Jamal membetulkan sarungnya. Keluar kamar, mengambil senter di meja panjang, membuka
pintu belakang, dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan Imah, istrinya, yang menggigil di
kamar sempit pengap. Menjemput Mus. Hanya itu yang bisa dilakukan Jamal jika penyakit Imah
kambuh. Mus membuka pintu. Dia telah hafal siapa yang mengetuk pintu dini hari begini, dua tiga jam
sebelum beduk subuh ditabuh. Seperti biasa, dua orang itu bergegas menuju rumah Jamal, lima ratus
meter dari rumah Mus, melintasi pematang yang memisahkan.
“ Saya sudah bilang biar mereka mengurus sendiri keperluannya. Mereka kan bukan tamu,
Mbah. Ini rumah mereka sendiri,” kata Mus begitu mulai mengoleskan balsam kerik ke punggung Imah.
Imah menjawab dengan gumaman yang tak jelas. Ah, pasti juga jawaban yang sama seperti tahun-
tahun lalu. Mereka pulang hanya setahun sekali, masak dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Dan Mus
tidak berkata-kata lagi.
Dulu, waktu Mus masih tinggal di sini, dialah yang mengurus rumah, sawah, sampai
pengelolaan penggilingan padi keluarga ini. Sejak kecil ia telah dilatih menjadi pengurus rumah tangga
sekaligus petani. Emaknya dulu buruh di keluarga Jamal ketika seperempat luas sawah di desa ini masih
menjadi miliknya. Jamal pula yang menikahkan emak Mus dengan buruh penggilingan padi. Lalu
membuatkan rumah mungil dan memberi pesangon sepetak sawah di selatan desa. Tetapi, kemiskinan
yang mendera membuat keluarga itu menyerahkan pengasuhan Mus kecil kepada Imah.
Sejak itu Mus menjadi bagian dari keluarga Imah. Imah meringis menahan sakit setiap uang
logam di tangan Mus menggerus kulit keriputnya. Pikirannya masih tertuju pada anak-anaknya yang
kemarin datang dan sekarang telah pergi lagi. Benar kata orang, tak ada bedanya punya banyak anak
atau sedikit. Setelah tiba masanya, anak-anak itu akan pergi mencari hidup mereka sendiri dan
meninggalkan orangtuanya. Begitu juga yang dirasakan Imah. Ia telah melahirkan dan membesarkan
sembilan orang anak. Toh ia tetap merasa sepi mengisi hari tua hanya bersama Jamal, suaminya.
Para tetangga sering berkata, enaknya menjadi orangtua seperti dirinya, punya banyak anak dan
sudah jadi orang semua. Tinggal duduk menunggu kiriman. Imah hanya akan menjawab dengan kata:
amin. Mungkin memang begitu mestinya, batin Imah. Tetapi, sebentar kemudian pikiran itu diusir
pergi. Agamanya mengajarkan bahwa orangtua harus tanpa pamrih mendidik anak-anaknya.
Kewajiban itu harus dijalankan semata-mata untuk mencari ridla-Nya karena anak-anak adalah titipan
dari-Nya.
Mendidik sembilan orang anak hingga menjadi orang seperti sekarang sudah merupakan
karunia. Sembilan orang anak! Hingga dulu dia tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Memang
pada masa itu suaminya anak tuan tanah terkaya di desa ini. Mereka hidup dikelilingi buruh puluhan
jumlahnya. Ada buruh yang mengerjakan sawah, ada pula yang mengurus anak-anak dan rumah
tangga. Tetapi, tetap saja, mengandung dan menyusui mereka menguras habis tenaganya. Imah
hampir tak pernah beristirahat dari tugas reproduksi. Ketika seorang anak belum selesai disusui, dia
telah hamil. Begitu seterusnya, hingga sembilan orang anak lahir dari rahimnya. Sekarang, ketika
tenaga tuanya tinggal sisa-sisa, tak ada seorang anak pun di sampingnya.
Hidup di desa terpencil membuat anak-anaknya harus pergi ke luar desa untuk melanjutkan
sekolah mereka. Sebagiannya bahkan ke luar kota, ke Pati, Rembang, atau bahkan lebih jauh lagi,
Jombang. Kota-kota yang diyakini sebagai tempat mencari ilmu dunia dan akhirat. Selesai sekolah
sebagian anaknya pulang, tinggal beberapa lama di rumah sebelumkembali ke kota mencari kerja.
Sebagiannya tak sempat kembali karena segera mendapat pekerjaan. Ketika pulang lagi, anak-anak itu
membawa seseorang yang akan dipersunting menjadi istri atau suami. Begitu seterusnya. Hingga
sembilan orang anak itu menikah dan meninggalkannya. Mereka baru akan ke desa, ke rumah orangtua
ketika lebaran tiba. Itu pun tak lama. Paling dua malam saja. Bahkan sebagian tak pernah bermalam.
Sering Imah menghibur diri. Tugasnya sebagai orangtua yang mengasuh, mendidik,
hingga menikahkan anak telah dilakukannya. Meski ia dan Jamal tak lagi bisa mempekerjakan banyak
orang karena sawahnya semakin berkurang, orang-orang masih tetap menaruh hormat kepadanya.
Salah satunya karena ia adalah orangtua yang telah mengantarkan keberhasilan anaknya. Tentu Imah
bangga. Apalagi saat lebaran tiba, sembilan orang anaknya datang bergantian atau bersama-sama
dengan mobil yang beraneka rupa. Mobil yang bagi orang desa dilihat sebagai lambang kesuksesan.
Maka pantas saja orang-orang mengira Imah tinggal ongkang-ongkang kaki karena segala kebutuhan
terpenuhi.
Kenyataannya, Imah dan Jamal harus tetap membanting tulang mereka yang lapuk dimakan
usia. Mereka tak mau menadahkan tangan di depan anak-anak. Apa yang telah dilakukannya bukan
untuk meminta balas jasa. Tetapi, apa boleh buat. Kesehatannya tak memungkinkan lagi. Penyakit gula
turunan yang diwariskan orangtua Imah membuatnya semakin lemah. Jamal yang dulu tampak lebih
sehat dari orang seusianya kini mulai sakit-sakitan juga. Tak ada pilihan kecuali membagi petakan
sawah itu untuk sembilan orang anaknya. Dan karena tak ada seorang pun anaknya yang tinggal di
desa ini, maka pilihannya adalah menjual atau menjual tahunan sawah itu kepada para tetangga.
Kehidupan Imah dan Jamal sepenuhnya menjadi tanggungan sembilan anaknya, begitu hasil rembukan
anak-anak mereka saat berkumpul setahun lalu. Maka, berakhirlah kisah Jamal sebagai tuan tanah.
“Sudah Mbah,” kata Mus sambil mengemasi perlengkapan kerik. Imah membalikkan tubuh
ringkihnya. Telentang memandang Mus di keremangan kamar.
“Untung ada kamu, Mus,” bisiknya lirih. Air matanya meleleh dari sudut-sudut mata.
“Saya pulang dulu ya, Mbah. Pagi nanti saya ke sini,” Mus berdiri memandang Imah, menunggu
anggukan kepala yang akan mengantarnya pulang.
Perempuan muda itu pun meninggalkan rumah Jamal, sendirian. Berjalan tenang,perlahan.
Benaknya dipenuhi beban. Ia dinikahkan Imah dua tahun lalu. Sampai lima bulan lalu Mus bersama
suami dan anaknya masih tinggal bersama Imah. Tetapi,seorang menantu Imah memperkarakan
keberadaannya di rumah besar itu, maka ia
nekat membangun rumah dengan uang pinjaman. Tak ada pilihan. Rumah orangtuanya terlalu sempit
untuk ditumpangi, rumah mertuanya yang juga sedesa pun tak jauh beda.
Kemarin sore pemilik uang itu kembali datang. Sepeda motor, harta paling berharga
milik suaminya belum laku juga. Siapa mau membeli kendaraan yang BPKB-nya masih
jadi agunan. Maka, tawaran Pak Muslih, makelar TKI itu, kembali melintas-lintas dalam Pikirannya.
Setengah tahun setelah kejadian itu. Ussi, cucu Imah dan Jamal dari anak keduanya Fikri, merayakan
pernikahannya dengan pengajian akbar di desa. Sekalian pertemuan keluarga, kata Fikri. Usai
pengajian setelah semua tamu pulang, sembilan orang anak itu pun berkumpul di ruang tengah. Malam
telah larut, tetapi beberapa orang anak akan kembali ke kota besok pagi sehingga tak ada waktu lagi.
“Kita harus selesaikan semuanya malam ini,” Fikri yang mempunyai gagasan pertemuan memulai. “
Seperti kesepakatan dulu, Bapak dan Ibu sekarang menjadi tanggung jawab kita.”
“Tidak usah sekarang, Mas,” Ilham yang tinggal di kota, tujuh kilometer dari desa itu menyela.
“Sebelum kita membicarakan soal ini, aku sudah melakukannya. Siapa yang mengobatkan Ibu selama
ini? Siapa yang membayar tunggakan listrik?”
“Iya Mas, makanya ini kita bicarakan supaya lebih tertata. Bukan hanya Mas Ilham sendiri yang
menanggung kebutuhan Bapak dan Ibu,” Arif, si bungsu, bersuara.
“Aku sudah bilang berkali-kali, buatkan Bapak dan Ibu rekening bank. Itu akan mempermudah kita
semua,” Rosyad, anak nomor enam yang juga tinggal sekota dengan Ilham berkata.
“Itu pun jadi masalah Mas. Rekening itu atas nama siapa dan siapa yang akan mengurusnya? Repot
kalau Bapak dan Ibu harus mengurus sendiri,” Alfan giliran berikutnya.
Maka, ramailah pertemuan itu membahas cara pengiriman uang bagi Imah dan Jamal. Sampai
sejam kemudian tak ada kesepakatan. Memberikan secara langsung sebulan sekali jelas tak mungkin
bagi sebagian mereka. Sementara membuka rekening bank dengan alasan kepraktisan memunculkan
masalah sendiri. Siapa yang akan mengurusnya? Rosyad sudah bersedia, tetapi banyak saudara tak
menyetui karena sifat istrinya yang kurang terpuji. Fikri menawarkan diri. Tetapi, hampir semua anak
menolak karena terlalu jauh tinggalnya.
Tiba-tiba Imah berteriak, “Sudah!” katanya menahan sedu-sedan, “Kalau hanya mau membuat
keributan, kalian tak usah pulang! Aku dan bapakmu ini sudah tua. Ingin melihat kalian hidup rukun
dengan saudara. Tetapi, setiap bertemu ribut selalu. Sudah, aku tidak mau dengar lagi.”
“Tunggu dulu, Bu, kami ini membicarakan kepentingan Ibu dan Bapak,” Fikri coba menenangkan.
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :