Anda di halaman 1dari 12

Kara menahan dirinya disudut ruang gelap.

Mempertanyakan sebuah hal yang ia sendiri tak tahu


jawabannya. Kara bimbang, dia gundah, kehidupannya mulai goyah. Ia mulai mempertanyakan arti
kehadirannya dikehidupan Ale.

Kara merasa bersalah pada Ale dengan sangat dalam.

Saat mereka berdua sudah memutuskan untuk membawa hubungan mereka kesebuah komitmen yang
lebih serius, masa lalu Kara menyeruak kembali. Masa lalu Kara yang belum terselesaikan.

Kay.

Kay muncul bersama sebuah cerita masa lalu mereka yang Kara baru tahu. Kay muncul bersama cerita
masa lalu mereka yang Kara nantikan dulu.

Kara marah pada keadaan, pada dirinya sendiri, pada waktu, pada segala hal yang menentangnya. Kara
tak tahu ia harus merasa bahagia atau justru bersedih.

Ia bimbang, gundah, gelisah, segala perasaan itu bercampur semau mereka. Tak terkendali. Meracuni.
Menyakitkan.

"Andai aku bisa memutar waktu, Ra. Aku akan mengatakannya lebih awal sebelum Ale ada di
kehidupanmu," Kara masih sangat ingat kalimat Kay setelah semuanya terungkap begitu saja. Intonasi
suara Kay yang menyayat hatinya masih membekas sampai sekarang. Kepedihan itu terasa nyata keluar
bersama setiap kalimat Kay. Kara tahu itu, Kara merasakannya.

Namun itu menjadi beban yang teramat besar pada Kara karena sosok Kay datang setelah Kara mencoba
membuka hatinya pada Ale, yang bertanggung jawab dan hangat.

Ale, asisten menejer di tempatnya bekerja, kakak dari sahabatnya, Lova, dan pahlawannya dari kegalauan
masa lalu. Ale, dengan pribadinya yang penyayang mampu meluluhkan hati Kara yang membeku karena
Kay.

Kara tahu ini bahkan nggak adil untuk Ale dengan situasi hatinya saat ini. Tapi Kara akan merasa sangat
bersalah jika Kara lari pada Kay saat Ale menemaninya berjuang mati-matian.

"Jangan bingung, jelas lo harus pertahanin Ale yang udah pasti sayang sama lo," Karina, teman sekamar
Kara mulai membuka suara setelah sejak tadi membiarkan Kara diam disudut kamarnya.

"Kay itu masa lalu lo, Kar, dan Ale itu masa depan lo. Masa depannya cerah, dan gue tahu betul kalau Ale
sayang sama lo. Jaman sekarang pernikahan itu nggak melulu soal Cinta, tapi segala aspek hidup, Kar,"

Karina sang liberalis mungkin berfikir seperti itu. Cinta untuknya bukan hal penting. Tapi Kara tahu betul,
pernikahan sejenis apapun pasti harus didasari dengan kelegaan hati, tanpa rasa bersalah, walaupun
tanpa cinta.

Handphone Kara berdering, nama Ale terpampang jelas sebagai pemanggil disana.
Kara mengamati lama layar ponselnya sebelum mengusap untuk menerima panggilan masuk Ale.

"Sayang, aku lagi cari parkiran di basement, kamu udah siap kan? Aku sebentar lagi naik,"

Kara menoleh panik pada Karina yang menatapnya. Dengan gerakan bibir yang konstan ia bertanya "jam
berapa?"

Dan dengan gerakan bibir tanpa suara pula Karina menjawab, "setengah sebelas,"

Kara melonjak kaget. Ia ingat hari ini, hari ulang tahun tante Sofia, mama Ale, dan Kara sudah janji akan
datang dan membantu persiapan untuk acara nanti malam.

"Kara? Sayaang? Kamu nggak papa kan?" Kara kembali ngeh dengan sambungan telepon Ale, ia kembali
fokus pada teleponnya sambil berlari kesana kemari menyiapkan keperluannya.

"Ale, tunggu 30 menit ya, aku ketiduran,"

Kara melempar handphonenya dan berlari memasuki kamar mandi untuk bersiap. Karina yang
menatapnya hanya geleng-geleng kepala.

2 tahun tinggal seatap dengan Kara mampu membuatnya tahu pasti sosok Kara yang rapuh dibalut
sifatnya yang terlalu ceroboh dan moody. Dan Karina tahu sosok Kay dimasa lalu Kara yang berhasil
mengobrak-abrik pertahanan Kara sejauh ini. Tahu bagaimana pengaruh Kay pada kehidupan Kara
walaupun secara teknis Karina tak mengenal Kay.

Bunyi bel apartemennya membuat Karina berlari keluar kamar Kara untuk membuka pintu, membiarkan
Ale menunggu didalam selagi Kara menyiapkan dirinya.

"Kara lagi mandi, lo tunggu bentar ya," Ale mengangguk dan duduk di sofa sembari menikmati acara di
televisi. Karina menyerahkan sekaleng soda ke Ale dan ikut duduk disamping Ale.

"Kara kenapa, Rin? Gue kok ngerasa ada yang aneh sama dia dari kemarin," Karina diam, dia sudah tahu
Ale akan cepat paham dengan situasi ini.

Mencintai Kara selama lebih dari 5 tahun membuat Ale tahu tabiat Kara, Karina tak bisa menyalahkan
insting kuat Ale.

"Bukannya lo tahu Kara selalu aneh dimanapun dan kapanpun?" jawab Karina dengan candaan.

Ale menggeleng, "bukan itu, lo pasti tahu ada yang aneh sama roommate lo itu,"

"Biarin aja, nanti juga orangnya ngomong sendiri kalau udah pas waktunya," Ale menggendikan baju, tak
mau juga menanyakannya lebih jauh, karena tahu Karina akan selalu menutupinya.

Kara keluar dengan rambut setengah kering, celana jeans dan kaos yang tertutup jaket denim, dengan
tas makeup dan gaun di tangannya, tanpa make up sedikitpun menempel pada wajahnya.
"Lo tuh bukan mau tidur, bedakan dikit kek, pakai bb cream kek, lipstik kek, kucel banget. Abis mandi kok
kayak abis nyemplung got," Karina mengomel melihat tampilan Kara yang seperti itu. Gemas sendiri
dengen kesleboran teman rumahnya.

"Kok lo sewot, pacar gue aja diem," Kara berdiri disamping Ale meminta perlindungan Ale dari
roommatenya yang galak.

"Sono udah buruan pergi, ngerusak pemandangan aja lo!"

"Rin, buruan cari laki deh, biar nggak galak galak amat," Kara memberikan salam perpisahan yang cukup
membuat Karina sebal.

Dia berlalu bersama Ale meninggalkan Karina yang menghabiskan weekend nya di apartemen dengan
sebox buku baru.

-00-

Kay keluar dari pintu kedatangan internasional. Wajahnya sudah lelah setelah melalui 16 jam perjalanan
panjang diatas pesawat. Zyan adik laki-laki nya tersenyum lebar dan siap menyambut sang kaka dengan
pelukan hangat. Tapi yang di dapat bukannya Kay, melainkan koper Kay. Kay sendiri sekedar berlalu
melewati Zyan yang diam mencerna situasi lalu mengumpat.

Zyan menghela nafas maklum, tahu sekali bagaimana lelah dan jenuhnya perjalanan antar benua itu.
Ditambah jetlag yang tak terhindarkan.

Kay masuk ke dalam mobil setelah Zyan menekan kuncinya. Disusul Zyan dibalik kemudi.

"Buruan ya, gue gerah banget, mau tidur," Kata Kay setengah sadar.

"Lo capek boleh, tapi namanya gerah itu mandi, bukan tidur," Zyan menyalakan mesin mobilnya sambil
mengumpat Kay yang sudah lelap di kursi penumpang.

Playlist Zyan mengalun pelan di dalam mobil selama perjalanan, menambah kesyahduan tidur Kay. Kay
seperti tak terusik dengan kemacetan dijalan yang sedang dihadapi Zyan, juga tak peduli jika adiknya itu
bisa mati bosan menghadapi kemacetan ibukota.

"By the way, Kay, bokap minta lo ikut ke acara koleganya lusa, perintah!" Kay membalasnya dengan
gumaman.

"Bokap minta lo datang ke rapat dewan Bulan depan," lagi, hanya gumaman yang di lontarkan Kay untuk
segala informasi Zyan.

"Dan, Kay, Kara mau married," Kay bergumam juga. Tapi matanya terbelalak hebat saat sadar siapa yang
disinggung oleh Zyan.

Kara.
Gadis yang tak bisa ia lepaskan dari poros hidupnya biarpun jarak yang terbentang teramat jauh dan tak
nampak.

"Kara?!"

Zyan mengangguk, "Dia Asisten manager di perusahaan tempat Kara kerja, beda divisi sama Kara tapi
masih satu kantor,"

Kay diam. Rasa kantuk akibat jetlag nya berhembus terbawa angin. Ia tak lagi bisa memikirkan tubuhnya
yang kelelahan di dalam pesawat. Pikirannya merancau kemana-mana, ke hal yang seharusnya sudah ia
selesaikan sejak dulu.

"Anterin gue ke rumah Nasya," Titah Kay.

Zyan yang mengerti kegaduhan hati Kay hanya bisa menuruti perintah kakaknya untuk mengantarnya ke
rumah Nasya, sahabat Kara yang juga saksi hidup kehidupan Cinta Kara dan Kay yang terlalu berkerikil.

Rumah bernuansa baby pink menyambutnya. Ada Nasya disana yang sedang bersantai bersama bayi
mungilnya di Taman. Kay menghampiri Nasya mantap.

Nasya yang menyadari kehadiran Kay segera mengangkat bayinya dan menyambut Kay.

"Kay!" Nasya memeluk Kay dan meminta Kay duduk di teras rumahnya selagi ia menaruh bayinya di
kamar dan membuatkan minuman untuk Kay.

"Gue kira lo nggak akan ingat gue sepulang lo dari LA," Nasya meletakan 2 orange juice di meja.

"Lo pasti masih berhubungan sama Kara, kan? Gue minta nomer telponnya, Sya. Gue harus ngomong
penting sama Kara sekarang," wajah Nasya yang ramah berubah menjadi sedikit dingin.

Ia tahu betul bagaimana dua sahabatnya ini menjalani kehidupan percintaannya tapi Nasya tak mungkin
bisa menghancurkan tembok Kara dalam sepersekian detik.

"Dia udah mau married, Kay, lupain Kara, lo pasti akan dapat yang lebih dari Kara kok," kata Nasya.

"Gue cuma perlu ngomong sama dia, Sya, Kasih gue nomer telpon atau alamatnya sekarang. Gue nggak
akan bisa biarin Kara nikah sama orang lain kalau gue belum bisa ngomong apa yang harus gue omongin
dulu,"

Nasya bimbang, ia tahu bagaimana Kara membangun hatinya lagi bersama tembok keras setelah
kepergian Kay tanpa pamit. Dan Nasya tahu bagaimana perjuangan Ale untuk meruntuhkan tembok
keras di hati Kara hingga bisa seperti sekarang. Nasya tahu semuanya. Tapi dia tak juga tega membiarkan
Kay menyimpan kegelisahan hatinya sendiri.

"Lo janji sama gue hanya akan bicara sama Kara tanpa mengusik kehidupannya sekarang?" Kay
mengangguk, "Lo harus janji untuk nggak mempengaruhi Kara tentang pernikahannya," Kay mengangguk
lagi, "dan lo juga harus janji untuk segera buka hati lo, menempatkan sosok lain di hati lo mendampingi
Kara?" Kay diam. Dia tak bisa menjanjikan itu. Tempat Kara masih sangat besar disana, tak adil rasanya
jika ia harus memasukan orang lain di ruang sempit itu.

"Gue nggak tau, Sya, kita lihat aja apa yang bisa gue lakukan dengan kehidupan gue,"

Nasya menyerah, ia meletakan kartu nama Kara dihadapan Kay. Dan Kay pamit sesegera mungkin untuk
menyelesaikan urusannya.

-00-

Kay mengedarkan pandangan ke seluruh sudut cafe. Mencari spot nyaman untuk berbicara berdua
dengan Kara yang akan segera datang.

Ia menelepon Kara, dengan 20 kali percobaan. Berbasa-basi sebentar lalu meminta Kara untuk
menemuinya hari ini.

Kay tahu konsekuensi dari pertemuan ini. Kay tahu dia akan sangat menyiksa dirinya untuk tidak
melepaskan pelukan rindu yang sangat erat pada satu-satunya alasan dirinya kembali ke tanah air. Kay
tahu, ia harus menjaga hatinya tetap utuh walau saat harus menatap cincin di jari manis Kara. Dia hanya
ingin berbicara pada Kara tentang mereka yang sudah lewat dan tentang apa yang selama ini Kay
pikirkan demi mengadapi Kara dalam sosok dewasa.

Kara masuk, dengan balutan dress warna baby blue dan sneakers putih, mengedarkan pandang sebentar
dan berjalan pelan setelah menemukan Kay di sudut cafe.

Kay-nya dulu yang berantakan sudah menjelma menjadi pria dewasa yang rapi dan modis. Kay sekarang
lebih bisa menjaga penampilannya walau hanya berkaos dan bercelana jeans. Masih gayanya yang dulu,
tidak berubah.

Kara duduk di depan Kay, tanpa berkata apapun. Bibirnya kelu, lidahnya mati, ia tak tahu harus membuka
obrolan apa dengan Kay yang sudah hampir 8 tahun tidak dia temui.

"Hai," Kay menyapanya lebih dulu, Kara balas "hai," pada Kay lalu mereka diam.

Kara mencoba mengalihkan situasi tanggung ini pada buku menu, memilah milih menu makanan dengan
teliti. Tidak, tidak, lebih tepatnya Kara hanya mengulur waktu dengan membaca setiap detail tulisan di
dalam buku menu.

"Aku Cinta kamu, Ra,"

Kara membeku. Kalimat Kay yang tiba-tiba dan sarat rasa sakit itu menggoyahkan seluruh tembok yang ia
jaga sejak tadi. Kara masih menatap buku menu, namun semuanya seperti terhenti begitu saja. Kay
menghentikan semua laju waktunya, dia hanya menjalankan degup jantung Kara dengan sangat cepat.
Kara tahu bahkan sangat tahu, Kay masih menjadi salah satu faktor penting degub jantung Kara hingga
sekarang. Dan kara menyesalinya.
Kara menutup buku menu tanpa memutuskan satu menupun darisana, dia merogoh tasnya dan
mengeluarkan sebuah undangan berwarna putih gading dengan tulisan "engagement," besar di halaman
depannya bersama namanya dan Ale disana.

"Undangan pertunangan aku sama Ale, semoga kamu bisa datang, Kay," Kay diam tak menyentuh
undangan yang diberikan Kara. Ia hanya menatapnya dengan tatapan pedih. Dia terlalu kecewa daripada
ekspektasinya sejak tadi.

"Aku tidak berniat meninggalkanmu saat itu, hanya saja aku mendapat kesempatan untuk belajar di LA,
aku berat untuk sekedar berkata berpisah denganmu, aku terlalu pengecut untuk itu.

"Tapi sejak saat itu, aku berjanji dengan diriku sendiri, aku akan datang padamu disaat yang tepat, saat
aku sudah siap untuk menjadikanmu milikku sepenuhnya, menjadi istriku, menjadi menantu kesayangan
Mama, menjadi ibu dari anak-anakku. Ternyata semuanya sirna beberapa detik sebelum aku
membicarakan semuanya,"

Kay mengoceh, terus berbicara apa yang akan dia ucapkan. Dia hanya ingin berkata begitu, hanya itu
yang dia mau ucapkan. Sepenggal kisah dan niat baiknya. Tapi semuanya luntur sirna bersama dengan
undangan pertunangan yang Kara berikan.

Kara diam, dia tak berkutik, waktunya terhenti. Ia bimbang. Kalut. Galau.

Kalimat ini yang Kara tunggu sejak 8 tahun lalu. Kalimat ini yang Kara impikan hingga ia tak sanggup
memilih lelaki lain selain Kay. Kalimat ini yang Kara takutkan akan ia dengar saat ia sudah bersama
seseorang. Dan ketakutan Kara terbukti.

Waktu mempermainkannya, mempermainkan kesempatannya, mempermainkan hatinya.

Kara menatap Kay, binarnya masih sama sejak terakhir kali mata itu menatapnya. Hanya saja banyak
goresan luka yang terukir disana. Luka yang coba ia tutupi dengan tatapan itu.

"Aku menunggu, Ra, menunggu waktu yang tepat untuk meyakinkan kamu untuk tetap denganku,"

"Kay, aku harus pulang sekarang, kapan-kapan kita ngobrol lagi," Kara berdiri membawa tasnya dan
hampir pergi.

"Andai aku bisa memutar waktu, Ra. Aku akan mengatakannya lebih awal sebelum Ale ada di
kehidupanmu," kalimat Kay menahan Kara tetap di tempatnya.

Kara tak tahu harus bagaimana menghadapi Kay sekarang. Dia bingung. Yang ia lakukan hanya pergi,
berjalan dengan cepat keluar dari cafe meninggalkan Kay disana.

-00-

Kara masih bersiap di ruang make up saat Ale datang menghampirinya. Ale sudah siap dengan kemeja
biru, sewarna dengan dressnya dibalut dengan jas hitam nan elegan. Ia mengecup pipi Kara yang sedang
di tata rambutnya.
"Acara mulai sebentar lagi," kata Ale. Kara menatap Ale dan berkata, "sebentar lagi selesai, tinggal blow
dikit,"

Ale mengangguk saja tanpa tahu maksud Kara. Ia duduk disamping gadisnya itu dan menatap lama gadis
yang akan segera sah menjadi istrinya.

"Ra, aku Cinta sama kamu," Kara tertawa, dielusnya pipi Ale dengan sayang dan mengecup ringan bibir
Ale.

Kara selalu seperti ini, ia belum bisa membalas pernyataan cinta Ale padanya, ia hanya bisa
menjawabnya dengan kecupan di bibir Ale. Dia tidak ingin mengkhianati hatinya sendiri, ia tidak ingin
mengingkari apa yang ada dihatinya sendiri, sekarang mungkin belum, tapi Kara mati-matian
menumbuhkan bibit cinta itu dalam hatinya untuk Ale.

"Sudah, Ra," Josh, sang hair do nya meletakan blow dan merapikan rambut Kara sebagai sentuhan
terakhir.

Kara menarik Ale untuk segera turun dan bergabung dengan tamu-tamu yang sudah datang.

"Tamunya banyak, Le," kata Kara.

"Iya, kolega Papi kan banyak, apalagi teman arisan Mami," Kara mengangguk-angguk. Ia tahu betul
seberapa banyak itu mengingat ayah Ale, Restu, adalah generasi kedua dari Prima Corp.

Sofia yang mengenakan dress dengan warna senada dengan Kara segera menghampiri anak dan calon
menantunya untuk dikenalkan pada lingkaran besar ibu-ibu yang Kara yakini sebagai teman arisan
Maminya Ale.

"Ini, calon menantu aku yang cantik banget, cantik kan ya," Sofia memamerkannya pada teman-
temannya tanpa malu-malu. Kara memberikan salam sopan pada teman teman Sofia seraya terus
tersenyum.

"Mam, yuk mulai acaranya," Restu menghampiri istrinya untuk menuntun naik ke stage mini yang sudah
berhias kue ulang tahun dengan ukuran besar.

Kara membuntuti Sofia dengan Ale tetap disampingnya. Lova menyusul dan berdiri tepat disamping Kara
dan menyapa sahabatnya itu.

Acara dimulai.

MC menuntun acara dengan sangat apik hingga masuk ke acara inti ulang tahun Sofia. Sofia dan Restu
maju diiringi lagu ulang tahun dari semua tamu yang hadir. Lilin dengan motif bunga krisan yang sengaja
dipesan khusus untuk acara hari ini menjadi pemanis kue nan besar dengan tema Taman bunga.

Sofia meniupnya dan gemuruh tepuk tangan menyambut. Potongan kue pertamanya berikan pada Restu
sang suami yang dibalas pelukan hangat suaminya. Potongan kedua ia suapkan kepada Lova sebagai anak
perempuannya, dan Kara calon menantunya. Dan ketiga, baru Ale dan Neo, anak sulungnya.
Acara berlangsung meriah, semua tamu larut dalam pesta semalam yang menyenangkan. Dansa,
berjoget, makan, bercengkrama, games, semua dilakukan untuk menghabiskan malam ini dengan suka
cita.

Kara hanya melihatnya dari kejauhan, disudut gelap bersama keheningan. Kara mulai merasa bersalah
lagi saat melihat Sofia dan Restu yang sudah sangat menyayanginya. Kebimbangan hatinya menyiksa.
Kebimbangan itu kembali hadir setelah Kay berbicara padanya hari itu, bahkan sampai sekarang.

Ia menanyakan pada hatinya sendiri apa yang benar untuknya, namun tak pernah ada jawaban.

Lova melihat Kara disana, sendirian. Dia tahu apa yang sedang menganggu sahabatnya sekarang. Dia
tahu dari Nesya kemarin saat ia mampir ke rumah Nesya. Lova tahu kegundahan Kara yang ia
sembunyikan. Lova tahu.

Lova menghampiri Kara, duduk disamping gadis itu. Kara menoleh, tersenyum dan sedikit terkejut
dengan kehadiran Lova disampingnya.

"Kay ke rumah Nesya begitu sampai di Jakarta, dia maksa Nesya untuk Kasih alamat apartemenmu, dia
pikir, dia harus menyelesaikan suatu hal denganmu agar kamu tenang menjalani kehidupan bersama Ale.
Tapi aku merasa itu salah. Kamu bukan tenang, tapi semakin bimbang," Kara menatap kosong ke depan,
tak berani menengokkan pandangannya pada Lova.

Lova, Nesya, mereka itu saksi hidup percintaan pertama Kara yang sungguh diluar ekspektasi. Lova,
Nesya, mereka tembok pertama yang menutupi Kara saat Kara frustasi. Lova, Nesya, mereka badut
terbaik yang menghibur Kara saat Kara patah hati. Lova tahu semuanya, jelas saja. Semua di hati Kara itu
sejernih air untuk Lova. Tanpa harus berusaha keras menyelam, lova tahu apa yang ada didalam hati
Kara.

Membiarkan Ale mendekati Kara bukan karena dia mau Ale sakit hati. Tapi Lova tahu Ale mampu untuk
menarik hati Kara kembali ke permukaan. Dia terlalu sayang dengan Kara yang rapuh namun sok tegar,
dia terlalu sayang dengan sahabatnya yang tak begitu beruntung tentang cinta.

"Yang baik menurutmu, belum tentu terbaik untuk hidupmu, Ra. Jangan pernah berpikir jika aku akan
memusuhimu kalau kamu mengambil keputusan berbeda dengan yang aku inginkan. Tapi jangan pernah
juga berpikir untuk menyakiti Ale dengan cara kotor. Sakiti dia dengan terang-terangan, biar dia tahu
bahwa kamu sudah tak menginginkannya lagi,"

"Tidak! Aku menyukai Ale," kata Kara yakin.

Lova tersenyum penuh arti. Tanpa banyak bicara, ia memeluk Kara yang sedang rapuh itu dan
menariknya kembali ke acara yang masih meriah walau hampir tengah malam.

-00-
Priska masuk ke kamar Kay yang bernuansa cokelat klasik. Anak sulungnya itu sedang duduk termenung
di balkon kamar sembari menatap bintang-bintang yang berkerlip di atas sana. Priska duduk disamping
Kay, ikut menatap langit yang ditatap Kay.

Ini sudah lewat tengah malam bahkan hampir pagi. Tapi Kay masih betah disana berteman angin malam
yang dingin.

"Masuk, Kay, masuk angin nanti," Priska merapatkan jaket yang membalut tubuhnya.

Kay menatap mama. Priska terlihat kedinginan dengan gaun malamnya yang hanya berlapis jaket Kay.

"Kara mau menikah ya?" pertanyaan Priska lebih mengarah pada pernyataan sebagai warning untuk anak
sulungnya.

Kay tak berkutik, dia sengaja membiarkan Mama dan Papanya marah saat ia menolak datang ke acara
kolega Papanya dengan berbagai alasan. Kini sepertinya Mamanya sudah tahu apa yang terjadi dengan
Kay hingga malas keluar rumah. Mungkin Zyan atau mungkin Alice yang memberi tahu Mamanya.

"Tadi Mama lihat Kara diacara kolega Papa mu. Kara mungkin tak tahu Mama disana karena ia sibuk
menyapa teman-teman bu Sofia. Dari obrolan orang-orang akhirnya Mama tahu, Kara itu calon menantu
bu Sofia. Dan akhirnya Mama pun tahu alasan kamu seperti ini,"

Kay bersyukur diam-diam. Untung saja ia menolak ikut untuk acara ini, jadi dia tak harus mengikat
hatinya lebih kuat untuk melihat Kara bermesraan dengan calon tunangannya tepat didepan mata Kay.

"Kay, jodoh itu Tuhan yang atur. Kalau memang Kara ditakdirkan Tuhan untuk Kay, mau seberapa jauh
persiapan Kara dengan calon suamimu, akan ada satu jalan Kara untuk kembali pada Kay. Tapi jika
memang Kara bukan untuk Kay, Tuhan akan kirimkan pengobat hati Kay yang paling ampuh,"

Kay diam. Dia membenarkan semua yang Ibunya bicarakan. Dia tahu skenario Tuhan jauh lebih Indah
dari yang ia bayangkan.

"Tugas kamu sekarang adalah berteman dengan Kara. Berteman dengan masa lalu kamu, berteman
dengan semua kesakitan kamu. Mungkin saja, itu jalan menuju kebahagiaanmu yang sebenarnya," Priska
memeluk anak sulungnya yang sudah dewasa. Dipeluknya Kay seperti bocah SMP yang sedang putus
cinta. Kay diam, terbenam dalam pelukan ibunya yang selalu ia rindukan selama di LA. Pelukan yang tak
pernah bisa digantikan oleh siapapun disana.

-00-

Kara masuk ke Queen Boutique milik Stella, sepupunya. Beberapa pegawai Stella yang sudah
mengenalnya menyapa Kara dan mempersilahkan Kara langsung naik ke lantai 3, kantor Stella.

Kara naik, menggunakan tangga sekalian melihat koleksi-koleksi terbaru boutique Stella. Sembari
mencari model bridesmaids dress untuk acara pernikahannya yang cukup lumayan jauh.
Stella sibuk dibalik mannequin berkalung meteran dan pensil gambar di selipan telinganya. Rambutnya
terkuncir berantakan namun tetap mempesona. Stella meninggalkan semua alatnya dan berlari kecil ke
arah Kara.

"Sibuk amat si ibu satu ini," Sapa Kara setelah berpelukan dengan Stella.

Stella tertawa dan membimbing Kara ke sudut kantornya yang lumayan rapi dan tak banyak alat-alat
desainnya.

"Of course honey. Apalagi aku lagi ngebut gaun pertunangan kamu nih. Hampir banget jadi. Tinggal
dipasangin payet-payet manja sama beberapa manik-manik," Stella menatap salah satu mannequin di
dekat mejanya berbalut dress baby blue pesanan Kara.

"Ini keren, Stella. Aku suka perpaduan baby blue dengan goldnya. Seperti ada sesuatu yang berbeda, aku
nggak tahu deh akan jadi secantik apa kalau sudah selesai semua,"

Stella tersenyum melihat respon Kara terhadap rancangannya. Terlihat sangat tulus, bukan karena Kara
dan Stella memiliki hubungan darah, tapi Kara memang betul-betul mencintai karyanya sebagai bentuk
karya yang nyata.

"Coba dulu aja, Ra. Aku mau lihat ukurannya sebelum finisihing,"

Stella memanggil salah seorang karyawannya untuk membantu Kara mencoba gaunnya.

Kara berganti gaun panjang yang masih polos itu. Bahannya yang jatuh dan tumpukan kain tile di bawah
pinggulnya membuat gaun itu terlihat Indah ditubuhnya. Kara menatap pantulan dirinya di cermin ruang
ganti, menganggumu setiap inci ketelitian desain Stella.

Kara keluar, Stella sudah berdiri di depan ruang ganti menyambut Kara. Dia segera mengecek bagian-
bagian yang kurang pas jatuh di tubuh Kara.

"Ale nggak ikut, Ra?" tanya Stella sambil menanamkan benang pada beberapa inci kelonggaran di gaun
kara.

"Enggak, dia lagi meeting luar kota, gantiin Papi,"

"Katanya Kay balik ke Indonesia?" itu lagi. Mungkin berita kepulangan Kay ke Indonesia sudah menyebar
luas di jaringan internet sampai semua orang yang ia temui selalu menanyakan hal yang sama.

"Iya," jawab Kara sesingkat mungkin.

"Udah ketemu?" Kara hampir menghindar dari Stella yang masih sibuk memperbaiki beberapa tempat di
gaun yang menempelnpada Kara.

"Udah," udah cukup membahas Kay, Stella, please.


"Dia bicara alasan dia kabur waktu itu?" Stella sepertinya tak tahu kalau Kara menahan mati-matian
dirinya untuk tidak melempar mulut Stella dengan apapun untuk menghentikannya membahas Kay.

"Stella cukup. Cukup kamu fokus dengan gaunnya, tidak perlu membahas Kay dihadapanku. Tolong
hargai Ale yang akan segera jadi suami aku,"

Stella dengan santai menjauh dari Kara dan duduk di mejanya, mencatat hasil revisi dari gaun Kara yang
tadi ia kerjakan.

"Kalau kamu sudah fokus dengan Ale, nggak seharusnya kamu marah karena aku menanyakan Kay. Kalau
hatimu sudah sepenuhnya milik Ale, kamu tidak akan merasa tidak nyaman karena aku membahas Kay,"
Kara dibuat diam seribu bahasa oleh kalimat pelan Stella yang penuh pengertian. Kara tertohok dengan
kalimat Stella yang sarat makna.

Stella berjalan mengambil sekaleng soda di lemari es kecil di dekat mejanya dan memberikan pada Kara.

"Pilihan ada ditangan kamu, keputusan yang terbaik kamu yang tahu, aku hanya bisa mendukung semua
keputusanmu, apapun itu," Kata Stella kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi dan membiarkan Kara
diam disana memikirkan semua ucapannya.

-00-

Ale melirik pada Kara yang duduk disampingnya. Gadis itu terlihat 'tak biasa' setelah Ale menjemputnya
di boutique Stella tadi. Kara yang biasanya menanyakan semua kegiatan Ale tiba-tiba diam dan tak
berbicara sepatah katapun walau hanya gumaman tak jelas. Mobil Ale hanya terisi suara musik yang
mengalun pelan di playlist nya.

"Ra, kamu udah makan?" Ale membuka percakapan setelah sekian lama membiarkan Kara dengan
keheningannya.

Kara diam, dia tetap menatap keluar jendela, menatap air hujan yang terus menetes membahasi bumi.

"Karamel," Ale sedikit menaikan suaranya. Kara sadar, dia menarik dirinya kembali ke dalam mobil dan
menatap Ale dengan gelagapan.

"Kamu tadi ngomong apa, Al? Maaf aku lagi nggak fokus,"

"Kamu udah makan?" Ale mengulang pertanyaannya lagi, kali ini ada jawaban dari Kara walau hanya
gelengan lemah.

"Mampir makan ya?" tanya Ale lagi, dan Kara menjawabnya dengan isyarat anggukan.

Ale mengambil jalur kanan bersiap putar arah ke restoran Jawa favorit Kara.

"Tadi gimana gaun kamu? Sudah jadi? Jas ku sudah jadi, tinggal dibawa pulang saja, semoga nggak ada
nambah berat badan lagi," hening. Setelah Ale berbicara lagu di playlistnya mengambil alih lagi. Ia melirik
Kara yang kembali memandang rintik hujan dari jendela.
Sedikit dongkol dengan tingkah Kara yang lebih banyak melamun sejak tadi membuat Ale ikut diam
membiarkan lagu-lagu di playlistnya mengambil alih keheningan ini.

Ale membelokan mobilnya memasuki pelataran parkir restoran, mencari spot parkir diantara banyaknya
mobil disana. Ale mendapatkannya. Ia menarik rem tangan tapi belum mematikan mesin mobilnya.

"Karamel!" lagi, Ale memanggil Kara dan berhasil menariknya kembali ke dalam mobil.

"Kenapa, Al?" tanya Kara sedikit tergagap. "Loh, eh kok...." Kara melihat sekelilingnya, memastikan sekali
lagi dimana mobil Ale terparkir sekarang. Ini restoran favorit Kara.

"Daritadi kamu mikirin apa sih? Diajak ngomong diem, ditanyain diem," tanya Ale pelan.

"Nggak ada apa-apa, Al, aku cuma nggak enak badan aja," Kara mengecup Ale agar dia diam dan tak
mengusik Kara hari ini. Ia sedang sangat lelah dengan semuanya, lelah dengan hatinya, lelah dengan
pikirannya yang tak berhenti berkelana.

Ale paham, dia mencoba mengerti Kara dengan 'ruangan'nya sendiri. Menjauh sebentar untuk Kara
mendapatkan lagi fokusnya. Mungkin bukan sekarang saat yang tepat untuknya meluapkan
kegundahannya, mungkin bukan saat ini ia bisa berbicara serius dengan Kara tentang masa depan
mereka.

Kara turun dari mobil disusul Ale yang cukup menjaga jarak dengan Kara kali ini. Langkahnya sangat
pelan, membiarkan Kara berjalan di depannya dan mencari meja diantara kepadatan restoran dikala
sore.

Kara berhenti, Ale pun berhenti, dengan jarak yang masih terjaga sembari mengamati Kara yang terlihat
oleng. Tatapan matanya tertuju pada satu titik, bukan, lebih tepatnya satu objek, Ale tahu apa itu, Ale
mengenalnya. Dia orang yang membuat Kara tidak fokus hari ini.

"Sudah kembali rupanya," batin Ale merana.

Ale meninggalkan Kara yang masih mematung, mencari meja terlebih dahulu, biarkan Kara tak sadar
bahwa Ale tahu apa yang menganggu pikirannya hari ini.

-00-

Karina mencemooh Kara saat Kara menceritakan detail ceritanya hari ini pada Karina. Mulai dari sindiran
Stella yang membekas, hingga pertemuan tak terduganya dengan Kay di restoran. Kara tahu dia bodoh
masih memikirkan Kay saat pertunangannya tinggal beberapa hari lagi.

"Pertunangan tak berarti apapun kalau hati lo masih kayak gini Kara,"

Anda mungkin juga menyukai