Ya."
Keira tersenyum canggung. "Cantik."

"Ya." Hening.

"Aku harus istirahat," ujar Aldric.

"Apa yang kalian bicarakan?" Keira kembali bersuara. Ia


sudah susah payah untuk tak bertanya, tapi keingintahuannya
begitu besar. Sampai-sampai, rasa malas untuk pulang ke
rumah pun enyah.

"Tidak ada," jawab Aldric.

"Begitu." Keira berguman. "Aku hanya ingin tahu, aku hanya


...."

"Pembicaraan kami, tak ada hubungannya denganmu, Kei."


Flowers | 254
Keira menatap suaminya, hatinya teriris perih. Ia tak tahu,
bagaimana mungkin Aldric berkata demikian. Pada saat itu,
Keira merasa berada di titik terjauh dari kehidupan Aldric. Ia
tak lebih dari seorang istri yang dinikahi karena keterpaksaan.
Atau memang, selama ini status itu tak pernah berubah?

***

Flowers | 255
BAB DUA PULUH

Sungguh, Aldric tak bermaksud menyakiti hati Keira. Dia


hanya sedang dalam keadaan bimbang dan tak ingin
membicarakan Melisa sama sekali. Terlebih lagi dengan
Keira. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri, menghadapi
Melisa pagi itu membuat emosinya naik turun, terlebih lagi
harus menghadapi Keira, istrinya.

Kedatangan Melisa begitu mendadak. Ia sama sekali tak


menyangka, pada akhirnya mantan kekasihnya itu akan
kembali. Seperti halnya Keira, Aldric juga terkejut. Aldric
berjanji pada Melisa mereka akan bertemu lagi pagi itu. Ia
beralasan harus bekerja - ya, dia memang harus kerjamaka,
usai pulang dari kantor ia menemui Melisa. Mereka bertemu
di Libreria Eatery.

Kafe yang bertemakan buku sore itu cukup riuh.


Dindingdinding kafe berhiaskan pigura-pigura dengan potret
bungabunga doodle, di sisi lain ada rak-rak berisi buku-buku,
pada langit-langit terdapat lampu-lampu antik nan cantik.
Kafe tersebut terletak tepat di sebelah toko buku Uranus -
memang kafe ini milik Uranus -. Melihat pemandangan ini,
sosok Keira langsung menyerbu ingatannya. Dia membatin,
Keira pasti menyukai tempat ini atau jangan-jangan istrinya
itu sudah pernah ke sini.

Tepat sebelum Aldric memesan minuman, ia mendapat pesan


dari Melisa. Pesan tersebut dikirim dari sederet nomor yang

Flowers | 256
tak dikenalnya. Tetapi, dari cara dia mengirim pesan, Aldric
tahu itu nomor Melisa yang baru.

Sudah kupesankan minum untukmu. Temukan aku.


Tanpa memesan terlebih dahulu, Aldric langsung mencari
sosok Melisa. Ia menemukan perempuan itu di salah satu
sudut kafe, agak tersembunyi dari keramaian. Perempuan itu
duduk dengan melempar pandangannya ke arah jendela kaca
di sebelah kiri, seakan ada sesuatu di luar sana yang menarik
perhatiannya. Pemandangan semacam itu sering Aldric
temui, ketika mereka berdua masih bersama dulu. Setelah
menyadari kehadiran Aldric, Melisa menoleh, memberikan
senyuman yang dulu selalu memabukkannya.

"Hai," tukas Melisa ceria, ringan dan menyenangkan.


Aldric tersenyum, mengambil duduk di sofa tepat di depan
Melisa. Secangkir espresso sudah tersedia di depannya.
Melisa beranjak dari tempat duduknya, tangannya terulur
menyentuh dahi Aldric. "Kau lelah? Apa macet tadi?" Secara
refleks, Aldric menepis tangan Melisa. Hal itu, membuat
Melisa tertegun, kemudian duduk kembali. Hal-hal kecil
semacam yang dilakukan Melisa tadi, dulu membuat Aldric
sangat nyaman. Tapi, setelah kepergian perempuan itu, semua
terasa berbeda.

"Ada apa?" tanya Aldric. Ia langsung pada pertanyaan utama.


Alasan Melisa kembali dan menemuinya.

Flowers | 257
Melisa mendesah, meraih gelas berisi cappucino dan
menyeruputnya. "Bisa tidak, kau tidak dingin seperti ini, Al?
Aku merindukanmu. Merindukan kebersamaan kita." Suara
Melisa merupakan suara perempuan yang disukai banyak
lelaki. Suara yang lembut, menyenangkan dan membuat hati
setiap lelaki merasa tenang. Bahkan, sampai saat ini Aldric
merasa senang mendengar suara Melisa. Kalau saja ia tak
mengingat Keira, istrinya.

"Aku sudah menikah," katanya pada Melisa. Aldric tahu,


Melisa tahu dia sudah menikah. Bahkan tadi pagi, Melisa
bertemu dengan istrinya.

"Aku tahu," sahut Melisa acuh tak acuh. "Perempuan tadi,


kan? Penulis itu." Sebelum Melisa datang menemui Aldric,
dia mencari informasi mengenai lelaki itu. Sampai ia
menemukan profil Keira. Ia tahu, Keira seorang penulis pun
pemilik kafe cokelat. "Aku tidak peduli akan hal itu, Al. Asal
kau tahu saja."

Begitulah Melisa. Ia selalu tahu bagaimana mewujudkan


keinginannya. Dia tak peduli dengan omongan orang lain,
atau hal-hal yang menghambat keinginannya. Dulu, Aldric
sangat mengagumi sifat Melisa ini. Tapi, justru sifat inilah
yang membuat Melisa meninggalkannya.
"Aku mencintaimu, Al. Selalu."

Aldric menengadah, melihat ke arah perempuan yang


bertahun-tahun lalu membuatnya mabuk kepayang.

Flowers | 258
Perempuan yang mampu membuat akal sehatnya terusik.
"Lalu, kenapa kau meninggalkanku?" tandas Aldric.
Pertanyaan yang selama ini ingin dia lontarkan pada Melisa.
Alasan perempuan itu meninggalkannya. Menghilang tanpa
ada kabar sama sekali.

"Karena aku ingin. Seperti ketika aku ingin bersamamu dulu


dan sekarang."

***

Tanpa diketahui oleh Aldric. Sama sepertinya, ketika mereka


bertemu pertama kali, Melisa sudah jatuh cinta pada Aldric.
Sejak pertemuan mereka itu, Melisa bersumpah harus bisa
mendapatkan lelaki itu. Seperti yang sudah-sudah, keinginan
Melisa tersambut, karena ia tahu Aldric tertarik dengannya.
Ia selalu tahu.

"Karena aku ingin. Seperti ketika aku ingin bersamamu dulu


dan sekarang."

Aldric menarik sudut bibirnya, mendengar pernyataan


Melisa. Ia merasa telah masuk dalam perangkap Melisa.
Dalam permainan perempuan itu.

"Kau memang perempuan seperti itu, Mel."Aldric menukas.


"Tapi apa yang sudah kau lepaskan, tak bisa seenaknya kau
ambil kembali."

Flowers | 259
"Oh, ya?" Melisa menyunggingkan senyum. "Lalu, apa
artinya kemeja yang kau kenakan sekarang?" sindirnya.
Aldric tertegun. Seharusnya, ia melepaskan kemeja ini
sebelum menemui Melisa. Ia lupa. Pagi tadi, Keira
memilihkan kemeja ini untuknya. Kemeja yang sudah lama
tak ia kenakan dan tak ada rencana untuk mengenakannya.
Kemeja yang ia kenakan saat ini merupakan kemeja yang
dibelikan oleh Melisa.

"Keira yang memintaku, memakai kemeja ini," jawab Aldric


cuek. "Tak ada hubungannya denganmu."

Melisa tersenyum sinis. Ia merasa terganggu, ketika Aldric


menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang dinikahi
mantan kekasihnya. "Apa alasanmu menikahinya, Al?"
"Apa maksudmu?"

"Perempuan itu bukan tipemu. Seorang Aldric tidak akan


menikahi perempuan seperti Keira. Jangankan menikah,
berteman saja mungkin kau tak sudi. Pasti ada alasan di
baliknya."

Melisa menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya


secara perlahan. "Apa karena aku? Karena aku kau menikahi
dia?"

Aldric menatap kedua mata Melisa. Pun dengan Melisa.


"Bukan. Bukan karena itu. Aku menikahi Keira karena dia
bukan kau."

Flowers | 260
***

Apa yang dikatakan Melisa, semuanya benar. Dia menikahi


Keira karena dirinya. Kenyataan itu membuat Aldric
uringuringan. Pikirannya penuh dengan Melisa. Sakit hati
ketika teringat perempuan itu meninggalkannya dan sekarang
perasaan itu lebih sakit lagi, ketika Melisa mengutarakan
alasannya.

Karena Melisa ingin demikian.

Alasan macam apa itu? Di sini Aldric kebingungan setengah


mati ketika Melisa meninggalkannya dan tak memberi kabar
sama sekali. Melisa tidak tahu, bagaimana keadaan Aldric
saat itu. Mengharu biru saja tak cukup. Lebih dari itu. Melisa
tak pernah tahu bagaimana perasaan Aldric ketika ia
meninggalkannya. Bagaimana Aldric uring-uringan dan
kehilangan arah setiap hari. Aldric menghabiskan waktunya
untuk bekerja dan bekerja, mengambil proyek sana sini dan ia
tangani langsung. Demi bisa melupakan Melisa.

Usai pertemuan mereka dengan Omi, tekad Aldric semakin


kuat untuk menikahi Melisa. Ia tahu, Omi tidak setuju tapi ia
sama sekali tak peduli. Nampaknya, Melisa pun demikian.
Mereka tetap bersama-sama, meskipun Omi tak menyetujui
hubungan mereka.
"Hanya Omi," ucap Aldric kala itu. "Mama dan
kakakkakakku, akan menyetujui hubungan kita. Tak usah

Flowers | 261
risau." Melisa memamerkan senyum terbaiknya. Senyum
yang selalu mampu membuat Aldric merasa semua akan baik-
baik saja. Perempuan itu menarik kepala Aldric,
memeluknya.
"Ya. Semua akan baik-baik saja, Al."

Aldric tak pernah tahu, di sisi lain hati Melisa, ada sesuatu
yang memberontak. Ada hal yang tak diinginkannya terjadi.
Melisa, sama sekali belum siap untuk menikah. Dia memang
menginginkan lelaki itu untuk selamanya. Tetapi tidak
dengan pernikahan. Ia pikir, pernikahan hanya perbuatan
konyol dan naif sekadar untuk tetap bersama. Sebuah ikatan
yang seumur hidup Melisa tak pernah terlintas dalam
benaknya. Maka, Melisa mengatakan hal tersebut kepada
Aldric.

"Kita bisa tetap bersama-sama, meskipun tanpa menikah,"


jelas Melisa. "Pernikahan itu hanya janji di atas kertas. Itu
sama sekali tak penting, Al."

Aldric menatap Melisa. Tak habis pikir, perempuan yang


dicintainya menolak menikah dengannya.

"Kita bukan anak kecil yang harus main rumah-rumahan, Al,"


lanjut Melisa. Perempuan itu tersenyum, mencoba meraih
Aldric. Tetapi lelaki itu melangkah mundur. Ia tahu, lelaki itu
teramat kecewa.
Setelah hari itu, Aldric tak pernah mendengar kabar dari
Melisa. Perempuan itu pergi. Aldric mulai kelimpungan dan

Flowers | 262
pikirannya kacau. Pada bulan ketiga setelah kepergian
Melisa, Aldric bertemu dengan Keira. Perempuan yang saat
ini tak ia temukan di rumahnya.

***

Pagi itu, Aldric mendapati Bi Endah menyiapkan setelan


kerja untuknya. Dia tak bertanya ke mana Keira, karena ia
sedang tak ingin berurusan dengan perempuan. Mungkin
Keira sedang sibuk dengan naskah terbarunya atau justru
sedang masak di dapur.

Pun di dapur, Aldric tak mendapati istrinya. Ia masih tak


ambil pusing. Baru ketika sore hari, Aldric mulai memikirkan
Keira. Istrinya itu tak terlihat. Biasanya, Keira sudah di rumah
sebelum ia pulang. Menyiapkan makan malam bersama Bi
Endah atau sedang menonton televisi dengan dua cangkir
cokelat di atas meja.

"Keira ke mana, Bi?" tanya Aldric pada Bi Endah yang


sedang menyiapkan makan malam di meja makan. "Sejak
kemarin, saya tidak melihat Nyonya." Aldric memejamkan
matanya, menarik napas dalam-dalam. Mendadak selera
makannya pagi itu menguap begitu saja. Ia bertolak dari meja
makan, naik ke atas ke kamar Keira. Dia mengetuk kamar
tersebut beberapa kali, namun tak ada jawaban. Aldric
membuka pintu kamar tersebut dan kosong.

Flowers | 263
Keira tidak ada di dalam kamarnya, pun dengan kamar mandi.
Ia meraih ponselnya dan menghubungi nomor Keira. Namun,
nihil. Nomor Keira tidak aktif.

Maka, Aldric memutuskan untuk pergi ke kafe milik Keira


dan kedua temannya. Ia mengendarai mobil dengan pikiran
cepat sampai di kafe tersebut. Dia menyesal karena tak
memiliki nomor telepon kedua teman Keira. Seharusnya, ia
memiliki nomor-nomor tersebut, berjaga-jaga apabila hal
semacam ini terjadi.

Dia sampai di kafe sekitar pukul tujuh malam. Ia melihat


Meira dan Lena mengunci bangunan kafe tersebut. Aldric
tidak melihat Keira di antara mereka. Ia mematikan mesin
mobil, turun dan menghampiri dua sahabat Keira itu. "Hai,
Al," sapa Meira, orang pertama yang menyadari kehadiran
Aldric. "Ada apa?"

"Keira," jawab Aldric. Lena yang baru saja mengunci pintu,


mendekat. "Dia sudah pulang?"

"Hari ini dia tidak ke kafe," sahut Lena. Dahi ketiga orang itu
berkerut. Aldric dengan pikiran kacaunya, menduga-duga ke
mana istrinya pergi. Lena dan Meira, bingung dengan apa
yang terjadi saat ini. "Dia tidak di rumah?"

"Ah, bukan begitu. Aku tidak tahu kalau hari ini dia tidak ke
kafe. Kupikir, dia ke kafe, aku ke sini untuk menjemputnya,"

Flowers | 264
dusta Aldric. Dia tak ingin memperkeruh suasana dengan
berkata Keira menghilang, sejak pagi.

"Kau nampak khawatir, Al," sahut Meira. "Sebenarnya ada


apa? Kalian ada masalah?"

"Tidak ada. Kalau begitu, aku permisi dulu."Aldric berbalik


arah, meninggalkan Meira dan Lena yang penuh tanda tanya.
Menerka-nerka, sebenarnya apa yang terjadi. Di dalam mobil,
Aldric mencoba menghubungi nomor Keira lagi, tetapi nihil.
Nomornya tetap tidak aktif.

"Sial," umpat Aldric sembari melemparkan ponselnya ke jok


belakang. Dia memutuskan untuk ke rumah Keira, mungkin
perempuan itu ada di sana. Dia berharap ada di sana, sangat
berharap.
Seperti kata Meira, Aldric benar-benar khawatir dengan
ketiadaan Keira.

***

Dalam perjalanan ke rumah orang tua Keira, Aldric


berpikiran lain. Entah kenapa ia memikirkan Yoga di saat
seperti ini. Ia sudah mencoba mengenyahkan pikiran buruk
mengenai Yoga dan Keira, tetapi ketika pikirannya tak bisa ia
kendalikan seperti sekarang, justru memikirkan Yoga. Lelaki
yang pernah dicintai Keira atau justru istrinya itu masih
mencintai Yoga.

Flowers | 265
Yoga bekerja di anak perusahaan milik Aldric. Lelaki itu
mengajukan kerja sama dengan perusahaannya dua tahun
lalu. Kantor Yoga berada tidak jauh dari kantornya,
membutuhkan waktu sepuluh sampai limabelas menit
perjalanan tanpa macet. Entah kenapa, Aldric membelokkan
mobilnya, ke arah anak perusahaan miliknya. Malam semakin
larut, sebenarnya sangat janggal malam-malam seperti ini ke
kantor. Banyak kemungkinan kantor Yoga sudah sepi dan
lelaki itu sudah tak di sana. Tapi, rasa penasaran atas
keberadaan Yoga mengusiknya.

Untuk memastikan satu hal, Aldric menekan nomor Kaira,


adik Keira. Menanyakan apakah Yoga bersamanya, tanpa
menyebut nama Keira.

"Mas Yoga masih di kantor, Mas Al. Mas Al tidak punya


nomornya?" jawab Kaira. Jawaban adik iparnya itu,
menguatkan dugaannya. Terlebih lagi Kaira tak
membicarakan Keira sama sekali, yang berarti istrinya itu
tidak ada di sana.

Aldric mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, dia


mengklakson seorang pengendara motor yang hendak
berbelok sembarangan, dan mengumpat. Lima menit
kemudian, ia sampai di sebuah bangunan yang terlihat cukup
sepi. Namun masih banyak mobil dan motor yang terparkir di
parkiran. Yang tandanya, masih ada kehidupan di sana. Lelaki
itu melonggarkan dasinya, menggulung lengan bajunya
hingga ke siku. Wajahnya kusut dan rambutnya berantakan.

Flowers | 266
Kedua dahinya saling bertaut, sama sekali tidak
menyenangkan untuk dilihat. Ketika melewati pintu lobi,
satpam menyapanya, Aldric hanya mengangguk.
Keadaan lobi begitu sepi, bahkan bagian resepsionis pun tak
ada. Ia terus berjalan, menuju lift. Namun, belum sempat ia
menekan tombol lift, matanya beralih ke sisi lain. Sisi di
mana, ia melihat Yoga bersama istrinya.

Mereka berdua duduk di sofa beludru berkelir abu-abu. Sofa


itu berada di sisi kanan pintu masuk lobi, wajar Aldric tadi tak
melihatnya. Kedua tangan Aldric mengepal, kerutan pada
dahinya semakin banyak dan darahnya mendidih. Keira
sedang bersandar di dada Yoga dan lelaki itu mengusap
rambut Keira penuh sayang. Keduanya belum menyadari
kehadiran Aldric, sampai pintu lift terbuka. Seseorang keluar
dari pintu lift.
"Pak Aldric?" sapa lelaki itu.
Saat itulah, Keira menyadari kehadirannya. Istrinya itu
terkejut, begitu pula dengan Yoga.
Aldric berjalan ke arah Keira dan Yoga, tanpa memedulikan
lelaki yang menyapanya. "Apa yang kau lakukan di sini
dengan calon suami adik kandungmu?"

Aldric bertanya dengan menahan emosinya. Ia berusaha keras


untuk menahan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Matanya
hanya tertuju pada Keira.
"Tidak ada urusannya denganmu, Al."

***

Flowers | 267
BAB DUA PULUH SATU

Tak pernah ada dalam benak Keira, bahwa ia akan terjerat


dalam perasaan semacam ini. Sakit hati, oleh seseorang yang
dijadikannya pelipur lara. Ia jadikan pelarian atas sakit
hatinya terhadap rencana pernikahan Kaira dan Yoga.
Nyatanya, alasan itulah yang membawanya ke dalam urusan
pelik dengan Aldric. Alasan konyol untuk menikah dengan
seseorang yang baru ia kenal, seseorang yang yang tak Keira
sangka akan dicintainya, sekaligus menyakitinya.
Cinta memang serumit itu.

Sore itu, Keira tak ingin pulang ke rumah Aldric. Ia belum


sanggup bertemu dengan suaminya. Ketika Aldric berkata,
bahwa ia sama sekali tak memiliki urusan dengan Melisa.
Bukan haknya untuk tahu menahu mengenai mantan kekasih
Aldric itu. Saat itulah, hati Keira jatuh berantakan. Ia
mencoba memungut kembali sisa-sisa hatinya, namun sia-sia.
Keira tak sanggup lagi.

Keira memutuskan pulang ke rumah, kepada ibunya ia


berkata bahwa ia rindu. Rindu kamarnya yang dipenuhi
bukubuku, potongan-potongan kenangan yang tercetak dalam
lembar-lembar foto yang ia gantung di sebelah meja kerja dan
tentu saja, ia rindu Kaira. Maka, malam itu, ia berada di
rumahnya sampai keesokan harinya.

Flowers | 268
Sekali lagi, Keira kecewa. Tak ada pesan masuk dari
suaminya, sekadar untuk menanyakan kabar. Seakan
kepergiannya adalah hal yang dinantikan oleh Aldric.

Ternyata, tidak diinginkan oleh suaminya sendiri adalah


sebuah siksaan daripada melihat orang yang dicintai menikahi
adik kandungmu sendiri. Seseorang yang ia jadikan pelarian,
justru berbalik menyakitinya. Begitu ironi. Siapa sangka, jika
pada nantinya ia akan jatuh hati pada Aldric.

Menjelang siang, ketika matahari begitu terik, Keira pamit.


Sayangnya, Keira belum juga mempunyai keberanian untuk
pulang. Untuk bertemu dengan suaminya. Atau justru, ia tak
memiliki kepercayaan diri karena sampai saat ini, Aldric
belum juga menghubunginya. Pernah tidak, berpikir untuk
pergi karena ingin dia mencarimu? Begitulah yang dirasakan
Keira. Ia ingin menghilang dan berharap Aldric mencarinya.
Tapi, kenyataannya suaminya sama sekali tak peduli. Lagi-
lagi, ia tak pulang. Keira memilih untuk mengunjungi
beberapa tempat. Ke toko buku sekadar mengecek stok
novelnya atau mencari bacaan baru, setelah puas ia memilih
mendekam diri ke Threelogy Coffee, yang terletak di Jalan
Mojopahit. Tentu, dia tidak pergi ke kafenya sendiri, lantaran
ia tak sanggup menceritakan yang terjadi kepada dua
sahabatnya.

Menjelang senja, Keira pergi ke kantor Yoga. Itulah


satusatunya hal yang terpikirkan olehnya, menemui calon
suami adiknya sendiri, sekaligus sahabatnya.

Flowers | 269
"Kau sedang ada masalah?" tanya Yoga, ketika mereka
bertemu di lobi kantor dan duduk di atas sofa dekat pintu
masuk. Tanpa basa basi, Yoga bertanya. Saat itu, malam
sudah larut. Beberapa pekerja kantor mulai bersiap-siap untuk
pulang.

"Aku ingin mengunjungi sahabatku. Tidak boleh?" Tentunya,


Keira berkata demikian sembari tersenyum lebar. Ia tak usah
menunjukkan wajah murungnya pada Yoga, karena ia tahu
pasti lelaki itu tahu apa yang terjadi.

"Karena Al?" cecar Yoga. Tak perlu menunggu jawaban


Keira, Yoga sudah paham apa yang terjadi. "Sepertinya ini
kesalahanku."
Keira melihat ke arah Yoga, tak mengerti.

"Salahku karena mengenalkan kalian."

Saat itu, Keira diajak Yoga dan Kaira ke acara minum teh
rekan kerja Yoga. Acara tersebut acara mendadak yang
diadakan salah satu rekan kerja Yoga. Dihadiri oleh beberapa
rekan kerja satu perusahaan dan perusahaan induk tempat
Yoga bekerja. Awalnya, Keira malas untuk ikut, selain karena
pasti tidak banyak orang yang ia kenal serta pasti temanteman
Yoga akan membahas bisnis yang tak ia mengerti, pun karena
ia pasti akan menjadi orang ketiga antara Yoga dan Kaira.
Tapi Keira tak pernah bisa menolak permintaan adik satu-
satunya itu.

Flowers | 270
"Kak Kei, ayolah, kau tahu aku tidak suka di tempat umum.
Aku butuh teman," rengek Kaira. "Yoga pasti sibuk dengan
rekan kerjanya."

Maka, Keira pun pergi dengan mereka.

Nyatanya, selama acara minum teh itu, Kaira begitu


menikmati. Ia tak bisa lepas dari Yoga yang memperkenalkan
Kaira sebagai calon istrinya. Tentunya, pemandangan ini
sama sekali tak menyenangkan. Justru, Keiralah yang merasa
terasing di acara tersebut.

Pertunjukkan lagu akustik yang dinyanyikan oleh seorang


perempuan tidak membuat Keira merasa nyaman di sana.
Seharusnya, dekorasi pesta yang cantik bisa membuat siapa
saja senang bisa bergabung. Ternyata, bukan sesuatu yang
bisa kita lihat atau dengar yang membuat nyaman, melainkan
perasaan.

Akhirnya dia memutuskan untuk menjauh dari kerumunan


orang-orang yang sedang bersenda gurau dan melupakan
keberadaannya. Ia menuju tempat makanan yang disediakan
di salah satu sisi ruangan. Keira mengambil beberapa
kudapan dan minuman. Saat itulah, ia bersitatap dengan
Aldric. Keduanya sama-sama saling menatap, sampai
akhirnya Yoga menghampiri mereka.

Flowers | 271
"Kau di sini rupanya," tukas Yoga. Ia kemudian beralih ke
arah Aldric. "Pak Aldric, senang sekali kau bisa datang ke
sini."

Aldric mengendikkan bahu. "Ya, aku dipaksa."

Mendengar jawaban Aldric, membuat Yoga tertawa. "Oh ya,


perkenalkan ini sahabatku, Keira," ujarnya, sembari
memperkenalkan Keira. "Kei, ini Pak Aldric, penyokong di
perusahaanku."

Keduanya tak saling berjabat tangan. Terlihat sama-sama


enggan, namun tak sedikitpun melepaskan pandangan. Hal ini
membuat Yoga salah tingkah. Sampai akhirnya, ia berkata,
"Sepertinya kalian cocok, bagaimana kalau kalian menikah
saja?" candanya. Ia tertawa kecil.

Aldric tak melepaskan pandangannya dari Keira dan berkata,"


Ya, kenapa tidak?"

"Ya, kita menikah saja," sahut Keira.

Beberapa minggu kemudian, mereka menikah.

***

Bohong jika Keira tidak menyadari kehadiran Aldric di lobi


kantor kemarin malam. Keira memang tak menyangka,

Flowers | 272
Aldric akan mencarinya ke kantor Yoga atau justru awalnya
Keira menyangka Aldric datang ke kantor karena ada urusan
pekerjaan. Keira adalah orang pertama yang menyandarkan
kepalanya ke bahu Yoga. Ia melupakan fakta bahwa lelaki di
sebelahnya adalah calon suami adik kandungnya, demi
membuat Aldric cemburu. Demi balas dendam karena
membuatnya sakit hati atas kehadiran Melisa di antara
mereka.

Memang, Keira sudah lama mengenyampingkan Yoga dalam


hidupnya. Menganggap lelaki itu sebagai sahabatnya saja,
tidak lebih dan berusaha untuk menghilangkan Yoga di
antaranya dan Aldric. Tetapi, melihat situasi malam itu,
tibatiba saja Keira ingin Aldric merasakan hal yang sama
dengannya. Maka, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Yoga,
tepat ketika Aldric menyadari keberadaan mereka.
Dan, Keira berhasil.

Keira berhasil mengembalikan kalimat Aldric.

Sayangnya, apa yang dilakukan Keira justru menyerang


kembali batinnya. Ia sama sekali tidak merasa puas ataupun
bangga, karena berhasil membuat Aldric tersakiti. Ia justru
merasa sangat kosong. Bukan ini yang dia inginkan. Sungguh.
Bukan saling membalas dan menyakiti seperti ini. Keira pikir,
setelah beberapa kali kebersamaannya dengan Aldric dan
hubungan mereka semakin intim, pernikahan ini akan
terselamatkan. Pernikahan yang dilandasi keuntungan

Flowers | 273
masing-masing pihak, akan menjadi pernikahan
sesungguhnya.
Sedikit banyak, Keira berharap bisa terus di sisi Aldric.
Namun, kejadian kemarin malam membuat Keira menyadari.
Sejak awal, pernikahan ini seharusnya tak pernah ada. Keira
menyadari, kalau dirinya telah berada di ambang batas. Keira
menyadari bahwa ia telah jatuh cinta kepada Aldric. Jatuh
cinta kepada Aldric, bukanlah risiko yang pernah ia pikirkan.

Ketika memutuskan menikah dengan Aldric yang mendadak


itu, Keira hanya memikirkan perasaannya sendiri. Bagaimana
ia menghadapi saat Kaira dan Yoga menikah kelak dan
bagaimana ia menghadapi pandangan orang-orang mengenai
"perawan tua" dan karena ia dilangkahi adiknya. Sungguh,
risiko akhirnya ia akan berakhir dalam dunia seorang Aldric
bukanlah risiko yang pernah ia rencanakan.

Terlebih, ketika merasakan mencintai seorang Aldric jauh


lebih menyakitkan ketika ia mencintai Yoga.

Maka, akhirnya ketika pagi itu Omi berkunjung ke rumah


mereka. Keira mengacaukan sarapan di meja makan. "Jadi
kapan kalian akan memberikan Omi cicit?" tanya Omi, di
sela-sela makanan yang dikunyahnya. Pagi itu, setelah
pertengkaran semalam, Omi datang secara tiba-tiba.
Semacam bisa mencium bau busuk dalam hubungannya
dengan Aldric.

Flowers | 274
Aldric menarik napas pelan, sampai ia berkata, "Kami belum
merencanakan itu Omi."
Sejak tadi, Keira hanya memainkan makanan dalam
piringnya. Pikirannya kalut dengan apa yang terjadi dalam
hubungannya dengan Aldric. "Benar begitu, Kei?" Omi,
meminta pendapat Keira.

Kepala Keira menengadah, melihat ke arah Omi. "Ya, kami


sama sekali belum merencakan itu, Omi. Atau bahkan tidak
akan pernah merencakannya."

Tentu saja, kalimat Keira membuat Omi terkejut. Tapi, justru


kalimat selanjutnya, benar-benar merusak sarapan pagi itu.
"Kami akan bercerai."

***

Bercerai dengan Keira adalah tujuan utama Aldric setelah


menikahi perempuan itu. Itu dulu, ketika dia merasa apa yang
dilakukannya adalah kelakuan kekanakan untuk melarikan
diri dari masalah. Ia memiliki segalanya, tetapi cinta yang
utuh dari Melisa, sama sekali bukan jatahnya.

Aldric sama sekali tak menyangka, kalimat cerai itu justru


keluar dari bibir Keira. Bibir yang selalu ia rindukan, bibir
yang selalu membuatnya mabuk ketika mengecupnya. "Keira
hanya bercanda, Omi," sahut Aldric. Ia berusaha
menyembunyikan rasa terkejutnya. "Iya, kan?"
pertanyaannya ini merupakan sebuah pertanyaan kepastian,

Flowers | 275
bahwa apa yang dikatakan Keira hanyalah candaan biasa.
"Aku tidak bercanda," tukas Keira. Istrinya itu menatap lurus
ke arahnya. Hati Aldric mencelos. Ia melihat kesungguhan
pada kedua mata Keira. "Aku ingin kita berpisah."

Aldric tertawa hambar. Ia menyelesaikan sarapannya saat itu


juga. Aldric menarik tangan Keira dan berpamitan pada Omi.
Keira sama sekali tidak menolak diajak Aldric keluar dari
rumah, mengendarai mobil dengan sedikit mengebut dan
berhenti pada jalan yang sepi.

Aldric menghentikan mobilnya dan mematikan mesin.


Mereka berdua berdiam diri di dalam mobil, tanpa melakukan
apa pun. Aldric ingin memulai pembicaraan, namun otaknya
terlalu penuh dengan berbagai hal. Mengenai Keira dan Yoga
kemarin malam dan mengenai ucapan Keira pagi ini. Dia
hanya menatap lurus ke depan dengan kedua tangan pada
kemudi, mencengkeramnya dengan erat.

"Apa kau harus mengatakannya di depan Omi?" akhirnya,


Aldric membuka suara.

"Maaf."

Aldric tersenyum sinis. "Lalu? Setelah bercerai kau akan


melarikan diri dengan Yoga?" Aldric menelan ludah.
"Menikah dengannya? Mengkhianati adikmu sendiri?" Keira
melihat ke arahnya, setelah sekian lama hanya menatap ke

Flowers | 276
luar jendela. "Apa hanya itu yang bisa kaupikirkan, Al?
Hanya mengenai kesalahanku?" ujar Keira kecewa.
"Apa lagi? Bukankah memang itu yang kau harapkan selama
ini?" Emosi Aldric memuncak, ia tak memikirkan hal lain,
terutama perasaan Keira. "Bukankah pernikahan kita adalah
penghalang hubungan kalian berdua? Hmmm?"

"Hentikan, Al," tukas Keira. Ia membuka pintu mobil. Turun


dan mencari taksi. Namun, belum sempat ia mendapatkan
taksi, Aldric sudah mencekal lengannya.

"Lalu, apa?" tanya Aldric dengan emosi tertahan. "Karena


sudah tak ada yang bisa dipertahankan," jawab Keira. "Kau
sendiri merasakannya, kan? Sejak awal, seharusnya kita tak
usah menikah."

Cengkraman tangan Aldric mengendur. "Kita akhiri saja, Al."


Kalimat Keira membuat tubuh Aldric meremang. Ia tak tahu,
bahwa ketika perempuan di hadapannya ini mampu
membuatnya kelimpungan seperti ini. Kalimat selanjutnya,
membuat Aldric benar-benar melepaskan tangannya.
"... sebelum kita saling menyakiti lebih jauh. Kau dan aku,
memang seharusnya tak pernah bertemu."

Dan, pernikahan mereka pun berakhir.

***

Flowers | 277
BAB DUA PULUH DUA

Keira akan sangat merindukan masakan Bi Endah, sayur sop


yang selalu membuat hatinya hangat, sambal matah yang
selalu membuatnya kepedasan namun selalu membuatnya
bertambah lahap, dan cerita-cerita Bi Endah mengenai
citacita anaknya. Keira pun akan merindukan meja kerja di
kamarnya, kasur empuk, dan rutinitasnya sebagai seorang
istri. Ia akan sangat merindukan hal itu, terutama ia akan
merindukan pemilik rumah ini.

Seseorang yang selama beberapa bulan terakhir, menjadi


bagian hidupnya.

Keira memutuskan untuk segera meninggalkan rumah ini,


sebelum ia tak sanggup melangkah lebih jauh untuk pergi.
Sebelum perasaan-perasaan rindu itu menjeratnya lebih jauh.
Sebelum perasaan melankolis tumbuh dalam hatinya, ia
mengambil langkah untuk pergi.

Aldric sama sekali tidak merespon permintaannya untuk


berpisah. Kemarin, setelah pertengkaran itu, Keira melihat
wajah Aldric menegang kemudian lelaki itu terlihat sendu.

Mungkin dia pun sedih dengan keadaan saat ini, mungkin ia


juga kecewa sama dengan dirinya. Tapi, apa yang sudah keira
ucapkan, tak bisa ia tarik kembali. Karena ia takut, selamanya
ia akan merasakan luka serupa. Maka, ketika hatinya begitu
kuat, begitu tegas, ia memilih untuk pergi.

Flowers | 278
Perempuan itu mengepak baju-bajunya, barang-barangnya
dan beberapa buku ke dalam kardus. Ia bekerja sendirian,
sesekali meminta bantuan Bi Endah untuk membawakan
kardus.

"Apa nyonya benar-benar akan pergi?" tanya Bi Endah, ketika


Keira sibuk merekatkan selotip ke permukaan kardus.
Gerakannya berhenti. "Maaf saya lancang. Tapi, apa Nyonya
dan Tuan sudah benar-benar memutuskan untuk berpisah?
Apa tidak bisa dibicarakan kembali?"

Keira tersenyum. Ia tahu, kedua mata tua di depannya


meredup. Perempuan itu sudah pasti sangat menyayangi
Aldric. Ia tak mau majikannya terluka. "Ini yang terbaik untuk
kami, Bi." Untuk Aldric, untukku.

Keira melanjutkan pekerjaannya mengepak buku-buku dari


rak. Membersihkan segala hal yang ada di dalam kamarnya.
Terakhir, ia membawa satu koper yang berisi benda-benda
penting, sedangkan kardus-kardus berisi buku-buku dan
beberapa benda lainnya, ia minta pada Bi Endah untuk
memanggilkan taksi online untuk mengangkutnya ke kafe.

Belum ada yang tahu mengenai keputusannya berpisah


dengan Aldric, kedua sahabatnya, bunda dan adiknya pun tak
tahu. Keira meminta Yoga untuk merahasiakannya dari Kaira
dan ibunya. Dengan alasan dia sendiri yang akan
memberitahu mereka berdua, meskipun Keira sendiri tak tahu
bagaimana caranya.

Flowers | 279
Setelah selesai mengepak semua barang, Keira segera keluar
kamar menggeret kopernya dan berhenti di depan kamar
Aldric. Ada keraguan yang menggelayut di dada, antara
mengetuk pintu di depannya atau tidak. Pagi ini Keira tak
menyiapkan segala keperluan Aldric seperti biasanya. Ia
ingin memulai rencana melupakan lelaki itu, mulai hari ini. Ia
mendesah, kemudian mengangkat tangannya dan hendak
mengetuk pintu di depannya. Belum sempat punggung
jemarinya menyentuh daun pintu, benda itu terbuka. "Pa-
pagi," sapa Keira, sedikit terkejut dengan kemunculan Aldric.

"Pagi," balas Aldric dingin.

"Ehm, aku akan pulang pagi ini," ujar Keira. Satu alis Aldric
terangkat. "Beberapa barang belum bisa aku bawa, tapi aku
sudah minta Bi Endah menyuruh orang mengirim ke rumah."

"Ya, terserah kau saja."

Keira tersenyum kecut. Bukan perpisahan seperti ini yang ia


harapkan, meskipun memang pada kenyatannya seperti inilah
keadaan mereka berdua. Aldric sama sekali tak memberi
tanggapan mengenai permintaan perpisahan mereka. Keira
pikir, Aldric akan menolak dan mempertahankan pernikahan
mereka, nyatanya tidak.

Aldric sama sekali tak peduli. Dia terlihat tenang dan santai.
Mungkin memang benar, dia mencintai secara sepihak.

Flowers | 280
Selama ini, dialah yang menaruh hati terlebih dahulu dan
terlalu banyak berharap.

"Oke. Aku pergi," ujar Keira. Ia tersenyum sedikit dan


menarik kopernya. Saat itulah, Aldric meraih tangannya. Ia
menoleh.

"Hati-hati."
Hanya itu yang dikatakan Aldric padanya. Pundaknya
merosot, saat itu juga ia ingin menangis. Tetapi, ketika tangan
Aldric mulai terlepas, dia harus menghadapi kenyataan.
Pernikahannya telah usai.

***

Keira memutuskan untuk tinggal di kafe sementara waktu.


Pagi itu terlalu pagi untuk membuka kafe, tetapi ia sudah
berada di sana. Ia berencana untuk datang lebih awal,
mendahului Meira dan Lena. Sayangnya, sesampainya di
kafe, Lena juga datang. Dahi sahabatnya itu berkerut-kerut,
ketika melihat koper yang dibawa Keira.

"Ini ...." Kalimat Keira terputus, karena Lena menyahut," Kita


bicara saat Meira datang."

Maka, beberapa jam kemudian Meira datang. Mereka


menutup kafe hari itu dan berbincang di lantai dua. Meira
mondar mandir dengan kesal mendengar cerita bahwa Keira
dan Aldric akan bercerai.

Flowers | 281
"Kau yakin?" ini adalah pertanyaan kesekian kalinya dari
Meira. Dan kesekian kalinya pula, Keira menjawab "Ya".
"Kau gila, Kei. Gila!" Meira memijit-mijit pelipisnya. Ia tidak
merasakan sakit di sana, namun ia tidak habis pikir dengan
keputusan Keira.

"Mei, pernikahan kami sudah tak bisa dipertahankan," untuk


kesekian kalinya, Keira mengucapkan kalimat yang sama.
"Tapi kau mencintai Aldric, Kei," sahut Lena. Biasanya Lena
adalah orang yang selalu mendukung keputusan Keira,
berusaha membuat keadaan lebih baik. Tapi, kali ini Lena
tidak berada dipihaknya.

"Itu tidak penting lagi," jawab Keira lirih. "Ini sudah


keputusan yang kami ambil. Aku tidak bisa terus menerus
menemani Aldric." Begitu mudah kalimat itu meluncur dari
kedua bibirnya, meskipun hatinya terasa teramat piluh.
Terlebih lagi, Aldric sama sekali tak peduli dengan
perpisahan mereka. Lelaki itu, terlihat baik-baik saja. "Lalu
apa yang akan kaulakukan sekarang?" Meira bertanya. Ia
sama sekali tidak membenci Keira, ia hanya terlalu terkejut
dan sedih melihat sahabatnya seperti ini. "Bunda dan Kaira?"
Keira menggeleng. "Mereka belum tahu. Aku belum berani
cerita," akunya. "Sementara aku akan tinggal di kafe. Entah
sampai kapan."

Lena mendesah, mendekati Keira. Ia meraih kedua tangan


Keira, "Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau ini memang
keputusanmu, Kei."

Flowers | 282
Keira memasang senyum terbaiknya, dia membuka kedua
tangannya dan memeluk Lena. Satu tangannya lagi ia buka
untuk Meira. Tetapi, Meira masih terlihat enggan. Keira
memasang wajah memelas, akhirnya Meira mendekat dan
memeluk Keira.

Mungkin, kau akan kehilangan kekasihmu, pasanganmu, tapi


Tuhan akan selalu menghadirkan orang-orang yang selalu ada
untukmu, tak peduli apa pun keputusanmu.

Keira bersyukur, paling tidak ia masih memiliki mereka.

***

"Bagaimana Omi menjelaskan pada orang tua Keira?" Usai


kepergian Keira, Omi datang ke rumah. Tentu saja, mengecek
keadaan cucunya. Setelah apa yang diucapkan Keira waktu
itu, mereka sama sekali tak memberi penjelasan apa pun
kepada Omi. Ia membiarkan Omi tahu setengahsetengah.
Omi semakin terkejut, ketika tahu Keira sudah pergi dari
rumah. Kini, ia duduk saling berhadapan dengan cucunya di
meja makan.

"Al tidak tahu Omi," sahut Aldric. "Biar Aldric yang urus
nanti."

Omi mendesah. Ia geram sekaligus begitu sedih melihat


pernikahan cucunya menjadi seperti ini. Belum ada setahun
pernikahan ini berlangsung, tetapi sudah runyam.

Flowers | 283
"Apa karena Melisa?" tebak Omi. Aldric terkejut dengan
pertanyaan Omi. Ia melihat kedua mata tua di depannya. "Apa
karena Melisa kau begini?"

"Bagaimana Omi tahu Melisa kembali?"

Omi menggeleng, mendesah. "Itu tidak penting." Omi


beranjak dari tempat duduknya, kemudian meraih tas berkelir
merah marun dari kursi sebelahnya. "Sudah cukup. Omi
sudah tahu jawabannya. Omi tidak akan ikut campur lagi."

"Omi, aku mencintainya," ungkap Aldric.

Langkah Omi terhenti, dia tersenyum dan mengangguk. "Omi


tahu."

***

Pagi itu, ketika Aldric melihat Keira menyeret koper pergi


dari rumahnya, ia ingin sekali berlari mengejarnya,
mengatakan jangan pergi. Ia ingin melakukan apa pun, agar
Keira tetap tinggal. Agar perempuan itu tetap berada di
sisinya. Tapi, Aldric justru tak melakukan apa pun,
kepercayaan dirinya runtuh ketika Keira meminta mereka
untuk berpisah.

Aldric merasa bukan orang yang tepat untuk berada di sisi


Keira, ia terlalu sering menyakiti perempuan itu. Maka, ia

Flowers | 284
membiarkan perempuan itu pergi. Bukan hanya
meninggalkan rumahnya, tetapi juga meninggalkan dirinya.

Hari pertama kepergian Keira, ia merasa kosong. Hari kedua


kepergian Keira, ia merasa ada yang hilang dari dirinya. Hari
ketiga kepergian Keira, dia duduk di teras rumah dekat
dengan ruang kerjanya. Berkali-kali wajahnya berpaling ke
ruangan itu, ruangan ia dan Keira gunakan malam itu. Malam
ketika keduanya sama-sama saling menyerahkan diri.
Desahan-desahannya dan desahan Keira bergema di
telinganya, membuat dadanya sesak.

Pagi ini, ia hanya melihat Bi Endah menyiapkan pakaian


kerjanya. Melihat pegawai-pegawainya melakukan pekerjaan
mereka. Hari itu, Aldric memasang dasi secara tidak benar,
sampai-sampai di kantor, Drupadi menegurnya.

"Astaga, Bos. Kau kacau," sekretarisnya itu menghampiri dan


membetulkan letak dasi atasannya itu.

"Astaga, Dru, kalau kau begini mereka akan mengira kau


istriku!" tukas Aldric gusar.

"Tenanglah, meskipun aku masih lajang tak ada lelaki di


dunia ini, selain kau. Aku tetap tidak akan menikahi lelaki
sepertimu, Bos," sahut Drupadi. Ia menepuk-nepuk bahu
Aldric. "Nah, lebih baik."

Flowers | 285
Drupadi mendesah. "Aku berkata ini sebagai sahabatmu, Al.
Sebagai orang yang peduli padamu," kata Drupadi sebelum ia
meninggalkan ruangan Aldric. "Lepaskan dia sebelum kau
memutuskan untuk bunuh diri," ujarnya. "Atau kalau tak
sanggup melepaskannya, katakan kau mencintainya." "Aku
mencintainya," sahut Aldric.

Drupadi tertawa sinis. "Bukan padaku, Bodoh. Katakan


padanya!" Ia benar-benar gemas dengan lelaki di depannya.
"Kau benar-benar tidak sopan, Dru, kau cuma bawahan."
"Sudah kukatakan, aku bicara sebagai sahabatmu. Ckckck ...
dasar pikun."

Sampai sekarang Aldric masih bertanya-tanya, kenapa ia


masih mempertahankan Drupadi untuk bekerja di kantornya.
Mungkin, karena perempuan itu selalu berkata benar
mengenai dirinya. Mungkin juga karena ia tak memiliki
pilihan lain.

Setelah Drupadi keluar dari ruangannya, ada sebuah pesan


masuk.

Keira sakit – Meira

***

Pagi itu, Keira merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia


tidak berselera makan dan berkali-kali ia merasakan mual
yang tak terkira. Badannya terkulai lemas dan hanya bisa

Flowers | 286
berbaring di ranjang. Meira adalah orang pertama yang
mengetahui keadaannya.

"Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang," putusnya. Keira


menggelang.

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku akan minum obat dan


istirahat."

"Kenapa kau seperti anak kecil begini sih, Kei?"

"Astaga, Mei. Ini sakit biasa saja."

Meira menggeleng. Menyerah dengan keras kepala Keira


yang terkadang memang menyebalkan seperti ini.

"Oke. Hari ini kau beristirahatlah, kalau besok keadaanmu


tidak membaik, kita ke dokter. Oke?"

"Oke."
Tanpa sepengetahuan Keira, Meira mengirim pesan kepada
Aldric mengenai keadaan sahabatnya saat ini. Ia tidak tahan
melihat sahabatnya begitu kacau sampai akhirnya jatuh sakit.
Keira tak pernah patah hati sebesar ini. Ia tahu, mereka saling
mencintai, hanya saja sama-sama keras kepala.

Aldric datang, beberapa menit setelah pesan itu terkirim.


Seperti dugaan Meira. Lelaki itu datang dengan wajah kusut,
mata lelah dan terlihat begitu kacau. Sama seperti Keira.
Flowers | 287
Aldric datang ke kafe dengan tergesa. Meira mengarahkannya
ke lantai atas, lelaki itu langsung melesat ke sana. Lena, yang
tengah melayani pembeli memandang ke arah Meira. "Apa?"
kata Meira, seolah-olah tak tahu apa-apa. Lena hanya
menggeleng, diam-diam menyukai ide Meira.

Keira berbaring di ranjang di sebuah kamar di lantai dua.


Aldric berjalan perlahan mendekati istrinya itu. Lalu, ia
berlutut menyamai tinggi ranjang, menyentuh dahi Keira
dengan perlahan. Hatinya terenyuh. Ia merasakan dadanya
membuncah. Kerinduan menyeruak begitu saja. Belum ada
satu minggu ia tidak bertemu dengan Keira, tapi ia sudah
sangat merindukannya.

Karena sentuhan tangan Aldric, kedua mata perempuan itu


terbuka. "He-hei," sapa Keira.

"Hai," balas Aldric. "Kau mau duduk?"

"Y-ya," jawab Keira dengan suara parau. Aldric


membantunya untuk duduk dengan bersandar pada bantal.
"Meira, ya?"

Aldric mengangguk. Kini, ia duduk di tepi ranjang. "Anak itu.


Selalu saja." Keira tersenyum. "Kau terlihat lebih kurus," kata
Keira setelah memperhatikan tulang pipi Aldric yang lebih
menonjol dari kali terakhir dia melihatnya.

Flowers | 288
"Ya, tak ada yang mengurusku," sahut Aldric. Mereka tertawa
kecil. "Kau menelantarkanku, Kei. Ckckck, tidak sopan."
"Maaf."
Aldric mengangguk. Mereka berdua berdiam diri untuk
sesaat, merasakan kehadiran masing-masing. Lalu, Aldric
meraih kedua tangan Keira. Ia melihat guratan-guratan di
tangan istrinya itu.

"Kau ingat, Kei, hari pertama kita bertemu?" Aldric membuka


pembicaraan.

Keira mengangguk. Ia mengingat dengan jelas. Bukan ketika


di pesta waktu itu, tetapi di halte bus.

***

Saat itu, Keira sedang patah hati karena Kaira bilang akan
menikah dengan Yoga. Seperti biasa, dia pulang dari kafe
naik bus. Tetapi, berkali-kali melewatkan bus yang
membawanya pulang ke rumah. Air matanya bercucuran,
berlomba dengan rintik hujan. Saat itulah, seorang laki-laki
datang, duduk tidak jauh darinya.

Lelaki itu adalah Aldric.

"Setiap hari selalu saja hujan," Aldric membuka suara. Saat


itu, Keira tak peduli. Ia terus menatap ke arah jalanan yang
semakin bergenang, seperti pipinya yang semakin basah.

Flowers | 289
"Banyak yang menyukai hujan, tapi yang membencinya pun
tak kalah banyak."

Keira menoleh, baru menyadari lelaki di sebelahnya berbicara


dengannya. Karena malam telah sangat larut, halte sepi. "Kau
berbicara denganku?"

"Tidak, aku berbicara dengan hujan," ujarnya. Keira tertawa,


merasa lelaki di sebelahnya tidak waras.
"Kalau boleh tahu, apakah hujan berbicara juga denganmu?"
Kini, Keira ikut-ikutan tidak waras.

"Ya."
"Apa yang dikatakannya?"
"Dia bilang, aku harus menikah denganmu."

***

Aldric tak pernah melihat perempuan serapuh Keira. Yang tak


segan duduk di antara keramaian, menangis, tak peduli orang-
orang di sekitarnya melihat ke arahnya. Tanpa sepengetahuan
Keira, Aldric sudah lama memperhatikannya dari dalam
mobil. Maka, malam itu ia turun dan menemani perempuan
asing yang beberapa minggu kemudian ia nikahi. Saat itu,
Aldric hanya memikirkan bagaimana cara membuat
perempuan itu tersenyum, agar harinya tak terlalu suram
dengan mengingat Melisa.

Flowers | 290
"Saat itu, aku hanya berpikir, kalau aku menikah nantinya,
aku ingin menikah denganmu. Terdengar membual, tapi
itulah yang kupikirkan."

Mendengar cerita Aldric, Keira menggigit bibir bawahnya.


Tubuhnya meremang, antara terharu dan tersipu. "Mungkin
kata ini sudah terlalu terlambat untuk diucapkan, Kei. Tapi,
sekali saja, aku ingin mengatakannya. Mungkin tak akan bisa
mengubah apa pun. Tak bisa mengubah keputusanmu. Aku
tetap ingin mengatakannya."

Air mata Keira menetes. Aldric mengusap lembut air mata itu,
dari pipi Keira. "Aku mencintaimu, Kei. Aku tidak tahu sejak
kapan, tapi aku mencintaimu."

Air mata Keira turun semakin deras. Ia terisak.

"Aku tidak akan memohon kau untuk tetap tinggal, tetap di


sisiku, meskipun itu hal yang sangat ingin kukatakan." Aldric
menempelkan keningnya ke kening Keira. "Aku tidak ingin
kau tersakiti lebih jauh lagi."

Aldric mencium Kening Keira begitu lama, begitu dalam,


begitu pilu. Sedangkan Keira sendiri terisak tak tertahankan.
Ia tak bisa berkata apa-apa.

"Jika yang kau inginkan adalah perpisahan, aku akan


memenuhinya."
***

Flowers | 291
BAB DUA PULUH TIGA

Kedua mata Aldric terasa berat, teramat berat untuk ia buka.


Tetapi, ponsel yang berada di atas nakas terus menerus
menjerit membuat ia mau tak mau harus membuka mata dan
duduk di tepi ranjang. Dru, sekretarisnya menghubunginya.
"Bos, kau tak ke kantor hari ini? Aku sudah susah-susah
mengatur jadwalmu, jangan menambah pekerjaanku," ia
mengomel di ujung telepon. Aldric mengusap mukanya dan
hanya mendengarkan Dru mengoceh, yang tak ia dengarkan
dengan benar.

"Bos, kau mendengarku, tidak?"

"Ya, aku akan bersiap-siap sekarang. Jangan bawel." Setelah


mengucapkan kalimat tersebut, Aldric menutup teleponnya.

Dia menunduk menatap tekel kamarnya, menghalau rasa


kantuk yang ada. Lalu, dia melihat sekeliling. Sunyi. Tentu
saja, Keira sudah tak di rumahnya. Bi Endah hanya masuk
ketika ia bangun.

Aldric menyesali kalimatnya yang ia ucapkan pada Keira


kemarin. Ia sesungguhnya tak tahu, harus berkata apa pada
istrinya itu. Hanya saja, ia takut melukai Keira lebih dalam.
Kalau Keira ingin berpisah, ia akan mengabulkannya,
meskipun ia tak ingin.

Flowers | 292
Baru saja Aldric ingin beranjak dari tepi ranjang, ponsel
pintarnya kembali berdering. Bukan dari Dru, melainkan dari
Melisa. Aldric melihat layar ponselnya cukup lama, sampai
ponsel itu berhenti berdering. Selang beberapa saat, ponsel itu
kembali berdering. Hanya sebentar, sebuah pesan masuk.

Aku ingin bertemu denganmu


Aldric membaca pesan tersebut. Ia meraih ponselnya,
mengetikkan sebuah pesan, kepada Dru.
Sori, Dru. Hari ini aku cuti.
Aldric bersiap-siap untuk bertemu Melisa.

***

Melisa menunggu Aldric di kafe yang sama seperti pertemuan


mereka sebelumnya. Ia menunggu sembari membaca buku,
sebuah novel roman. Ia meletakkan novel tersebut di atas
meja, ketika Aldric tiba. Lelaki yang ditunggunya itu, berdiri
di hadapannya. Melihat ke arahnya.

Aldric tersenyum kepadanya. Senyum yang begitu ia


rindukan. "Hai."

"Hai," balas Aldric. Ia menarik salah satu kursi dan duduk di


seberang Melisa. "Aku senang kau mengajakku untuk
bertemu."

Bibir Melisa merekah. Ia tahu, Aldric akan kembali ke


sisinya. Apa pun yang terjadi, Aldric hanya miliknya. "Tapi,
Flowers | 293
aku di sini bukan untukmu, Mel," tambah Aldric. Seketika
senyum Melisa menghilang, digantikan dengan kerutan pada
dahinya. "Aku memang pernah begitu menyukaimu, bahkan
aku pernah tergila-gila kepadamu,"
Aldric mengambil jeda," tapi itu dulu."

"Kita bisa memulainya dari awal," sahut Melisa. "Tak usah


buru-buru, kali ini aku tak akan pergi. Aku janji." Aldric
tersenyum, meraih jemari Melisa. "Maafkan aku, Mel. Tapi,
aku ingin memulai dari awal dengan orang lain." Aldric
tersenyum. "Yah, aku akan menunggu dia."

Melisa menarik jemari-jemarinya dari tangan Aldric. Dia


melihat ke arah novel yang ia letakkan di atas meja. Novel itu
bersampul merah jambu. Sebelum masuk ke kafe ini, ia
mampir ke toko buku di sebelah. Melihat-lihat, kemudian
novel itu menarik perhatiannya. Bukan karena sampulnya,
melainkan karena nama penulis yang tertera pada sampul
tersebut.

"Keira," lirih Melisa. "Kau akan menunggu penulis itu." Ia


menyentuh novel di atas meja. "Apa hebatnya dia?" "Tidak
ada," sahut Aldric. "Tapi, aku mencintainya."

***

Kereta keberangkatan ke Stasiun Yogyakarta 20 menit lagi


tiba. Keira sudah duduk di kursi penunggu, bersama Meira
dan Lena.

Flowers | 294
"Hanya satu Minggu, kan?" tanya Meira, untuk kesekian
kalinya. "Nggak lebih."

"Iya, iya. Satu minggu saja kok," jawab Keira. "Takut kangen,
ya?" godanya.

"Kamu baik-baik ya, di sana. Pokoknya kamu harus


bersenang-senang, lupakan masalahmu barang sejenak.
Jangan menyalahkan diri sendiri," omel Meira lagi.
"Iya, iya," sahut Keira lagi.

"Udah gih, masuk," tukas Lena. "Sebentar lagi kereta kamu


datang," tambahnya.

"Oke-oke," ucap Keira. Dia memeluk Meira, lama. "Terima


kasih," ujarnya. Lalu, dia memeluk Lena. "Aku sayang
kalian."
"Kami juga, Kei," sahut Lena.

"Ingat, ya, kamu harus bersenang-senang," tukas Meira. "Aku


juga sayang kamu."

"Oke, siap!" seru Keira. Ia meraih tas ranselnya dari atas kursi
dan mengeluarkan KTP serta tiket kereta yang sudah ia cetak
sebelumnya. Ia berjalan ke arah pintu masuk peron. Dia
menoleh ke arah kedua sahabatnya, melambaikan tangan
sembari tersenyum.

Flowers | 295
Keira menyerahkan KTP-nya beserta tiket ke petugas.
Petugas tersebut mencocokkan data, kemudian
mengembalikan kepada Keira. Perempuan itu tersenyum
sebagai ucapan terima kasih.

Keira menarik napas dalam-dalam, kemudian


menghembuskannya perlahan. Ia masih merasakan sesak
yang teramat dalam dadanya.
"Oke, mari berlibur!" ucapnya, pada dirinya sendiri.

Peron kereta Statsiun Gubeng Surabaya, penuh sesak.


Orangorang menggeret koper, membawa tas ransel seperti
dirinya, dan beberapa membawa kardus-kardus dengan tali
rafia sebagai pengikatnya.

Keira duduk di salah satu kursi penunggu, kemudian melihat


ke sekeliling peron sekali lagi. Ia melihat wajah-wajah
mereka satu per satu. Salah satu dari mereka mungkin datang
penuh kebahagiaan dan mungkin salah satu dari mereka ada
yang seperti dirinya; patah hati.

Usai kedatangan Aldric ke kafe waktu itu, Keira susah tidur.


Ia menangis dan terus saja menangis, hingga perutnya mual
dan memuntahkan apa yang dia makan. Meskipun begitu, ia
tak bisa berhenti menangis. Ia menyesali kenapa harus mau
menikah dengan Aldric, kenapa ia mengiyakan ajakan Aldric
untuk berkencan dan ia menyesali tak mengatakan apa-apa
dan membiarkan Aldric pergi.

Flowers | 296
Membiarkan Aldric mengira ia meminta perpisahan. Yang
sebenarnya, Keira tak tahu dengan apa yang ia inginkan. Sakit
hatinya terlalu besar, hingga mengalahkan keinginannya
sendiri. Seharusnya, ia berkata "Jangan pergi" kepada
suaminya itu.

Sayangnya, Keira memilih bungkam. Ia takut, apa yang sudah


terjadi akan terulang lagi, lagi, dan lagi.

Ia ketakutan setengah mati, Aldric akan menyakitinya lagi.

***

Ada rahasia yang tak Keira ceritakan kepada Aldric, ketika


Aldric bercerita mengenai pertemuan pertama mereka. Lidah
Keira terlalu keluh untak berkata-kata, maka air matanya
yang turun terlebih dahulu.

Ucapakan Kaira mengenai pernikahannya dengan Yoga,


benar-benar membuatnya sakit. Ia sudah menduga pada
akhirnya Yoga akan melamar adiknya itu. Meskipun begitu,
tetap saja rasa sakit itu tak bisa dia hindari.
Keira menunggu bus lewat di halte, berkali-kali ia menghela
napas dengan pikirannya ke mana-mana. Ia diam-diam
sesenggukan. Air matanya turun tanpa bisa ia tahan. Ia tahu,
orang-orang akan memperhatikannya, tetapi ia tak bisa
menahan diri. Lalu, tiba-tiba saja ada lelaki yang berbicara di
dekatnya.

Flowers | 297
"Setiap hari selalu saja hujan," ujar lelaki itu. Awalnya, Keira
tak peduli. Ia pikir ada seseorang sedang berbicara dengan
temannya. "Banyak yang menyukai hujan, tapi yang
membencinya pun tak kalah banyak," lelaki itu melanjutkan.
Keira menoleh ke asal suara, "Kau berbicara denganku?"
tanyanya. Ia membasuh pipinya yang basah.

"Tidak, aku berbicara dengan hujan," jawab lelaki itu. Keira


tertawa, mendadak ia melupakan air matanya. Ia merasa
lelaki di sebelahnya tidak waras.

"Kalau boleh tahu, apakah hujan berbicara juga denganmu?"


kini, Keira ikut-ikutan tidak waras.

"Ya."
"Apa yang dikatakannya?"

"Dia bilang, aku harus menikah denganmu."

Yang tidak diketahui oleh Aldric adalah saat itu, Keira juga
ingin menikah dengannya.

***

Aldric mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum


benarbenar terjaga. Pagi ini, ia terbangun dengan melihat
cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya. Ia belum sadar
betul, namun ia menggerutu.

Flowers | 298
Seingatnya, dia sudah menutup kelambu jendela yang menuju
balkon semalam. Bi Endah pun tak pernah membuka kelambu
kamarnya, selagi ia terlelap. Bi Endah hanya masuk ketika
Aldric sudah di kamar mandi.

Aldric menurunkan kakinya dari ranjang, menguap beberapa


kali. Ia berpikir, mungkin ia lupa menutup kelambu tersebut
semalam. Padahal ia ingin bangun siang, menikmati hari
liburnya.

Ia berjalan keluar kamar dengan mata yang sedikit


mengantuk. Rambutnya awut-awutan, begitu pula dengan
kaus berwarna putih yang ia kenakan. Ia menuruni anak
tangga satu per satu. Aldric ingin ke dapur, mengambil air
minum.

Ketika anak tangga hampir habis, langkah kakinya terhenti. Ia


menghidu aroma sedap dari arah dapur. Bukan hanya itu saja,
ada celotehan Bi Endah dan seorang perempuan yang
dikenalnya. Sejenak, Aldric berharap apa yang didengarnya
adalah benar. Namun, mungkin dia sedang berhalusinasi.
Tidak mungkin Keira ada di rumah ini.

Lalu, bagaimana dengan aroma ini?

"Bagaimana, Bi?" Aldric mendengar suara itu lagi. "Enak,


kan?"

"Seperti biasa," sahut Bi Endah.

Flowers | 299
Aldric mempercepat langkahnya, ia berbelok ke arah kanan,
kemudian berbelok ke pintu. Ke arah dapur.

Mata Aldric membulat, dengan apa yang dilihatnya sekarang.


Jantungnya berdegup kencang, andrenalinnya berpacu.
Antara senang dan tidak percaya.
"Kei ...," panggilnya, pada sosok perempuan yang tengah
membelakanginya. Perempuan itu menoleh, mematikan
kompor.
"Hai," sahut Keira. Dia tersenyum, matanya berkaca-kaca.
"Aku membuatkan sarapan untukmu," lanjutnya.
Aldric berjalan menghampiri Keira, mereka berhadapan.
"Kau di sini."

Air mata Keira turun. "Ya," ucapnya. Dia tertawa kecil. "ku
pulang."

Aldric menutup jarak di antara mereka. Ia merengkuh istrinya


itu, menenggelamkan wajahnya di rambut Keira. Berkalikali,
Aldric berkata, "Kau pulang. Kau pulang."
"Ya, aku pulang."
Bi Endah meninggalkan dapur, membiarkan kedua orang
yang tengah mengobati rindu itu berdua saja. Aldric
melepaskan pelukannya, menempelkan dahinya di dahi
Keira. Mereka berdua tersenyum dalam haru yang
mendalam. "Aku mencintaimu, Kei." Keira
tersenyum, "Aku juga mencintaimu, Al."

***
Flowers | 300
Epilog ~

"Al!" panggil Keira. "Cepatlah!"

Aldric dari kejauhan membawa beberapa peralatan untuk


mendirikan tenda. Mereka berdua pergi ke Pantai Watu Leter,
membawa bekal nasi kuning, lauk-pauk dan seperti janji
Aldric sebelumnya, mereka berpakaian pantas.

Keira membawa keranjang makanan yang berisi nasi kuning,


serundeng dengan daging dan ikan asin, perkedel, telur dadar,
buah-buahan dan beberapa botol minuman. Ia menaruh
keranjang itu di atas pasir, tertawa melihat Aldric yang
kesusahan membawa peralatan berkemah.

"Cepatlah," tukas Keira, sembari tertawa kecil. "Kau lambat


sekali."

Aldric meletakkan beberapa peralatan berkemah di atas pasir.


"Baiklah, sekarang kita akan membangun rumah di sini,"
ucapnya.

"Semangat!" seru Keira. Dia tertawa lepas.

Aldric mendirikan tenda, memasukkan kasur mini dan bantal


ke dalamnya. Keira menggelar tikar dan menata makanan di
atas tikar tersebut. Lalu, mereka duduk berdua di sana. Kedua
suami istri itu duduk berdampingan, menikmati deburan
ombak di hadapan mereka. Angin laut berhembus perlahan,
Flowers | 301
menerbangkan rambut Keira. Sesekali, Aldric membetulkan
letak rambut istrinya itu.

"Aku sudah memenuhi janji," tukas Aldric, melihat ke arah


Keira.

"Aku juga," sahut Keira.

Aldric mengulurkan tangannya. "Mau main pasir?" tawarnya.


Keira tertawa, kemudian meraih tangan Aldric tanpa
keraguan. Mereka berjalan ke arah laut.

Flowers | 302
Extra Part 1: Menentukan Pilihan

Keira

Memangnya, pilihan apa yang aku miliki?


Pertanyaan itu terus muncul di kepalaku, enggan pergi barang
sedetik. Sesungguhnya, aku tak pernah berharap akan
terjebak dalam pernikahan sialan ini. Sejak usia 17 tahun, aku
sudah memiliki pernikahan impian. Menikah di usia 21 tahun,
meneruskan kuliah hingga S2, dan tentu saja aku akan
berbahagia dengan suamiku.

Sejak remaja aku sudah memiliki kriteria lelaki impian; lelaki


yang rupawan, memiliki tubuh tinggi, humoris, pengertian
dan cerdas. Semua kriteria yang aku katakan, ada pada Yoga.
Aku selalu membayangkan, akan menyenangkan hidup
bersama Yoga untuk waktu yang lama. Kami cukup dekat
untuk ukuran teman. Hampir tak ada rahasia yang kami
simpan, satu sama lain. Kecuali, mengenai perasaan kami.

Adalah Yoga orang pertama yang membuka satu-satunya


rahasia yang dia simpan rapat-rapat. Waktu itu, aku
menemaninya mengerjakan tugas yang lupa ia kerjakan.
Lebih tepatnya, dia menyalin tugasku.

"Ckckck, Ga, kau ini selalu saja pelupa. Apa saja yang kau
kerjakan di rumah? Bergosip dengan Rihana?" Rihana adalah
kucing milik Yoga. Lelaki itu penyayang kucing. Dia

Flowers | 303
memungut Rihana dari tepi jalan ketika kami study campus
semasa SMA.

"Aku sibuk, Kei. Kau tahulah," jawabnya, tanpa melihat ke


arahku. Lelaki di sebelahku itu terus menyalin tugas di atas
kertas. Yoga memang cukup sibuk, dia bekerja di salah satu
restoran cepat saji untuk memenuhi biaya kuliahnya.

Keluarganya berkecukupan, tetapi Yoga anak pertama


dengan tiga adik yang semuanya perempuan. Jarak di antara
mereka tidak jauh, hanya sekitar dua sampai tiga tahun. Yoga
merasa bertanggung jawab untuk menjadi contoh yang baik
bagi adik-adiknya. Makanya, dia membiayai kuliahnya
sendiri.

"Ya. Ya. Kakak yang baik untuk adik-adiknya," seruku.


Mengenal Yoga, menjadi hal yang aku syukuri. Lelaki yang
selalu bisa membuatku tenang ini, membuatku bersyukur
mengenalnya.

Lalu, tiba-tiba saja Yoga berhenti menulis. Dia


menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Suasana
kelas begitu hening, ini jam makan siang, tidak ada kelas. Jam
satu nanti, kami ada kelas di sini. Sehingga, aku dan Yoga
leluasa memakai kelas.

"Kei," Yoga bersuara.

Flowers | 304
"Hmmm?" saat itu, aku dengan tenang menjawab
panggilannya. Sama sekali tidak menyadari ada perubahan
pada wajahnya. Aku sibuk bermain ponsel, tertawa sendiri
melihat lini masa, ketika mendapati video lucu. "Eh, Ga, lihat
ini," kataku. Lalu, aku tertegun. Yoga melihat ke arahku,
wajahnya serius.

"Ada apa?" tanyaku.


"Aku menyukai Kaira," tukasnya. Ketika dia berkata
demikian, aku hanya melihat ke arahnya. Lalu, aku tertawa.
"Aku serius, Kei." Aku diam.

Rasanya, ada sesak yang tiba-tiba masuk ke dalam dada.


Begitu penuh. Begitu asing. Selama bertahun-tahun, di dalam
hatiku hanya ada perasaan peduli dan sayang kepada Yoga.
Tapi, detik itu ada perasaan asing yang membuatku takut
untuk kukenali. Perasaan benci.

Aku takut membenci Kaira.

Yoga sering datang ke rumah. Aku, Meira, Lena dan Yoga


cukup dekat. Kami sering bertemu dan berkumpul di rumah.
Tentu saja, mereka bertiga mengenal Kaira. Jarak antara aku
dan Kaira hanya tiga tahun. Ketika pertama kali Yoga
bertemu Kaira, adikku itu masih duduk di sekolah menengah
pertama. Mereka cukup akrab. Kaira yang pendiam, bisa
begitu nyaman berbincang dengan Yoga.

Flowers | 305
"Boleh aku pacaran sama adikmu, Kei?" ucap Yoga lagi.
"Aku sudah tak bisa merahasiakannya lagi." Dia terus
berbicara. Aku masih diam. "Kaira sudah berkuliah sekarang,
boleh aku pacaran sama dia?"

Tanpa menjawab pertanyaan Yoga, aku mengambil tugas


kuliahku dari hadapannya, kemudian berjalan keluar. Yoga
mengikutiku, memanggil namaku. Aku terus berjalan
melewati lorong kampus yang cukup sepi, menuruni anak
tangga, lalu berhenti.

"Kau marah padaku?" tanya Yoga yang sejak tadi


mengikutiku.
"Tiba-tiba saja, aku tak ingin masuk kelas hari ini. Kau mau
menemaniku makan siang?"

Yoga menatapku. Tapi, dia mengangguk.

Siang itu, kami membolos. Yoga mengajakku ke pusat kuliner


di Kebun Bibit. Sesampainya di sana, dia mengajakku ke
salah satu stand mi pangsit Jakarta. Yoga mengambil
selembar menu makanan , lalu memesan dua mangkuk mi
pangsit ayam jamur dan dua gelas es jeruk.

Tak satupun dari kami yang berbicara, apalagi membicarakan


mengenai Kaira. Setelah mi pangsit di mangkukku tandas,
aku berkata, "Kau boleh menyukai adikku."

"Apa?" sahut Yoga.

Flowers | 306
"Kau boleh menyukai Kaira, adikku," Aku meminum es jeruk
yang tinggal separuh hingga habis. "Astaga, kau boleh
menyukai adikku, Ga. Tapi, kalau kau ...."

"Aku tidak akan menyakitinya, Kei," sahut Yoga. "Aku janji."


Aku tertawa. "Bukan itu, Bodoh," sahutku. "Kalau kau yang
membayar makan siang kita."

Yoga tertawa, begitu pula denganku. Lalu, dia terdiam. "Tapi


aku serius. Aku tidak akan menyakitinya."

"Aku tidak percaya," kataku meremehkan. "Kalau Kaira


menyukaimu, dia harus siap tersakiti. Tidak ada orang yang
benar-benar bisa menyenangkan orang lain terus menerus.
Berusahalah untuk tidak menyakitinya dengan tidak
meninggalkannya, Ga."

Yoga mengangguk. "Kau boleh memesan mi pangsit lagi,


omong-omong. Aku sedang bahagia."

"Hah. Lagi pula, Kaira belum tentu menerimamu." Yoga


tertawa. "Semalam aku sudah menyatakan perasaanku
kepadanya. Dan dia menerimaku."

"Sial."

***

Aku terlalu mencintai Kaira.


Flowers | 307
Ketika Yoga mengatakan jatuh cinta pada Kaira, aku merasa
bahagia karena Yoga akan menepati janjinya. Dan lelaki itu
akan menjaganya. Di sisi lain, hatiku begitu remuk. Tapi, aku
tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Satu-satunya orang yang
bersalah adalah aku sendiri. Aku orang pertama yang
menyukai Yoga, seharusnya aku pun bisa mengungkapkan
perasaanku.

Seperti ketika Yoga mengatakan rahasianya waktu itu, aku


tidak punya pilihan lain, selain mendukung mereka. Aku
percaya nantinya, semua perasaan ini akan tiada. Aku tak
pernah menyangka, perasaanku terhadap Yoga benar-benar
sirna ketika bertemu Aldric. Lelaki yang benarbenar ingin
kutemui saat ini. Akan tetapi, ada ketakutan yang sangat besar
dalam hatiku untuk melakukannya. Meskipun, Aldric berkata
dia mencintaiku.

Benarkah demikian?

Kereta yang kutumpangi sudah sampai di Stasiun


Yogyakarta. Aku menutup novel yang sudah kubaca
seperempat sejak dari Surabaya, lalu memasukkannya ke
dalam tas bahu yang kubawa. Lalu, aku menunggu kereta
benar-benar berhenti, baru berdiri dan mengambil tas jinjing
yang berisi pakaianku untuk beberapa hari ke depan. Orang-
orang berbondong membawa barang-barang mereka,
mengantre turun dari gerbong kereta. Aku menunggu mereka
turun terlebih dahulu, agar lebih leluasa. Baru setelah gerbong
kereta lumayan sepi, aku mulai berjalan dan menuruni kereta.

Flowers | 308
Sore itu, cuaca Jogja redup. Tak terlihat awan menggumpal
hitam, tetapi awan putih yang menutupi matahari sore. Aku
segera keluar dari stasiun dan memesan taksi untuk menuju
hotel. Lalu, kuurungkan niatku untuk mencari taksi, setelah
mengecek lokasi hotel, ternyata tidak jauh dari Stasiun
Yogyakarta.
Kuputuskan untuk berjalan kaki.

Ini sudah kesekian kalinya aku menginjakkan kaki di Jogja.


Sejak masa kuliah, aku sering ke sini, entah bersama Meira
dan Lena, maupun datang seorang diri. Ketika pikiran begitu
buruk, tempat pertama yang ingin aku kunjungi adalah Jogja
dengan segala kenangan yang ada.

Aku berjalan kaki melewati Jl. Mangkubumi yang tak pernah


sepi. Sembari berjalan kaki, aku mengecek pesan pada ponsel
yang sedari tadi bergetar, menandakan ada pesan masuk. Aku
mengeceknya satu per satu, beberapa pesan dari grup yang
berisi aku, Meira dan Lena. Mereka bertanya apakah aku
sudah sampai di Jogja. Sisanya, pesan dari Kaira, Yoga, dan
sebuah nomor asing.

Kuabaikan pesan-pesan tersebut, kecuali pertanyaan Meira


dan Lena. Aku memberitahu mereka kalau aku sudah sampai
di Jogja dan sedang berjalan kaki ke hotel.

Memangnya di Jogja tidak ada taksi?

Meira menulis pesan tersebut di grup.

Flowers | 309
Entah kapan terakhir kali aku berolahraga, Mei! Demi
kesehatan!

Balasku. Lalu, aku teringat ketika Aldric mengajakku lari


pagi. Itu adalah olahraga terakhir yang kulakukan. Mendadak,
dadaku semakin sesak. Pikiran buruk menyerangku begitu
saja, membuatku kesal setengah mati. Aku merindukan lelaki
itu, tetapi kenangan buruk mengenainya membuatku sesak.

Terkadang, aku berpikir bahwa semua ini terjadi karena


kesalahanku. Seandainya saja aku tidak memutuskan untuk
menikah dengan Aldric, aku tidak akan merasakan sakit hati
seperti sekarang. Harusnya, aku lebih bersabar dan menerima
kenyataan kalau Kaira akan menikah dengan Yoga. Pada
kenyataannya, aku terlalu pengecut untuk itu. Bahkan, sampai
sekarang ketika masalah kembali menyapa, aku memilih
pergi.

Aku menghela napas berkali-kali. Menenangkan diri.


Tibatiba saja, aku ingin minum cokelat hangat. Nampaknya,
akan mengembalikan perasaanku. Biasanya, minum cokelat
mampu membuatku lebih tenang. Kuputuskan untuk masuk
ke dalam salah satu kafe di dekat hotel, setelah mencari kafe
terdekat. Aku harus masuk ke sebuah jalan ke arah kiri, untuk
mencapai kafe tersebut.

Pintu kaca kafe tersebut transparan, dengan gambar burung


hantu kecil berwarna putih, sesuai dengan nama kafe. Aku
membuka pintu tersebut dan disambut oleh pegawainya yang

Flowers | 310
ramah. Hal ini mengingatkanku akan Kuuki. Aku kembali
menghela napas, baru beberapa saat aku berada di Jogja,
tetapi banyak hal yang kurindukan. Kenapa aku jadi
semelankolis ini?

Aku memesan secangkir cokelat hangat, setelah membayar


pesanan, aku mencari kursi di dekat jendela. Saat itu, aku
melihat seorang lelaki yang berusia sekitar dua puluh tahun
datang dengan tergesa membuka pintu kafe. Terlihat
napasnya memburu, beberapa titik keringat membasahi
dahinya. Lelaki itu menggunakan setelan jas dan membawa
sebuket bunga. Aku tersenyum melihatnya, nampaknya dia
akan menemui orang yang dicintainya.

Lelaki itu segera duduk di salah satu sofa pada kafe, tidak jauh
dariku. Di sana sudah ada seorang perempuan seusia
dengannya yang terlihat manis mengenakan gaun. Lalu,
terjadi pertengkaran kecil. Tak lama kemudian, perempuan
itu keluar kafe dengan wajah gusar, saat itulah cangkir
cokelatku datang.

"Terima kasih," kataku pada pegawai kafe tersebut. Aku


menoleh keluar kafe, di sana kedua remaja dewasa itu terlihat
adu mulut. Si perempuan ingin pergi dan si lelaki mencekal.
Aku menghela napas. Tersenyum kecut. "Di dunia ini
memang tak selalu menjadi harapan-harapan yang kita
inginkan."

Flowers | 311
Aku menghabiskan secangkir cokelat hangat sore itu,
bersama gerimis yang membasahi Jogja.

***

Pukul sepuluh pagi, aku sudah berdiri di halte TransJogja.


Setelah membayar tiket di halte Malioboro 1, aku menunggu
kedatangan bus TransJogja. Tak ada yang ingin aku lakukan
hari ini, keculai berjalan-jalan. Aku berencana untuk ke Candi
Ratu Boko. Berkali-kali, Meira berkata aku harus datang ke
tempat itu. Dia bilang, tempat itu bagus untuk berfoto dan
memiliki pemandangan senja yang indah.

Aku sudah membawa kamera hasil meminjam Lena, untuk


mengabadikan beberapa pemandangan di Jogja. Beberapa
kali, aku sudah mengabadikan beberapa pejalan kaki di Jalan
Malioboro. Meskipun amatir dalam memegang kamera, aku
cukup lihai dalam mengabadikan momen.

Bus TransJogja melaju cukup cepat, sehingga membuatku


cukup pusing. Sesekali bus ini berhenti di beberapa titik halte,
sampai akhirnya berhenti di pemberhentian terakhir yakni di
Halte Prambanan. Dari sana, aku memesan taksi daring untuk
menuju Candi Ratu Boko.

Untuk mencapai Candi Ratu Boko yang terletak di dataran


tinggi, aku melewati pematangan sawah, pemandangan hutan,
dan jalanan yang menanjak. Udara Jogja cukup dingin,

Flowers | 312
sehingga aku membuka jendela kaca taksi daring yang
kutumpangi.

"Dari mana, Mbak?" tanya driver yang kebetulan seorang


perempuan.

"Surabaya, Mbak," jawabku.

"Liburan?" tanyanya lagi.

"Iya."
Aku turun di depan pintu masuk Candi Ratu Boko. Setelah
berterima kasih pada driver taksi daring dan membayarnya,
aku berjalan ke arah loket tiket masuk. Setelah membayar dan
mendapatkan tiket, aku kembali berjalan ke arah yang lebih
jauh,menaiki anak tangga. Setelah menaiki beberapa anak
tangga, aku bisa melihat pemandangan Jogja dari sini. Aku
pun mengabadikannya dengan kamera milik Lena.

Meira benar, di sini cukup menyenangkan dan memiliki


pemandangan yang indah. Sebelum mencapai candi, aku
melewati jalanan berpaving dan di sisi jalan terdapat
tamantaman serta joglo. Di luar area, ada beberapa warung
yang menjajakan makanan. Beberapa pengunjung makan di
joglo, ada yang bersama keluarga, maupun pasangan.
Pada akhirnya, aku sampai di pusat lokasi, yakni candi yang
menjadi tempat banyak orang untuk pengambilan foto. Saat
ini, masih terlalu siang untuk menikmati senja. Tentu, tak

Flowers | 313
banyak orang yang datang. Aku terus menaiki anak tangga,
berpapasan dengan orang-orang yang mengambil foto.

Terkadang, aku berhenti agar tidak menghalangi orang lain


berfoto. Setelah itu, baru aku berjalan kembali. Pada dataran
paling tinggi, aku melihat seorang perempuan yang
mengenakan gamis berwarna merah marun dan berkerudung,
dengan sepatu olahraga berwarna hitam. Dia sedang bergaya
pada sisi candi yang berbentuk seperti pintu gerbang. Seorang
perempuan lainnya, yang terlihat lebih muda mengambil foto.
Aku menghampiri perempuan yang memakai gamis berwarna
merah marun.

"Maaf, mbak," ucapku. Dia menoleh, tersenyum. "Boleh


minta tolong fotokan saya?" kataku.

"Tentu," jawabnya. Kuserahkan kamera milik Lena


kepadanya, lalu aku berdiri di tempat ia berdiri tadi.

Perempuan itu menjauhiku, lalu mengambil beberapa foto,


kemudian kembali.

"Terima kasih," kataku.

"Sama-sama," jawabnya.

"Pemandangannya indah ya?" ucapku.

Flowers | 314
"Iya," balasnya. "Kalau sore, banyak yang datang untuk
memotret senja," tambahnya. "Saya membacanya dari
internet." Dia tertawa kecil.

"Ya, saya juga sempat mencari informasi mengenai tempat


ini," balasku. Perempuan itu tertawa kecil, ketika melihat
perempuan lain yang memfotonya tadi. Perempuan yang
lebih muda itu sedang melakukan swafoto dan perempuan di
sebelahku tertawa kecil melihatnya. "Itu ...."

"Adik," sahutnya. "Maklum, remaja."

Mendadak, aku teringat Kaira. Aku lihat mereka berdua


usianya terpaut jauh, tetapi terlihat sangat akrab. Bahkan, cara
berpakaian mereka mirip. Nampaknya, perempuan ini
menjadi kiblat dari adiknya.

"Saya juga punya adik perempuan," tukasku tiba-tiba. Dadaku


terasa penuh dengan kerinduan. Mengingat pesan yang
dikirim Kaira kemarin, yang tak kubalas. Bahkan, aku tidak
membuka pesan darinya.

"Terkadang, memiliki adik perempuan itu merepotkan, ya,"


katanya. Aku mengerutkan dahi. "Ada kalanya, saya merasa
iri dengannya, karena lebih ceria dan banyak yang
menyukainya. Tapi, di sisi lain, saya beruntung menjadi
kakaknya." Dia tertawa. "Lihat, gaya berpakaiannya meniru
saya."

Flowers | 315
Aku ikut tertawa. Mengenang Kaira yang selalu berkata ingin
sepertiku, tetapi dalam hatiku bahwa beruntung sekali Kaira
memiliki Yoga. Aku menghela napas panjang. "Begitulah.
Terkadang, kita rela untuk menekan hati lebih dalam, demi
kebahagian dia, bukan?" ucapku.

"Ya, seperti Katnis kepada Prim," sahut perempuan itu.

"Ah, Hunger Games!" seruku. Kami tertawa.

"Mbak!" panggil perempuan yang lebih muda, sembari


melambaikan tangan.

"Baiklah, saya harus pergi," pamit perempuan itu.

"Ah, iya, terima kasih."

"Senang bertemu denganmu, semoga kau bahagia selalu,"


ucapnya. Lalu, dia berjalan ke arah adiknya.

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian


mengeluarkannya. Aku segera mengambil ponselku,
mengecek pesan dari Kaira.

Aku merindukanmu. Tolong hubungi aku dan katakan kau


baik-baik saja.

***

Flowers | 316
Pada sisi lain candi, ada dua pohon besar yang meneduhkan
dataran di bawahnya. Dekat dengan pohon-pohon itu ada
sebuah kursi besi yang dicat tembaga, serupa dengan karat.
Kursi itu terlihat kesepian, dengan angin yang cukup kencang
menerbangkan dedaunan kering yang memenuhi rerumputan
yang mengering pula.

Aku duduk di kursi itu, lalu menaruh tas punggung yang


kubawa di sisi lain. Aku memutuskan untuk menelepon
Kaira.

"Kai," lirihku, ketika Kaira mengangkat telepon. Aku tidak


pernah merasa secanggung ini, terlebih lagi dengan Kaira.
"Mbak Kei," panggil Kaira di ujung telepon. Lalu, aku
mendengar isak tangis. "Kak Kei apa kabar?" ia bertanya di
sela-sela tangisnya. Dibandingkan denganku, Kaira mudah
sekali menangis. Hatinya begitu lembut, dia mudah tersentuh
dan tipe perempuan yang tak bisa menyakiti orang lain. Dan
aku, telah menyakitinya. Dadaku sesak. Aku merasa bersalah.
"Mbak baik," kataku.

Kaira diam. Aku tahu, dia sedang mengusap air matanya. Dia
menahan tangisnya, meskipun begitu suara tangisnya yang
tertahan tetap terdengar. "Mbak lagi di Jogja, nih. Kaira mau
bakpia, ndak?" aku berusaha mencairkan suasana. "Mas Yoga
sudah cerita," ucapnya. "Maafin Kaira, Mbak," akhirnya,
tangis Kaira pecah. Dia terus menangis di ujung telepon.
"Maafin, Kaira. Kalau seandainya Kaira tidak buruburu ingin

Flowers | 317
menikah dengan Mas Yoga, Mbak Keira tak usah buru-buru
menikah dengan Mas Aldric."

"Kai," lirihku. Sebutir air mataku terjatuh sampai pipi. Aku


mengusapnya, berusaha untuk tidak ikut menangis. Di sisi
lain, orang-orang tertawa, berfoto bersama keluarga maupun
pasangannya. Di sini, aku menahan air mataku jatuh. Betapa
kesedihan dan kebahagiaan begitu tipis jaraknya.

"Kaira tidak salah," kataku. "Mbak yang memutuskan untuk


menikah dengan Aldric dan itu sudah menjadi pilihanku,"
lanjutku. Air mataku turun. Terdengar Kaira menangis lebih
keras. "Ssstss, sudah," kataku lagi. "Tak usah nangis ya."
"Apa Mbak Kei dan Mas Aldric bakalan bercerai?" Aku tidak
menjawab pertanyaan Kaira. Bahkan, sampai saat ini aku
tidak tahu apa yang aku inginkan. Aldric menyerahkan semua
kepadaku. Ada perasaan takut yang teramat dalam, sehingga
aku tak bisa memilih bersamanya. Dia bilang mencintaiku,
tetapi bagaimana kalau itu hanya perasaan sesaatnya saja?

Cahaya matahari semakin terik, tetapi udara terasa dingin.


Mungkin karena ini dataran tinggi, sehingga lebih banyak
angin. Beberapa kali aku membetulkan rambutku, lalu
melepas kaca mata yang terasa buram karena air mata. Usai
kubersihkan, benda itu kukenakan lagi. Lalu, aku mulai
memeriksa pesan masuk lagi. Aku membaca sebuah pesan
dari nomor asing tanpa nama. Tapi, aku tahu nomor siapa itu.
Nomor Aldric yang sempat aku hapus beberapa waktu yang
lalu. Lelaki itu mengirim sebuah pesan. Pesan itu membuatku

Flowers | 318
kembali menangis, sekaligus tertawa. Entah perasaan apa
yang kurasakan saat ini, tetapi pesan tersebut membawaku
kembali ke Surabaya.

Mungkin aku egois. Tapi, aku merindukanmu. Aku ingin kau


pulang.

Pulang kepadaku, Kei.

Aku mohon, pulanglah.

***

Flowers | 319
Extra Part 2: Dia Milikku

Melisa

"Sial."
Aku menoleh ke asal suara, Debi, manajerku menggerutu
dengan kedua alis bertaut. Kacamatanya yang tebal itu ia
lepas, kemudian dipijatnya pangkal hidungnya. Kepalanya ia
sandarkan pada sandaran sofa. Aku melihatnya, tanpa
berkomentar. Sebab, aku tahu apa penyebabnya.

"Seharusnya, sebelum bertindak kau harus pikir


matangmatang," tukasnya. Kalimatnya lebih ke arah marah
pada dirinya sendiri, alih-alih memarahiku. Debi selalu
cerewet akan karirku, dia selalu berkata semua demi
kebaikanku sendiri. Bahkan, ketika aku harus pindah dari
Surabaya ke Jakarta.

Meninggalkan seseorang yang kucintai.

"Kau tahu, aku hanya main-main dengannya," tukasku.


Kuraih gagang cangkir di depanku, kuhirup aroma teh melati
dari cangkir tersebut. Tanpa Debi sadari, akupun merasa kesal
dengan apa yang terjadi. "Aku tidak tahu kalau dia sudah
beristri," tambahku. Dan istrinya seorang artis penuh drama.
"Bagaimana kau bisa tidak tahu? Raya Faraya artis yang
cukup populer," sahutnya. "Kau sudah di dunia modeling
bertahun-tahun, Melisa, bagaimana kau tidak tahu Raya
Faraya?"

Flowers | 320
Debi menyebut artis sinetron yang sedang naik daun, yang
merupakan istri dari laki-laki yang sering kutemui
belakangan ini. "Aku tahu dia, tetapi aku tidak tahu kalau
lelaki itu suaminya."

"Sungguh kau tidak tahu kalau dia sudah beristri?" Debi


kembali bertanya. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan
tersebut, karena sekali sudah cukup. Aku memang tidak tahu
dia sudah beristri, terlebih lagi istrinya seorang artis.
Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan lelaki itu di sebuah
hotel. Kami menginap semalam. Beberapa orang mengenali
lelaki itu dan mengirimkannya ke salah satu akun gosip di
media sosial. Raya Faraya mengamuk, menyebut nama
akunku di media sosial. Tentu saja, akun media sosialku
penuh dengan hujatan, sampai-sampai aku menonaktifkan
komentar pada fotoku karena tidak tahan.

"Ini sudah ketiga kalinya klien membatalkan kerja sama


denganmu," ucap Debi. Wajahnya terlipat-lipat karena kesal.
"Tidak mudah untuk berada di posisimu sekarang. Tolong,
jangan merusak kerja kerasmu sendiri."

Dengan adanya berita tidak mengenakkan itu, banyak brand


yang bekerja sama denganku memutuskan kontrak secara
sepihak. Sebutan pelakor yang menyemat pada diriku telah
memberikan dampak buruk pada karirku sendiri. Kami hanya
tidur bersama semalam dan aku benar-benar tidak tahu dia
lelaki beristri, seharusnya mereka tidak menyebutku
sembarangan.
Flowers | 321
Mereka tidak tahu apa yang telah aku korbankan untuk
mencapai pada titik ini. Aku meninggalkan kota kelahiranku,
berkelana ke ibu kota dan aku harus meninggalkan dia, lelaki
yang sampai saat ini tidak bisa kuhubungi lagi. Satu-satunya
lelaki yang mencintaiku dan kucintai.

Aldric.
Tiba-tiba saja, aku merindukannya.

***

Beberapa tahun lalu.

Lelaki itu melamarku. Hubungan kami sudah berjalan cukup


lama, ketika aku masih mahasiswa dan dia sudah menjadi
pemilik pabrik cokelat. Sebagai perempuan yang
berhubungan lama dengan laki-laki, dilamar seperti itu adalah
sebuah impian, apalagi dilamar oleh lelaki seperti Aldric.
Bahkan, bermimpi pun aku tidak pernah.

Seharusnya, aku menerimanya. Tapi, ada karir yang harus


kukejar. Seperti kataku, bermimpi pun tak pernah, karena
memang aku tidak pernah bermimpi untuk menikah. Dalam
benakku, berkarir menjadi model adalah hal utama. Kala itu,
impianku menjadi model sudah hampir tercapai, Debi yang
merupakan sepupuku, telah membantu banyak dalam
pencapaian ini. Maka, aku menolak lamaran Aldric.

Flowers | 322
Setelah kejadian itu, aku pergi ke Jakarta tanpa memberitahu
Aldric. Bahkan aku berganti nomor. Karena sampai
kapanpun, aku tidak berani mengucapkan kata perpisahan
dengannya. Terlalu sakit untukku dan dirinya. Aku
mencintainya seperti dia mencintaiku. Tapi, ada hal yang
lebih penting dari pernikahan. Pikirku saat itu, aku akan
segera melupakan lelaki itu, nyatanya aku tidak bisa
benarbenar melupakannya.

Sebab itu, aku berkata pada Debi. "Aku akan ke Surabaya."


"Untuk?"
"Untuk berhenti sejenak. Kau tahu, masalah ini benar-benar
membuatku sakit kepala."

Debi mendesah. "Kau masih ada beberapa kontrak kerja,"


protesnya. "Kau mau karirmu benar-benar hancur?" "Aku
hanya pergi beberapa waktu, sampai mereka diam," tukasku.
"Aku akan kembali kalau memang perlu. Sekarang, aku
hanya ingin ke Surabaya."

"Kau tidak ke sana untuk menemuinya, kan?" tanyanya. Aku


diam. "Melisa, kau jangan menambah masalah. Kau tahu, dia
sudah menikah."

"Aku hanya ingin mengambil milikku," ucapku.

***

Flowers | 323
Tentu, aku tahu kalau Aldric sudah menikah. Aku mendengar
berita tersebut dari media sosial. Seorang penulis bernama
Keira, yang memiliki beberapa buku adalah istrinya.
Perempuan itu cukup terkenal di kalangan remaja dan
perempuan dewasa karena karyanya. Ketika dia menikah, lini
masa Twitter ramai mengenai hal tersebut. Kebetulan, ada
seorang temanku yang mengunggah foto pernikahan mereka.
Dan tentu saja, aku terkejut kalau Aldric adalah mempelai
prianya.

Sakit hati? Tentu saja. Aku bahkan pergi ke Surabaya untuk


memastikan berita tersebut. Aku ke kantor Aldric dan
bertanya kepada karyawannya, bahkan aku mencari tahu
mengenai Keira dan hampir menemuinya. Lalu, Debi
menyusulku. Mengajakku kembali ke Jakarta. Dia bilang, aku
yang sudah memutuskan untuk pergi dari sisi Aldric, jadi
jangan kembali. Apalagi, ketika karirku sedang di atas
puncak.

"Kau akan menemukan lelaki yang lain, tenang saja," ucap


Debi waktu itu. Pada kenyataannya, aku memang bertemu
beberapa lelaki. Silih berganti, lelaki datang dan pergi. Kami
berkencan. Tidur bersama. Liburan ke luar negeri. Tapi, tak
ada satupun yang bisa menggantikan Aldric.

Pada kenyataannya, seringnya aku berganti lelaki hanya


pelampiasanku saja. Hingga detik ini, lelaki yang kuinginkan
tetaplah Aldric. Dan aku tahu, dia juga memiliki perasaan
yang sama. Keira bukanlah perempuan yang diinginkan
Flowers | 324
Aldric. Lelaki itu, tidak akan mudah jatuh hati dengan
perempuan seperti Keira.

Maka, pagi ini aku berdiri di depan rumah Aldric. Rumah


yang dulu pernah kudatangi berkali-kali. Aku tidak peduli,
apa yang akan kutemukan di balik pintu rumah ini. Sebuah
sapaan ramah ataukah justru caci maki darinya. Yang kutahu,
aku menginginkan lelaki itu. Seperti aku menginginkannya
dulu.

Aku sudah mendapatkan predikat perebut lelaki orang,


kenapa tidak sekalian saja kulakukan sekali lagi?

Siapa peduli?

***

Flowers | 325
Extra Part 3 : Secangkir Cokelat Pahit

Aldric

Semua berjalan sesuai dengan rencana.

Menikah dengan Keira adalah rencanaku, agar Omi kesal. Dia


begitu membenci Melisa, sehingga kekasihku itu pergi
meninggalkanku. Aku yakin, salah satu alasan kenapa Melisa
enggan bersamaku karena Omi tak pernah memberikan restu
kepadaku. Dengan menikahi Keira, paling tidak Omi akan
menyesali telah membenci Melisa.

Alasan lain aku menikahi Keira, perempuan yang baru


kukenal beberapa waktu saja, yakni untuk obat. Agar aku
cepat melupakan Melisa dan obat sakit hati, agar aku tidak
malu dengan orang-orang terdekatku, saat mereka tahu
Melisa pergi.

Sejak awal, aku berencana untuk meninggalkan Keira.


Perempuan yang aku nikahi dengan terburu-buru. Sesuai
rencana, aku berpisah dengan Keira.

Hanya satu hal yang tidak sesuai dengan rencanaku, yakni aku
mencintainya.

Aku mencintai Keira.


Pada kepergiannya hari itu, ingin sekali aku mengatakan
kepadanya untuk tetap tinggal. Tapi, kakiku tak bisa bergerak
Flowers | 326
atau aku yang terlalu takut untuk mengatakannya. Pada
kenyataannya, aku takut melukai Keira lebih jauh. Aku takut,
apabila aku menahannya, dia tak bisa bahagia bersamaku.
Maka, aku biarkan dia pergi.

Pagi setelah kepergian Keira, aku bangun pukul delapan.


Semalam, beberapa pekerjaan kuselesaikan hingga pukul dua
pagi. Aku duduk di tepi ranjang, kakiku menyentuh lantai.
Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Aku
meraih gagang telepon yang ada di atas nakas. "Bi, siapkan
baju saya ya," ucapku pada Bi Endah. Setelah menutup
telepon, aku berjalan ke arah kamar mandi. Kuguyur seluruh
badan dengan air hangat, paling tidak hal ini akan membuatku
tetap terjaga.

Selesai mandi, aku keluar dan sudah mendapati setelan


pakaian di atas ranjang; sebuah kemeja berwarna peach,
celana kain berwarna hitam dengan warna jas serupa. Aku tak
mendapati dasi di atas ranjang. Memang, selama ini Bi Endah
tak pernah menyiapkan dasi untukku, hanya setelan kemeja,
celana dan jas. Aku yang memintanya seperti itu. Tapi, sejak
Keira menginginkan tugasnya sebagai istri, perempuan itu
selalu menyiapkan dasi.

Aku mengenyahkan pikiranku mengenai Keira, lalu


mengambil dasi pada laci sebelah lemari dan melemparkan
benda tersebut ke atas ranjang.
Ini hanyalah mengenai kebiasaan saja, aku tak perlu banyak
mengambil hati mengenai hal ini.

Flowers | 327
Aku segera berpakaian, mengenakan setelan dan dasi. Lalu,
aku turun ke arah dapur. Aroma margarin tercium sebelum
aku duduk di kursi. Lalu, Bi Endah keluar membawa omelet
di dalam mangkuk putih.

"Pagi, Tuan," sapa Bi Endah.

"Pagi, Bi," balasku. Aku meraih roti tawar dan mengolesinya


dengan mentega. Lalu, aku ambil roti tawar yang lain dan
hendak memasukkan ke dalam pemanggang roti.
"Bi ...," panggilku. Bi Endah datang sedikit terburu-buru.
"Buatkan saya cokelat ya."

"Baik, Tuan."

Beberapa saat kemudian, Bi Endah membawa secangkir


cokelat hangat. Aku menghidu aroma tersebut, tentu cokelat
ini mengingatkanku dengan Keira. Aku mencicipi cokelat
pada cangkir di tanganku.

Sesuai selera Keira. Perempuan itu suka membuat cokelat


tanpa gula, sama seperti ketika aku mencicipi cokelat
miliknya setelah pertengkaran kami. Tentu saja, kali ini
rasanya berbeda.
Pahit.

***

Flowers | 328
"Kau benar-benar akan berpisah dengan Keira?" Hari ini, hari
kelima kepergian Keira. Pada hari kedua, Keira datang ke
rumah, mengambil sisa barang-barang miliknya. Kami tidak
bertemu, dia datang ketika siang hari. Dia mengirim pesan
kepadaku, bahwa dia sudah mengambil barang miliknya dan
ucapan terima kasih. Lalu, Keira bertanya mengenai surat
perceraian. Kukatakan padanya, Dru akan mengurusnya.

"Bagaimana kau tahu?" seingatku, aku tidak pernah bercerita


kepada Dru mengenai perpisahanku dengan Keira.
"Terlihat jelas di wajahmu," jawab Dru cuek. Terkadang, aku
menyesal berteman dengan Dru. Perempuan itu selalu tahu
mengenaiku atau aku yang mudah dibaca?

Sewaktu Melisa meninggalkanku, Dru pun tahu tanpa aku


bercerita kepadanya. Akan tetapi, dia tahu setelah dua minggu
Melisa pergi. Kali ini, dia terlalu cepat mengetahuinya.
Bahkan, akupun belum tahu pasti mengenai perpisahanku dan
Keira.

"Saranku, kau jangan berpisah dengannya," tambah


sekretarisku itu. "Kau kacau, Al."

Aku menarik sudut bibirku. "Jangan bercanda."


"Mata lelah, kau pasti kerja sampai larut," ungkap Drupadi.
"Dan kau, datang ke kantor selalu telat."

"Aku bosnya, buat apa datang tepat waktu?" sanggahku. "Kau


makan di kantin karyawan," tambah Dru. "Ketika kau

Flowers | 329
berpisah dengan Melisa, kau tetap makan di restoran atau
paling tidak kau akan menyuruhku membelinya."

Aku tertawa. "Kau lucu," ujarku. "Kau menilai aku kacau


hanya karena makan di kantin?"

"Ayolah," tukas Dru. "Kau merindukannya." Setelah berkata


demikian, Dru meninggalkan ruanganku.

Mengenai perpisahanku dengan Keira, aku belum


memutuskannya. Mengenai aku merindukan perempuan itu,
Dru tidak salah.

***

Hatiku begitu cemas, ketika Meira mengirim pesan bahwa


Keira sakit.

Aku segera mengendarai mobil dan pergi ke tempat Keira


bekerja, setelah mendapatkan pesan dari Meira. Aku tak
memiliki pikiran apa pun mengenai hal ini, tetapi aku hanya
ingin melihat Keira.
Aku menghentikan mobil di depan kafe. Tempat ini sepi,
hanya ada dua orang pemuda yang duduk di salah satu sofa.
Aku masuk dan mendapati Meira. Tak lama, Lena menyadari
kehadiranku wajah perempuan itu terlihat tak senang. Meira
melihat ke arahku, mengisyaratkanku untuk naik. Keira
berada di lantai dua.

Flowers | 330
Keira meringkuk di atas ranjang. Wajahnya terlihat begitu
damai, tanpa beban. Kemarahanku terhadapnya, sebelumnya
menguap begitu saja. Hatiku terasa begitu sakit, ketika
melihat Keira seperti ini. Aku menyesal telah menyakitinya,
dengan tidak mengatakan perasaanku kepadanya. Aku
teringat pada malam pertama kami. Meskipun aku dan dia
sama-sama tahu, pernikahan ini sekadar status dan pelarian
saja. Keira benar-benar berusaha menjadi yang terbaik;
menjadi istriku. Aku dengan begitu teganya, menolak
perempuan ini.

Maka, aku mengatakan padanya, bahwa aku mencintainya.


Apa pun pilihannya nanti, aku akan terima.

***

Rumah Omi berada di Sidoarjo, tidak jauh dari alun-alun.


Sebelum alun-alun, aku membelokkan mobil ke arah kiri,
rumah Omi ada di tepi jalan agak menjorok dari jalan raya.
Aku mendatangi rumah tersebut, sendirian setelah berkata
pada Dru akan mengambil cuti sehari dua hari.
"Kau bosnya, terserah saja," ucap Dru. "Asal kau tahu, kau
selalu suka mengacau dan membuatku sakit kepala,"
tambahnya. "Seminggu lagi aku cuti, ingat." Ya, Drupadi
akan mengambil cuti kehamilan. Seharusnya sudah sejak
seminggu lalu, tetapi dia menundanya dengan alasan, "Aku
takut kau kenapa-kenapa."

Flowers | 331
Haha. Sinting. Memangnya aku bakalan berbuat apa?
Sesampainya di depan rumah Omi, aku menekan klakson
sekali. Pak Doni pembantu di rumah Omi tergopoh-gopoh
membukakan pintu. Beliau tersenyum kearahku dan aku
membalasnya.
"Omi ada, Pak?" tanyaku, setelah memarkirkan mobil dan
keluar.
"Ada, Den," jawabnya. Aku tersenyum, lalu berjalan ke arah
rumah. Membuka pintu dan masuk.

Rumah ini hanya dihuni oleh Omi dan dua pembantunya; Pak
Doni dan Bi Mita. Keduanya suami istri, yang diminta Omi
untuk bantu-bantu di rumah. Aku berjalan melewati ruang
tamu, langsung menuju ke arah belakang rumah. Di belakang
rumah ini, ada kebun kecil yang dikelola Omi. Pada kebun
tersebut terdapat tanaman rempah-rempah dan sayur. Selain
sibuk di kebun, Omi biasanya minum wedang di teras
belakang sembari membaca buku. Meskipun usianya sudah
kepala tujuh, Omi masih suka membaca.

Betul saja, aku melihat Omi sedang duduk di kursi kayu;


beliau memegang buku, kacamata kecilnya tergantung pada
hidung, di meja terdapat gelas blirik berwarna hijau, lengkap
dengan tutup dan tatakan.

"Omi lagi baca apa?" tukasku, sembari menarik kursi di


sebelah Omi. Omi melihat ke arahku, menutup bukunya, lalu
meletakkan benda tersebut ke atas meja.

Flowers | 332
"Bumi Manusia," jawabnya. "Tumben kamu ke sini."

"Sedang ingin," kataku. Aku melihat ke arah kebun Omi.


Daun lengkuas menjulang, begitu juga dengan tanaman jahe
dan beberapa rempah lainnya. Daun-daun tersebut terlihat
basah, begitu pula dengan tanahnya. "Kebun Omi tumbuh
subur."

"Tentu, Omi merawatnya dengan baik." Omi melihat ke


arahku. "Kau mau wedang uwuh?" tawarnya. Aku
mengangguk. Omi memanggil Bi Mita, meminta wedang
uwuh. "Bagaimana kabar istrimu?" tanyanya.

Jemariku mengetuk-ketuk sandaran pegangan kursi perlahan.


"Seminggu lalu, dia mengemasi barangnya. Dia sudah tidak
di rumah," ceritaku.

Omi mendesah. "Omi tak bisa berbuat apa-apa, kalau itu


memang keputusan kalian," ucapnya. "Keira memang bukan
cucu menantu yang baik, tetapi Omi menyukainya." Bi Mita
datang membawa gelas serupa dengan milik Omi. Dia
meletakkan wedang uwuh yang masih mengepul di depanku.
"Kamu akan menginap?"

Aku mengangguk. Kuraih gagang gelas dan menuangkan


cairan berwarna merah dari secang ke atas tatakan. Aroma
rempah-rempah dari wedang tersebut menguar. "Aku
mengambil cuti," ucapku.

Flowers | 333
"Omi," panggilku. "Aku ingin tahu, apa alasan Omi tidak
menyukai Melisa?" sejak awal pertemuan dengan Melisa,
Omi sudah tak menyukainya. Beliau tak pernah
mengutarakan alasannya, akupun tak pernah bertanya apa
penyebabnya. Setelah sekian lama, aku ingin tahu alasannya.
Entah untuk apa.

"Bukankah sudah jelas?" tanya Omi balik. Aku mengangkat


kedua alisku. Tak mengerti. "Kamu memang tak pernah cepat
belajar mengenai hati," sambung Omi. "Persis kakekmu,"
tukasnya sembari tertawa kecil.

"Al tidak mengerti," sahutku.

"Karena Melisa tak pernah mencintaimu, jadi Omi tidak


menyetujui hubungan kalian," tukas Omi. "Ada tidaknya
restu dari Omi, dia akan tetap pergi. Percaya sama Omi." "Al,
perempuan yang benar-benar mencintaimu akan tetap
bertahan, memperjuangkan hubungan kalian. Meskipun, Omi
melarang." Omi meraih gagang gelasnya, menyeruput
wedang uwuh miliknya. "Ini belum apa-apa sudah pergi.
Jelas, kan?"
"Jadi, Omi menyukai Keira karena ...."
Omi memotong kalimatku, "Ya, karena dia mencintaimu.
Apalagi? Nenek mana yang tak bahagia cucunya dicintai
dengan tulus oleh orang lain?"

***

Flowers | 334
"Al, kalau kamu memang mencintai Keira, minta dia tetap
tinggal. Katakan, kalau kamu tidak ingin berpisah."

"Apa itu bukan hal yang egois, Omi?" tanyaku.

Omi tersenyum. "Cinta itu selalu egois, Nak," tukas Omi.


"Kalau tidak egois, tidak akan ada pernikahan." "Omi,
sepertinya aku tidak jadi menginap," ujarku. Lalu, aku
mencium pipi beliau dan segera membawa mobil ke kafe.
Sesampainya di kafe, aku melihat Meira dan Lena. Mereka
sedang menutup tempat itu. Meira orang pertama yang
menyadari kehadiranku.

"Keira tidak di sini," tukasnya. "Kalian rumit sekali. Astaga!"


"Keira ke Jogja," Sahut Lena. Meira melotot ke arahnya.
"Kenapa? Kau sendiri memberitahu dia kalau Keira sakit."
Meira menghentakkan kakinya, "Ini, kan, beda kasus." "Sama
saja," sahut Lena. "Dia sudah berangkat tadi," dia melihat ke
arah jam tangannya. "Sepertinya sudah sampai
Jogja."

"Terima kasih," ucapku. Aku berbalik ke arah mobil.


"Kau mau menyusulnya?" teriak Meira.

"Ya," sahutku.

"Dia menginap di hotel Arjuna," teriak Lena.

Aku tersenyum. "Terima kasih."


Flowers | 335
***

Dari kafe, aku langsung menuju Stasiun Gubeng, memesan


tiket kereta tercepat ke Jogja saat itu. Beruntung, aku
mendapatkan tiket pukul lima sore. Sekitar jam sepuluh
malam, aku baru sampai di Jogja. Sungguh, kedatanganku tak
melakukan persiapan sama sekali. Aku hanya membawa
dompet dan gawai saja. Baju yang kubawa hanya yang
melekat di badan saja.

Bukan masalah besar, aku bisa membelinya di sini. Sekarang


yang kupikirkan hanya bagaimana mengatasi ponsel milikku
yang baterainya tinggal dua puluh persen saja, sedangkan aku
tidak membawa penambah daya.

Kuputuskan langsung ke hotel saja. Di mana aku memesan


kamar secara daring di hotel yang ditinggali Keira, sesuai
dengan informasi dari Lena.

Sejujurnya, aku belum tahu apa yang akan kukatakan pada


Keira, seandainya kami bertemu nanti. Mungkin aku akan
mengatakan kalau aku merindukannya. Ah, atau sesuai
dengan saran Omi aku akan meminta dia kembali padaku.
Dan mungkin, aku akan mengatakan kalau aku tak bisa hidup
dengannya. Apa pun itu, agar kami bisa bersama lagi.
Ah, pikiranku berkecamuk.

Flowers | 336
Aku memilih naik taksi ke arah hotel, meskipun lokasinya
lebih dekat apabila berjalan kaki. Tapi, aku begitu lelah.
Perjalanan yang cukup panjang, untuk orang yang tak
memiliki persiapan. Lagi pula, aku sudah lama tidak naik
kereta, di mana benar-benar membuat punggungku sakit
karena terlalu lama.

Apabila aku Keira, perempuan itu akan memilih berjalan kaki


dari stasiun, menikmati setiap sudut yang ditawarkan Jogja
dan Malioboronya. Dia menyukai berjalan kaki, hal-hal
sederhana seperti pemandangan pasar; penjual sate ayam,
gudeg, angkringan. Ya, aku menyadari bahwa Keira seperti
itu.

Sesampainya di depan hotel, aku turun dari taksi setelah


membayar biaya taksi. Aku menarik napas dalam-dalam
kemudian mengeluarkannya. Belum sempat aku melangkah,
aku melihat Keira keluar dari hotel.

***

Keira keluar hotel dengan mendekap jaket. Tas pundak


berada di pundak kirinya, dia berjalan perlahan ke arah
trotoar. Aku memutuskan untuk mengikutinya.

Keira terus berjalan ke arah Jl. Malioboro. Entah apa yang ada
dalam pikiran perempuan itu, dia keluar hotel malam-malam
seperti ini dan berjalan di trotoar sendirian. Tapi, aku terus

Flowers | 337
mengikutinya. Dia terlihat begitu menikmati perjalanannya.
Setelah sekitar lima belas menit berlalu, Keira sampai di Jl.
Malioboro, tentu saja melewati Stasiun Yogjakarta. Aku terus
mengikutinya, meskipun kakiku terasa begitu lelah. Kulirik
ponselku, benda tersebut sudah mati total. Aku tak bisa
menghidupkannya. Dayanya sudah habis.

Aku terus berjalan di belakang perempuan itu, bersembunyi


di balik orang-orang yang berlalu-lalang. Sesekali Keira
melihat ke arah lampu, lalu berhenti di salah satu pedagang
baju batik. Dia memilah-milah kemeja batik, menyentuh
kainnya, lalu tersenyum. Sungguh, aku ingin tahu apa yang
dipikirkannya.

Namun, aku menahan diri untuk tidak menghampirinya. Aku


tidak ingin merusak harinya. Aku takut senyuman itu akan
hilang, apabila Keira bertemu denganku saat ini. Kulihat
Keira mengambil satu kemeja dan menyerahkannya pada
penjual. Usai membayarnya, Keira kembali berjalan. Aku
mengikuti.

Keira berjalan perlahan, tersenyum kepada anak-anak yang


rebutan es krim, lalu berjalan lagi. Kemudian, dia merogoh
ponselnya. Menghubungi seseorang.

"Aku sedang di Malioboro, nih," ucapnya. "Kalian mau


dibelikan apa?" lalu, dia tertawa. "Oke-oke, aku tutup
ya."Aku menebak dia menghubungi Meira atau Lena. Aku
terus mengikuti Keira, sampai dia kembali ke hotel sekitar

Flowers | 338
pukul sebelas malam. Ketika suasana malam Jogja semakin
ramai, banyak anak-anak muda yang nongkrong di
angkringan atau sekadar jalan-jalan.

Ketika Melisa menolak menikah denganku, aku tidak


memaksanya. Aku tidak mehannya dan memohon kepadanya
untuk menerimaku. Aku membiarkan dia mengambil
keputusannya. Bahkan, ketika Melisa tidak pernah muncul
kembali, aku tidak berusaha mencarinya dan mencari
penjelasan. Aku membiarkannya begitu saja. Kalau saja aku
mau, aku bisa melakukannya. Aku bisa mencari tahu dan
menemuinya. Tapi, aku tidak melakukannya.

Sesampainya di kamar, aku mengisi daya ponsel dan


mengirim Keira pesan. Aku harap, dia sudah tidur dan
membaca pesan itu esok hari.

Aku berharap, aku tidak akan merusak harinya.

Mungkin aku egois. Tapi, aku merindukanmu. Aku ingin kau


pulang.
Pulang kepadaku, Kei.

Aku mohon, pulanglah.

Sungguh, pesanku tersebut penuh dengan permohonan.


Sepertinya, aku benar-benar sudah terpikat olehnya.

Flowers | 339
Sial. Seharusnya aku sadar, sejak awal aku terpikat oleh
Keira.

Sejak pertama kali kami bertemu, di halte bus waktu itu.

***

Flowers | 340
Extra Part 4:Rumah-rumah yang Hangat

Keira

Sebelum pernikahan itu terjadi, ibu berbicara kepadaku.


Kecemasannya mengenai usiaku yang segera menginjak
kepala tiga puluh. Tentu, mengenai Kaira yang telah
mengutarakan keinginannya untuk menikah dengan Yoga.
Setiap kali ibu berbicara mengenai pernikahan, aku hanya
tertawa, kemudian berkata tak apa-apa nanti akan kutemui
lelaki yang memang berjodoh denganku. Lelaki yang akan
kuperkenalkan kepada ibu. Anak menantu yang
membanggakan ibu dan tentu saja, lelaki yang aku cintai.

Setelah berjalannya waktu, tak satupun lelaki yang kubawa ke


rumah untuk kuperkenalkan. Setiap harinya, aku hanya
pulang membawa lelah, serta kue sisa dari etalase kafe.

Semakin hari, ibu semakin lelah bertanya. Akupun semakin


tidak peduli dengan pernikahan. Semua waktu kuhabiskan
dengan menyeduh kopi, membuat kue, menulis novel dan
menghabiskan waktu bersama Meira dan Lena. Tapi, aku tak
pernah menyangka, akan ada saatnya Kaira berkata akan
menikah. Dan keresahan pada hati kami bertiga pun muncul.

Hari itu, hari lamaran Kaira. Aku, Ibu, Kaira sibuk di dapur
beserta Bu Endang tetangga dekat rumah. Kami memesan
katering untuk acara, tetapi ibu membuat sedikit hidangan
tambahan untuk acara nanti sore. Aku sedang memotong

Flowers | 341
kentang menjadi beberapa bagian. Tempe kupotong persegi
panjang, baru kuiris tipis-tipis. Nantinya, akan dijadikan
kering kentang untuk pelengkap nasi soto yang akan
dihidangkan pada tamu. Sedangkan bingkisan yang akan
dibawa pulang, sudah aku pesankan ke katering. "Nanti
sekalian menentukan tanggal pernikahan, Mbak?" tanya Bu
Endang. Beliau mengiris daging sapi seukuran seperempat
telapak tangan. Di depannya, ibu melakukan hal serupa. Kaira
sendiri sedang menggiling bumbu dengan blender.

"Belum, Mbak. Nanti biar Kaira dan calonnya yang urus,"


sahut ibu.

"Jangan lama-lama, lho, Mbak. Tahu sendiri, kan, zaman


sekarang. Bahaya," sahut Bu Endang. Aku melirik ke arah
Kaira. Dia masih berdiam diri, tidak menyahut obrolan ibu
dan Bu Endang. Keira tahu, adiknya itu ingin menimpali,
tetapi Kaira lebih memilih untuk tidak memperpanjang
masalah.

Aku menyelesaikan irisan kentang terakhir, sebelum


kumasukkan ke dalam rendaman air. Lalu, aku mencuci irisan
kentang kecil-kecil itu dengan air mengalir. Setelah
benarbenar bersih, kentang tersebut aku masukkan ke dalam
saringan dan menunggu airnya menetes sampai kering.
Barulah, aku mendekati ibu dan Bu Endang, membantu
mereka mengiris daging sapi. Tapi, sepertinya keputusanku
tersebut tidak benar. Baru saja aku mengambil duduk di
antara mereka, Bu Endang angkat bicara.

Flowers | 342
"Keira bagaimana? Sudah ada calon?" ucap Bu Endang.
"Buruan, lho, Nduk. Adikmu sudah ada calon, nanti tidak
laku, lho." Kalimat selanjutnya, membuat telingaku panas.
Ibu punya teman, waktu masih muda pilih-pilih. Sama ini,
nggak mau, sama itu nggak mau. Akhirnya, dia menikah sama
duda beranak satu. Beda usia empat belas tahun. "Padahal, dia
masa mudanya cantik. Banyak yang naksir," tambah Bu
Endang.

Aku tersenyum kecut, kemudian berkata dengan wajah ceria.


"Tenang saja, Bu Endang. Nanti kalau Keira sudah ada calon,
saya kenalkan. Jangan lupa bantu-bantu lagi, ya."

"Iya, Nduk. Siap," sahut Bu Endang.

Menjelang acara, Meira dan Lena datang. Mereka langsung


membantu memasukkan jajanan pasar ke dalam kardus,
kemudian membungkusnya bersamaan dengan kotak nasi.
Hanya ada sekitar tiga puluh kemasan, karena memang acara
lamaran Kaira tidak besar. Persiapannya pun sebar cepat,
sebab Yoga ingin cepat-cepat memberikan kepastian pada
Kaira.

"Kami sudah pacaran cukup lama, Kei. Aku tidak mau


menunda lama-lama lagi," begitu kata Yoga, ketika bertemu
denganku beberapa hari yang lalu. Tentu saja, sebagai
sahabat, calon kakak dan orang yang mencintainya, aku
merasa senang sekaligus sedih.

Flowers | 343
Pikiran buruk pun sering melintas, seandainya saja yang
berada di posisi Kaira adalah aku. Aku pasti menjadi orang
yang paling berbahagia saat ini.

***

Pada akhirnya, pembicaraan serius itu datang juga. Ibu ingin


berbicara denganku, tidak tanggung-tanggung ibu bicara
denganku sehari setelah acara lamaran Kaira.

"Ibu ingin kamu bahagia, Kei, seperti Kaira," tukas ibu. Aku
memijit perlahan punggung ibu. Kami memang bicara serius,
tetapi tidak saling menatap. Aku tahu, semua orang tua akan
banyak pikiran mengenai anak-anaknya, terutama anak
perempuan. Banyak mitos dan budaya yang membuat
perempuan serba salah. Salah satunya mengenai dilangkahi
oleh adiknya sendiri. Konon, kakaknya akan sulit bertemu
dengan jodohnya. Menjadi perawan tua.

Aku tidak ingin mempercayai itu, tetapi sekaligus ketakutan


kalau memang benar seperti itu.

Ibu terus berbicara, aku masih menutup mulut rapat-rapat.


"Kaira dan Yoga sudah lamaran, mereka belum menentukan
tanggal pernikahan," lanjut ibu. Sesungguhnya, pembicaraan
ini sungguh membuatku tidak nyaman. Tapi, ibu satu-satunya
orang tua yang aku miliki. Tidak mungkin aku bertindak

Flowers | 344
buruk dengan memarahinya, ibu tentu memikirkan aku dan
Kaira. Satu-satunya orang yang ingin membuat kami bahagia.

"Ibu tahu, Kaira dan Yoga pasti menunda tanggal pernikahan


mereka, karena kamu," Ibu masih melanjutkan. Sungguh,
kalimatnya benar-benar menusuk hatiku. Terasa begitu nyeri
dan membuat aliran darahku naik. Aku berhenti memijit bahu
ibu, kugantikan dengan memeluknya dari belakang.

Aku membenamkan wajahku pada bahu ibu, menghirup


aroma ibu dalam diam. Ibu menyentuh lenganku,
menggosoknya perlahan. "Kalau memang ada yang ingin
menikahimu, kamu harus pikirkan baik-baik ya, jangan
langsung ditolak. Demi kebaikan bersama, Nduk."

Satu minggu kemudian, aku bertemu Aldric untuk kedua


kalinya.

***

Pada acara minum teh waktu itu, aku merasa terasing. Yoga
sibuk mengenalkan Kaira pada rekan kerjanya, sehingga
melupakanku yang juga turut hadir dalam acara itu.

Sejujurnya, aku tidak tahu apa alasanku mau ikut dengan


Kaira, meskipun adikku itu memaksaku. Seharusnya aku
menolak. Pada akhirnya, aku menyesal telah ikut pesta yang
sebenarnya Kaira baik-baik saja bersama Yoga.

Flowers | 345
Aku memilih meninggalkan kerumunan dan mengambil
beberapa kudapan. Sungguh, acara seperti ini sangat
disayangkan apabila tidak menikmati makanan yang ada. Aku
segera mengambil piring kecil dan mengisinya dengan dua
potong kue cokelat. Kedua kue tersebut benar-benar
menggugah seleraku, sehingga cukup meringankan beban di
hati. Bagiku, menikmati cokelat cukup mengobati rasa sakit
untuk sementara.

Pada saat itulah, aku bertemu dengan Aldric. Aku langsung


mengenalinya, lelaki yang tiba-tiba mengajakku bicara di
halte bus beberapa waktu yang lalu. Nampaknya, Aldric tidak
mengenaliku, sebab kedua alisnya saling bertaut, seakan
berpikir dengan dalam. Dia terus melihat ke arahku,
begitupun denganku. Sampai akhirnya, suara Yoga
mengalihkan pandanganku.

Yoga menyapa lelaki itu dan memperkenalkan kami. Lalu,


Yoga menggoda kami dengan berkata bahwa kami cocok dan
menikah saja. Aku merasa tersakiti dengan candaan Yoga.
Dia benar-benar berusaha untuk mencarikanku calon suami.
Meskipun aku tahu Yoga hanya bercanda. Yang membuatku
terkejut, Aldric menanggapi candaan Yoga, maka aku
melakukan hal yang sama.

"Ya, kita menikah saja," sahutku. Aku tidak menyangka,


bahwa perkataan Aldric hari itu serius. Dia benar-benar
menikahiku. Lelaki itu, yang terlihat begitu menyenangkan

Flowers | 346
memintaku menikah dengannya. Dua kali kami bertemu dan
dia mengatakan hal yang serupa; pernikahan.

Yoga pamit kepada Aldric dan meninggalkan aku lagi, setelah


candaan yang dilontarkannya. Dia berkata Kaira mencarinya.
Maka, aku persilakan dia pergi.
"Kita bertemu lagi," kataku. Aku tersenyum ke arah Aldric,
dia pun membalas senyumku. Saat itu, aku merasa Aldric
lelaki yang menyenangkan, meskipun dia terlihat sedikit kaku
dan tidak nyaman.

"Ya, kebetulan sekali," sahutnya. "Aku dipaksa ke sini. Dan


seharusnya aku tidak datang."

"Aku juga," desahku. "Tapi, seharusnya kau lebih mudah


bergaul. Bukankah mereka rekan kerjamu?"

Aldric mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi.


"Aku tidak mengenal keseluruhan, hanya beberapa,"
tukasnya. "Kau akan terus berdiri saja dengan dua benda itu?"
tanyanya. Yang Aldric maksud adalah piring dan cangkir kopi
di kedua tanganku.

"Ah, iya," sahutku. "Senang bertemu dengan kau. Aku akan


mencari tempat untuk memakan kue ini."

"Aku temani," sahut Aldric. Aku tertegun. Dia berjalan


mendahuluiku, kemudian aku mengikutinya. Sungguh, yang
diperbuat Aldric hari itu membuatku terkejut. Saat itu, aku

Flowers | 347
sama sekali tidak menyangka pada akhirnya akan menikah
dengan Aldric dan rumah tanggaku jauh dari sempurna. Pada
kenyataannya, Aldric menyesal telah melakukan hal konyol
yakni mengajakku menikah.

Aldric menemukan meja kosong, dia mempersilakan aku


duduk, kemudian dia mengikuti. Terus terang, ada
kehangatan yang menerpa hatiku waktu itu. Ada sedikit
harapan yang kuenyahkan dengan cepat yakni berharap dia
benar-benar serius ingin menikah denganku.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Aldric. Aku menarik napas


secara diam-diam dan mengeluarkannya. Tak biasanya aku
menjadi canggung di depan seseorang seperti ini. Seorang
Keira mudah bergaul, meskipun tak terlalu suka keramaian.
Aku terbiasa melayani pelanggan-pelanggan di kafe, bagiku
semua orang sama saja. Tapi, pesona Aldric membuatku
canggung.

"Di halte waktu itu, kau terlihat kacau," tambah Aldric. Aku
tertawa, memiringkan kepalaku, kemudian mengambil
sendok dan menyendok cokelat di atas piring kecil di
depanku. Mendadak aku menyesal telah mengambil dua kue.
"Ya, seperti kau bilang, aku sedang kacau," jawabku.
"Haruskah kita kabur dari acara ini?" kataku, mengalihkan
pembicaraan.

Aldric menyunggingkan senyumnya. Kemudian, dia melihat


ke arahku. Aku melihatnya balik. "Kau tak punya kekasih?"

Flowers | 348
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Meskipun begitu,
aku tetap menjawabnya dengan gelengan kepala. "Bagus,"
tambahnya.

"Kenapa?"
"Sebab, ucapanku tadi bukan main-main." Aku semakin tidak
mengerti. "Seminggu lagi, kuharap kau sudah mengambil
keputusan." Setelah dia pergi, aku baru menyadari, bahwa
Aldric sedang melamarku.

Seperti ucapannya, seminggu kemudian ada supir yang


menjemputku di rumah. Dan aku menyetujui pernikahan itu
tanpa pikir panjang.

***

Ketika mengingat kejadian demi kejadian yang kualami


sebelum pernikahan terjadi, kini aku menyadari satu-satunya
alasan menikah dengan Aldric adalah agar Yoga dan Keira
tidak terbebani dengan keberadaanku. Sejak awal, aku ingin
menikah berlandaskan perasaan cinta, bukan karena usia
maupun mitos. Pada kenyataannya, aku kalah dengan
keadaan. Maka, aku menerima lamaran Aldric tanpa pikir
panjang.

Awalnya, kupikir Aldric mengajakku menikah karena dia


ingin menikah. Sesederhana itu. Laki-laki bisa menikah
dengan perempuan karena ingin. Kebutuhan biologis. Setelah
pernikahan terjadi, aku baru mengetahui. Alasan Aldric

Flowers | 349
menikah lebih dari kebutuhan biologis, sebab tidak ada
malam pertama. Saat itulah aku mengerti, Aldric memiliki
alasan serupa denganku.

Aldric memang serius mengajakku untuk menikah, tetapi


tidak dengan kehidupan selepas pernikahan. Dia apatis. Aku
masih bertahan dengan sifat apatisnya itu, berusaha keras
untuk memahami dan menyetarakan keinginannya dengan
keinginanku. Beradaptasi yang terus terang sangat sulit
kulakukan. Mengabaikan hal lainnya, termasuk
kebahagiaanku sendiri. Tapi, ketika dia mengatakan
pertemuannya dengan Melisa bukanlah urusanku, hal itu
membuatku hancur. Lalu apa yang sudah kulakukan selama
ini? Pernikahan yang kupertahankan seakan sia-sia saja. Cinta
yang awalnya tak pernah ada, muncul ke permukaan semakin
kuat dan menciptakan rasa cemburu yang tak berkesudahan.

Lagi-lagi, aku menyerah dengan keadaan. Aku memilih untuk


pergi, meninggalkan Aldric yang sejujurnya tak pernah ingin
kulakukan. Pada akhirnya, Aldric hanya mencintai Melisa
dan dia satu-satunya perempuan yang diharapkannya.
Bahkan, ketika Aldric berkata mencintaiku, aku tak
sepenuhnya percaya.

Aku duduk termenung di Stasiun Gubeng Surabaya, pada


kursi tunggu penumpang. Kereta yang kutumpangi dari
Yogyakarta sudah berhenti sejak tiga puluh menit lalu, dan
selama itu pula aku duduk di stasiun tanpa berbuat apa pun,

Flowers | 350
kecuali meminum kopi hitam yang sudah dingin yang kubeli
selama perjalanan.

Pada akhirnya, aku kembali ke Surabaya setelah menerima


pesan dari Aldric. Tapi, aku belum berani untuk menemuinya.
Maka, aku duduk diam di stasiun, berpikir. Tidak seperti
pertama kali Aldric memintaku untuk menikah dengannya,
aku langsung mengiyakan. Mungkin saat itu keadaan yang
memaksaku, mungkin juga karena aku menginginkannya.
Tapi, sekarang berbeda. Bagaimana kalau seandainya
bayangan Melisa tak pernah benar-benar pergi? Bagaimana
kalau perempuan itu nekad untuk kembali bersama Aldric?

Apa aku memiliki kekuatan yang cukup untuk


mempertahankan Aldric?

Kuarahkan gelas kertas di tangan ke arah bibir, aku meminum


kopi hitam manis itu sampai habis. Aku masih duduk
termenung, melihat orang-orang berlalu-lalang di stasiun.
Semestinya, tempat yang kududuki ini untuk orang-orang
yang akan berangkat, bukan untuk orang yang telah memilih
pulang.

Pulang.

Aldric memintaku untuk pulang kepadanya. Dia berkata


merindukanku. Aku tidak membalas pesan lelaki itu. Dia
suamiku, kami resmi menikah. Surat perceraian pun belum
kami urus. Baik Aldric maupun aku, belum mengurus hal itu.

Flowers | 351
Mungkin, saat ini aku telah membuat khawatir semua orang,
termasuk ibu dan Kaira. Betapa egoisnya aku, telah menyakiti
orang-orang yang kusayangi. Bagaimana kalau pada akhirnya
perpisahanku dengan Aldric membuat Kaira tak melanjutkan
pernikahannya dengan Yoga?

Aku mendesah, memejamkan mata.

Lalu, sebuah pesan masuk. Dari Meira.

Kau bertemu dengan Aldric?

Kutautkan kedua alisku. Tidak mengerti dengan isi pesan


Meira. Aku hendak membalas pesan tersebut, tetapi Meira
keburu mengirim pesan lagi.

Lena memberitahu Aldric kau ke Jogja.

Aldric mencariku?

Lalu, sebuah pesan lain masuk. Dari Kaira.


Mbak, sudah di Gubeng? Mbak pulang ya. Ke rumah. Ke ibu
dan Kaira.

Membaca pesan Kaira, mau tak mau membuat mataku


memanas. Aku tidak pernah tahu, bahwa aku memiliki
banyak rumah. Kehangatan yang kucari selama ini ada di
sekelilingku.

Flowers | 352
Kaira kangen, Mbak. Ibu juga.

***

Kami bertiga berada di ruang tamu, menikmati bakpia pathok


yang sempat aku beli di stasiun Yogyakarta. Memang, aku tak
berencana membeli oleh-oleh, tetapi ketika melihat bakpia
pathok di stasiun, mendadak aku ingin membelinya.

Masih teringat jelas dalam kepala, ketika masa kuliah dulu,


ketika ke Yogyakarta aku selalu membawa pulang bakpia
pathok. Tidak banyak, hanya dua kardus kecil dengan
berbagai rasa. Kami memakannya bersama. Aku, Kaira dan
ibu. Terkadang, Yoga ikut. Saat itu, rasanya bahagia sekali.
Kami berkumpul seperti keluarga yang utuh, meskipun tanpa
ayah.

"Bagaimana kabar kamu, Nduk?" tanya ibu. Aku sedang


memakan bakpia dengan isian keju. Rasanya manis
bercampur asin keju. Tapi, bagiku rasa asinnya seperti makan
serpihan garam. Aku segera menghabiskan setengah bakpia
keju itu, kemudian mengunyahnya perlahan. Setelah merasa
bakpia di dalam mulutku melumer, aku menjawab pertanyaan
ibu.

"Baik, Bu," jawabku. Aku memang baik-baik saja saat ini.


"Semua karena Ibu, ya?" tukas ibu lagi. Kali ini, aku melihat
ke arah beliau. Aku menatap kedua matanya. Keriput sudah

Flowers | 353
ada di mana-mana, kantong mata yang terlihat begitu lelah,
dan tatapannya membuat hatiku teriris.

Sejak kepergian ayah, ibu membuka katering. Siang malam


ibu bekerja demi menyekolahkan aku dan Kaira. Seringnya,
aku ikut bergadang bersama ibu menyelesaikan pekerjaan.
Setelah aku dan Kaira bekerja, ibu tidak lagi menerima
pesanan makanan. Ibu hanya menjual makanan dengan
menitipkan di warung-warung.
Aku menggeleng cepat. "Nggak, Bu," sanggahku. "Bukan
salah Ibu. Ini pilihan Keira."

"Seandainya waktu itu Ibu tidak berkata begitu sama kamu.


Mungkin, kamu akan bahagia sekarang," tambah ibu. Dia
mendesah. Matanya berkaca-kaca, begitu pula denganku.
Kaira masih duduk berdiam diri di sisiku. Tapi, aku tahu dia
terisak.

Lalu, Kaira memelukku. Dia membenamkan wajahnya pada


lenganku. Aku meraihnya, memeluknya. Dia berkali-kali
meminta maaf padaku, berkali-kali pula aku mengatakan
bahwa ini bukan salahnya. Akulah yang mengambil
keputusan. Sejak awal, pernikahanku dengan Aldric adalah
keinginanku.

"Nduk, kalau memang berat. Kamu boleh berhenti. Kapanpun


itu," ucap ibu. "Ibu tidak akan memaksa lagi. Kebahagiaan
kamu yang utama."

Flowers | 354
Malam hari, aku mendapatkan pesan dari Drupadi. Pesan
tersebut dia kirim terlalu larut, ketika aku hendak tidur. Aku
sudah membersihkan kamar, menata seprai, dan
membersihkan diri. Kaira sudah sudah tertidur lelap. Aku
masih terjaga dengan banyak pemikiran. Saat itulah, aku
membaca pesan Drupadi.

Aku tidak pernah melihat Al sekacau ini.

Maaf, aku Dru, seketaris Al. Kali saja kau tak menyimpan
nomorku.

Dan maaf, aku mengirim pesan semalam ini.

Pekerjaan sungguh banyak sekali di kantor, Aldric


mengacaukan segalanya.

Tiba-tiba saja dia ke Jogja.

Dia benar-benar mencintaimu, Kei. Kau tahu itu, kan?

Dia benar-benar kacau, bahkan ketika Melisa menghilang dia


tak sekacau ini.

Tolong, selamatkan aku Kei.

Urat-urat di sekitar bibirku terangkat. Air mataku turun, tetapi


aku tertawa kecil. Hatiku membuncah mengetahui Aldric ke
Jogja benar-benar membuatku lega. Meskipun, belum tentu
Flowers | 355
dia datang untuk mencariku. Tapi, perasaanku mengatakan
dia melakukannya. Dia mencariku. Pembicaraan dengan ibu
dan Kaira pun telah melegakan hatiku. Kini, semuanya
terserah padaku. Hidupku dan hal-hal yang akan kupilih.

Esoknya, pagi-pagi sekali, aku pulang ke pelukan suamiku.


Aldric Raharjo.

Flowers | 356
Extra Part 5: Memulai Dengan Kejujuran

Pernikahannya dengan Keira tidak pernah ada dalam rencana


kehidupan Aldric. Maka, ketika pikiran untuk menikah
dengan Keira itu muncul, dia menjalaninya biasa saja.

Bahkan, Aldric berencana untuk berpisah dengan Keira,


ketika waktunya tiba. Di luar rencana Aldric pula, Keira
berhasil merebut hatinya, atau memang hatinya sudah terebut
sejak awal. Aldric tidak tahu itu. Tapi, kini, Keira sudah
menjadi bagian dalam hidupnya.

Sebelum mereka menikah, Aldric belum pernah melamar


Keira secara resmi. Keduanya berkenalan, lalu tiba-tiba
membahas mengenai pernikahan. Celetukan ketika pesta hari
itu, bagi Aldric bukanlah lamaran. Itu hanya celotehan dua
orang yang patah hati, kemudian menjadi kenyataan. Hidup
begitu lucu, bukan?

Hal itu terpikirkan oleh Aldric ketika dia membuka mata pagi
ini. Keira tertidur pulas di sampingnya. Tubuh polosnya
terbalut selimut tebal berwarna putih di kamarnya. Pagi ini,
Keira terlihat bercahaya, mungkin karena efek dari selimut di
kamarnya atau memang sejak awal Keira secantik ini. Hanya
saja, Aldric baru menyadarinya?

Sejak mereka menikah, tak banyak waktu yang diluangkan


oleh Aldric untuk berdua saja dengan Keira. Apalagi tidur
sekamar. Sejak kepulangan Keira, banyak hal yang dipikirkan

Flowers | 357
oleh Aldric, hal itu membuatnya merasa bersalah kepada
Keira, terutama mengenai sikapnya.

Aldric mencari-cari tangan Keira, dia mengecup punggung


tangan itu, kemudian menarik tubuh Keira mendekat. Pagi itu,
Aldric memutuskan untuk lebih lama di atas ranjang. Biarlah
Bi Endah menunggu mereka turun atau sarapan yang
disediakannya menjadi dingin. Aldric ingin membiarkan
Keira tidur lebih lama daripada sebelumnya, dia pun ingin
melihat wajah Keira lebih lama lagi.

Keira menggeliat ketika Aldric memeluknya. Dirinya mulai


terjaga.

"Aku membangunkanmu?" tanya Aldric, ketika melihat mata


istrinya terbuka. Perempuan itu memicingkan mata, berusaha
membawa masuk cahaya untuk melihat lebih jelas. Keira
menjawab pertanyaan Aldric hanya dengan erangan. Aldric
tersenyum melihatnya. Keira belum terjaga dengan benar.
"Tidurlah."
"Pukul berapa sekarang?" tanya Keira dengan suara parau.
Suaranya hampir tak terdengar, kalau saja Aldric tidak berada
di dekatnya.

"Entahlah," sahut Aldric. Dia memperat pelukannya kepada


Keira.

Flowers | 358
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Keira lagi. Dia melepaskan
pelukannya dari Aldric, kemudian mengucek matanya. "Kita
harus bangun."

"Tidak, nanti saja."

"Kau tidak bekerja?"

"Tak apa-apa."

Keira mendesah. "Tidak. Nanti kau jatuh miskin." Aldric


tertawa menanggapi gurauan Keira.

"Tenanglah, suamimu ini kaya raya. Aku tidak akan jatuh


miskin secepat itu," balas Aldric, setelah tawanya mereda.
Keira tersipu. Bukan karena perkataan Aldric yang kaya raya,
melainkan kata 'suamimu' yang didengar oleh Keira. Kata itu
terasa aneh di telinganya, tetapi juga menghangatkan paginya.
Tentu, pelukan Aldric lebih hangat.

"Kenapa?" tanya Aldric. "Mukamu memerah." Keira


menggigit bibir bawahnya, kemudian menahan senyum. "Hei,
ada apa?" Aldric semakin penasaran dengan sikap Keira
seperti itu.

"Hmmm," Keira ragu untuk memberitahu Aldric mengenai


perasaannya. "Kau menyebut dirimu suamiku. Kata itu terasa
asing bagiku," ungkapnya, pada akhirnya. "Jangan salah
paham. Hanya tidak terbiasa."

Flowers | 359
Tangan kanan Aldric terulur menyentuh rambut istrinya, dia
menyelipkan beberapa helai rambut istrinya itu ke belakang
telinga. Dia ingin melihat wajah Keira dengan jelas. Ketika
Keira berkata seperti itu, perasaan Aldric membuncah. Dia
mengingat bagaimana perlakuannya terhadap Keira sebelum
ini.

Aldric menyentuh dagu Keira, kepalanya mendekat,


kemudian dia mengecup bibir perempuan itu beberapa detik.
Lalu, menarik diri.

"Kau harus membiasakan diri mulai sekarang," ucap Aldric.


"Aku suamimu dan selamanya akan begitu."

Kedua mata Keira mengerjap. Hatinya lebur, bebannya


terurai. Ada kelegaan luar biasa yang menghampirinya sepagi
ini. Air matanya ikut-ikutan merayakan kebahagiaan. Seulas
senyum tercetak di wajahnya. Tanpa berkata apa pun, Keira
membalas kalimat Aldric dengan ciuman.

Keira tak menyangka, momen seperti ini pada akhirnya hadir


dalam hidupnya.

***

Keira mematut dirinya di depan kaca. Dia mengenakan


terusan berwarna merah muda, rambutnya tergerai hingga
bahu. Keira mengambil gincu berwarna merah muda, untuk

Flowers | 360
sentuhan terakhir. Lalu, dia merasa puas
dengan penampilannya pagi ini.

Hari ini, Keira kembali bekerja ke kafe, setelah selama satu


minggu libur. Setelah kepulangannya dari Jogja, Keira belum
ke kafe sama sekali. Tapi, dia sudah memberikan kabar
bahagia bahwa dia berbaikan dengan Aldric kepada kedua
sahabatnya, Meira dan Lena.

Dua ketukan samar terdengar dari pintu kamarnya. Dia


berjalan ke arah pintu, kemudian membukanya. Di sana
suaminya, Aldric berdiri dengan pakaian yang rapi.

"Sarapan?" ajak Aldric.

"Ya, sebentar. Aku ambil tas dulu," kata Keira. Aldric


mengangguk dan pergi terlebih dahulu ke bawah. Keira
meraih tas bahunya dan menyusul Aldric ke meja makan. Hari
ini Bi Endah memasak masakan rumahan, sayur bening berisi
bayam, jagung, lauknya tempe goreng hangat, ayam goreng,
dan dadar jagung. Bi Endah juga menyiapkan sambal terasi
yang membuat dapur bau menyengat. Melihat hidangan di
meja, membuat Keira membulatkan matanya. Perutnya yang
sebelumnya biasa saja, tiba-tiba bereaksi.

"Astaga," gumam Keira. "Aromanya sedap


sekali!" Aldric tersenyum menanggapi reaksi Keira.
"Duduklah," katanya. Di sisi mereka ada Bi Endah yang
tersenyum lega melihat kedua majikannya kembali sarapan

Flowers | 361
bersama. Dia tahu bagaimana Aldric ketika Keira tidak di
rumah. Suasana rumah kembali sunyi dan terasa sesak.
Sebab, dia harus melihat wajah Aldric yang selalu cemberut.

"Kau meminta Bi Endah masak makanan rumahan?" tanya


Keira bersemangat sembari menarik kursi di sisi kiri Aldric.

Aldric hendak mengambil air putih di depan Keira, istrinya


itu mencegah. "Biar kuambilkan," katanya. Dia meraih gelas
bening di hadapannya dan mengisinya dengan air putih. Lalu,
gelas bening itu ia serahkan pada Aldric.

"Terima kasih," ucap Aldric. Aldric menerima air putih dari


Keira, kemudian meminumnya. "Aku pikir kau akan rindu
masakan rumahan. Jadi, kuminta Bi Endah membuatnya."
Aldric menjelaskan setelah menghabiskan air minumnya.

Keira menggigit bibir bawahnya, dia menahan senyumnya,


tetapi gagal. Wajahnya, lagi-lagi, bersemu. Keira
memiringkan kepalanya, melihat ke arah Aldric. "Apa kau
sebenarnya memang semanis ini?"

Aldric terkekeh. Dia berdeham, menetralkan hatinya sendiri.


Rasanya, pagi ini perutnya dipenuhi oleh kupu-kupu. Tentu,
penyebabnya adalah Keira. "Ya, aku memang seperti ini." Dia
mengambil jeda, sebelum mengatakan, "Maafkan, sikapku
sebelum ini."

Flowers | 362
Keira mengangguk. Lalu, dia kembali bertanya, "Apakah kau
benar-benar suamiku?"

Kali ini, Aldric tersenyum. Dia meraih tangan Keira,


mengecup punggung tangan itu, kemudian berkata, "Iya,
Sayang." Diperlakukan seperti itu oleh Aldric membuat darah
Keira berdesir. Dia menjadi salah tingkah.

"Akan kuambilkan makanan untukmu," kata Keira. Aldric


tersenyum kecil melihat tingkah laku Keira. Istrinya itu
mengambil piring Aldric, mengisinya dengan nasi putih,
bayam, dan ayam goreng. "Dadar jagung?" tanyanya pada
Aldric. Suaminya itu mengangguk.

Setelah mengambilkan makanan untuk Aldric, Keira


mengambil sarapannya sendiri. Untuk beberapa waktu,
keduanya saling diam, sibuk dengan sarapan masing-masing.
Lalu, Aldric memecah keheningan.

"Aku punya pemikiran," katanya.

"Hmm?"
"Bagaimana kalau kita tidur sekamar?"
"Apa?" Keira sudah mendengar kalimat dari Aldric, tetapi hal
itu membuatnya terkejut. Debaran di dadanya kembali
muncul. Sungguh, Keira belum terbiasa dengan sikap Aldric
yang berbeda dari sebelumnya.

Flowers | 363
"Kenapa? Kita suami istri. Itu wajar," sahut Aldric. Dia
berdeham. Tanpa diketahui oleh Keira, Aldric juga
merasakan debaran yang sama. "Aku ingin setiap hari tidur di
sisimu, Kei."

***

"Jangan pulang sebelum aku jemput."

Begitu pesan Aldric ketika Keira sampai di depan kafe. Dia


mengangguk menanggapi pesan Aldric. Lalu, Aldric
melanjutkan perjalanannya menuju kantor. Langkah Keira
gegas menuju kafe, dia membuka pintu bangunan itu,
kemudian langsung berhambur memeluk Meira yang juga
terlihat senang dengan kedatangan Keira.

"Aku rindu," tukas Keira.

"Astaga, Kei!" seru Meira. Dia membalas pelukan Keira


dengan erat. "Kau benar-benar pembuat onar."

Keira melepaskan pelukannya. "Maafkan aku." Dia melihat


ke sekeliling. Tentu saja mencari Lena. Tak lama kemudian,
Lena masuk ke kafe. Dia melambaikan tangannya ke arah
Lena.

Di depan pintu kafe, Lena membalik plakat yang tadinya


bertuliskan 'Buka' menjadi 'Tutup'. Lalu, dia menghampiri

Flowers | 364
Meira dan Keira, "Kita akan buka kafe lebih lambat." Baik
Keira maupun Meira tertawa. Mereka mengerti, Lena ingin
berbicara banyak dengan Keira. Atau lebih tepatnya, baik
Lena maupun Meira ingin mendengar cerita Keira.

Ketiga sahabat itu menarik kursi masing-masing. Sebelum


itu, Meira membuatkan Keira, dirinya dan Lena secangkir
cokelat hangat. Keira menceritakan pengalamannya ketika ke
Jogja, kemudian cerita bergulir yang ternyata Aldric juga ke
sana. Hal itu diiyakan oleh kedua sahabatnya.

"Ya, kami yang memberitahu dia," sahut Lena. Dia


tersenyum, menyesap cokelatnya.

Keira lanjut bercerita bagaimana dia memutuskan untuk


kembali bersama Aldric. Bagaimana perasaan Keira pada
lelaki itu. Sesakit apa pun hati Keira, pada kenyataannya, dia
tak bisa melupakan Aldric. Memang, pada awalnya, Aldric
tak pernah ada dalam rencana hidup Keira. Tapi, lelaki itu
berhasil membuatnya melupakan masa lalunya, Yoga. Keira
tak bisa menjelaskan secara detail bagaimana perasaannya,
hanya saja, dia ingin bersama lelaki itu lebih lama lagi.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku diinginkan oleh
seseorang yang kucintai," Keira menutup alasannya dengan
kalimat itu. Baik Meira dan Lena tersenyum mendengarnya.
"Bagaimana dengan perempuan itu? Apa kau yakin dia tidak
akan mengganggu hubungan kalian lagi?" tanya Meira.
Seperti biasa, sahabatnya itu selalu berbicara secara terus
terang.

Flowers | 365
"Aku tidak tahu," jawab Keira jujur. "Mas Al bilang, dia
sudah menyelesaikan hubungannya dengan Melisa." Keira
menyesap cokelatnya. "Kalau Mas Al memang masih ingin
bersamanya, dia tak akan memintaku untuk kembali, bukan?"
"Kali ini, kalian tidak sedang bersandiwara, kan?" sahut Lena.
Dia hanya ingin memastikan, bahwa pernikahan Keira serius.
Menanggapi pertanyaan Lena, Keira tertawa. "Aku serius,
Kei."

"Maaf," sahut Keira. "Aku tahu, aku salah. Maafkan aku,"


Keira berbicara dengan tulus. Kedua alisnya saling bertaut,
dia menunjukkan wajah menyesal. "Seharusnya aku tidak
seperti itu. Hanya saja, waktu itu, aku sedang kacau. Kalian
tahu sendiri," jelasnya. "Aku mencintai Aldric. Aku jujur
mengenai hal ini. Kami akan memulainya dari awal. Dengan
kejujuran kami."

***

Mobil Aldric berhenti di depan kafe pukul setengah tujuh


malam. Keira langsung berpamitan dengan Lena yang akan
membuka kafe sampai pukul sepuluh nanti. Di perjalanan,
Keira tak henti-hentinya bersenandung mengikuti irama lagu
yang keluar lewat radio. Aldric di sebelahnya sesekali melihat
ke arah Keira dengan senyum menghiasi wajahnya. Sadar
diperhatikan, Keira menggoda Aldric dengan memiringkan
wajahnya, bersenandung, lalu tersenyum.

Aldric terkekeh digoda Keira seperti itu.

Flowers | 366
Keira terus bersenandung, sesekali dia mengomentari
pemotor yang ugal-ugalan, atau dia berbicara mengenai
kenangannya dengan Meira dan Lena semasa kuliah, ketika
melewati tempat-tempat tertentu.

"Mas Al," panggil Keira. "Aku akan menulis novel baru,"


ceritanya. "Sebenarnya, sudah kumulai beberapa bulan lalu.
Hanya saja, aku menundanya. Kebetulan kemarin, aku
mendapatkan surel dari penerbit. Mereka membutuhkan
naskah."

Selama ini, Aldric tak pernah peduli dengan pekerjaan Keira.


Bagaimana istrinya itu menulis novel, penjualannya, dan hal
lainnya. Hatinya terlalu sibuk mengutuki nasibnya sendiri,
membuat Keira tak nyaman. Istrinya itu pun tak pernah
menceritakan mengenai perkembangan menulisnya. Dunia
mereka berbeda, mereka tak saling menyentuh kehidupan
masing-masing. Saat ini, Keira sedang membagi dunianya
dengan Aldric.

"Selamat," begitu komentar Aldric. Keira tersenyum. "Apa


yang akan kau tulis?"

Keira memiringkan kepalanya. "Rahasia."

"Aku tidak boleh membacanya?"

"Hmm," Keira bergumam. "Setelah selesai," katanya. "Kau


boleh membacanya setelah selesai."

Flowers | 367
"Aku tunggu."

Sesampainya di rumah, Aldric membuka percakapan lagi.


"Kei, bagaimana mengenai kita sekamar?" Saat ini, mereka
berjalan ke arah pintu rumah. Keduanya berjalan
berdampingan. Disinggung mengenai sekamar, Keira terlihat
salah tingkah. "Kau mau?"

Keira tak langsung menjawab. Hal itu membuat Aldric


gemas. "Bagaimana? Kamarmu yang sekarang bisa kuubah
menjadi ruang kerjamu. Hmm? Bagaimana?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Aldric, Keira justru terkekeh.


Hal itu membuat Aldric mendesah. "Tentu," sahut Keira
kemudian.

Aldric tersenyum mendengar jawaban Keira. Mereka sudah


berada di depan kamar masing-masing. Aldric menyentuh
rambut Keira, kemudian tangannya beralih ke belakang
kepala istrinya. Aldric menundukkan kepalanya, kemudian
mencium bibir istrinya itu.

"Banyak hal yang ingin kukatakan padamu," ucap Aldric


setelah melepas ciumannya.

"Kita bisa melakukannya kapan pun," sahut Keira. Keduanya


tertawa kecil. "Oke, aku akan mandi terlebih dahulu. Setelah
itu," Keira mengambil jeda. "Kita akan berbicara. Di
kamarmu."

Flowers | 368
"Ide bagus," sahut Aldric. "Aku akan minta Bi Endah
memindahkan makan malam kita ke balkon."

"Kau tak suka kamarmu beraroma makanan," ucap Keira.


"Ckckck, di balkon, Kei. Aroma makanan akan cepat
menghilang terbawa angin."

"Ah, iya. Kau benar."

"Oke, mandilah."

Keira mengangguk.

***

Aldric dan Keira menyelesaikan makan malam mereka.


Keduanya menaruh piring kotor di sisi balkon dan berencana
membawanya ke bawah nanti. Sekarang, di antara keduanya
ada pisang goreng yang dibuatkan oleh Bi Endah dan dua
cangkir cokelat racikan Keira.

Berada di balkon kamar Aldric menjadi hal yang


menyenangkan untuk Keira. Di kamar pribadinya, dia tak
memiliki itu. Meskipun menyenangkan, tak ayal membuat
Keira memeluk kakinya sendiri. Entah kenapa dia merasa
kedinginan.

Flowers | 369
"Aku berpikir untuk meminta maaf kepada ibumu," ucap
Aldric. Keira menoleh ke suaminya itu. Dia sama sekali tak
menyangka, Aldric akan memikirkan hal ini. "Aku sudah
menjadi menantu kurang ajar, bukan?"

Keira menarik kedua ujung bibirnya. "Bukan hanya kau, aku


pun." Keira mengingat kembali bagaimana dia telah
mengkhianati adiknya sendiri, Kaira. Dia merasa sangat
bersalah akan hal itu. Tapi, Keira tidak menyangka, adiknya
itu ikut merasa bersalah akan perasaannya. Keira sudah
menjelaskan semuanya pada Kaira, mengenai perasaannya
pada Yoga yang telah lama hilang dan perasaannya sekarang
milik Aldric.

"Kau mau melakukannya bersama-sama?" tanya Keira. "Kita


temui Ibu dan Omi."

"Tentu. Berdua lebih baik," sahut Aldric. Aldric melihat ke


arah Keira. Dia melihat keanehan pada wajah perempuan itu.
Aldric hendak berbicara, tetapi urung, sebab Keira tiba-tiba
saja mual. "Kau baik-baik saja?"

Keira menautkan kedua alisnya. Dia tak langsung menjawab


pertanyaan Aldric. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang terdorong
dari perutnya. Lalu, dia mual. Keira berlari ke kamar Aldric,
kemudian menuju kamar mandi. Di wastafel kamar mandi,
Keira memuntahkan isi perutnya. Tidak banyak, tetapi itu
cukup membuat badannya lemas.

Flowers | 370
Aldric mengikuti Keira, dia menyentuh tengkuk istrinya itu,
memijat bahunya. Keira masih mual. Kali ini dia tak
mengeluarkan apa pun. Keira mengguyur wastafel dengan air,
kemudian Aldric memberinya handuk bersih.

"Sepertinya masuk angin," ucap Keira. Aldric menyentuh


dahinya. Lelaki itu merasakan tubuh Keira hangat. "Kau
demam," ucapnya. Dia menuntun Keira keluar dari kamar
mandi, kemudian menidurkannya di ranjangnya. "Mau ke
dokter?" tawar Aldric.

Keira terkekeh. "Tidak. Minta Bi Endah buatkan teh panas


dan obat saja."

"Tak apa-apa kita ke rumah sakit sekarang," Aldric


bersikukuh.

"Ini hanya masuk angin, tidak perlu ke rumah sakit," sahut


Keira. Dia merasa geli dengan suaminya itu. Lalu, Keira
menyentuh lengan Aldric. "Besok, kalau aku masih sakit.

Baru kita periksa. Oke?"

Aldric mendesah. Dia akhirnya menyerah.

***

Flowers | 371
Extra Part 6: Apakah Ini Akhir Bahagia?

Keira tak pernah tahu arti dari sebuah akhir bahagia. Sebagai
penulis, dia selalu menuliskan akhir bahagia untuk para tokoh
yang ditulisnya. Ketika dia menuliskan bab terakhir itu, Keira
sama sekali tak mengerti arti dari akhir bahagia yang
sesungguhnya. Dia hanya menyuguhkan yang diinginkan
pembaca; kedua tokoh hidup bersama.

Apakah itu benar-benar akhir bahagia?

Pada kenyataannya, Keira menghadapi kehidupan pernikahan


yang sulit. Dia sulit beradaptasi dengan status barunya,
terutama dalam menghadapi suaminya. Memang, perempuan
mana yang tak sulit menghadapi suami yang baru dikenalnya?

Beruntung, Keira sudah melewati itu, ya, paling tidak, itu


yang dipikirkannya.

Keira membawa dua cangkir cokelat panas ke kamar Aldric.


Dia sudah mengusik kehidupan Aldric sebelumnya yang tak
suka aroma cokelat masuk ke kamarnya. Nyatanya, bukan itu
alasan Aldric ketika mengatakan pada Keira bahwa dia benci
aroma cokelat di kamarnya. Kala itu, Aldric hanya mencari
alasan untuk menunjukkan kepada Keira bahwa dia tidak
menyukai pernikahan mereka.

Flowers | 372
Saat ini, Aldric sedang duduk di balkon kamarnya. Awalnya,
balkon itu kosong, tak terisi apa-apa. Kini, sejak Keira ikut
tidur di kamar itu, perempuan itu memberikan sedikit
sentuhan di sana.

"Aku bisa menulis di sini, kalau bosan di ruang kerja," begitu


alasan Keira. Dia membeli satu set meja dan kursi untuk
ditaruh di balkon, lalu juga membeli dua kaktus koboi dan
tanaman daun monstera. Kala mendekor balkon itu, Aldric
sama sekali tidak berkomentar dan tidak keberatan dengan
keinginan Keira.

Langit sore itu begitu indah, tepat di depan balkon kamar


mereka terdapat semburat warna oranye dari senja. Keira
membawa dua cangkir cokelat dan ditaruhnya di atas meja.
Tanggal pernikahan Kaira sudah ditentukan," cerita Keira,
ketika dia sudah duduk di kursi sebelah Aldric. Dia bersandar
pada lengan suaminya itu. Ya, meskipun keduanya duduk di
kursi yang berbeda, tetapi kursi tanpa lengan itu menempel.

Hal itu memudahkan Keira untuk bersandar pada suaminya.


Aldric hanya bergumam. Tak banyak hal yang ingin
dikatakannya. "Kami masih bingung akan mengadakan pesta
pernikahan di mana," lanjut Keira. "Menurutmu, apakah di
gedung lebih tepat? Atau di hotel?"

"Di hotel boleh juga," sahut Aldric. Aldric membuka


tangannya, memeluk Keira. "Tanyakan pada Yoga, dia ingin
pesta di mana," Aldric berbicara dengan santai. Sejujurnya,

Flowers | 373
Keira masih tidak enak hati, sehingga dia tak pernah
menyebut nama Yoga di hadapan Aldric. "Kei." "Hem."
"Yoga akan menjadi adik iparku," katanya. Keira membasahi
bibirnya, sedikit cemas. "Mungkin, nanti aku akan cemburu,
tetapi itu hal yang wajar. Aku hanya ingin kau tahu, aku sudah
melupakan masa lalu kita."

Keira beringsut melihat ke arah Aldric. "Aku tak bisa


berkatakata."

Aldric melihat Keira dengan intim. Dia mendekatkan


kepalanya dan mencium bibir istrinya itu. Ciuman itu tetap
membuat Keira melayang, berkali-kali pun Aldric melakukan
itu padanya. "Yang ingin kukatakan adalah mari kita saling
percaya," kata Aldric setelah melepaskan ciumannya.

Keira menenggelamkan kepalanya ke dada Aldric, dia


mengangguk perlahan.

"Ah, ya. Besok malam kau ada waktu?" tanya Aldric.

"Besok?" Keira menegakkan tubuhnya.

"Hem." Aldric mengangguk. Dia memperhatikan wajah Keira


lagi, kemudian terkekeh. "Wajahmu memerah. Kau masih
malu denganku?" godanya.

Keira memutar bola matanya. "Hanya belum terbiasa,"


katanya. "Ah, iya. Besok aku bisa." Dia kembali menggigit
Flowers | 374
bibir bawahnya. Aldric masih tersenyum ke arahnya.
"Hentikan."

Aldric terkekeh. "Maaf," katanya, "Bagus. Besok kita makan


malam di luar."

Keira mengangguk cepat.

***

Aldric membawa Keira ke sebuah restoran konsep terbuka di


sebuah rooftop di salah satu hotel bergengsi di Surabaya. Saat
ini, sedang musim kemarau, sehingga keadaan rooftop tidak
terlalu dingin.

Keira tersenyum lebar ketika melihat pemandangan dari


rooftop. Dia berkali-kali menyunggingkan senyum ke arah
Aldric.

"Indah sekali," katanya. Dia bisa melihat lampu-lampu


layaknya bintang yang bertaburan.

"Ayo, duduklah," kata Aldric. Dia menarik kursi untuk Keira.

Keira kembali tersenyum dan duduk di kursi yang disiapkan


oleh suaminya.

Malam ini, Keira mengenakan gaun berwarna merah dengan


lengan sampai siku, rok berbentuk A sampai di bawah lutut,
Flowers | 375
dan tali yang melilit pinggangnya. Rambutnya dia biarkan
tergerai, bibirnya ia poles warna merah gelap. Sebelum
memutuskan untuk mengenakan gaun itu, Keira beberapa kali
memilih gaun lainnya. Seperti gaun berwarna merah muda
dengan panjang di atas lutut atau gaun berwarna biru tanpa
lengan. Karena dia bingung, Keira meminta pendapat Aldric
dan suaminya itu memilih gaun berwarna merah. Lucunya,
Aldric hanya mengenakan celana jin, kaus, dan blazer.

"Kenapa?" tanya Keira, ketika menyadari Aldric


memperhatikannya. Lelaki itu sama sekali tidak berkedip,
bibirnya tersenyum, membuat Keira salah tingkah.
"Cantik."

Ungkapan Aldric membuat Keira semakin salah tingkah. Dia


tertawa kecil, dengan semburat merah di pipi. "Terima kasih."
Keira memiringkan wajahnya. Dia mengulurkan tangannya,
Aldric menyambut tangan itu. Keduanya tertawa perlahan.
Pesanan mereka tiba. Dua piring abalone yang dibumbui
dengan saus kental. Keira menaikkan kedua alisnya melihat
hidangan asing di depannya. Baginya, terkadang, selera
Aldric terlihat aneh baginya. Mungkin, alasannya karena
mereka lahir di lingkungan yang berbeda.

"Kau tak suka?" tanya Aldric.

"Belum kucoba," sahut Keira.

"Cobalah."

Flowers | 376
Keira mulai mencoba hidangan di depannya itu, kemudian
kepalanya bergerak-gerak sebagai tanda dia menyukai
makanan di hadapannya.

"Tenang saja, makanan kita malam ini, tak hanya ini." Aldric
ikut menikmati makan malamnya.

Tiga puluh menit kemudian, ketika suami istri itu selesai


dengan hidangan mereka. Piring-piring dan gelas kotor di
meja mereka telah dibersihkan, dan hanya menyisakan dua
gelas mocktail.

"Ada yang ingin kusampaikan, Kei," kata Aldric. Dia menarik


napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Keira melihat ke
arahnya, kemudian memusatkan perhatiannya pada Aldric.
"Ya?"
Aldric menarik sudut-sudut bibirnya, berusaha setenang
mungkin. Sial. Dia pikir hal ini akan mudah baginya. Mereka
sudah menikah dan melalui banyak hal. Tapi, tetap saja Aldric
merasakan debaran yang berbeda.

"Kupikir ini akan mudah, ternyata sulit juga." Aldric


terkekeh.
"Apa?" Keira menaikan kedua alisnya, seulas senyum
tercetak di wajahnya.

Aldric tak langsung menjawab, dia tersenyum, melihat ke


arah Keira. Lalu, dia berbicara setelah berhasil menenangkan
diri.

Flowers | 377
Aldric merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan
kotak beludru berwarna merah marun. Keira mengernyitkan
dahinya ketika melihat kotak di tangan Aldric. "Aku merasa
belum pernah melakukan dengan benar." Aldric berucap
dengan sedikit gugup. Aldric membuka kotak beludru di
tangannya. Di dalam kotak itu bukan berisi cincin, melainkan
sebuah kalung. Aldric meraih kalung itu dan mengangkatnya.

Di ujung kalung itu ada liontin tipis berbentuk buku


bertumpuk berwarna perak dan di tengahnya ada berlian
kecil.

"Kei, menikahlah denganku." Akhirnya, apa yang ingin


diucapkan Aldric keluar juga.

Sejenak, otak Keira tidak menyahut. Lalu, dia tertawa kecil.


"Kita, kan, sudah menikah," dia memprotes. "Astaga." "Tapi,
aku belum melamarmu dengan benar." Aldric tertawa.
Dadanya berdebar.

Keira tak bisa menahan senyumnya, dia menggigit bibir


bawahnya. Pandangannya mengabur. Dia menyentuh pelipis
matanya, ternyata basah. Dadanya membuncah, kemudian dia
mengangguk.

Keduanya kembali tertawa. Aldric mendorong kursinya,


kemudian menghampiri Keira. "Akan kupakaikan." Keira
mengangguk. Aldric memakaikan kalung itu ke leher Keira.
Setelah itu, dia kembali ke tempat duduknya.

Flowers | 378
Keira menyentuh liontin di lehernya. "Bagus sekali."

"Maaf, terlambat," ucap Aldric.

"Tidak. Ini tetap indah."

"Kau suka?"

"Tentu saja." Keira menarik napasnya dalam-dalam,


kemudian dia melihat ke arah Aldric. "Sebenarnya, ada yang
ingin kuberitahu kepadamu."

"Hem?"
"Sebentar, aku dadaku masih berdebar," tukas Keira. Dia
tertawa kecil. Hah. Hari ini dia banyak tertawa. "Pertama, aku
akan menerbitkan buku lagi."

"Ah, selamat."

"Terima kasih."

"Kedua?"
Keira melihat ke arah Aldric. "Aku berharap kau siap menjadi
ayah."
"Oh," desah Aldric. Lalu, matanya membulat. "Apa?"
tanyanya, terkejut.

Flowers | 379
Keira tertawa. "Tempo hari aku ke dokter sepulang dari kafe,"
ceritanya. "Waktu aku mual dan pusing itu." Dia menggigit
bibir bawahnya. "Ya, kata dokter, aku hamil."

Untuk beberapa menit, Aldric terdiam. Dia menatap Keira


dengan serius. Dia menyentuh rambutnya, kemudian berdiri,
memutar tubuhnya, lalu kembali duduk. Keira tertawa
melihat kelakuan Aldric.

"Al, tenanglah."

"Maaf," katanya. "Oh. Hari ini aku resmi menjadi suami


sekaligus ayah." Aldric tertawa. Dia menyentuh kedua tangan
Keira. "Terima kasih."

"Kau senang?"

"Tentu saja. Tapi, rencanaku gagal untuk mengejutkanmu."

Aldric mengambil jeda. "Ternyata, justru aku yang terkejut."

Keira tertawa. Dia merasakan kebahagiaan yang dulu tak


pernah dia rasakan. Dia sering menulis akhir bahagia dalam
novel-novelnya. Tapi, kebahagiaan sesungguhnya belum
pernah dirasakannya. Hari ini, dia merasakannya. Atau, Keira
pikir, memang seperti inilah akhir bahagia itu.

Apakah benar demikian?

Flowers | 380
=====END=====

Flowers | 381

Anda mungkin juga menyukai