Anda di halaman 1dari 9

Nama:Lisda Oktaviani

Kelas :XII IPA 4


Nis :216118

Selamat Tinggal Sahabatku

Pengarang : Maman Syahman


Pagi telah menampakkan sinarnya, menerangi ketiga sahabat yang sedang berkumpul di sebuah
rumah kayu yang melayang. Angin semilir berhembus dengan lembut. Menerpa dedaunan pohon
berukuran besar dan menari mengikuti arah angin.
Mereka selalu berkumpul dan bermain bersama di dalam rumah tersebut, bercanda, riang dan
gembira. Menikmati keindahan bunga bunga yang berbaris dengan sangat rapinya dari atas
pohon.
Ketiga sahabat itu bernama, "Karin, gloria, dan viora."
Sinar matahari mulai merambat di jendela rumah pohon yang mereka tempati dan mewarnai
dinding dinding kayu dengan warna emasnya yang berkilau.
Rumah yang dibangun diatas pohon yang tetap berdiri dengan kokohnya itu, mereka namakan
dengan sebutan, "Rumah pohon persahabatan."
Karin adalah sosok perempuan yang sangat bersemangat dalam hal pelajaran fisika, dia juga
sangat suka bercanda dan ceria ketika ke dua sahabatnya itu sedih. Namun, sifat manja nya itu
menjadi kelemahan yang belum bisa dia kuasai.
Gloria perempuan dengan sifat nya yang cerewet, dia suka bediam diri dan sangat suka
mendegar musik dengan handphone yang selalu ia bawa, walau begitu dia sangat pintar dalam
pelajaran sejarah, dan ingin menjadi ahli sejarah, juga handal dalam bernyanyi.
Dan yang tertakhir adalah, viora dia adalah perempuan berambut panjang yang sangat baik, suka
menolong dan menasihati sahabatnya. Dia juga sangat pintar dalam pelajaran biologi dan
metematika tak heran dia selalu mendapat peringkat pertama di Smp nya, nilai raport nya pun
tidak pernah rendah hingga menjadi murid favorit di kelas.
Pagi itu, karin sedang bangun dengan wajah yang sangat lemas. Matanya yang masih berkunang
kunang membuatnya enggan berdiri, namun mau tidak mau dia harus terbangun karena jam telah
menunjukkan pukul 07.00, selain itu, ini juga adalah hari pertamanya memasuki ruang kelas
delapan, dia pun berusaha bangun untuk mempersiapkan diri menuju sekolah.
"Driing... Dringg." Lonceng sekolah berbunyi dengan suara yang berisik.Membuat gloria yang
sibuk mendengar lagu menjadi terganggu, suara lonceng itu bergema dengan keras hingga masuk
ketelingannya.
Sedangkan, viora dengan senyuman khas nya yang begitu manis mulai mengambil buku buku
nya di tas biru tua untuk memulai pelajaran. tapi, hal tidak enak dia rasakan tak tahu kenapa di
sakit kepala. Tapi dia berusaha menahannya.Lalu saat sakit kepalanya perlahan baik. Entah
kenapa viora terus menengok kiri dan kanan berusaha mencari sesuatu.
Gloria mengernyit, lalu memanggil viora yang duduk tepat berada di depannya."Viora, kamu
kenapa?"
Viora berbalik, dan gloria menunggu jawaban viora kepadanya."Apa kau melihat karin? Dari
tadi aku tidak melihatnya."
Gloria menggeleng. Tiba tiba saja, guru dengan rambut panjang berwarna hitam berkilau datang
dengan elegan seperti ratu inggris yang sedang berjalan di atas karpet merah untuk menghadiri
pertemuan penting.
"Selamat pagi anak-anak!" Ujar ibu nirna dengan suara lantang.
Ibu nirna berbalik ke arah meja dan tampak mencari cari sesuatu di tumpukan kertas yang di
biarkan berantakan.Tiba tiba saja, pintu kelas terbuka secara perlahan hampir tidak menimbulkan
suara, bayangan manusia mulai terlihat.
Dan saat di lihat, ternyata itu adalah karin. Karin yang kaget melihat guru, berjalan perlahan agar
hentakan sepatunya yang besar tidak menimbulkan suara.
Viora tak kuasa menahan tawa, saat ekspresi karin yang begitu lucu di perlihatkan di depan
kelas.
Viora dan gloria melihatnya berlari di antara barisan bangku coklat yang telah di tata dengan
sangat rapi hingga karin dapat duduk di samping viora dengan lega.
Karin menghela napas." Huh, hampir saja." Sambil terengah engah.
Guru nirna akhirnya, menemukan spidol nya yang bersembunyi. Dan kembali menatap murid
murid nya yang tampak tidak sabar ingin belajar. Semua murid perlahan membuka lembaran
kertas putih di buku nya yang baru. Dan mencatat sederetan huruf hingga menjadi sebuah
kalimat.
Barisan tulisan gloria yang rapi membuat guru nirna yang berjalan melihat kegiatan muridnya
sangat suka dengan tulisan gloria.
Gloria terus menulis, tulisannya bagai tulisan ketikan komputer, sederetan angka pun di tulisnya
dengan sangat rapi dan sangat hati hati.
Saat itu, mereka berkumpul di kantin untuk makan siang, mereka membawa bekal masing
masing dan tentunya selalu tersedia nasi. Mereka membicarakan seputar pr yang akan mereka
kerjakan di rumah pohon persahabatan nanti saat pulang sekolah.
Keramaian di dalam kantin membuat karin merasa terganggu apalagi suara bising yang di
keluarkan anak anak nakal yang berteriak seenaknya di kantin.
Sedangkan, viora sibuk memakan daging yang di potong kecil kecil dan terlihat sangat enak.
mereka saling berbagi, mulai dari daging, sayur, dan ikan dengan taburan saus yang dimiliki
gloria.
Namun, viora langsung memegang dadanya, dia memperlihatkan raut wajah yang bergitu
kesakitan. Dia seolah ingin menjerit, detak jantungnya seperti melemah dan sangat lambat.
Bingung dengan hal itu, karin pun bertanya dengan muka keheranan dan sedikit khawatir.
"Viora, viora ada apa?" Tanya nya.Gloria bertatapan dengan karin, seolah ingin bertanya.
"Kenapa dia?" Viora mengangkat tangannya lalu mengacungkan jempol tanda tidak apa apa.
Mereka pun melanjutkan makan dengan lahapnya tapi, tidak untuk viora.
Hingga pada waktunya pelajaran telah berakhir.
Mereka pun memutuskan untuk pergi kerumah karin tempat dimana rumah pohon persahabatan
itu di buat atau lebih tepatnya halaman belakang rumahnya.
Rumbut rumput yang berwarna hijau dan bunga bunga yang bermekaran di pandang viora
dengan rasa takjub.
Melihat betapa indahnya bunga buga itu membuka kelopaknya secara perlahan dan memamerkan
keindahan putik dan benang sari yang mereka miliki, belum lagi, warna mereka yang bervariasi.
Yah... Wajar kalau banyak bunga di halaman rumah karin itu di sebabkan karena ibu karin yang
suka dengan bunga bahkan ibunya dapat menghafal lebih dari 100 nama bunga yang langka.
"Viora, ayo naik!" Tegur karin sambil memegang tangga yang terbuat dari papan papan kecil dan
sebuah tali tebal yang kuat lalu dirangkai hingga terciptalah sebuah tangga sederhana tapi,
bermanfaat.
Saat berada di atas mereka pun mengeluarkan buku fisika dan mengerjakan nya bersama sama.
Viora langsung mengeluarkan, sebuah keripik kentang yang bertugas untuk membuat
tenggorokannya tidak kering dan membagi kepada sahabatnya. Tapi tiba tiba saja, sebuah darah
menetes perlahan menyentuh tangannya.
"Astaga, viora hidung mu!" Ujar gloria.Viora terbelalak melihat darah di tangannya, dia lantas
mengambil tisyu yang sudah disediakan di rumah pohon.
"Apa kau tidak apa apa?" Tanya gloria sekali lagi.
"Haha.. Tidak apa apa. Lagipula semua orang bisa mengalami hal ini kan?" Katanya dengan raut
wajah yang masih ceria seolah tidak terjadi apa apa."Kau yakin?" Tanya karin. Viora menatap
kedua sahabat nya lalu mengagguk pasti.
"Pppiiipp..." Suara klakson terdengar bising.
"Itu mungkin ayahku. Kurasa kita bisa melanjutkan nya besok. Dahh.." Ucap viora yang
merampas tasnya dengan cepat dan turun dengan hati hati.
Saat, menaiki mobil. Ayah viora terkejut melihat anak nya.
"Ya, ampun sayang. Kamu mimisan?"
"A-apa," viora mengelus hidungnya.
"Kita harus kerumah sakit, segera!" Perintah ayah nya tegas. Sedangkan viora menunduk dan
tidak berkata apa-apa.
Di perjalanan viora tak henti henti nya mengeluarkan darah lewat hidungnya, dia berusaha
menghentikan darahnya dengan tisyu, tapi tiba tiba saja kedua hidung mengeluarkan darah terus
menerus tanpa henti, sehingga membuat viora kesulitan bernafas hingga kehilangan kesadaran.
Ayah viora pucat pasih, tangannya gemetar dan menggas mobilnya dengan cepat. Ayah nya
menangis dengan deras. Dia melihat anak nya pingsan di kursi mobil.
Hingga viora tidak dapat merasakan apapun, dia hanya dapat mendengar detak jantung nya yang
perlahan melemah. Hujan jatuh dari langit biru da membasahi rumah pohon.
Entah kenapa perasaan gloria sangat tidak enak begitu pun dengan karin yang sangat cemas
dengan viora.
Hujan semakin deras, karin melamun di depan jendela kamarnya, malihat banyak nya air yang
turun dan membasahi bunga serta rumput ibunya.
Pagi telah tiba, gloria dan karin sedang menunggu viora untuk datang sekolah namun, sampai
lonceng istirahat pun dia belum kunjung datang. Hingga mereka berdua memutuskan untuk
datang ke rumah viora."Apa viora baik baik saja?" Tanya gloria.
"Aku juga tidak tahu, tapi kita akan tahu saat kita sudah sampai."
Rumah yang berdiri menjulang tinggi dengan warna krem dan pintu berwarna putih terang
sedang dilihat gloria sambil mendongak.
Karin perlahan membuka pagar berwarna hitam mengkilap dan masuk ke halaman rumahnya
yang sangat luas."Tok...tok...tok."
Pintu putih tersebut perlahan bergeser dan terlihat sebuah wanita dengan memakai sebuah
celemek putih yang kotor. "Ada apa?" Tanya nya."Ehm... Kami ingin mencari viora, apa tante
tahu?" Tanya karin dengan sopan.
"Oh, nyonya sedang berada di rumah sakit." Gloria yang mendengarnya terkejut, mendengar
kalau viora ada dirumah sakit.
"Aku tahu di mana rumah sakitnya, hanya ada satu rumah sakit yang dekat di sekotar sini." Ujar
karin dengan rasa yakin.
"Apa tante tahu dia di bangsal berapa?" Tanya gloria sekali lagi."Dia sekarang berada di ruang
ICU!"
"ICU." Ulangnya.
"Oh, kalian tidak tahu. Nyonya viora pernah mengalami penyakit jantung selama kurang lebih 2
bulan." Kata wanita itu.
Mata gloria samakin berkaca kaca mendengarnya.Tanpa pikir panjang gloria mengajak karin
untuk pergi ke rumah sakit menaiki mobil milik ayahnya, tentu saja karin mengangguk mantap.
Mereka berlari di sepanjang trotor jalan menuju rumah gloria dan cepat cepat pergi ke rumah
sakit. Perasaan perasaan yang karin dan gloria alami mulai sangat tidak enak, bahkan mata
mereka ikut prihatin dengan perasaan mereka sehingga menurunkan tetesan air mata yang
mengalir dan membasahi pipi mereka.
Mobil mendadak berhenti. Saat ayah gloria berteriak."Kita sudah sampai."
Lamunan tentang hal hal yang pasti mereka pikirkan tiba tiba terbongkar saat ayah nya berteriak,
mereka berlari secepat mungkin menuju ruang icu tanpa menghiraukan orang orang yang melihat
mereka.
Gloria dan karin berpegangan tangan dengan sangat kuat. Saat mereka sudah melihat ayah dan
ibu viora sedang menunggu di depan ruang icu.
"Gloria! Karin! Apa yang kalian lakukan?"
"Om, tante apakah viora baik baik saja?"
Mereka menunduk tak kuasa melihat viora terbaring lemah dengan banyak selang selang yang
menancap di seluruh tubuhnya mulai dari dada, dan tangan. Serta tabung, dan alat bantu
pernapasan semua di kerahkan demi menyelamatkan nyawa sahabat nya.
Tiba tiba, dokter membuka pintu dengan raut wajah yang membuat ayah dan ibunya menangis.
Satu kalimat terdengar lembut namun menusuk hati.
"Saya, sudah mencoba semaksimal mungkin!"
"VIORAA!!"
Gloria menyambar dokter begitu juga dengan kedua orang tuannya, mereka mendapati viora
terbaring dengan begitu lemahnya.
"Ayo, ayo bertahan. Jangan tinggalkan kami viora. Ayo bangunn!"
Jantung viora semakin melemah. Karin dan gloria bersama sama memegeang tangan viora yang
sangat dingin dan pucat seperti mayat.
Mereka terkaget saat melihat viora menggerakkan jarinya.
"Kumohon, jangan pergi sahabat ku! Kumohon."
Dengungan komputer yang berfungsi merekam detak jantung, tiba tiba saja menunjukkan garis
yang lancip dengan ukuran yang sangat kecil.
Dengungan itu membuat semua menjadi hening dan hampa.Viora berusaha mengatakan sesuatu,
hal yang begitu pedis dan sangat tertusuk. Sambil tersenyum dia berkata.
"SELAMAT TINGAL SAHABATKU!"
Nama : Wardanisa Azzahrah Ar.
Kelas : XII IPA 2
NIS : 216031
KD 7.2 : Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen

Jamal membetulkan sarungnya. Keluar kamar, mengambil senter di meja panjang, membuka
pintu belakang, dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan Imah, istrinya, yang menggigil di
kamar sempit pengap. Menjemput Mus. Hanya itu yang bisa dilakukan Jamal jika penyakit Imah
kambuh. Mus membuka pintu. Dia telah hafal siapa yang mengetuk pintu dini hari begini, dua tiga jam
sebelum beduk subuh ditabuh. Seperti biasa, dua orang itu bergegas menuju rumah Jamal, lima ratus
meter dari rumah Mus, melintasi pematang yang memisahkan.

“ Saya sudah bilang biar mereka mengurus sendiri keperluannya. Mereka kan bukan tamu,
Mbah. Ini rumah mereka sendiri,” kata Mus begitu mulai mengoleskan balsam kerik ke punggung Imah.
Imah menjawab dengan gumaman yang tak jelas. Ah, pasti juga jawaban yang sama seperti tahun-
tahun lalu. Mereka pulang hanya setahun sekali, masak dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Dan Mus
tidak berkata-kata lagi.

Dulu, waktu Mus masih tinggal di sini, dialah yang mengurus rumah, sawah, sampai
pengelolaan penggilingan padi keluarga ini. Sejak kecil ia telah dilatih menjadi pengurus rumah tangga
sekaligus petani. Emaknya dulu buruh di keluarga Jamal ketika seperempat luas sawah di desa ini masih
menjadi miliknya. Jamal pula yang menikahkan emak Mus dengan buruh penggilingan padi. Lalu
membuatkan rumah mungil dan memberi pesangon sepetak sawah di selatan desa. Tetapi, kemiskinan
yang mendera membuat keluarga itu menyerahkan pengasuhan Mus kecil kepada Imah.

Sejak itu Mus menjadi bagian dari keluarga Imah. Imah meringis menahan sakit setiap uang
logam di tangan Mus menggerus kulit keriputnya. Pikirannya masih tertuju pada anak-anaknya yang
kemarin datang dan sekarang telah pergi lagi. Benar kata orang, tak ada bedanya punya banyak anak
atau sedikit. Setelah tiba masanya, anak-anak itu akan pergi mencari hidup mereka sendiri dan
meninggalkan orangtuanya. Begitu juga yang dirasakan Imah. Ia telah melahirkan dan membesarkan
sembilan orang anak. Toh ia tetap merasa sepi mengisi hari tua hanya bersama Jamal, suaminya.
Para tetangga sering berkata, enaknya menjadi orangtua seperti dirinya, punya banyak anak dan
sudah jadi orang semua. Tinggal duduk menunggu kiriman. Imah hanya akan menjawab dengan kata:
amin. Mungkin memang begitu mestinya, batin Imah. Tetapi, sebentar kemudian pikiran itu diusir
pergi. Agamanya mengajarkan bahwa orangtua harus tanpa pamrih mendidik anak-anaknya.
Kewajiban itu harus dijalankan semata-mata untuk mencari ridla-Nya karena anak-anak adalah titipan
dari-Nya.

Mendidik sembilan orang anak hingga menjadi orang seperti sekarang sudah merupakan
karunia. Sembilan orang anak! Hingga dulu dia tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Memang
pada masa itu suaminya anak tuan tanah terkaya di desa ini. Mereka hidup dikelilingi buruh puluhan
jumlahnya. Ada buruh yang mengerjakan sawah, ada pula yang mengurus anak-anak dan rumah
tangga. Tetapi, tetap saja, mengandung dan menyusui mereka menguras habis tenaganya. Imah
hampir tak pernah beristirahat dari tugas reproduksi. Ketika seorang anak belum selesai disusui, dia
telah hamil. Begitu seterusnya, hingga sembilan orang anak lahir dari rahimnya. Sekarang, ketika
tenaga tuanya tinggal sisa-sisa, tak ada seorang anak pun di sampingnya.

Hidup di desa terpencil membuat anak-anaknya harus pergi ke luar desa untuk melanjutkan
sekolah mereka. Sebagiannya bahkan ke luar kota, ke Pati, Rembang, atau bahkan lebih jauh lagi,
Jombang. Kota-kota yang diyakini sebagai tempat mencari ilmu dunia dan akhirat. Selesai sekolah
sebagian anaknya pulang, tinggal beberapa lama di rumah sebelumkembali ke kota mencari kerja.
Sebagiannya tak sempat kembali karena segera mendapat pekerjaan. Ketika pulang lagi, anak-anak itu
membawa seseorang yang akan dipersunting menjadi istri atau suami. Begitu seterusnya. Hingga
sembilan orang anak itu menikah dan meninggalkannya. Mereka baru akan ke desa, ke rumah orangtua
ketika lebaran tiba. Itu pun tak lama. Paling dua malam saja. Bahkan sebagian tak pernah bermalam.

Sering Imah menghibur diri. Tugasnya sebagai orangtua yang mengasuh, mendidik,
hingga menikahkan anak telah dilakukannya. Meski ia dan Jamal tak lagi bisa mempekerjakan banyak
orang karena sawahnya semakin berkurang, orang-orang masih tetap menaruh hormat kepadanya.
Salah satunya karena ia adalah orangtua yang telah mengantarkan keberhasilan anaknya. Tentu Imah
bangga. Apalagi saat lebaran tiba, sembilan orang anaknya datang bergantian atau bersama-sama
dengan mobil yang beraneka rupa. Mobil yang bagi orang desa dilihat sebagai lambang kesuksesan.
Maka pantas saja orang-orang mengira Imah tinggal ongkang-ongkang kaki karena segala kebutuhan
terpenuhi.

Kenyataannya, Imah dan Jamal harus tetap membanting tulang mereka yang lapuk dimakan
usia. Mereka tak mau menadahkan tangan di depan anak-anak. Apa yang telah dilakukannya bukan
untuk meminta balas jasa. Tetapi, apa boleh buat. Kesehatannya tak memungkinkan lagi. Penyakit gula
turunan yang diwariskan orangtua Imah membuatnya semakin lemah. Jamal yang dulu tampak lebih
sehat dari orang seusianya kini mulai sakit-sakitan juga. Tak ada pilihan kecuali membagi petakan
sawah itu untuk sembilan orang anaknya. Dan karena tak ada seorang pun anaknya yang tinggal di
desa ini, maka pilihannya adalah menjual atau menjual tahunan sawah itu kepada para tetangga.
Kehidupan Imah dan Jamal sepenuhnya menjadi tanggungan sembilan anaknya, begitu hasil rembukan
anak-anak mereka saat berkumpul setahun lalu. Maka, berakhirlah kisah Jamal sebagai tuan tanah.

“Sudah Mbah,” kata Mus sambil mengemasi perlengkapan kerik. Imah membalikkan tubuh
ringkihnya. Telentang memandang Mus di keremangan kamar.
“Untung ada kamu, Mus,” bisiknya lirih. Air matanya meleleh dari sudut-sudut mata.
“Saya pulang dulu ya, Mbah. Pagi nanti saya ke sini,” Mus berdiri memandang Imah, menunggu
anggukan kepala yang akan mengantarnya pulang.

Perempuan muda itu pun meninggalkan rumah Jamal, sendirian. Berjalan tenang,perlahan.
Benaknya dipenuhi beban. Ia dinikahkan Imah dua tahun lalu. Sampai lima bulan lalu Mus bersama
suami dan anaknya masih tinggal bersama Imah. Tetapi,seorang menantu Imah memperkarakan
keberadaannya di rumah besar itu, maka ia
nekat membangun rumah dengan uang pinjaman. Tak ada pilihan. Rumah orangtuanya terlalu sempit
untuk ditumpangi, rumah mertuanya yang juga sedesa pun tak jauh beda.

Kemarin sore pemilik uang itu kembali datang. Sepeda motor, harta paling berharga
milik suaminya belum laku juga. Siapa mau membeli kendaraan yang BPKB-nya masih
jadi agunan. Maka, tawaran Pak Muslih, makelar TKI itu, kembali melintas-lintas dalam Pikirannya.
Setengah tahun setelah kejadian itu. Ussi, cucu Imah dan Jamal dari anak keduanya Fikri, merayakan
pernikahannya dengan pengajian akbar di desa. Sekalian pertemuan keluarga, kata Fikri. Usai
pengajian setelah semua tamu pulang, sembilan orang anak itu pun berkumpul di ruang tengah. Malam
telah larut, tetapi beberapa orang anak akan kembali ke kota besok pagi sehingga tak ada waktu lagi.
“Kita harus selesaikan semuanya malam ini,” Fikri yang mempunyai gagasan pertemuan memulai. “
Seperti kesepakatan dulu, Bapak dan Ibu sekarang menjadi tanggung jawab kita.”
“Tidak usah sekarang, Mas,” Ilham yang tinggal di kota, tujuh kilometer dari desa itu menyela.
“Sebelum kita membicarakan soal ini, aku sudah melakukannya. Siapa yang mengobatkan Ibu selama
ini? Siapa yang membayar tunggakan listrik?”
“Iya Mas, makanya ini kita bicarakan supaya lebih tertata. Bukan hanya Mas Ilham sendiri yang
menanggung kebutuhan Bapak dan Ibu,” Arif, si bungsu, bersuara.
“Aku sudah bilang berkali-kali, buatkan Bapak dan Ibu rekening bank. Itu akan mempermudah kita
semua,” Rosyad, anak nomor enam yang juga tinggal sekota dengan Ilham berkata.
“Itu pun jadi masalah Mas. Rekening itu atas nama siapa dan siapa yang akan mengurusnya? Repot
kalau Bapak dan Ibu harus mengurus sendiri,” Alfan giliran berikutnya.

Maka, ramailah pertemuan itu membahas cara pengiriman uang bagi Imah dan Jamal. Sampai
sejam kemudian tak ada kesepakatan. Memberikan secara langsung sebulan sekali jelas tak mungkin
bagi sebagian mereka. Sementara membuka rekening bank dengan alasan kepraktisan memunculkan
masalah sendiri. Siapa yang akan mengurusnya? Rosyad sudah bersedia, tetapi banyak saudara tak
menyetui karena sifat istrinya yang kurang terpuji. Fikri menawarkan diri. Tetapi, hampir semua anak
menolak karena terlalu jauh tinggalnya.

Kericuhan terjadi. Masing-masing punya pendapat dan tak mau mempertimbangkan


pendapat orang lain. Hingga lewat pukul satu dini hari. Imah dan Jamal sudah terkantuk-kantuk ketika
situasi memanas. Fikri menuduh Ilham pamer dengan segala bantuan yang telah diberikan selama ini.
Ilham menuduh Rosyad tak paham situasi. Arif mengomentari Fikri tak menimbang kekuatan sendiri….

Tiba-tiba Imah berteriak, “Sudah!” katanya menahan sedu-sedan, “Kalau hanya mau membuat
keributan, kalian tak usah pulang! Aku dan bapakmu ini sudah tua. Ingin melihat kalian hidup rukun
dengan saudara. Tetapi, setiap bertemu ribut selalu. Sudah, aku tidak mau dengar lagi.”
“Tunggu dulu, Bu, kami ini membicarakan kepentingan Ibu dan Bapak,” Fikri coba menenangkan.

“Mendengar kalian bertengkar itu bukan kepentinganku!” Imah semakin tersedu.

“Tugasku sudah selesai, merawatmu, menyekolahkanmu, menikahkanmu. Aku dan


bapakmu ini hanya ingin hidup tenang menunggu mati. Kalau kalian keberatan menanggung hidup
orangtua ini, biar kami mencari sendiri. Dulu ibumu ini anak orang melarat,” Imah menunjuk dadanya. “
Tidak akan kaget kalau sekarang kembali menjadi melarat.”
“Bu, jangan bicara begitu,” Arif berdiri. Namun, Imah sudah tak mampu menguasai diri. Perempuan tua
itu terus menceracau di antara sedu sedannya. Hingga tubuhnya melemas dan terjatuh dalam pelukan
Rosyad. Para menantu yang sejak tadi duduk di belakang tanpa suara kini merubung Imah yang
pingsan.
“Bawa ke kamar,” kata salah satu dari mereka.
“Panggil Mus,” teriak istri Arif.
“Mus di Saudi!” jawab istri Ilham. Semua bingung. Tak ada yang tahu bagaimana mengembalikan
kesadaran Imah. Fikri berteriak dalam kepanikan, “Bawa ke rumah sakit.” Alfan menyiapkan mobilnya.
Bersama beberapa orang saudara ia antarkan Imah ke rumah sakit di kota. Tetapi hingga beberapa
waktu sesudahnya, perempuan tua itu tak sadarkan diri juga.
TUGAS BAHASA INDONESIA

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Nama : Wardanisa Azzahrah Ar.


Kelas : XII IPA 2
NIS : 216031
SMAN 2 WAJO
TAHUN PELAJARAN 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai